Anda di halaman 1dari 8

GANGGUAN BERBAHASA SECARA AFASIA MOTORIK (KESULITAN

DALAM MEYAMPAIKAN ISI PIKIRAN DAN PERASAAN MELALUI


UJARAN ATAU PERKATAAN)

Salwa Nabila Tsani (21211005)

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Fakultas Pendidikan Ilmu Sosial Bahasa dan Sastra

Institut Pendidikan Indonesia

Email: salwanabilatsss@gmail.com

Abstrak
Gangguan berbahasa meliputi kesulitan berkomunikasi dan penyandangnya mengalami
kegagalan dalam menerapkan kemampuan berbahasa. Penderita mengalami kesulitan dalam
menyampaikan isi pikiran dan perasaannya melalui lisan baik dalam bentuk kata maupun
kalimat. Kemampuan berbahasa penderita menjadi terganggu dan penderita mengalami kesulitan
dalam berbahasa, itu semua disebabkan oleh kelainan fungsi otak dan alat becara. Manusia yang
memiliki fungsi otak dan alat bicara yang normal dapat berbahasa dengan baik. Namun
sebaliknya, mereka yang fungsi otak dan alat bicaranya mengalami kelainan akan kesulitan
dalam berbahasa baik produktif maupun represif. Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk
mengetahui gangguan apa saja yang dialami seseorang dalam proses berbahasa. Pengumpulan
data dilakukan dengan metode penyimakan materi yang diaparkan teman sekelas dan metode
menelaah lebih lanjut materi pada internet. Hasil dari pengumpulan daa terdapat beberapa
gangguan dalam berbahasa yang disebabkan oleh penyakit afasia wenicke.

Kata Kunci: Gangguan berbahasa, afasia wernicke, afasia motorik, dan psikolinguistik.

1. PENDAHULUAN

Psikolinguistik merupakan ilmu yang mempelajari tentang mental seseorang untuk berbahasa
(Dardjowidjojo, 2014:07). Secara garis besar psikolinguistik mempelajari berbagai topik yang
berhubungan dengan prose berbahasa manusia melalui perkembangan mental seseorang, yang
meliputi pemerolehan bahasa, perkembangan bahasa, pembelajaran bahasa, serta gangguan
berbahasa. Pada dasarnya ada beberapa manusia yang mengalami gangguan dalam proses
pemerolehan dan pemrokduksian bahasa, yang terjadi akibat faktor medis dan faktor lingkungan
sosial.
Manusia yang memiliki fungsi otak dan alat bicara yang normaol dapat berbahasa dengan baik.
Namun, tidak bagi mereka yang memiliki kelainan pada fungsi otak dan alat bicaranya, mereka
cenderung akan mengalami kesulitan ketika berbahasa baik produktif maupun represif.
Sehingga, kemampuan berbahasa mereka akan terganggu.
Gangguan berbahasa dapat diartikan sebagai ketidakmampuan mengeluarkan kata-kata yang
diakibatkan oleh terjadinya kerusakan pada daerah Broca dan Wernicke yang tidak berfungsi
dengan baik, sehingga dapat menyebabkan gangguan berbahasa yang disebut dengan afasia.
Kajian yang mengkaji tentang afasia dan perkembangannya dan menjelaskan tentang gangguan
pemrosesan berbahasa yang diakibatkan oleh kerusakan hemisfer kiri, khususnya pada area
Broca dan Wernicke dinamakan afasiaologi. Afasia memiliki beberapa jenis, yakni
ketidakmampuan ekspresif atau afasia motorik dan ketidakmampuan reseptif atau afasia
sensorik. Afasia motorik terjadi akibat dari terganggunya neuron motorik, yang berfunsi untuk
meneruskan implus dari system saraf pusat ke otot dan kelenjar yang akan melakukan respon
tubuh (lestari, 2009:290). Terganggunya area berbahasa yang berhubungan dengan lobus frontal,
lobus temporal, dan lobus pariental di otak bagian Broca yang berkenaan dengan afasia motorik.

