Anda di halaman 1dari 47

LEMBAR TUJUAN

JUDUL PELATIHAN : PENYELESAIAN SENGKETA PENGADAAN BARANG/JASA


PEMERINTAH

TUJUAN PELATIHAN

A. Tujuan Umum Pelatihan


Mampu memahami dan melaksanakan penyelesaian sengketa dalam lingkup pekerjaan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
B. Tujuan Khusus Pelatihan
Setelah mengikuti pelatihan, peserta diharapkan mampu :
1. Memahami dan menganalisis tentang risiko dalam Pengadaan Barang/Jasa;
2. Memahami dan menganalisis tentang sebab sebab timbulnya sengketa dalam
Pengadaan Barang/Jasa;
3. Memahami dan menganalisis tentang upaya untuk menghindari timbulnya sengketa
dalam Pengadaan Barang/Jasa;
4. Memahami dan menganalisis tentang alternatif penyelesaian sengketa dalam
Pengadaan Barang/Jasa;
5. Memahami dan melaksanakan penyelesaian sengketa dalam Pengadaan
Barang/Jasa.
NOMOR/ JUDUL MODUL : .............../ PENYELESAIAN SENGKETA

Tujuan Instruksional Umum (TIU)


Mampu memahami dan melaksanakan penyelesaian sengketa dalam lingkup pekerjaan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

Tujuan Instruksional Khusus (TIK)


Setelah mengikuti pelatihan, peserta diharapkan mampu :
1. Memahami dan menganalisis tentang risiko dalam Pengadaan Barang/Jasa;
2. Memahami dan menganalisis tentang sebab sebab timbulnya sengketa dalam
Pengadaan Barang/Jasa;
3. Memahami dan menganalisis tentang upaya untuk menghindari timbulnya sengketa
dalam Pengadaan Barang/Jasa;
4. Memahami dan menganalisis tentang alternatif penyelesaian sengketa dalam
Pengadaan Barang/Jasa;
5. Memahami dan melaksanakan penyelesaian sengketa dalam Pengadaan
Barang/Jasa.
DESKRIPSI SINGKAT PENGEMBANGAN MODUL PELATIHAN PENYELESAIAN
SENGKETA DALAM PENGADAAN BARANG/JASA

1. Kompetensi kerja yang disyaratkan untuk Jabatan kerja sebagai Manajer Proyek,
Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) ....
2. Standar Latihan Kerja (SLK) disusun berdasarkan analisa dari masing-masing Unit
Kompetensi, Elemen Kompetensi dan Kriteria Unjuk Kerja yang menghasilkan
kebutuhan pengetahuan, keterampilan dan sikap perilaku dari setiap Elemen
Kompetensi yang dituangkan dalam bentuk sustu susunan kurikulum dan silabus
pelatihan yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan kompetensi tersebut.
3. Untuk mendukung tercapainya tujuan khusus pelatihan tersebut, maka berdasarkan
kurikulum dan silabus yang ditetapkan dalam SLK, disusun seperangkat modul
pelatihan (seperti tercantum dalam daftar modul) yang harus menjadi bahan
pengajaran dalam pelatihan .......

PANDUAN PEMBELAJARAN
Pelatihan : Penyelesaian Sengketa

Judul :

Deskripsi :

Tempat kegiatan : Dalam ruang kelas

Waktu kegiatan : ...... jam pelajaran (1jam pelajaran = 45 menit)

No Kegiatan Instruktur Kegiatan Peserta Pendukung

Ceramah : Pembukaan ˗ Mengikuti penjelasan Bahan


tentang TIU dan TIK tayang/slide
˗ Menjelaskan Tujuan Instruksional
dengan tekun dan
Pelatihan (TIU & TIK) No:
aktif;
˗ Memberikan motivasi melalui
1 ˗ Mengajukan
pertanyaan atau penyampaian
pertanyaan dan/ atau
pengalaman tentang sengketa
pendapat terkait
dalam Pengadaan Barang/Jasa.
dengan penjelasan
˗ Waktu : ........ menit
tersebut.
Ceramah : ˗ Mengikuti penjelasan Bahan
tentang TIU dan TIK tayang/slide
˗ Kegiatan yang membutuhkan
dengan tekun dan
barang/jasa dan cara No:
aktif;
pengadaannya;
˗ Mengajukan
˗ Tahapan secara garis besar
pertanyaan dan/ atau
dalam Pengadaan Barang/ Jasa
1. pendapat terkait
Pemerintah;
dengan penjelasan
˗ Peraturan Perundang-undangan
tersebut.
yang terkait dengan Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah;
˗ Penetapan sistem pengadaan
Waktu : ........ menit
Ceramah :
˗ Menjelaskan tentang risiko dalam
Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah dan cara mengelola
3
risiko;
˗ Menjelaskan tentang upaya untuk
menghindari terjadinya
Waktu : ........ menit
3.Ceramah :
˗ Menjelaskan tentang beberapa
faktor penyebab timbulnya
sengketa dalam Pengadaan
Barang/Jasa;
˗ Menjelaskan tentang upaya untuk
mencegah timbulnya sengketa
dalam Pengadaan Barang/Jasa;

Waktu : ........ menit


MATERI SERAHAN
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Umum
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut dengan
Pengadaan Barang/Jasa adalah kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa oleh
Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/ Institusi Lainnya
(KLDI) yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan Barang/Jasa,
sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh Barang/ Jasa.
Pengadaan Barang/Jasa yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari
APBN dan/ atau APBD, proses pengadaannya berpedoman pada ketentuan
Peraturan Presiden No.54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah dan Peraturan Presiden No.70 Tahun 2012 tentang Perubahan
Kedua Peraturan Presiden No.54 Tahun 2010.
Ketentuan Pengadaan Barang/Jasa yang sebagian atau seluruh dananya
bersumber dari Pinjaman/ Hibah Luar Negeri (PHLN), berpedoman pada
ketentuan Peraturan Presiden sebagaimana tersebut. Dalam hal terdapat
perbedaan antara Peraturan Presiden tersebut dengan ketentuan Pengadaan
Barang/Jasa yang berlaku bagi pemberi Pinjaman/ Hibah Luar Negeri, para
pihak dapat menyepakati tata cara Pengadaan yang akan dipergunakan.
Dalam proses Pengadaan Barang/Jasa yang dilaksanakan secara
kontraktual, tidak jarang risiko dalam kontrak yang apabila terjadi, dapat
berakibat timbulnya sengketa antara Kedua Pihak dalam Kontrak. Sebagai
contoh, akibat ketidakpuasan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) atas
pelaksanaan kontrak oleh Penyedia Barang/Jasa yang dilaksanakan tidak
sesuai dengan dokumen kontrak, dapat berujung pada pemutusan kontrak
secara sepihak oleh PPK.
Dalam hal pemutusan kontrak sebagaimana tersebut tidak dilakukan sesuai
dengan ketentuan dan prosedur yang ditetapkan dalam dokumen kontrak,
sering berdampak pada terjadinya sengketa diantara Kedua Pihak yang terikat
dalam kontrak (PPK dengan Penyedia Barang/Jasa).
Penyelesaian Sengketa dalam proses Pengadaan Barang/Jasa dapat
dilakukan melalui Pengadilan atau diluar Pengadilan. Pemilihan alternatif
Penyelesaian Sengketa tersebut, ditetapkan oleh Kedua Pihak yang
bersengketa atas dasar kesepakatan. Dalam Pengadaan Barang/Jasa yang
dilaksanakan secara kontraktual, pemilihan alternatif penyelesaian sengketa,
ditetapkan dalam Dokumen Kontrak. Oleh karena itu sebelum kontrak ditanda
tangani, Kedua Pihak yang membuat perjanjian/ kontrak, dipandang perlu
untuk malakukan penelaahan terlebih dahulu terhadap isi Kontrak.

1.2 Maksud dan Tujuan


˗ Untuk memberikan bekal materi dalam pelatihan/bimbingan teknis
tentang Penyelesaian Sengketa Hukum dalam proses Pengadaan
Barang/Jasa yang pelaksanaannya dilakukan secara kontraktual.
˗ Pelatihan Penyelesaian Sengketa dimaksud, merupakan bagian dari
Standar Kompetensi dengan tingkat tertentu yang harus dimiliki oleh
seorang PPK untuk dapat melaksanakan tugasnya.

1.3 Lingkup Materi Pelatihan


Lingkup materi untuk pelatihan Penyelesaian Sengketa, meliputi sbb :
˗ Tahapan dalam proses Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yang
dilaksanakan secara kontraktual;
˗ Sengketa dalam proses Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;
˗ Alternatif penyelesaian sengketa dalam proses Pelaksanaan Kontrak;
˗ Prosedur Penyelesaian Sengketa dalam proses pelaksanaan kontrak

1.4 Referensi Hukum


˗ Peraturan Presiden RI No.54 Tahun 2010 tentang Pengadaan
Barang/jasa Pemerintah;
˗ Peraturan Presiden RI No.70 Tahun 2012 tentang Perubahan kedua atas
Peraturan Presiden RI No.54 Tahun 2010 tentang Pengadaan
Barang/jasa Pemerintah;
BAB II
TAHAPAN PROSES PENGADAAN BARANG/JASA

Proses Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dimulai dari perencanaan


kebutuhan Barang/Jasa, sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk
memperoleh Barang/ Jasa.
Secara garis besar tahapan proses Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, adalah
sebagai berikut:

2.1 Rencana Umum Pengadaan


PA (Pengguna Anggaran) menyusun Rencana Umum Pengadaan Barang/Jasa
sesuai kebutuhan pada K/L/D/I masing-masing.
Rencana Umum Pengadaan Barang/Jasa, meliputi kegiatan :
˗ Mengidentifikasi kebutuhan barang/jasa yang dibutuhkan K/L/D/I;
˗ Menyusun dan menetapkan rencana penganggaran untuk Pengadaan
Barang/Jasa;
˗ Menetapkan kebijakan umum tentang:
o Pemaketan pekerjaan;
o Cara Pengadaan Barang/Jasa.
o Pengorganisasian Pengadaan Barang/Jasa.
˗ Menyusun Karangka Acuan Kerja.
PA mengumumkan Rencana Umum Pengadaan Barang/Jasa dimasing-masing
K/L/D/I secara terbuka kepada masyarakat luas setelah rencana kerja dan
anggaran K/L/D/I disetujui DPR/DPRD.

2.2 Pengadaan Barang/Jasa Melalui Penyedia Barang/Jasa


2.1 Persiapan Pengadaan
Persiapan pemilihan Penyedia Barang/Jasa, terdiri atas kegiatan:
˗ Perencanaan pemilihan Penyedia Barang/Jasa;
˗ Pemilihan sistem pengadaan;
˗ Penetapan metode penilaian kualifikasi;
˗ Penyusunan jadwal pemilihan Penyedia Barang/Jasa;
˗ Penyusunan Dokumen Pengadaan Barang/Jasa; dan
˗ Penetapan HPS.

