Anda di halaman 1dari 7

LAPORAN PENDAHULUAN AFASIA

A. Definisi
Afasia adalah gangguan fungsi bahasa yang disebapkan cedera atau
penyakit pusat otak. Ini termasuk gangguan kemapuan membaca dan menulis
dengan baik, demikian juga bercakap-cakap, mendengar berhitung,
menyimpulkan dan pemahaman terhadap sikap tubuh. Akhirnya digunakan
gambaran afasia yang diprsentasikan. Kira-kira 1-1,5 juta orang dewasa
diamerika mengalami kecacatan kronik afasia.(Smeltzer dan Bare, 2002).
Afasia adalah gangguan berbahasa akibat gangguan serebrovaskuler
hemisfer dominan, trauma kepala, atau proses penyakit. Terdapat beberapa
tipe afasia, biasanya digolongkan sesuai lokasi lesi. Semua penderita afasia
memperlihatkan keterbatasan dalam pemahaman, membaca, ekspresi verbal,
dan menulis dalam derajat berbeda-beda.
Afasia biasanya berarti hilangnya kemampuan berbahasa setelah
kerusakan otak. Dalam hal ini pasien menunjukkan gangguan dalam
memproduksi dan / atau memahami bahasa.

B. Etiologi
Afasia biasanya berarti hilangnya kemampuan berbahasa setelah
kerusakan otak. Kata afasia perkembangan (sering disebut sebagai disfasia)
digunakan bila anak mempunyai keterlambatan spesifik dalam memperoleh
kemampuan berbahasa. Dalam hal ini, perkembangan kemampuan berbahasa
yang tidak sebanding dengan perkembangan kognitif umumnya.
Stroke, tumor otak, cedera otak, demensi dan penyakit lainnya dapat
mengakibatkan gangguan berbahasa.

C. Tanda Gejala
1. Gangguan tonus otot, terjadi kelemahan umum
2. Gangguan penglihatan
3. Gangguan tingkat kesadaran
4. Disritmia/gangguan irama jantung

1
5. Emosi yang labil
6. Kesulitan menelan
7. Gangguan rasa pengecapan dan penciuman
8. Afasia (gangguan fungsi bahasa), mungkin afasia motorik (kesulitan untuk
mengungkapkan.

D. Patofisiologi
Afasia terjadi akibat kerusakan pada area pengaturan bahasa/bicara di otak
pada manusia, fungsi kemampuan bahasa mengalami lateralisasi ke hemisfer
kiri otak, pada orang afasia sebagian besar lesi terletak pada hemisfer kiri.
Area bronca 44 dan 45 broadman:bertanggung jawab atas pelaksanaan
motorik bicara, lesi pada area ini akan mengakibatkan kesulitan dalam
artikulasi tetapi penderita bisa memahami bahasa dan tulisan.
Afasia dapat terjadi sekunder terhadap cedera otak atau degenerasi dan
melibatkan belahan otak kiri ke tingkat yang lebih besar dari kanan.
Kebanyakan aphasias dan gangguan terkait akibat stroke, cedera kepala, tumor
otak, atau penyakit degeneratif.

E. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan kelancaran berbicara. Seseorang disebut berbicara , lancar
bila bicara spontannya lancar, tanpa tertegun-tegun untuk mencari Kata
yang diinginkan.
2. Kelancaran berbicara verbal merupakan refleksi dari efisiensi menemukan
kata. Defek yang ringan dapat dideteksi melalui tes kelancaran,
menemukan kata yaitu jumlah kata tertentu yang dapat diproduksi selama
jangka waktu yang terbatas. Misalnya menyebutkan sebanyak-banyaknya
nama jenis hewan selama jangka waktu satu menit, ulnu menyebutkan
kata-kata yang mulai dengan huruf tertentu, misalnya huruf S atau huruf B
dalam satu menit.
Skor : Orang normal umumnya mampu menyebutkan 18 - 20 nama hewan
selama 60 detik, dengan variasi I 5 - 7. Usia merupakan faktor yang

2
berpengaruh secara bermakna dalam tugas ini. Orang normal yang berusia
di bawah 69 tahun akan mampu menyebutkan 20 nama hewan dengan
simpang baku 4,5.
Cara Pemeriksaan:
Pasien disuruh mengulang apa yang diucapkan oleh pemeriksa. Mula-mula
sederhana kemudian lebih sulit. Contoh:
a. Map
b. Bola
c. Kereta
d. Rumah Sakit
e. Sungai Barito
Pemeriksa harus memperhatikan apakah pada tes repetisi ini didapatkan
parafasia, salah tatabahasa, kelupaan dan penambahan. Orang normal
umumnya mampu mengulang kalimat yang mengandung 19 suku-kata.
3. Pemeriksaan Menamai Dan Menemukan Kata
Kemampuan menamai objek merupakan salah satu dasar fungsi berbahasa.
Hal ini sedikit-banyak terganggu pada semua penderita afasia. Dengan
demikian, semua tes yang digunakan untuk menilai afasia mencakup
penilaian terhadap kemampuan ini. Kesulitan menemukan kata erat
kaitannya dengan kemampuan menyebut nama (menamai) dan hal ini
disebut anomia.
Penilaian harus mencakup kemampuan pasien menyebutkan nama objek,
bagian dari objek, bagian tubuh, warna, dan bila perlu gambar geometrik,
simbol matematik atau nama suatu tindakan. Dalam hal ini, perlu
digunakan aitem yang sering digunakan (misalnya sisir, arloji) dan yang
jarang ditemui atau digunakan (misalnya pedang). Banyak penderita afasia
yang masih mampu menamai objek yang sering ditemui atau digunakan
dengan cepat dan tepat, namun lamban dan tertegun, dengan sirkumlokusi
(misalnya, melukiskan kegunaannya) atau parafasia pada objek yang
jarang dijumpainya.
4. Pemeriksaan Sistem Bahasa

3
Evaluasi sistem bahasa harus dilakukan secara sistematis. Perlu
diperhatikan bagaimana pasien berbicara spontan, komprehensi
(pemahaman), repetisi (mengulang) dan menamai (naming). Membaca dan
menulis harus dinilai pula setelah evaluasi bahasa lisan. Selain itu, perlu
pula diperiksa sisi otak mana yang dominan, dengan melihat penggunaan
tangan (kidal atau kandal).Dengan melakukan penilaian yang sistematis
biasanya dalam waktu yang singkat dapat diidentifikasi adanya afasia serta
jenisnya. Pasien yang afasia selalu agrafia dan sering aleksia, dengan
demikian pengetesan membaca dan menulis dapat dipersingkat. Namun
demikian, pada pasien yang tidak afasia, pemeriksaan membaca dan
menulis harus dilakukan sepenuhnya, karena aleksa atau agrafia atau
keduanya dapat terjadi terpisah (tanpa afasia).
5. Pemeriksaan Penggunaan Tangan (Kidal Atau Kandal)
Penggunaan tangan dan sisi otak yang dominan mempunyai kaitan yang
erat Sebelum menilai bahasa perlu ditentukan sisi otak mana yang
dominan, dengan melihat penggunaan tangan. Mula-mula tanyakan
kepadn p irsion apakah ia kandal (right handed) atau kidal. Banyak orang
kidal telah illnjarkan sejak kecil untuk menulis dengan tangan kanan.
Dengan ilcmikian, mengobservasi cara menulis saja tidak cukup untuk
menentukan npakah seseorang kandal atau kidal. Suruh pasien
memperagakan tangan mana yang digunakannya untuk memegang pisau,
melempar bola, dsb. Tanyakan pula apakah ada juga kecenderungannya
menggunakan tangan yang lainnya. Spektrum penggunaan tangan
bervariasi dari kandal yang kuat; kanan sedikit lebih kuat dari kiri; kiri
sedikit lebih kuat dan kanan dan kidal yang kuat. Ada individu yang
kecenderungan kandal dan kidalnya hampir sama (ambi-dextrous)
6. Pemeriksaan berbicara - spontan
Langkah pertama dalam menilai berbahasa ialah mendengarkan
bagaimana pasien berbicara spontan atau bercerita. Dengan mendengnrknn
pasien berbicara spontan atau bercerita, kita dapat memperoleh data yang

4
sangat berharga mengenai kemampuan pasien berbahasa. Cara Ini tidak
kalah pentingnya dari tes-tes bahasa yang formal.
Kita dapat mengajak pasien berbicara spontan atau berceritera melalui
pertanyaan berikut : Coba ceritakan kenapa anda sampai dirawat di rumah
sakit. Coba ceritakan mengenai pekerjaan anda serta hobi anda.
Bila mendengarkan pasien berbicara spontan atau bercerita, perhatikan:
a) Apakah bicaranya pelo, cadel, tertegun-tegun, disprosodik (irama, ritme,
intonasi bicara terganggu). Pada afasia sering ada gangguan ritme dan
irama (disprosodi).
b) Apakah ada afasia, kesalahan sintaks, salah menggunakan kata
(parafasia, neologisme), dan perseverasi. Perseverasi sering dijumpai pada
afasia. Kadang afasia ditandai oleh kesulitan menemukan nama,
sedangkan modalitas lainnya relatif utuh. Pasien mengalami kesulitan
menamai sesuatu benda. Pada pasien demikian kita dengar ungkapan
seperti : "anu, itu, kau, kau tahu kan, ya anu itu". Afasia amnestik ini
sering merupakan sisa afasia yang hampir pulih, pada afasia yang tersebut
terdahulu, namun dapat juga dijumpai pada berbagai gangguan otak yang
difus. Afasia amnestik mempunyai nilai lokalisasi yang kecil.

F. Penatalaksanaan

Meningkatkan harga diri positif. Pasien afasia harus diberi banyak


pengaman psikologis bila memungkinkan. Kesabaran dan pengertian
dibutuhkan sekali pada saat pasien belajar. Dan pasien diperlakukan sebagai
orang dewasa. Suatu tindakan dengan cara yang tidak terburu-buru,
dikombinasi dengan dorongan, kesabaran, dan keinginan untuk menyediakan
waktu. Pembelajaran ulang wicara dan keterampilan bahasa memerlukan
waktu beberapa tahun.
Individu afasia mengalami defresi akibat ketidak mampuan bercakap-
cakap dengan orang lain. Tidak dapat berbicara melalui telpon atau menjawab

5
pertanyaan, atau mengungkapkan diri melalui percakapan menyebapkan
marah, frustasi, takut tentang masa depan, dan perasaan hilangnya harapan.
Meningkatkan Kemampuan Komunikasi. Untuk meningkatkan
kemampuan komunikasi, pasien afasia perlu dipimpin dalam upaya-upaya
mereka untuk meningkatkan keterampilan komunikasi. Keterampilan
mendengar dan juga berbicara ditekankan pada program rehabilitas. Pasien
juga dapat dibantu dengan papan komunikasi, yang menampilkan gambar-
gambar, sesuai kebutuhan yang diminta dan diungkapkan. Papan ini dapat
menerjemahkan kedalam bahasa yang luas. Pasien harus dianjurkan untuk
mengungkapkan kebutuhan pribadi dan menggunakan papan tulis bila tidak
mampu mengekspresiakan kebutuhan.
Meningkatkan Stimulasi Pendengaran. Pertama pasien dianjurka
untuk mendengar. Berbicara adalah berpikir keras, dan penekanannya adalah
berfikir. Pasien harus berpikir dan menyusun pesan-pesan yang masuk dan
merumuskan suatu respons. Mendengar membutuhkan upaya mental, namun
pasien berjuang melawan kebosanan dan membutuhkan waktu untuk mengatur
jawaban.
Bina wicara (speech therapy) pada afasia didasarkan pada :
1. Dimulai seawal mungkin. Segera diberikan bila keadaan umum
pasien sudah memungkinkan pada fase akut penyakitnya.
2. Dikatakan bahwa bina wicara yang diberikan pada bulan
pertama sejak mula sakit mempunyai hasil yang paling baik.
3. Hindarkan penggunaan komunikasi non-linguistik (seperti
isyarat).
4. Program terapi yang dibuat oieh terapis sangat individual dan
tergantung dari latar belakang pendidikan, status sosial dan
kebiasaan pasien.
5. Program terapi berlandaskan pada penurnbuhan motivasi
pasien untuk mau belajar (re-learning) bahasanya yang hilang.

6
DAFTAR PUSTAKA

Cohen JI. Anatomi dan Fisiologi Laring. Dalam: Adam GL, Boies LR, Higler PA.
Doenges, M.E., Moorhouse, M.F dan Geissler, A.C.2000. Rencana Asuhan
Keperawatan:Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian
Perawata Pasien.Jakarta:EGC.
Herdman, T.H. 2011.NANDA Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi
2009-2011. Jakarta: FKUI.
Herdman,T.H.2012. Nanda Internasional Diagnosis Keperawatan definisi dan
Klasifikasi 2012-2014.Jakarta :EGC.
Higler PA. BOIES. 1997. Buku Ajar Penyakit THT, Edisi 6. Alih Bahasa:
Wijaya C. BOIES Fundamental of Otolaryngology.Jakarta: EGC
Smeltzer C. Suzanne, Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai