Referat Abortus

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 32

REFERAT

ABORTUS

Dosen Pembimbing:
…………..

Disusun oleh:
Neng Ratna Sari
2017730086

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2023

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya
saya dapat menyelesaikan referat dengan judul ‘ABORTUS’.
Terima kasih kepada ………………… selaku membimbing dalam
pembuatan referat ini sehingga dapat terselesaikan dengan baik. Saya
menyadari sepenuhnya bahwa dalam pembuatan referat ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari semua pihak yang membaca referat ini, agar dapat
mengoreksi diri dan dapat membuat referat yang lebih baik di lain
kesempatan.
Demikianlah referat ini dibuat sebagai pemenuhan tugas dari kegiatan
klinis stase obstetric dan ginekologi, serta untuk menambah pengetahuan
khususnya bagi pembaca pada umumnya.

Banjar, April 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................ii
DAFTAR ISI......................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................3
2.1 Definisi..........................................................................................................3
2.2 Epidemiologi................................................................................................3
2.3 Etiologi.........................................................................................................3
2.4. Patofisiologi.................................................................................................8
2.5 Klasifikasi Abortus.....................................................................................11
2.5 Diagnosis......................................................................................................17
2.6 Diagnosis Banding.......................................................................................19
2.7 Tatalaksana..................................................................................................20
2.8 Komplikasi...................................................................................................24
2.9 Prognosis......................................................................................................25
BAB III KESIMPULAN...................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................27

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Sekitar 295.000 ibu meninggal selama dan setelah kehamilan dan


persalinan pada tahun 2017. Sebagian besar dari kematian ini (94%) terjadi di
daerah yang kekurangan sumber daya yang sebenarnya sebagian besar bisa
dicegah kejadiannya.1
Kematian ibu umumnya terjadi akibat komplikasi saat dan pasca
kehamilan. Adapun jenis – jenis komplikasi yang menyebabkan mayoritas kasus
kematian ibu – sekitar 75% dari total kasus kematian ibu – adalah pendarahan,
infeksi, tekanan darah tinggi saat kehamilan, komplikasi persalinan, dan aborsi
yang tidak aman.2
Angka kejadian abortus di Asia Tenggara adalah 4,2 juta pertahun
termasuk Indonesia, sedangkan frekuensi abortus spontan di Indonesia adalah 10
– 15% dari 6 juta kehamilan setiap tahunnya atau 600.000 – 900.000, sedangkan
abortus buatan sekitar 750.000 – 1,5 juta setiap tahunnya, 2500 orang diantaranya
berakhir dengan kematian.3
Abortus adalah penghentian kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar
Rahim yaitu usia kurang dari 20 minggu usia kehamilan dengan berat janin
kurang dari 500 gram.4,5
Abortus merupakan salah satu penyebab perdarahan yang terjadi pada
kehamilan trimester pertama dan kedua. Perdarahan ini dapat menyebabkan
berakhirnya kehamilan atau kehamilan terus berlanjut. Secara klinis, 10 – 15%
kehamilan yang terdiagnosis berakhir dengan abortus.6
Faktor risiko terjadinya abortus meliputi : usia, paritas ibu, riwayat
abortus, infeksi selama kehamilan, merokok, mengonsumsi alcohol, kafein,
diabetes melitus, hipertensi, rendahnya social ekonomi, toksin seperti arsen dan
karbon disulfide, kelainan pada uterus dan lain – lain.
Insiden abortus sulit ditentukan karena kadang – kadang wanita dapat
mengalami abortus tanpa mengetahui bahwa ia hamil, dan tidak mempunyai

1
gejala yang hebat sehingga dianggap sebagai menstruasi yang terlambat atau
siklus memanjang.7
Kejadian abortus merupakan kejadian yang sering dijumpai tetapi
masyarakat masih menganggap abortus sebagai kasus yang biasa. Komplikasi
abortus yang dapat menyebabkan kematian ibu antara lain karena perdarahan dan
infeksi. Perdarahan yang terjadi selama abortus dapat mengakibatkan pasien
menderita anemia sehingga dapat meningkatkan risiko kematian ibu. Infeksi juga
dapat terjadi pada pasien yang mengalami abortus dan menyebabkan pasien
tersebut mengalami sepsis sehingga terjadi kematian ibu.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Abortus adalah fetus dengan berat kurang dari 500 gram atau umur
kehamilan kurang dari 20 minggu pada saat dikeluarkan dari uterus, yang tidak

mempunyai kemungkinan hidup.8,12 Abortus/keguguran adalah ancaman atau


pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Sebagai
batasan ialah kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500
gram.8,9

2.2 EPIDEMIOLOGI
Lebih dari 80% abortus terjadi dalam 12 minggu pertama. Anomali
kromosom menyebabkan paling sedikit separuh dari abortus dini. Risiko abortus
spontan meningkat seiring dengan paritas serta usia ibu dan ayah. Abortus spontan
yang secara klinis terdeteksi meningkat dari 12% pada wanita berusia kurang dari
20 tahun, menjadi 26% pada wanita berusia lebih dari 40 tahun. Akhirnya, insiden
abortus meningkat pada wanita yang hamil dalam 3 bulan setelah melahirkan
aterm.11
Rata-rata terjadi 114 kasus abortus per jam. Frekuensi Abortus spontan
berkisar 15-20 % dari semua kehamilan. Menurut SIEGLER dan EASTMAN,
abortus terjadi pada 10 % kehamilan. Data dari RS.Pringadi Medan diperoleh
10% abortus dari seluruh kehamilan. Angka kejadian abortus habitualis 3-5 % .
Data menunjukkan bahwa setelah 1 kali abortus spontan, pasangan punya resiko
15 % untuk mengalami keguguran lagi . sedangkan bila pernah 2 kali . resiko akan
meningkat 25 %, beberapa studi meramalkan bahwa resiko abortus setelah 3
abortus berurutan adalah 30-45%.9,10

2.3 ETIOLOGI

3
Penyebab abortus (early pregnancy loss) bervariasi dan sering
diperdebatkan. Umumnya lebih dari satu penyebab. Faktor-faktor penyebabnya
sangat banyak pada bulan pertama dari kehamilan yang mengalami abortus.
Penyebab terbanyak diantaranya adalah sebagai berikut:8,9,10,15