2.2 Perencanaan pemilihan Penyedia Barang/Jasa


Perencanaan pemilihan Penyedia Barang/Jasa, terdiri atas kegiatan:
˗ Pengkajian ulang paket pekerjaan;
˗ Pengkajian ulang jadwal kegiatan pengadaan.
Perencanaan pemilihan Penyedia Barang/Jasa, dapat dilakukan oleh:
˗ PPK; dan/ atau
˗ ULP/Pejabat Pengadaan.
Perencanaan pemilihan Penyedia Barang/Jasa, dilakukan dengan:
˗ Menyesuaikan kondisi di lokasi/lapangan pada saat akan
melaksanakan pemilihan Penyedia Barang/Jasa;
˗ Mempertimbangkan terhadap kepentingan masyarakat;
˗ Mempertimbangkan jenis, sifat dan nilai Barang/Jasa serta jumlah
Penyedia Barang/Jasa yang ada; dan
˗ Mempertimbangkan ketentuan tentang pemaketan pekerjaan.
Dalam hal terjadi perubahan paket pekerjaan, maka :
˗ PPK mengusulkan perubahan paket pekerjaan kepada PA/KPA
untuk ditetapkan; atau
˗ ULP/Pejabat Pengadaan mengusulkan perubahan paket pekerjaan
melalui PPK untuk ditetapkan oleh PA/KPA.

2.3 Pemilihan Sistem Pengadaan


Pemilihan sistem pengadaan, meliputi kegiatan:
˗ Penetapan metode pemilihan;
˗ Penetapan metode penyampaian dokumen penawaran;
˗ Penetapan metode evaluasi penawaran

2.4 Penetapan jenis kontrak


ULP/Pejabat Pengadaan menetapkan jenis Kontrak Pengadaan
Barang/Jasa.

2.5 Tanda Bukti Perjanjian.


Tanda bukti perjanjian, terdiri atas:
˗ Bukti pembelian;
˗ Kuitansi;
˗ Surat Perintah Kerja (SPK); dan
˗ Surat perjanjian

2.6 Penetapan Metode Penilaian kualifikasi.


Kualifikasi merupakan proses penilaian kompetensi dan kemampuan
usaha serta pemenuhan persyaratan tertentu lainnya dari Penyedia
Barang/Jasa,
Penilaian kualifikasi dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu:
˗ Prakualifikasi, merupakan proses penilaian kualifikasi yang
dilakukan sebelum pemasukan penawaran; dan
˗ Pascakualifikasi, merupakan proses penilaian kualifikasi yang
dilakukan setelah pemasukan penawaran.

2.7 Penyusunan Jadwal Pemilihan Penyedia Barang/Jasa


ULP/Pejabat Pengadaan menyusun dan menetapkan jadwal
pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa.
Penyusunan jadwal pelaksanaan Pengadaan, harus memberikan
alokasi waktu yang cukup untuk semua tahapan proses Pengadaan,
termasuk waktu, untuk:
˗ Pengumuman pelelangan/ Seleksi;
˗ Pendaftaran dan pengambilan Dokumen Kualifikasi atau Dokumen
Pengadaan;
˗ Pemberian penjelasan;
˗ Pemasukan Dokumen Penawaran;
˗ Evaluasi penawaran;
˗ Penetapan pemenang; dan
˗ Sanggahan dan sanggahan banding.

2.8 Penyusunan Dokumen Pengadaan Barang/Jasa


ULP/Pejabat Pengadaan menyusun Dokumen Pengadaan Barang/jasa
yang terdiri atas:
˗ Dokumen kualifikasi; dan
˗ dokumen Pemilihan.
Dokumen Kualifikasi paling kurang terdiri atas:
˗ Petunjuk pengisian formulir isian kualifikasi;
˗ Formulir isian kualifikasi;
˗ Instruksi kepada peserta kualifikasi;
˗ Lembar data kualifikasi;
˗ Pakta integritas; dan
˗ Tata cara evaluasi kualifikasi.
Dokumen Pemilihan, paling kurang terdiri atas:
˗ Undangan/pengumuman kepada calon Penyedia Barang/Jasa;
˗ Instruksi kepada peserta Pengadaan Barang/Jasa;
˗ Syarat-syarat umum kontrak;
˗ Syarat-syarat khusus kontrak;
˗ Daftar kuantitas dan harga;
˗ Spesifikasi teknis, KAK dan/ atau gambar;
˗ Bentuk surat penawaran;
˗ Rancangan kontrak;
˗ Bentuk jaminan; dan
˗ Contoh- contoh formulir yang perlu diisi.
PPK menetapkan bagian dari rancangan Dokumen Pengadaan yang
terdiri atas:
˗ Rancangan SPK; atau
˗ Rancangan surat perjanjian termasuk:
o Syarat-syarat umum kontrak;
o Syarat-syarat khusus kontrak;
o Spesifikasi teknis, KAK dan/atau gambar;
o Daftar kuantitas dan harga; dan dokumen lainnya.
˗ HPS
PPK menyusun rancangan kontrak Pengadaan Barang/Jasa dengan
berpedoman pada Standar Kontrak Pengadaan Barang/Jasa, yang
diatur dengan peraturan Kepala LKPP.
PPK menetapkan HPS Barang/Jasa, kecuali untuk Kontes/Sayembara.

2.9 Jaminan Pengadaan Barang/Jasa


Penyedia Barang/Jasa menyerahkan Jaminan kepada Pengguna
Barang/Jasa untuk memenuhi kewajiban sebagaimana dipersyaratkan
dalam Dokumen Pengadaan/ Kontrak Pengadaan Barang/Jasa.
Jaminan atas Pengadaan Barang/Jasa, terdiri atas:
˗ Jaminan Penawaran;
˗ Jaminan Pelaksanaan;
˗ Jaminan Uang Muka;
˗ Jaminan Pemeliharaan;
˗ Jaminan Sanggahan Banding;
Jaminan atas Pengadaan Barang/Jasa tersebut, harus dapat dicairkan
tanpa syarat (uncoditional) sebesar nilai Jaminan, dalam waktu paling
lambat 14 (empat belas) hari kerja, setelah surat pernyataan
wanprestasi dari PPK/ULP diterima oleh Penerbit Jaminan.

2.3 Pelaksanaan Pemilihan Penyedia Barang/Jasa


Pengumuman Pemilihan Penyedia Barang/Jasa
ULP mengumumkan pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa secara luas
kepada masyarakat pada saat:
Rencana kerja dan anggaran K/L/D/I telah disetujui oleh DPR/DPRD; atau
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA)/Dokumen Pelaksanaan Anggaran
(DPA) telah disahkan.
Dalam hal ULP akan melakukan pelelangan/seleksi setelah rencana kerja dan
anggaran K/L/D/I disetujui DPR/DPRD tetapi DIPA/DPA belum disahkan,
pengumuman dilakukan dengan mencantumkan kondisi DIPA/DPA belum
disahkan.
Pelelangan/ seleksi diumumkan secara terbuka dengan mengumumkan secara
luas, sekurang-kurangnya melalui:
˗ Website K/L/D/I;
˗ Papan pengumuman resmi untuk masyarakat; dan
˗ Portal Pengadaan Nasional melalui LPSE.
Pengumuman atas penetapan Penyedia Barang/Jasa diumumkan secara
terbuka dengan mengumumkan secara luas pada:
˗ Website K/L/D/I; dan
˗ Papan pengumuman resmi untuk masyarakat.

2.4 Penilaian Kualifikasi.


˗ Dalam proses prakualifikasi/pascakualifikasi, ULP/Pejabat Pengadaan
tidak boleh melarang, menghambat dan membatasi keikutsertaan calon
Penyedia Barang/Jasa dari luar Propinsi/ Kabupaten/Kota.
˗ Penyedia Barang/Jasa menandatangani surat pernyataan diatas meterai
yang menyatakan bahwa semua informasi yang disampaikan dalam
formulir isian kualifikasi adalah benar.

2.5 Pendaftaran dan Pengambilan Dokumen


˗ Penyedia Barang/Jasa yang berminat mengikuti pemilihan Penyedia
Barang/Jasa, mendaftar untuk mengikuti Pelelangan/ Seleksi/Pemilihan
Langsung kepada ULP.
˗ Penyedia Barang/Jasa yang mengikuti Pengadaan Barang/Jasa melalui
Penunjukan Langsung/Pengadaan Langsung diundang oleh ULP/Pejabat
Pengadaan.
˗ Penyedia Barang/Jasa mengambil Dokumen Pengadaan dari ULP/Pejabat
Pengadaan atau mengunduh dari website yang digunakan oleh ULP.

2.6 Pemberian Penjelasan


˗ Untuk memperjelas Dokumen Pengadaan Barang/Jasa, ULP/ Pejabat
Pengadaan mengadakan pemberian penjelasan.
˗ ULP/Pejabat Pengadaan dapat memberikan penjelasan lanjutan dengan
cara melakukan peninjauan lapangan.
˗ Pemberian penjelasan harus dituangkan dalam Berita Acara Pemberian
Penjelasan yang ditandatangani oleh ULP/Pejabat Pengadaan dan minimal
1 (satu) wakil dari peserta yang hadir.
˗ ULP memberikan salinan Berita Acara Pemberian Penjelasan dan
Adendum Dokumen Pengadaan kepada seluruh peserta, baik yang
menghadiri atau tidak menghadiri pemberian penjelasan.

2.7 Pemasukan Dokumen Penawaran


˗ Penyedia Barang/Jasa memasukkan Dokumen Penawaran dalam jangka
waktu dan sesuai persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam Dokumen
Pemilihan.
˗ Dokumen Penawaran yang disampaikan melampaui batas akhir
pemasukan penawaran tidak dapat diterima oleh ULP/Pejabat Pengadaan.

2.8 Evaluasi Penawaran


˗ Dalam melakukan evaluasi penawaran, ULP/Pejabat Pengadaan harus
berpedoman pada tata cara/kriteria yang ditetapkan dalam Dokumen
Pengadaan.
˗ Dalam evaluasi penawaran, ULP/Pejabat Pengadaan dan Penyedia
Barang/Jasa dilarang melakukan tindakan post bidding.

2.9 Penetapan dan Pengumuman Pemenang


˗ ULP/Pejabat Pengadaan menetapkan hasil pemilihan Penyedia
Barang/Jasa.
˗ ULP/Pejabat Pengadaan mengumumkan hasil pemilihan Penyedia
Barang/Jasa setelah ditetapkan melalui website K/L/D/I dan papan
pengumuman resmi.

