Anda di halaman 1dari 23

Praktik Aborsi Berdasarkan Hukum di Indonesia

Oleh:
………………

Pembimbing:
……………….
ABSTRAK

Perdebatan tentang aborsi di Indonesia akhir-akhir ini semakin ramai karena dipicu
oleh berbagai peristiwa yang mengguncang sendi-sendi kehidupan manusia. Isu
aborsi saat ini sudah bukan rahasia lagi untuk dibicarakan, karena aborsi sudah
menjadi hal yang aktual dan kejadiannya sudah terjadi dimana-mana dan dilakukan
oleh siapa saja. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan
Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi
menyebutkan bahwa aborsi dapat dilakukan dengan pengecualian, salah satunya
akibat perkosaan. Sehingga tidak ada rasa takut korban aborsi mengadukan
kejadian tersebut. Namun pada kenyataannya implementasi Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 61
Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi tidak sesuai dengan harapan.

2
ABSTRAK
Substansi penulisan ini adalah bagaimana peran pemerintah dan instansi terkait
yang melaksanakan aborsi serta kendala yang dihadapi dalam mewujudkannya.
Pelaksanaan aborsi pada kehamilan karena perkosaan berdasarkan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 61
Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi Belum Terpenuhi Secara Maksimal
Masih banyak permasalahan dan konflik terkait pelaksanaan Undang-Undang
tersebut. aborsi pada kehamilan karena perkosaan. Adanya perbedaan pandangan
dari segi agama, sosial dan budaya. Kurangnya korelasi antar instansi atau lembaga
dan batas waktu yang diberikan kurang memadai serta adanya kendala yang
bersifat internal eksternal. Diperlukan kerjasama antara legislatif dan pemerintah
yang melibatkan juga pihak-pihak terkait seperti dinas kesehatan dan kepolisian.
Kata Kunci: Aborsi; implementasi; Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009

3
PENGANTAR
1.1 Latar Belakang
Istilah Aborsi juga dikenal sebagai Abortus Provocatus. Abortus provocatus adalah pengguguran
kandungan yang disengaja, yang terjadi karena perbuatan manusia yang berusaha menggugurkan
kehamilan yang tidak diinginkan,

yang dimaksud dengan abortus adalah terminologi medis yang berarti pengakhiran kehamilan
sebelum usia kehamilan 20 minggu, abortus dapat terjadi secara spontan dan dapat juga terjadi
dengan unsur kesengajaan (provokatus).

Dunia medis mengenal adanya pravokatus medicinalis atau aborsi terapeutik, yaitu suatu upaya
terapeutik yang memerlukan cara penghentian kehamilan. Dengan tidak adanya asas terapi, aborsi
provocatus dianggap sebagai aborsi provokatif pidana atau pengguguran kandungan sebagaimana
diatur dalam pasal-pasal KUHP.
4
PENGANTAR

Berbeda dengan KUHP yang tidak memberikan ruang sedikitpun untuk aborsi, Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pada dasarnya melarang aborsi, namun larangan ini
dapat dikecualikan dengan syarat-syarat tertentu yaitu adanya indikasi kegawatdaruratan medis dan
kehamilan akibat perkosaan.

Mengenai tindakan untuk dapat melakukan aborsi, dalam hal aborsi yang didasarkan atas
kehamilan akibat perkosaan secara teoretis sudah diatur secara jelas dalam Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang
Kesehatan Reproduksi tapi kita belum pernah tahu implementasinya.

Berdasarkan uraian di atas, penulis terdorong untuk menyusun sebuah jurnal dengan judul
PRAKTIK ABORSI BERDASARKAN HUKUM DI INDONESIA.

5
PENGANTAR

Dari pokok permasalahan yang telah dijelaskan pada latar


belakang makalah ini, maka rumusan masalahnya adalah:

1. Bagaimana kandungan yang terkandung dalam undang-


1.2 Perumusan Masalah undang dalam tindak pidana aborsi?

2. Bagaimana pelaksanaan tindak pidana aborsi


berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan

6
METODE PENELITIAN

Penelitian hukum yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif,


yaitu penelitian yang dilakukan terhadap norma hukum positif
berupa peraturan perundang-undangan dan mengidentifikasi
konsep dan asas hukum yang digunakan. Sehubungan dengan
jenis penelitian yang digunakan adalah normatif,

METODE TUJUAN
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini Dalam penelitian ini, penulis akan menarik kesimpulan
adalah melalui pendekatan kualitatif, artinya “pengolahan dimulai dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
dan analisis data dengan mengutamakan kualitas data Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun
yang diperoleh. Data yang diperoleh langsung dari data 2014 tentang Kesehatan Reproduksi dan diakhiri dengan
pustaka dan informan dianalisis secara mendalam, holistik kesimpulan yaitu pelaksanaan aborsi menurut undang-
dan komprehensif. undang di Indonesia. 7
HASIL DAN DISKUSI
3.1 Undang-undang yang Mengatur Larangan Tindak Pidana Aborsi

Mengenai Undang-undang Aborsi di Indonesia, ada beberapa undang-undang terkait masalah aborsi
yang masih berlaku hingga saat ini, diantara undang-undang tersebut yang paling relevan adalah:

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang KUHP Pasal 346-349 KUHP mengkategorikan
aborsi sebagai kejahatan.
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Walaupun aborsi secara teknis ilegal
dalam KUHP namun pada tahun 1992, muncul UU yang lebih liberal yaitu UU nomor 23 tahun
1992.

8
HASIL DAN DISKUSI
3.1 Undang-undang yang Mengatur Larangan Tindak Pidana Aborsi

Hukum yang mengatur aborsi di Indonesia juga telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Namun berdasarkan Pasal 75 UU
Kesehatan disebutkan bahwa hanya ada dua syarat pengecualian aborsi, menurut alasan medis, antara lain:

1. Adanya indikasi kegawatdaruratan kesehatan pada usia kehamilan dini yang mengancam nyawa ibu dan/atau
janin, janin menderita kelainan genetik berat, atau cacat bawaan yang tidak dapat disembuhkan sehingga
menyulitkan janin untuk bertahan hidup di luar rahim.
2. Kehamilan akibat perkosaan yang menimbulkan trauma.

Jika aborsi dilakukan di luar kedua syarat di atas, maka akan dinyatakan sebagai sesuatu yang tidak sah dan
melanggar hukum. Seperti yang tertulis dalam pasal 194 UU Kesehatan, yakni setiap orang yang melakukan
aborsi ilegal dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp. 1 Milyar.
9
HASIL DAN DISKUSI
3.1 Undang-undang yang Mengatur Larangan Tindak Pidana Aborsi

Jenis aborsi dapat dikelompokkan menjadi 2 kategori berbeda:

SPONTAN PROVOCATUS

Abortus spontan, yaitu abortus yang terjadi Abortus provocatus yaitu pengguguran kandungan
secara alamiah tanpa ada usaha dari luar atau yang disengaja terjadi karena perbuatan manusia
campur tangan manusia, termasuk abortus yang berusaha menggugurkan kandungan yang
spontan (aborsi tidak disengaja) dan abortus tidak diinginkan.
alami (aborsi alami) 10
HASIL DAN DISKUSI
3.2 Implementasi Tindak Pidana Aborsi berdasarkan UU Tindak Pidana Aborsi
berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

“Fungsi utama kedokteran forensik adalah membantu proses penegakan hukum dan keadilan,
khususnya dalam kasus-kasus pidana yang menyangkut tubuh, kesehatan, dan jiwa manusia”.

“Pasal 1 Staatblad No 350 Tahun 1937”


“Visa reperta dari dokter yang dibuat di bawah sumpah jabatan yang diucapkan pada waktu
menyelesaikan studi kedokteran di Negeri Belanda atau di Indonesia, atau sumpah khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, mempunyai bukti dalam perkara pidana, sepanjang
memuat keterangan tentang apa yang dilihat oleh dokter pada benda yang diperiksa.

Dasar hukum pembuatan visum et repertum adalah “Pasal 133 KUHAP, yaitu apabila orang yang
diperiksa adalah manusia sebagai korban atau diduga sebagai korban tindak pidana, baik hidup
maupun mati. Pemeriksaan terhadap tersangka tidak menggunakan dasar hukum Pasal 133
KUHAP. 11
HASIL DAN DISKUSI
3.2 Implementasi Tindak Pidana Aborsi berdasarkan UU Tindak Pidana Aborsi
berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Peran visum et repertum adalah pembuktian yang sah dari keterangan ahli yang dibuat secara
tertulis sebagaimana diatur dalam “Pasal 187 KUHAP”. Karena “Visum et repertum dibuat
berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan dan diperlihatkan untuk kepentingan peradilan sebagai
salinan atau salinan alat bukti disertai pendapat dokter pembuat tentang hasil pemeriksaan”.

“Jenis Visum et repertum dan pembuatannya berkaitan dengan bahan yang diperiksa dan
pemeriksaan dasarnya, yang dikenal dengan pengelompokan jenis Visum et Repertum”
sebagai berikut:
“Visum et repertum korban mati
Visum et repertum korban hidup
Visum et repertum keracunan
Visum et repertum kejahatan".
12
HASIL DAN DISKUSI
VISUM ET
REPERTUM
PSIKIATRI
VISUM ET REPERTUM (PSIKIATRI).
MELAWAN KEJAHATAN

VISUM ET
REPERTUM FISIK.

Ada beberapa jenis


VISUM ET REPERTUM visum et repertum :
KERACUNAN VISUM ET
REPERTUM
JENAJAH

VISUM ET REPERTUM VISUM ET


INJURY. REPERTUM BAGI
KORBAN YANG
MASIH HIDUP
13
HASIL DAN DISKUSI
ketentuan Pasal 76 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, aborsi hanya dapat dilakukan jika:

a. Sebelum usia kehamilan 6 (enam) minggu terhitung sejak haid pertama dan
terakhir, kecuali dalam keadaan darurat medis
b. Oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang
memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh Menteri
c. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan
d. Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan
e. Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh
Menteri

14
HASIL DAN DISKUSI
Pelaksanaan aborsi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan ditegaskan lebih
lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi pada Pasal 35 yaitu:

a. Pengguguran kandungan berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat


perkosaan harus dilakukan secara aman, bermutu dan bertanggung jawab.
b. Praktek aborsi yang aman, bermutu dan bertanggung jawab
c. Dalam hal ibu hamil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c tidak dapat
memberikan persetujuan, keluarga yang bersangkutan dapat memberikan persetujuan
aborsi.
d. Dalam hal suami tidak dapat dihubungi, izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) surat
diberikan oleh keluarga yang bersangkutan.

15
HASIL DAN DISKUSI

Selama ini mencermati Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah
Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, belum terlaksana secara optimal dan sempurna, khususnya
terkait aborsi. Karena perbedaan waktu antara UU dan PP serta SOP yang kita miliki, jika melihat Pasal 76 Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan hanya memberikan waktu sekitar 6 minggu dihitung dari hari
pertama haid terakhir sedangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi
dalam Pasal 31 ayat (2) hanya 40 hari dihitung dari hari pertama haid terakhir.

16
HASIL DAN DISKUSI

Dalam melakukan prosedur sebelum korban dinyatakan dapat melakukan aborsi sangat sulit jika berdasarkan Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan
Reproduksi karena ada laporan dari korban kepada pihak yang berwajib. untuk dapat memberikan rekomendasi kepada
instansi selanjutnya sedangkan pada dinas terkait atau instansi yang dimaksud berikutnya belum memiliki bidang
khusus untuk menangani masalah aborsi pada instansi atau dinas yang diberi kewenangan untuk memberikan izin
aborsi.

17
HASIL DAN DISKUSI

Hal inilah yang menjadi faktor penghambat pelaksanaan aborsi berdasarkan kehamilan akibat perkosaan. Implementasi
ini terkendala karena persepsi aparat penegak hukum berbeda dengan lembaga lain seperti PKBI dalam mendefinisikan
perkosaan. Penegak hukum masih menggunakan pengertian umum perkosaan berdasarkan KUHP. Oleh karena itu,
pelaksanaan aborsi terhambat dan tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 tentang Kesehatan Reproduksi tidak mengatur secara jelas
mengenai pengertian aborsi akibat perkosaan.

18
KESIMPULAN
A. Masih banyak permasalahan dan konflik mengenai kajian aborsi kehamilan akibat
perkosaan, yaitu:

i. Dalam pelaksanaan aborsi kehamilan akibat perkosaan berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi belum
terlaksana secara maksimal karena belum adanya laporan yang diperoleh Dinas Kesehatan mengenai aborsi
kehamilan akibat perkosaan oleh PKBI

ii.Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun
2014 tentang Kesehatan Reproduksi mengenai waktu diperbolehkannya aborsi masih dianggap simpang siur
sehingga menjadi penghambat aborsi kehamilan akibat perkosaan

19
KESIMPULAN
B. Hambatan yang dihadapi dalam kajian aborsi kehamilan akibat perkosaan, yaitu:

i. Kendala internal yaitu: Keterkaitan antar instansi terkait baik dalam memberikan rekomendasi maupun
memberikan izin untuk melakukan aborsi yang dianggap membingungkan perempuan korban perkosaan
untuk dapat melakukan aborsi yang sehat dan aman.
ii.Kendala yang bersifat eksternal yaitu: Kurangnya pemahaman tentang kebolehan melakukan aborsi dengan
indikasi tertentu oleh masyarakat sehingga masyarakat masih menganggap aborsi tidak diperbolehkan.
Kurangnya partisipasi masyarakat dalam keterlibatan pendidikan kesehatan reproduksi yang diberikan oleh
dinas terkait. Banyak orang yang masih menutup-nutupi kasus kehamilan akibat perkosaan baik oleh
keluarga sendiri maupun orang lain dan memilih diam. Terdapat perbedaan pendapat di kalangan
masyarakat mengenai diperbolehkannya atau dilarangnya aborsi dari segi sosial, budaya dan agama.
20
SARAN
Dari kesimpulan tersebut penulis dapat memberikan saran sebagai berikut:

Badan legislatif atau Pemerintah agar merevisi Undang-Undang Nomor 36


Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun
2014 tentang Kesehatan Reproduksi tentang Aborsi agar aborsi khususnya
kehamilan akibat perkosaan dapat dilakukan dengan baik, aman dan tanpa
kebingungan bagi yang bersangkutan yang ingin melakukan aborsi.

Negara harus memfasilitasi instansi atau lembaga yang terlibat dalam


penanganan aborsi agar instansi atau lembaga tersebut dapat melakukan
aborsi kehamilan akibat perkosaan secara aman dan sehat.

21
THANKS!
Any questions?

22
REFERENSI
1. Adami Chazawi, 2004, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
2. Anita Rahman. Hukum dan Hak Kesehatan Reproduksi Perempuan: Masalah Aborsi. Didalam: Sulistyowati,ed.
Perempuan dan Hukum ; 2006.
3. Budi sampurna, Zulhasmar Samsu, Peranan Ilmu Kedokteran Forensik Dalam Penegakan Hukum, Jakarta: 2008.
4. Charisdiono.M. Achadiat, 2007, Dinamika Etika Dan Hukum Kedokteran, Buku Kedokteran, Jakarta.
5. Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung:PT. Remaja Rosda Karya, 2006). Sebagai pembanding,
menurut Lexy Moleong, penelitian kualitatif merupakan penelitian yang ingin menghasilkan prosedur analisis yang
tidak menggunakan prosedur analisis statistic, angka-angka atau kuantifikasi lainnya. Hal ini mengingat tujuan dari
penelitian kualitatif adalh ingin membangun pandangan secara rinci, dibentuk dengan kata- kata dan bersifat holistic.
6. Suryono Ekotama dkk, 2001, Abortus Provocatus Bagi Korban Perkosaan, Yogyakarta.
7. Budi sampurna, pak zulhasmar, Tjetjep Dwija Siswaja, PERANAAN ILMU FORENSIK DALAM
PENEGAKANHUKUM, Jakarta.
8. Wiwik Afifah, 2013, Perlindungan Hukum Bagi Perempuan Korban Perkosaan Yang Melakukan Aborsi, JurnalIlmu
Hukum, Vol-9/ No-18/febuari/2013.
9. Zarni Amri, Setyawati B, Azhari A Samudra. Kesehatan Reproduksi. Jakarta: Reproductive Health Program,Faculty of
Public Health,University of Indonesia : 2002.

23

Anda mungkin juga menyukai