GANGGUAN WICARA,
BAHASA, DAN
KOMUNIKASI SOSIAL
PADA ANAK
TERAPIS WICARA
Rexsy Taruna
GANGGUAN
Wicara, Bahasa, dan Komunikasi
Sosial Pada Anak
SMS/WA : 081374316503
Facebook : Penerbit Child
E-mail : child.publishing@gmail.com
Selamat membaca!
Rexsy Taruna
ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ii
Daftar Isi iii
Komunikasi, Bahasa, dan Wicara 1
Gangguan Wicara Pada Anak 3
Gangguan Bahasa Pada Anak 14
Gangguan Komunikasi Sosial Pada Anak 26
Peran & Kompetensi Terapis Wicara 29
Asesmen Sebagai Dasar Diagnosis 32
Referensi 43
iii
BAB 1
Komunikasi, Bahasa, dan Wicara
REXSY TARUNA
PENDAHULUAN
Salah satu cara untuk menggambarkan hubungan antara wicara,
bahasa dan komunikasi ditunjukkan pada Gambar 1, dimana
bahasa adalah bagian dari komunikasi dan wicara adalah bagian
dari bahasa.1 Komunikasi didefinisikan sebagai "transmisi
informasi (pesan) antara pengirim dan penerima.2" Komponen
utama komunikasi antara manusia adalah melalui bahasa, tetapi
komunikasi efektif juga membutuhkan kemampuan lain seperti
kemampuan interaksi sosial dan kognisi sosial.
1
mengekspresikan bahasa menggunakan kemampuan speaking,
disaat yang sama juga dibutuhkan kemampuan wicara
(produksi bunyi wicara, fluensi, dan suara) yang memadai,
dengan kata lain, kemampuan wicara adalah media dari
kemampuan speaking.
2
BAB 2
Gangguan Wicara Pada Anak
REXSY TARUNA
PENDAHULUAN
Gangguan wicara pada anak sangat mudah untuk dideteksi,
namun diagnosis yang akurat membutuhkan asesmen yang
komprehensif oleh terapis wicara. Gangguan wicara (speech
disorders) adalah istilah luas yang mencakup begitu banyak
gangguan, seperti gangguan bunyi wicara (speech sound
disorder), gangguan kelancaran (fluency disorder), dan
gangguan suara (voice disorder).
Voice Disorder
Speech Disorder
Fluency Disorder
3
GANGGUAN BUNYI WICARA
Gangguan bunyi wicara, dalam bahasa ingris dikenal dengan
speech sound disorders; adalah salah satu gangguan pada kasus
perkembangan yang sangat mudah dideteksi, namun sangat
sulit untuk didiagnosis secara akurat jika tidak dilakukan
asesmen dan analisis klinis yang tepat. Tidak semua substitusi
bunyi disebut gangguan artikulasi, dan tidak semua omisi bunyi
disebut sebagai gangguan fonologi. Gangguan artikulasi dan
gangguan fonologi sekilas terlihat sama, sama-sama terdapat
substitusi atau omisi bunyi; atau secara umum terlihat sama-
sama mengalami ketidakjelasan produksi bunyi wicara
(unintelligible speech).
4
Anak dengan gangguan fonologis memiliki kesulitan
mengorganisir sistem bunyi. Ketika seseorang hendak
memproduksi bunyi wicara, tahap pertama dalam
prosesnya adalah mengorganisir sistem bunyi (TINGKAT
FONEMIK), kemudian memprogram sistem bunyi ke
dalam sistem motorik (TINGKAT PEMROGRAMAN
MOTORIK WICARA), dan mengeksekusi gerakan motorik
untuk produksi bunyi wicara (TINGKAT FONETIK).
Diferensial Diagnosis;
Gangguan Bunyi Wicara (Dodd, 2014)
Jika berdasarkan mekanismenya gangguan bunyi wicara
dibedakan menjadi gangguan fonologi, apraksia wicara, dan
gangguan artikulasi, maka Dodd (2014) membedakan
gangguan bunyi wicara menjadi articulation disorder,
phonological delay, consistent atypical phonological disorder,
inconsistent phonological disorders, dan childhood apraxia of
speech.4
Articulation Disorder
Anak dengan gangguan artikulasi memiliki penyimpangan
dalam produksi bunyi wicara di level fonetik secara konsisten,
baik secara spontan ataupun ketika diminta meniru. Intervensi
5
yang terbukti efektif pada jenis gangguan ini adalah motor
based treatment approach. 4
Phonological Delay
Anak dengan phonological delay menunjukkan adanya
keterlambatan dalam maturasi phonological process. Anak
dengan jenis gangguan ini menunjukkan adanya pola
phonological process tipikal seperti anak pada umumnya.