2.10 Sanggahan dan Sanggahan Banding


˗ Peserta pemilihan Penyedia Barang/Jasa yang merasa dirugikan, baik
secara sendiri maupun bersama-sama dengan peserta lainnya dapat
mengajukan sanggahan secara tertulis apabila menemukan:
o penyimpangan terhadap ketentuan dan prosedur yang diatur dalam
Peraturan Presiden ini dan yang telah ditetapkan dalam Dokumen
Pengadaan Barang/Jasa;
o adanya rekayasa yang mengakibatkan terjadinya persaingan yang
tidak sehat; dan/atau
o adanya penyalahgunaan wewenang oleh ULP dan/atau Pejabat
yang berwenang lainnya.
˗ Surat sanggahan disampaikan kepada ULP dan ditembuskan kepada PPK,
PA/KPA dan APIP K/L/D/I yang bersangkutan paling lambat 5 (lima) hari
kerja setelah pengumuman pemenang.
˗ ULP wajib memberikan jawaban tertulis atas semua sanggahan paling
lambat 5 (lima) hari kerja setelah surat sanggahan diterima.
˗ Penyedia Barang/Jasa yang tidak puas dengan jawaban sanggahan dari
ULP dapat mengajukan sanggahan banding kepada Menteri/Pimpinan
Lembaga/Kepala Daerah/Pimpinan Institusi paling lambat 5 (lima) hari kerja
setelah diterimanya jawaban sanggahan.
˗ Penyedia Barang/Jasa yang mengajukan sanggahan banding wajib
menyerahkan Jaminan Sanggahan Banding yang berlaku 20 (dua puluh)
hari kerja sejak pengajuan Sanggahan Banding.
˗ Jaminan Sanggahan Banding ditetapkan sebesar 20/00 (dua perseribu) dari
nilai total HPS atau paling tinggi sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah).
˗ Sanggahan Banding menghentikan proses Pelelangan/Seleksi.

2.11 Pemilihan Gagal


˗ ULP menyatakan Pelelangan/Pemilihan Langsung gagal apabila :
o jumlah peserta yang lulus kualifikasi pada proses prakualifikasi
kurang dari 3 (tiga) peserta;
o jumlah peserta yang memasukan Dokumen Penawaran untuk
Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya kurang dari
3 (tiga) peserta;
o sanggahan dari peserta terhadap hasil prakualifikasi ternyata benar;
o tidak ada penawaran yang lulus evaluasi penawaran;
o dalam evaluasi penawaran ditemukan bukti/indikasi terjadi
persaingan tidak sehat;
o harga penawaran terendah terkoreksi untuk Kontrak Harga Satuan
dan Kontrak gabungan Lump Sum dan Harga Satuan lebih tinggi
dari HPS;
o seluruh harga penawaran yang masuk untuk Kontrak Lump Sum
diatas HPS;
o sanggahan hasil Pelelangan dari peserta ternyata benar; atau
˗ calon pemenang dan calon pemenang cadangan 1 dan 2, setelah dilakukan
evaluasi dengan sengaja tidak hadir dalam klarifikasi dan/atau pembuktian
kualifikasi.

2.12 Penunjukan Penyedia Barang/Jasa


˗ PPK menerbitkan SPPBJ dengan ketentuan:
o tidak ada sanggahan dari peserta;
o sanggahan dan/atau sanggahan banding terbukti tidak benar; atau
o masa sanggah dan/atau masa sanggah banding berakhir.
˗ Dalam hal Penyedia Barang/Jasa yang telah menerima SPPBJ
mengundurkan diri dan masa penawarannya masih berlaku, pengunduran
diri tersebut hanya dapat dilakukan berdasarkan alasan yang dapat
diterima secara obyektif oleh PPK.
˗ Pengunduran diri sebagaimana dimaksud dilakukan dengan ketentuan
bahwa Jaminan Penawaran peserta lelang yang bersangkutan dicairkan
dan disetorkan pada Kas Negara/Daerah.
˗ Dalam hal Penyedia Barang/Jasa yang ditunjuk sebagai pelaksana
pekerjaan mengundurkan diri dengan alasan yang tidak dapat diterima dan
masa penawarannya masih berlaku, maka:
o Jaminan Penawaran yang bersangkutan dicairkan dan disetorkan pada
Kas Negara/Daerah; dan
o Penyedia Barang/Jasa dikenakan sanksi berupa larangan untuk
mengikuti kegiatan Pengadaan Barang/Jasa di instansi pemerintah
selama 2 (dua) tahun.
˗ Dalam hal tidak terdapat sanggahan, SPPBJ harus diterbitkan paling
lambat 6 (enam) hari kerja setelah pengumuman penetapan pemenang
dan segera disampaikan kepada pemenang yang bersangkutan.

2.13 Penandatanganan Kontrak Pengadaan Barang/Jasa

˗ PPK menyempurnakan rancangan Kontrak Pengadaan Barang/ Jasa untuk


ditandatangani.

˗ Penandatanganan Kontrak Pengadaan Barang/Jasa dilakukan setelah


DIPA/DPA disahkan.

˗ Para pihak menandatangani Kontrak setelah Penyedia Barang/ Jasa


menyerahkan Jaminan Pelaksanaan paling lambat 14 (empat belas) hari
kerja terhitung sejak diterbitkannya SPPBJ.
˗ Penandatanganan Kontrak Pengadaan Barang/Jasa yang kompleks
dan/atau bernilai diatas Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah)
dilakukan setelah memperoleh pendapat ahli hukum Kontrak.

2.14 Pelaksanaan Kontrak Pengadaan Barang/Jasa


2.14.1 Perubahan Konrak

˗ Dalam hal terdapat perbedaan antara kondisi lapangan pada saat


pelaksanaan, dengan gambar dan/atau spesifikasi teknis yang
ditentukan dalam Dokumen Kontrak, PPK bersama Penyedia
Barang/Jasa dapat melakukan perubahan Kontrak yang meliputi:

o menambah atau mengurangi volume pekerjaan yang


tercantum dalam Kontrak;
o menambah dan/atau mengurangi jenis pekerjaan;
o mengubah spesifikasi teknis pekerjaan sesuai dengan
kebutuhan lapangan; atau
o mengubah jadwal pelaksanaan.
˗ Pekerjaan tambah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan dengan ketentuan:
o tidak melebihi 10% (sepuluh perseratus) dari harga yang
tercantum dalam perjanjian/Kontrak awal; dan
o tersedianya anggaran.

2.15 Uang Muka dan Pembayaran Prestasi Pekerjaan


˗ Uang Muka dapat diberikan kepada Penyedia Barang/Jasa untuk:
o mobilisasi alat dan tenaga kerja;
o pembayaran uang tanda jadi kepada pemasok barang/ material;
dan/atau
o persiapan teknis lain yang diperlukan bagi pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa.
˗ Uang Muka dapat diberikan kepada Penyedia Barang/Jasa dengan
ketentuan sebagai berikut:
o untuk Usaha Kecil paling tinggi 30% (tiga puluh perseratus) dari nilai
Kontrak Pengadaan Barang/Jasa; atau
o untuk usaha non kecil paling tinggi 20% (dua puluh perseratus) dari
nilai Kontrak Pengadaan Barang/Jasa.
˗ Besarnya Uang Muka untuk Kontrak Tahun Jamak adalah nilai yang
paling kecil diantara 2 (dua) pilihan, yaitu:
o 20% (dua puluh perseratus) dari Kontrak tahun pertama; atau
o 15% (lima belas perseratus) dari nilai Kontrak.
˗ Pembayaran prestasi pekerjaan dapat diberikan dalam bentuk:
o pembayaran bulanan;
o pembayaran berdasarkan tahapan penyelesaian pekerjaan (termin);
atau
o pembayaran secara sekaligus setelah penyelesaian pekerjaan.
˗ Pembayaran prestasi kerja diberikan kepada Penyedia Barang/Jasa
setelah dikurangi angsuran pengembalian Uang Muka dan denda apabila
ada, serta pajak.

2.16 Penyesuaian Harga


˗ Penyesuaian Harga dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
o penyesuaian harga diberlakukan terhadap Kontrak Tahun Jamak
berbentuk Kontrak Harga Satuan berdasarkan ketentuan dan
persyaratan yang telah tercantum dalam Dokumen Pengadaan
dan/atau perubahan Dokumen Pengadaan;
o tata cara perhitungan penyesuaian harga harus dicantumkan dengan
jelas dalam Dokumen Pengadaan;
o penyesuaian harga tidak diberlakukan terhadap Kontrak Tahun
Tunggal dan Kontrak Lump Sum serta pekerjaan dengan Harga
Satuan timpang.

2.17 Pemutusan Kontrak


˗ PPK dapat memutuskan Kontrak secara sepihak apabila:
o denda keterlambatan pelaksanaan pekerjaan akibat kesalahan
Penyedia Barang/Jasa sudah melampaui 5% (lima perseratus) dari
nilai Kontrak;
o Penyedia Barang/Jasa lalai/cidera janji dalam melaksanakan
kewajibannya dan tidak memperbaiki kelalaiannya dalam jangka waktu
yang telah ditetapkan;
o Penyedia Barang/Jasa terbukti melakukan KKN, kecurangan dan/atau
pemalsuan dalam proses Pengadaan yang diputuskan oleh instansi
yang berwenang; dan/atau
o pengaduan tentang penyimpangan prosedur, dugaan KKN dan/atau
pelanggararan persaingan sehat dalam pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa dinyatakan benar oleh instansi yang berwenang.

2.18 Serah Terima Pekerjaan


˗ Setelah pekerjaan selesai 100% (seratus perseratus) sesuai dengan
ketentuan yang tertuang dalam Kontrak, Penyedia Barang/Jasa
mengajukan permintaan secara tertulis kepada PA/KPA melalui PPK untuk
penyerahan pekerjaan.
˗ PA/KPA menunjuk Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan untuk
melakukan penilaian terhadap hasil pekerjaan yang telah diselesaikan.
BAB III
SENGKETA HUKUM DALAM PELAKSANAAN KONTRAK

3.1. Pengertian dan istilah


3.2. Pengertian Sengketa Hukum
Sengketa dapat didefinisikan sebagai ketidaksepakatan salah satu subyek
mengenai sebuah fakta hukum, atau kebijakan yang kemudian dibantah oleh
pihak lain atau adanya ketidaksepakatan mengenai masalah hukum atau fakta-
fakta atau konflik mengenai penafsiran atau kepentingan antara 2 (dua) pihak
yang berbeda
Sengketa merupakan sesuatu hal yang lumrah dalam kehidupan
bermasyarakat, yang dapat terjadi saat dua orang atau lebih berinteraksi pada
suatu peristiwa/ situasi dan mereka memiliki persepsi, kepentingan, dan
keinginan yang berbeda terhadap peristiwa/situasi tersebut.
Salah satu indikasi penyebab munculnya sengketa antara Para Pihak adalah
karena adanya ketidaksepakatan para pihak, tersebut mengenai fakta.

