Anda di halaman 1dari 53

SPEECH SOUND DISORDER, VOICE DISORDER, FLUENCY

DISORDER, SPOKEN LANGUAGE DISORDER, WRITTEN


LANGUAGE DISORDER, SOCIAL (PRAGMATIC)
COMMUNICATION DISORDER

GANGGUAN WICARA,
BAHASA, DAN
KOMUNIKASI SOSIAL
PADA ANAK

TERAPIS WICARA

Rexsy Taruna
GANGGUAN
Wicara, Bahasa, dan Komunikasi
Sosial Pada Anak

Rexsy Taruna, A.Md TW


Gangguan Wicara, Bahasa, dan
Komunikasi Sosial Pada Anak

Penulis : Rexsy Taruna


ISBN : 978-602-61942-3-7
Editor & Layout : Monica
Desain Sampul : Monica
Penerbit : CV. CHILD
Jl. Pisang Blok 8 No 01. Limbungan, Rumbai, Pekanbaru

SMS/WA : 081374316503
Facebook : Penerbit Child
E-mail : child.publishing@gmail.com

Cetakan pertama, September 2018


Hak cipta dilindungi undang-undang
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, buku ini hadir atas izin Allah SWT. Atas


kuasanya, saya diberikan kesehatan dan kesempatan
untuk berbagai pengetahuan mengenai gangguan
wicara, bahasa, dan komunikasi sosial yang terjadi pada
anak-anak. Isi di dalam buku ini hanya bertujuan untuk
memperkenalkan gangguan wicara, bahasa, dan
gangguan komunikasi sosial secara umum. Tulisan di
buku ini jauh dari kesempurnaan yang diharapkan
pembaca. Atas dasar itu, saya sangat senang sekali
diberikan masukan yang didasari untuk perbaikan
tulisan di buku ini. Semoga atas hadirnya buku ini
bermanfaat untuk pembaca. Aamiin

Selamat membaca!
Rexsy Taruna

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ii
Daftar Isi iii
Komunikasi, Bahasa, dan Wicara 1
Gangguan Wicara Pada Anak 3
Gangguan Bahasa Pada Anak 14
Gangguan Komunikasi Sosial Pada Anak 26
Peran & Kompetensi Terapis Wicara 29
Asesmen Sebagai Dasar Diagnosis 32
Referensi 43

iii
BAB 1
Komunikasi, Bahasa, dan Wicara
REXSY TARUNA

PENDAHULUAN
Salah satu cara untuk menggambarkan hubungan antara wicara,
bahasa dan komunikasi ditunjukkan pada Gambar 1, dimana
bahasa adalah bagian dari komunikasi dan wicara adalah bagian
dari bahasa.1 Komunikasi didefinisikan sebagai "transmisi
informasi (pesan) antara pengirim dan penerima.2" Komponen
utama komunikasi antara manusia adalah melalui bahasa, tetapi
komunikasi efektif juga membutuhkan kemampuan lain seperti
kemampuan interaksi sosial dan kognisi sosial.

Gambar 1. Hubungan antara


komunikasi, bahasa, dan wicara1

Bahasa berbeda dari bentuk


komunikasi lain (ekspresi wajah
atau bahasa tubuh). Bahasa
merupakan sistem yang
kompleks dimana struktur
bahasa (semantik, fonologi,
morfologi, sintaksis) dan fungsi bahasa (pragmatik)
digabungkan untuk menghasilkan sejumlah makna yang tak
terbatas. Sebagian besar bahasa dapat diekspresikan
menggunakan kemampuan speaking ataupun writing, dan
sebagian besar manusia dapat memahami bahasa melalui
kemampuan listening dan reading. Ketika seseorang

1
mengekspresikan bahasa menggunakan kemampuan speaking,
disaat yang sama juga dibutuhkan kemampuan wicara
(produksi bunyi wicara, fluensi, dan suara) yang memadai,
dengan kata lain, kemampuan wicara adalah media dari
kemampuan speaking.

Sangat mungkin bagi seseorang untuk memproduksi


bunyi wicara dengan sangat baik namun struktur bahasa
yang digunakan tidak memadai (specific language
impairment), yang mengakibatkan adanya hambatan
dalam berkomunikasi; mungkin bagi seseorang untuk
menghasilkan struktur bahasa dengan sangat baik,
namun komunikasi efektif menjadi tidak tercapai karena
produksi bunyi wicara yang tidak jelas (speech sound
disorders); dan adalah mungkin bagi seseorang untuk
menghasilkan struktur bahasa dan produksi bunyi wicara
dengan sangat baik namun memiliki hambatan dalam
komunikasi efektif yang disebabkan karena lemahnya
komponen-komponen komunikasi itu sendiri (social
communication disorders).

2
BAB 2
Gangguan Wicara Pada Anak
REXSY TARUNA

PENDAHULUAN
Gangguan wicara pada anak sangat mudah untuk dideteksi,
namun diagnosis yang akurat membutuhkan asesmen yang
komprehensif oleh terapis wicara. Gangguan wicara (speech
disorders) adalah istilah luas yang mencakup begitu banyak
gangguan, seperti gangguan bunyi wicara (speech sound
disorder), gangguan kelancaran (fluency disorder), dan
gangguan suara (voice disorder).

Voice Disorder
Speech Disorder

Fluency Disorder

Speech Sound Disorder

Gambar 2. Speech Disorders

3
GANGGUAN BUNYI WICARA
Gangguan bunyi wicara, dalam bahasa ingris dikenal dengan
speech sound disorders; adalah salah satu gangguan pada kasus
perkembangan yang sangat mudah dideteksi, namun sangat
sulit untuk didiagnosis secara akurat jika tidak dilakukan
asesmen dan analisis klinis yang tepat. Tidak semua substitusi
bunyi disebut gangguan artikulasi, dan tidak semua omisi bunyi
disebut sebagai gangguan fonologi. Gangguan artikulasi dan
gangguan fonologi sekilas terlihat sama, sama-sama terdapat
substitusi atau omisi bunyi; atau secara umum terlihat sama-
sama mengalami ketidakjelasan produksi bunyi wicara
(unintelligible speech).

Gangguan Artikulasi Vs Gangguan Fonologi


Gangguan artikulasi adalah gangguan bunyi wicara yang terjadi
pada tingkat FONETIK.3 Anak memiliki kesulitan untuk
memproduksi bunyi tertentu dalam konteks spontan ataupun
meniru. Alasan terjadinya gangguan ini mungkin tidak diketahui
(primer); atau alasannya bisa saja dapat diketahui (sekunder),
misalnya gangguan artikulasi yang terjadi akibat adanya
gangguan motorik yang mendasari (misalnya, cerebral palsy),
akibat gangguan sensoris (misalnya, gangguan pendengaran),
akibat gangguan struktural (misalnya, celah palatum), atau
akibat sindroma tertentu (misalnya, down syndrome). Berbeda
dengan gangguan fonologi, gangguan fonologi merupakan
gangguan bunyi wicara yang terjadi pada tingkat FONEMIK,
atau COGNITIVE-LINGUISTIC LEVEL.3

4
Anak dengan gangguan fonologis memiliki kesulitan
mengorganisir sistem bunyi. Ketika seseorang hendak
memproduksi bunyi wicara, tahap pertama dalam
prosesnya adalah mengorganisir sistem bunyi (TINGKAT
FONEMIK), kemudian memprogram sistem bunyi ke
dalam sistem motorik (TINGKAT PEMROGRAMAN
MOTORIK WICARA), dan mengeksekusi gerakan motorik
untuk produksi bunyi wicara (TINGKAT FONETIK).

Berdasarkan mekamismenya, maka dengan itu gangguan bunyi


wicara dibedakan menjadi tiga;
 gangguan fonologi (gangguan di tingkat fonemik);
 apraksia wicara (gangguan di tingkat pemrograman);
 gangguan artikulasi (gangguan di tingkat fonetik)

Diferensial Diagnosis;
Gangguan Bunyi Wicara (Dodd, 2014)
Jika berdasarkan mekanismenya gangguan bunyi wicara
dibedakan menjadi gangguan fonologi, apraksia wicara, dan
gangguan artikulasi, maka Dodd (2014) membedakan
gangguan bunyi wicara menjadi articulation disorder,
phonological delay, consistent atypical phonological disorder,
inconsistent phonological disorders, dan childhood apraxia of
speech.4

Articulation Disorder
Anak dengan gangguan artikulasi memiliki penyimpangan
dalam produksi bunyi wicara di level fonetik secara konsisten,
baik secara spontan ataupun ketika diminta meniru. Intervensi

5
yang terbukti efektif pada jenis gangguan ini adalah motor
based treatment approach. 4

Phonological Delay
Anak dengan phonological delay menunjukkan adanya
keterlambatan dalam maturasi phonological process. Anak
dengan jenis gangguan ini menunjukkan adanya pola
phonological process tipikal seperti anak pada umumnya.
Gangguan ini terjadi pada level fonemik, dan intervensinya
mengacu pada linguistically based treatment approach. 4

Consistent Atypical Phonological Disorder


Anak dengan consistent atypical phonological disorder
menunjukkan adanya penyimpangan dalam maturasi
phonological process. Anak dengan jenis gangguan ini
menunjukkan satu atau lebih pola phonological process
yang atipikal. Gangguan ini terjadi pada level fonemik,
dan intervensi yang terbukti efektif pada gangguan ini
adalah contrast therapy. 4

Inconsistent Phonological Disorder


Anak dengan inconsistent phonological disorder menunjukkan
kesalahan produksi yang tidak konsisten dari waktu ke waktu.
Kemampuan produksi dengan cara meniru lebih baik daripada
secara spontan. Intervensi yang terbukti efektif pada jenis
gangguan ini adalah core vocabulary approach. 4

6
Childhood Apraxia of Speech (CAS)
Anak dengan CAS menunjukkan kesalahan produksi
yang tidak konsisten dari waktu ke waktu. Kemampuan
produksi dengan cara meniru lebih buruk daripada
secara spontan. Selain itu, anak dengan apraksia wicara
juga ditandai dengan adannya masalah dalam ketepatan
dan kecepatan gerakan sikuensial artikulator (mis,
diadokokinetik), kecepatan bicara yang lambat,
penggunaan kalimat pendek, dan aprosodi.4 Gangguan
ini terjadi pada level pemrograman motorik wicara.
Intervensi yang terbukti efektif pada jenis gangguan ini
adalah dynamic temporal & tactile cuing, rapid syllable
transition treatment, dan PROMPT.3

Kelima jenis gangguan bunyi wicara yang telah dijelaskan di


atas sama-sama memiliki penyimpangan dalam produksi bunyi,
dan yang membedakan di antara kelimanya adalah gejala khas
pada masing-masing jenis dan faktor yang mendasari setiap
gangguan. Oleh karena itu, asesmen komprehensif pada
produksi bunyi wicara sangat dibutuhkan untuk
mengidentifikasi jenis gangguan. Kemudian, perencanaan
program serta teknik intervensi harus mengacu pada masalah
yang mendasari.

GANGGUAN KELANCARAN WICARA


Gagap, dalam bahasa ingris dikenal dengan stuttering, adalah
istilah populer untuk ketidaklancaran wicara (disfluensi). Gagap
dapat terjadi pada kasus ganggguan perkembangan
(developmental disorders) dan dapat juga terjadi dalam bentuk

7
perolehan (acquired disorders). Jika gagap terjadi pada masa
perkembangan (tanpa adanya penyebab neurologis yang
mendasari), maka kondisi ini disebut developmental stuttering.
Sedangkan jika gagap terjadi paska adanya gangguan
neurologis, maka kondisi ini dikenal dengan acquired stuttering.

Menurut ASHA, “gagap adalah peristiwa wicara (speech


event) yang ditandai dengan adanya repetisi,
perpanjangan, atau penghentian produksi bunyi, suku
kata dan kata ketika berbicara spontan. Hal ini mungkin
atau mungkin tidak disertai dengan perilaku sekunder
(mis, perilaku menghindar yang digunakan untuk
menarik diri ketika terjadi gagap)”5. Etiologi gagap pada
masa kanak-kanak (developmental disorders) tampaknya
multifaktorial, dengan komponen genetik yang
signifikan.6

Disfluensi Normal Vs Abnormal


Sebagian besar orang pernah mengalami ketidaklancaran
wicara, namun belum tentu gagap. Ada dua konsep yang harus
dibedakan, pertama ketidaklancaran normal, dan kedua
ketidaklancaran abnormal, atau gagap. Keduanya dapat
dibedakan berdasarkan durasi terjadinya perilaku inti (Tabel 1).

8
Tabel 1. Gagap Vs Normal Disfluensi
Disfluensi Gagap Normal Disfluensi Referensi
Repetisi Lebih dari 2 Kurang dari 2 7
repetisi repetisi
Perpanjangan Lebih dari 1 Kurang dari 1 8
detik detik
7
Van Riper (1982)
8
Yairi & Lewis (1984)

Pada masa awal kehidupan, ketika usia 2-5 tahun, sebagian


besar anak-anak menunjukkan gejala ketidaklancaran wicara,
biasanya ketika mereka belajar menggabungkan satu kata
dengan kata lainnya.9 Sekitar 75%, anak-anak akan recover pada
usia prasekolah tanpa keterlibatan profesional.10 Namun,
prognosis akan menjadi buruk bagi mereka yang
mempertahankan perilaku inti lebih dari usia 7 tahun.11

Perilaku Inti
Perilaku inti (core behaviors) dari gagap adalah adanya
diskontinuitas dalam kelancaran wicara. Van Riper yang
menyebutnya sebagai core behaviors, yang terdiri dari: repetisi,
perpanjangan, dan penghentian.7 Repetisi merupakan gejala
awal yang teramati dan bisa terjadi pada tingkat isolasi, silabel,
ataupun kata. Kemudian, perpanjangan adalah disfungsi dimana
bunyi terbentuk tetapi gerakan artikulator terhenti. Onset
perpanjangan paling sering muncul setelah adanya repetisi.12
Terakhir, penghentian, adalah disfungsi dimana produksi bunyi
dan gerakan artikulator sama-sama terhenti. Gejala ini biasanya
diamati setelah adanya repetisi dan perpanjangan.

9
Jika diamati, adanya hubungan berkelanjutan
(developmental trajectory) antara repetisi, perpanjangan,
dan penghentian jika dilihat dari produksi bunyi dan
gerakan artikulator. Pada repetisi, produksi bunyi dan
gerakan artikulator masih terjadi. Kemudian pada
perpanjangan, produksi bunyi masih terjadi namun
gerakan artikulator terhenti, dan terakhir, pada
pengehentian, produksi bunyi dan gerakan artikulator
sama sekali terhenti.