Gangguan ini terjadi pada level fonemik, dan intervensinya
mengacu pada linguistically based treatment approach. 4
6
Childhood Apraxia of Speech (CAS)
Anak dengan CAS menunjukkan kesalahan produksi
yang tidak konsisten dari waktu ke waktu. Kemampuan
produksi dengan cara meniru lebih buruk daripada
secara spontan. Selain itu, anak dengan apraksia wicara
juga ditandai dengan adannya masalah dalam ketepatan
dan kecepatan gerakan sikuensial artikulator (mis,
diadokokinetik), kecepatan bicara yang lambat,
penggunaan kalimat pendek, dan aprosodi.4 Gangguan
ini terjadi pada level pemrograman motorik wicara.
Intervensi yang terbukti efektif pada jenis gangguan ini
adalah dynamic temporal & tactile cuing, rapid syllable
transition treatment, dan PROMPT.3
7
perolehan (acquired disorders). Jika gagap terjadi pada masa
perkembangan (tanpa adanya penyebab neurologis yang
mendasari), maka kondisi ini disebut developmental stuttering.
Sedangkan jika gagap terjadi paska adanya gangguan
neurologis, maka kondisi ini dikenal dengan acquired stuttering.
8
Tabel 1. Gagap Vs Normal Disfluensi
Disfluensi Gagap Normal Disfluensi Referensi
Repetisi Lebih dari 2 Kurang dari 2 7
repetisi repetisi
Perpanjangan Lebih dari 1 Kurang dari 1 8
detik detik
7
Van Riper (1982)
8
Yairi & Lewis (1984)
Perilaku Inti
Perilaku inti (core behaviors) dari gagap adalah adanya
diskontinuitas dalam kelancaran wicara. Van Riper yang
menyebutnya sebagai core behaviors, yang terdiri dari: repetisi,
perpanjangan, dan penghentian.7 Repetisi merupakan gejala
awal yang teramati dan bisa terjadi pada tingkat isolasi, silabel,
ataupun kata. Kemudian, perpanjangan adalah disfungsi dimana
bunyi terbentuk tetapi gerakan artikulator terhenti. Onset
perpanjangan paling sering muncul setelah adanya repetisi.12
Terakhir, penghentian, adalah disfungsi dimana produksi bunyi
dan gerakan artikulator sama-sama terhenti. Gejala ini biasanya
diamati setelah adanya repetisi dan perpanjangan.
9
Jika diamati, adanya hubungan berkelanjutan
(developmental trajectory) antara repetisi, perpanjangan,
dan penghentian jika dilihat dari produksi bunyi dan
gerakan artikulator. Pada repetisi, produksi bunyi dan
gerakan artikulator masih terjadi. Kemudian pada
perpanjangan, produksi bunyi masih terjadi namun
gerakan artikulator terhenti, dan terakhir, pada
pengehentian, produksi bunyi dan gerakan artikulator
sama sekali terhenti.
Perilaku Sekunder
Ketika perilaku inti berlanjut, seseorang akan mulai menyadari
kelemahan atau inferioritasnya. Kesadaran ini menyebabkan
seseorang yang mengalami gagap mengembangkan perilaku
sekunder, baik dilakukan secara random, tanpa sadar ataupun
tersistematis. Perilaku sekunder ini dilakukan dengan harapan
dapat menghilangkan atau mengatasi hadirnya perilaku inti saat
berbicara. Menurut Guitar, perilaku sekunder (accessory
behavior) dibagi menjadi dua; escape behavior dan avoidance
behavior.13 Escape behavior dilakukan dengan tujuan untuk
mengendalikan diri ketika terjadi perilaku inti, seperti berkedip,
menggigit bibir, mengerutkan bibir, mengepalkan tangan,
mengentakkan kaki, menoleh ke salah satu sisi, dll. Sedangkan
avoidance behavior adalah perilaku yang bertujuan untuk
menghindari (atau perilaku antisipasi) kata-kata atau situasi
yang dapat memicu munculnya perilaku inti, seperti interjeksi,
sirkumlokusi, atau revisi.
