Disusun Oleh :
Musfiroh
Rosinanda Yoshara
Oki ekameganingrum
PEKAJANGAN – PEKALONGAN
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam berbahasa tercakup berbagai kemampuan yaitu, bicara spontan,
komprehensi, menamai, repetisi ( mengulang), membaca dan menulis. Bahasa merupakan
instrument dasar bagi komunikasi pada manusia dan merupakan dasar dan tulang
punggung bagi kemampuan kognitif. Bila terdapat defisit pada sistem berbahasa,
penilaian faktor kognitif seperti memori verbal. Interpretasi pepatah dan berhitung lisan
menjadi sulit dan mungkin tidak dapat dilakukan. Kemampuan berkomunikasi dengan
menggunakan bahasa sangat penting. Bila terdapat gangguan hal ini akan mengakibatkan
hambatan yang berarti bagi pasien.
Gangguan berbahasa tidak mudah di deteksi dengan pemeriksaan yang tergesa-
gesa. Pemeriksaan perlu meningkatkan pengetahuan menganai pola gangguan berbahasa.
B. Tujuan
1. Mahasiswa dapat mengetahui definisi dari Afasia.
2. Mahasiswa dapat mengetahui Etiologi dari Afasia
3. Mahasiswa dapat mengetahui manifestasi klinis dari Afasia
4. Mahasiswa dapat mengetahui Pemeriksaan penunjang untuk Afasia
5. Mahasiswa dapat mengetahui Penatalaksanaan untuk Afasia
6. Mahasiswa dapat mengetahui Asuhan Keperawatan untuk Afasia
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. DEFINISI
Afasia adalah gangguan fungsi bahasa yang disebapkan cedera atau penyakit
pusat otak. Ini termasuk gangguan kemapuan membaca dan menulis dengan baik,
demikian juga bercakap-cakap, mendengar berhitung, menyimpulkan dan pemahaman
terhadap sikap tubuh. Akhirnya digunakan gambaran afasia yang diprsentasikan. Kira-
kira 1-1,5 juta orang dewasa diamerika mengalami kecacatan kronik afasia.(Smeltzer dan
Bare, 2002).
Afasia adalah gangguan berbahasa akibat gangguan serebrovaskuler hemisfer
dominan, trauma kepala, atau proses penyakit. Terdapat beberapa tipe afasia, biasanya
digolongkan sesuai lokasi lesi. Semua penderita afasia memperlihatkan keterbatasan
dalam pemahaman, membaca, ekspresi verbal, dan menulis dalam derajat berbeda-beda.
Afasia biasanya berarti hilangnya kemampuan berbahasa setelah kerusakan otak.
Dalam hal ini pasien menunjukkan gangguan dalam memproduksi dan / atau memahami
bahasa.
B. ETIOLOGI
Afasia biasanya berarti hilangnya kemampuan berbahasa setelah kerusakan otak.
Kata afasia perkembangan (sering disebut sebagai disfasia) digunakan bila anak
mempunyai keterlambatan spesifik dalam memperoleh kemampuan berbahasa. Dalam hal
ini, perkembangan kemampuan berbahasa yang tidak sebanding dengan perkembangan
kognitif umumnya.
Stroke, tumor otak, cedera otak, demensi dan penyakit lainnya dapat
mengakibatkan gangguan berbahasa.
C. TANDA GEJALA
1. Gangguan tonus otot, terjadi kelemahan umum
2. Gangguan penglihatan
3. Gangguan tingkat kesadaran
4. Disritmia/gangguan irama jantung
5. Emosi yang labil
6. Kesulitan menelan
7. Gangguan rasa pengecapan dan penciuman
8. Afasia (gangguan fungsi bahasa), mungkin afasia motorik (kesulitan untuk
mengungkapkan.
D. PATOFISIOLOGI
Afasia terjadi akibat kerusakan pada area pengaturan bahasa/bicara di otak pada
manusia, fungsi kemampuan bahasa mengalami lateralisasi ke hemisfer kiri otak, pada
orang afasia sebagian besar lesi terletak pada hemisfer kiri.