Afasia motorik terbagi menjadi beberapa jenis salah satunya adalah afasia motorik kortikal.
Penderita afasia motorik kortikal mengalami kegagalan dalam menggunakan perkataan untuk
menyampaikan maksud secara verbal, tetapi mereka dapat menyampaikannya megguanakan
ekspresi visual berupa tulisan atau bahasa isyarat. Penderita afasia motorik kortikal tidak
mengalami kendala dalam memahami bahasa lisan maupun bahasa tulisan. Meskipun dalam
memahami bahasa lisan dan bahasa tulisan baik, tetapi muncul kesulitan memahami kalimat
dengan struktur komplek. Di masyarakat, kasus gangguan berbahasa masih dianggap sepele dan
biasa-biasa saja. Hanya sedikit orang yang memahami penyebab afasia motorik. Padahal,
penderita afasia motorik kortikal hanya bisa pasrah dan tidak berdaya. Karena, penderita
memiliki keinginan yang besar untuk mengutarakan pikirannya. Mereka seringkali merasa kesal
karena apa yang diekspresikan tidak dapat dimengerti oleh orang di sekelilingnya, padahal
mereka sudah berusaha keras untuk menyampaikan pikirannya (Mujianto, 2018). Sebagai
masyarakat yang berada di dekat penderita semestinya dapat membantu penderita untuk
menyampaikan apa yang dipikirkan sehingga penderita tidak merasa minder atau berkecil hati
ketika berada di lingkungan masyarakat.
Dalam masalah gangguan berbahasa yang disebabkan oleh kerusakan pada lapisan permukaan
otak bagian Broca menyebabkan penderitanya mengalami kesulitan dalam menyampaikan isi
pikirannya melalui perkataan. Di era revolusi industri 5.0, masyarakat disuguhkan dengan
teknologi-teknogi yang super canggih sehingga nilai komunikasi dengan kontak mata menurun.
Kondisi tersebut membuat seseorang tidak lagi memikirkan perasaan orang lain. Oleh karena itu,
penderita afasia motorik menjadi tidak terlatih untuk berkomunikasi dan kemungkinan untuk
sembuh menjadi lebih kecil (Musaffak, 2015). Tidak adanya orang yang mengajaknya
berkomunikasi membuatnya semakin sulit untuk belajar menyampaikan apa yang ada
dipikirannya melalui bahasa. Lawan bicaranya cenderung memilih untuk bermain gadget
dibandingkan berkomunikasi dengannya. Kondisi tersebut semakin mempersulit penderita untuk
belajar mengutarakan apa yang ada dipirkannya melalui bahasa karena media untuk belajarnya
dan mengenal bahasa berkurang. Di sisi lain penderita afasia motorik kortikal dapat dengan
mudah menyampaikan apa yang ada di pikiran dan perasaannya melalui tulisan melalui pesan
singkat yang dapat disampaikan kepada lawan bicaranya.
Tidak semua perkembangan teknologi berdampak buruk. Bagi penderita afasia motorik kortikal
ini sangat membantu untuk dapat belajar mengenal bahasa lebih banyak dan dapat menambah
wawasannya dengan cara membaca informasi yang ada di internet atau media sosial (Eriyanti,
2017). Penderita juga dapat menciptakan kreativitas melalui teknologi, seperti menulis,
membuat grafis, dan sebagainya. Karena penderita hanya mengalami kesulitan dalam
menyampaikan apa yang ada dalam pikiran dan perasaanya melalui perkataan.