10
Dinamika Psikologis
Ketika individu gagap menyadari kelemahan atau
inferioritasnya, pada saat yang sama hal tersebut dapat
menyebabkan rendahnya harga diri (low self esteem), perilaku
menarik diri yang dapat mempengaruhi hubungan yang
dibentuk pada masa remaja, dan sangat berisiko untuk
mengalami bullying ataupun bentuk aniaya lainnya. Anak-anak
usia sekolah mungkin saja menghindari presentasi oral di depan
kelas, atau orang dewasa mungkin saja menghindari telepon
dan mulai menarik diri dari situasi sosial.
GANGGUAN SUARA
Gangguan suara, dalam bahasa ingris dikenal dengan voice
disorders, adalah suatu kondisi dimana terjadi penyimpangan
dalam satu atau lebih parameter produksi suara.14 Gangguan
suara dapat diklasifikasikan menjadi dua; afonia dan disfonia.
Berdasarkan etiologinya, disfonia dapat diklasifikasikan menjadi
tiga, yang terdiri dari; functional voice disorders (FVD), organic
voice disorders (OVD), dan psychogenic voice disorders (PVD).15
Seseorang dengan FVD mengalami masalah pada produksi
suara yang disebabkan karena adanya penyalahgunaan fungsi
pita suara, yang pada akhirnya menyebabkan adanya nodules,
polyps, atau traumatic laryngitis.15 Nodules, polyps, dan
traumatic laryngitis pada dasarnya adalah kelainan struktural
pita suara, namun tidak dimasukkan ke dalam organic voice
disorders (OVD), sebab masalah yang mendasarinya adalah
penyalahgunaan pita suara (fungsional). Berbeda dengan OVD,
dimana gangguan produksi suara yang terjadi tidak disebabkan
oleh penyalahgunaan fungsi pita suara. OVD dibagi menjadi
11
dua; structurally-based (mis, cysts, contact ulcers, papillomas,
puberphonia, dll) dan neurologically-based.15 Terakhir adalah
PVD, gangguan suara yang disebabkan karena adanya stres
psikologis, misalnya peristiwa traumatis. 15
Kualitas Suara
Kualitas suara tergantung pada bagaimana getaran dari pita
suara. Jika aproksimasi dari pita suara simetris, maka tidak akan
terjadi masalah pada kualitas suara. Namun, jika aproksimasi
dari pita suara asimetris, terlepas dari apakah disebabkan oleh
patologi laring atau paresis pita suara, maka kualitas suara akan
menjadi harsh, hoarsh, atau breathy.
Intensitas Suara
Intensitas atau kenyaringan mengacu pada tingkat
kenyaringan suara; apakah suara terlalu nyaring, kurang
nyaring, atau kenyaringan yang tidak bervariasi.
Intensitas suara sangat ditentukan oleh tingkat
pendengaran individu, seberapa besar tekanan udara
paru, seberapa besar abduksi pita suara, seberapa besar
pembukaan mulut, dan seberapa efisien koordinasi
respirasi dan fonasi.
12
Nada Suara
Nada mengacu pada seberapa tepat frekuensi yang dihasilkan
jika dibandingkan dengan usia dan jenis kelamin; apakah
frekuensi terlalu tinggi, terlalu rendah, atau dalam batas wajar.
Produksi nada yang efektif bergantung pada tingkat
pendengaran individu, massa pita suara, panjangnya pita suara,
dan koordinasi antara respirasi dan fonasi.
Resonansi
Resonansi mengacu pada manipulasi suara di tingkat
supraglotis. Efektivitas dari fungsi resonansi selama
bicara bergantung pada penutupan velofaringeal dan
kondisi orofaring secara umum. Jika penutupan
velofaringeal tidak adekuat, maka akan terjadi
hipernasalitas, sedangkan jika terjadi obstruksi di
orofaring yang menghambat aliran udara menuju kavitas
oral, maka akan terjadi hiponasalitas.