3.3. Sumber Sengketa


Sengketa bersumber dari adanya ketidakpuasan pihak tertentu atas apa yang
telah diperbuat oleh pihak tertentu lainnya. Ketidakpuasan tersebut terjadi
karena adanya harapan agar pihak lain memenuhi atau mewujudkan suatu
keadaan yang diinginkan. Harapan tersebut lahir dari adanya hak seseorang
untuk memaksa orang lain memberikan atau melakukan sesuatu, atau tidak
melakukan suatu perbuatan. Timbulnya hak tersebut karena adanya pihak lain
yang telah menyatakan setuju untuk memenuhi harapan tersebut.

3.4. Indikasi Penyebab Terjadinya Sengketa Hukum

Sengketa hukum dalam pelaksanaan kontrak Pengadaan Barang/Jasa, dapat


terjadi karena sebab, yaitu :
˗ akibat adanya ketidak puasan diantara Kedua Pihak dalam kontrak yang
disebabkan oleh adanya cidera janji. Cidera janji sebagaimana yang
dimaksud adalah tidak melaksanakan hak dan kewajibannya diantara
Kedua Pihak dalam kontrak;

˗ kurangnya pemahaman terhadap isi dokumen kontrak oleh Para Pihak


dalam kontrak, sehingga dapat menimbulkan perbedaan
persepsi/pendapat dalam memahami isi dokumen kontrak oleh Kedua
Pihak dalam kontrak yang tidak dapat segera diselesaikan
˗ tidak diterapkannya secara baik dan benar Sistem Manajemen Mutu
(SMM) dalam proses pelaksanaan kontrak oleh Kedua Pihak yang terikat
kontrak. Dimana SMM tersebut dipersyaratkan dalam kontrak untuk
digunakan sebagai alat untuk pengendalian pelaksanaan kontrak;
3.5.
3.6. Pengertian Kontrak
Peraturan Presiden No.54 Tahun 2010 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah, pada Bab I Ketentuan Umum, Bagian Pertama
Pengertian dan Istilah, Pasal 1, angka 22, meyebutkan bahwa Kontrak
Pengadaan Barang/Jasa, yang selanjutnya disebut Kontrak adalah perjanjian
tertulis antara PPK dengan Penyedia Barang/Jasa atau pelaksana Swakelola.
Menurut pasal 1313 KUH Perdata, Perjanjian (kontrak) adalah suatu
perbuatan di mana satu pihak atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang
atau lebih. Semua klausul yang telah dituangkan dalam kontrak bersifat
mengikat sebagai hukum bagi para pihak yang berkontrak.
Menurut pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata semua persetujuan yang
dibuat sesuai dengan undang-undang, berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya
Dalam berkontrak kedudukan para pihak dalam kontrak adalah sama
atau seimbang, dan masing-masing dapat mengemukakan keinginannya
sepanjang kedua pihak setuju/sepakat. Pernyataan setuju dilakukan dengan
cara menandatangani kontrak. Oleh karena itu sebelum menandatangani
kontrak, seharusnya masing-masing pihak dalam kontrak melakukan
penelaahan terlebih dahulu terhadap isi kontrak.

3.7. Tujuan Kontrak


Tujuan dibuatnya perjanjian tertulis/ kontrak adalah :
˗ untuk menjamin bahwa Penyedia Barang/Jasa akan menyerahkan hasil
pekerjaannya berupa barang/jasa sesuai dengan yang telah disepakati
dalam kontrak;
˗ untuk menjamin bahwa Penyedia Barang/Jasa akan menerima haknya
untuk memperoleh pembayaran atas prestasi pekerjaan yang telah
diselesaikan sesuai dengan yang disepakati dalam kontrak;

3.8. Penandatanganan Kontrak


Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang dilakukan melalui pemilihan
Penyedia Barang/Jasa, setelah Surat Penetapan Penyedia Barang/Jasa
(SPPBJ) diterbitkan, PPK melakukan finalisasi terhadap rancangan kontrak
dan menandatangani kontrak pelaksanaan pekerjaan, apabila dananya telah
cukup tersedia dalam dokumen anggaran.
Penandatanganan kontrak oleh Kedua Pihak yang terikat dalam kontrak,
selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah PPK menerbitkan
SPPBJ dan setelah diserahkannya Jaminan Pelaksanaan oleh Penyedia
sesuai ketentuan dalam Dokumen Kontrak.

3.9. Risiko Sengketa Hukum Dalam Pengadaan Barang/Jasa


3.4.1 Pengertian Risiko
Secara umum risiko dapat diartikan sebagai sesuatu yang tidak pasti
(uncertain), dimana ketidakpastian tersebut dapat berakibat yang
menguntungkan atau merugikan. Ketidakpastian yang menimbulkan
kemungkinan menguntungkan dikenal dengan istilah peluang
(Opportunity), sedangkan ketidakpastian yang menimbulkan akibat
merugikan dikenal dengan istilah risiko (Risk).

3.4.2 Risiko Pada Tahap Pemilihan Penyedia Barang/Jasa


Risiko Pengadaan Barang/Jasa pada tahap Pemilihan Penyedia
Barang/Jasa, antara lain:
˗ Penetapan metode penilaian kualifikasi yang tidak sesuai dengan
paket pekerjaan dan metode pemilihan Penyedia Barang/Jasa;
˗ Penetapan metode evaluasi penawaran tidak sesuai dengan paket
pekerjaan dan metode pemilihan Penyedia Barang/Jasa;
˗ dsb

3.4.3 Indikasi Penyebab


3.4.4 Dampak Risiko Pengadaan Barang/Jasa pada tahap Pemilihan Penyedia
Barang/Jasa:
˗ Timbul sanggahan/ sanggahan banding/ aduan, apabila proses
pemilihan diindikasikan tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan
dalam Pengadaan Barang/Jasa;
˗ Dalam hal sanggahan/ sanggahan banding/ aduan dinyatakan benar,
maka dapat dilakukan evaluasi ulang atau pemilihan/lelang ulang; 3

˗ Apabila ditemukan indikasi adanya tindak pidana dan dapat


dibuktikan, maka dapat diproses secara hukum menurut ketentuan/
peraturan-perudangan yang berlaku.

3.4.5
Ditinjau dari perspektif manajemen resiko Pengadaan Barang/Jasa, dalam
proses pelaksanaan kontrak memiliki cukup banyak risiko yang dapat berakibat
timbulnya sengketa hukum antara Kedua Pihak, antara lain:
˗ Gagalnya penandatanganan kontrak, apabila tidak terpenuhinya syarat
untuk menyerahkan jaminan pelaksanaan sesuai ketentuan dalam
dokumen kontrak;
˗ Kesalahan dalam penetapan jenis kontrak pada dokumen Pengadaan
Barang/Jasa yang tidak sesuai dengan kondisi lapangan dan
kompleksitas pekerjaan;
˗ Barang yang diadakan dengan spesifikasi sesuai yang dipersyaratkan
dalam dokumen kontrak, ternyata sulit ditemukan dipasaran,;
˗ Apabila tidak tercantumnya pasal dalam dokumen kontrak yang mengatur
tentang penanganan kontrak kritis secara jelas dan tegas;
˗ Dalam pelaksanaan kontrak pekerjaan konstruksi, risiko akibat belum
bebasnya lokasi/area pekerjaan, dapat menyebabkan pelaksanaan
pekerjaan terhambat. Disamping hal tersebut, akan menjadi
masalah/sengketa apabila dalam dokumen kontrak tidak terdapat pasal
yang mengaturnya secara jelas dan tegas.
˗ Dsb.

3.10. Dampak Risiko Dalam Pelaksanaan Kontrak


Apabila risiko pelaksanaan kontrak sebagaimana tersebut benar-benar terjadi,
maka akan dapat berakibat timbulnya sengketa hukum antara kedua Pihak
dalam kontrak. Timbulnya sengketa sebagaimana tersebut, akan berdampak
pada terhambatnya pencapaian tujuan pelaksanaan kontrak.
Dampak risiko pelaksanaan kontrak, antara lain sbb:
˗ Gagalnya penandatanganan kontrak oleh Penyedia Barang/Jasa dengan
alasan yang tidak bisa diterima, dapat berakibat Penyedia mendapatkan
sanksi hukum yaitu dicairkannya jaminan penawaran untuk disetor keKas
Negara/Daerah dan dimasukkan dalam daftar hitam, yang akhirnya dapat
menimbulkan sengketa hukum;
˗ Penolakan atas pengiriman barang oleh Penyedia Barang/Jasa karena tidak
sesuai dengan spesifikasi yang dipersyaratkan dalam dokumen kontrak,
menyebabkan PPK dapat mengenakan sanksi denda serta pemutusan kontrak
secara sepihak, apabila waktu kontrak sudah terlampaui, sedang barang yang
dipesan belum diterima.
3.11.
Dalam konteks pelaksanaan kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah, risiko
kontrak adalah setiap kemungkinan yang dapat terjadi dan bila hal itu terjadi akan
berakibat menghambat pencapaian tujuan pelaksanaan kontrak pengadaan
barang/jasa pemerintah. Meskipun risiko kontrak tersebut belum terjadi namun tetap
harus dilakukan penanganan (mitigasi) dengan cara menurunkan level risiko dari level
tinggi sampai pada level terendah dimana risiko itu dapat diterima oleh pemilik risiko
3.12. Sengketa Hukum Dalam Pelaksanaan Kontrak

Ketidak puasan tersebut dapat diakibatkan oleh adanya cidera janji. Sebagai
contoh Penyedia Barang/Jasa mengirim barang tidak sesuai dengan spesifikasi
yang dipersyaratkan dalam dokumen kontrak. Penolakan barang yang terkirim
dan alasan tidak ada sisa waktu untuk pengiriman kembali, maka pihak
Pengguna Barang/Jasa melakukan pemutusan kontrak secara sepihak yang
berdampak pada terjadinya sengketa hukum.

2.6

3.13. Syarat Sahnya Kontrak


Sahnya suatu perjanjian menurut pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata diperlukan empat syarat yaitu :
a. Kesepakatan Kedua Pihak.
Kesepakatan menjadi unsur penting dalam syarat sahnya suatu perjanjian.
Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah bahwa persetujuan diberikan
oleh para berdasarkan kesadaran tanpa paksaan, kekhilafan ataupun
penipuan. Hal ini dapat disimpulkan dari pasal 1321 KUH Perdata yang
berbunyi “Tiada suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika diberikan
karena kekhilafan, atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan”.
b. Kecakapan Bertindak.

Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan


perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan
menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang akan mengadakan
perjanjian haruslah orang–orang yang cakap dan mempunyai wewenang
untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang ditentukan oleh
undang–undang sebagai cakap (bekwaam) merupakan syarat umum untuk
dapat melakukan perbuatan hukum secara sah, yaitu harus sudah dewasa,
sehat akal pikiran, dan tidak dilarang oleh sesuatu peraturan perundang-
undangan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu. Pasal 1330 KUH
Perdata berbunyi “tiap orang berwenang untuk membuat perikatan, kecuali
jika ia dinyatakan tidak cakap untuk hal itu”. Pasal 1330 KUH Perdata
berbunyi “Yang tidak cakap untuk membuat persetujuan adalah: 1) anak
yang belum dewasa; 2) orang yang ditaruh di bawah pengampuan; 3)
perempuan yang telah kawin dalam hal yang ditentukan oleh undang-
undang, dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang
dilarang untuk membuat persetujuan tertentu”.
c. Mengenai suatu hal tertentu.

Suatu hal tertentu adalah barang yang menjadi obyek dalam kontrak.
Menurut pasal 1333 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, barang yang
menjadi obyek suatu kontrak harus tertentu, setidak-tidaknya harus
ditentukan jenisnya. Jumlah barang itu tidak perlu pasti, asal saja jumlah itu
kemudian dapat ditentukan atau dihitung.
d. Suatu sebab yang halal.
Halal merupakan syarat keempat sebagai sahnya suatu kontrak. Pasal 1335
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menegaskan “jika kontrak tanpa
sebab, atau kontrak karena sebab palsu atau terlarang maka tidak
mempunyai kekuatan” Pasal 1337 KUH Perdata berbunyi “Suatu sebab
adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila
sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum
BAB III
RISIKO DALAM
PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH

2.1 Umum

2.2 Faktor Penyebab Timbulnya Risiko


2.3 Mengelola Risiko Pengadaan
2.4 Upaya Pencegahan
2.5
2

2.1 Risiko Dalam Pengadaan Barang/Jasa


Pada setiap tahapan dalam kegiatan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah, selalu muncul risiko, dan apabila terjadi akan berdampak pada
sesuatu yang dapat merugikan atau dapat menjadi kendala dalam proses
kegiatan Pengadaan Barang/Jasa.
Risiko sebagaimana tersebut dapat muncul disetiap tahapan dalam
proses kegiatan Pengadaan Barang/Jasa, yaitu pada tahap kegiatan Persiapan
Pengadaan Barang/Jasa dan tahap kegiatan Pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa atau pelaksanaan Kontrak.

2.2 Indikasi Penyebab Timbulnya Risiko


Indikasi penyebab timbulnya risiko dalam Pengadaan Barang/Jasa, antara lain
meliputi :
˗ Kurangnya pemahaman terhadap ketentuan dan prosedur Pengadaan
Barang/Jasa oleh Kelompok Kerja ULP, antara lain dalam penetapan
sistem pemilihan, penetapan jenis kontrak, penetapan cara evaluasi
dokumen penawaran pada penyusunan Dokumen Pengadaan
Barang/Jasa, dsb;
˗ Kurangnya pemahaman terhadap ketentuan dan prosedur Pengadaan
Barang/Jasa oleh PPK, antara lain penetapan spesifikasi teknis, Harga
Perkiraan Sendiri (HPS) dan Rancangan Kontrak;
˗ Kurangnya pemahaman terhadap ketentuan dan prosedur Pengadaan
Barang/Jasa oleh Penyedia Barang/Jasa

2.3 Dampak Yang Dapat Ditimbulkan


Dampak yang dapat ditimbulkan dari risiko dalam proses Pengadaan
Barang/Jasa, meliputi :
a. Pada Tahap Pemilihan Penyedia Barang/Jasa:
˗ Timbul sanggahan/ sanggahan banding/ aduan, apabila proses
pemilihan diindikasikan tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan
dalam Dokumen Pengadaan Barang/Jasa;
˗ Dalam hal sanggahan/ sanggahan banding/ aduan dinyatakan benar,
maka dapat dilakukan evaluasi ulang atau pemilihan/lelang ulang; 3

˗ Apabila ditemukan indikasi adanya tindak pidana, maka dapat


diproses secara hukum menurut ketentuan/ peraturan-perudangan
yang berlaku.
b.
2.4 Manajemen Risiko
Pengertian Manajemen Risiko, sbb:
˗ suatu pendekatan terstruktur/metodologi dalam mengelola ketidakpastian
yang berkaitan dengan ancaman.
˗ sebagai suatu proses yang terdiri atas identifikasi kerugian, pengukuran
potensi kerugian, dan evaluasi penanganan risiko.
˗ merupakan pendekatan proaktif, untuk mengantisipasi bagaimana jika
suatu kejadian terjadi diwaktu yang akan datang dan apa dampak yang
dapat ditimbulkan;
˗ suatu usaha untuk menghindari, mengurangi, menyerap atau menstranfer
risiko dan memanfaatkan potensi peluang-peluangnya.
4
Perbedaan persepsi tidak hanya berakibat pada buruknya kinerja
Penyedia Barang/Jasa dalam pandangan PPK, tetapi dapat berkibat lebih
lanjut pada terganggunya pencapaian tujuan satuan kerja pemerintah bahkan
dapat menimbulkan perselisihan di antara para pihak. Karena itu perbedaan
persepsi terkait dengan isi kontrak merupakan risiko dalam pelaksanaan
kontrak Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Untuk menghindari adanya
perbedaan persepsi tentang kontrak, sebelum menanda tangani kontrak PPK
dapat meminta pendapat para ahli hukum kontrak. Dalam hal nilai kontrak lebih
dari Rp100.000.000.000,- (seratus miliar rupiah) PPK tidak boleh
menandatangani kontrak sebelum ada pendapat dari ahli hukum kontrak.

Resiko Pelaksanaan Kontrak dan Cara Penanganannya


. Pilihan tindakan yang dapat dilakukan berdasarkan hasil mitigasi risiko adalah:

Menerima risiko
2. Menghindari risiko
3. Menurunkan dampak risiko
4. Mengurangi kemungkinan terjadinya risiko
5. Membagi atau mentransfer risiko

Resiko pelaksanaan kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah adalah sebagai berikut:


1. Penyelesaian pekerjaan terlambat dari jadwal yang telah disepakati.

Batas waktu yang disediakan bagi penyedia barang/jasa untuk menyelesaikan seluruh pekerjaan
telah diatur dengan jelas dan pasti di dalam setiap kontrak. Keterlambatan penyelesaian
pekerjaan mengharuskan PPK mengenakan sanksi kepada penyedia barang/jasa pemerintah
berupa denda sebesar 1/1000 (satu perseribu) dari nilai kontrak untuk setiap hari
keterlambatan. Karena itu dalam pelaksanaan kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah
keterlambatan penyelesaian pekerjaan merupakan salah satu risiko yang perlu dimitigasi.

Kwalitas dan volume hasil pekerjaan kurang dari yang semestinya.


Jenis dan kwalitas barang yang menjadi objek kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah harus
dituangkan dengan jelas di dalam kontrak dan/atau dokumen lainnya.
Rendahnya kwalitas barang dan/atau hasil pekerjaan dapat disebabkan oleh:
a. Spesifikasi teknis barang tidak dicantumkan secara jelas dalam dokumen kontrak.
b. Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan tidak memiliki pemahaman yang cukup tentang
barang/pekerjaan yang dilaksanakan.
c. Lemahnya pengawasan pelaksanaan pekerjaan
d. Perbuatan curang dari penyedia barang/jasa.

Untuk menghindari terjadinya risiko barang yang diserahkan tidak sesuai dengan kualitas
dan jumlah yang tercantum dalam kontrak hal yang dapat dilakukan adalah:
a. Mencantumkan spesifikasi teknis barang dengan jelas dan lengkap dalam dokumen
pemilihan penyedia barang/jasa.
b. Mengharuskan persyaratan melampirkan gambar dan brosur barang dalam surat
penawaran peserta lelang.
c. Melaksanakan evaluasi secara ketat terhadap spesifikasi teknis dan merek barang yang
tercantum dalam dokumen penawaran peserta.
d. Mencantumkan merek dan type/model barang secara jelas dalam kontrak.
e. Memberikan pembekalan teknis kepada Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan
f. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pekerjaan.

Timbulnya Perselisihan antara PPK dan Penyedia.

Tujuan pembuatan kontrak adalah untuk menjamin bahwa penyedia barang/jasa akan menyerah
hasil pekerjaannya berupa barang/jasa sesuai dengan yang telah disepakati dalam kontrak.
Dalam perspektif manajemen resiko pelaksanaan kontrak memiliki cukup banyak risiko antara
lain:

Penyelesaian pekerjaan terlambat dari jadwal yang telah disepakati.


2. Kualitas dan volume hasil pekerjaan kurang dari yang semestinya.
3. Perselihan antara PPK dengan Penyedia.
4. Hasil pekerjaan tidak sesuai keinginan
Penanganan resiko tersebut dapat dilakukan sebagai berikut:
A. Untuk pekerjaan konstruksi dapat dilakukan dengan cara:
a. Memilih waktu yang tepat untuk memulai pelaksanaan pekerjaan.
b. Membangun pagar pembatas yang membatasi lokasi bangunan dari gangguan masyarakat
umum.
c. Mencantumkan syarat perlunya surat dukungan dari agen barang atau distributor resmi
sebagai persyaratan bagi penyedia dalam mengikuti proses pemilihan panyedia.
d. Mncantumkan persyaratan berupa daftar personil tetap dengan syarat kualifikasi tertentu.
e. Meminta pendapat para ahli hukum kontrak.
f. Melakukan koordinasi antara konsultan perencana
g. Memberikan pembekalan teknis kepada Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan
h. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pekerjaan.

B. Untuk pengadaan barang dapat dilakukan dengan cara:


a. Mencantumkan syarat perlunya surat dukungan dari agen barang atau distributor resmi
sebagai persyaratan bagi penyedia dalam mengikuti proses pemilihan panyedia.
b. Mencantumkan spesifikasi teknis barang dengan jelas dan lengkap dalam dokumen
pemilihan penyedia barang/jasa.
c. Mengharuskan persyaratan melampirkan gambar dan brosur barang di dalam dokumen
penawaran peserta lelang.
d. Melaksanakan evaluasi secara ketat terhadap spesifikasi teknis dan merek barang yang
tercantum dalam dokumen penawaran peserta.
e. Mencantumkan merek dan type/model barang secara jelas dalam kontrak.
f. Memberikan pembekalan teknis kepada Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan
g. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pekerjaan.
h. Meminta pendapat para ahli hukum kontrak.
i. Menunjuk tim ahli untuk membantu Panitia/Pejabat Penerima Hasil

2.5 Tujuan Manajemen Risiko


Tujuan Manajemen Risiko adalah untuk memaksimalkan potensi
keuntungan dan meminimalkan dampak dari kejadian yang merugikan
Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan
sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur
yang disepakati para pihak, yaitu penyelesaian di luar pengadilan dengan cara
konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
Dalam kaitannya dengan pelaksanaan kontrak dalam rangka pengadaan

Sengketa kerap terjadi di mana dan kapan saja. Terutama bagi mereka yang terjun di dunia
bisnis, perselisihan akan selalu ada, baik dengan relasi, klien, konsumen, maupun lawan
atau saingan bisnis. Berbagai cara digunakan untuk menyelesaikannya, entah itu melalui
pengadilan atau di luar pengadilan. Bagi pembuat keputusan yang bijak, tentu mereka akan
memilih jalur kedua, yaitu di luar pengadilan.

Jalur ini lebih aman dibandingkan jalur pengadilan. Artinya, lebih memiliki banyak keuntungan dan
kemudahan dibandingkan dengan proses sidang di pengadilan. Penyelesaian model ini, yang dikenal
di Indonesia ada empat jenis, yaitu sistem Negoisasi, Mediasi, Konsiliasi, dan Arbitrase

Negosiasi merupakan komunikasi dua arah, ketika masing-masing pihak saling


mengemukakan keinginannya. Negosiasi adalah proses upaya untuk mencapai
kesepakatan dengan pihak lain, suatu proses interaksi dan komunikasi yang dinamis dan
beranekaragam. Atau bisa dikatakan, negosiasi merupakan proses tawar-menawar dari
masing-masing pihak untuk mencapai kesepakatan.

Sedangkan mediasi adalah proses penyelesaian sengketa dengan perantaraan pihak ketiga
(mediator), yakni pihak yang memberi masukan-masukan kepada para pihak untuk
menyelesaikan sengketa mereka. Namun, pada masing-masing pihak tidak terdapat
kewajiban untuk menaati apa yang disarankan oleh mediator. Mediasi bisa dilakukan di
pengadilan atau di luar pengadilan, tergantung keinginan dua belah pihak.

Jenis- Jenis Mediasi


Secara umum, mediasi dapat dibagi kedalam dua jenis yakni Mediasi dalam Sistem
Peradilan dan Mediasi di Luar Pengadilan. Mediasi yang berada di dalam pengadilan diatur
oleh Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2008 yang mewajibkan
ditempuhnya proses mediasi sebelum pemeriksaan pokok perkara perdata dengan mediator
terdiri dari hakim-hakim Pengadilan Negeri tersebut sedangkan mediasi di luar pengadilan
ditangani oleh mediator swasta, perorangan, maupun sebuah lembaga independen alternatif
penyelesaian sengketa.
a. Mediasi dalam Sistem Peradilan
Dalam pasal 130 HIR dijelaskan bahwa mediasi dalam sistem peradilan dilaksanakan
dalam bentuk perdamaian yang menghasilkan produk berupa akta persetujuan damai
(akta perdamaian).

Pengertian dan Dasar Hukum Mediasi


a. Pengertian Mediasi

Sebagai bentuk dari alternative Dispute Rosolutian (ADR), terdapat devinisi yang beragam
tentang mediasi yang dikemukakan oleh para pakar hukum. Namun secara umum, banyak
mengakui bahwa mediasi adalah proses untuk menyelesaikan sengketa dengan melakukan
bantuan pihak ketiga. Peran pihak ketiga itu adalah dengan melibatkan diri dari bantuan
para pihak dalam mengidientifikasi masalah-masalah yang disengketakan.
Dalam Perma No. 1 Tahun 2008, pengertian mediasi disebutkan pasal 1 butir 7, yaitu:
“Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh
kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator”.
Tugas utama dari pihak yang netral tersebut (mediator) adalah menolong para pihak memahami
pandangan pihak lain sehubungan dengan masalah yang disengketakan. Selanjutnya mediator
membantu mereka melakukan penilaian yang objektif dari seluruh situasi untuk mencapai
kesepakatan yang dapat diterima oleh kedua belah pihak, guna mengakhiri sengketa yang
terjadi.

Dasar Hukum Mediasi


Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa dasar hukum yang mengatur pengintegrasian
mediasi kedalam sistem peradilan pada dasarnya bertitik tolak pada ketentuan pasal 130
HIR maupun pasal 154 R.Bg.
Untuk lebih memberdayakan dan mengefektifkannya, Mahkamah Agung menuangkan
ketentuan tersebut ke dalan suatu bentuk yang bersifat memaksa, yaitu dengan
mengaturnya kedalam UU No. 2 Tahun 2003 tentang prosedur mediasi. Namun belakangan
Mahkamah Agung menyadari bahwa Perma tersebut kurang teraplikasikan sebagai
landasan hukum mediasi karena tidak tampak perubahan sistem dan prosedural perkara
masih berlangsung secara konvensional melalui proses litigasi.
Hal tersebut kemudian mendorong dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung No. 1
Tahun 2008 tentang prosedur mediasi. Perma No. 1 Tahun 2008 tersebut merupakan
penyempurna dari Perma No.2 Tahun 2003.
Mediasi dalam Sistem Peradilan
Dalam pasal 130 HIR dijelaskan bahwa mediasi dalam sistem peradilan dilaksanakan dalam
bentuk perdamaian yang menghasilkan produk berupa akta persetujuan damai (akta
perdamaian).
Hukum di Indonesia mengatur bahwa hasil mediasi harus dalam bentuk tertulis. Hal tersebut
tidak hanya berlaku untuk mediasi dalam lingkup pengadilan tetapi juga bagi mediasi di luar
pengadilan.
Dalam Perma No. 1 Tahun 2008 disebutkan bahwa: jika mediasi menghasilkan
kesepakatan, para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis
kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak. Kesepakatan tersebut wajib
memuat klausul-klausul pencabutan perkara atau pernyataan perkara telah selesai [pasal 17
ayat (1) dan (6)].
Berdasarkan uraian tersebut, mediasi merupakan suatu proses yang ditunjukan untuk
memungkinkan para pihak yang bersengketa mendiskusikan perbedaan-perbedaan
mereka dengan bantuan pihak ketiga yang netral.
Adapun konsiliasi prosesnya hampir serupa dengan mediasi, tetapi biasanya diatur oleh
undang-undang. Ketika suatu pihak diwajibkan hadir, konsiliator cenderung menekan dan
bertanggung jawab atas norma sesuai undang-undang atau badan terkait, dan langkah
hukum akan diambil bila kesepakatan tidak tercapai.

Yang terakhir arbitrase, yaitu penyelesaian sengketa melalui badan arbitrase. Artinya,
penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan
persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau menaati keputusan yang diberikan
oleh hakim atau para hakim yang mereka pilih atau mereka tunjuk.

Setiap proses di atas, tentu saja memiliki prosedur dan persyaratan tertentu yang harus
dipenuhi. Mekanisme penyelesaian sengketa alternatif ini merupakan materi yang wajib
diketahui oleh para dosen, mahasiswa jurusan hukum, dan praktisi hukum. Tidak
ketinggalan bagi Anda yang terjun di bidang usaha dan bisnis. Wawasan tentang hukum
alternatif ini akan menjadi solusi terbaik.

Kenapa demikian? Pasalnya, jika kita menempuh proses hukum melalui pengadilan, biaya
yang dikeluarkan akan lebih besar dan lamanya proses karena bertumpuknya berkas-berkas
pengajuan lainnya di pengadilan. Sedangkan jika kita menempuh dari keempat jenis ini,
perkara tidak akan terbuka ke masyarakat umum, biaya lebih murah, bersifat win-win
solution, dan fleksibel.

Apa sajakan teori-teori penjelasan selengkapnya? Bagaimana dasar-dasar hukumnya


menurut undang-undang? Jenis sengketa apa sajakah yang bisa ditempuh dengan keempat
jenis ini? Buku Cara Menyelesaikan Sengketa di Luar Pengadilan terbitan Visimedia ini
akan memberikan penjelasannya secara lengkap dan tuntas.

Di dalam buku yang ditulis oleh Jimmy Joses Sembiring, SH, M.Hum ini dibahas mulai dari
teori, dasar hukum, prosedur, ketentuan teknis & pelaksanaan putusan atas penyelesaian
sengketa di luar pengadilan, hingga penyelesaian sengketa bidang perbankan, asuransi,
hubungan industrial, konmusen, dan lingkungan hidup.

Mediasi- Arbitrase adalah bentuk alternatif penyelesaian sengketa yang merupakan


kombinasi antara mediasi dan arbitrase. Dalam bentuk ini, seorang yang netral diberi
kewenangan untuk mengadakan mediasi, namun demikian ia pun mempunyai kewenangan
untuk memutuskan setiap isu yang tidak dapat diselesaikan oleh para pihak. Sedangkan
menurut Priyatna Abdurrasyid bahwa mediasi-arbitrae dimulai dengan mediasi, dan jika
tidak menghasilkan penyelesaian dilanjutkan dengan arbitrase yang putusannya final
mengikat.
d. Mediasi Ad-Hoc dan Mediasi Kelembagaan

Dengan mengacu pada ketentuan pasal 6 ayat 4 undang-undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, mediasi ad-hoc terbentuk
dengan adanya kesepakatan para pihak dalam hal menentukan mediator untuk
menyelesaikan perselisihannya, yang mempunyai sifat tidak permanen. Jenis ini bersifat
sementara atau temporer saja, karena dibentuk khusus untuk menyelesaikan
perselisihan tertentu sesuai dengan kebutuhan saat itu dan ketika selesai maka mediasi
ini akan bubar dengan sendirinya. Sebaliknya, mediasi kelembagaan merupakan
mediasi yang bersifat permanen atau terbentuk secara institusional/ melembaga, yakni
suatu lembaga mediasi
Proses Mediasi di Pengadilan Negeri
Dalam Perma nomor 1 Tahun 2008, prosedur pelaksanaan mediasi dibagi dalam dua tahap
sebagaimana yang diatur dalam Bab II, yaitu: Tahap Pramediasi dan tahap mediasi . Tahap-
tahap tersebut mencakup hal-hal sebagai berikut:
a. Tahap Pramediasi
Tahap pramediasi merupakan tahap persiapan kea rah proses tahap mediasi, yang terdiri
atas:5
1) Hakim Memerintahkan Menempuh Mediasi

Langkah pertama yang dilakukan seorang hakim pada tahap pramediasi adalah sebagai
berikut
a) Memerintahakan lebih dahulu menempuh mediasi

pihak wajib lebih dahulu untuk menempuh proses mediasi.


b) Syarat Menyampaikan Perintah
Syarat yang harus dipenuhi agar penyampaian perintah yang mewajibkan para pihak
mesti lebih dahulu menempuh mediasi, diatur dalam pasal 2 ayat 3.
2) Hakim Wajib Menunda Persidangan
Tindakan selanjutnya yang harus dilakukan oleh seorang hakim dalam tahap ini diatur
dalam pasal 7 ayat (2), yaitu:
a) Hakim Wajib Menunda Persidangan

Bersamaan dengan perintah yang mewajibkan para pihak lebih dahulu menempuh
mediasi, hakim wajib menunda persidangan perkara. Secara mutlak hakim dilarang
melakukan pemeriksaan perkara tetapi harus menundanya.
Perma telah memberikan fungsi dan kewenangan kepada hakim sebagai berikut:
(1) Memerintahkan para pihak yang berperkara wajib lebih dahulu menempuh penyelesaian
melalui proses mediasi
(2) Kewajiban menempuh lebih dahulu penyelesaian proses mediasi bersifat imperative, dan
bukan regulative sehingga harus ditaati oleh para pihak.
(3) Saat hakim penyampaian perintah pada siding pertama, berarti keberadaan dan fungsi
siding pertama hanya acara tunggal, yaitu memerintahkan para p
Sengketa kerap terjadi di mana dan kapan saja. Terutama bagi mereka yang terjun di dunia
bisnis, perselisihan akan selalu ada, baik dengan relasi, klien, konsumen, maupun lawan atau
saingan bisnis. Berbagai cara digunakan untuk menyelesaikannya, entah itu melalui
pengadilan atau di luar pengadilan. Bagi pembuat keputusan yang bijak, tentu mereka akan
memilih jalur kedua, yaitu di luar pengadilan.

Jalur ini lebih aman dibandingkan jalur pengadilan. Artinya, lebih memiliki banyak keuntungan
dan kemudahan dibandingkan dengan proses sidang di pengadilan. Penyelesaian model ini, yang
dikenal di Indonesia ada empat jenis, yaitu sistem Negoisasi, Mediasi, Konsiliasi, dan Arbitrase.

Negosiasi merupakan komunikasi dua arah, ketika masing-masing pihak saling mengemukakan
keinginannya. Negosiasi adalah proses upaya untuk mencapai kesepakatan dengan pihak lain,
suatu proses interaksi dan komunikasi yang dinamis dan beranekaragam. Atau bisa dikatakan,
negosiasi merupakan proses tawar-menawar dari masing-masing pihak untuk mencapai
kesepakatan.

Yang terakhir arbitrase, yaitu penyelesaian sengketa melalui badan arbitrase. Artinya,
penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan
persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau menaati keputusan yang diberikan oleh
hakim atau para hakim yang mereka pilih atau mereka tunjuk.

Setiap proses di atas, tentu saja memiliki prosedur dan persyaratan tertentu yang harus
dipenuhi. Mekanisme penyelesaian sengketa alternatif ini merupakan materi yang wajib
diketahui oleh para dosen, mahasiswa jurusan hukum, dan praktisi hukum. Tidak ketinggalan
bagi Anda yang terjun di bidang usaha dan bisnis. Wawasan tentang hukum alternatif ini akan
menjadi solusi terbaik.

Kenapa demikian? Pasalnya, jika kita menempuh proses hukum melalui pengadilan, biaya yang
dikeluarkan akan lebih besar dan lamanya proses karena bertumpuknya berkas-berkas
pengajuan lainnya di pengadilan. Sedangkan jika kita menempuh dari keempat jenis ini, perkara
tidak akan terbuka ke masyarakat umum, biaya lebih murah, bersifat win-win solution, dan
fleksibel.

Apa sajakan teori-teori penjelasan selengkapnya? Bagaimana dasar-dasar hukumnya menurut


undang-undang? Jenis sengketa apa sajakah yang bisa ditempuh
BAB II
SENGKETA HUKUM DALAM PELAKSANAAN KONTRAK

3.14. Pengertian Kontrak


Peraturan Presiden No.54 Tahun 2010 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah, pada Bab I Ketentuan Umum, Bagian Pertama
Pengertian dan Istilah, Pasal 1, angka 22, meyebutkan bahwa Kontrak
Pengadaan Barang/Jasa, yang selanjutnya disebut Kontrak adalah perjanjian
tertulis antara PPK dengan Penyedia Barang/Jasa atau pelaksana Swakelola.
Menurut pasal 1313 KUH Perdata, Perjanjian (kontrak) adalah suatu
perbuatan di mana satu pihak atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang
atau lebih. Semua klausul yang telah dituangkan dalam kontrak bersifat
mengikat sebagai hukum bagi para pihak yang berkontrak.
Menurut pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata semua persetujuan yang
dibuat sesuai dengan undang-undang, berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya
Dalam berkontrak kedudukan para pihak dalam kontrak adalah sama
atau seimbang, dan masing-masing dapat mengemukakan keinginannya
sepanjang kedua pihak setuju/sepakat. Pernyataan setuju dilakukan dengan
cara menandatangani kontrak. Oleh karena itu sebelum menandatangani
kontrak, seharusnya masing-masing pihak dalam kontrak melakukan
penelaahan terlebih dahulu terhadap isi kontrak.

3.15. Tujuan Kontrak


Tujuan dibuatnya perjanjian tertulis/ kontrak adalah :
˗ untuk menjamin bahwa Penyedia Barang/Jasa akan menyerahkan hasil
pekerjaannya berupa barang/jasa sesuai dengan yang telah disepakati
dalam kontrak;
˗ untuk menjamin bahwa Penyedia Barang/Jasa akan menerima haknya
untuk memperoleh pembayaran atas prestasi pekerjaan yang telah
diselesaikan sesuai dengan yang disepakati dalam kontrak;

3.16. Penandatanganan Kontrak


Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang dilakukan melalui pemilihan
Penyedia Barang/Jasa, setelah Surat Penetapan Penyedia Barang/Jasa
(SPPBJ) diterbitkan, PPK melakukan finalisasi terhadap rancangan kontrak
dan menandatangani kontrak pelaksanaan pekerjaan, apabila dananya telah
cukup tersedia dalam dokumen anggaran.
Penandatanganan kontrak oleh Kedua Pihak yang terikat dalam kontrak,
selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah PPK menerbitkan
SPPBJ dan setelah diserahkannya Jaminan Pelaksanaan oleh Penyedia
sesuai ketentuan dalam Dokumen Kontrak.

3.17. Risiko Sengketa Hukum Dalam Pelaksanaan Kontrak


Ditinjau dari perspektif manajemen resiko Pengadaan Barang/Jasa, dalam
proses pelaksanaan kontrak memiliki cukup banyak risiko yang dapat berakibat
timbulnya sengketa hukum antara Kedua Pihak, antara lain:
˗ Gagalnya penandatanganan kontrak, apabila tidak terpenuhinya syarat
untuk menyerahkan jaminan pelaksanaan sesuai ketentuan dalam
dokumen kontrak;
˗ Kesalahan dalam penetapan jenis kontrak pada dokumen Pengadaan
Barang/Jasa yang tidak sesuai dengan kondisi lapangan dan
kompleksitas pekerjaan;
˗ Barang yang diadakan dengan spesifikasi sesuai yang dipersyaratkan
dalam dokumen kontrak, ternyata sulit ditemukan dipasaran,;
˗ Apabila tidak tercantumnya pasal dalam dokumen kontrak yang mengatur
tentang penanganan kontrak kritis secara jelas dan tegas;
˗ Dalam pelaksanaan kontrak pekerjaan konstruksi, risiko akibat belum
bebasnya lokasi/area pekerjaan, dapat menyebabkan pelaksanaan
pekerjaan terhambat. Disamping hal tersebut, akan menjadi
masalah/sengketa apabila dalam dokumen kontrak tidak terdapat pasal
yang mengaturnya secara jelas dan tegas.
˗ Dsb.

3.18. Dampak Risiko Dalam Pelaksanaan Kontrak


Apabila risiko pelaksanaan kontrak sebagaimana tersebut benar-benar terjadi,
maka akan dapat berakibat timbulnya sengketa hukum antara kedua Pihak
dalam kontrak. Timbulnya sengketa sebagaimana tersebut, akan berdampak
pada terhambatnya pencapaian tujuan pelaksanaan kontrak.
Dampak risiko pelaksanaan kontrak, antara lain sbb:
˗ Gagalnya penandatanganan kontrak oleh Penyedia Barang/Jasa dengan
alasan yang tidak bisa diterima, dapat berakibat Penyedia mendapatkan
sanksi hukum yaitu dicairkannya jaminan penawaran untuk disetor keKas
Negara/Daerah dan dimasukkan dalam daftar hitam, yang akhirnya dapat
menimbulkan sengketa hukum;
˗ Penolakan atas pengiriman barang oleh Penyedia Barang/Jasa karena tidak
sesuai dengan spesifikasi yang dipersyaratkan dalam dokumen kontrak,
menyebabkan PPK dapat mengenakan sanksi denda serta pemutusan kontrak
secara sepihak, apabila waktu kontrak sudah terlampaui, sedang barang yang
dipesan belum diterima.
3.19.
Dalam konteks pelaksanaan kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah, risiko
kontrak adalah setiap kemungkinan yang dapat terjadi dan bila hal itu terjadi akan
berakibat menghambat pencapaian tujuan pelaksanaan kontrak pengadaan
barang/jasa pemerintah. Meskipun risiko kontrak tersebut belum terjadi namun tetap
harus dilakukan penanganan (mitigasi) dengan cara menurunkan level risiko dari level
tinggi sampai pada level terendah dimana risiko itu dapat diterima oleh pemilik risiko
3.20. Sengketa Hukum Dalam Pelaksanaan Kontrak

3.21. Sumber Penyebab Terjadinya Sengketa Hukum


Sengketa hukum dalam pelaksanaan kontrak Pengadaan Barang/Jasa, dapat
terjadi karena sebab, yaitu :
˗ akibat ketidak puasan diantara Kedua Pihak dalam kontrak yang
disebabkan oleh adanya cidera janji. Cidera janji sebagaimana yang
dimaksud adalah tidak melaksanakan hak dan kewajibannya diantara
Kedua Pihak dalam kontrak;
˗ adanya perbedaan persepsi/pendapat dalam memahami isi dokumen
kontrak oleh Kedua Pihak dalam kontrak yang tidak dapat segera
diselesaikan;
˗ kurangnya pemahaman terhadap isi dokumen kontrak oleh Para Pihak
dalam kontrak;
˗ tidak diterapkannya secara baik dan benar Sistem Manajemen Mutu
(SMM) dalam proses pelaksanaan kontrak oleh Kedua Pihak yang terikat
kontrak. Dimana SMM tersebut dipersyaratkan dalam kontrak untuk
digunakan sebagai alat untuk pengendalian pelaksanaan kontrak;

Ketidak puasan tersebut dapat diakibatkan oleh adanya cidera janji. Sebagai
contoh Penyedia Barang/Jasa mengirim barang tidak sesuai dengan spesifikasi
yang dipersyaratkan dalam dokumen kontrak. Penolakan barang yang terkirim
dan alasan tidak ada sisa waktu untuk pengiriman kembali, maka pihak
Pengguna Barang/Jasa melakukan pemutusan kontrak secara sepihak yang
berdampak pada terjadinya sengketa hukum.

Sumber Sengketa
Sengketa bersumber dari adanya ketidakpuasan pihak tertentu atas apa yang telah
diperbuat oleh pihak tertentu lainnya. Ketidakpuasan tersebut terjadi karena adanya
harapan agar pihak lain memenuhi atau mewujudkan suatu keadaan yang
diinginkan. Harapan tersebut lahir dari adanya hak seseorang untuk memaksa orang
lain memberikan sesuatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan suatu
perbuatan. Timbulnya hak tersebut karena adanya pihak lain yang telah menyatakan
setuju untuk memenuhi harapan tersebut.
2.7

3.22. Syarat Sahnya Kontrak


Sahnya suatu perjanjian menurut pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata diperlukan empat syarat yaitu :
a. Kesepakatan Kedua Pihak.
Kesepakatan menjadi unsur penting dalam syarat sahnya suatu perjanjian.
Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah bahwa persetujuan diberikan
oleh para berdasarkan kesadaran tanpa paksaan, kekhilafan ataupun
penipuan. Hal ini dapat disimpulkan dari pasal 1321 KUH Perdata yang
berbunyi “Tiada suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika diberikan
karena kekhilafan, atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan”.
b. Kecakapan Bertindak.

Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan


perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan
menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang akan mengadakan
perjanjian haruslah orang–orang yang cakap dan mempunyai wewenang
untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang ditentukan oleh
undang–undang sebagai cakap (bekwaam) merupakan syarat umum untuk
dapat melakukan perbuatan hukum secara sah, yaitu harus sudah dewasa,
sehat akal pikiran, dan tidak dilarang oleh sesuatu peraturan perundang-
undangan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu. Pasal 1330 KUH
Perdata berbunyi “tiap orang berwenang untuk membuat perikatan, kecuali
jika ia dinyatakan tidak cakap untuk hal itu”. Pasal 1330 KUH Perdata
berbunyi “Yang tidak cakap untuk membuat persetujuan adalah: 1) anak
yang belum dewasa; 2) orang yang ditaruh di bawah pengampuan; 3)
perempuan yang telah kawin dalam hal yang ditentukan oleh undang-
undang, dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang
dilarang untuk membuat persetujuan tertentu”.
c. Mengenai suatu hal tertentu.

Suatu hal tertentu adalah barang yang menjadi obyek dalam kontrak.
Menurut pasal 1333 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, barang yang
menjadi obyek suatu kontrak harus tertentu, setidak-tidaknya harus
ditentukan jenisnya. Jumlah barang itu tidak perlu pasti, asal saja jumlah itu
kemudian dapat ditentukan atau dihitung.
d. Suatu sebab yang halal.

Halal merupakan syarat keempat sebagai sahnya suatu kontrak. Pasal 1335
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menegaskan “jika kontrak tanpa
sebab, atau kontrak karena sebab palsu atau terlarang maka tidak
mempunyai kekuatan” Pasal 1337 KUH Perdata berbunyi “Suatu sebab
adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila
sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum

BAB III
ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA HUKUM
DALAM PELAKSANAAN KONTRAK

3.1. Alternatif penyelesaian sengketa hukum


Cara yang paling efektif, mudah dan sederhana adalah penyelesaian yang
dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa tersebut. Cara lain yang dapat
ditempuh adalah penyelesaian melalui forum atau lembaga yang tugasnya
menyelesaikan sengketa dalam masyarakat. Forum atau lembaga resmi yang
disediakan oleh negara adalah pengadilan, sedangkan yang disediakan oleh
lembaga swasta adalah lembaga yang disebut “arbitrase”.
3.2. Ekonomis
3.3. Penyelesaian sengketa bisnis di luar pengadilan secara ekonomis lebih
menguntungkan, karena biayanya yang relatif murah dibandingkan biaya jika
dilakukan melalui pengadilan dan waktu penyelesaian lebih cepat. Oleh karena
itu, faktor ekonomi perlu diperhitungkan secara matang dalam memilih
penyelesaian sengketa yang tepat, agar tidak menjadi beban secara finansial
bagi para pencari keadilan.
3.4. b. Budaya hukum
3.5. Budaya hukum adalah nilai-nilai dan sikap-sikap masyarakat yang
berhubungan dengan hukum. Budaya hukum merupakan faktor yang
mempengaruhi siginifikansi penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Nilai
budaya tradisional yang menekankan pada komunalitas, kekerabatan, harmoni,
primus inter pares telah mendorong unuk menyelesaikan sengketa di luar
pengadilan. Demikian juga nilai dan sikap yangmenekankan pada aspek efisiensi
dan efektifitas sangat berpengaruh dalam mendorong pilihan untuk
menyelesaikan sengketa tanpa melalui pengadilan.
3.6. c. Luasnya lingkup permasalahan
3.7. Alternatif Penyelesaian Sengketa memiliki kemampuan untuk membahas
ruang lingkup atau agenda permasalahan secara luas dan komprehensif, karena
aturan permainan ditentukan oleh para pihak sesuai dengan kepentingan para
pihak yang berselisih.
3.8. d. Pembinaan hubungan baik
3.9. APS/ADR yang menekankan pada cara-cara penyelesaian sengketa yang
kooperatif sangat cocok bagi para pihak yang menginginkan pentingnya
pembinaan hubungan baik antar manusia, baik pada saat sekarang maupun
pada pasa mendatang.
3.10. e. Faktor proses
3.11. Proses penyelesaian sengketa melalui APS/ADR lebih fleksibel dan lebih memiliki
kemampuan untuk menghasilkan kesepakatan yang mencerminkan kepentingan
para pihak (win-win solution).

Alternatif penyelesaian sengketa hukum dalam pelaksanaan kontrak, dapat


dilakukan melalui beberapa cara/ alternatif yaitu melalui Pengadilan atau diluar
pengadilan.
Alternatif penyelesaian sengketa seperti tersebut, masing-masing cara
mempunyai kelebihan dan kekurangannya dalam menyelesaikan
perkara/sengketa, antara lain:
˗ Terkait dengan waktu untuk dapat menyelesaikan perkara/sengketa;
˗ Biaya yang dibutuhkan untuk menyelesaikan sengketa;
˗ Tidak ada keberpihakan terhadap Kedua Pihak yang berperkara;
˗ Penyelesaian sengketa dilakukan secara komprehensip
Oleh karenanya para Pihak akan lebih bijaksana dalam memilih cara
penyelesaian sengketa dengan mempertimbangkan beberapa hal tersebut,
antara lain:
 Lokasi/tempat untuk menyelesaikan sengketa relatif lebih dekat;
 Memilih cara dengan mempertimbangkan biaya yang relatif lebih
murah;
 Waktu untuk menyelesaikan sengketa yang relatif lebih murah;

3.12. Landasan Hukum Penyelesaian Sengketa


Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa Umum, menetapkan bahwa undang-undang ini
mengatur penyelesaian sengketa atau beda pendapat antarpihak dalam suatu
hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase yang
secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang
timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan
deselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian
sengketa (Pasal 2). Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 10 Undang-
Undang tersebut, Alternatif Penyelesaian

3.13. Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan


Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sering disebut dengan Alternative
Dispute Resolution (ADR) atau dalam istilah Indonesia disebut Alternatif
Penyelesaian Sengketa (APS).
Dalam proses penyelesaian sengketa yang dilakukan di luar pengadilan,
diharapkan akan dapat menghasilkan kesepakatan yang bersifat “win-win
solution”, kerahasiaan para pihak terjamin, bebas dari hal-hal prosedural dan
administratif, menyelesaikan masalah secara komprehensif dalam
kebersamaan, dan tetap menjaga hubungan baik.
Beberapa model APS/ADR yang sering digunakan dalam menyelesaikan
sengketa bisnis, adalah: negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan arbitrase. APS/ADR
merupakan suatu mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang
dianggap lebih efektif, efisien, cepat, dan biaya murah, serta menguntungkan
kedua pihak yang berperkara. Hal ini dilandasi oleh beberapa faktor yang
menempatkannya dengan berbagai keunggulan, antara lain sebagai berikut:
3.3.1 Penyelesaian Sengketa Hukum Melalui Negosiasi
3.3.2 Penyelesaian Sengketa Hukum melalui Mediasi di Luar Pengadilan
Pada dasarnya dalam, kehidupan sehari-hari, mediasi yang berlangsung di luar
pengadilan sering terjadi dalam kehidupan masyarakat. Hal tersebut dapat
dilihat dari adanya peraturan hukum adat yang melekat dan mendarah daging
pada kebanyakan masyarakat Indonesia. Misalnya seorang kepala adat atau
kepala kerabat bertindak sebagai penengah dalam memecahkan sebuah
masalah/ sengketa dan memberi putusan terhadap masalah tersebut. Karena
mediasi di luar pengadilan ini merupakan bagian dari adat istiadat atau budaya
daerah tertentu maka penyebutan dan tata cara pelaksanaannya juga berbada-
beda sesuai dengan budaya yang berlaku pada masyarakat dan daerah
tersebut.
3.3.3 Sedangkan mediasi adalah proses penyelesaian sengketa dengan perantaraan
pihak ketiga (mediator), yakni pihak yang memberi masukan-masukan kepada
para pihak untuk menyelesaikan sengketa mereka. Namun, pada masing-
masing pihak tidak terdapat kewajiban untuk menaati apa yang disarankan
oleh mediator. Mediasi bisa dilakukan di pengadilan atau di luar pengadilan,
tergantung keinginan dua pihak yang bersengketa.

3.3.4 Penyelesaian Sengketa Hukum Melalui Konsiliasi


Adapun konsiliasi prosesnya hampir serupa dengan mediasi, tetapi biasanya
diatur oleh undang-undang. Ketika suatu pihak diwajibkan hadir, konsiliator
cenderung menekan dan bertanggung jawab atas norma sesuai undang-
undang atau badan terkait, dan langkah hukum akan diambil bila kesepakatan
tidaktercapai.

3.3.5 Penyelesaian Sengketa Hukum Melalui

Anda mungkin juga menyukai