1) Penyebab Genetik
Menurut HERTIG, pertumbuhan abnormal dari fetus sering
menyebabkan abortus spontan. Pada ovum abnormal, 6% diantaranya
terdapat degenerasi hidatid vili. Abortus spontan yang disebabkan oleh
karena kelainan dari ovum, berkurang kemungkinannya jika kehamilan
sudah lebih dari satu bulan, artinya makin muda kehamilan saat terjadinya
abortus makin besar kemungkinan disebabkan oleh kelainan ovum (50-
80%).2 Sebagian besar abortus spontan disebabkan oleh kariotip embrio.
Paling sedikit 50% kejadian abortus pada trimester pertama merupakan
kelainan sitogenetik. Gambaran ini belum termasuk kelainan yang
disebabkan oleh gangguan gen tunggal (misalnya kelainan Mendelian)
atau mutasi pada beberapa lokus (misalnya gangguan poligenik atau
multifaktor) yang tidak terdeteksi dengan pemeriksaan kariotipe.
Kejadian tertinggi kelainan sitogenik konsepsi terjadi pada awal
kehamilan. Kelainan sitogenik embrio biasanya berupa aneuploidi yang
disebabkan oleh kejadian sporadis. Trisomi 16 dengan kejadian sekitar
30% dari seluruh trisomi, merupakan penyebab terbanyak. Semua
kromosom trisomi berakhir abortus kecuali pada trisomi kromosom 1.
Sindrom turner merupakan penyebab 20-25% kelainan sitogenik pada
abortus. Sepertiga dari fetus dengan Sindroma Down (trisomi 21) bisa
bertahan. Struktur kromosom merupakan kelainan kategori ketiga.
Kelainan struktural terjadi pada sekitar 3% kelainan sitogenik pada
abortus. Abortus berulang bisa disebabkan oleh penyatuan dari 2
kromosom yang abnormal, di mana bila kelainannya hanya pada salah satu
orang tua, faktor tersebut tidak diturunkan.8,9,10,15

4
Abortus berulang bisa disebabkan oleh penyatuan dari 2 kromosom
yang abnormal, di mana bila kelainannya hanya pada salah satu orang tua,
faktor tersebut tidak diturunkan. Studi yang pernah dilakukan
menunjukkan bahwa bila ddapatkan kelainan kariotip pada kejadian
abortus, maka kehamilan berikutnya juga berisiko mengalami abortus.8,9

Gambar 1. Frekuensi Kelainan Kromosom pada masing-masing Trimester11

2) Penyebab Anatomi
Defek anatomik uterus diketahui sebagai penyebab komplikasi
obstetrik, seperti abortus berulang, prematuritas, serta malpresentasi janin.
Insiden kelainan bentuk uterus berkisar 1/200 sampai 1/600 perempuan.
Pada perempuan dengan riwayat abortus, ditemukan anomali uterus pada
27% persen.9
Penyebab terbanyak abortus karena kelainan anatomik uterus
adalah septum uterus (40-80%), kemudian uterus bikornis atau uterus
didelfis atau unikornis (10-30%). Mioma uteri bisa menyebabkan baik
infertilitas maupun abortus berulang. Sebagian besar mioma tidak

5
memberikan gejala, hanya yang berukuran besar atau yang memasuki
kavum uteri (submukosa) yang akan menimbulkan gangguan. Sindroma
Asherman bisa menyebabkan gangguan tempat implantasi serta pasokan
darah pada permukaan endometrium. Risiko abortus antara 25 – 80%,
bergantung pada berat ringannya gangguan. Untuk mendiagnosis kelainan
ini bisa digunakan Histerosalpingografi (HSG) dan ultrasonografi.9,10
3) Penyebab Autoimun
Terdapat hubungan yang nyata antara abortus berulang dan
penyakit autoimun. Misalnya pada Systematic Lupus Erythematosus (SLE)
dan Antiphospholipid Antibodies (aPA). Diperkirakan 75% pasien dengan
SLE akan berakhir dengan terhentinya kehamilan. Sebagian besar
kematian janin dihubungkan dengan adanya aPA. Antiphospolipid
syndrom (APS) sering juga ditemukan pada beberapa keadaan obstetrik,
misalnya pada preeklampsia, IUGR dan prematuritas. Usia kehamilan saat
terjadinya abortus bisa memberi gambaran tentang penyebabnya . Sebagai
contoh , Antiphospholipid Syndrome (APS) dan inkompetensi serviks
sering terjadi setelah trimester pertama. The International Consensus
Workshop mengajukan klasifikasi kriteria untuk APS, yaitu meliputi:
trombosis vaskular, komplikasi kehamilan, kriteria laboratorium dan
antibodi fosfolipid.9,10
The International Consensus Workshop pada 1998 mengajukan klasifikasi
kriteria untuk APS, yaitu meliputi:
- Trombosis vaskular
Dibuktikan dengan gambaran Doppler, pencitraan, atau histologi.
Pada pemeriksaan histopatologi, trombosisnya tanpa disertai
gambaran inflamasi.
- Komplikasi kehamilan
Kejadian abortus dengan sebab yang tidak jelas, kematian janin
dimana gambaran morfologi secara sonografi normal, dan adanya
persalinan prematur dengan gambaran janin normal dan

6
berhubungan dengan preeklamisia berat atau insufisiensi plasenta
yang berat.
- Kriteria laboratorium
Anticardiolipin antibodies (aCLs) : IgG dan atau IgM dengan
kadar yang sedang atau tinggi pada 2 kali atau lebih pemeriksaan
dengan jarak lebih dari atau sama dengan 6 minggu. aCLs diukur
dengan metode ELISA standar.
- Antibodi fosfolipid/antikoagulan.
Adanya perbaikan nilai tes yang memanjang dengan penambahan
fosfolipid.
4) Penyebab Infeksi
Peran infeksi terhadap risiko abortus, diantaranya sebagai berikut:9,10

- Adanya metabolik toksik, endotoksin, eksotoksin, atau sitokin yang


berdampak langsung pada unit atau fetoplasenta,
- Infeksi janin yang bisa berakibat kematian janin atau cacat berat
sehingga janin sulit bertahan hidup,
- Infeksi plasenta yang berakibat insufisiensi plasenta dan bisa
berlanjut kematian janin,
- Infeksi kronis endometrium dari penyebaran kuman genitalia
bawah yang bisa mengganggu proses implantasi,
- Amnionitis (oleh kuman gram positif dan negatif),
- Memacu perubahan genetik dan anatomik embrio, umumnya oleh
karena virus selama kehamilan awal.
5) Faktor Lingkungan
Diperkirakan 1-10% malformasi janin akibat dari paparan obat,
bahan kimia atau radiasi dan umunya berakhir dengan abortus, misalnya
paparan terhadap buangan gas anestesi dan tembakau. Dengan adanya
gangguan pada sistem sirkulasi fetoplasenta dapat terjadi ganggguan
pertumbuhan janin yang berakibat terjadinya abortus.9,10
6) Faktor Hormonal