Perilaku Sekunder
Ketika perilaku inti berlanjut, seseorang akan mulai menyadari
kelemahan atau inferioritasnya. Kesadaran ini menyebabkan
seseorang yang mengalami gagap mengembangkan perilaku
sekunder, baik dilakukan secara random, tanpa sadar ataupun
tersistematis. Perilaku sekunder ini dilakukan dengan harapan
dapat menghilangkan atau mengatasi hadirnya perilaku inti saat
berbicara. Menurut Guitar, perilaku sekunder (accessory
behavior) dibagi menjadi dua; escape behavior dan avoidance
behavior.13 Escape behavior dilakukan dengan tujuan untuk
mengendalikan diri ketika terjadi perilaku inti, seperti berkedip,
menggigit bibir, mengerutkan bibir, mengepalkan tangan,
mengentakkan kaki, menoleh ke salah satu sisi, dll. Sedangkan
avoidance behavior adalah perilaku yang bertujuan untuk
menghindari (atau perilaku antisipasi) kata-kata atau situasi
yang dapat memicu munculnya perilaku inti, seperti interjeksi,
sirkumlokusi, atau revisi.

10
Dinamika Psikologis
Ketika individu gagap menyadari kelemahan atau
inferioritasnya, pada saat yang sama hal tersebut dapat
menyebabkan rendahnya harga diri (low self esteem), perilaku
menarik diri yang dapat mempengaruhi hubungan yang
dibentuk pada masa remaja, dan sangat berisiko untuk
mengalami bullying ataupun bentuk aniaya lainnya. Anak-anak
usia sekolah mungkin saja menghindari presentasi oral di depan
kelas, atau orang dewasa mungkin saja menghindari telepon
dan mulai menarik diri dari situasi sosial.

GANGGUAN SUARA
Gangguan suara, dalam bahasa ingris dikenal dengan voice
disorders, adalah suatu kondisi dimana terjadi penyimpangan
dalam satu atau lebih parameter produksi suara.14 Gangguan
suara dapat diklasifikasikan menjadi dua; afonia dan disfonia.
Berdasarkan etiologinya, disfonia dapat diklasifikasikan menjadi
tiga, yang terdiri dari; functional voice disorders (FVD), organic
voice disorders (OVD), dan psychogenic voice disorders (PVD).15
Seseorang dengan FVD mengalami masalah pada produksi
suara yang disebabkan karena adanya penyalahgunaan fungsi
pita suara, yang pada akhirnya menyebabkan adanya nodules,
polyps, atau traumatic laryngitis.15 Nodules, polyps, dan
traumatic laryngitis pada dasarnya adalah kelainan struktural
pita suara, namun tidak dimasukkan ke dalam organic voice
disorders (OVD), sebab masalah yang mendasarinya adalah
penyalahgunaan pita suara (fungsional). Berbeda dengan OVD,
dimana gangguan produksi suara yang terjadi tidak disebabkan
oleh penyalahgunaan fungsi pita suara. OVD dibagi menjadi

11
dua; structurally-based (mis, cysts, contact ulcers, papillomas,
puberphonia, dll) dan neurologically-based.15 Terakhir adalah
PVD, gangguan suara yang disebabkan karena adanya stres
psikologis, misalnya peristiwa traumatis. 15

Parameter Produksi Suara (Boone et al., 2010)


Menurut Boone et al, terdapat empat parameter dari produksi
suara, yang terdiri dari kualitas, intensitas (kenyaringan), nada,
dan resonansi.16

Kualitas Suara
Kualitas suara tergantung pada bagaimana getaran dari pita
suara. Jika aproksimasi dari pita suara simetris, maka tidak akan
terjadi masalah pada kualitas suara. Namun, jika aproksimasi
dari pita suara asimetris, terlepas dari apakah disebabkan oleh
patologi laring atau paresis pita suara, maka kualitas suara akan
menjadi harsh, hoarsh, atau breathy.

Intensitas Suara
Intensitas atau kenyaringan mengacu pada tingkat
kenyaringan suara; apakah suara terlalu nyaring, kurang
nyaring, atau kenyaringan yang tidak bervariasi.
Intensitas suara sangat ditentukan oleh tingkat
pendengaran individu, seberapa besar tekanan udara
paru, seberapa besar abduksi pita suara, seberapa besar
pembukaan mulut, dan seberapa efisien koordinasi
respirasi dan fonasi.

12
Nada Suara
Nada mengacu pada seberapa tepat frekuensi yang dihasilkan
jika dibandingkan dengan usia dan jenis kelamin; apakah
frekuensi terlalu tinggi, terlalu rendah, atau dalam batas wajar.
Produksi nada yang efektif bergantung pada tingkat
pendengaran individu, massa pita suara, panjangnya pita suara,
dan koordinasi antara respirasi dan fonasi.

Resonansi
Resonansi mengacu pada manipulasi suara di tingkat
supraglotis. Efektivitas dari fungsi resonansi selama
bicara bergantung pada penutupan velofaringeal dan
kondisi orofaring secara umum. Jika penutupan
velofaringeal tidak adekuat, maka akan terjadi
hipernasalitas, sedangkan jika terjadi obstruksi di
orofaring yang menghambat aliran udara menuju kavitas
oral, maka akan terjadi hiponasalitas.

13
BAB 3
Gangguan Bahasa Pada Anak
REXSY TARUNA

PENDAHULUAN
Berdasarkan klasifikasinya, bahasa dibedakan menjadi bahasa
lisan dan bahasa tulis (Gambar 3).

Listening (Receptive)

Spoken

Speaking (Expressive)
Language

Reading (Receptive)

Written

Writing (Expressive)

Gambar 3. Language Component

Berdasarkan Gambar 3, telah diketahui bahwa bahasa lisan


(spoken language) memiliki dua komponen yang terdiri dari
listening dan speaking; sedangkan bahasa tulis (written
expression) memiliki dua komponen yang terdiri dari reading
dan writing. Masing-masing komponen bahasa (listening,

14
speaking, reading, dan writing) pada dasarnya memiliki lima unit
(phonology, morphology, syntax, semantic, pragmatic) yang
saling terintegrasi.17

KORELASI ANTAR KOMPONEN BAHASA


Pemahaman mengenai hubungan atau korelasi antara setiap
komponen menjadi dasar kompetensi di dalam tata kelola anak
yang mengalami gangguan bahasa. Pada dasarnya, telah
diketahui adanya hubungan antara kemampuan listening dan
speaking. Kemampuan listening dan speaking berkembang
secara simultan. Pada anak tipikal, tidak ada kesenjangan atau
diskrepansi yang signifikan antara kemampuan listening dan
speaking, dengan kata lain diskrepansi antara standard score
pada kemampuan listening dan speaking tidak boleh lebih dari
1 Deviasi Standar.

Dalam praktek klinis, sangat mungkin terjadi kasus


dimana kemampuan listening yang rendah akan
mempengaruhi kemampuan speaking secara otomatis.
Namun, tingginya kemampuan listening tidak secara
otomatis meningkatkan kemampuan speaking.

Selain kemampuan listening mempengaruhi kemampuan


speaking, kemampuan listening juga dianggap berhubungan
dengan kemampuan reading. Secara neurologis, kemampuan
listening dan reading dikontrol di pusat otak yang sama, yaitu
Wernicke’s Area.18 Kemudian hubungan diantaranya bersifat
linier; phonological listening mempengaruhi berkembangnya
phonological reading; morphological listening mempengaruhi

15
berkembangnya morphological reading, dan begitu seterusnya.
Selain itu, hubungan antara kemampuan speaking dengan
writing juga dianggap linier, dimana keduanya dikontrol di
pusat otak yang sama, yaitu Broca’s Area;18 phonological
speaking mempengaruhi phonological writing, morphological
speaking mempengaruhi morphonological writing, dan begitu
seterusnya (Tabel 2).