2. PEMBAHASAN

2.1 Gangguan Berbahasa


Berbahasa merupakan proses komunikasi yang menggunakan bahasa. Manusia dapat
mempunyai kemampuan mengeluarkan kata-kata dengan baik, jika daerah Broca dan Wernicke
dapat berfungsi dengan baik. Jika kerusakan terjadi pada daerah tersebut, maka mereka akan
mengalami gangguan berbahasa yang biasa kita kenal dengan afasia. Berbahasa juga dapat
dikatakan sebagai suatu proses dalam mengeluarkan kata-kata atau kalimat dari perasaan dan
pikiran seseoran melalui lisan. Manusia yang tidak mempunyai masalah pada fungsi otak dan
alat bicaranya dapat berbahasa dengan baik. Namun tidak bagi mereka yang mempunyai
masalah pada otak dan alat bicaranya, mereka akan mengalami kesulitan dalam berbahasa atau
dapat dikatakan sebagai gangguan berbahasa. Dibandingkan dengan gangguan berbicara,
gangguang berbahasa memiliki sifat yang lebih kompleks, karena gangguan berbahasa
mencakup kesulitan berkomunikasi dan ketika menerapkan kemampuan bahasa yang perna
diperolehnya, penderita mengalami kegagalan (Indah, 2017:88).
Menurut Field dalam (Indah, 2017:51) gangguan berbahasa perlu dipelajari dengan dua alasan
yang mendasar, alasan tersebut sebagai berikut:
1. Memahami kesulitan penyandang gangguan bahasa dalam bidang linguistik, dan
membandingkannya dengan pemerolehan bahasa secara normal. Sehingga, kita dapat
mempertimbangkan jenis teknik yang dapat membantu anak-anak ketika mengalami
gangguan berbahasa.
2. Teoritis, dengan mempelajari penyimpangan pemerolehan bahasa, baik dari penyandang
dewasa maupun anak-anak, kita dapat mengetahui bagaimana kapasitas perkembangan
pemerolehan bahasa yang normal.
Kemampuan berbahasa merupakan persatuan dari seluruh siste perkembangan manusia.
Kemampuan berbahasa terdiri dari kemampuan motorik, psikologis, emosional, dan perilaku
(Widyastuti, 2008). Faktor-faktor yang mengalami gangguan berbahasa adalah faktor medis dan
faktor lingkungan sosial. Gangguan akibat kelainan fungsi otak dan alat bicara merupakan faktor
medis, sedanhkan gangguan yang diakibatkan oleh lingkungan kehidupan yang jauh dari
kehidupan masyarakat atau manusia yang sewajarnya. Gangguan berbahasa terbagi menjadi dua
kelompok. Pertama, gangguang berbahasa yang diakibatkan oleh kelainan yang dibawa sejak
lahir atau dapat dikatakan sebagai kelainan tumbuh kembang. Kedua, gangguan berbahasa yang
terjadi akibat operasi, stroke, kecelakaan, ataupun penuaan.
Menurut Sidharta dalam (Chaer, 2009:148) gangguan berbahasa dapat dibedakan menjadi tiga
golongan, yaitu
(1) gangguan berbicara;
(2) gangguan berbahasa; dan
(3) gangguan berpikir. Jika penderita gangguan mempunyai daya dengar yang normal, maka
gangguan tersebut dapat diatasi.
Manusia yang mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dan kegagalan dalam menerapkan
kemampuan berbahasa merupakan pengertian dari gangguan berbahasa. Gangguan berbahasa
dapat juga dikatakan sebagai ketidakmampuan untuk mengendalikan organ yang berpengaruh
terhadap kegiatan berbahasa (Firmansyah, 2017). Penderita mengalami kesulitan ketika hendak
menyampaikan pikiran dan perasaannya melalui lisan dalam bentuk kata-kata maupun kalimat.
Dapat dikatakan juga bahwa penderita yang mengalami gangguan berbahasa memiliki kelainan
fungsi otak dan alat bicara, sehingga kemampuan berbahasanya terganggu dan mereka
mengalami kesulitan dalam berbahasa. Afasia memiliki beberapa jenis, yakni ketidakmampuan
ekspresif atau afasia motorik dan afasia resepsif atau afasia sensorik.

2.2 Afasia Motorik


Terjadi akibat dari terganggunya neuron motorik, yang berfunsi untuk meneruskan implus dari
sistem saraf pusat ke otot dan kelenjar yang akan melakukan respon tubuh (lestari, 2009:290).
Afasia motorik berkenaan dengan terganggunya area berbahasa yang berhubungan dengan lobus
frontal, lobus temporal, dan lobus pariental di otak bagian broca.
Afasia motorik ini terjadi akibat kerusakan pada belahan otak yang terletak pada lapisan
permukaan daerah Broca (lesikortikal), lapisan di bawa permukaan Broca (lesi sub kortikal), dan
di daerah otak antara daerah Broca dan daerah Wernicke (lesi transkortikal) yang menyebabkan
penderita mengalami gangguan berbahasa. Penderita memiliki keinginan yang kuat untuk
menyampaikan apa yang dipikirkan dan apa yang ada di perasaannya, akan tetapi keinginan itu
tidak dapat terjadi karena untuk menyampaikannya melalui perkataan penderita mengalami
kesulitan. Sering kali penderita afasia motorik mengalami depresi karena mereka tidak dapat
mengutarakan apa yang dipikirkan dana pa yang ada di perasaannya. Afasia motorik terbagi
menjadi beberapa jenis, antara lain.

a. Afasia Motorik Kortikal


Afasia motorik kortikal merupakan gangguan yang disebabkan oleh hilangnya kemampuan
untuk mengutarakan isi pikiran dengan perkataan (Chaer, 2009:157). Artinya, penderita hanya
bisa menyampaikan isi pikirannya dengan melalui ekspresi visual berupa bahasa tulis atau
bahasa isyarat. Penderita tidak mengalami kendala dalam memahami bahasa lisan dan bahasa
tulisan.
Penderita afasia motorik kortikal mengalami kesulitan ketika berbicara spontan, lambat dalam
berbicara, terbata-bata, monoton, dan cenderung menggunakan kalimat pendek (Indah, 2015:91).
Dalam memahami kalimat dengan struktur komplek mengalami kesulitan sehingga penderita
kurang mampu dalam mengulang kalimat dan kurang mampu dalam penyebutan nama benda.
Hal ini disebabkan oleh kerusakan pada lapisan permukaan daerah Broca.
Untuk kita dapat berkomunikasi dengan dengan penderita afasia motorik kortikal tidak sesulit
berkomunikasi dengan penderita afasia yang memiliki tingkatan penderita lebih parah. Jika
hendak mengatakan sesuatu kepada penderita afasia motorik kortikal, maka katakana saja seperti
berbicara seperti orang normal karena pada dasarnya penderita afasia motorik kortikal tidak
memiliki masalah dalam memahami ujaran yang kira sampaikan. Namun, respon yang diberikan
oleh penderita afsia motorik kortikal hanya berupa bahasa isyarat atau tulisan bukan melalui
ujaran.
Proses berkomunikasi penderita afasia motorik kortikal berbeda dengan manusia normal dalam
hal merespon stimulus. Penderita afasia motorik kortikal mengalami kesulitan dalam
menyampaikan ekspresi verbal dan hanya memberikan respon melalui bahasa isyarat atau
tulisan. Namun, penderita masih bisa memahami apa yang diutarakan oleh orang lain.

b. Afasia Motorik Subkortikal


Afasia motorik subkortikal terjadi akibat posterior di otak (Indah, 2017:79). sehingga penderita
hanya bisa mengeluarkan pikiran dengan cara membeo atau berceloteh tanpa makna yang jelas.
Penderita juga hanya bisa memahami bahasa baik verbal maupun visual melalui tulisan atau
isyarat. Walaupun, terkadang penderita menunjukan ciri bicara spontan dengan cepat namun tak
berarti, intonasi kalimat cukup baik. Meskipun nampaknya fasih, penderita sangat buruk dalam
menyimak bahasa. Semua perkataannya tersimpan utuh di dalam otak. Namun, penderita tidak
dapat menyampaikan perkataan itu karena mengalami kerusakan di lapisan bawah bagian broca,
sehingga perintah untuk mengeluarkan perkataan tidak dapat disampaikan.

c. Afasia Motorik Transkortikal


Penderita afasia motorik transkortikal mengalami cidera pada jarak antara Broca dan Wernicke.
Hubungan langsung antara pengertia dan ekspresi menjadi terganggu. Penderita juga mengalami
kesulitan dalam pengulangan kalimat, namun penderita dapat menyampaikan perkataan yang
singkat dan tepat. Penderita juga dapat berbicara dengan fasih, dalam penyampaian dan
penyimakan nama juga tidak terhambat.

2.3 Afasia Sensorik


Afasia sensorik terjadi akibat adanya kerusakan pada leksikortikal di daerah Wernicke pada
hemisferium yang dominan (Chaer, 2009:158). Kerusakan itu terletak di kawasan asosiatif
antara daerah visual, daerah visual, daerah motorik, dan daerah pendengaran. Penderita afasia
sensorik mengalami gangguan pada apa yang dilihat dan apa yang didengar. Dapat dikatakan
juga penderita afasia sensorik tidak dapat memahami bahasa lisan dan bahasa tulis. Namun,
penderita afasia sensorik masih mempunyai curah verbal yang hanya dipahami oleh dirinya
sendiri maupun orang lain.
Ganggua afasia sensorik sangat kompleks karena adanya kerusakan pada lesikortikal yang
merupakan kawasan asosiatif antara visual, sensorik, motorik dan pendengaran (Indah, 2017:94).
Indah juga menjelaskan bahwa penderita tidak hanya mengalami kesulitan mendengar
penglihatannya juga terganggu. Pada penderita dalam pengertian visual yang tidak terlalu parah
masih dapat beromunikasi secara non-verbal melalui media gambar yang sederhana.

2.4 Gangguan Berbahasa Pada Penderita Afasia Motorik Kortikal


Clark dalam (Indah, 2017:50) mengemukakan bahwa komunikasi merupakan fungsi utama dari
bahasa sejak manusia belajar bahasa. Dua macam aktivitas manusia yang mendasar dalam
komunikasi ialah berbicara dan mendengarkan. Kegiatan komunikasi akan berjalan lancaar
apabila tidak ada gangguan, khususnya gangguan berbahasa pada penderita afasia motorik
kortikal.
Afasia motorik kortikal merupakan gangguan yang disebabkan oleh hilangnya kemampuan
untuk mengutarakan isi pikiran dengan perkataan (Chaer, 2009:157). Artinya, penderita hanya
bisa menyampaikan isi pikirannya dengan menggunakan ekspresi visual berupa tulisan atau
isyarat. Dalam memahami bahasa lisan dan bahasa tulisan tidak mengalami kendala.
Gangguan berbahasa pada penderita afasia motorik kortikal masih banyak terjadi di masyarakat.
Mereka hanya bisa mengutarakan apa yang ada dipikirannya melalui tulisan dan isyarat. Namun,
mengalami kesulitan dalam menyampaikan pikiran dan perasaannya melalui perkataan. Ketika
kita berbicara dengan penderita afasia motorik kortikal mereka dapat memahaminya, sebab
penderita afasia motorik kortikal masih bisa memahami bahasa lisan dan tulisan yang kita
sampaikan.
Purwo (2010:173) menjelaskan bahwa afasia motorik kortikal merupakan gangguan berbahasa
yang mengakibatkan penderita mengalami kehilangan kemampuan untuk mengutarakan isi
pikiran dengan menggunakan perkataan. Penderita sama sekali tidak bisa menggunakan bahasa
verbal, tetapi masih bisa menggunakan bahasa tulis dan bahasa isyarat. Penderita juga dapat
memahami bahasa lisan dan tulisan.
Penderita afasia motorik kortikal berbeda dengan orang bisu dalam hal memahami perkataan
orang lain. Akan tetapi, memiliki kesamaan dalam menyampaikan isi pikiran dan perkataan
yakni melalui bahasa tulisan dan bahasa isyarat. Penderita afasia motorik kortikal mengalami
kesulitan ketika berbicara spontan, lambat dalam berbicara, terbata-bata, monoton,
menggunakan kalimat pendek (Indah, 2017:91). Kerusakan yang terjadi pada lapisan permukaan
daerah Broca menyebabkan penderita mengalami kesulitan dalam memahami kalimat dengan
struktur kompleks dan pengulangan kalimat serta penyebutan nama benda cenderung buruk.
Untuk kita dapat berkomunikasi dengan dengan penderita afasia motorik kortikal tidak sesulit
berkomunikasi dengan penderita afasia yang memiliki tingkatan penderita lebih parah. Jika
hendak mengatakan sesuatu kepada penderita afasia motorik kortikal, maka katakana saja seperti
berbicara seperti orang normal karena pada dasarnya penderita afasia motorik kortikal tidak
memiliki masalah dalam memahami ujaran yang kira sampaikan.
Namun, respon yang diberikan oleh penderita afsia motorik kortikal hanya berupa bahasa isyarat
atau tulisan bukan melalui ujaran.
Penderita afasia motorik kortikal selalu memiliki keinginan untuk mengeluarkan isi pikiran dan
perasaannya melalui perkataan seperti yang dilakukan orang normal, namun keinginan tersebut
sirna karena penderita sangat kesulitan dalam hal tersebut. Penderita dapat mengalami
keterpurukan karena merasa minder tidak bisa seperti manusia yang lain.
Proses berkomunikasi penderita afasia motorik kortikal berbeda dengan manusia normal dalam
hal merespon stimulus. Penderita afasia motorik kortikal mengalami kesulitan dalam
menyampaikan ekspresi verbal dan hanya memberikan respon melalui bahasa isyarat atau
tulisan. Namun, penderita tetap dapat memahami apa yang disampaikan oleh orang lain.
Untuk dapat berkomunikasi dengan penderita afasia motorik kortikal kita tidak perlu bingung
atau tidak harus menggunakan bahasa isyarat. Kita bisa menggunakan bahasa seperti berbicara
kepada orang normal. Penderita afasia motorik akan mengerti apa yang kita sampaikan tanpa
harus menggunakan bahasa isyarat, hanya saja respon yang diberikan oleh penderita afasia
motorik tidak lewat perkataan melainkan bahasa isyarat atau tulisan.
Afasia motorik kortikal menyebabkan gangguan pada perencanaan dan pengungkapan ujaran
(Dardjowodjojo, 2014:214). Gejala afasia motorik kortikal meliputi ketidakmampuan
mengucapkan, ketidakmampuan untuk berbicara spontan, ketidakmampuan untuk membentuk
kata-kata, ketidakmampuan untuk menyebut nama objek, dan terbatasnya perilaku verbal.
Namun, gejala tersebut dapat ditangani dengan perawatan selama beberapa periode di rumah
sakit dan ditangani oleh orang yang ahli dalam bidang komunikasi. Di samping perawatan di
rumah sakit, lingkungan disekitarnya juga harus mendukung, artinya kita biasakan mengajak
penderita berkomunikasi dengan baik dan sesering mungkin agar penderia gejala afasia motorik
dapat mempercepat pemulihannya.
Seseorang yang berada di lingkungan penderita afasia motorik. Jika terlihat atau mulai muncul
gejala afasia motorik kortikal yang ditandai dengan ketidakmampuan mengucapkan,
ketidakmampuan untuk berbicara spontan, ketidakmampuan untuk membentuk kata-kata,
ketidakmampuan untuk menyebutkan nama objek, dan terbatasnya periaku verbal, maka harus
segera dibawa ke rumah sakit untuk menjalankan perawatan agar tidak semakin parah.
Sebagai masyarakat pada umumnya, jika kita mendapati seseorang yang sedang menderita afasia
motorik kortikal jangan diasingkan. Perilaku yang mestinya kita perbuat untuk penderita afasia
motorik kortikal sama dengan perilaku yang kita perbuat untuk orang normal. Penderita afaia
motorik kortikal tidak perlu perlakuan khusus dalam berkomunikasi, karena ia dapat memahami
apa yang orang lain ucapkan tanpa orang itu menggunakan bahasa isyarat. Hanya saja respon
yang diberikan si penderita hanya melalui bahassa isyarat dan tulisan.