13
BAB 3
Gangguan Bahasa Pada Anak
REXSY TARUNA
PENDAHULUAN
Berdasarkan klasifikasinya, bahasa dibedakan menjadi bahasa
lisan dan bahasa tulis (Gambar 3).
Listening (Receptive)
Spoken
Speaking (Expressive)
Language
Reading (Receptive)
Written
Writing (Expressive)
14
speaking, reading, dan writing) pada dasarnya memiliki lima unit
(phonology, morphology, syntax, semantic, pragmatic) yang
saling terintegrasi.17
15
berkembangnya morphological reading, dan begitu seterusnya.
Selain itu, hubungan antara kemampuan speaking dengan
writing juga dianggap linier, dimana keduanya dikontrol di
pusat otak yang sama, yaitu Broca’s Area;18 phonological
speaking mempengaruhi phonological writing, morphological
speaking mempengaruhi morphonological writing, dan begitu
seterusnya (Tabel 2).
16
DEFINISI & KLASIFIKASI GANGGUAN BAHASA
Gangguan bahasa secara umum didefinisikan sebagai
penyimpangan dalam pemahaman dan/atau penggunaan
bahasa lisan (spoken) dan/atau bahasa tulis (written).
Berdasarkan definisi ini, maka gangguan bahasa dapat
diklasifikasikan menjadi gangguan bahasa lisan (spoken
language disorders) dan gangguan bahasa tulis (written
language disorders).
Listening (Receptive)
Spoken language
disorders
Language disorders
Speaking (Expressive)
Reading (Receptive)
Written language
disorders
Writing (Expressive)
17
GANGGUAN BAHASA LISAN
Gangguan bahasa lisan, dalam bahasa ingris dikenal dengan
spoken language disorders, merupakan sebuah kondisi dimana
ditemukannya kemampuan listening dan/atau speaking berada
secara signifikan di bawah rata-rata. Gangguan ini pada
akhirnya mempengaruhi komunikasi efektif dan performa
akademis. Gangguan bahasa lisan secara spesifik dapat
dibedakan menjadi dua;
1. listening disorders
a. morphological listening disorders
b. syntax listening disorders
c. semantic listening disorders
2. speaking disorders
a. morphological speaking disorders
b. syntax speaking disorders
c. semantic speaking disorders
18
Diagnosis Gangguan Bahasa Lisan
Gangguan bahasa lisan dapat terjadi dalam bentuk primer,
sekunder, dan perolehan. Gangguan bahasa lisan dikatakan
terjadi secara primer ketika gangguan ini tidak disertai atau
bukan merupakan bagian dari kondisi lain, seperti autism
spectrum disorders (ASD), down syndrome (DS), intellectual
disability (ID), hearing impairment (HI), dll.22 Berbeda dengan
gangguan bahasa lisan yang terjadi secara sekunder. Gangguan
bahasa lisan sekunder merupakan gangguan yang menjadi
bagian dari kondisi lain, seperti autism spectrum disorders, down
syndrome, intellectual disability, hearing impairment, dll.22
19
Spoken Language Disorders
Primary SLI/DLD
Acquired Aphasia;
Acquired LKS
Gangguan Membaca
Gangguan membaca (reading disorders) dapat terjadi jika satu
atau lebih dari lima unit bahasa terganggu (phonology,
morphology, syntax, semantic, pragmatic). Gangguan membaca
20
dapat dan sangat perlu dispesifikasikan berdasarkan unit
bahasa yang terganggu, seperti phonological reading disorders,
morphological reading disorders, syntax reading disorders,
semantic reading disorders, dan pragmatic reading disorder.
Gangguan Menulis
Gangguan menulis (writing disorder) dapat terjadi jika satu atau
lebih dari lima unit bahasa terganggu (phonology, morphology,
syntax, semantic, pragmatic). Gangguan menulis dapat dan
sangat perlu dispesifikasikan berdasarkan unit bahasa yang
terganggu, seperti phonological writing disorder, morphological
writing disorder, syntax writing disorder, semantic writing
disorder, dan pragmatic writing disorder.