Tabel 2. Language Component19


Spoken Language Written Language
Listening Speaking Reading Writing
Phonology Phonology Phonology Phonology
Morphology Morphology Morphology Morphology
Syntax Syntax Syntax Syntax
Semantic Semantic Semantic Semantic
Pragmatic Pragmatic Pragmatic Pragmatic

Setelah memahami pola hubungan antara komponen bahasa


serta setiap unitnya, maka ketika berhadapan dengan kasus
gangguan bahasa lisan (spoken language disorders), juga harus
dipertimbangkan apakah kasus yang sedang dihadapi berisiko
untuk mengalami gangguan bahasa tulis (written language
disorders), sebab adanya hubungan yang kuat antara spoken
language dan written language seperti yang telah dibahas
sebelumnya.20 Beberapa penelitian mengatakan bahwa anak
prasekolah yang memiliki gangguan bahasa lisan akan
mengalami hambatan di area bahasa tulis ketika mereka berada
di usia sekolah.21

16
DEFINISI & KLASIFIKASI GANGGUAN BAHASA
Gangguan bahasa secara umum didefinisikan sebagai
penyimpangan dalam pemahaman dan/atau penggunaan
bahasa lisan (spoken) dan/atau bahasa tulis (written).
Berdasarkan definisi ini, maka gangguan bahasa dapat
diklasifikasikan menjadi gangguan bahasa lisan (spoken
language disorders) dan gangguan bahasa tulis (written
language disorders).

Listening (Receptive)
Spoken language
disorders
Language disorders

Speaking (Expressive)

Reading (Receptive)
Written language
disorders
Writing (Expressive)

Gambar 4. Language Disorder

17
GANGGUAN BAHASA LISAN
Gangguan bahasa lisan, dalam bahasa ingris dikenal dengan
spoken language disorders, merupakan sebuah kondisi dimana
ditemukannya kemampuan listening dan/atau speaking berada
secara signifikan di bawah rata-rata. Gangguan ini pada
akhirnya mempengaruhi komunikasi efektif dan performa
akademis. Gangguan bahasa lisan secara spesifik dapat
dibedakan menjadi dua;

1. listening disorders
a. morphological listening disorders
b. syntax listening disorders
c. semantic listening disorders
2. speaking disorders
a. morphological speaking disorders
b. syntax speaking disorders
c. semantic speaking disorders

Masalah pada unit phonology tidak dimasukkan ke dalam


ketegori gangguan bahasa. Sebab, dalam penetapan diagnosis,
gangguan pada unit phonology mengacu pada diagnosis speech
sound disorders dan dyslexia (dengan catatan jika gangguan
pada unit phonology terjadi secara primer). Hal yang sama juga
diberlakukan untuk unit pragmatic, dimana unit pragmatic
mengacu pada diagnosis pragmatic language impairment, atau
istilah yang baru-baru ini digunakan adalah social (pragmatic)
communication disorders (dengan catatan jika gangguan pada
unit pragmatic terjadi secara primer).

18
Diagnosis Gangguan Bahasa Lisan
Gangguan bahasa lisan dapat terjadi dalam bentuk primer,
sekunder, dan perolehan. Gangguan bahasa lisan dikatakan
terjadi secara primer ketika gangguan ini tidak disertai atau
bukan merupakan bagian dari kondisi lain, seperti autism
spectrum disorders (ASD), down syndrome (DS), intellectual
disability (ID), hearing impairment (HI), dll.22 Berbeda dengan
gangguan bahasa lisan yang terjadi secara sekunder. Gangguan
bahasa lisan sekunder merupakan gangguan yang menjadi
bagian dari kondisi lain, seperti autism spectrum disorders, down
syndrome, intellectual disability, hearing impairment, dll.22

Gangguan bahasa lisan yang terjadi secara primer


dikenal dengan diagnosis language disorders,23 adapula
yang menggunakan istilah expressive language disorder
(ICD-10-CM), mixed receptive-expressive language
disorder (ICD-10-CM), specific language impairment (SLI),
developmental aphasia, dan developmental language
disorders (DLD). Meskipun banyak istilah yang berbeda-
beda, pada dasarnya semua istilah merepresentasikan
kondisi klinis yang sama. Oleh karena itu, khusus di
dalam buku ini, saya menggunakan istilah SLI untuk
mendeskripsikan gangguan bahasa lisan yang terjadi
secara primer.

Selain gangguan bahasa lisan dapat terjadi dalam bentuk


primer dan sekunder, gangguan bahasa lisan pada anak-anak
juga dapat terjadi dalam bentuk perolehan (acquired disorder),
dan terminologi yang merujuk pada kondisi ini adalah acquired
aphasia dan Landau Kleffner Syndrome (LKS).

19
Spoken Language Disorders

Primary SLI/DLD

Secondary ASD, DS, ID, HI

Acquired Aphasia;
Acquired LKS

Gambar 5. Spoken Language Disorder

GANGGUAN BAHASA TULIS


Gangguan bahasa tulis, dalam bahasa ingris dikenal dengan
written language disorder, merupakan sebuah kondisi dimana
ditemukannya kemampuan reading dan/atau writing berada
secara signifikan di bawah rata-rata. Gangguan ini pada
akhirnya mempengaruhi performa akademis. Gangguan bahasa
tulis secara spesifik dapat dibedakan menjadi dua; reading
disorder dan writing disorder.

Gangguan Membaca
Gangguan membaca (reading disorders) dapat terjadi jika satu
atau lebih dari lima unit bahasa terganggu (phonology,
morphology, syntax, semantic, pragmatic). Gangguan membaca

20
dapat dan sangat perlu dispesifikasikan berdasarkan unit
bahasa yang terganggu, seperti phonological reading disorders,
morphological reading disorders, syntax reading disorders,
semantic reading disorders, dan pragmatic reading disorder.

Jika unit yang terganggu adalah nonphonological


(morphology, syntax, semantic, pragmatic), maka anak
akan dapat membaca namun dipastikan tidak
memahami apa yang dibaca, sebab prasyarat
berkembangnya kemampuan pemahaman membaca
adalah unit nonphonological.29 Sebaliknya, jika unit
phonological terganggu, anak akan sulit untuk belajar
membaca, namun modalitas atau prasyarat pemahaman
membacanya baik.29 Berdasarkan pola gangguan pada
setiap unit, maka gangguan membaca secara umum
dapat diklasifikasikan menjadi tiga; dyslexia
(phonological-based), specific reading comprehension
impairment (nonphonological-based), dan garden variety
reading impairment (phonological + nonphonological-
based). 29,30

Gangguan Menulis
Gangguan menulis (writing disorder) dapat terjadi jika satu atau
lebih dari lima unit bahasa terganggu (phonology, morphology,
syntax, semantic, pragmatic). Gangguan menulis dapat dan
sangat perlu dispesifikasikan berdasarkan unit bahasa yang
terganggu, seperti phonological writing disorder, morphological
writing disorder, syntax writing disorder, semantic writing
disorder, dan pragmatic writing disorder.

21
Jika unit yang terganggu adalah nonphonological
(morphology, syntax, semantic, pragmatic), maka anak
akan dapat menulis namun dipastikan tidak dapat secara
efisien merencanakan apa yang akan ditulis
(mengembangkan gagasan), sulit memprioritaskan
penempatan kata, sulit mengorganisir kata hingga
menjadi suatu kalimat, sulit mengintegrasikan kalimat
satu dengan yang lain untuk menghasilkan teks atau
narasi, dan kurangnya kemampuan untuk mereview dan
merevisi tulisan sehinga membuat orang lain sulit untuk
make an inference atau make a prediction sebuah tulisan
yang dibuat.31 Sebaliknya, jika unit phonological yang
terganggu, anak akan sulit untuk belajar spelling dan
tulisannya seringkali tidak akurat, namun modalitas atau
prasyarat written expression berkembang baik.

Diagnosis Gangguan Bahasa Tulis


Gangguan bahasa tulis dapat terjadi dalam bentuk primer atau
sekunder. Gangguan bahasa tulis dikatakan terjadi secara
primer ketika gangguan ini tidak disertai atau bukan merupakan
bagian dari kondisi lain, seperti autism spectrum disorders (ASD),
down syndrome (DS), intellectual disability (ID), hearing
impairment (HI), epileptic, traumatic brain injury (TBI), sensory-
motoric disorders, dll.32 Berbeda dengan gangguan bahasa tulis
yang terjadi secara sekunder. Gangguan bahasa tulis sekunder
merupakan gangguan yang menjadi bagian dari kondisi lain,
seperti autism spectrum disorders, down syndrome, intellectual
disability, hearing impairment, epileptic, traumatic brain injury,
sensory-motoric disorders, dll. Gangguan bahasa tulis yang

22
terjadi secara primer dikenal dengan diagnosis specific learning
disorder.23

Gangguan belajar spesifik atau specific learning disorder


(SLD) adalah gangguan belajar berbasis bahasa.33
Gangguan ini mempengaruhi prestasi akademis, bisa
disebabkan karena reading disorders (dyslexia), written
expression disorders, dyscalculia, atau kombinasi.23 Jika
SLD disebabkan karena membaca, maka secara teknis
akan muncul diagnosis “SLD with impairment in reading
(dyslexia)”; jika disebabkan karena kemampuan menulis
maka akan muncul “SLD with impairment in written
expression”.23

Dyslexia
Kemampuan membaca dapat dilihat dari tiga aspek: (1) akurasi
membaca; (2) kelancaran atau fluensi membaca; dan (3)
pemahaman membaca. Akurasi membaca akan dipengaruhi
oleh phonological awareness, sedangkan fluensi membaca
berkembang karena dipengaruhi oleh phonological naming
(atau rapid naming), dan pemahaman membaca berkembang
karena adanya empat komponen yang menjadi pillarnya:
phonological awareness, phonological naming, phonological
memory dan nonphonological.34

23
Gambar 6. Reading Comprehension34

Dyslexia adalah gangguan dalam memperoleh dan


mengembangkan kemampuan membaca yang ditandai
dengan adanya masalah utama dalam inakurasi
membaca, disfluensi membaca, dan pemahaman
membaca sebagai konsekuensinya.23 Menurut
International Dyslexia Association, inakurasi dan
disfluensi membaca yang terjadi pada disleksia
disebabkan karena adanya masalah pada unit bahasa,
yaitu phonological unit (phonological awareness dan
phonological naming).35

Written Expression Disorder


Kemampuan menulis, bisa dinilai atau dilihat dari dua aspek dan
sudut pandang: handwriting skill (graphomotor-based) dan
written expression skill (language-based). Handwriting
berkembang karena adanya lima komponen yang menjadi

24
pillarnya: core stability, shoulder stability, hand strength, visual
perceptual, dan letter formation. Sedangkan kemampuan written
expression akan berkembang karena adanya pillar seperti
kemampuan phonological, nonphonological, working memory,
processing speed, dan executive function.36

Jika anak mengalami masalah graphomotor (terminologi


yang bisanya digunakan adalah DISGRAFIA), akan
terlihat adanya masalah pada satu atau lebih komponen
handwriting skill (core stability, shoulder stability, hand
strength, visual perceptual, atau letter formation).
Masalah handwriting ini tentu menghambat proses
belajar, khususnya menulis, namun, secara teknis
disgrafia merupakan salah satu gejala dari diagnosis
developmental coordination disorder,23 bukan merupakan
bagian dari diagnosis specific learning disorder.23

Written expression skill (language-based) adalah kemampuan


untuk berkomunikasi, menyampaikan ide atau gagasan, pikiran,
dan perasaan ke dalam sebuah tulisan. Kesulitan pada
kemampuan ini ditandai dengan adanya masalah pada “process
of expressing oneself in writing”, dan tampak dalam bentuk: (1)
inakurasi spelling; (2) inakurasi penggunaan tata bahasa; (3) dan
tidak terorganisirnya alur karangan tulisan yang dibuat.31

25
BAB 4
Gangguan Komunikasi Sosial Pada Anak
REXSY TARUNA

PENDAHULUAN
Gangguan komunikasi sosial, atau dalam bahasa ingris dikenal
dengan social (pragmatic) communication disorders (SCD),
merupakan istilah diagnosis baru yang digunakan di dalam
DSM-5.23 Anak dengan SCD hampir menyerupai anak dengan
ASD, khususnya Asperger;s Syndrome. Keduanya sama-sama
memiliki masalah komunikasi sosial.23 Pembeda di antara
keduanya adalah gejala perilaku yang repetitif. Anak dengan
SCD tidak memiliki perilaku yang repetitif seperti Asperger’s
Syndrome.23

Anak dengan SCD sangat mungkin memiliki


kemampuan struktur bahasa dan kemampuan wicara
yang baik, namun seringkali menunjukkan
penyimpangan dalam tujuan berkomunikasi,
penyimpangan dalam memahami dan menggunakan
narasi (discourse), penyimpangan dalam
mengintegrasikan aspek verbal dan nonverbal, tidak
memiliki pemahaman tentang kapan waktu yang tepat
untuk memulai komunikasi, tidak memiliki pemahaman
tentang respon verbal dan non-verbal yang diberikan
lawan komunikasi, tidak memiliki kemampuan untuk
mempertahankan topik pembicaraan dan tidak
memahami aturan bergiliran dalam berkomunikasi.37

26
Dalam kebanyakan kasus SCD yang pernah saya temui,
orangtua atau keluarga sering melabel anak ini sebagai
anak yang tidak nyambung jika diajak berkomunikasi.

KOMUNIKASI SOSIAL
Komunikasi sosial merupakan hasil dari integrasi (sinergis)
interaksi sosial, kognisi sosial, pragmatik (verbal dan non-
verbal), dan struktur bahasa (reseptif dan ekspresif).38 Integrasi
dari keseluruh komponen terkait memungkinkan seseorang
untuk dapat menggunakan dan memahami bahasa untuk
tujuan sosial. Ini adalah kemampuan bahasa tingkat tinggi, dan
secara signifikan akan mempengaruhi komunikasi interpersonal,
intrapersonal, dan mempengaruhi performa akademis.