3. PENUTUP
Manusia pada dasarnya memiliki kemampuan berbahasa. Namun, pada manusia yang normal
fungsi otak dan alat bicaranya dapat berbahasa dengan baik tanpa mengalami gangguan. Namun,
bagi mereka yang mengalami cidera pada fungsi otak dan alat bicaranya mengalami kesulitan
dalam berbahasa.
Penderita afasia motorik kortikal tidak dapat menyampaikan isi pikiran dan perasaannya melaui
perkataan. Namun, mereka dapat menyampaikannya lewat bahasa tulis atau basa isyarat
layaknya seperti orang bisu. Ketika kita hendak berkomunikasi dengan penderita gangguan
afasia motorik kortikal kita tidak perlu bingung dalam menyampaikan gagasan karena pada
dasarnya mereka dapat memahami apa yang kita sampaikan. Penderita afasia motorik kortikal
akan memberikan respon kepada kita dengan menggunakan bahasa tulisan atau bahasa isyarat.
Gejala afasia motorik kortikal dapat ditangani dengan perawatan secara rutin di rumah sakit dan
ditangani oleh ahli bahasa atau ahli komunikasi.

4. DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik Kajian Teoritik. Jakarta: Rineka Cipta.
Alun, C.N. (2019). Afasia Motorik Gangguan Berbahasa. [Online]
Tersedia: http://research-report.umm.ac.id/index.php/SENASBASA/article/download/
3238/2926 [14 Januari 2023)
Fadli, Rizal. (2021). Afasia. [Online]
Tersedia: https://www.halodoc.com/kesehatan/afasia (14 Januari 2023)

Anda mungkin juga menyukai