7
Ovulasi, implantasi, serta kehamilan dini bergantung pada
koordinasi yang baik sistem pengaturan hormom maternal. Oleh karena
itu, perlu perhatian langsung terhadap sistem hormon secara keseluruhan,
fase luteal, dan gambaran hormon setelah konsepsi terutama kadar
progesteron. Misalnya pada kasus diabetes mellitus, kadar progesteron
yang rendah, defek fase luteal, dan pengaruh hormonal terhadap imunitas
desidua.9,10
7) Faktor Hematologik
Beberapa kasus abortus berulang ditandai dengan defek plasentasi dan
adanya mikrotrombi pada pembuluh darah plasenta. Berbagai komponen
koagulasi dan fibrinolitik memegang peran penting pada implantasi
embrio, invasi trofoblas, dan plasentasi. Pada kehamilan terjadi keadaan
hiperkoagulasi dikarenakan:9,10
- Peningkatan kadar faktor prokoagulan
- Penurunan faktor antikoagulan
-  Penurunan aktivitas fibrinolitik
Kadar faktor VII, VIII, X, dan fibrinogen meningkat selama kehamilan
normal terutama pada kehamilan sebelum 12 minggu. Pada abortus sering
didapatkan defek hemostatik. Perempuan dengan riwayat abortus
berulang, sering terdapat peningkatan produksi tromboksan yang
berlebihan pada usia kehamilan 4–6 minggu, dan penurunan produksi
prostasiklin saat usia kehamilan 8-11 minggu. Perubahan rasio
tromboksan- prostasiklin memacu vasospasme serta agregasi trombosit,
yang menyebabkan mikrotrombi serta nekrosis plasenta. Homosistein
merupakan asam amino yang dibentuk selama konversi metionin kesistein.
Hiperhomosisteinemi, bisa kongenital ataupun akuisita berhubungan
dengan trombosis dan penyakit vaskular dini. Kondisi ini berhubungan
dengan 21% abortus berulang. Gen pembawa akan diturunkan secara
autosom resesif. Bentuk terbanyak yang didapat adalah defisiensi folat.
Pada pasien ini, penambahan folat akan mengembalikan kadar homosistein
normal dalam beberapa hari.9,10

8
2.4 PATOFISIOLOGI
Endometrium menyiapkan diri sebagai tempat implantasi dan memberi
makan kepada blastokist yang disebut sebagai desidua.
Setelah terjadi implantasi, desidua akan dibedakan menjadi :8,10
- Desidua basalis: desidua yang terletak antara blastokist dan miometrium
- Desidua kapsularis: desidua yang terletak antara blastokist dan kavum
uteri
- Desidua vera: desidua sisa yang tidak mengandung blastokist
Bersamaan dengan hal ini pada daerah desidua basalis terjadi suatu degenerasi
fibrinoid, yang terletak diantara desidua dan trofoblast untuk menghalangi serbuan
trofoblast lebih dalam lagi. Lapisan dengan degenerasi fibrinoid ini disebut
sebagai lapisan Nitabuch.
Pada perkembangan selanjutnya, saat terjadi persalinan, plasenta akan terlepas
dari endometrium pada lapisan Nitabuch tersebut. Pada awal abortus terjadi
perdarahan dalam desidua basalis kemudian diikuti oleh nekrosis jaringan di
sekitarnya. Hal tersebut menyebabkan hasil konsepsi terlepas sebagian atau
seluruhnya, sehingga merupakan benda asing dalam uterus. Keadaan ini
menyebabkan uterus berkontraksi untuk mengeluarkan isinya. Pada kehamilan
kurang dari 8 minggu hasil konsepsi itu biasanya dikeluarkan seluruhnya karena
villi koriales belum menembus desidua secara mendalam.
Pada kehamilan antara 8 sampai 14 minggu villi koriales menembus desidua
lebih dalam, sehingga umumnya plasenta tidak dilepaskan sempurna yang dapat
menyebabkan banyak perdarahan. Pada kehamilan 14 minggu ke atas umumnya
yang dikeluarkan setelah ketubah pecah ialah janin, disusul beberapa waktu
kemudian plasenta. Perdarahan tidak banyak jika plasenta segera terlepas dengan
lengkap. Peristiwa abortus ini menyerupai persalinan dalam bentuk miniatur.9,10,11
Hasil konsepsi pada abortus dapat dikeluarkan dalam berbagai bentuk. Ada
kalanya kantong amnion kosong atau tampak di dalamnya benda kecil tanpa
bentuk yang jelas (blighted ovum); mungkin pula janin telah mati lama (missed

9
abortion). Apabila mudigah yang mati tidak dikeluarkan dalam waktu singkat,
maka ia dapat diliputi oleh lapisan bekuan darah.
Isi uterus dimanakan mola kruenta. Bentuk ini menjadi mola karnosa apabila
pigmen darah telah diserap dan dalam sisanya terjadi organisasi, sehingga
semuanya tampak seperti daging. Bentuk lain adalah mola tuberosa; dalam hal ini
amnion tampak berbenjol-benjol karena terjadi hematoma antara amnion dan
korion. Pada janin yang telah meninggal dan tidak dikeluarkan dapat terjadi
proses mumifikasi: janin mengering dan karena cairan amnion menjadi kurang
oleh sebab diserap, ia menjadi agak gepeng (fetus kompressus).
Dalam tingkat lebih lanjut ia menjadi tipis seperti kertas perkamen (fetus
papiraseus). Kemungkinan lain pada janin-mati yang tidak segera dikeluarkan
ialah terjadinya maserasi; kulit terkupas, tengkorak menjadi lembek, perut
membesar karena terisi cairan, dan seluruh janin berwarna kemerah-merahan.9

10
Gambar 2. Skema Patofisiologi Abortus

2.5 KLASIFIKASI ABORTUS DAN PENANGANANNYA


Abortus dapat diklasifikasikan atas dua golongan:9,10,11,12,13

11
1. Abortus Spontan, yaitu abortus yang terjadi dengan tidak didahului faktor-
faktor mekanis ataupun medisinalis, semata - mata disebabkan oleh faktor-
faktor alamiah. 13
2. Abortus Provokatus (induced abortion), yaitu abortus yang
disengaja, baik dengan memakai obat-obatan maupun alat-alat. Abortus ini
dibagi menjadi: 13
- Abortus Medisinalis (abortus therapeutica)
Abortus karena tindakan sendiri, dengan alasan bila kehamilan
dilanjutkan dapat membahayakan jiwa ibu (berdasarkan indikasi
medis). Biasanya perlu mendapat persetujuan 2 sampai 3 tim
dokter ahli.
- Abortus kriminalis
Abortus yang terjadi oleh karena tindakan-tindakan yang tidak
legal atau tidak berdasarkan indikasi medis.

Abortus spontan secara klinis dapat digolongkan atas:


1. Abortus Imminens
Abortus imminens ialah peristiwa terjadinya perdarahan dari uterus pada
kehamilan sebelum 20 minggu, dimana hasil konsepsi masih dalam uterus,
dan tanpa adanya dilatasi serviks.
Diagnosis abortus immines ditentukan karena pada wanita hamil terjadi
perdarahan melalui ostium uteri eksternum, disertai mules sedikit atau tidak
sama sekali, uterus membesar sebesar tuanya kehamilan, serviks belum
membuka, dan tes kehamilan positif. Pada beberapa wanita hamil dapat
terjadi perdarahan sedikit pada saat haid yang semestinya datang jika tidak
terjadi pembuahan. Hal ini disebabkan oleh penembusan villi koriales ke
dalam desidua, pada saat implantasi ovum. Perdarahan implantasi biasanya
sedikit, warnanya merah, dan cepat berhenti, tidak disertai mules- mules.
Untuk menentukan prognosis abortus iminens dapat dilakukan dengan
melihat kadar hormon HCG pada urin dengan cara melakukan tes urin
kehamilan menggunakan urin tanpa pengenceran dan dengan pengenceran

12
1/10. Bila hasil tes urin masih positif keduanya maka prognosisnya adalah
baik, bila dengan pengenceran 1/10 hasilnya negatif maka prognosisnya dubia
ad malam.
Penanganan abortus imminens terdiri atas:9,10,13
- Istirahat-baring. Tirah baring merupakan unsur penting dalam pengobatan,
karena cara ini menyebabkan bertambahnya aliran darah ke uterus dan
berkurangnya rangsangan mekanik. Tirah baring dilakukan sampai
perdarahan berhenti.
- Tentang pemberian hormon progesteron pada abortus imminens belum ada
persesuaian faham. Sebagian besar ahli tidak menyetujuinya, dan mereka
yang menyetujuinya menyatakan bahwa harus ditentukan dahulu adanya
kekurangan hormon progesteron, apabila difikirkan bahwa sebagian besar
abortus didahului oleh kematian hasil konsepsi dan kematian ini dapat
disebabkan oleh banyak faktor, maka pemberian hormon progesteron
memang tidak banyak manfaatnya.
- Pemeriksaan ultrasonografi penting dilakukan untuk menentukan apakah
janin masih hidup. Pemeriksaan USG diperlukan untuk mengetahui
pertumbuhan janin yang ada dan mengetahui keadaan plasenta apakah sudah
terjadi pelepasan atau belum. Diperhatikan ukuran biometri janin/kantong
gestasi apakah sesuai dengan umur kehamilan berdasarkan HPHT. Denyut
jantung janin dan gerakan janin diperhatikan disamping ada tidaknya
hematoma retroplasenta atau pembukaan kanalis servikalis. Pemeriksaan
USG dapat dilakukan baik secara transabdominal maupun transvaginal.
- Macam dan lamanya perdarahan menentukan prognosis kelangsungan
kehamilan. Prognosis menjadi kurang baik bila perdarahan
- berlangsung lama, mules-mules yang disertai pendataran serta pembukaan
serviks. Penderita boleh dipulangkan setelah tidak terjadi perdarahan dengan
pesan khusus tidak boleh berhubungan seksual dulu sampai lebih kurang 2
minggu.

2. Abortus Insipiens

13
Abortus insipiens ialah peristiwa perdarahan uterus pada kehamilan

sebelum 20 mingggu dengan adanya dilatasi serviks uteri yang meningkat,


tetapi hasil konsepsi masih dalam uterus. Dalam hal ini rasa mules menjadi
lebih sering dan kuat, perdarahan bertambah. Pengeluaran hasil konsepsi
dapat dilaksanankan dengan kuret vakum atau dengan cunam ovum, disusul
dengan kerokan.9,10
Pada kehamilan lebih dari 12 minggu biasanya perdarahan tidak banyak
dan bahaya perforasi pada kerokan lebih besar, maka sebaiknya proses
abortus dipercepat dengan pemberian infus oksitosin. Apabila janin sudah
keluar tetapi plasenta masih tertinggal, sebaiknya pengeluaran plasenta
dikerjakan secara digital yang dapat disusul dengan kerokan bila masih ada
sisa plasenta yang tertinggal. Bahaya perforasi pada hal yang terakhir ini
tidak seberapa besar karena dinding uterus menjadi tebal disebabkan sebagian
besar hasil konsepsi telah keluar.9,10,13

Gambar 3. Abortus Iminens, abortus Insipiens, dan missed abortion9,10

Pengelolaan penderita ini harus memperhatikan keadaan umum dan


perubahan hemodinamik yang terjadi dan segera lakukan tindakan
evakuasi/pengeluaran hasil konsepsi disusul dengan kuretase bila perdarahan

14
banyak. Pada usia kehamilan di atas 12 minggu, uterus biasanya sudah
melebihi telur angsa, maka tindakan evakuasi dan kuretase harus dilakukan
hati-hati, kalau perlu dilakukan evakuasi dengan cara digital yang kemudian
disusul dengan tindakna kuretase sambil memberikan uterotonika yang akan
mencegah terjadinya perforsi pada dinding uterus. Pascatindakan perlu
perbaikan keadaan umum, pemberian uterotonika, dan antibiotika
profilaksis.9,10,12,13

3. Abortus Inkompletus
Abortus inkompletus ialah pengeluaran sebagian hasil konsepsi pada
kehamilan sebelum 20 minggu dengan masih ada sisa tertinggal dalam uterus.
Pada pemeriksaan vaginal, kanalis servikalis terbuka dan jaringan dapat
diraba dalam kavum uteri atau kadang-kadang sudah menonjol dari ostium
uteri eksternum. Perdarahan pada abortus inkompletus dapat banyak sekali,
sehingga menyebabkan syok dan perdarahan tidak akan berhenti sebelum sisa
hasil konsepsi dikeluarkan. Dalam penanganannya, apabila abortus
inkompletus disertai syok karena perdarahan, segera harus diberikan infus
cairan NaCl fisiologik atau cairan Ringer yang disusul dengan transfusi.
Setelah syok diatasi, dilakukan kerokan. Pasca tindakan disuntikkan
intramuskulus ergometrin untuk mempertahankan kontraksi otot uterus.9,10

4. Abortus Kompletus
Pada abortus kompletus semua hasil konsepsi sudah dikeluarkan. Pada
penderita ditemukan perdarahan sdikit, ostium uteri telah menutup, dan uterus
sudah banyak mengecil. Diagnsosis dapat dipermudah apabila hasil konsepsi
dapat diperiksa dan dapat dinyatakan bahwa semuanya sudah keluar dengan
lengkap. Penderita dengan abortus kompletus tidak memerlukan pengobatan
khusus, hanya apabila menderita anemia perlu diberi sulfas ferrosus atau
transfusi.

15
Gambar 4. Abortus Inkomplit dan abortus komplit

5. MISSED ABORTION
Missed abortion ialah kematian janin berusia sebelum 20 minggu, tetapi

janin mati itu tidak dikeluarkan selama 8 minggu atau lebih. Etiologi missed
abortion tidak diketahui, tetapi diduga pengaruh hormon progesteron.
Pemakaian hormon progesteron pada abortus imminens mungkin juga dapat
menyebabkan missed abortion.9,10,11
Diagnosis: dahulu diagnosis biasanya tidak dapat ditentukan dalam satu
kali pemeriksaan, melainkan memerlukan waktu pengamatan untuk menilai
tanda-tanda tidak tumbuhnya malahan mengecilnya uterus. Missed abortion
biasanya didahului oleh tanda-tanda abortus imminens yang kemudian
menghilang secara spontan atau setelah pengobatan. Gejala subjektif
kehamilan menghilang, mammae agak mengendor lagi, uterus tidak
membesar lagi bahkan mengecil, tes kehamilan menjadi negatif. Dengan
ultrasonografi dapat ditentukan segera apakah janin sudah mati dan besarnya
sesuai dengan usia kehamilan. Perlu diketahui pula bahwa missed abortion
kadang-kadang disertai oleh gangguan pembekuan darah karena
hipofibrinogenemia, sehingga pemeriksaan ke arah ini perlu dilakukan.
Penanganan: Setelah diagnosis missed abortion ditegakkan, timbul

pertanyaan apakah hasil konsepsi perlu segera dilakukan tindakan


pengeluaran. Tindakan pengeluaran itu tergantung dari berbagai faktor,

16
seperti apakah kadar fibrinogen dalam darah sudah mulai turun.
Hipofibrinogenemia dapat terjadi apabila janin yang mati lebih dari 1 bulan
tidak dikeluarkan.9,10,11
Selain itu, faktor mental penderita perlu diperhatikan karena tidak jarang
wanita yang bersangkutan merasa gelisah, mengetahui ia mengandung janin
yang telah mati, dan ingin supaya janin secepatnya dikeluarkan.
Pengeluaran hasil konsepsi pada missed abortion merupakan satu tindakan
yang tidak lepas dari bahaya karena plasenta dapat melekat erat pada dinding
uterus dan kadang-kadang terdapat hipofibrinogenemia. Apabila diputuskan
untuk mengeluarkan hasil konsepsi itu, pada uterus yang besarnya tidak
melebihi 12 minggu sebaiknya dilakukan pembukaan serviks uteri dengan
memasukkan laminaria selama kira-kira 12 jam dalam kanalis servikalis,
yang kemudian dapat diperbesar dengan busi Hegar sampai cunam ovum atau
jari dapat dikeluarkan lebih mudah serta aman, dan sisa-sisanya kemudian
dibersihkan dengan kuret tajam.9,10,13

6. Abortus Habitualis
Definisi. Abortus habitualis ialah abortus spontan yang terjadi 3 kali atau
lebih berturut-turut. 9,10,13
Pada umumnya penderita tidak sukar menjadi hamil, tetapi kehamilannya

berakhir sebelum 28 minggu. Bishop melaporkan frekuensi 0,41% abortus

habitualis pada semua kehamilan. Menurut Malpas dan Eastman


kemungkinan terjadinya abortus lagi pada seorang wanita yang mengalami
abortus habitualis ialah 73% dan 83,6%. Sebaliknya, Warton dan Fraser dan
Llewellyn-Jones memberi prognosis yang lebih baik, yaitu 25,9% dan
39%.9,10,13
Etiologi abortus habitualis pada dasarnya sama dengan penyebab abortus

spontan. Selain itu telah ditemukan penyebab imunologik yaitu kegagalan

reaksi terhadap antigen lymphocyte trophoblast cross reactive (TLX). Pasien


dengan reaksi lemah atau tidak ada akan mengalami abortus. Sistem TLX ini

17
merupakan cara untuk melindungi kehamilan. Kelainan ini dapat diobati
dengan transfusi leukosit atau heparin. Dalam usaha untuk mencari penyebab
itu perlu dilakukan penegakkan diagnosis yang teliti: anamnesis yang
lengkap, pemeriksaan VDRL, pemeriksaan test toleransi glukosa,
pemeriksaan kromosom dan pemeriksaan mikoplasma. Abortus habitualis
yang terjadi dalam triwulan kedua dapat disebabkan oleh serviks uteri yang
tidak mampu terus menutup, melainkan perlahan-lah membuka
(inkompeten).2 Kelainan ini sering kali akibat trauma pada serviks, misalnya
karena usaha pembukaan yang berlebihan, robekan serviks yang luas dan
sebagainya.
Diagnosis. Diagnosis abortus habitualis tidak sukar ditentukan dengan

anamnesis. Khususnya diagnosis abortus habitualis karena inkompetensia

menunjukkan gambaran klinik yang khas, yaitu dalam kehamilan triwulan


kedua terjadi pembukaan serviks tanpa disertai mules, ketuban menonjol dan
pada suatu saat pecah. Kemudian timbul mules yang selanjutnya diikuti oleh
pengeluaran janin yang biasanya masih hidup dan normal. Apabila penderita
datang dalam triwulan pertama, maka gambaran klinik tersebut dapat diikuti
dengan melakukan pemeriksaan vaginal tiap minggu. Penderita tidak jarang
mengeluh bahwa ia mengeluarkan banyak lendir dari vagina. Di luar
kehamilan penentuan serviks inkompeten dilakukan dengan
histerosalpingografi yaitu ostium internum uteri melebar lebih dari 8 mm.13
Penanganan. Penyebab abortus habitualis untuk sebagian besar tidak
diketahui. Oleh karena itu, penanganannya terdiri atas: memperbaiki keadaan
umum, pemberian makanan yang sempurna, anjuran istirahat cukup banyak,
larangan koitus dan olahraga. Terapi dengan hormon progesteron, vitamin,
hormon tiroid, dan lainnya mungkin hanya mempunyai pengaruh psikologis
karena penderita mendapat kesan bahwa ia diobati.9,13

2.6 DIAGNOSIS
Kriteria diagnosis abortus secara umum, meliputi:9,10

18
- Ada riwayat terlambat haid atau amenore yang kurang dari 20 minggu
- Perdarahan pervaginam, mungkin disertai Jaringan hasil konsepsi.
- Rasa sakit atau kram perut di daerah supra simfisis.

Kriteria diagnosis pada masing-masing abortus, meliputi:

Gejala klinis
- Abortus Iminens
Ditegakan atas dasar adanya perdarahan melalui ostium uteri eksternum,
disertai dengan perasaan mules sedikit atau tidak sama sekali, uterus
membesar sesuai dengan usia kehamilan, serviks belum membuka dan tes
kehamilan positif.
- Abortus Insipiens
Didapatkan perdarahan melalui ostium uteri eksternum agak banyak, rasa
mules biasanya lebih sering dan kuat, didapatkan dilatasi dari serviks uteri
dan hasil konsepsi masih dalam uterus.
- Abortus Inkomplit
Sebagian hasil konsepsi telah keluar, kanalis servikalis terbuka dan
Jaringan sudah dapat diraba dalam kavum uteri atau kadang-kadang sudah
menonjol dari ostium uteri eksternum. Perdarahan pada abortus inkomplit
dapat banyak sekali sampai dapat menimbulkan syok dan perdarahan ini
tidak akan berhenti sebelum sisa hasil konsepsi dikeluarkan.
- Abortus komplit
Semua hasil konsepsi telah keluar dan diagnosis dipermudah apabila hasil
konsepsi dapat diperiksa dan dapat dinyatakan semuanya sudah keluar
dengan lengkap.
- Missed Abortion
Biasanya tidak dapat ditentukan dengan satu kali pemeriksaan, melainkan
memerlukan waktu untuk pengamatan dan penilaian tanda-tanda tidak
tumbuhnya atau bahkan mengecilnya uterus. Missed abortion biasanya
didahului oleh tanda-tanda abortus iminens yang kemudian menghilang

19
secara spontan atau setelah pengobatan, Hasil konsepsi tertinggal dalam
rahim lebih dari 8 minggu atau biasanya tes kehamilan negatif.
- Abortus infeksiosa
Abortus yang disertai dengan infeksi pada organ-organ genitalia.
Didapatkan febris, nyeri adneksa dan fluor yang berbau.
- Abortus septik
Abortus infeksiosa berat dengan penyebaran kuman atau toksin ke
peritoneum dan peredaran darah. Didapatkan tanda-tanda sepsis pada
umumnya dan tidak jarang disertai dengan syok.
Laboratorium
Tes kehamilan, laboratorium rutin dan khusus seperti COT. Pemeriksaan kadar
fibrinogen pada missed abortion.
Radioiogi
Pemeriksaan USG dan Doppler untuk menentukan apakah janin masih hidup dan
menentukan prognosisnya.

2.7 DIAGNOSIS BANDING


Diagnosis banding pada kasus abortus, meliputi:8,9,10,14

1. Kehamilan Ektopik
Kehamilan ektopik merupakan setiap kehamilan yang terjadi di
luar kavum uteri. Kehamilan ektopik merupakan keadaan emergensi yang
menjadi penyebab kematian maternal selama kehamilan trimester pertama.
Karena janin pada kehamilan ektopik secara nyata bertanggung jawab
terhadap kematian ibu, maka para dokter menyarankan untuk mengakhiri
kehamilan. Diagnosis klinik:
- Nyeri abdominal dan perdarahan pervaginam pada trimester pertama
kehamilan. Meskipun gejala-gejala ini umumnya ditemukan dalam
komplikasi pada awal kehamilan, seperti: ancaman keguguran dan
dapat juga merupakan akibat dari keadaan yang tidak berhubungan
tetapi terjadi bersamaan, seperti: iritasi serviks, infeksi, atau trauma.

20
- Hampir semua kehamilan ektopik didiagnosis antara kehamilan 5 dan
12 minggu. Identifikasi dari tempat implantasi embrio lebih awal
daripada kehamilan 5 minggu melampaui kemampuan teknik-teknik
diagnostik yang ada.
2. Molahidatidosa
Molahidatidosa merupakan suatu kehamilan yang berkembang tidak wajar
dimana tidak ditemukan janin dan hampir seluruh vili koliaris mengalami
perubahan berupa degenerasi hidropik.
Diagnosis klinik:
 Gejala awal hampir sama dengan kehamilan biasa yaitu: mual,
muntah, pusing, dan lain-lain hanya saja derajat keluhan biasanya
lebih hebat.
 Gejala perdarahan biasanya terjadi antara bulan pertama sampai
ketujuh dengan rata-rata 12-14 minggu.
 Sifat perdarahan intermiten, sedikit-sedikit atau sekaligus banyak yang
dapat menyebabkan syok.
 Pemeriksaan USG menunjukkan gambaran berupa badai salju (snow
flake pattern) atau gambaran seperti sarang lebah (honey comb).

2.8 TATALAKSANA
Penatalaksanaan abortus masih kontroversial. Namun, biasanya didasari oleh
jenis abortus yang terjadi. Terapi dengan hormon progesteron, vitamin, hormon
tiroid dan lainnya mungkin hanya mempunyai pengaruh psikologis. Langkah
pertama dari serangkaian penatalaksanaan abortus adalah penilaian kondisi klinis
pasien. Penilaian ini masih berkaitan dengan upaya diagnosis dan memulai
pertolongan awal kegawatdaruratan. Dengan langkah ini, dapat dikenali berbagai
komplikasi yang dapat mengancam keselamatan pasien seperti syok,
infeksi/sepsis, perdarahan hebat (masif) atau taruma intraabdomen. Melalui
pengenalan ini, dapat diambil langkah untuk mengatasi kondisi kegawatdarutan.16
Penatalaksanaan abortus secara spesifik disesuaikan dengan jenis abortusnya
yaitu:

21
1. Abortus imminens
- Tirah baring tidak memberikan hasil lebih baik namun dianjurkan
untuk membatasi aktivitas agar meminimalkan kemungkinan
rangsangan prostaglandin.
- Hindari campur terlebih dahulu karena dapat terjadi kolonisasi bakteri
pada kavum uteri di mana bakteri dapat lanjut menginvasi membran
fetus, plasenta, cairan amnion yang meningkatkan risiko abortus.
Selain itu, cairan semen dari laki-laki dapat merangsang kontraksi
uterus dan pengeluaran oksitosin.
- Vitamin diberikan dengan asumsi fungsi antioksidan untuk mengatasi
penyebab stres oksidatif pada kasus abortus. Penelitian Rumbold, et
al. (2005) menunjukkan bahwa pemberian vitamin A gagal
menunjukkan penurunan angka abortus tetapi pemberian vitamin C

dan E meunjukkan hasil sebaliknya.

- Pemberian tokolitik seperti beta agonis dinilai bermanfaat dalam


menurunkan risiko abortus.
2. Abortus insipiens
Umumnya harus dirawat. Karena tidak ada kemungkinan

kelangsungan hidup bagi janin, maka dapat diberikan


misoprostol untuk
mengeluarkan konsepsi. Dapat diberikan analgetik. Demikian pula, setelah
janin lahir, kuretase mungkin diperlukan.
Pada kehamilan kurang dari 12 atau 16 minggu biasanya
perdarahan tidak banyak namun bahaya perforasi lebih besar pada kerokan
sehingga proses abortus harus dipercepat. Dengan pemberian infuse
oksitosin janin dapat keluar. Regimen lain yang dapat diberikan adalah
ergometrin IM (dapat diulang setelah 15 menit bila perlu) atau misoprostol
400 μg oral (dapat diulang sekali setelah 4 jam bila perlu). Apabila
plasenta masih tertinggal pengeluaran plasenta dilakukan secara manual
dan disusul kerokan. Namun bahaya perforasi yang terakhir ini tidak

22
begitu besar karena dinding uterus jadi lebih tebal karena hasil konsepsi
telah keluar.
3. Abortus inkomplit
Abortus inkomplit dapat ditatalaksana dengan rawat ekspektatif,
pembebahan, maupun medikamentosa. Efektivitas rawat ekspektatif

berkisar antara 52%-81% setelah follow up 2 minggu. Terapi


medikamentosa dengan misoprostol menunjukkan efektivitas 80% ke atas.
- Perbaiki keadaan umum: volume intravaskuler efektif harus
dipertahankan untuk memberikan perfusi jaringan yang adekuat.
- Infeksi harus dikendalikan dengan antibiotik yang tepat
- Hasil konsepsi dalam uterus harus dievakuasi. Pada perdarahan
ringan dan kehamilan <16 minggu, dapat dilakukan pengeluaran
hasil konsepsi yang terjepit pada serviks dengan jari atau forceps
cincin. Bila perdarahan sedang-berat dan usia kehamilan <16
minggu, dilakukan evakuasi hasil konsepsi dari uterus dengan
pilihan aspirasi vakum. Indikasi aspirasi vakum manual adalah pada
kasus abortus insipien atau inkomplit <16 minggu (sumber lain
menyebutkan batasan usia kehamilan <12-14 minggu). Bila evakuasi
tidak memungkinkan untuk segera dilakukan, berikan ergometrin 0,2
mg IM (dapat diulang setelah 15 menit bila diperlukan) atau
misoprostol 400 μg oral (dapat diulang setelah 4 jam bila
diperlukan). Pada kehamilan >16 minggu, dilakukan induksi ekspulsi
janin infus oksitosin 40 IU dalam 1 L kristaloid dengan kecepatan 40
tetes per menit sampai ekspulsi hasil konsepsi terjadi. Bila perlu,
dapat diberikan misoprostol 200 μg per vaginam tiap 4 jam hingga
terjadi ekspulsi, dosis total tidak lebih dari 800 μg. Setelah itu,
mengevakuasi sisa hasil konsepsi yang tersisa dari uterus.
4. Abortus komplit
- Perbaiki keadaan umum
- Infeksi harus dikendalikan dengan antibiotik yang tepat

23
- Hasil konsepsi dalam uterus harus dievakuasi, bila perlu dilakukan
laparotomi eksplorasi, sampai pengangkatan rahim.
5. Abortus rekuren
Penyebab abortus habitualis untuk sebagian besar tidak diketahui.
Oleh karena itu, penanganannya terdiri atas: memperbaiki keadaan umum,
pemberian makanan yang sempurna, anjuran istirahat cukup banyak,
larangan koitus dan olah raga. Terapi dengan hormon progesteron,
vitamin, hormon tiroid, dan lainnya mungkin hanya mempunyai pengaruh
psikologis. Risiko perdarahan pervaginam yang hebat maka perlu
diperhatikan adanya tanda-tanda syok dan hemodinamik yang tidak stabil
serta tanda-tanda vital. Jika pasien hipotensi, diberikan secara intravena-
bolus kristaloid untuk stabilisasi hemodinamik, memberikan oksigen, dan
mengirim jaringan yang ada, ke rumah sakit untuk diperiksa.
6. Missed abortion
Bila gestasional <12 minggu, bisa langsung dilakukan dilatasi dan
kuretase jika seviks memungkinkan. Bila gestasional >12 minggu / <20
minggu, dilakukan induksi (untuk mengeluarkan janin) & diberi Infus (iv)
cairan oksitosin (untuk profilaksis retensi cairan). Terdapat tehnik
pemberian prostagalandin untuk induksi serta berefek pd pembukaan
ostium serviks, dgn pemberian mesoprostol (sublingual). Bila usia gestasi
lebih dari 4 minggu memungkinkan terjadinya gangguan trombosis darah
oleh karena hipofibrinogenemia sehingga perlu diperiksa koagulasi
sebelum tindakan evakuasi dan kuretase.
5. Abortus infeksi atau septik
Kuretase dilakukan setelah 6 jam diberikan antibiotika yang
adekuat. Pada infeksi berat, diberikan ampisilin intravena 2 g setiap 6 jam,
gentamisin 5 mg/kgBB intravena selama 24 jam, dan metronidazole 500
mg intravena setiap 8 jam. Pada infeksi ringan, cukup diberikan
amoxicillin oral 3 kali sehari selama 5 hari, metronidazole oral 400 mg 3
kali sehari selama 5 hari, dan gentamisin intravena 5 mg/kgBB bila perlu.
6. Blighted ovum

24
Dilatasi dan kuraetase secara selektif.

2.9 KOMPLIKASI
Komplikasi yang berbahaya pada abortus ialah perdarahan, perforasi, infeksi dan
syok.9,10
1. Perdarahan
Perdarahan dapat diatasi dengan pengosongan uterus dari sisa-sisa hasil
konsepsi dan jika perlu pemberian trasfusi darah. Kematian karena
perdarahan dapat terjadi apabila pertolongan tidak diberikan pada
waktunya.
2. Perforasi
Perforasi uterus pada kerokan dapat terjadi terutama pada uterus
dalam posisi hiperretrofleksi. Jika terjadi peristiwa ini, penderita perlu
diamati dengan teliti. Jika ada tanda bahaya, perlu segera dilakukan
laparatomi, dan tergantung dari luas dan bentuk perforasi, penjahitan luka
perforasi atau perlu histerektomi.
Perforasi uterus pada abortus yang dikerjakan oleh orang awan
menimbulkan persoalan gawat karena perlukaan uterus biasanya luas;
mungkin pula terjadi perlukaan pada kandung kemih atau usus. Dengan
adanya dugaan atau kepastian terjadinya perforasi, laparatomi harus segera
dilakukan untuk menentukan luasnya cedera, untuk selanjutnya
mengambil tindakan-tindakan seperlunya guna mengatasi komplikasi.
3. Infeksi

25
Infeksi dalam uterus dan adneksa dapat terjadi dalam setiap abortus
tetapi biasanya didapatkan pada abortus inkomplet yang berkaitan erat
dengan suatu abortus yang tidak aman (unsafe abortion).
Sebenarnya pada genitalia eksterna dan vagina dihuni oleh bakteri
yang merupakan flora normal, seperti : staphylococci, streptococci, Gram
negatif enteric bacilli, Mycoplasma, Treponema (selain T. paliidum),
Leptospira, jamur, Trichomonas vaginalis, sedangkan pada vagina ada
lactobacili, streptococci, staphylococci, Gram negatif enteric bacilli,
Clostridium sp., Bacteroides sp, Listeria dan jamur.
Umumnya pada abortus infeksiosa, infeksi terbatas pada desidua.
Pada abortus septik virulensi bakteri tinggi dan infeksi menyebar ke
perimetrium, tuba, parametrium, dan peritoneum. Organisme-organisme
yang paling sering bertanggung jawab terhadap infeksi pasca abortus
adalah E.coli, Streptococcus non hemolitikus, Streptococci anaerob,
Staphylococcus aureus, Streptococcus hemolitikus, dan Clostridium
perfringens. Bakteri lain yang kadang dijumpai adalah Neisseria
gonorrhoeae, Pneumococcus dan Clostridium tetani. Streptococcus
pyogenes potensial berbahaya oleh karena dapat membentuk gas.

4. Syok
Syok pada abortus bisa terjadi karena perdarahan (syok hemoragik)
dan karena infeksi berat (syok endoseptik).

2.10 PROGNOSIS
Prognosis pada kasus ini adalah mengarah ke baik, dubius ad bonam
karena dengan kuretase berhasil mengeluarkan semua sisa jaringan sehingga
resiko perdarahan menjadi sangat minimal, setelah observasi dua jam pasca
kuretase tidak didapatkan keluhan dan keadaan umum pasien stabil. Selain itu
pada pasien ini tidak didapatkan adanya penyulit atau komplikasi yang berbahaya
misalnya perdarahan, perforasi, infeksi dan syok.12

26
BAB III
KESIMPULAN

Abortus adalah fetus dengan berat kurang dari 500 gram atau umur
kehamilan kurang dari 20 minggu pada saat dikeluarkan dari uterus, yang tidak
mempunyai kemungkinan hidup.
Abortus spontan secara klinis dapat digolongkan atas : abortus imminens,
abortus insipiens, abortus inkompletus, abortus kompletus, missed abortus,
Abortus habitualis.
Kriteria diagnosis abortus secara umum, meliputi: Ada riwayat terlambat
haid atau amenore yang kurang dari 20 minggu, Perdarahan pervaginam, mungkin
disertai Jaringan hasil konsepsi, Rasa sakit atau kram perut di daerah supra
simfisis.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Trend in maternal mortality 2000 to 2017 estimate by WHO, UNICEF,


UNFPA, World Bank Group and the United Nations Population Division.
Geneva : World Health Organization; 2019
2. Global Cause of Maternal Death : A WHO Systematic Analysis. Say L, Chou
D, Gemmiill A, Tuncalp O, Moller AB, Daniels JD. 2014.
3. Ansor. Abortus dan Penyebabnya – Jurnal Dinamika Kesehatan, Vol 12 No
12. 2009
4. Bennet, V Ruth & Brown, Lind, K 1997. Myles Textbook for Midwifes, 13 th
ed, Churchill Livingstone, Edinburg.
5. Winkjosastro. Ilmu Kebidanan. Yayasan Binsa Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. Jakarta. 2010
6. Maconochi N, Doyle P, Prior S, Simmons, R. Risk Factor for First Trimester
Miscarriage Result From a UK Population Based Case – Control Study, JOG
An International Journal of Obsetrics and Gynecology, hh 170 – 86.
7. Sastrawinata. S. Obstetri Patologi. EGC. Jakarta : 2005

28
8. Hanna Insani Vedy, M. Ricky Ramadhian. Multigravida Hamil 40 Minggu
dengan HAP (Hemorrhage Antepartum) e.c Plasenta Previa Totalis. Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung. J Medula UNILA Vol 7 (2): 2017.
9. Hadijanto B, Perdarahan pada kehamilan muda. Abortus. Dalam Saifudin
AB. Rachimhadi T, Wiknjosastro H. Ilmu Kebidanan. Edisi Keempat.
Jakarta: P.T. Bina Pustaka Sarwono Prawiraharjo; 2018: hal 459-473
10. Leveno J Kenneth. MD, dkk. Obstetri wiliams panduan ringkas. Abortus. Ed
21. EGC. Jakarta. 2016.
11. Siti Hubaya, dkk. Faktor Risiko Kejadian Abortus Di Rsud Dr. Chasan
Boesoirie Ternate Provinsi Maluku Utara. Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin. Makassar: 2013.
12. Kemenkes RI. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu Di Fasilitas Kesehatan
Dasar Dan Rujukan. Edisi Pertama. 2013.
13. Djamhoer, dkk. Obstetri Patologi. Jakarta Penerbit Buku Kedokteran EGC.
2013.
14. Dr. dr. Sarma. Kegawatdaruratan Obstetri. Sumatera Utara: USU Press. 2017
15. Ratna dan arif. Perdarahan pada kehamilan trimester I. Bandar Lampung :
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. 2018.
16. Hanretty KP. Vaginal Bleeding in Pregnancy. Smith H (editor), In: Obstetrics
Illustrated, 6th Edition. London: Churchill-Livingstone, 2003.

29

Anda mungkin juga menyukai