Dinamika Komunikasi Sosial


Niat komunikasi (atau kebutuhan untuk berkomunikasi) adalah
komponen awal dalam pemrosesan komunikasi sosial, dimana
kebutuhan untuk berkomunikasi menjadi dorongan bagi
seseorang untuk beriteraksi, menggunakan bahasa, mempelajari
bahasa dari lingkungan, dan mengimitasi bahasa dari
lingkungan. Dalam prosesnya, niat komunikasi akan
menentukan makna dan struktur bahasa seperti apa yang akan
anak gunakan (kemampuan verbal) untuk berkomunikasi.
Selanjutnya akan terjadi penyesuaian kemampuan non-verbal
dan prosodi dengan makna dan struktur bahasa yang telah
diorganisir. Disini terjadi integrasi antara makna verbal dan
nonverbal yang akan digunakan. Jika seorang anak
berkomunikasi dengan tujuan ingin memberitahu bahwa ia
sedang lapar kepada orangtuanya, maka ia harus memilih kata,

27
mengorganisir susunan kalimat yang tepat, menggunakan
gestur, ekspresi wajah, dan prosodi yang dapat
menggambarkan bahwa ia sedang lapar. Setelah memilih kata,
mengorganisir susunan kalimat, serta menyesuaikannya dengan
komunikasi non-verbal dan prosodi yang tepat, anak juga harus
memiliki kemampuan untuk memulai komunikasi di waktu yang
tepat (kemampuan ini sangat dipengaruhi oleh kognisi sosial,
khususnya kemampuan fungsi eksekutif).

Ketika anak telah mengkomunikasi kebutuhan (ingin


menyampaikan bahwa ia sedang lapar) kepada
orangtuanya, maka kemampuan selanjutnya adalah
kemampuan untuk mengamati respon orangtuanya
(selain kemampuan bahasa, kemampuan ini sangat
dipengaruhi oleh kognisi sosial). Anak harus mampu
untuk mengamati dan memahami respon verbal dan
non-verbal yang diberikan oleh orangtuanya, apakah
respon tersebut menandakan bahwa anak harus
berhenti berkomunikasi, anak harus bergiliran untuk
berkomunikasi (turn taking), atau anak harus
melanjutkan komunikasi dengan topik yang sama (topic
maintenance). Berdasarkan ilustrasi singkat mengenai
dinamika komunikasi sosial, satu hal yang harus
dipahami bahwa, agar seseorang memiliki dinamika
komunikasi sosial seperti yang telah diilustrasikan,
dibutuhkan integrasi antara struktur bahasa, pragmatik,
kognisi sosial, dan interaksi sosial.

28
BAB 5
Peran & Kompetensi Terapis Wicara
REXSY TARUNA

PENDAHULUAN
Terapis wicara adalah para profesional otonom; layanan terapi
wicara tidak ditentukan atau dikontrol oleh profesional lain atau
terapis wicara memiliki kebebasan dalam melakukan keputusan-
keputusan profesional (professional judgment) di dalam layanan
sesuai dengan standar kompetensi.39,40,41

Terapis wicara didefinisikan sebagai profesional kesehatan yang


terlibat dalam praktik profesional di bidang asesmen, diagnosis,
perencanaan penanganan, intervensi, dan re-evaluasi pada
individu dengan gangguan komunikasi dan menelan. Dalam
prakteknya, layanan asesmen dan diagnosis merupakan lini
pertama dan dianggap sebagai suatu hal yang krusial di dalam
layanan terapi wicara. Dalam penetapan diagnosis, terapis
wicara dapat merujuk pada berbagai pedoman, seperti ICD-10,
DSM-5, atau sumber lain yang relevan, seperti IDEA.

KOMPONEN KOMUNIKASI & MENELAN


Komunikasi dan menelan adalah istilah luas yang mencakup
banyak area dan sub-area (Tabel 3-5):
1. Komunikasi ; wicara, bahasa, dan yang terkait40,41
2. Menelan ; fase menelan dan yang terkait40,41

29
Tabel 3. Language Area
Language Sub-area
Receptive Receptive (content, form, use)
Listening
Reading
Expressive Expressive (content, form, use)
Speaking
Writing
Social communication Social communication
Social interaction
Social cognition
Pragmatic
Pre-linguistic Pre-linguistic
Joint attention
Symbolic play & gesture
Communication intens
Emergent literacy Emergent literacy
Phonological awareness
Rapid serial naming
Phonological memory
Metalinguistic Metalinguistic awareness
Meta-pragmatic
Meta-semantic

Tabel 4. Speech Area


Speech Sub-area
Speech sound Speech sound production
Speech motor program
Speech motor execution
Oral sensory-motor

30
Articulation (phonetic)
Phonology (phonemic)
Cranial nerve (V, VII, IX, X, XII)
Voice & Resonance Voice & Resonance
Voice Quality
Pitch
Intensity
Respiratory support for speech
Alaryngeal voice
Resonance
Fluency Fluency
Speech rate

Tabel 5. Swallowing Area


Swallowing Sub-area
Swallowing Swallowing
Preparatory oral
Oral
Pharyngeal
Esophageal
Rooting & sucking reflex
Sucking-swallow-breathing
Oropharyngeal-laryngeal function

31
BAB 6
Asesmen Sebagai Dasar Diagnosis
REXSY TARUNA

PENDAHULUAN
Asesmen merupakan lini pertama dan dianggap sebagai salah
satu hal yang krusial di dalam proses penegakan diagnosis yang
akan dilakukan oleh terapis wicara. Asesmen didefinisikan
sebagai:

“proses pengumpulan data atau informasi yang valid dan


reliabel, kemudian mengintegrasikan (sintesis) dan
menginterpretasikannya.”42

Hasil dari asesmen biasanya adalah diagnosis, yang merupakan


keputusan klinis mengenai ada atau tidaknya adanya gangguan
wicara, bahasa, komunikasi sosial dan/atau menelan, dan
seringkali terkait dengan label diagnostik. Kemudian, hasil dari
diagnostik adalah perencanaan penanganan. Pada dasarnya,
usia kronologis secara langsung dapat mempengaruhi fokus
area yang akan diasesmen, yang dapat dilihat pada Tabel 6-8.

32
Tabel 6. Birth – 36 Months
Area Sub-area
Oral sensory-  rooting reflex, sucking reflex
motor skill  coordination of sucking, swallowing &
breathing
 jaw, lip, tongue, velum
Pertimbangkan tingkat kesadaran & kontrol
postural!
Emerging  joint attention
language/Early  gesture
language skill  symbolic play
 communication intention
 listening (vocabulary, spatial
concept, morphology)
 speaking (vocabulary, single words two-
word utterances, two-three
word utterances, morphology)
Speech  vocal inventory
 phonetic inventory
 syllable structure inventory
 stimulability
VP/Laryngeal  pitch, intensity, voice quality
 resonance
 respiratory support

33
Tabel 7. Preschool-Age
Area Sub-area
Oral sensory-  tactile sensitivity
motor skill  jaw, lip, tongue, velum
 diadochokinesis rating
Language listening & speaking:
 vocabulary
 qualitative concept
 quantitative concept
 spatial concept
 time/sequence concept
 morphology
 syntax
 integrative language
 pragmatic

social communication (social interaction,


social cognition)
Speech  phonetic & phonemic inventory
 syllable structure inventory
 intelligibility
 stimulability
VP/Laryngeal  pitch, intensity, voice quality
 resonance
 respiratory support
Emergent literacy  phonological awareness
 phonological memory
 rapid serial naming

34
Tabel 8. School-Age
Area Sub-area
Language listening & speaking:
 word classes
 following direction
 formulated sentences
 recalling sentences
 understanding spoken paragraph
 sentence assembly
 semantic relationship
 meta-pragmatic
 meta-semantic

social communication (social interaction,


social cognition)

reading:
 accuracy
 fluency
 comprehension

writing:
 mechanic
 appropriate form & style
 content

35
TUJUAN & METODE ASESMEN
Proses asesmen yang dilakukan terapis wicara menjadi bagian
dari proses diagnostik dan non-diagnostik, yang terdiri dari
berbagai tujuan yang dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Tujuan asesmen terapi wicara