Area bronca 44 dan 45 broadman:bertanggung jawab atas pelaksanaan motorik
bicara, lesi pada area ini akan mengakibatkan kesulitan dalam artikulasi tetapi penderita
bisa memahami bahasa dan tulisan.
Afasia dapat terjadi sekunder terhadap cedera otak atau degenerasi dan
melibatkan belahan otak kiri ke tingkat yang lebih besar dari kanan. Kebanyakan
aphasias dan gangguan terkait akibat stroke, cedera kepala, tumor otak, atau penyakit
degeneratif.
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan kelancaran berbicara. Seseorang disebut berbicara , lancar bila bicara
spontannya lancar, tanpa tertegun-tegun untuk mencari Kata yang diinginkan.
2. Kelancaran berbicara verbal merupakan refleksi dari efisiensi menemukan kata.
Defek yang ringan dapat dideteksi melalui tes kelancaran, menemukan kata yaitu
jumlah kata tertentu yang dapat diproduksi selama jangka waktu yang terbatas.
Misalnya menyebutkan sebanyak-banyaknya nama jenis hewan selama jangka waktu
satu menit, ulnu menyebutkan kata-kata yang mulai dengan huruf tertentu, misalnya
huruf S atau huruf B dalam satu menit.
Skor : Orang normal umumnya mampu menyebutkan 18 - 20 nama hewan
selama 60 detik, dengan variasi I 5 - 7. Usia merupakan faktor yang berpengaruh
secara bermakna dalam tugas ini. Orang normal yang berusia di bawah 69 tahun akan
mampu menyebutkan 20 nama hewan dengan simpang baku 4,5.
Menyebutkan kata yang mulai dengan huruf tertentu: Kepada pasien dapat
juga diberikan tugas menyebutkan kata yang mulai dengan huruf tertentu, misalnya
huruf S, A atau P. Tidak termasuk nama orang atau nama kota. Skor: Orang normal
umumnya dapat menyebutkan sebanyak 36 - 60 kata, tergantung pada usia, inteligensi
dan tingkat pendidikan. Kemampuan yang hanya sampai 12 kata atau kurang untuk
tiap huruf di atas merupakan petunjuk adanya penurunan kelancaran berbicara verbal.
Namun kita harus hati-hati monginterpretasi tes ini pada pasien dengan tingkat
pendidikan tidak melebihi tingkat Sekolah Menengah Pertama.
Pemeriksaan Pemahaman (Komprehensi) Bahasa Lisan
Kemampuan pasien yang afasia untuk memahami sering sulit dlnllal
Pemeriksaan klinis disisi-ranjang dan tes yang baku cenderung kurang cukup dan
dapat memberikan hasil yang menyesatkan. Langkah terakhir dapat digunakan untuk
mengevaluasi pemahaman (komprehensi) secara klinis, yaitu dengan cara konversasi,
suruhan, pilihan (ya atau tidak), dan menunjuk.
Konversasi. Dengan mengajak pasien bercakap-cakap dapat dinilai
kemampuannya memahami pertanyaan dan suruhan yang diberikan oleh pemeriksa.
Suruhan. Serentetan suruhan, mulai dari yang sederhana (Satu langkah) sampai pada
yang sulit (banyak langkah) dapat digunakan untuk menilai kemampuan pasien
memahami. Mula-mula suruh pasien bertepuk tangan, kemudian tingkatkan
kesulitannya, misalnya: mengambil pinsil, letakkan di kotak dan taruh kotak di atas
kursi (suruhan ini dapat gagal pada pasien dengan apraksia dan gangguan motorik,
walaupun pemahamannya baik; hal ini harus diperhatikan oleh pemeriksa).
Pemeriksa dapat pula mengeluarkan beberapa benda, misalnya kunci, duit,
arloji, vulpen, geretan. Suruh pasien menunjukkan salah sntu benda tersebut,
misalnya arloji. Kemudian suruhan dapat dlpermilit, misalnya: tunjukkan jendela,
setelah itu arloji, kemudian vulpen. Pasion tanpa afasia dengan tingkat inteligensi
yang rata-rata mampu menunjukkan 4 atau lebih objek pada suruhan yang beruntun.
Pasien dengan Afasia mungkin hanya mampu menunjuk sampai 1 atau 2 objek saja.
Jadi, pada pemeriksaan ini pemeriksa (dokter) menambah jumlah objek yang hams
ditunjuk, sampai jumlah berapa pasien selalu gagal.
Ya atau tidak. Kepada pasien dapat juga diberikan tugas berbentuk pertanyaan yang
dijawab dengan "ya" atau "tidak". Mengingat kemungkinan salah ialah 50%,
jumlah pertanyaan harus banyak, paling sedikit 6 pertanyaan, misalnya :
"Andakah yang bernama Santoso?"
"Apakah AC dalam ruangan ini mati ?"
"Apakah ruangan ini kamar di hotel ?"
"Apakah diluar sedang hujan?"
"Apakah saat ini malam hari?"
Menunjuk. Kita mulai dengan suruhan yang mudah difahami dan kemudian
meningkat pada yang lebih sulit. Misalnya: "tunjukkan lampu", kemudian "tunjukkan
gelas yang ada disamping televisi".
Pemeriksaan sederhana ini, yang dapat dilakukan di sisi-ranjang, kurang
mampu menilai kemampuan pemahaman dengan baik sekali, namun dapat
memberikan gambaran kasar mengenai gangguan serta beratnya. Korelasi anatomis
dengan komprehensi adalah kompleks.
3. Pemeriksaan Repetisi (Mengulang)
Kemampuan mengulang dinilai dengan menyuruh pasien mengulang, mula-
mula kata yang sederhana (satu patah kata), kemudian ditingkatkan menjadi banyak
(satu kalimat). Jadi, kita ucapkan kata atau angka, dan kemudian pasien disuruh
mengulanginya.
Cara Pemeriksaan:
Pasien disuruh mengulang apa yang diucapkan oleh pemeriksa. Mula-mula sederhana
kemudian lebih sulit. Contoh:
a) Map
b) Bola
c) Kereta
d) Rumah Sakit
e) Sungai Barito
f) Lapangan Latihan
g) Kereta api malam
h) Besok aku pergi dinas
i) Rumah ini selalu rapi
j) Sukur anak itu naik kelas
k) Seandainya si Amat tidak kena influensa
Meningkatkan harga diri positif. Pasien afasia harus diberi banyak pengaman
psikologis bila memungkinkan. Kesabaran dan pengertian dibutuhkan sekali pada saat
pasien belajar. Dan pasien diperlakukan sebagai orang dewasa. Suatu tindakan dengan
cara yang tidak terburu-buru, dikombinasi dengan dorongan, kesabaran, dan keinginan
untuk menyediakan waktu. Pembelajaran ulang wicara dan keterampilan bahasa
memerlukan waktu beberapa tahun.
Individu afasia mengalami defresi akibat ketidak mampuan bercakap-cakap
dengan orang lain. Tidak dapat berbicara melalui telpon atau menjawab pertanyaan, atau
mengungkapkan diri melalui percakapan menyebapkan marah, frustasi, takut tentang
masa depan, dan perasaan hilangnya harapan.
Perawat harus menerima tingkah laku pasien dan perasaannya, mengurangi
keadaan yang memalukan dan memberi dukungan serta menjamin bahwa tidak ada yang
salah dengan integrensi mereka. Biasanya kesukaran bagi perawat dan anggota tim
pelayanan kesehatan lainnya adalah melengkapi pikiran dan kalimat pasien. Hal ini harus
dihindari bila menyebapkan pasien merasa lebih frustasi pada saat tidak dapat mengikuti
pembicaraan, dan dapat menunda upaya-upaya untuk latihan yang juga menggunakan
pikiran dan menunda upaya membuat kalimat lengkap.
Lingkungan harus tenang dan serba membolehkan, dan pasien harus dianjurkan
untuk bersosialisasi dengan keluarga dan teman-teman. Individu afasia sering mengalami
gangguan dalam berpikir dengan nyata, sehingga perawat dan anggota keluarga harus
mengembalikan alat-alat diruangan pada tempat yang seharusnya.
Meningkatkan Kemampuan Komunikasi. Untuk meningkatkan kemampuan
komunikasi, pasien afasia perlu dipimpin dalam upaya-upaya mereka untuk
meningkatkan keterampilan komunikasi. Keterampilan mendengar dan juga berbicara
ditekankan pada program rehabilitas. Pasien juga dapat dibantu dengan papan
komunikasi, yang menampilkan gambar-gambar, sesuai kebutuhan yang diminta dan
diungkapkan. Papan ini dapat menerjemahkan kedalam bahasa yang luas. Pasien harus
dianjurkan untuk mengungkapkan kebutuhan pribadi dan menggunakan papan tulis bila
tidak mampu mengekspresiakan kebutuhan.
Meningkatkan Stimulasi Pendengaran. Pertama pasien dianjurka untuk
mendengar. Berbicara adalah berpikir keras, dan penekanannya adalah berfikir. Pasien
harus berpikir dan menyusun pesan-pesan yang masuk dan merumuskan suatu respons.
Mendengar membutuhkan upaya mental, namun pasien berjuang melawan kebosanan dan
membutuhkan waktu untuk mengatur jawaban.
Dalam bekerjasama dengan pasien afasia, perawat harus ingin untuk berbicara
pada pasien sambil memperhatikan pada pasien tersebut. Berikan konta sosial tehadap
pasien.
Membantu Koping Keluarga. Menolong keluarga melakukan koping terhadap
perubahan gaya hidup yang tidak dapat dicegah, diselesaikan dengan membicarakannya
tentang stroke atau cedera kepala, perubahan yang diperlukan dapat terjadi, yang
berpokus pada kemampuan pasien, dan menginformasika mereka mengenai system
pendukung yang diberikan.
Sikap keluarga merupakan faktor yang penting dalam menolong pasien
menyelesaikan penurunan ini. Anggota keluarga didukung untuk melakukan secara
alamiah dan menyenagkan pasien dalam cara yang sama seperti sebelum sakit. Mereka
harus sadar bahwa kemampuan bicara pasien bervariasi dari hari kehari dan menjadi lelah
setelah bicara. Mereka harus sadar bahwa pasien dapat mogok bicara bila kontrol emosi
menurun. Menangis dan tertawa dapat terjadi tanpa penyebab yang jelas dan biasanya
perasaan hati berubah. Kelompok pendukung seperti pengumpulan stroke dan kelompok
terapi pasien afasia, dapat membantu dalam sosialisai dan motivasi pasien yang sama
baiknya dalam menurunkan kecemasan dan ketegangan. Ketegangan penyesuaian
konstan terhadap penyakit, tuntutan, kebutuhan, serta aliran dana dan perubahan gaya
hidup, dapat menimbulkan tegangan ekstrem dan distres dalam keluarga. Anggota
keluarga sering menjalani kedukaan periode ini.
Selain untuk mempelajari beberapa kemungkinan tentang cara mendukung pasien
afasia, anggota keluarga harus juga berkonsultasi terus-menerus tentang kehidupan
mereka sendiri dan cari bantuan dari pekerja sosial, rohaniawan, ahli psikologi, jika
mereka membutuhkan bantuan tambahan dalam hubungannya dengan keadaan frustasi
dan tekanan.
Bina wicara (speech therapy) pada afasia didasarkan pada :
1) Dimulai seawal mungkin. Segera diberikan bila keadaan umum pasien sudah
memungkinkan pada fase akut penyakitnya.
2) Dikatakan bahwa bina wicara yang diberikan pada bulan
pertama sejak mula sakit mempunyai hasil yang paling baik.
3) Hindarkan penggunaan komunikasi non-linguistik (seperti isyarat).
4) Program terapi yang dibuat oieh terapis sangat individual dan tergantung dari latar
belakang pendidikan, status sosial dan kebiasaan pasien.
5) Program terapi berlandaskan pada penurnbuhan motivasi pasien untuk mau belajar
(re-learning) bahasanya yang hilang. Memberikan stimulasi supaya pasien
metnberikan tanggapan verbal. Stimuli dapat berupa verbal, tulisan atau pun taktil.
Materi yang teiah dikuasai pasien perlu diulang-ulang(repetisi).
6) Terapi dapat diberikan secara pribadi dan diseling dengan terapi kelompok dengan
pasien afasi yang lain.
7) Penyertaan keluarga dalam terapi sangat mutlak.