Anda di halaman 1dari 7

PEMEROLEHAN VERBA YANG DIUCAPKAN OLEH PENDERITA

AFASIA SENSORIK PASCA STROKE (STUDI KASUS PADA PAK


SAMIRAN)
Elsa Yunia Gitasari/17020074101

elsayuniag@gmail.com

Abstrak

Gangguan berbahasa meliputi kesulitan dalam berkomunikasi dan kegagalan


menerapkan kemampuan berbahasa. Penderita akan mengalami kesulitan dalam
menyampaikan isi pikiran dan perasaannya melalui lisan baik dalam bentuk kata
maupun kalimat. Dalam penelitian berjudul “Pemerolehan Verba yang Diucapkan
oleh Penderita Afasia Sensorik Pasca Stroke” merupakan sebuah studi kasus
terhadap Pak Samiran. Tujuan dari penelitian yaitu untuk mengetahui perolehan
jumlah verba (kata kerja) yang diucapkan oleh Pak Samiran ketika berbicara
karena adanya gangguan afasia sensorik pasca stroke yang dideritanya Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Dalam
pengumpulan data jumlah kata (verba), menggunakan teknik melihat, merekam,
dan mencatat. Hasil dari penelitian ini berbentuk kata (verba) dan angka hasil
hitung verba yang diperoleh.

Kata Kunci: Afasia sensorik, verba

Abstract

Language disorders include difficulty in communication and failure to apply


language skills. Patients will have difficulty in conveying the contents of their
thoughts and feelings through oral both in the form of words and sentences. In a
study entitled “Acquiring Verbs Spoken by Patients with Post-Stroke Sensory
Aphasia” is a case study of Mr. Samiran. The purpose of the study is to determine
the acquisition of the number of verbs spoken by Mr. Samiran when speaking
because of the sensory impairment of post-stroke sensation he suffered. The
method use in this study is a qualitative descriptive method. In data collection the
number of words (verbs), using the technique of seeing, recording, and make a
note. The results of this study are in the form of words (verbs) and verb count
numbers obtained.

Keyword: sensory aphasia, verbs


PENDAHULUAN

Manusia telah mendapatkan bahasanya sejak ia lahir, tetapi bahasa yang


diujarkannya tidak sekompleks saat ia menanjak dewasa dan memperoleh
berbagai macam kata. Bahasa merupakan salah satu media yang digunakan
manusia dalam berkomunikasi. Manusia tidak akan lepas dari proses penggunaan
bahasa dalam kehidupannya sehari-hari. Bahasa digunakan dalam setiap lini
kehidupan untuk mempermudah proses berkomunikasi. Penggunaan bahasa tidak
mengenal usia, dari orang tua hingga anak kecil, harus menggunakan bahasa
untuk menyampaikan apa yang ingin disampaikannya.

Berbahasa adalah proses dari mengomunikasikan bahasa tersebut.


proses berbahasa tersebut memerlukan pikiran dan perasaan yang dilakukan oleh
otak manusia untuk menghasilkan kata atau kalimat yang mengandung makna.
Alat ucap yang baik akan memudahkan dalam berbahasa. Akan tetapi, seseorang
yang memiliki kelainan pada fungsi otak maupun bicara, tentu memiliki kesulitan
dalam berbahasa, baik secara produktif maupun reseptif, hal ini dapat disebut
sebagai gangguan berbahasa.

Gangguan berbahasa sangat berpengaruh dalam berkomunikasi dan


berbahasa. Lawan bicara atau penerima akan mengalami kesulitan untuk
memahami maksud yang akan disampaikan karena terjadinya gangguan berbahasa
dari penutur yang menyebabkan terjadinya ketidaktepatan maksud.

Pada kasus yang terjadi dengan Pak Samiran, dia dahulunya menderita
penyakit stroke. Beliau sempat dirawat di rumah sakit dan melakukan banyak
terapi medis atau pun non medis seperti pengobatan tradisonal, hingga akhirnya ia
bisa sembuh dari stroke yang menyebabkannya tidak bisa berjalan, berbicara
dengan fasih, dan menggerakkan beberapa anggota tubuhnya. Akan tetapi, pasca
stroke terjadi hal yang di luar dugaan. Pak Samiran masih belum sembuh total,
nyatanya ia masih sering tidak nyambung ketika diajak berkomunikasi. Bahkan
masih belum bisa secara jelas ia melafalkan sebuah kalimat, atau harus sedikit
pelan-pelan.

Berhubung dengan terjadinya ketidaktepatan maksud karena sebuah


gangguan berbahasa pada diri manusia, yaitu pada Pak Samiran maka dibuatlah
sebuah penelitian yang berjudul “Pemerolehan Verba yang Diucapkan oleh
Penderita Afasia Sensorik Pasca Stroke” dengan studi kasus pada Pak Samiran.

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui jumlah pemerolehan


verba ( kata) pada penderita gangguan berbahasa afasia sesnsorik yang terjadi
pada Pak Samiran. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menambah ilmu
dan rasa sosialisai terhadap lingkungan sekitar agar lebih peduli, serta dapat
membantu melancarkan ujian akhir semester supaya ilmu yang diperoleh lebih
luas dan bermanfaat.

KAJIAN TEORI

1. Verba
Verba yang diadopsi dari bahasa Inggris ‘verb’ yang artinya kata kerja.
Memiliki fungsi untuk menerangkan tentang suatu aktivitas atau suatu
perbuatan yang dilakukan oleh seseorang. Menurut Sudaryanto (1991:6),
verba adalah kata yang menyatakan perbuatan, dapat dinyatakan dalam bentuk
perintah, dan bervalensi dengan aspek keberlangsungan yang dinyatakan
dengan kata ‘lagi’ (sedang). Jadi disimpulkan bahwa definisi verba (kata
kerja) yaitu yang memiliki fungsi sebagai penjelas dan menunjukkan suatu
tindakan subjek.
Sebagai salah satu kelas kata dalam tuturan kebangsaan verba memiliki
frekuensi tinggi terhadap pemakaian pada kalimat. Selain itu, verba
berpengaruh besar terhadap penyusuna kalimat. Perubahan struktur kalimat
kebanyakan ditentukan oleh perubahan bentuk verba. Seperti halnya yang
dikatakan oleh Kridalaksana (2008:226), bahwa verba adalah kelas kata yang
biasanya berfungsi sebagai predikat dalam beberapa bahasa lain.

2. Gangguan Berbahasa
Berbahasa berarti berkomunikasi dengan menggunakan suatu bahasa.
Bagaimana kemampuan berbahasa yang dikuasai manusia akan berbanding
lurus dengan perekembangannya sejak ia dilahirkan. Anak yang lahir dengan
alat artikulasi dan auditori yang normal bisa mendengar kata dengan
telinganya dengan baik dan normal serta dapat menirukan kata-kata tersebut.
Ucapan yang dilontarkan mulanya tidak jelas tetapi lambat laun akan menjadi
tegas dan jelas. Proses produksi kata itu akan terus berlangsung sejalan dengan
proses pengembangan dan pengenalan dan pengertian (gnosis dan kognisis).
Dalam proses itu pula terdapat perkataan yang merupakan abstraksi atau kata-
kata yang mengandung makna. Proses belajar berbicara dan mengerti bahasa
adalah proses serebral, yang berarti proses ekspresi verbal dan komprehensi
auditorik dilaksanakan oleh sel-sel saraf di otak yang disebut neuron.
Manusia yang normal fungsi otak dan alat bicaranya, tentu dapat
berbahasa dengan baik. Namun, mereka yang mempunyai gangguan pada
fungsi otak dan alat bicaranya pastinya memiliki kesulitan dalam berbahasa,
baik produktif maupun reseptif. Jadi itulah yang menyebabkan terjadinya
gangguan berbahasa.
Gangguan berbahasa secara garis besar dapat dibagi dua; gangguan faktor
medis dan akibat faktor lingkungan sosial. Gangguan faktor medis adalah
kelainan pada fungsi otak dan alat-alat bicara, sedangkan faktor lingkungan
sosial adalah lingkungan tidak alamiah manusia misalnya tersisih dan
terisolasi dari lingkungan kehidupan masyarakat manusia yang sewajarnya
(Chaer, 2002:148)