21
Jika unit yang terganggu adalah nonphonological
(morphology, syntax, semantic, pragmatic), maka anak
akan dapat menulis namun dipastikan tidak dapat secara
efisien merencanakan apa yang akan ditulis
(mengembangkan gagasan), sulit memprioritaskan
penempatan kata, sulit mengorganisir kata hingga
menjadi suatu kalimat, sulit mengintegrasikan kalimat
satu dengan yang lain untuk menghasilkan teks atau
narasi, dan kurangnya kemampuan untuk mereview dan
merevisi tulisan sehinga membuat orang lain sulit untuk
make an inference atau make a prediction sebuah tulisan
yang dibuat.31 Sebaliknya, jika unit phonological yang
terganggu, anak akan sulit untuk belajar spelling dan
tulisannya seringkali tidak akurat, namun modalitas atau
prasyarat written expression berkembang baik.
22
terjadi secara primer dikenal dengan diagnosis specific learning
disorder.23
Dyslexia
Kemampuan membaca dapat dilihat dari tiga aspek: (1) akurasi
membaca; (2) kelancaran atau fluensi membaca; dan (3)
pemahaman membaca. Akurasi membaca akan dipengaruhi
oleh phonological awareness, sedangkan fluensi membaca
berkembang karena dipengaruhi oleh phonological naming
(atau rapid naming), dan pemahaman membaca berkembang
karena adanya empat komponen yang menjadi pillarnya:
phonological awareness, phonological naming, phonological
memory dan nonphonological.34
23
Gambar 6. Reading Comprehension34
24
pillarnya: core stability, shoulder stability, hand strength, visual
perceptual, dan letter formation. Sedangkan kemampuan written
expression akan berkembang karena adanya pillar seperti
kemampuan phonological, nonphonological, working memory,
processing speed, dan executive function.36
25
BAB 4
Gangguan Komunikasi Sosial Pada Anak
REXSY TARUNA
PENDAHULUAN
Gangguan komunikasi sosial, atau dalam bahasa ingris dikenal
dengan social (pragmatic) communication disorders (SCD),
merupakan istilah diagnosis baru yang digunakan di dalam
DSM-5.23 Anak dengan SCD hampir menyerupai anak dengan
ASD, khususnya Asperger;s Syndrome. Keduanya sama-sama
memiliki masalah komunikasi sosial.23 Pembeda di antara
keduanya adalah gejala perilaku yang repetitif. Anak dengan
SCD tidak memiliki perilaku yang repetitif seperti Asperger’s
Syndrome.23
26
Dalam kebanyakan kasus SCD yang pernah saya temui,
orangtua atau keluarga sering melabel anak ini sebagai
anak yang tidak nyambung jika diajak berkomunikasi.
KOMUNIKASI SOSIAL
Komunikasi sosial merupakan hasil dari integrasi (sinergis)
interaksi sosial, kognisi sosial, pragmatik (verbal dan non-
verbal), dan struktur bahasa (reseptif dan ekspresif).38 Integrasi
dari keseluruh komponen terkait memungkinkan seseorang
untuk dapat menggunakan dan memahami bahasa untuk
tujuan sosial. Ini adalah kemampuan bahasa tingkat tinggi, dan
secara signifikan akan mempengaruhi komunikasi interpersonal,
intrapersonal, dan mempengaruhi performa akademis.
27
mengorganisir susunan kalimat yang tepat, menggunakan
gestur, ekspresi wajah, dan prosodi yang dapat
menggambarkan bahwa ia sedang lapar. Setelah memilih kata,
mengorganisir susunan kalimat, serta menyesuaikannya dengan
komunikasi non-verbal dan prosodi yang tepat, anak juga harus
memiliki kemampuan untuk memulai komunikasi di waktu yang
tepat (kemampuan ini sangat dipengaruhi oleh kognisi sosial,
khususnya kemampuan fungsi eksekutif).
