Pelatihan PS, 2
Pelatihan PS, 2
TUJUAN PELATIHAN
1. Kompetensi kerja yang disyaratkan untuk Jabatan kerja sebagai Manajer Proyek,
Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) ....
2. Standar Latihan Kerja (SLK) disusun berdasarkan analisa dari masing-masing Unit
Kompetensi, Elemen Kompetensi dan Kriteria Unjuk Kerja yang menghasilkan
kebutuhan pengetahuan, keterampilan dan sikap perilaku dari setiap Elemen
Kompetensi yang dituangkan dalam bentuk sustu susunan kurikulum dan silabus
pelatihan yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan kompetensi tersebut.
3. Untuk mendukung tercapainya tujuan khusus pelatihan tersebut, maka berdasarkan
kurikulum dan silabus yang ditetapkan dalam SLK, disusun seperangkat modul
pelatihan (seperti tercantum dalam daftar modul) yang harus menjadi bahan
pengajaran dalam pelatihan .......
PANDUAN PEMBELAJARAN
Pelatihan : Penyelesaian Sengketa
Judul :
Deskripsi :
1.1 Umum
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut dengan
Pengadaan Barang/Jasa adalah kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa oleh
Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/ Institusi Lainnya
(KLDI) yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan Barang/Jasa,
sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh Barang/ Jasa.
Pengadaan Barang/Jasa yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari
APBN dan/ atau APBD, proses pengadaannya berpedoman pada ketentuan
Peraturan Presiden No.54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah dan Peraturan Presiden No.70 Tahun 2012 tentang Perubahan
Kedua Peraturan Presiden No.54 Tahun 2010.
Ketentuan Pengadaan Barang/Jasa yang sebagian atau seluruh dananya
bersumber dari Pinjaman/ Hibah Luar Negeri (PHLN), berpedoman pada
ketentuan Peraturan Presiden sebagaimana tersebut. Dalam hal terdapat
perbedaan antara Peraturan Presiden tersebut dengan ketentuan Pengadaan
Barang/Jasa yang berlaku bagi pemberi Pinjaman/ Hibah Luar Negeri, para
pihak dapat menyepakati tata cara Pengadaan yang akan dipergunakan.
Dalam proses Pengadaan Barang/Jasa yang dilaksanakan secara
kontraktual, tidak jarang risiko dalam kontrak yang apabila terjadi, dapat
berakibat timbulnya sengketa antara Kedua Pihak dalam Kontrak. Sebagai
contoh, akibat ketidakpuasan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) atas
pelaksanaan kontrak oleh Penyedia Barang/Jasa yang dilaksanakan tidak
sesuai dengan dokumen kontrak, dapat berujung pada pemutusan kontrak
secara sepihak oleh PPK.
Dalam hal pemutusan kontrak sebagaimana tersebut tidak dilakukan sesuai
dengan ketentuan dan prosedur yang ditetapkan dalam dokumen kontrak,
sering berdampak pada terjadinya sengketa diantara Kedua Pihak yang terikat
dalam kontrak (PPK dengan Penyedia Barang/Jasa).
Penyelesaian Sengketa dalam proses Pengadaan Barang/Jasa dapat
dilakukan melalui Pengadilan atau diluar Pengadilan. Pemilihan alternatif
Penyelesaian Sengketa tersebut, ditetapkan oleh Kedua Pihak yang
bersengketa atas dasar kesepakatan. Dalam Pengadaan Barang/Jasa yang
dilaksanakan secara kontraktual, pemilihan alternatif penyelesaian sengketa,
ditetapkan dalam Dokumen Kontrak. Oleh karena itu sebelum kontrak ditanda
tangani, Kedua Pihak yang membuat perjanjian/ kontrak, dipandang perlu
untuk malakukan penelaahan terlebih dahulu terhadap isi Kontrak.
3.4.5
Ditinjau dari perspektif manajemen resiko Pengadaan Barang/Jasa, dalam
proses pelaksanaan kontrak memiliki cukup banyak risiko yang dapat berakibat
timbulnya sengketa hukum antara Kedua Pihak, antara lain:
˗ Gagalnya penandatanganan kontrak, apabila tidak terpenuhinya syarat
untuk menyerahkan jaminan pelaksanaan sesuai ketentuan dalam
dokumen kontrak;
˗ Kesalahan dalam penetapan jenis kontrak pada dokumen Pengadaan
Barang/Jasa yang tidak sesuai dengan kondisi lapangan dan
kompleksitas pekerjaan;
˗ Barang yang diadakan dengan spesifikasi sesuai yang dipersyaratkan
dalam dokumen kontrak, ternyata sulit ditemukan dipasaran,;
˗ Apabila tidak tercantumnya pasal dalam dokumen kontrak yang mengatur
tentang penanganan kontrak kritis secara jelas dan tegas;
˗ Dalam pelaksanaan kontrak pekerjaan konstruksi, risiko akibat belum
bebasnya lokasi/area pekerjaan, dapat menyebabkan pelaksanaan
pekerjaan terhambat. Disamping hal tersebut, akan menjadi
masalah/sengketa apabila dalam dokumen kontrak tidak terdapat pasal
yang mengaturnya secara jelas dan tegas.
˗ Dsb.
Ketidak puasan tersebut dapat diakibatkan oleh adanya cidera janji. Sebagai
contoh Penyedia Barang/Jasa mengirim barang tidak sesuai dengan spesifikasi
yang dipersyaratkan dalam dokumen kontrak. Penolakan barang yang terkirim
dan alasan tidak ada sisa waktu untuk pengiriman kembali, maka pihak
Pengguna Barang/Jasa melakukan pemutusan kontrak secara sepihak yang
berdampak pada terjadinya sengketa hukum.
2.6
Suatu hal tertentu adalah barang yang menjadi obyek dalam kontrak.
Menurut pasal 1333 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, barang yang
menjadi obyek suatu kontrak harus tertentu, setidak-tidaknya harus
ditentukan jenisnya. Jumlah barang itu tidak perlu pasti, asal saja jumlah itu
kemudian dapat ditentukan atau dihitung.
d. Suatu sebab yang halal.
Halal merupakan syarat keempat sebagai sahnya suatu kontrak. Pasal 1335
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menegaskan “jika kontrak tanpa
sebab, atau kontrak karena sebab palsu atau terlarang maka tidak
mempunyai kekuatan” Pasal 1337 KUH Perdata berbunyi “Suatu sebab
adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila
sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum
BAB III
RISIKO DALAM
PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH
2.1 Umum
Menerima risiko
2. Menghindari risiko
3. Menurunkan dampak risiko
4. Mengurangi kemungkinan terjadinya risiko
5. Membagi atau mentransfer risiko
Batas waktu yang disediakan bagi penyedia barang/jasa untuk menyelesaikan seluruh pekerjaan
telah diatur dengan jelas dan pasti di dalam setiap kontrak. Keterlambatan penyelesaian
pekerjaan mengharuskan PPK mengenakan sanksi kepada penyedia barang/jasa pemerintah
berupa denda sebesar 1/1000 (satu perseribu) dari nilai kontrak untuk setiap hari
keterlambatan. Karena itu dalam pelaksanaan kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah
keterlambatan penyelesaian pekerjaan merupakan salah satu risiko yang perlu dimitigasi.
Untuk menghindari terjadinya risiko barang yang diserahkan tidak sesuai dengan kualitas
dan jumlah yang tercantum dalam kontrak hal yang dapat dilakukan adalah:
a. Mencantumkan spesifikasi teknis barang dengan jelas dan lengkap dalam dokumen
pemilihan penyedia barang/jasa.
b. Mengharuskan persyaratan melampirkan gambar dan brosur barang dalam surat
penawaran peserta lelang.
c. Melaksanakan evaluasi secara ketat terhadap spesifikasi teknis dan merek barang yang
tercantum dalam dokumen penawaran peserta.
d. Mencantumkan merek dan type/model barang secara jelas dalam kontrak.
e. Memberikan pembekalan teknis kepada Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan
f. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pekerjaan.
Tujuan pembuatan kontrak adalah untuk menjamin bahwa penyedia barang/jasa akan menyerah
hasil pekerjaannya berupa barang/jasa sesuai dengan yang telah disepakati dalam kontrak.
Dalam perspektif manajemen resiko pelaksanaan kontrak memiliki cukup banyak risiko antara
lain:
Sengketa kerap terjadi di mana dan kapan saja. Terutama bagi mereka yang terjun di dunia
bisnis, perselisihan akan selalu ada, baik dengan relasi, klien, konsumen, maupun lawan
atau saingan bisnis. Berbagai cara digunakan untuk menyelesaikannya, entah itu melalui
pengadilan atau di luar pengadilan. Bagi pembuat keputusan yang bijak, tentu mereka akan
memilih jalur kedua, yaitu di luar pengadilan.
Jalur ini lebih aman dibandingkan jalur pengadilan. Artinya, lebih memiliki banyak keuntungan dan
kemudahan dibandingkan dengan proses sidang di pengadilan. Penyelesaian model ini, yang dikenal
di Indonesia ada empat jenis, yaitu sistem Negoisasi, Mediasi, Konsiliasi, dan Arbitrase
Sedangkan mediasi adalah proses penyelesaian sengketa dengan perantaraan pihak ketiga
(mediator), yakni pihak yang memberi masukan-masukan kepada para pihak untuk
menyelesaikan sengketa mereka. Namun, pada masing-masing pihak tidak terdapat
kewajiban untuk menaati apa yang disarankan oleh mediator. Mediasi bisa dilakukan di
pengadilan atau di luar pengadilan, tergantung keinginan dua belah pihak.
Sebagai bentuk dari alternative Dispute Rosolutian (ADR), terdapat devinisi yang beragam
tentang mediasi yang dikemukakan oleh para pakar hukum. Namun secara umum, banyak
mengakui bahwa mediasi adalah proses untuk menyelesaikan sengketa dengan melakukan
bantuan pihak ketiga. Peran pihak ketiga itu adalah dengan melibatkan diri dari bantuan
para pihak dalam mengidientifikasi masalah-masalah yang disengketakan.
Dalam Perma No. 1 Tahun 2008, pengertian mediasi disebutkan pasal 1 butir 7, yaitu:
“Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh
kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator”.
Tugas utama dari pihak yang netral tersebut (mediator) adalah menolong para pihak memahami
pandangan pihak lain sehubungan dengan masalah yang disengketakan. Selanjutnya mediator
membantu mereka melakukan penilaian yang objektif dari seluruh situasi untuk mencapai
kesepakatan yang dapat diterima oleh kedua belah pihak, guna mengakhiri sengketa yang
terjadi.
Yang terakhir arbitrase, yaitu penyelesaian sengketa melalui badan arbitrase. Artinya,
penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan
persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau menaati keputusan yang diberikan
oleh hakim atau para hakim yang mereka pilih atau mereka tunjuk.
Setiap proses di atas, tentu saja memiliki prosedur dan persyaratan tertentu yang harus
dipenuhi. Mekanisme penyelesaian sengketa alternatif ini merupakan materi yang wajib
diketahui oleh para dosen, mahasiswa jurusan hukum, dan praktisi hukum. Tidak
ketinggalan bagi Anda yang terjun di bidang usaha dan bisnis. Wawasan tentang hukum
alternatif ini akan menjadi solusi terbaik.
Kenapa demikian? Pasalnya, jika kita menempuh proses hukum melalui pengadilan, biaya
yang dikeluarkan akan lebih besar dan lamanya proses karena bertumpuknya berkas-berkas
pengajuan lainnya di pengadilan. Sedangkan jika kita menempuh dari keempat jenis ini,
perkara tidak akan terbuka ke masyarakat umum, biaya lebih murah, bersifat win-win
solution, dan fleksibel.
Di dalam buku yang ditulis oleh Jimmy Joses Sembiring, SH, M.Hum ini dibahas mulai dari
teori, dasar hukum, prosedur, ketentuan teknis & pelaksanaan putusan atas penyelesaian
sengketa di luar pengadilan, hingga penyelesaian sengketa bidang perbankan, asuransi,
hubungan industrial, konmusen, dan lingkungan hidup.
Dengan mengacu pada ketentuan pasal 6 ayat 4 undang-undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, mediasi ad-hoc terbentuk
dengan adanya kesepakatan para pihak dalam hal menentukan mediator untuk
menyelesaikan perselisihannya, yang mempunyai sifat tidak permanen. Jenis ini bersifat
sementara atau temporer saja, karena dibentuk khusus untuk menyelesaikan
perselisihan tertentu sesuai dengan kebutuhan saat itu dan ketika selesai maka mediasi
ini akan bubar dengan sendirinya. Sebaliknya, mediasi kelembagaan merupakan
mediasi yang bersifat permanen atau terbentuk secara institusional/ melembaga, yakni
suatu lembaga mediasi
Proses Mediasi di Pengadilan Negeri
Dalam Perma nomor 1 Tahun 2008, prosedur pelaksanaan mediasi dibagi dalam dua tahap
sebagaimana yang diatur dalam Bab II, yaitu: Tahap Pramediasi dan tahap mediasi . Tahap-
tahap tersebut mencakup hal-hal sebagai berikut:
a. Tahap Pramediasi
Tahap pramediasi merupakan tahap persiapan kea rah proses tahap mediasi, yang terdiri
atas:5
1) Hakim Memerintahkan Menempuh Mediasi
Langkah pertama yang dilakukan seorang hakim pada tahap pramediasi adalah sebagai
berikut
a) Memerintahakan lebih dahulu menempuh mediasi
Bersamaan dengan perintah yang mewajibkan para pihak lebih dahulu menempuh
mediasi, hakim wajib menunda persidangan perkara. Secara mutlak hakim dilarang
melakukan pemeriksaan perkara tetapi harus menundanya.
Perma telah memberikan fungsi dan kewenangan kepada hakim sebagai berikut:
(1) Memerintahkan para pihak yang berperkara wajib lebih dahulu menempuh penyelesaian
melalui proses mediasi
(2) Kewajiban menempuh lebih dahulu penyelesaian proses mediasi bersifat imperative, dan
bukan regulative sehingga harus ditaati oleh para pihak.
(3) Saat hakim penyampaian perintah pada siding pertama, berarti keberadaan dan fungsi
siding pertama hanya acara tunggal, yaitu memerintahkan para p
Sengketa kerap terjadi di mana dan kapan saja. Terutama bagi mereka yang terjun di dunia
bisnis, perselisihan akan selalu ada, baik dengan relasi, klien, konsumen, maupun lawan atau
saingan bisnis. Berbagai cara digunakan untuk menyelesaikannya, entah itu melalui
pengadilan atau di luar pengadilan. Bagi pembuat keputusan yang bijak, tentu mereka akan
memilih jalur kedua, yaitu di luar pengadilan.
Jalur ini lebih aman dibandingkan jalur pengadilan. Artinya, lebih memiliki banyak keuntungan
dan kemudahan dibandingkan dengan proses sidang di pengadilan. Penyelesaian model ini, yang
dikenal di Indonesia ada empat jenis, yaitu sistem Negoisasi, Mediasi, Konsiliasi, dan Arbitrase.
Negosiasi merupakan komunikasi dua arah, ketika masing-masing pihak saling mengemukakan
keinginannya. Negosiasi adalah proses upaya untuk mencapai kesepakatan dengan pihak lain,
suatu proses interaksi dan komunikasi yang dinamis dan beranekaragam. Atau bisa dikatakan,
negosiasi merupakan proses tawar-menawar dari masing-masing pihak untuk mencapai
kesepakatan.
Yang terakhir arbitrase, yaitu penyelesaian sengketa melalui badan arbitrase. Artinya,
penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan
persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau menaati keputusan yang diberikan oleh
hakim atau para hakim yang mereka pilih atau mereka tunjuk.
Setiap proses di atas, tentu saja memiliki prosedur dan persyaratan tertentu yang harus
dipenuhi. Mekanisme penyelesaian sengketa alternatif ini merupakan materi yang wajib
diketahui oleh para dosen, mahasiswa jurusan hukum, dan praktisi hukum. Tidak ketinggalan
bagi Anda yang terjun di bidang usaha dan bisnis. Wawasan tentang hukum alternatif ini akan
menjadi solusi terbaik.
Kenapa demikian? Pasalnya, jika kita menempuh proses hukum melalui pengadilan, biaya yang
dikeluarkan akan lebih besar dan lamanya proses karena bertumpuknya berkas-berkas
pengajuan lainnya di pengadilan. Sedangkan jika kita menempuh dari keempat jenis ini, perkara
tidak akan terbuka ke masyarakat umum, biaya lebih murah, bersifat win-win solution, dan
fleksibel.
Ketidak puasan tersebut dapat diakibatkan oleh adanya cidera janji. Sebagai
contoh Penyedia Barang/Jasa mengirim barang tidak sesuai dengan spesifikasi
yang dipersyaratkan dalam dokumen kontrak. Penolakan barang yang terkirim
dan alasan tidak ada sisa waktu untuk pengiriman kembali, maka pihak
Pengguna Barang/Jasa melakukan pemutusan kontrak secara sepihak yang
berdampak pada terjadinya sengketa hukum.
Sumber Sengketa
Sengketa bersumber dari adanya ketidakpuasan pihak tertentu atas apa yang telah
diperbuat oleh pihak tertentu lainnya. Ketidakpuasan tersebut terjadi karena adanya
harapan agar pihak lain memenuhi atau mewujudkan suatu keadaan yang
diinginkan. Harapan tersebut lahir dari adanya hak seseorang untuk memaksa orang
lain memberikan sesuatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan suatu
perbuatan. Timbulnya hak tersebut karena adanya pihak lain yang telah menyatakan
setuju untuk memenuhi harapan tersebut.
2.7
Suatu hal tertentu adalah barang yang menjadi obyek dalam kontrak.
Menurut pasal 1333 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, barang yang
menjadi obyek suatu kontrak harus tertentu, setidak-tidaknya harus
ditentukan jenisnya. Jumlah barang itu tidak perlu pasti, asal saja jumlah itu
kemudian dapat ditentukan atau dihitung.
d. Suatu sebab yang halal.
Halal merupakan syarat keempat sebagai sahnya suatu kontrak. Pasal 1335
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menegaskan “jika kontrak tanpa
sebab, atau kontrak karena sebab palsu atau terlarang maka tidak
mempunyai kekuatan” Pasal 1337 KUH Perdata berbunyi “Suatu sebab
adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila
sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum
BAB III
ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA HUKUM
DALAM PELAKSANAAN KONTRAK