Anda di halaman 1dari 7

Bukti-bukti

Ketunggalan Realitas
lautan dalam setetes air, karena bila tidak,
betapa mungkin lautan mengada
mentari ada dalam cahaya purnama, karena bila tidak, betapa mungkin
purnama bercahya
hujan, yang menghujani dan yang dihujani, dapatkah engkau pilahkan, duhai
Afkari
sebagaimana lautan, yang melauti dan yang dilauti, dapatkah engkau
pisahkan, duhai Aqali
 
Puji pada Nya Yang Maha Kudus, dan tiada tersifati oleh apa pun, oleh siapa
pun, kapan pun. Subhanalloohi ‘amma yashifuun. Kecuali oleh hamba-
hambaNya yang ikhlash, illa ‘ibaadalloohi al-mukhlashiin, yakni yang telah
menyadari tauhid af’aal,, yakni yang menyadari bahwa Pelaku Hakiki adalah
Sang Maha Tunggal Yang Sempurna.
Demikian Ibnu ‘Arabi menguraikan bahwa Rasulullah tidak mengatakan
barangsiapa fana (lenyap) dalam Tuhannya maka ia mengenal Tuhannya,
namun Rasulullah mengatakan barrang siapa mengenal dirinya maka ia
mengenal Tuhannya (man ‘arafa nafsahu faqod ‘arofa robbahu). Yakni,
barangsiapa mengenal bahwa "dirinya" adalah "ketiadaan" dan hanya Tuhan
Yang Ada dan Tiada Selain Dia, maka ia ( baca pula "Ia") telah mengenal
Tuhannya.
Yakni, barangsiapa yang mengenal Ketunggalan Realitas yang
menampakkan dirinya dalama alam maha-jamak ini, dan tidak melihat
adanya sesuatu selain Dia Yang Tunggal dan Meliputi Segela Sesuatu yang
tak lain adalah DiriNya Sendiri, maka ia (baca pula; " Ia") telah mengenal
TuhanNya.
Maka orang yang percaya adanya penyatuan wujud manusia dan wujud
Tuhan adalah puncak kesempurnaan perjalanan ruhani ada dalam kesesatan
yang nyata, karena ia telah menyerupakan Tuhan dalam hal yang paling
hakiki dengan manusia, tak lain adalah keberadaan atau wujudnya.
Argumentasi lain adalah, bagaimana mungkin menyatukan yang tiada dengan
yang Ada?
Mengenai orang-orang yang telah mencapai keadaan jiwa ilahiyyah seperti
ini, yang telah lenyap dalam samudera Ketunggalan Keberadaan Tuhan
seperti ini, mungkin inilah yang diibaratkan oleh Maulana, Amirul Mukminin
‘Ali bin Abi Thalib (‘a.s.) dalam pesannya kepada Kumayl Ibn Ziyad (r.’a.)
tentang sifat-sifat jiwa (nafs) yang al-kulliyyah al-ilaahiyyah (komprehensif
ke-ilahian); …" ….dan bagi jiwa yang seperti ini terdapat dua sifat khas;
ridho (terhadap qodho dan qadar Allah) dan taslim (berserah diri kepada
Allah), dan hal ini sumbernya adalah dari Allah dan kepadaNya akan
kembali, sebagaimana FirmanNya Ta’aala; dan Kami tiupkan ke dalamnya
1
dari ruh Kami (wa nafakhnaa fiihi min ruuhinaa)…." Dalam riwayat ini,
Imam’Ali menegaskan bahwa sumber-sumber keadaan jiwa yang ilahi adalah
Allah itu sendiri, dengan merujuk kepada "Dan Kami tiupkan ke dalamnya
dari ruh Kamii" Subhaanallooh.
Mengenai bukti (rasional dan filosofis) Ketunggalan Realitas salah satunya
adalah sebagai berikut. Pertama, segala yang ada hanyalah lautan keapaan
(atau disebut juga mahiyyah/esensi/kuiditas) , seperti halnya ruang, waktu,
kopi, langit, atom, gen, yang akan mempunyai efek terhadap yang lain jika
telah memiliki keberadaan.Kedua, dengan mengamati bahwa tanpa
keberadaannya seluruh samudera keapaan tersebut tidak memiliki efek apa
pun, yakni mereka tereduksi dalam keadaan ketiadaan, maka keberadaan
lebih nyata (real) dibandingkan dengan keapaan. Ketiga, dengan mengamati
bahwa ketiadaan segala sesuatu identik, maka keberadaannya pun identik,
maka dapat disimpulkan bahwa Keberadan di Alam Real itu Tunggal.
Keempat, dengan mengamati bahwa Keberadaan di Alam Real itu Tunggal,
maka semua selain Keberadaan itu sendiri tidak memliki Keberadaan.
Kelima, dengan mengamati bahwa semua selain Keberadan itu sendiri tidak
memiliki keberadaan, maka keberadaan seluruh samudera maujudaat (hal-hal
yang maujud) semuanya tidak real , kecuali Keberadaan itu sendiri. Dan
inilah yang disebut dengan Realitas Tunggal yang meliputi semua namun
bukan salah satu dari hal yang terliputinya sama sekali. Maha Suci Dia dari
semua yang kita sifatkan.
Wa allohu a’lam bi ash-showwab

2
Bukti Ketunggalan Realitas (2)
bening dan hening, lautan kesejukan dalam
gemilang kerlap cahaya
buta segalat mata, tuli segala telinga, pula segenap rasa
oh layla perawan suci, kusentuh indahmu dengan indahmu dan
bukan selain itu
oh layla purnama rindu, kudesahi nanar matamu dan
keindahannya dengan celakmu dan bukan selain itu
 Bilama ada keindahan nan senantiasa perawan dan kecantian
nan senantiasa terjaga dalam masudera ‘iffah (kehormatan serta
keanggunan), maka tentulah itu adalah Dia, Yang Maha Cantik
dan Teramat Menarik namun tak tersentuh oleh siapa pun,
bahkan oleh pandangan siapa pun. Mata-mata majnun hingga
nanar mengharapkan persuaan dengan layla pun yang
didapatinya tak lebih dari domba-domba yang mengembik.
Maka, dikisahkan dalam tarikh, betapa Penghulu Semua Wanita
di Semesta Fathimah binti Muhammad (‘alaihimassalam) selalu
dalam keadaan Perawan. Maha Suci Dia yang menjadikan
kekasih-kekasihnya sebagai ibarat atas DiriNya Sendiri. Wa
yabqoo wajhu robbika dzu aljalaali wa al-ikraami. Dan kekallah
wajah Tuhanmu.
Maka, Dia-lah Sang Maha Suci Nan Senantiasa Perawan. Dia-lah
Sang Maha Perawan, yang bahkan tak tersentuh oleh penglihatan apa
pun selainNya dan pendengaran apa pun selainNya. Dalam hakikat
KeDiaanNya (huwiyyah) tak mungkin selain Ia menyentuhnya dengan
pemahaman (idrak) apa pun, dan tak mungkin pula menyentuhnya
dengan apa pun (secara lahir maupun batin) bahkan Ia meliputi segala
sesuatu. Allohumma inni as’aluka birohmatika allatii wasi’at kulla
syai’. Yaa Allah, aku bermohon kepadaMu dengan rahmatMu yang
meliputi segala sesuatu. Alaa innahu bikulli syai’in muhitth.
Sesungguhnya Dia atas segala sesuatu Maha Meliputi. Laa tudrikuhu
al-abshooru, wa huwa yudriku al-abshoora. Tak menyentuhNya
(segala) penglihatan dan Dia menyentuh (segala) penglihatan.
Sebagian orang menganggap bahwa ayat laa tudrikuhu al-abshooru
wa huwa yudriku al-abshoora menegaskan bahwa : Dia tak bisa
dipersepsi oleh persepsi apa pun. Adanya realitas yang jamak,
minimal adanya persepsi yang jamak
Muhyiddin Ibn ‘Arabi menegaskan bahwa ayat laa tudrikuhu al-
abshooru wa huwa yudriku al-abshoora justru menegaskan
3
Ketunggalan Realitas, bahwa hanya Dialah satu-satunya yang maujud
dan tiada maujud selain Dia. Dalam Kitab Al-Ajwibah, beliau
menuliskan sebagai berikut;
laa tudrikuhu al-abshooru wa huwa yudriku al-abshoora, yakni, tak
ada siapa pun dan tiada siapa pun yang berpenglihatan mampu
untuk mempersepsiNya. Maka jika kita misalkan ada sesuatu yang
lain selain Ia dalam keberadaan, maka kita mesti membolehkan
bahwa selain di mempersepsiNya (minimal dalam satu
aspek/modalitas keberadaannya yang dirasakan oleh sesuatu yang
lain tersebut, penjelasan penulisan).
Tapi Tuhan (Yang Namanya Maha Tinggi) telah mengingatkan kita
dalam firmanNya "Penglihatan-penglihatan tak menyentuhNya"
yakni tidak ada apa pun disampingNya; artinya, tidak ada yang lain
yang mempersepsiNya (dalam seluruh modalitas keberadaannya,
penjelasan penulis) tapi Ia yang mempersepsiNya adalah Tuhan
(Yang Namanya Maha Tinggi). Maka tak ada apa pun yang lain
selain Dia. Dia lah yang mempersepsi Hakikatnya sendiri, dan
bukan yang lain. Maka "Penglihatan-penglihatan tak
mengenaiNya", secara sederhana adalah karena penglihatan-
penglihatan adalah bukanlah sesuatu selain WujudNya sendiri. Dan
bila ada yang mengatakan "Penglihatan-penglihatan tak
mengenaiNya" karena penglihatan-penglihatan ini bermula hudust
sedangkan yang hudust tak mungkin mempersepsi yang qidam", ia
belum mengenal dirinya sendiri, karena tidak ada apa pun dan tidak
ada penglihatan apa pun kecuali Dia. Dia, maka, mempersepsi
WujudNya sendiri, tanpa keberadaan persepsi dan tanpa sifat."
Wa allohu a’lam bi ash-showwab

4
Bukti Ketunggalan Realitas (3)
menggapai-gapai jemari orok merah, susu ibuku tetek ibuku,
kerna di dalam susu-lah sermpurnalah ia
demikian pula majnun sang Qays, tanpa Layla pun ia teriakkan Layla, kerna
di dalam Layla sempurnalah ia
menggapai-gapai lautan wujud nan mungkin,
wujud wajibku wujud wajibku, kerna di dalamNya sempurnalah ia
demikian pula khidir sang Hidup,
di samudera Hidup pun ia teriakkan Huwa,
kerna di dalamNya sempurnalah ia
Man ‘arafa nafsahu faqod ‘arafa robbahu. Barangsiapa menganal
dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya. Demikian sabda Junjungan
Kita YM Rasulullah SAWW. Maka salah satu ibarat yang dapat
diambil dari ucapan Baginda Rasul SAWW tersebut; Barangsiapa
yang mengenal kefaqiran esensial dirinya dan keinginan dirinya untuk
menuju Kesempurnaan maka ia akan mengenal Tuhannya, taklain
adalah Kesempurnaan itu sendiri.
Intelek (akal) manusia tiada yang tak memahami kefaqiran esensial
dirinya sendiri. Apakah itu kefaqiran esensial? Bahwa diri seseorang,
maupun semua miliknya, ataupun hal-hal yang jauhari ( substansial)
maupun ‘aradhi (aksidental) dari dirinya, mungkin lenyap sesaat
setelah ini. Sebuah roti kecil yang menyumbat jalan pernafasan bisa
melenyapkan jiwa . Sebuah kompor kecil yang meledak bisa
menghancurkan seluruh harta-benda maupun keluarga. Sebuah
tabrakan maut dengan mudah melenyapkan jiwa-jiwa. Apakah benar
manusia bisa memiliki sesuatu? Sedangkan dirinya sendiri pun tidak
ia miliki? Apakah benar orang terkaya memiliki harta terbanyak? Dan
apakah benar orang ‘alim memiliki ‘ilmu terbanyak? Sedangkan gerak
jantungnya sendiri pun tidak ia miliki? Maka jelas bahwa antum al-
fuqoroo` ila alloohi., kamu semua faqir terhadap Allah. Dan
sesungguhnya Allah Maha Kaya atas sekalian alam, Innallooha
ghoniyyun ‘ani al-‘aalamiina.
Di sisi lain, intelek(akal) memandang bahwa semua makhluk bergerak
menuju yang lebih sempurna bagi dirinya sendiri secara spontan.
Demikianlah bayi menangis mencari susu. Harimau lapar mencari
makan. Laki dan wanita menikah. Hujan turun dari langit. Air sungai
mengalir ke lautan. Wanita hamil makan lebih banyak. Dan lain-lain.
Maka demikianlah manusia mengharapkan Kesempurnaan. Manusia
belajar agar semakin berilmu, dan Berilmu adalah suatu
kesempurnaan. Manusia makan agar berkekuatan, dan Berkekuatan
adalah suatu kesempurnaan. Manusia bermain musik agar semakin
5
lembut dan indah, dan Lembut maupun Indah adalah suatu
kesempurnaan.
Pada saat lautan kefaqiran menerpa manusia, dengan bala dan
bencana, dengan berbagai hal yang menggundahkan dirinya, dengan
hambatan-hambatan untuk mencapai nikmat-nikmat kesempurnaan,
maka hati manusia menyeru secara spontan pada Kesempurnaan
Tunggal, tak lain tempat bergantungnya seluruh ide kesempurnaan
yang ingin ia capai. Duhai Tuhan, Duhai Kenikmatan Yang
Sempurna. Demikianlah, salah satu bukti adanya Tuhan adalah;
bayangkan diri Anda terapung-apung di sebatang kayu kecil di
samudera maha luas, maka saat itu apakah yang akan Anda
bayangkan? Satu kefaqiran, ketakberdayaan total, kelemahan total
diri, dan satu ketergantungan total ke Satu Fokus Yang Maha Kokoh.
Saksikanlah demikian jelas dan terang dalam hati ! Allohu ash-
shomad. Engkaulah itu Yaa Allah, An-Nuur, yang maha terang dan
menunjuki segala yang di langit dan di bumi, dan Al-Qudduus, yang
tak kan terjangkau oleh pandangan apa pun kecuali dirinya sendiri.
Maka kecenderungan hati manusia untuk menuju Kesempurnaan
Yang Satu merupakan bukti nyata Keberadaan Kesempurnaan itu.
Maka ingatkah kita akan "perjanjian" kita sebelum hidup di dunia ini
dengan Tuhan; alastu birobbikum, qooluu balaa. Apakah Aku
TuhanMu, mereka semua berkata yaa.
Padahal dapat dibuktikan dengan mudah bahwa kesempurnaan identik
dengan keberadaan. Karena sesuatu disebut sempurna bila tak butuh
selain dirinya, dan tak ada yang tak butuh selain dirinya untuk
mengada selain keberadaan. Maka jika kesempurnaan itu ada, pastilah
ia tak lain adalah keberadaan itu sendiri.
Maka, barang siapa mengenal dirinya, yakni kefaqiran esensialnya,
dan mengenal bahwa Yang Sempurna(baca pula ; Ada) Hanyalah
Satu, maka ia mengenal Tuhannya, yakni Kesempurnaan (baca pula;
Keberadaan) itu sendiri.
Pada saat Pemimpin Mukminin Imam ‘Ali bin Abi Thalib (‘a.s.)
membicarakan tentang jiwa yang al-kulliyyatul-ilaahiyyah
(komprehensif ilahi), Beliau (‘a.s.) menyifatkan lima kekuatan jiwa
yang seperti ini; baqaa`un fii ial-fanaa` i, wa na’iimun fii asy-
syiqaaqi, wa ‘izzun fii dzillin, wa ghoniyyun fii faqrin, wa shobron
fii balaa`in(kekal dalam kefanaan, dan nikmat dalam kesengsaraan,
dan mulia dalam kehinaan, dan kaya dalam kemiskinan, dan sabar
dalam bencana. Dan beliau (‘a.s.) menegaskan pula bahwa Sumber
dari kelima kekuatan ini adalah Allah dan kepadaNya-lah akan
kembali. Maka, barang siapa mengenal dirinya, yakni kefaqiran
6
esensialnya, dan Yang Kekal, Yang Nikmat, Yang Mulia, Yang Kaya,
Yang Sabar hanyalah Dia Yang Maha Sempurna , maka ia telah
mengenal TuhanNya, yakni Kesempurnaan itu sendiri.
Maha Suci Allah, Yang baginya segenap Kesempurnaan, di awalnya
maupun di akhirnya, di segala tempat dan segala waktu, di segala
alam yang tampak maupun yang gaib.
Tunjukilah kami semua WajahMu Yang Mulia, Yaa Allah, dengan
keterputusan kepada selainMu,
dan hanya pada wajahMu dan gemilangnya saja kami menatap.
Bihurmati Muhammadin wa aali Muhammad.
Wa allohu a’lam bi ash-showwab.
[[[ :::::: penulis Dr.Dimitri Mahayana :::::::]]]]]
 
 
 
 
 
 

Anda mungkin juga menyukai