28
BAB 5
Peran & Kompetensi Terapis Wicara
REXSY TARUNA
PENDAHULUAN
Terapis wicara adalah para profesional otonom; layanan terapi
wicara tidak ditentukan atau dikontrol oleh profesional lain atau
terapis wicara memiliki kebebasan dalam melakukan keputusan-
keputusan profesional (professional judgment) di dalam layanan
sesuai dengan standar kompetensi.39,40,41
29
Tabel 3. Language Area
Language Sub-area
Receptive Receptive (content, form, use)
Listening
Reading
Expressive Expressive (content, form, use)
Speaking
Writing
Social communication Social communication
Social interaction
Social cognition
Pragmatic
Pre-linguistic Pre-linguistic
Joint attention
Symbolic play & gesture
Communication intens
Emergent literacy Emergent literacy
Phonological awareness
Rapid serial naming
Phonological memory
Metalinguistic Metalinguistic awareness
Meta-pragmatic
Meta-semantic
30
Articulation (phonetic)
Phonology (phonemic)
Cranial nerve (V, VII, IX, X, XII)
Voice & Resonance Voice & Resonance
Voice Quality
Pitch
Intensity
Respiratory support for speech
Alaryngeal voice
Resonance
Fluency Fluency
Speech rate
31
BAB 6
Asesmen Sebagai Dasar Diagnosis
REXSY TARUNA
PENDAHULUAN
Asesmen merupakan lini pertama dan dianggap sebagai salah
satu hal yang krusial di dalam proses penegakan diagnosis yang
akan dilakukan oleh terapis wicara. Asesmen didefinisikan
sebagai:
32
Tabel 6. Birth – 36 Months
Area Sub-area
Oral sensory- rooting reflex, sucking reflex
motor skill coordination of sucking, swallowing &
breathing
jaw, lip, tongue, velum
Pertimbangkan tingkat kesadaran & kontrol
postural!
Emerging joint attention
language/Early gesture
language skill symbolic play
communication intention
listening (vocabulary, spatial
concept, morphology)
speaking (vocabulary, single words two-
word utterances, two-three
word utterances, morphology)
Speech vocal inventory
phonetic inventory
syllable structure inventory
stimulability
VP/Laryngeal pitch, intensity, voice quality
resonance
respiratory support
33
Tabel 7. Preschool-Age
Area Sub-area
Oral sensory- tactile sensitivity
motor skill jaw, lip, tongue, velum
diadochokinesis rating
Language listening & speaking:
vocabulary
qualitative concept
quantitative concept
spatial concept
time/sequence concept
morphology
syntax
integrative language
pragmatic
34
Tabel 8. School-Age
Area Sub-area
Language listening & speaking:
word classes
following direction
formulated sentences
recalling sentences
understanding spoken paragraph
sentence assembly
semantic relationship
meta-pragmatic
meta-semantic
reading:
accuracy
fluency
comprehension
writing:
mechanic
appropriate form & style
content
35
TUJUAN & METODE ASESMEN
Proses asesmen yang dilakukan terapis wicara menjadi bagian
dari proses diagnostik dan non-diagnostik, yang terdiri dari
berbagai tujuan yang dapat dilihat pada Tabel 9.
36
Penggunaan kombinasi metode asesmen lebih
direkomendasikan di dalam proses pengumpulan data untuk
tujuan diagnostik, sebab kita tidak bisa hanya melihat standard
score dan mendasarkan diagnosis hanya pada informasi
tersebut. Kemudian, ketersediaan sebuah tools di dalam praktek
juga akan sangat membantu terapis wicara untuk memperoleh
data yang valid dan reliabel. Valid artinya mengukur apa yang
hendak diukur, sedangkan reliabel artinya adalah konsistennya
hasil pengkuruan yang diperoleh.42
37
Perhatikan gambar di atas! Pada bagian berwarna biru, kita
dapat melihat bahwa 68% populasi yang memiliki
kemampuan rata-rata berada pada rentan skor 85-115
(tipikal). Dengan kata lain, jika kemampuan seorang anak
pada hasil pengukuran menggunakan norm referenced test
berada di bawah 85, maka kemampuan anak tersebut
berada di bawah rata-rata kelompok seusianya (atipikal),
dan ketika skor pada hasil pengukuran lebih dari 115, maka
kemampuan anak tersebut berada di atas rata-rata
kelompok seusinya. Berikut beberapa contoh tools berjenis
norm referenced test yang sering digunakan oleh terapis
wicara;
Preschool language scale
Clinical evaluation of language fundamentals
Comprehensive assessment of spoken language
Test of Auditory Processing Skill
38
the SLP’s IEP companion
VB-MAPP
assessment of basic language and learning (ABLL)
moving across syllables: training articulatory sound
sequences
Wawancara
Wawancara merupakan metode asesmen yang didapat
dilakukan dengan klien, keluarga atau orang lain yang memiliki
kaitan dengan klien (mis, guru). Pendekatan wawancara terbagi
menjadi tiga fase; fase pembukaan, fase inti, dan fase penutup. 42
39
Pada fase terakhir, terapis wicara merangkum poin-poin utama,
memberikan apresiasi atau ucapan terima kasih atas kesediaan
waktu dan informasi yang diberikan, serta menginfromasikan
langkah-langkah yang akan dilakukan selanjutnya.42
Observasi
Observasi merupakan metode asesmen yang dapat digunakan
dalam layanan asesmen terapis wicara. Secara umum, terapat
dua jenis metode observasi, yaitu observasi terkontrol dan
observasi natural.