Proses diagnostik
Menentukan kemampuan klien tipikal atau atipikal
Membandingkan performa klien dengan kelompok
Membandingkan performa klien dengan kriteria yang ada
Menentukan kelemahan dan kekuatan
Menentukan gap antara subtes
Menentukan gap antara satu kemampuan dengan yang lain
Menentukan tingkat keparahan
Menentukan diagnosis profesional
Menentukan kebutuhan rujukan
Menentukan risiko terjadinya gangguan yang akan terjadi
Proses non-diagnostik
Menentukan area yang menjadi fokus dan prioritas intervensi
Mendesain rencana intervensi
Memberikan tracking system untuk monitoring progress
Menentukan efek intervensi
Menentukan tindak lanjut dari hasil evaluasi
Menentukan penghentian layanan

Agar terapis wicara dapat mencapai tujuan dari asesmen di atas,


terapis wicara dapat menggunakan kombinasi dari berbagai
metode asesmen, diantaranya adalah norm-referenced test,
criteria-referenced test, wawancara, observasi, sampel bahasa
wicara, dan hasil tes profesional terkait (mis, tingkat intelegensi).

36
Penggunaan kombinasi metode asesmen lebih
direkomendasikan di dalam proses pengumpulan data untuk
tujuan diagnostik, sebab kita tidak bisa hanya melihat standard
score dan mendasarkan diagnosis hanya pada informasi
tersebut. Kemudian, ketersediaan sebuah tools di dalam praktek
juga akan sangat membantu terapis wicara untuk memperoleh
data yang valid dan reliabel. Valid artinya mengukur apa yang
hendak diukur, sedangkan reliabel artinya adalah konsistennya
hasil pengkuruan yang diperoleh.42

Norm Referenced Test


Tujuan dari penggunaan metode norm referenced test adalah
untuk membandingkan kemampuan anak dengan kelompok
seusianya, apakah kemampuan anak rata-rata, di bawah rata-
rata, atau di atas rata-rata. Selain untuk membandingkan
kemampuan anak dengan kelompok seusianya, metode ini
seringkali digunakan untuk mengintegrasikan sebuah data
dengan data lain yang relevan secara kuantitatif.

Gambar 6. Bell curve

37
Perhatikan gambar di atas! Pada bagian berwarna biru, kita
dapat melihat bahwa 68% populasi yang memiliki
kemampuan rata-rata berada pada rentan skor 85-115
(tipikal). Dengan kata lain, jika kemampuan seorang anak
pada hasil pengukuran menggunakan norm referenced test
berada di bawah 85, maka kemampuan anak tersebut
berada di bawah rata-rata kelompok seusianya (atipikal),
dan ketika skor pada hasil pengukuran lebih dari 115, maka
kemampuan anak tersebut berada di atas rata-rata
kelompok seusinya. Berikut beberapa contoh tools berjenis
norm referenced test yang sering digunakan oleh terapis
wicara;
 Preschool language scale
 Clinical evaluation of language fundamentals
 Comprehensive assessment of spoken language
 Test of Auditory Processing Skill

Criterion Referenced Test


Metode ini bertujuan untuk membandingkan kemampuan anak
dengan kriteria yang telah ditetapkan, bukan membandingkan
kemampuan anak dengan kelompok seusianya. Metode ini
seringkali digunakan untuk menentukan perencanaan program,
bukan untuk diagnosis. Perpaduan norm dan criterion
referenced test di dalam praktek membantu terapis wicara
untuk merencanakan program yang lebih terintegrasi. Misalnya,
norm referenced test digunakan untuk mengidentifikasi
masalah spesifik pada anak (mis, gangguan pragmatik),
sedangkan criterion referenced test digunakan untuk
menentukan program pragmatik. Beberapa contoh tools yang
dapat digunakan adalah;

38
 the SLP’s IEP companion
 VB-MAPP
 assessment of basic language and learning (ABLL)
 moving across syllables: training articulatory sound
sequences

Wawancara
Wawancara merupakan metode asesmen yang didapat
dilakukan dengan klien, keluarga atau orang lain yang memiliki
kaitan dengan klien (mis, guru). Pendekatan wawancara terbagi
menjadi tiga fase; fase pembukaan, fase inti, dan fase penutup. 42

Pada fase pembukaan, terapis wicara memperkenalkan diri,


menjelaskan tujuan dari wawancara, dan memberitahukan
estimasi waktu yang dibutuhkan selama wawancara.
Kemudian, pada fase inti, terapis wicara berkofus pada riwayat
kasus, riwayat perkembangan, dan riwayat medis. Wawancara
juga dapat dilakukan dengan cara;
1. menyiapkan formulir yang berisikan tentang pertanyaan
atau pernyataan yang harus diisi oleh responden (mis,
orangtua klien). Pernyataan atau pertanyaan harus terkait
dengan identitas diri dan riwayat (kasus, perkembangan,
dan medis). Formulir ini dapat diberikan sebelum
wawancara berlangsung
2. setelah responden mengisi formulir, terapis wicara
selanjutnya mendiskusikan, megklarifikasi, dan
mengkonfirmasi hal-hal yang telah diisi di dalam formulir
kepada responden

39
Pada fase terakhir, terapis wicara merangkum poin-poin utama,
memberikan apresiasi atau ucapan terima kasih atas kesediaan
waktu dan informasi yang diberikan, serta menginfromasikan
langkah-langkah yang akan dilakukan selanjutnya.42

Observasi
Observasi merupakan metode asesmen yang dapat digunakan
dalam layanan asesmen terapis wicara. Secara umum, terapat
dua jenis metode observasi, yaitu observasi terkontrol dan
observasi natural.

Observasi Terkontrol
Observasi terkontrol, biasa dikenal dengan observasi terstruktur
merupakan pendekatan dimana terapis wicara mengamati
secara terstruktur hal-hal yang terkait dengan kemampuan
komunikasi atau menelan. Pada pendekatan ini, terapis wicara
menentukan dimana observasi akan dilakukan, apa yang akan
diobservasi, dan dalam keadaan yang seperti apa klien akan
diobservasi.

Observasi Natural
Observasi natural, atau observasi tidak terstruktur merupakan
jenis observasi dimana terapis wicara mengamati apa yang akan
diamati tanpa ada pengkondisian sebelumnya, artinya observasi
ini dilakukan secara natural, misalnya saat bermain atau saat
menjalani rutinitas harian. Menggunakan kedua pendekatan
observasi ini di dalam proses asesmen menjadi pendekatan
yang sangat membantu untuk menentukan apakah terdapat
perbedaan pada kemampuan dalam keadaan terkontrol jika
dibandingkan dengan keadaan yang lebih naturalistik.

40
Sampel Bahasa Wicara
Sampel bahasa wicara adalah bagian penting dari proses
asesmen terapis wicara. Terdapat beberapa hal penting yang
harus diingat di dalam pengumpulan sampel bahasa wicara42;
1. sampel diperoleh di dalam situasi yang naturalistik, bukan
situasi yang terkontrol
2. ambil sampel sebanyak-banyaknya
3. ambil sampel di berbagai situasi
4. rekam menggunakan audio dan/atau video
5. transkrip semua sampel
6. gunakan simbol fonetik pada sampel yang tidak dapat
dimengerti, atau dapat menggunakan tanda (-) pada
setiap kata yang tidak dapat dimengerti atau tidak dapat
ditranskrip

Sampel bahasa wicara yang baik dapat membantu untuk


menganalisis berbagai komponen bahasa dan wicara, seperti
konten dan bentuk bahasa, penggunaan bahasa, kejelasan
wicara, kecepatan wicara, fonetik dan fonemik, suara, resonansi,
prosodi, dll.