3. Afasia Sensorik
Penyebab terjadi afasia sensorik yaitu terjadi akibat adanya kerusakan
pada lesikortikal di daerah wernicke pada hemisferium yang dominan. Yang
terletak di kawasan asosiatif yaitu antara daerah visual, daerah sensorik,
daerah motorik, dan daerah pendengaran. Dari kerusakan ini menyebabkan
bukan saja pengertian dari apa yang didengar terganggu, akan tetapi juga
pengertian yang dilihat juga terganggu. Jadi, penderita afasia sensorik ini
kehilangan dari bahasa lian dan bahasa tulis. Penderita afasia sensorik tidak
hanya mengalami kesulitan dalam mendengar tapi pengertian dari yang
dilihatpun juga terganggu. Penderita dengan visual yang tidak terlalu parah
dapat diupayakan berkomunikasi secara non-verbal dengan media gambar
yang cukup sederhana.
Ketika seseorang mengalami afasia sensorik ia memiliki curah verbal atau
bahasa baru meski bisa jadi dirinya sendiri maupun orang lain tidak
memahami curah verbal tersebut. Curah verbal adalah bahasa baru yang tidak
dimengerti oleh siapa pun. Curah verbalnya terdiri kata-kata, ada yang mirip
dengan kata yang sudah ada, dan juga ada yang tepat dengan kata suatu
bahasa, akan tetapi kebanyakan dari penderita curah verbalnya tidak sama
dengan perkataan bahasa apa pun. Kata baru tersebut diucapkannya dengan
adanya irama, nada, dan melodi yang sesuai dengan bahasa asing yang ada.
Sikap dari penderita biasa saja, seakan-akan ia berdialog dengan bahasa yang
saling mengerti. Akan tetapi, sesungguhnya apa yang telah diucapkannya
maupun apa yang didengar tidak ada yang dipahami.

4. Stroke
Stroke adalah gangguan yang terjadi mendadak karena suplai darah dari
otak, atau adanya pendarah setempat. Apabila seseorang mengalami tekanan
darah tinggi akan mengakibatkan peredaran darah tidak lancar sehingga
mengganggu peredaran darah menuju otak. Gangguan ini akan menyebabkan
pendarahan pada otak dan akan mengakibatkan stroke.
Menurut WHO, stroke adalah manifestasi klinik dari gangguan fungsi
selebral, baik local maupun menyeluruh (global) berlangsung dengan cepat,
lebih dari 24 jamatau akan berakhir dengan kematian,, tanpa ditemukannya
penyebab terjadinya selain gangguan vaskuler.
Pengaruh stroke tidak hanya berdampak pada gangguan berbicara saja.
Ada gangguan-gangguan lain yang tidak berkaitan langsung dengan bahasa,
misalnya penderita Apraksia (Apraxia) yang tidak dapat melakukan gerakan-
gerakan tertentu seperti memindah mainan balok dari tempat A ke tempat B,
meskipun dia tidak menderita cacat lumpuh tangan. Penderita ini akan
kehilangan kemampuan untuk melakukan gerakan moskuler.
Orang yang terkena stroke dapat kehilangan ingatannya. Stroke juga dapat
menyebabkan penyakit prosopagnosia, yakni ketidakmampuan untuk
mengenal wajah. Penderita penyakit ini tidak kenal istri, anak, atau siapapun
(Soenjono Dardjowidjojo, 176:2008).
Dampak stroke sangat bervariasi, bergantung pada bagian otak yang
terserang. Namun, karena kerusakan bisa terjadi dimana saja gangguannya
tidak selalu tunggal. Stroke adalah serangan otak yang secara mendadak
karena penyumbatan pada dinding pembuluh darah di otak. Sehingga aliran
darah terhambat atau pecah lalu terjadi pendarahan. Se-sel otak yang
kekurangan atau kelebihan akan bisa rusak. Kerusakan yang menetap akan
menimbulkan berbagai gangguan motorik ataupun perilaku.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif yang lebih menekankan


pada kualitas atau pendeskripsian hasil penelitian bagi pendekatan studi kasus,
yang juga termasuk dalam analisis deskriptif. Penelitian yang dilakukan terfokus
pada suatu kasus tertentu yang diamati dan dianalisis secara cermat. Kasus yang
dimaksud bisa tunggal atau jamak, misalnya individu atau suatu kelompok.
(Sutedi, 2009:61) Penelitian ini juga bersifat interaktif, yaitu dengan adanya
percakapan atau interaksi atau komunikasi antara subjek kasus yang akan diteliti.
Menurut Arikunto (1986), metode studi kasus sebagai salah satu jenis
pendekatan deskriptif, adalah penelitian yang dilakukan secara intensif, terperinci
dan mendalam terhadap suatu individu, lembaga atau gejala tertentu dengan
subjek yang sempit.
Untuk pengambilan data penelitian menggunakan metode cross-
sectional yang melibatkan individu tertentu, karena (Hurlock 1978:8) norma untuk
berbagai bidang perkembangan diperoleh dengan meneliti berbagai kelompok
selama suatu periode yang singkat.
Subjek penelitian ini adalah Pak Samiran berusia 60 tahun. Tinggal di
Desa Kwadungan, Kecamatan Ngasem, Kabupaten Kediri, Jawa Timur.
Teknik wawancara dari penelitian ini meliputin lembar pertanyaan yang
berisikan list pertanyaan yang akan digunakan untuk bercakap, selain itu topik
yang akan dibahas saat berkomunikasi dengan subjek.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Dari hasil penelitian pada kasus gangguan berbahasa pada Pak Samiran.
Hal pertama yang dilakukan yaitu melakukan iteraksi dengan keluarganya.
Membuat sebuah konfirmasi tentang penelitian yang akan dilakukan pada Pak
Samiran.
Pertama, dilakukan persiapan lembar pertanyaan yang akan ditanyakan
pada Pak Samiran, serta membuat list pertanyaan yang meliputi, menanyakan
seputar keluarga, kegiatan masa muda untuk membuatnya terpancing bercerita
atau berbicara, dan pertanyaan seputar pendapatnya tentang masa yang sekarang.
Kedua, memberikannya sebuah benda ia sukai atau benda yang mudah
dipegang tangan, yang menarik sehingga membuat beliau berkomentar tentang
benda tersebut.
Ketiga, akan disediakan sebuah lembar kertas untuk beliau menulis,
meski beliau sedikit kesusuhan melakukannya, akan tetapi masih bisa dilakukan
sedikit demi sedikit. Dari penulisan tersebut akan dapat diketahui atau diperoleh
suatu kata atau kalimat yang selaras atau tidaknya dengan hal yang dimaksudkan
oleh otak atau pikirannya.
Berikut ini adalah data hasil penelitian pemerolehan verba pada Pak
Samiran yang tidak jauh dari ilmu linguistik kajian morfologis, pragmatik, dan
sintaksis.
Verba Morfologis JUMLAH
Dasar makan, minum, tidur,
5
duduk, bangun
Afiksasi Berjalan, berlari,
menyapu, memasak,
bekerja, menangis, 9
makanan, disuapin,
berlatih
Reduplikasi Berlari-lari, berjalan-
jalan, melompat-lompat,
5
berteriak-teriak, menari-
nari,
Komposisi Bunga desa 1
Total 20

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada Pak Samiran penderita afasia
sensorik pasca stroke. Maka dapat diperoleh sebanyak 20 kata verba, yang juga
dipengaruhi oleh proses morfologis terdiri dari 9 kata kerja berafiksasi, 5 kata
kerja dasar, 5 kata kerja bereduplikasi, dan 1 kata yang mengalami komposisi.
Dari hasil data perolehan verba tersebut, Pak Samiran mengatakan kata
dalam kalimat tidak dengan jelas pengucapannya dan tidak nyambung dengan apa
yang telah ditanyakan. Jadi, hasil tersebut tercatat sesuai apa yang dikatakan
meski tidak nyambung, karena adanya gangguan fungsi otak yang mentransfer
bahasa. Sehingga hanya diperoleh 2 verba yang terjawab selaras dengan
pertanyaan.

SIMPULAN
Gangguan berbahasa dapat dipengaruhi oleh berbagai hal, salah satunya yaitu
pasca terjadinya penyakit stroke pada penderita, sehingga berdampak pada bahasa
dan ingatan yang dimiliki oleh Pak Samiran. Beliau hanya dapat menjawab
pertanyaan dengan sesuai atau selaras sejumlah dua pertanyaan saja. Dengan
masing-masing verba diperoleh dari ucapan atau jawaban yang tidak selaras
dengan pertanyaan yang ditanyakan untuknya. Jumlah verba yang diucapkan
beliau sebanyak 20 kata. Itu pun yang selaras dengan pertanyaan hanya dua verba
saja.

DAFTAR REFERENSI

Dardjowidjojo, Soejono. 2012. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa


Manusia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Chaer. 2009. Psikolinguistik: Kajian Teoritik. Jakarta: Rineka Cipta.
Tarigan. 1986. Psikolinguistik. Bandung: Angkasa

Nuraeni, Leny. 2015. Pemerolehan Morfologi(verba) Pada Anak Usia 3,4 dan 5
tahun(Suatu Kajian Neuro Psikolinguistik). Tunas Siliwangi. Volume 1 Nomor 1

https://www.academia.edu/27606714/ANALISIS_GANGGUAN_BERBICARA

Anda mungkin juga menyukai