Observasi Terkontrol
Observasi terkontrol, biasa dikenal dengan observasi terstruktur
merupakan pendekatan dimana terapis wicara mengamati
secara terstruktur hal-hal yang terkait dengan kemampuan
komunikasi atau menelan. Pada pendekatan ini, terapis wicara
menentukan dimana observasi akan dilakukan, apa yang akan
diobservasi, dan dalam keadaan yang seperti apa klien akan
diobservasi.
Observasi Natural
Observasi natural, atau observasi tidak terstruktur merupakan
jenis observasi dimana terapis wicara mengamati apa yang akan
diamati tanpa ada pengkondisian sebelumnya, artinya observasi
ini dilakukan secara natural, misalnya saat bermain atau saat
menjalani rutinitas harian. Menggunakan kedua pendekatan
observasi ini di dalam proses asesmen menjadi pendekatan
yang sangat membantu untuk menentukan apakah terdapat
perbedaan pada kemampuan dalam keadaan terkontrol jika
dibandingkan dengan keadaan yang lebih naturalistik.
40
Sampel Bahasa Wicara
Sampel bahasa wicara adalah bagian penting dari proses
asesmen terapis wicara. Terdapat beberapa hal penting yang
harus diingat di dalam pengumpulan sampel bahasa wicara42;
1. sampel diperoleh di dalam situasi yang naturalistik, bukan
situasi yang terkontrol
2. ambil sampel sebanyak-banyaknya
3. ambil sampel di berbagai situasi
4. rekam menggunakan audio dan/atau video
5. transkrip semua sampel
6. gunakan simbol fonetik pada sampel yang tidak dapat
dimengerti, atau dapat menggunakan tanda (-) pada
setiap kata yang tidak dapat dimengerti atau tidak dapat
ditranskrip
41
gangguan bahasa, dimana adanya hubungan antara bahasa dan
working memory, speed of processing, dan executive function.
42
REFERENSI
43
9. Ambrose & Yairi. (1999). Normative disfluency data for
early childhood stuttering. Journal of Speech, Language,
and Hearing Research, 42, 895–909.
10. Yairi & Ambrose. (1999). Early Childhood Stuttering I:
Persistency and Recovery Rates. Journal of Speech,
Language, and Hearing Research, Vol. 42, 1097–1112.
11. Campbell, Dollaghan, & Yaruss. (2002). Disorders of
language, phonology, fluency and voice in children:
Indicators for referral. In C. Bluestone, S. Stool, C. Alper, E.
Arjmand, M. Casselbrant, J. Dohar, et al. (Eds.), Pediatric
otolaryngology (4th edn., Vol. 2, pp. 1773–1788).
Philadelphia: Saunders.
12. Yairi. (1997). Disfluency characteristics of childhood
stuttering. In R. F. Curlee & G. M. Siegel (Eds.), Nature and
Treatment of Stuttering: New Directions (pp. 49–78).
Needham Heights, MA: Allyn & Bacon.
13. Guitar. (2006). Stuttering: An Integrated Approach to Its
Nature and Treatment (3rd ed.). Baltimore, MD: Lippincott,
Williams, & Wilkins.
14. Haynes & Pindzola. (2008). Diagnosis and Evaluation in
Speech Pathology (7th ed.). New York: Pearson.
15. Schaeffer. (2012). Assessment of Voice Disorders. In Cyndi
& Fabus, A Guide to Clinical Assessment and Professional
Writing in Speech-Language Pathology, First Edition. USA :
Cengage Learning
16. Boone et al. (2010). The Voice and Voice Therapy (8th ed).
New York: Allyn & Bacon
17. Gleason. (2005). The developmental of language (6 th ed).
Boston, MA: Pearson
44
18. Schoenberg & Scott. (2011). The Little Black Book of
Neuropsychology. A Syndrome-Based Approach. USA:
Springer
19. ASHA. (2018). Language in Brief. Practice Portal
20. Hulme & Snowling. (2013). Developmental disorders of
language learning and cognition. UK: Wiley-Blackwell
21. Scott & Windor. (2000). General language performance
measures in spoken and written narrative amd expository
discourse of school-age children with language learning
disabilities. Journal of Speech, Language & Hearing
Research, 43(2), 324-339
22. ASHA. (2018). Spoken Language Disorders. Practice Portal
23. APA .(2013). Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders, Fifth Edition, DSM-V. Wilson Boulevard :
American Psychiatric Association
24. Leonard. (1998). Children with specific language
impairment. Cambridge, MA: MIT Press
25. Bishop & Norbury. (2008). Speech and language
impairments, In Rutter, M. et al (Eds.), Child and
Adolescent Psychiatry, 5th Edition. Blackwells
26. Rexsy & Auliya (2018). Working and Phonological Memory
in Dyslexia and SLI Children in Indonesia: Preliminary
Studies. Asia Pacific Journal of Developmental Differences.
Vol 5 (2)
27. WHO. (2010). The ICD-10 Classification of Mental and
Behavioural Disorders. Clinical Descriptions and Diagnostic
Guidelines
28. Tomblin et al. (1996). A system for the diagnosis of specific
language impairment in kindergarten children. Journal of
Speech and Hearing Research, 39, 1284–1294.
45
29. Bishop & Snowling. Developmental dyslexia and specific
language impairment: same or different? Psychol Bull
2004; 130: 858–86.
30. Werfel & Krimm. (2017). A Preliminary Comparasion of
Reading Subtypes in a Clinical Sample of Children with
Specific Language Impairment. Journal of Speech,
Language, and Hearing Research. Vol. 60, 2680–2686
31. Flanagan & Alfonso. (2011). Essentials of Specific Learning
Disability Identification. USA; John Wiley & Sons, Inc
32. ASHA. (2018). Written Language Disorders. Practice Portal
33. Individuals with Disabilities Education Improvement Act of
(2004). Pub. L. 108-466. Federal Register, Vol. 70, No.118,
pp. 35802–35803.
34. Pennington. (2009). Diagnosing learning disorders : a
neuropsychological framework, 2nd ed. New York:
Guilford Press
35. International Dyslexia Association. (2010). Knowledge and
practice standards for teachers of reading. Washington,
DC: Author.
36. Floyd, McGrew, & Evans. (2008). The relative contribution
of the Cattell- Horn-Carroll cognitive abilities in explaining
writing achievement during childhood and adolescence.
Psychology in the Schools, 45(2), 132–144.
37. Bishop. (2000). Pragmatic language impairment: A
correlate of SLI, a distinct subgroup, or part of the autistic
continuum? In D. V. M. Bishop & L. B. Leonard (Eds.),
Speech and language impairments in children: Causes,
characteristics, intervention and outcome. Hove, UK:
Psychology Press.
46
38. Adams. (2005). Social communication intervention for
school-age children: rationale and description. Semin
Speech Lang; 25(3): 181-8
39. PMK RI No 24. (2013). Penyelenggaraan Pekerjaan dan
Praktik Terapis Wicara
40. ASHA. (2016). Scope of Pratice in Speech-Language
Pathology
41. Speech Pathology Australia. (2015). Scope of Practice in
Speech Pathology
42. Shipley & McAfee. (2016). Assessment in Speech-
Language Pathology. A Resource Manual (5th ed). USA:
Cengage Learning
47
PENERBIT
CV. CHILD
child.publishing@gmail.com