Hasil Tes Profesional Terkait


Sebelum penegakan diagnosis profesional terapis wicara,
seringkali hasil tes dari profesional terkait sangat dibutuhkan,
misalnya hasil tes intelegensi sebagai prasyarat untuk
menegakkan diagnosis specific language impairment (SLI).
Selain itu, hasil tes dari profesional terkait juga dapat dijadikan
sebagai pertimbangan untuk pembuatan perencanaan
penanganan, terutama perencanaan penanganan untuk kasus

41
gangguan bahasa, dimana adanya hubungan antara bahasa dan
working memory, speed of processing, dan executive function.

42
REFERENSI

1. Bishop & Norbury. (2008). Speech and Language


Disorders. In Rutter et al, Rutter’s Child and Adolescent
Psychiatry. USA : Blackwell Publishing
2. McArthur. (1992). The Oxford companion to the English
language. Oxford: Oxford University Press
3. Bernthal, Bankson, Flipsen. (2017). Articulation and
Phonological Disorders: Speech Sound Disorders in
Children. USA : Pearson
4. Dodd. (2014). Differential diagnosis of pediatric speech
sound disorders. Current developmental disorders reports.
1: 189-111
5. American Speech- Language- Hearing Association. (1999).
Terminology pertaining to fluency and fluency disorders:
Guidelines.
6. Yairi, Ambrose, & Cox. (1996). Genetics of stuttering: A
critical review. Journal of Speech and Hearing Research,
39, 771–784.
7. Van Riper. (1982). The Nature of Stuttering (2nd ed.).
Englewood Cliffs, NJ: Prentice- Hall.
8. Yairi & Lewis. (1984). Disfluencies at the onset of
stuttering. Journal of Speech and Hearing Research, 27,
154–159.

43
9. Ambrose & Yairi. (1999). Normative disfluency data for
early childhood stuttering. Journal of Speech, Language,
and Hearing Research, 42, 895–909.
10. Yairi & Ambrose. (1999). Early Childhood Stuttering I:
Persistency and Recovery Rates. Journal of Speech,
Language, and Hearing Research, Vol. 42, 1097–1112.
11. Campbell, Dollaghan, & Yaruss. (2002). Disorders of
language, phonology, fluency and voice in children:
Indicators for referral. In C. Bluestone, S. Stool, C. Alper, E.
Arjmand, M. Casselbrant, J. Dohar, et al. (Eds.), Pediatric
otolaryngology (4th edn., Vol. 2, pp. 1773–1788).
Philadelphia: Saunders.
12. Yairi. (1997). Disfluency characteristics of childhood
stuttering. In R. F. Curlee & G. M. Siegel (Eds.), Nature and
Treatment of Stuttering: New Directions (pp. 49–78).
Needham Heights, MA: Allyn & Bacon.
13. Guitar. (2006). Stuttering: An Integrated Approach to Its
Nature and Treatment (3rd ed.). Baltimore, MD: Lippincott,
Williams, & Wilkins.
14. Haynes & Pindzola. (2008). Diagnosis and Evaluation in
Speech Pathology (7th ed.). New York: Pearson.
15. Schaeffer. (2012). Assessment of Voice Disorders. In Cyndi
& Fabus, A Guide to Clinical Assessment and Professional
Writing in Speech-Language Pathology, First Edition. USA :
Cengage Learning
16. Boone et al. (2010). The Voice and Voice Therapy (8th ed).
New York: Allyn & Bacon
17. Gleason. (2005). The developmental of language (6 th ed).
Boston, MA: Pearson

44
18. Schoenberg & Scott. (2011). The Little Black Book of
Neuropsychology. A Syndrome-Based Approach. USA:
Springer
19. ASHA. (2018). Language in Brief. Practice Portal
20. Hulme & Snowling. (2013). Developmental disorders of
language learning and cognition. UK: Wiley-Blackwell
21. Scott & Windor. (2000). General language performance
measures in spoken and written narrative amd expository
discourse of school-age children with language learning
disabilities. Journal of Speech, Language & Hearing
Research, 43(2), 324-339
22. ASHA. (2018). Spoken Language Disorders. Practice Portal
23. APA .(2013). Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders, Fifth Edition, DSM-V. Wilson Boulevard :
American Psychiatric Association
24. Leonard. (1998). Children with specific language
impairment. Cambridge, MA: MIT Press
25. Bishop & Norbury. (2008). Speech and language
impairments, In Rutter, M. et al (Eds.), Child and
Adolescent Psychiatry, 5th Edition. Blackwells
26. Rexsy & Auliya (2018). Working and Phonological Memory
in Dyslexia and SLI Children in Indonesia: Preliminary
Studies. Asia Pacific Journal of Developmental Differences.
Vol 5 (2)
27. WHO. (2010). The ICD-10 Classification of Mental and
Behavioural Disorders. Clinical Descriptions and Diagnostic
Guidelines
28. Tomblin et al. (1996). A system for the diagnosis of specific
language impairment in kindergarten children. Journal of
Speech and Hearing Research, 39, 1284–1294.

45
29. Bishop & Snowling. Developmental dyslexia and specific
language impairment: same or different? Psychol Bull
2004; 130: 858–86.
30. Werfel & Krimm. (2017). A Preliminary Comparasion of
Reading Subtypes in a Clinical Sample of Children with
Specific Language Impairment. Journal of Speech,
Language, and Hearing Research. Vol. 60, 2680–2686
31. Flanagan & Alfonso. (2011). Essentials of Specific Learning
Disability Identification. USA; John Wiley & Sons, Inc
32. ASHA. (2018). Written Language Disorders. Practice Portal
33. Individuals with Disabilities Education Improvement Act of
(2004). Pub. L. 108-466. Federal Register, Vol. 70, No.118,
pp. 35802–35803.
34. Pennington. (2009). Diagnosing learning disorders : a
neuropsychological framework, 2nd ed. New York:
Guilford Press
35. International Dyslexia Association. (2010). Knowledge and
practice standards for teachers of reading. Washington,
DC: Author.
36. Floyd, McGrew, & Evans. (2008). The relative contribution
of the Cattell- Horn-Carroll cognitive abilities in explaining
writing achievement during childhood and adolescence.
Psychology in the Schools, 45(2), 132–144.
37. Bishop. (2000). Pragmatic language impairment: A
correlate of SLI, a distinct subgroup, or part of the autistic
continuum? In D. V. M. Bishop & L. B. Leonard (Eds.),
Speech and language impairments in children: Causes,
characteristics, intervention and outcome. Hove, UK:
Psychology Press.

46
38. Adams. (2005). Social communication intervention for
school-age children: rationale and description. Semin
Speech Lang; 25(3): 181-8
39. PMK RI No 24. (2013). Penyelenggaraan Pekerjaan dan
Praktik Terapis Wicara
40. ASHA. (2016). Scope of Pratice in Speech-Language
Pathology
41. Speech Pathology Australia. (2015). Scope of Practice in
Speech Pathology
42. Shipley & McAfee. (2016). Assessment in Speech-
Language Pathology. A Resource Manual (5th ed). USA:
Cengage Learning

47
PENERBIT
CV. CHILD
child.publishing@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai