Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Rumah Sakit adalah industri jasa, suatu bentuk fasilitas

pelayanan kesehatan yang memberikan pelayanan medik, rujukan, dan

penunjang yang esensial, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah

maupun oleh masyarakat. Berdasarkan Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 44 tahun 2009 tentang rumah sakit sebagai institusi

pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan

perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap,

rawat jalan, dan gawat darurat. Peraturan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia Nomor 26 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan.

Pekerjaan pelayanan dalam Orientasi Pelayanan Kesehatan adalah

dokter, perawat dan tenaga profesional lainnya yang bekerja sama di

dalamnya. Rumah sakit sebagai pelayanan kesehatan dan

keselamatan bertanggung jawab untuk menjamin keselamatan dan

kesehatan pasiennya.

Pelayanan kesehatan di Indonesia, khususnya pelayanan

kesehatan di rumah sakit saat ini sedang mendapat perhatian dari

masyarakat. Berbagai keluhan dari masyarakat yang menyangkut

kualitas pelayanan di rumah sakit haruslah mendapat kepedulian dari

1
2

pihak pengelola dan penyelenggara layanan rumah sakit (Langingi,

2019).

Perawat diharapkan dapat menunjukkan kontribusi

profesionalnya secara nyata dalam meningkatkan mutu keperawatan,

yang berdampak terhadap pelayanan kesehatan secara umum pada

organisasi tempatnya bekerja, dan dampak akhir bermuara pada

kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat (Musta’an, 2018). Di sisi

lain, tingginya biaya kesehatan dan pelayanan harus diimbangi dengan

peningkatan kualitas pelayanan yang diberikan oleh staf, khususnya

tenaga kesehatan rumah sakit. Praktisi perawatan kesehatan rumah

sakit adalah orang yang berkomitmen pada sektor perawatan

kesehatan yang, melalui pelatihan di sektor perawatan kesehatan,

memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan yang memerlukan otoritas

atas jenis praktisi perawatan kesehatan tertentu (UU no.36 tahun

2009).

Kinerja klinis perawat dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor

eksternal, faktor internal adalah keterampilan dan motivasi perawat,

sedangkan faktor eksternal adalah supervisi, gaya kepemimpinan dan

monitoring (Yanti. RI, 2018). Oleh karena itu, kinerja perawat menjadi

prioritas yang harus ditingkatkan oleh sebuah rumah sakit. Tujuan akhir

dari aktivitas organisasi adalah peningatan kinerja. Dan kinerja dapat

dipengaruhi oleh kecerdasan emosional, budaya kerja, kompetensi,

tunjangan, dan komitmen kerja. Kotler & Keller (2016) menyatakan

bahwa layanan pada dasarnya tidak berwujud, aktivitas atau kinerja


3

non-proprietary yang disediakan oleh orang lain. Kunci terpenting untuk

meningkatkan mutu pelayanan medis adalah perawat yang baik.

Namun tidak jarang ditemukan keluhan terhadap kualitas pelayanan

kesehatan yang bersumber dari kinerja tenaga kesehatan, termasuk

perawat. Untuk itu, rumah sakit harus fokus pada masalah kualitas

pelayanan yang berkaitan dengan kinerja perawat. Kinerja perawat

Indonesia masih rendah. Hasil penelitian sesuai dengan penelitian

Odelia et al., (2018), didapatkan pelaksanaan implementasi keterlibatan

karyawan di rumah sakit ini dapat mempermudah aktivitas pelayanan

kesehatan agar lebih efektif dan efisien (Wiwin Rusdiyanti et al., 2022).

Kinerja perawat sebagai garda depan pelayanan kesehatan

merupakan hal yang sangat penting untuk dikaji dalam rangka

mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.

Kinerja keperawatan yang baik merupakan jembatan yang menjamin

mutu pelayanan medis bagi pasien yang sakit dan sehat. Kulaitas

pelayanan perawat yang merupakan nilai kinerjanya menjadi standar

ukuran penilaian calon pasien dalam memilih rumah sakit. Adanya gap

yaitu terkait dengan komitmen kerja dan tunjangan jabatan fungsional

yang perlu mendapatkan perhatian khusus bagi perawat, disamping

kecerdasan emosional, kompetensi, dan budaya kerja khususnya di

RSUD Kota Provinsi Banten untuk dapat meningkatkan kinerja perawat.

Sebuah studi oleh Darma Laksana & Ariani Mayasari, (2021), di

rumah sakit jiwa di Bali juga menunjukkan kinerja keperawatan 50%

lebih rendah. Di sisi lain, penelitian yang dilakukan oleh Pardede (2020)
4

juga menunjukkan kinerja perawat kategori kurang baik. Berdasarkan

survei di atas, kinerja perawat masih rendah yaitu hampir 50% yang

berarti sebagian besar perawat masih belum maksimal dalam

memberikan pelayanan asuhan keperawatan kepada pasiennya. Hal ini

menunjukkan bahwa kinerja merupakan faktor penting yang harus

diperhatikan oleh pimpinan agar pelayanan asuhan yang diberikan

berkualitas. Kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh individu

atau kelompok individu dalam suatu organisasi sesuai dengan

wewenang dan tanggung jawabnya untuk mencapai tujuan organisasi

secara sah tanpa melanggar hukum, untuk mencapai dan sesuai

dengan moral dan etika.

Selain itu, menurut Mawarti et al., (2016), pemberian perawat

adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian

integral dari pelayanan kesehatan berdasarkan pengetahuan dan kiat

keperawatan, serta membantu individu, keluarga, baik sehat maupun

sakit. Rendahnya komitmen kerja perawat akan berdampak pada

kinerja perawat di RSUD Kota Provinsi Banten, hal ini diindikasikan dari

banyaknya keluhan perawat terhadap pemberian tunjangan yang masih

rendah dibandingkan Rumah Sakit Swasta . Oleh karena itu perlu

stimulus yang dapat meningkatkkan komitmen kerja dan kinerja

perawat yaitu dengan memberikan tunjangan yang sesuai dengan

tingkat keahlian dan keterampilan perawat. Berdasarkan hal tersebut,

peneliti tertarik untuk meneliti kinerja perawat di RSUD Kota Provinsi

Banten.
5

Dalam pra survey yang dilakukan terhadap 40 perawat pada 4

RSUD Kota Provinsi Banten menggunakan angket dengan skala Likert

(1-5) terkait dimensi-dimensi kinerja perawat, komitmen kerja,

tunjangan jabatan fungsional, kecerdasan emosonal, kompetensi, dan

budaya kerja perawat, sebagai berikut:

Tabel 1.1
Kinerja Perawat RSUD Kota Provinsi Banten
Total
Dimens Rata-
Indikator STS TS KS S SS Jumlah
i rata Rata-
rata
Jumlah pasien yang
8 0 0 18 14 40 3,75
dirawat
Prosedur medis yang
3 6 4 15 12 40 3,68
dilakukan
Kuantitas Tingkat produktivitas 6 8 3 11 12 40 3,38 3,35
Jumlah pasien yang
8 8 2 12 10 40 3,20
sembuh
Jumlah tindakan
pencegahan yang 10 13 2 7 8 40 2,75
dilakukan
Tingkat keberhasilan 4 10 2 14 10 40 3,40
prosedur medis
Tingkat keselamatan
Kualitas 8 10 0 12 10 40 3,15 3,28
pasien
Kepatuhan pada
7 8 2 13 10 40 3,28
standar kualitas
Kehadiran 8 13 2 8 9 40 2,93
Waktu
Keterlambatan 7 8 4 16 5 40 3,10 3,13
Kerja
Kelelahan 4 11 2 12 11 40 3,38
Absensi 8 10 0 13 9 40 3,13
Kehadiran 3,33
Cuti 9 3 0 14 14 40 3,53
Penggunaan waktu 8 13 3 13 3 40 2,75
Penggunaan sumber
Efisiensi 5 11 3 12 9 40 3,23 3,09
daya
Tingkat kesalahan 8 7 0 15 10 40 3,30
Tingkat kesembuhan 6 5 4 13 12 40 3,50
Tingkat pemulihan 5 8 4 11 12 40 3,43
Efektivitas 3,26
Peningkatan kesehatan 8 7 1 12 12 40 3,33
Kepatuhan pasien 10 12 2 9 7 40 2,78
Frekuensi 115 149 40 194 151 640
5,5 14,4 37,6 3,24
Persentase
7 4 5,81 0 36,58 100
Sumber: Data primer yang diolah hasil pra survei, 2022
Keterangan: STS (Sangat Tidak Setuju), TS (Tidak Setuju), KS (Kurang Setuju), S
(Setuju), SS (Sangat Setuju)
6

Berdasarkan tabel 1.1 diatas, hasil tanggapan responden

terhadap enam dimensi kinerja menghasilkan skor rata-rata 3,24 yang

artinya kinerja perawat di 4 RSUD ini masih belum optimal. Nilai

terendah ada pada dimensi waktu kerja dan efisiensi yaitu sebesar 3,09

untuk efisiensi dan 3,13 untuk waktu kerja. Adanya ketidakefisiensi

dalam penggunaan waktu, sumber daya dan tingkat kesalahan

menyebabkan kinerja perawat akan rendah karena pekerjaan ini sangat

menuntut hal-hal yang presisi dan sesuai dengan standar operation

procedure. Penggunaan sumber daya yang tidak efisien dapat diamati

dari penggunaan obat-obatan dan peralatan medis yang berlebihan

atau tidak semestinya menyebabkan kinerja perawat dalam hal efisiensi

sangat rendah.

Perilaku perawat yang tidak disiplin dengan waktu juga patut

dievaluasi dan diperbaiki karena pekerjaan perawat ini sangatlah

berhubungan dengan nyawa manusia sehingga akan sangat beresiko

ketika disiplin waktu tidak ditegakkan apalagi pada saat pelayanan yang

berhubungan langsung dengan pengobatan dan pemulihan pasien di

rumah sakit.

Kesemua unsur yang lain seperti kuantitas, kualitas, kehadiran

dan efektifitas yang bergabung dengan waktu kerja dan efisiensi akan

menjadi satu kesatuan untuk menghasilkan kinerja yang baik sehingga

ada keterikatan dan hubungan antar unsur-unsur tersebut dan

akibatnya unsur yang bernilai rendah secara otomatis akan


7

mengakibatkan terpengaruhnya unsur-unsur yang lain dan tidak bisa

menghasilkan kinerja perawat yang optimal.

Tampaknya meningkatkan engagement bukanlah hal yang

mudah. Keterikatan organisasi adalah loyalitas karyawan terhadap

organisasi dan merupakan proses yang berkelanjutan. Hal-hal yang

dapat meningkatkanketerikatan kerja antara lain kebanggaan

organisasi, kepemimpinan, pencapaian tujuan perusahaan yang selaras

dengan tujuan karyawan, dan pengakuan individu akan pentingnya

manfaat pekerjaan seseorang. Keterlibatan kerja dan organisasi

menunjukkan dua struktur yang berbeda. Misalnya, keterikatan

organisasi terkait dengan bagaimana karyawan diorganisasikan,

sedangkan keterlibatan profesional terkait dengan dukungan kelompok

dan pekerjaan serta pekerjaan dinilai melalui sikap positif terhadap

karakteristik karyawan.

Nababan et al., (2022), menemukan bahwa keterlibatan

organisasi dan profesional adalah pengalaman psikologis yang berbeda

bagi para profesional dan dapat dijelaskan oleh berbagai variabel

individu dan organisasi. Komitmen sangat mempengaruhi kualitas

pelayanan, dan komitmen orang-orang tertentu menunjukkan kualitas

pekerjaan. Hasil penelitian Suardi et al., (2022), mendukung hipotesis

pertama yaitu variabel human engagement yang terdiri dari

kemampuan teoritis, kemampuan teknis, kemampuan konseptual,

kemampuan moral, dan keterampilan teknis, serta hipotesis

berpengaruh signifikan terhadap kinerja.


8

Tabel 1.2
Komitmen Kerja Perawat RSUD Kota Provinsi Banten
Total
Dimensi Indikator STS TS KS S SS Jumlah Rata-rata Rata-
rata
Keterikatan
emosional 9 12 4 5 10 40 2,88
dengan pekerjaan
Nilai untuk
Komitmen
bertahan dalam 12 9 6 6 7 40 2,68 3,01
Afektif
institusi
Kesediaan untuk
melakukan 7 5 4 10 14 40 3,48
perubahan
Kepatuhan
terhadap aturan 9 9 5 11 6 40 2,90
institusi
Tanggung jawab
moral terhadap 7 12 2 9 10 40 3,08
Komitmen pasien 3,02
Normatif Penerimaan
terhadap nilai 8 9 5 11 7 40 3,00
organisasi
Keterlibatan pada
6 11 4 11 8 40 3,10
organisasi
Loyalitas kepada
6 6 2 13 13 40 3,53
organisasi
Kesediaan untuk
Komitmen 5 13 3 12 7 40 3,08
beradaptasi 3,25
Lanjutan
Partisipasi dalam
pengambilan 9 7 4 9 11 40 3,15
keputusan
Frekuensi 78 93 39 97 93 400
6,3 9,4 3,09
Persentase
2 15,07 8 31,44 37,68 100
Sumber: Data primer yang diolah hasil pra survei, 2022
Keterangan: STS (Sangat Tidak Setuju), TS (Tidak Setuju), KS (Kurang Setuju), S
(Setuju), SS (Sangat Setuju)

Tabel 1.2 memperlihatkan bahwa hasil tanggapan responden

terhadap tiga dimensi komitmen kerja perawat menghasilkan skor rata-

rata 3,09 yang artinya komitmen kerja perawat di 4 RSUD ini masih

harus ditingkatkan. Nilai terendah ada pada dimensi komitmen afektif

sebesar 3,01 dan komitmen normatif sebesar 3,02. Nilai untuk bertahan

dalam institusi masih rendah di angka 2,68 yang dapat diartikan bahwa

para perawat akan memilih institusi lain untuk bekerja jika ada atau
9

terbuka kesempatan untuk itu. Hal ini mengindikasikan bahwa ada

nilai-nilai dalam suatu institusi rumah sakit yang tidak sesuai dengan

harapan dan keinginan para perawat. Para perawat masih memikirkan

untuk memilih institusi atau pekerjaan lain yang bisa memberikan

manfaat yang lebih besar bagi kehidupan mereka terutama dari segi

penghasilan dan manfaat lainnya. Ini menjadi masalah bagi institusi

rumah sakit, karena akan berdampak negatif pada keberlangsungan

operasional, produktivitas dan kualitas layanan kesehatan yang

diberikan.

Beberapa faktor yang dapat menyebabkan rendahnya keinginan

perawat untuk bertahan di institusi rumah sakit seperti lingkungan kerja

yang tidak menyenangkan, beban kerja yang berlebihan, kurangnya

dukungan dari manajemen atau rekan kerja, serta kondisi yang tidak

memadai untuk pengembangan karir atau kesempatan belajar dan

pengembangan yang terbatas.

Oleh karena itu, institusi rumah sakit harus memperhatikan

faktor-faktor tersebut dan berupaya meningkatkan lingkungan kerja

yang baik serta memberikan insentif dan peluang bagi perawat untuk

berkembang, agar dapat meningkatkan keinginan perawat untuk

bertahan di institusi tersebut.

Keterlibatan perawat pada kegiatan-kegiatan di institusi rumah

sakit sangatlah kurang karena berdasarkan wawancara yang dilakukan,

para perawat ini merasa waktunya tidak cukup karena sebagian besar

waktu sudah dihabiskan untuk pelayanan pasien. Para perawat juga


10

merasa tidak banyak manfaat yang bisa mereka dapatkan dari

keetrlibatan pada kegiatan organisasi di institusi rumah sakit. Hal ini

menunjukkan kurang adanya keterikatan emosional dengan institusi

rumah sakit tempat mereka bekerja.

Keperawatan dianggap sebagai profesi yang menguntungkan di

banyak negara. Misalnya, di Belanda dan Spanyol mereka memperoleh

sekitar $22 USD per jam, atau Rp. 290.000 dengan kurs Rp.

13.000/USD. Ada banyak negara di mana gaji perawat terdaftar tinggi.

Gaji perawat tinggi di Amerika Serikat. Berdasarkan statistik

ketenagakerjaan Amerika 2016, gaji rata-rata seorang Perawat

Terdaftar (RN) mencapai $66.640 per tahun, atau sekitar Rp. 885,65

juta per tahun, atau Rp73 juta per bulan. Gaji tergantung pada tingkat

pendidikan dan pengalaman profesional. Ada tiga tingkat pendidikan

keperawatan di Amerika Serikat. 3 Diploma Keperawatan dengan gelar

Associate of Nursing Degree (ADN); Banyak tantangan berat yang

mengganggu profesi kita, baik di dalam maupun di luar negeri.

Dibandingkan dengan rekan-rekan ASEAN, situasi perawat di

Indonesia justru lebih buruk. Resesi ini diperparah dengan kebijakan

pemerintah yang tidak mendukung profesi keperawatan. Tunjangan

diberikan dengan pertimbangan adanya peningkatan kinerja pegawai

dalam pelaksanaan reformasi birokrasi yang telah dilakukan di

lingkungan Kementerian Perhubungan (Kemenhub), Pemerintah

memandang tunjangan kinerja yang selama ini telah diberikan perlu

untuk ditingkatkan. Berdasarkan uraian di atas disintesiskan bahwa


11

tunjangan kinerja dapat meningkatkan hasil kerja pegawai dengan

dimensi tunjangan kinerja yaitu: Keadilan pembayaran (Internal

consistency) dan Kelayakan pembayaran (External consistency)

(Winara & Putri, 2019). Hasil penelitian menunjukkan bahwa

pembayaran kinerja secara langsung mempengaruhi kepuasan kerja,

pembayaran kinerja secara langsung mempengaruhi kinerja karyawan,

dan kepuasan kerja secara langsung mempengaruhi kinerja karyawan

(Ahad et al., 2021). Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa

kompensasi berbasis kinerja secara tidak langsung mempengaruhi

kinerja karyawan melalui tunjangan jabatan sebagai variabel moderasi.

Baru-baru ini, perawat dari Provinsi Aceh Utara dan Kota

Loksumawe tidak setuju dan menyatakan kekecewaannya terhadap

kebijakan menteri kesehatan Indonesia yang hanya memberikan

tunjangan kepada dokter yang bekerja di provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam. Pasalnya, Kementerian Kesehatan hanya mensubsidi

dokter umum dan dokter spesialis yang bekerja di wilayah NAD masing-

masing 5 juta dan 7,5 juta orang. Hal ini sangat ironis mengingat

Kementerian Kesehatan yang bertanggungjawab atas pelayanan medis

terkesan menggertak dan melecehkan profesi keperawatan. Mereka

berdedikasi pada bidangnya masing-masing bekerjasama dengan

profesi lain.

Tabel 1.3
Tunjangan Perawat RSUD Kota Provinsi Banten
Total
Dimensi Indikator STS TS KS S SS Jumlah Rata-rata Rata-
rata
Tunjangan Gaji 16 8 0 11 5 40 2,53
2,76
langsung Uang transport 9 7 0 14 10 40 3,23
12

Uang lembur 14 11 0 10 5 40 2,53


Promosi jabatan 7 14 2 9 8 40 2,93
Tunjangan
tidak Asuransi 6 10 3 12 9 40 3,20 2,93
langsung Tunjangan
13 10 1 9 7 40 2,68
jabatan
Frekuensi 40 45 6 40 29 160
2,85
Persentase 8,83 19,87 3,97 35,32 32,01 100

Sumber: Data primer yang diolah hasil pra survei, 2022


Keterangan: STS (Sangat Tidak Setuju), TS (Tidak Setuju), KS (Kurang Setuju), S
(Setuju), SS (Sangat Setuju)

Berdasarkan tabel 1.3 maka terlihat bahwa tanggapan

responden terhadap dua dimensi tunjangan yaitu tunjangan langsung

dan tunjangan tidak langsung dengan nilai rata-rata sebesar 2,85. Hal

ini menunjukkan bahwa tunjangan langsung yang diperoleh bagi

perawat menurut mereka masih tidak layak dan tidak sesuai dengan

tugas dan tanggung jawab yang harus dikerjakan dengan nilai sebesar

2,76. Begitupun tunjangan tidak langsung yang didapat tidaklah adil

dan seimbang apalagi jika mau dibandingkan dengan besaran

tunjangan para perawat yang ada di rumah sakit-rumah sakit swasta

sehingga nilai yang muncul hanyalah 2,93. Hal ini menjadi keluhan

utama para perawat yang bisa berimbas pada komitmen dan kinerja

perawat yang bekerja tidak maksimal. Menurut mereka, hal yang

sebenarnya bisa sangat memotivasi untuk maksimal dalam

pelayanannya malah tidak diperhatikan dengan baik sehingga

kecenderungan melakukan segala sesuatu tidak optimal.

Kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengenali

emosi dalam diri sendiri dan orang lain, memotivasi diri sendiri, dan

mengelola emosi dengan baik dalam diri sendiri dan dalam hubungan.

(Ackley & Ackley, 2016). Kecerdasan emosional merupakan kombinasi


13

dari kemampuan dan keterampilan manusia, seperti kepercayaan diri,

pengendalian diri, empati, dan kepekaan terhadap emosi orang lain

(Goleman & Hermaya, 2016). Kecerdasan emosional secara positif

penting untuk kinerja jika individu sadar diri dan sadar sosial, dan skor

menjadi penting dalam penilaian organisasi. Berbeda dengan hasil

penelitian sebelumnya yang disebutkan di atas, penelitian (Uzunbacak

et al., 2022) menunjukkan bahwa prestasi kerja dan kesuksesan tidak

hanya dipengaruhi oleh kecerdasan emosional, tetapi ada beberapa

faktor yang mempengaruhinya. (Ullah et al., 2022) hanya menemukan

hubungan yang lemah antara kecerdasan emosional dan kinerja

organisasi secara keseluruhan. Kecerdasan emosional merupakan

gabungan dari 27 kompetensi, dan masing- masing kompetensi belum

pernah diukur secara individu perannya dalam meningkatkan kinerja

yang unggul. Selain itu, (Ahad et al., 2021) tidak menemukan korelasi

antara kecerdasan emosional dan kinerja dalam populasi organisasi.

Perilaku caring pada perawat sangat penting bagi pasien, namun

banyak perawat yang masih jauh dari kualitas tersebut. Beberapa

rumah sakit di Indonesia telah melakukan penelitian tentang perilaku

perawatan perawat. Penelitian yang dilakukan oleh (Setyowati et al.,

2020) tentang hubungan antara perilaku penyayang dengan kepuasan

pasien di RS Pariaman menemukan bahwa banyak perawat yang

kurang peduli terhadap pasiennya. Budaya organisasi berhubungan

dengan perubahan kearah pelayanan yang berpusat pada pasien.

Faktor yang paling dominan mempengaruhi pelayanan yang berpusat


14

pada pasien yaitu komunikasi yang berpeluang 5,907 kali untuk

melaksanakan pelayanan yang berpusat pada pasien dengan baik

tentang faktor budaya organisasi yang berhubungan dengan perilaku

perawatan perawat dilakukan di ruang rawat inap Rumah Sakit Profesor

RSUD. Dr. H. Aloei Saboe Kota Gorontalo menunjukkan bahwa

sebagian perawat (53,3%) kurang empati terhadap pasiennya.

Perilaku caring memiliki dampak negatif baik bagi staf perawat

maupun pasien (Handayani, 2021). Dampak negatif bagi tenaga

keperawatan adalah melupakan kebutuhan pasien, bahkan melupakan

tugas dan tanggung jawabnya, dan tenaga keperawatan tidak memiliki

rasa kasih sayang terhadap pasien. Efek negatifnya antara lain pasien

merasa takut, khawatir, kehilangan kendali, keputusasaan,

keterasingan, tidak ada yang membantu, peningkatan rasa sakit,

proses pemulihan pasien lebih sulit, dan hubungan interpersonal antar

perawat. Kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk memahami

makna emosi dan hubungan di antara mereka dan memberikan alasan

dan solusi.

Kecerdasan emosional ini diperlukan bagi perawat karena

mereka terus- menerus berhubungan dengan pasien yang memiliki

latar belakang budaya dan karakteristik yang berbeda. Selain memiliki

sikap hati-hati dan peduli, perawat harus selalu antusias dan siap

membantu yang ditandai dengan reaksi cepat terhadap emosi orang

lain, kemurungan, dan ketidakpekaan terhadap perasaan dan keadaan

orang lain (Goleman & Hermaya, 2016). Pasien yang menerima


15

pelayanan kesehatan dengan penuh keterampilan tetapi tanpa sikap

emosional yang baik dalam pelayanan tersebut tidak terlayani dengan

baik oleh pasien, yang menyatakan bahwa pelayanan tersebut dinilai

sebagai pelayanan yang baik (Soomro et al., 2022). Hal ini didukung

oleh penelitian Lima et al., (2020) yang menunjukkan adanya hubungan

positif antara kecerdasan emosional dengan perilaku caring perawat di

RS Suaka Insan Banjarmasin.

Pasien akan merasa terpuaskan bila harapan akan pelayanan

kesehatan yang diterimanya memenuhi standar kualitas yang

diinginkan. Terpuaskannya pasien dan konsumen rumah sakit akan

meningkatkan brand royalty yang semakin kuat. Pelayanan rumah sakit

meliputi fasilitas fisik, fasilitas perawatan, dan berbagai fasilitas

pendukung yang tersedia di rumah sakit tersebut. Bagi manajemen

rumah sakit, mengetahui keinginan dan kebutuhan konsumen adalah

hal yang utama, untuk itu manajemen perlu mendapatkan input dari

konsumen berupa harapan akan jasa yang diinginkan (expected

service). Kualitas mutu pelayanan keperawatan di rumah sakit

bergantung pada keterampilan, kecepatan, kemudahan dan ketepatan

dalam melakukan tindakan praktek keperawatan. Artinya pelayanan

keperawatan bergantung kepada efisiensi dan efektifitas struktural yang

ada dalam keseluruhan sistem suatu rumah sakit. Berikut data hasil pra

survei terhadap 40 perawat di empat RSUD Kota Provinsi Banten.

Tabel 1.4
Kecerdasan Emosional Perawat RSUD Kota Provinsi Banten
16

Total
Dimensi Indikator STS TS KS S SS Jumlah Rata-rata Rata-
rata
Kemampuan
untuk mengenali
11 10 6 8 5 40 2,65
dan memahami
emosi sendiri
Kemampuan
untuk mengelola 9 12 6 5 8 40 2,78
Kesadaran
emosi 2,69
Diri
Membaca dan
merespon emosi 12 8 4 11 5 40 2,73
pasien
Mengekspresika
n emosi dengan 13 9 5 6 7 40 2,63
tepat
Kemampuan
7 9 7 9 8 40 3,05
mengatasi stres
Kemampuan
8 8 4 13 7 40 3,08
beradaptasi
Kemampuan
Pengelolaan memecahkan 7 9 5 7 12 40 3,20
masalah 3,11
Diri
Kemampuan
berkomunikasi 8 6 4 12 10 40 3,25
dengan baik
Kemampuan
bekerja dalam 9 8 5 11 7 40 2,98
tim
Inisiatif 7 9 5 8 11 40 3,18
Keyakinan diri 7 6 7 15 5 40 3,13
Dorongan 8 0 4 18 10 40 3,55
Antusiasme 8 9 5 10 8 40 3,03
Motivasi 3,20
Ketekunan 10 12 3 11 4 40 2,68
Kreativitas 9 10 4 9 8 40 2,93
Rasa ingin tahu 6 0 7 16 11 40 3,65
Rasa bangga 4 7 4 16 9 40 3,48
Membangun
5 12 3 15 5 40 3,08
hubungan
Berkolaborasi 8 9 4 11 8 40 3,05
Mengatasi konflik 7 8 5 12 8 40 3,15
Kemampua
Memberikan 3,20
n Sosial
dukungan 3 7 4 14 12 40 3,63
emosional
Memahami
8 8 3 14 7 40 3,10
budaya
Kemampuan
merasakan apa
8 8 3 12 9 40 3,15
yang dirasakan
orang lain
Kemampuan
mendengarkan 8 9 5 9 9 40 3,05
Empati aktif 3,03
Kemampuan
berkomunikasi 9 7 5 8 11 40 3,13
dengan empati
Kemampuan
menghargai 6 15 2 15 2 40 2,80
keberagaman
Frekuensi 205 215 119 295 206 1040 3,05
Persentase 6,40 13,4 11,15 36,85 32,1 100
17

Total
Dimensi Indikator STS TS KS S SS Jumlah Rata-rata Rata-
rata
3 7

Sumber: Data primer yang diolah hasil pra survei, 2022


Keterangan: STS (Sangat Tidak Setuju), TS (Tidak Setuju), KS (Kurang Setuju), S
(Setuju), SS (Sangat Setuju)

Berdasarkan tabel 1.4 diatas, dapat dijelaskan bahwa hasil

tanggapan responden terhadap empat dimensi kecerdasan emosional

memberikan skor rata-rata 3.05 yang mengindikasikan bahwa

kecerdasan emosional perawat di 4 rumah sakit ini masih harus

ditingkatkan. Semua dimensi dalam kecerdasan emosional ini disoroti

karena masing-masing ada pada kisaran skor 3,0. Pengukuran dimensi

kesadaran diri dengan beberapa indikator memunculkan nilai hanya

2,69 karena keseluruhan indikator dalam dimensi ini yaitu kemampuan

untuk mengenali dan memahami emosi sendiri, kemampuan untuk

mengelola emosi, kemampuan untuk membaca dan merespons emosi

pasien serta kemampuan untuk mengekspresikan emosi dengan tepat

itu berada di kisaran 2,4 – 2,9. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran

diri perawat sedikit diatas rata-rata yang berarti perawat memiliki

kemampuan mengenali karakteristik emosi mereka sendiri namun

masih ada ruang untuk perawat bisa meningkatkannya.

Konteks keperawatan selalu menempatkan kesadaran diri

sebagai faktor penting untuk membangun hubungan yang kuat antara

perawat dengan pasien. Kesadaran diri yang baik juga membawa


18

perawat untuk lebih mudah mengatasi stres dan bisa lebih efektif

bekerja dengan sesama perawat yang lain.

Hasil pengukuran dimensi yang lain yaitu pengelolaan diri

menunjukkan hasil rata-rata 3,11. Ini berarti kesemua indikator yang

menjadi tolak ukur yaitu kemampuan mengatasi stres, kemampuan

beradaptasi, kemampuan memecahkan masalah, kemampuan

berkomunikasi dengan baik dan kemampuan bekerja dalam tim berada

di atas rata-rata namun juga harus lebih ditingkatkan karena standar

praktik keperawatan dan kode etik keperawatan juga menekankan

pentingnya perawat untuk memiliki kemampuan pengelolaan diri yang

baik agar dapat memberikan perawatan yang berkualitas dan

memenuhi standar etika dalam profesi keperawatan.

Unsur lain dalam pengelolaan diri perawat yang diukur adalah

motivasi. Hasil pengukuran untuk motivasi perawat dalam kerangka

kecerdasan emosional ada pada skor 3,20. Angka ini di atas standar

rata-rata namun masih perlu ditingkatkan. Inisiatif, keyakinan diri,

dorongan, antusiasme, ketekunan, kreativitas, rasa ingin tahu dan rasa

bangga merupakan kesemua hal yang perlu ditingkatkan karena

seorang perawat harus mampu menjaga fokusnya pada tugas dan

tanggung jawab yang sudah diemban. Ketika terfokus maka tantangan-

tantangan pada situasi-situasi yang tidak terduga karena kondisi pasien

maupun karena kondisi peralatan medis akan bisa teratasi dengan baik.
19

Kemampuan sosial dan empati yang diukur juga berada pada

kisaran skor 3,0 yaitu 3,20 untuk kemampuan sosial dan 3.03 untuk

empati. Kedua hal ini juga perlu ditingkatkan terutama dalam hal

memahami budaya dan menghargai keberagaman karena sebagai

perawat pasti akan berhadapan dengan pasien dan rekan kerja yang

berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda-beda. Hal inilah

yang menuntut setiap perawat untuk terus belajar memahami karakter

dan budaya yang berbeda dari setiap pasien maupun rekan sekerja

dengan baik.

Kecerdasan emosional yang rendah ini harus diperbaiki dan

ditingkatkan karena pentingnya perawat memiliki kecerdasan emosional

yang standar dan stabil untuk bisa meningkatkan kemampuan dalam

berkomunikasi: Perawat yang memiliki kecerdasan emosioanal yang

tinggi mampu berkomunikasi dengan pasien, keluarga, dan kolega

secara efektif. Mereka dapat membaca ekspresi wajah, gerakan tubuh,

dan nada suara untuk memahami apa yang ingin disampaikan pasien

atau keluarga pasien. Hal lainnya adalah meningkatkan kemampuan

dalam memahami dan mengelola emosi karena perawat seringkali

berurusan dengan pasien dan keluarga pasien yang sedang dalam

situasi stres dan emosional. Perawat yang memiliki kecerdasan

emosioanal yang tinggi dapat memahami dan mengelola emosi mereka

sendiri serta pasien dan keluarga pasien. Hal ini membantu perawat

untuk tetap tenang dan fokus dalam menangani pasien.


20

Kecerdasan emosional perawat juga diperlukan untuk

meningkatkan kemampuan dalam bekerja dalam tim: Perawat selalu

bekerja dalam tim untuk memberikan perawatan yang terbaik untuk

pasien. Perawat yang memiliki kecerdasan emosioanal yang tinggi

dapat membangun hubungan kerja yang baik dengan tim perawatan

dan dapat bekerja sama dalam mencapai tujuan yang sama.

Budaya kerja yang baik akan dapat berjalan jika para perawat

atau pegawai memiliki kompetensi yang baik pula. Kompetensi perawat

adalah, di atas segalanya, untuk melakukan tugasnya sebagai pekerja

perawatan kesehatan profesional. Menurut Potter & Perry, (2010),

perawat memiliki cakupan peran yang sangat luas yang membutuhkan

pengetahuan dan keterampilan di berbagai bidang. Dalam menjalankan

fungsi-fungsi ini, perawat mengambil peran yang saling terkait seperti

pengasuh, pengambil keputusan, pelindung dan advokat pasien,

administrator, rehabilitator, komunikator, penghibur dan pendidik. Ada

enam karakteristik kompetensi yang mempengaruhi kinerja karyawan:

motif, sifat, konsep diri, pengetahuan, keterampilan dan pemecahan

masalah. Upaya peningkatan kualitas kinerja pegawai antara lain

dengan meningkatkan kepuasan kerja. Kinerja yang unggul dan

kepuasan kerja dicapai ketika karyawan sangat kompeten. Kinerja

karyawan yang buruk menyebabkan kinerja yang buruk.

Keadaan gangguan kesehatan jiwa yang terjadi pada perawat

tidak diragukan lagi menjadi masalah utama bagi rumah sakit untuk
21

menjaga kualitas pelayanan, dan negara-negara Eropa seperti Jerman

dan Belanda telah melakukan upaya untuk mengurangi jumlah tenaga

kesehatan Indonesia, saya minta setiap tahun. Pusat Penelitian dan

Informasi BNP2TKI melaporkan bahwa dari tahun 2011 hingga 2015,

sekitar 63% perawat Indonesia tidak diterima secara G-to-G. Artinya

permintaan lebih besar dari penawaran. Sementara itu, sekitar 38%

lulusan keperawatan Indonesia belum memasuki pasar kerja domestik

maupun internasional. Suci (2017), menambahkan adanya hubungan

positif antara tingkat kompetensi seorang pegawai dengan tingkat

kinerja yang dihasilkan. Kompetensi dalam pelayanan kesehatan

adalah kemampuan untuk menyediakan barang atau jasa kepada

konsumen untuk pelayanan kesehatan yang lebih baik, harga yang

murah, pelayanan yang sempurna, dan manfaat yang terjangkau yang

memenuhi kebutuhan, persyaratan, harapan, dan kepuasan konsumen

(Erfiyan et al., 2022).

Tabel 1.5
Budaya Kerja Perawat Perawat RSUD Kota Provinsi Banten

Total
Dimensi Indikator STS TS KS S SS Jumlah Rata-rata Rata-
rata
Partisipasi
perawat dalam
program 6 8 2 13 11 40 3,38
pelatihan dan
pengembangan
Jumlah ide
Inovasi inovatif 3,20
7 12 5 9 7 40 2,93
yang diusulkan
oleh perawat
Penerapan
teknologi baru
5 12 2 8 13 40 3,30
dalam praktek
perawat
Berani Tingkat inisiatif 8 7 5 13 7 40 3,10 3,15
Mengambi dalam
l Resiko mengambil
22

Total
Dimensi Indikator STS TS KS S SS Jumlah Rata-rata Rata-
rata
keputusan
Toleransi
terhadap 5 11 4 11 9 40 3,20
ketidakpastian
Tingkat akurasi
dalam
2 8 2 15 13 40 3,73
melaksanakan
tugas
Tingkat
kesalahan
dalam 6 7 3 14 10 40 3,38
melaksanakan
Perhatian tugas
pada Tingkat 3,60
Detail kepatuhan
terhadap 1 10 3 12 14 40 3,70
standar dan
prosedur
Tingkat
pemahaman
terhadap 6 5 2 13 14 40 3,60
catatan medis
pasien
Tingkat
kepatuhan
terhadap 2 7 5 16 10 40 3,63
prosedur dan
pedoman klinis
Tingkat
Orientasi penggunaan
Kualitas data untuk 7 11 4 7 11 40 3,10 3,26
Produk pengambilan
keputusan
Tingkat
keberhasilan
dalam 7 10 5 10 8 40 3,05
mencapai
target kualitas
Partisipasi
dalam kerja 5 6 4 12 13 40 3,55
sama tim
Orientasi Dukungan dan
3 9 4 9 15 40 3,60 3,39
Tim kolaborasi
Pengambilan
keputusan 6 11 4 14 5 40 3,03
bersama
Responsif
dalam
8 12 3 9 8 40 2,93
menangani
situasi darurat
Fleksibilitas
Dalam
Gesit 8 7 2 11 12 40 3,30 3,09
Mengatasi
Perubahan
Ketepatan
Waktu Dalam
5 14 3 10 8 40 3,05
Memberikan
Perawatan
Peduli Perhatian pada 0 5 3 20 12 40 3,98 3,53
pada kualitas
Stabilitas pelayanan
23

Total
Dimensi Indikator STS TS KS S SS Jumlah Rata-rata Rata-
rata
Komunikasi
yang jelas dan 8 11 2 8 11 40 3,08
terbuka
Frekuensi 92 163 60 212 193 720
7,4 3,32
Persentase 3,82 13,52 7 35,17 40,02 100

Sumber: Data primer yang diolah hasil pra survey (2022)


Keterangan: STS (Sangat Tidak Setuju), TS (Tidak Setuju), S (Setuju), SS (Sangat
Setuju)

Tabel 1.5 menunjukkan bahwa hasil tanggapan responden

terhadap tujuh dimensi budaya kerja perawat memunculkan skor rata-

rata 3,32. Hal ini mengindikasikan bahwa budaya kerja perawat di 4

rumah sakit ini masih perlu diperbaiki dan ditingkatkan untuk bisa

menciptakan budaya kerja yang optimal bagi peningkatan kinerja

perawat dan nilai dari institusi rumah sakit itu sendiri. Aspek yang

terendah ada pada dimensi berani mengambil resiko yaitu 3,15 dan

kegesitan dalam bekerja yaitu 3,09. Keberhasilan dalam mencapai

target kualitas pada dimensi orientasi kualitas produk yang hanya 3,05

dan toleransi pada ketidakpastian pada dimensi berani mengambil

resiko serta ketepatan waktu dalam memberikan perawatan harus

benar-benar ditingkatkan terutama ketepatan waktu dalam memberikan

perawatan dan toleransi pada ketidakpastian karena praktek

keperawatan yang berhubungan dengan kehidupan pasien yang setiap

saat nyawanya bisa terancam jika ada keterlambatan dalam tindakan

dan pelayanan medis.


24

Pelayanan rumah sakit terbagi menjadi dua bagian besar yaitu

pelayanan medis dan pelayanan yang bersifat non-medis. Contohnya

dapat berupa pemberian obat, pemberian makanan, asuhan

keperawatan, diagnosis medis dan sebagainya (Aryo Pangarso et al.,

2019). Penerapan Budaya Kerja PRIMA secara langsung dapat

dirasakan oleh klien dalam hal ini pasien yang dirawat di instalasi rawat

inap RS Evasari. Sikap perawat dalam pandangan informan didasarkan

persepsinya tentang derajat positif atau negatif terhadap pasien ketika

memberikan pelayanan perawatan. Pelayanan yang ideal sebagai

acuan adalah standar PRIMA (Profesional, Rapi, Ibadah,

Mendengarkan, Asertif). Objek persepsi dari sikap perawat yang

ditampilkan informan meliputi, komunikasi, ketulusan, kesungguhan,

sikap adil, sikap menghibur dan kepedulian perawat saat memberikan

pelayanan keperawatan. Pandangan ini didasarkan pada

pengalamannya ketika informan melakukan interaksi dengan perawat

selama menjalani rawat inap. Pelayanan kesehatan pada sebuah

rumah sakit merupakan cerminan budaya kerja dari para tenaga medis

yang bekerja. Oleh karena itu perlu pemahaman yang baik terhadap

budaya kerja yang diterapkan oleh sebuah rumah sakit. Budaya kerja

adalah fondasi yang menjadi panutan semua orang yang bekerja di

suatu perusahaan/organisasi dan melakukan aktivitas, baik di dalam

maupun di luar tempat kerja, sehingga semua aktivitas, ruang di mana

mereka berlangsung, bernilai dan bermakna. Dalam hal ini, Iqbal (2022)

berpendapat bahwa salah satu faktor kunci untuk memberikan


25

pelayanan kesehatan yang baik juga harus pengetahuan dan

keterampilan profesional kesehatan yang baik.

Perhatian pada detail pekerjaan seringkali terlewatkan karena

keyakinan bahwa prosedur yang dilakukan sudah melekat sehingga

tidak ada evaluasi terhadap hal-hal yang sudah dikerjakan. Hal inilah

yang seringkali terjadi karena perawat selalu merasa bahwa mereka

sudah melakukan pekerjaannya dengan baik dan menyingkirkan hal-hal

yang terlewati dalam prosedur pelayanan medis maupun non medis.

Hal yang juga perlu disoroti adalah keberanian untuk mengambil

resiko. Dalam hal ini masih ada keraguan dalam diri perawat untuk

mengambil tindakan pada hal-hal yang jarang terjadi meskipun standar

pelaksanaannya ada dan jelas. Hal ini juga menyangkut faktor

senioritas dan budaya ewuh pekewuh yang cukup mengganggu

padahal apapun bisa dilakukan sebagai suatu tindakan asalkan sesuai

dengan aturan dan kewenangan yang dimiliki. Hal-hal ini yang harus

terus diperbaiki agar perawat sebagai garda terdepan kesehatan

masyarakat dapat bekerja dengan optimal.

Moeheriono (2020), berpendapat bahwa sistem kompetensi

perawatan kesehatan untuk memberikan layanan perawatan kesehatan

yang baik sangat penting dan harus dikembangkan sebanyak mungkin,

terutama di perusahaan modern. Kompetensi adalah dimensi tindakan

tugas yang menggunakan tindakan karyawan untuk menyelesaikan

tugas pekerjaan secara memuaskan dan apa yang dicapai karyawan


26

dengan cara dan tingkat kinerja yang berbeda (Moreira et al., 2022). Di

sisi lain, McClelland mengatakan kompetensi adalah ciri kepribadian

mendasar yang menentukan keberhasilan atau kegagalan dalam

pekerjaan atau dalam situasi tertentu. Namun dalam pelaksanaannya

mengalami kendala, termasuk di kalangan tenaga kesehatan di Rumah

Sakit Umum Daerah yang mengeluhkan terbatasnya upskilling yang

diberikan oleh pihak rumah sakit. Misalnya, perawat yang telah bekerja

selama lebih dari 10 tahun tetapi belum menerima pembaruan

pengetahuan, strategi, atau pelatihan apa pun.

Tabel 1.6
Kompetensi Perawat Perawat RSUD Kota Provinsi Banten

Total
Rata-
Dimensi Indikator STS TS KS S SS Jumlah Rata-
rata
rata
Kemampuan untuk
menjelaskan
hubungan antara
faktor-faktor risiko 6 4 4 15 11 40 3,53
dan gejala klinis
suatu kondisi
kesehatan
Kemampuan untuk
melakukan evaluasi
klinis dan diagnosis 4 5 3 16 12 40 3,68
pasien dengan akurat
Pengetahuan
dan sistematis
dan 3,54
Kemampuan Kemampuan untuk
merencanakan dan
melaksanakan
7 6 2 13 12 40 3,43
perawatan sesuai
dengan kebutuhan
pasien
Kemampuan untuk
memantau dan
mengevaluasi
7 5 0 16 12 40 3,53
respons pasien
terhadap intervensi
keperawatan
Kemampuan untuk
menyampaikan
Keterampilan
informasi kesehatan
Interpersonal 4 9 4 13 10 40 3,40 3,45
dengan jelas dan
dan kolaboratif
efektif kepada pasien
dan keluarga.
27

Total
Rata-
Dimensi Indikator STS TS KS S SS Jumlah Rata-
rata
rata
Kemampuan untuk
mendengarkan dan
memahami
8 7 3 13 9 40 3,20
kebutuhan dan
kekhawatiran pasien
dan keluarga
Kemampuan untuk
berkomunikasi secara
efektif dengan 6 7 2 12 13 40 3,48
anggota tim
kesehatan lainnya
Kemampuan untuk
berkontribusi dalam
diskusi tim dan
5 6 4 13 12 40 3,53
membuat keputusan
bersama tentang
perawatan pasien
Kemampuan untuk
berkoordinasi dengan
anggota tim
3 8 2 14 13 40 3,65
kesehatan lainnya
dalam pelaksanaan
perawatan
Pengetahuan tentang
program asuransi
kesehatan yang
9 9 3 12 7 40 2,98
tersedia dan
manfaatnya untuk
pasien
Pengetahuan tentang
program bantuan
7 10 3 9 11 40 3,18
biaya untuk pasien
yang membutuhkan
Pengetahuan tentang
Pengetahuan sumber daya
dan kesehatan lokal dan
6 7 3 12 12 40 3,43
Keterampilan nasional yang 3,23
Sumber Daya tersedia untuk
Manusia membantu pasien
Kemampuan untuk
memprioritaskan
perawatan
berdasarkan 4 11 3 11 11 40 3,35
kebutuhan pasien
dan ketersediaan
sumber daya
Kemampuan untuk
mengelola inventaris
peralatan dan 8 7 4 10 11 40 3,23
persediaan obat
dengan efektif
Kemampuan untuk
menggunakan
Pemikiran Kritis sumber daya
dan Proses kesehatan dengan 8 11 3 10 8 40 2,98 3,26
Klinis bijak dan
meminimalkan
pemborosan
28

Total
Rata-
Dimensi Indikator STS TS KS S SS Jumlah Rata-
rata
rata
Kemampuan untuk
mengumpulkan data
5 3 3 13 16 40 3,80
pasien secara akurat
dan terstruktur
Kemampuan untuk
mengevaluasi data
pasien secara kritis 6 11 2 9 12 40 3,25
dan memahami
implikasi klinisnya
Kemampuan untuk
membuat keputusan
klinis berdasarkan 7 9 4 11 9 40 3,15
analisis data yang
tepat
Kemampuan untuk
mengembangkan dan
menerapkan rencana
4 11 6 8 11 40 3,28
perawatan yang tepat
berdasarkan
pemikiran kritis.
Kemampuan untuk
mengevaluasi hasil
perawatan dan
melakukan 8 11 2 8 11 40 3,08
perubahan tindakan
perawatan yang
diperlukan.
Kemampuan untuk
mengidentifikasi dan
mengevaluasi 8 9 5 12 6 40 2,98
masalah kesehatan
pasien.
Kemampuan untuk
merencanakan dan
menerapkan
intervensi perawatan 7 6 4 12 11 40 3,35
yang tepat
berdasarkan proses
klinis yang terstruktur.
Kemampuan untuk
memantau respons
pasien terhadap
perawatan dan
2 12 2 13 11 40 3,48
melakukan
perubahan yang
diperlukan dalam
proses klinis
Pengetahuan Kemampuan untuk 6 12 5 12 5 40 2,95 3,22
dan menggunakan sistem
Keterampilan informasi kesehatan
Manajemen elektronik untuk
Informasi dan mengumpulkan dan
Teknologi mengelola data
pasien
29

Total
Rata-
Dimensi Indikator STS TS KS S SS Jumlah Rata-
rata
rata
Kemampuan untuk
menggunakan
teknologi informasi
untuk mengirim dan
5 9 4 11 11 40 3,35
menerima informasi
kesehatan antara
anggota tim
perawatan kesehatan
Kemampuan untuk
menggunakan
teknologi informasi
untuk mendukung 6 9 6 11 8 40 3,15
pengambilan
keputusan klinis yang
tepat
Kemampuan untuk
mengumpulkan,
memasukkan, dan
3 10 4 14 9 40 3,40
mengelola data
pasien dengan akurat
dan terstruktur
Kemampuan untuk
memastikan
kerahasiaan dan 5 6 1 12 16 40 3,70
keamanan data
pasien
Kemampuan untuk
menggunakan data
pasien untuk
mengidentifikasi
masalah kesehatan,
6 7 4 14 9 40 3,33
mengevaluasi
respons terhadap
perawatan, dan
membuat keputusan
klinis yang tepat
Kemampuan untuk
mengembangkan dan
menerapkan rencana
perawatan yang 9 11 3 12 5 40 2,83
terkoordinasi
berdasarkan
informasi pasien
Kemampuan untuk
memantau respons
pasien terhadap
perawatan dan
9 8 4 10 9 40 3,05
melakukan
perubahan yang
diperlukan dalam
manajemen informasi
Kemampuan untuk
memberikan arahan
Keterampilan dan mendukung
Kepemimpinan anggota tim
7 8 2 10 13 40 3,35
dan perawatan kesehatan 3,08
Pengembangan dalam mencapai
Diri tujuan perawatan
pasien
Kemampuan untuk 10 11 3 7 9 40 2,85
30

Total
Rata-
Dimensi Indikator STS TS KS S SS Jumlah Rata-
rata
rata
memfasilitasi diskusi
dan pengambilan
keputusan yang
terkoordinasi dengan
anggota tim
perawatan kesehatan
Kemampuan untuk
memantau kinerja
anggota tim
perawatan kesehatan 12 9 0 9 10 40 2,90
dan memberikan
umpan balik yang
konstruktif
Kemampuan untuk
mengorganisir waktu
dan tugas dengan
efektif untuk
6 13 0 8 13 40 3,23
memastikan
perawatan pasien
yang tepat waktu dan
berkualitas tinggi
Frekuensi 206 282 98 361 333 1280
13,5 34,6 39,9 3,30
Persentase
4,94 2 7,05 0 0 100

Sumber: Data primer yang diolah hasil pra survei, 2022


Keterangan: STS (Sangat Tidak Setuju), TS (Tidak Setuju), KS (Kurang Setuju), S
(Setuju), SS (Sangat Setuju)

Berdasarkan tabel 1.6 diatas, hasil tanggapan responden

terhadap enam dimensi kompetensi kerja perawat di 4 rumah sakit

menunjukkan skor rata-rata 3,30. Skor terendah ada pada dimensi

keterampilan kepemimpinan dan pengembangan diri sebesar 3,08.

Kemampuan untuk memfasilitasi diskusi dan pengambilan keputusan

berdasarkan koordinasi dengan anggota tim yang lain merupakan salah

satu unsur yang perlu diperhatikan karena faktor koordinasi dan

komunikasi yang tidak tepat bisa menyebabkan informasi tidak

tersampaikan dengan tepat dan utuh dan hal ini sangat beresiko, ketika

informasi yang didapat bisa menimbulkan multi interpretasi dan tidak

dilanjuti dengan langkah konfirmasi ulang maka bisa berujung pada


31

tindakan yang salah sehingga semaksimal mungkin dihindari adanya

kemungkinanan kesalahan informasi.

Kemampuan untuk menggunakan sumber daya kesehatan

dengan bijak dan meminimalkan pemborosan juga perlu diperhatikan

karena perawat harus mampu mengoptimalkan penggunaan sumber

daya kesehatan yang tersedia, termasuk obat-obatan, peralatan medis,

dan waktu, untuk memastikan pasien mendapatkan perawatan yang

berkualitas dan terjangkau. Perawat juga harus mampu menghindari

pemborosan sumber daya kesehatan yang dapat mengakibatkan

kerugian finansial dan bahkan memperburuk kondisi pasien. Hal lainnya

adalah kemampuan untuk menggunakan sumber daya kesehatan

dengan bijak juga berkaitan dengan etika profesional seorang perawat.

Perawat harus memastikan bahwa keputusan penggunaan sumber

daya kesehatan didasarkan pada prinsip-prinsip etika, seperti keadilan,

kemanfaatan, dan penghormatan terhadap otonomi pasien. Hal ini akan

membantu menjaga kredibilitas dan integritas profesi perawat serta

meningkatkan kepercayaan pasien terhadap layanan kesehatan yang

diberikan.

Untuk penguasaan teknologi informasi, perawat seharusnya

memiliki kemampuan untuk dapat mengakses informasi kesehatan

terkini, mengevaluasi data pasien secara efektif, serta membuat

keputusan yang berdasarkan bukti-bukti. Selain itu, teknologi informasi

juga dapat membantu perawat dalam mengkoordinasikan perawatan


32

pasien dengan lebih efisien, mengurangi kesalahan medis, dan

meningkatkan kualitas perawatan. Betapa pentingnya aspek-aspek

tersebut maka perlu ada perbaikan agar kompetensi yang dimiliki bisa

dipergunakan semaksimal mungkin untuk kepentingan institusi rumah

sakit, pasien, perawat dan masyarakat secara umum .

Berdasarkan uraian pendapat dan fenomena tersebut diatas, dan

juga karena masih sedikit penelitian yang mengangkat masalah dengan

model variabel komitmen kerja perawat sebagai variabel tujuan dan

tunjangan jabatan fungsional sebagai variabel moderator, maka peneliti

memandang perlu untuk melakukan penelitian dengan judul: Pengaruh

Kecerdasan Emosional, Budaya Kerja dan Kompetensi Terhadap

Komitmen Kerja Serta Implikasinya Terhadap Kinerja Perawat

dimoderasi Tunjangan Jabatan Fungsional Perawat pada Rumah

Sakit Kota di Provinsi Banten.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat

diidentifikasikan masalahnya sebagai berikut:

1. Perawat masih ada yang kurang memiliki kesadaran dirinya

sebagai seorang perawat dalam melayani pasien.

2. Perawat masih ada yang kurang mampu sepenuhnya mengenali

emosi pasien.

3. Perawat masih ada yang mengabaikan prosedur dan sistem kerja.


33

4. Perawat masih ada yang memiliki orientasi pelayanan yang rendah

terhadap pasien.

5. Keahlian yang dimiliki perawat masih ada yang kurang dan masih

ada yang belum memenuhi standar.

6. Nilai profesionalisme perawat masih kurang dalam melayani

pasien.

7. Sebagian besar perawat masih ada yang kurang maksimal

memberikan pelayanan terhadap pasien dalam pemeriksaan.

8. Perawat masih ada yang kurang mampu memberikan pelayanan

tepat waktu, dan masih ada perawat yang tidak berada di tempat

saat bertugas.

9. Perawat masih ada yang lebih memikirkan dirinya sendiri dari

pada pelayanan kepada pasien.

10. Masih ada perawat yang memiliki rasa tanggung jawab yang

rendah terhadap pasien.

11. Bagi perawat ahli masih ada yang merasa tunjangan yang diterima

masih relatif rendah.

12. Bagi perawat terampil masih ada yang merasa tunjangan

berdasarkan kinerja belum sesuai dengan keahlian dan

keterampilannya.

13. Tingkat komitmen kerja dan kompensasi dalam bentuk tunjangan

jabatan fungsional perawat masih cukup rendah yang berdampak

terhadap pelayanan perawat di Rumah Sakit Kota Provinsi Banten

cukup rendah
34

14. Provinsi Banten merupakan provinsi yang cukup besar namun

hanya memiliki 4 (empat rumah sakit kota dengan tingkat

pelayanan yang masih kurang baik, dan belum ada penelitian

terkait variabel kecerdasan emosional, budaya kerja, kompetensi,

komitmen kerja, tunjangan jabatan fungsional, dan kinerja perawat.

1.3 Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah tersebut, maka peneliti

merumuskan batasan masalah sebagai berikut:

1. Pengaruh kecerdasan emosional, budaya kerja dan kompetensi

terhadap komitmen serta implikasinya terhadap kinerja perawat

dimoderasi tunjangan jabatan fungsional perawat pada rumah sakit

kota di Provinsi Banten.

2. Responden dalam penelitian ini adalah perawat PNS pada RSUD di

Provinsi Banten yaitu: RSUD Kota Cilegon, RSUD Kota Serang,

RSDU Kota Tangerang, dan RSUD Kota Tangerang Selatan.

3. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian adalah

proportionate sampling atau Judgmental sampling dan analisis data

yang digunakan adalah SEM .

1.4 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah, dan

batasan masalah di atas, maka peneliti merumuskan masalahnya

sebagai berikut:
35

1. Bagaimana kecerdasan emosional, budaya kerja, dan kompetensi

perawat di RSUD Kota di Provinsi Banten.

2. Bagaimana komitmen perawat di RSUD Kota di Provinsi Banten.

3. Bagaimana tunjangan jabatan fungsional perawat di RSUD Kota di

Provinsi Banten.

4. Bagaimana kinerja perawat di RSUD Kota di Provinsi Banten.

5. Seberapa besar pengaruh kecerdasan emosional terhadap terhadap

Komitmen kerja perawat di RSUD Kota di Provinsi Banten.

6. Seberapa besar pengaruh budaya kerja terhadap komitmen kerja

perawat di RSUD Kota di Provinsi Banten.

7. Seberapa besar pengaruh kompetensi terhadap komitmen kerja

perawat di RSUD Kota di Provinsi Banten.

8. Seberapa besar pengaruh komitmen terhadap kinerja perawat di

RSUD Kota di Provinsi Banten.

9. Seberapa besar pengaruh komitmen terhadap kinerja perawat

dimoderasi oleh tunjangan jabatan fungsional di RSUD Kota di

Provinsi Banten.

1.5 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah maka tujuan penelitian ini adalah

untuk mengetahui dan menganalisis:


36

1. Kecerdasan emosional, budaya kerja, dan kompetensi perawat di

RSUD Kota di Provinsi Banten.

2. Komitmen kerja perawat di RSUD Kota di Provinsi Banten.

3. Tunjangan jabatan fungsional perawat di RSUD Kota di Provinsi

Banten.

4. Kinerja perawat di RSUD Kota di Provinsi Banten

5. Besarnya pengaruh kecerdasan emosional terhadap terhadap

Komitmen kerja perawat di RSUD Kota di Provinsi Banten.

6. Besarnya pengaruh budaya kerja terhadap komitmen kerja perawat

di RSUD Kota di Provinsi Banten.

7. Besarnya pengaruh kompetensi terhadap komitmen kerja perawat di

RSUD Kota di Provinsi Banten.

8. Besarnya pengaruh komitmen kerja terhadap kinerja perawat di

RSUD Kota di Provinsi Banten.

9. Besarnya pengaruh komitmen kerja terhadap kinerja perawat

dimoderasi oleh tunjangan jabatan fungsional di RSUD Kota di

Provinsi Banten.

1.6 Manfaat Penelitian

1.6.1 Manfaat Teoritis


37

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

pemikiran dalam aspek keilmuan bagi perkembangan ilmu manajemen

bagi akademisi dalam pengembangan teori, khususnya bidang

manajemen sumber daya manusia melalui pendekatan serta metode-

metode yang digunakan menyangkut pentingnya kecerdasan

emosional, budaya kerja, kompetensi, komitmen kerja, tunjangan

jabatan fungsional, dan kinerja perawat.

1.6.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

dalam aspek praktis, khususnya sumbangan pemikiran khususnya bagi

perawat bagi perawat dan umumnya bagi tenaga medis di RSUD dalam

meningkatkan komitmen dan kinerjanya.

Anda mungkin juga menyukai