Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1. Tinjauan Pustaka


Penelitian ini dilaksanakan dengan acuan dari beberapa penelitian sebelumnya
dengan jenis, metode dan hasil yang berbeda. Korelasi CBR dan DCP pada tanah
residual tufa ini sebelumnya telah dilakukan oleh M. Ridho Saputra dengan kasus
tanah yang sama, akan tetapi pada pengujian DCP nya menggunakan konus 60°.
Pada penelitian yang dilakukan oleh M. Ridho Saputra (2020), Hasil korelasi yang
diperoleh dari data CBR dan γdry laboratorium yang didapat ialah y=126,67x-107,27
dan dari penelitian yang telah dilakukan dan analisa terhadap pengujiannya,
M.Ridho Saputra menyimpulkan bahwa hasil korelasi yang diperoleh antara CBR
dan DCP pada tanah residual tufa dengan menggunakan konus 60° ialah LogCBR
= 3,207 – 1,454 LogDCP. Penyusunan model rumusan korelasi nilai DCP dengan
nilai CBR pada tanah berbutir kasar juga telah dilakukan oleh I Wayan Sujahtra
pada tahun 2019 di Wilayah Bali, dimana untuk menyusun model rumusan ini
dilakukan pengujian CBR yang dimana benda uji telah dipersiapkan dengan kondisi
kadar air optimum dan kepadatan maksimum. Sumber data diambil dari masing-
masing 25 benda uji dengan kepadatan sama dan 25 benda uji yang lain serta 50
benda uji dengan kepadatan yang beda. Peneliti mengambil data DCP dan CBR dari
masing-masing sampel yang telah dipersiapkan dan diolah dalam format data DCP
(mm/tumbukan) dan data CBR (%). Dari hasil penelitiannya, I Wayan
menyimpulkan bahwa rumusan korelasi DCP-CBR yang dilakukan pada tanah
berbutir kasar ialah LogCBR=2,588-1,07Log DCP untuk satuan mm/tumbukan dan
LogCBR=1,514-1,07Log DCP untuk satuan cm/tumbukan. Posisi kurva rumusan
korelasi yang diteliti berada diatas kurva rumusan korelasi DCP-CBR yang
dikeluarkan oleh kementrian PUPR yang menunjukkan bahwa nilai CBR
sebenarnya pada kasus tanah butir kasar di Wilayah Bali yang telah diteliti oleh I
Wayan lebih tinggi dibandingkan nilai CBR dari korelasi PUPR.

Korelasi nilai CBR dan DCP pada kasus tanah ekspansif yang dipadatkan yang
telah diteliti oleh Pudia Prisandhy pada tahun 2011 dimana penelitian ini dilakukan

5
untuk mencari nilai CBR melalui uji DCP menggunakan persamaan yang akan
diperoleh dari hasil korelasi yang dilakukan. Material tanah yang digunakan dalam
penelitian diambil dari kawasan Lippo Cikarang dengan lokasi tepatnya di
perumahan Elysium Delta Silikon. Dalam pegujian CBR yang dilakukan mengikuti
tetapan ASTM D1883-87 yang sebelumnya telah dilakukan pengujian proktor
berdasarkan tetapan ASTM D698-78. Tahapan dari penelitian yang dilakukan ialah
mengambil sampel dan mengidentifikasi tanah lempung ekspansif dengan mencari
indeks properties dan mencari kadar air optimum pada sampel tersebut. Selanjutnya
sampel dipadatkan dan diuji CBR dalam kondisi soaked dan unsoaked. Setelah uji
CBR, sampel dipersiapkan untuk diuji DCP pada mould CBR. Setelah melakukan
pengujian CBR dan DCP yang kemudian peneliti mengolah hasil data yang telah
dilakukan, diperoleh persamaan korelasi dari kurva hasil hubungan CBR-DCP pada
tanah lempung ekspansif yang telah dipadatkan ialah LogCBR=-1,12 LogDCP +
2,551.

Korelasi nilai CBR dan DCP pada kasus tanah gambut yang dipadatkan yang telah
diteliti oleh Yustian pada tahun 2008 dimana uji laboratorium yang dilakukan
adalah uji DCP dan CBR menggunakan material tanah gambut yang diambil dari
Kalimantan. Pengujian CBR yang dilakukan sesuai ASTM dan pengujian DCP
memakai konus 30°. Dalam penelitian yang dilakukan, tanah diuji pada kadar air
140%, 120%, dan 100%. Hasil dan analisa dari data CBR pada tanah gambut yang
dipadatkan dan diuji nilai CBRnya kemudian dilakukan perendaman empat hari
untuk diuji nilai DCPnya. Setelah dianalisis, dapat diambil kesimpulan pada
penelititan ini bahwa korelasi nilai CBR dan DCP yg diperoleh menggunakan
persamaan log CBR=2,586-1,169 log DCP, dimana persamaan ini didapatkan dari
grafik korelasi nilai CBR dan DCP untuk kadar air 140%, 120%, dan 100%.
Persamaan korelasi yang diperoleh mendekati persamaan korelasi pada penelitian
oleh Livneh pada tahun 1987 dimana persamaan yang diperolehnya ialah log
CBR=2,56-1,16 log DCP.

6
2.2. Landasan Teori
2.2.1. Pengertian Tanah
Tanah dalam Bahasa Yunani ialah pedon yang merupakan bagian kerak bumi yang
terbagi dari mineral serta partikel padat. Pengertian tanah menurut (Hardiyatmo,
2001), tanah ialah gabungan mineral, bahan organik, serta endapan-endapan yang
relatif lepas di bagian atas batuan dasar. Tanah pula bisa didefinisikan selaku bahan
kulit bumi yang belum terkonsolidasi (Kasiro, 1994).

Berdasarkan penjelasan dari Bowles (1991), definisi tanah merupakan kombinasi


dari partikel-partikel yang tersusun atas seluruh atau hanya salah satu jenis dari:
a. Boulders, memiliki definisi potongan dari batuan besar, dimana ukuran
diameternya berkisar antara 250 mm sampai dengan 300 mm.
b. Cobbles, memiliki definisi fragmen batuan besar yang memiliki ukuran
diameter berkisar 150 mm sd 250 mm.
c. Gravel, memiliki definisi partikel batuan yang memiliki ukuran diameter
berkisar antara 5 mm sd 150 mm.
d. Sand, memiliki definisi batuan dengan ukuran diameter berkisar antara 0,074
mm - 5 mm.
e. Silt, memiliki definisi partikel yang memiliki ukuran diameter berkisar antara
0,0020 mm sd 0,0740 mm.
f. Clay, memiliki definisi partikel mineral yang memiliki ukuran diameter
dibawah dari 0,0020 mm.

2.2.2. Proses Terbentuknya Tanah


Tanah tercipta oleh pelapukan yang terjadi pada batuan baik secara fisik dan juga
kimiawi. Menurut Laurence D. Wesley, tanah lempung tidak dihasilkan pada
pelapukan fisik, walaupun diameter butirannya persis dengan diameter butiran
tanah lempung dikarenakan tanah lempung tercipta apabila terkena pelapukan
secara kimiawi. Pelapukan fisik itu terbagi menjadi dua macam, yaitu yang pertama
ialah penghancuran dan yang kedua ialah pengikisan. Pada jenis penghancuran,
yang memberikan dampak utama ialah pengeringan dan pembasahan yang terjadi
secara berkelanjutan yang bisa juga disebabkan oleh pengaruh es dan salju. Untuk
jenis pengikisan, yang memberikan dampak utama ialah akibat pengikisan oleh air,

7
oleh angin, dan juga oleh sungai es. Dimana pada proses pengikisan ini dapat
menciptakan butiran besar maupun kecil yang komposisi nya tetap serupa dengan
batuan asal. Proses pelapukan fisik tidak lebih rumit dari pelapukan kimiawi. Pada
proses pelapukan kimiawi membutuhkan oksigen dan karbon dioksida serta
membutuhkan air. Untuk proses pelapukan kimiawi menggantikan mineral yang
terdapat didalam batuan jadi tipe mineral lain yang pastinya berbeda sifat dari
mineral tersebut. Hasil dari mineral baru yang terbentuk adalah mineral lempung.
Aspek penting lain yang yang ikut serta dalam pembuatan pembentukan tanah ialah
pengangkutan butir dari tanah serta setelah itu diendapkan ditempat semacam laut
ataupun danau. Untuk tanah yang langsung memiliki bentuk dikarenakan pelapukan
kimiawi dinamakan tanah residu yang artinya tanah terbentuk tetap di letak
pembentukannya dari batuan asal. Tanah endapan atau biasa disebut tanah yang
terangkut ialah tanah yang disebabkan dari hujan yang menimbulkan erosi dan
tanah diangkut melewati sungai sampai ke danau ataupun laut yang dimana proses
ini bisa berlangsung sepanjang jutaan tahun. Setelah pengendapan terjadi, tanah
masih mengahadapi perubahaan yang dipengaruhi oleh aspek berikut:
1. Perubahan kimia yang terjadi lambat laun pada jangka waktu yang panjang.
Dengan perubahan yang terjadi, tanah menjadi lebih kokoh, dimana pengaruh
dari perubahan ini berupa pengerasan (bardening).
2. Tekanan yang berasal dari bahan tanah diatasnya yang dapat menimbulkan
pemampatan yang membuat tanah jadi lebih padat dan kokoh.

Gambar 2.1. Proses Pembentukannya Tanah


Sumber: Wesley (2010)

8
2.3. Pesebaran Tanah Tufa di Pulau Sumatera
Tanah residual tufa ataupun batu putih merupakan tanah yang tercipta akibat dari
pelapukan batuan piroklastik. Batuan piroklastik memiliki definisi batuan yang
disusun atas material dari hasil letusan sebuah gunung berapi yang didominasi oleh
material piroklas seperti batuan vulkanik, kristal serta butiran angular dan material
yang memiliki porositas yang cukup besar.Berikut klasifikasi batuan piroklastik
yang dapat dilihat dari ukuran pecahan menurut Schmid (1981) pada Tabel 2.1.
Persentase kandungan mineralogi pada tufa yang diambil di Itera dapat dilihat pada
peta geologi tanjung karang beserta persentase kandungan mineralogi pada tufa
Itera pada Gambar 2.2. dan Gambar 2.3.
Tabel 2.1. Klasifikasi Batuan Piroklastik yang Dapat Dilihat dari Ukuran Pecahan
Endapan Piroklas Tidak Endapan Piroklas
Diameter Pecahan Bentuk Piroklast
Terkonsolidasi Terkonsolidasi
Aglomerat, Lapisan Blok
Blok, Bom Aglomerat, Breksi
6,4 cm atau Bom
Lapili Tefra Lapili Batuan Lapili
0,2 cm Ash Kasar Debu Kasar Tufa Kasar
0,00625 cm Ash Halus Debu Halus Tufa Halus
Sumber: Schmid (1981)

Gambar 2.2. Peta Geologi Tanjung Karang Beserta Pengambilan Sampel di Itera
Sumber: Mangga (1993)

9
Gambar 2.3. Persentase Kandungan Mineral Fe Berdasarkan X- Ray
Fluorescence. FeO (orange) dan Fe2O3
Sumber: Santoso. NA, dkk 2020

Gambar 2.4. Persentase yang memberi warna abu-abu pada tanah. SiO2 (Biru),
AL2O3 (Merah), K2O (Hijau), dan MgO (Ungu)
Sumber: Santoso. NA, dkk 2020

Pada penelitian yang dilakukan oleh Santoso, N.A, dkk dapat diketahui bahwa
tanah tufa mengandung mineral Fe, siO2, FeO, Fe2O3, Al2O3, K20, dan MgO. Pada
penelitian ini menggunakan enam jenis sampel, yaitu granit (GN), tanah granit
(GNS), tufa di depan ITERA (TDI), tanah tufa di depan ITERA (TDIS), tufa di
dalam ITERA (TFI), tanah tufa di dalam ITERA (TFIS). GN dan GNS diambil di
Gerbang Tol lematang, Tanjung Bintang. Warna abu-abu pada tufa formasi
Lampung disebabkan oleh mineral Al 2O3. Sedangkan warna merah pada tufa
disebabkan oleh mineral Fe.

10
Berdasarkan peta geologi Pulau Sumatera yang dibuat oleh Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi, pesebaran tanah tufa di Pulau Sumatera ditampilkan pada
Tabel 2.2. Pesebaran tanah tufa di Pulau Sumatera
Tabel 2.2. Pesebaran Tanah Tufa di Pulau Sumatera
No Provinsi Keterangan
Timur Garis Geumpang: batupasir tufaan dan tufa
Calang: tufa
Naggroe Aceh
1 Sinabang: batupasir tufan, batu lempung tufa dan tufa
Darussalam
Tapaktuan: tufa
Lhok-Seumawe: batupasir tufaan
Medan: tufa, tufa riodasit
Tebing Tinggi: tufa mengandung batu apung
Gomo: tufa
2 Sumatera Utara Lelematua: tufa
Telo: tufa dan tufa pasiran
Sidikalang: batupasir tufaan, tufa riodasit sebagian terlaskan
Pematang Siantar: tufa kristal, debu dengan sedikit tufa eksposif
Pekanbaru: lempung tufaan, tufa batuapung
Rengat: batupasir tufaan, batulempung tufaan, batupasir tufaan
3 Riau
kekerikilan, tufa
Bengkalis: lempung tufaan
4 Kepulauan Riau Tanjung Pinang: batupasir tufan keputih-putihan, tufa dasit, tufa litik
Jambi: batupasir tufan dan batulempung tufan
Sarolangun: tufa, breksi tufa dan lava, breksi tufa dan lahar, tufa
5 Jambi
berbatu apung, batupasir tufa, batulempung tufa, tufa dasit dan tufa
kristal
Padang: tufa batuapung, tufa, tufa kristal, breksi tufa, tufa andesitan,
batupasir tufa
6 Sumatera Barat Lubuksikaping: tufa batuapung riolitik
Painan: tufa batuapung, batupasir tufan, tufa andesitan, breksi tufa
Solok: tufa, batupasir tufa, tufa abu, tufa basal berkaca
Bengkulu: tufa bersusun andesit-basal, tufa, batupasir tufan,
batulempung tufan,
7 Bengkulu
Manna: tufa, batupasir tufan berbatuapung, tufa pasiran, batulanau
tufan,
Palembang: tufa, tufa pasiran dan batupasir tufan, batulempung dan
batulanau tufan
Sumatera
8 Lahat: tufa bersifat andesit, tufa bersifat riolit, tufa bersifat dasit, tufa,
Selatan
tufapasiran,
Tulung Selapan: tufa, batupasir tufan, batulempung tufa
Kepulauan
9 Bangka Bangka Utara: batulempung tufan
Belitung
Tanjung Karang: tufa, batulempung tufa, tufa berbatu apung, tufa
riolitik, batupasir tufan, breksi tufan, tufa pasiran
Kota Agung: tufa bersusunan andesit-basal, tufa, batupasir tufan, tufa
pasiran, batulempung tufan, tufa berbatu apung, batulanau tufan, tufa
10 Lampung dasit
Baturaja: tufa bersusunan andesit-basal, tufa, batulempung tufan, tufa
riolitan, tufa batuapung, tufa
Menggala: tufa batuapung, batupasir tufan, batulempung dan
batulanau tufan
Sumber: Geosis.id.”Peta geologi seluruh Indonesia”

11
Berdasarkan pesebaran tanah tufa di Pulau Sumatera, dapat disimpulkan bahwa
tanah tufa yang ada di pulau sumatera terdiri dari berbagai ragam bentuk seperti:
1. Tufa adalah merupakan tanah yang tercipta akibat dari pelapukan batuan
piroklastik yang disusun atas material dari hasil letusan sebuah gunung berapi
yang didominasi oleh material piroklas seperti batuan vulkanik, kristal serta
butiran angular dan material yang memiliki porositas yang cukup besar.
2. Batupasir tufaan adalah batu sedimen volkanoklastik yang memiliki komposisi
didominasi oleh material vulkanik berukuran halus (tufa)
3. Batulempung tufa adalah batu lempung yang merupakan produk sekunder dari
pelapukan tufa
4. Tufa riodasit adalah material tufa yang terbentuk dari magma dengan
komposisi asam hingga intermediet
5. Tufa pasiran adalah material tufa yang memiliki komposisi pasiran
6. Tufa kristal merupakan material tufa yang memiliki komposisi kristal dominan
7. Tufa batuapung merupakan material tufa yang memiliki komposisi pumis
8. Tufa dasit merupakan material tufa yang memiliki komposisi dasit
9. Tufa litik merupakan material tufa yang memiliki komposisi litik dominan
10. Breksi tufa adalah batuan edimen dengan sidit yang angular yang memiliki
komposisi material tufa

2.4. Pengelompokan Klasifikasi Tanah


Pengelompokan tanah yang didasarkan perilaku dan sifat tanah pada kondisi fisik
tertentu merupakan definisi dari sistem klasifikasi tanah. Dengan adanya
pengelompokan klasifikasi tanah yang tujuannya untuk mengidentifikasi tanah dan
dapat menentukan pemakaian sesuai dengan kondisi yang dibutuhkan untuk
memberikan informasi keadaan tanah pada suatu daerah berupa data dasar. Menurut
Bowles (1991), pengelompokan klasifikasi tanah juga dapat berguna untuk
pengujian yang membutuhkan data keadaan awal tanah yang lebih detail seperti
kekuatan tanah, karakteristik tanah, berat isi, dan data yang lain.

Sistem klasifikasi tanah yang umum dipakai ialah sistem klasifikasi tanah USCS
dan juga sistem klasifikasi tanah AASHTO. Berikut penjelasannya:
1. Sistem klasifikasi tanah Unified Soil Classification System (USCS)

12
Bisa dilihat untuk gambar dari sistem klasifikasi tanah USCS.

Gambar 2.5. Diagram Plastisitas


Sumber: Braja M. DAS

2. Sistem klasifikasi tanah AASHTO


Pada tahun 1929 sistem klasifikasi AASHTO dikembangkan sebagai Public
Road Administration Classification System. Sistem ini mengklasifikasikan
tanah menjadi tujuh bagian besar, yaitu (A-1), (A-2), (A-3), (A-4), (A-5), (A-
6), dan (A-7). Berikut ditampilkan dalam Tabel 2.3. klasifikasi berdasarkan
AASHTO
Tabel 2.3. Klasifikasi AASHTO
Bahan Material
Klasifikasi Umum
(≤ 35% lolos Saringan No.200)

A-1 A-2
Grup Klasifikasi A-3
A-1-a A-1-b A-2-4 A-2-5 A-2-6

Analisis Saringan
No. 10 50 max
No. 40 30 max 50 max 51 min
No. 200 15 max 25 max 10 max 35 max 35 max 35 max
Karakteristik Fraksi lolos
No.40
Batas Cair 40 max 41 min 40 max
Indek Plastisitas NP
Bahan penyusun Batu pecahan Pasir Lanau atau lempung
kerikil dan gradasi berpasir
pasir baik

13
Bahan Material
Klasifikasi Umum
(≤ 35% lolos Saringan No.200)
Peringkat tanah dasar
Sangat baik
umum
Lanau – Lempung Material
Klasifikasi Umum
(≤ 35% lolos Saringan No.200)
Grup Klasifikasi A-4 A-5 A-6
Analisis Saringan
No. 10
No. 40
No. 200 36 min 36 min 36 min
Karakteristik Fraksi lolos
No.40
Batas Cair 40 max 41 min 40 max
Indeks Plastisitas 10 max 10 max 11 min

Bahan Penyusun Tanah Lanau Tanah Lempung


Peringkat tanah dasar
Buruk
umum
*Untuk A-7-5, PI ≤ LL= 30
*Untuk A-7-6, PI > LL= 30
Sumber: Braja M. DAS

2.5. CBR (California Bearing Ratio)


California State Highway Departement mengembangkan pengujian CBR
(California Bearing Ratio) pada tahun 1930 yang memiliki tujuan sebagai standar
uji untuk mengetahui nilai kekuatan tanah dasar. Pengujian CBR dapat
membandingkan kuat sampel tanah terhadap kepadatan tertentu water content yang
standar materialnya ialah kekuatan batu pecah gradasi rapat nilai CBR sama dengan
100. Pengujian California Bearing Ratio ini menggunakan prinsip dengan
membandingkan besar gaya dari beban yang dibutuhkan untuk menekan piston
dengan luas 3 inch2 (76,2 mm) kedalam lapis tanah dasar sejauh 0,10inch (2,50mm)
dan 0,20inch (5,080mm) menggunakan beban standar. Pengujian ini menggunakan
kurva penetrasi dan tegangan yang dimana tegangan dan penetrasi dihitung dalam
MPa (megapascal). Besar beban penetrasi 0,2 inc ialah 10 MPa dan penetrasi 0,10
inc ialah 6,9 MPa.

Nilai CBR dapat kita hitung menggunakan persamaan:

Tekanan pada piston 0,1 "


CBR 0,1“= × 100% (2.1)
1000 psi

14
Tekanan pada piston 0,2 " (2.2)
CBR 0,2“= × 100%
1500 psi

Berikut gambar yang menampilkan kurva penetrasi dan tegangan.

Gambar 2.6. Kurva Penetrasi – Tegangan


Sumber: ASTM D1883- 16

Nilai CBR yang diperoleh dikeluarkan menggunakan satuan persen setelah


menggunakan persamaan diatas. Nilai CBR yang digunakan ialah nilai CBR 0,1,
akan tetapi apabila nilai CBR 0,2 lebih besar maka nilai digunakan ialah CBR 0,2.

Gambar 2.7. Alat CBR

15
2.6. DCP (Dynamic Cone Penetrometer)
DCP (Dynamic Cone Penetrometer) merupakan alat uji daya dukung tanah di
tempat atau in situ. Pengujian DCP yang benar, yaitu dengan mengukur berapa
kedalaman dalam satuan milimeter dari ujung konus yang digunakan menembus ke
dalam tanah dasar akibat menerima beban yang ditumbukkan pada landasan batang
utama lalu mengkorelasikan nilai dalam nya ujung konus yang menembus ke tanah
dasar akibat tumbukan beban yang diberikan dan apabila konus yang masuk
semakin dalam maka menunjukkan lunaknya tanah dari tanah tersebut.

Dynamic Cone Penetrometer menggunakan konus yang memiliki diameter 20 mm


yang bersudut 30 ° dan yang bersudut 60 ° yang dipasangkan pada alat yang diujung
bawah. Konus lah yang akan masuk ke tanah dasar saat menerima beban dari
tumbukan. Penggunaan konus 30 ° dan konus 60 ° berbeda, dimana konus 30 °
digunakan pada bahan granular dan konus 60 ° pada tanah butiran halus. Untuk
persamaan yang digunakan tentu berbeda antara konus 30 ° dan konus 60 °. Pada
penelitian tugas akhir ini menggunakan konus yang memiliki sudut 30 °.

Tujuan dari pengujian DCP ini ialah agar mengetahui kekuatan tanah yang dimana
nilai diperoleh dari pengujian DCP ini akan diolah sehingga mengeluarkan data
CBR pada titik lapangan yang di uji. Umumnya pengujian DCP ini dipakai untuk
proyek perkerasan jalan, dikarenakan melalui pengujian DCP dapat mengeluarkan
data yang bisa memperkirakan kekuatan dari perkerasan dan dapat menjadi
pedoman desainnya.

Tahapan dalam pengujian DCP menurut standar SNI dan ASTM ialah sebagai
berikut:
a. Merakit alat DCP dengan menghubungkan bagian – bagian dari alat dari
landasan atas serta batang bawah dan menyambungkan konus yang digunakan
b. Alat DCP yang telah dirakit diposisikan tegak lurus terhadap tanah dasar yang
akan diuji.
c. Terlebih dahulu catat bacaan awal pada mistar yang akan diberi nilai nol.
d. Berikan beban dengan mengangkat beban palu geser hingga mencapai batas
handle yang kemudian dilepaskan sampai beban menumbur landasan.
e. Catat jumlah tumbukan dan kedalaman yang diperoleh

16
f. Pengujian akan selesai apabila penetrasi yang dihasilkan kurang dari 1 mm per
3 tumbukan.
g. Pengujian dilakukan per satu titik dengan minimum dua kali jarak 20 cm titik
awal menuju titik berikutnya.

Setelah melakukan uji tersebut, maka data yang diperoleh kemudian diolah
sehingga mengeluarkan hasil CBR mengikuti cara sebagai berikut:
a. Mengakumulasikan jumlah dari tumbukan dan penetrasi yang sebelumnya
telah dikurangin dengan pembacaan nol dari mistar pengukur
b. Hasil pengujian yang diperoleh dimasukkan kedalam kurva hubungan
kumulatif dari tumbukan terhadap penetrasi. Dalam kurva ini sumbu vertikal
ialah kedalaman penetrasi dan sumbu horizontal ialah total tumbukan
c. Menarik garis lurus pada titik yang dianggap seragam
d. Menghitung kedalaman lapisan dari titik yang merupakan beda nilai antara
perpotongan garis kedalam satuan milimeter
e. Menghitung kecepatan rerata penetrasi pada lapisan yang dianggap seragam
f. Hasil DCP dihasilkan dari beda nilai penetrasi yang dibagi dengan beda nilai
tumbukan
g. Manfaatkan Gambar 2.8. untuk menghitung korelasi hubungan nilai DCP dan
CBR. Tarik nilai kecepatan penetrasi dari sumbu horizontal keatas agar
terpotong pada garis putus – putus pada sudut konus 30 °
h. Untuk mengetahui nilai CBR yaitu membuat tambahan garis dari titik potong
ke arah kiri

17
Gambar 2.8. Grafik-Hubungan Antara Nilai DCP dan CBR
Sumber: Surat Edaran PU No.04/ SE/ M/ 2010

Gambar 2.9. Alat DCP


2.7. Sand Cone (Kerucut Pasir)
Tujuan dari pengujian kerucut pasir ini ialah mengukur derajat kepadatan
dilapangan dari lapisan tanah dengan menggali lalu memenuhi kembali
menggunakan pasir ottawa. Pasir Ottawa adalah pasir lolos saringan no. 10 dan
tidak lolos di no. 200 yang akan dipakai sebagai bahan standar yang telah memenuhi
persyaratan untuk mengukur nilai kepadatan tanah dilapangan. Perbandingan berat
isi kering suatu tanah yang di lapangan dengan di laboratorium yang nantinya akan
dikeluarkan dalam satuan persen ialah definisi dari derajat kepadatan lapangan.

18
Pengujian kerucut pasir ini mengharuskan lokasi titik yang tidak boleh tergenang
air, rawan bergetar,dan efisien pada jenis tanah yang tidak tersusun oleh material
kasar yang memiliki diameter diatas 38 mm dan cocok pada tanah organik dan tanah
jenuh atau tanah yang memiliki plastisitas tinggi. Pengujian kerucut pasir dilakukan
setidaknya dua kali pengujian ditiap titik yang jaraknya disarankan 50 cm dan untuk
hasil kepadatan nya menggunakan dua angka dibelakang koma.

Untuk pengujian kerucut pasir yang akan dilakukan, dipersiapkan terlebih dahulu
titik uji dengan menggali lubang yang diameternya sesuai diameter dari kerucut dan
alas dudukan kerucut dimana kedalaman lubang gali berkisar 10 cm – 15 cm.
Sesudah titik uji tadi telah selesai, selanjutnya ialah mencatat data – data awal yang
diperlukan yaitu:
1. Menghitung volume dari botol pasir
Cara mendapatkan volume dari botol pasir ialah menggunakan air dengan
massa jenis 1 gram/cm3 yang akan memudahkan penelitian dengan cara berat
air ditoleransi serupa dengan massa jenis air serta tidak mengikutsertakan gaya
gravitasi. Dengan menggunakan persamaan berikut untuk menentukan volume
dari botol pasir:
V1 = W2 – W1 (2.3)

Keterangan:
V1 = Volume dari botol pasir dalam satuan cm3
W2 = Berat botol pasir yang ditambah berat corong dalam satuan gram
W1 = Berat botol pasir yang ditambah berat corong dan air dalam satuan gram

2. Menghitung berat isi dari pasir


Mengisi pasir ottawa kedalam botol pasir secara perlahan yang dimana keran
telah tertutup terlebih dahulu yang kemudian isi pasir ke corong hingga penuh
dan buka keran sehingga mengakibatkan pasir mengalir sampai memenuhi
botol pasir dan setelah botol pasir penuh tutup kembali keran dan sisa pasir
yang ada diatas keran kemudian dibersihkan. Dalam menentukan berat isi pasir
menggunakan persamaan berikut:
𝑊3−𝑊1 (2.4)
ᵞs = 𝑉1

19
Keterangan:
ᵞs = Berat isi dari pasir dalam satuan gram/cm3
V11 = Volume dari botol pasir dalam satuan cm3
W31 = Berat dari botol ditambah corong dan pasir dalam satuan gram
W11 = Berat dari botol ditambah corong dalam satuan gram

3. Menghitung berat pasir didalam corong


Berat pasir didalam corong dihitung dengan mengisi pasir secukupnya dalam
botol lalu menutup keran kemudian menimbang botol yang ditambah dengan
pasir dan mengikutsertakan corong, lalu membalikkan corong dan botol pasir
di alas yang rata kemudian membuka keran sampai pasir penuhi corong dan
menutup keran lalu menimbang kembali berat botol pasir yang
mengikutsertakan corong dan pasir sisa pengujian tadi.
Wc = W 4 – W5 (2.5)
Keterangan:
Wc = Berat dari pasir didalam corong dalam satuan gram
W41 = Berat dari botol ditambah corong dan pasir dalam satuan gram
W51 = Berat dari botol ditambah corong dan sisa pasir dalam satuan gram

4. Pengambilan tanah dasar yang akan diuji


Dalam upaya pengambilan tanah terlebih dahulu membuat permukaan tanah
yang akan diuji menjadi rata ataupun datar. Kemudian plat dudukan corong
yang berukuran 30,48 cm × 30,48 cm ditempelkan ke tanah yang telah rata
permukaannya dan melubangi tanah ditengahnya yang memiliki ukuran
diameter 16,51 cm lalu membuat plat kokoh dengan memberikan pasak
disisinya. Tanah yang berada di tengah plat kemudian digali sejauh 10 cm
sampai 15 cm kemudian membersihkan apapun yang ada didalam lubang.
Tanah hasil galian tadi tidak dibuang melainkan dimasukkan kedalam wadah
kemudian menutup wadah tersebut.

5. Menghitung volume dari lubang


Lubang yang telah dipersiapkan dihitung volume nya menggunakan
persamaan:

20
W10
Ve = (2.6)
ᵞs

Keterangan:
Ve = Volume dari lubang dengan satuan cm3
W
10 = Berat dari pasir didalam lubang dengan satuan gram
ᵞs = Berat isi dari pasir dengan satuan gram/cm3
Maka berat pasir dari lubang dapat dihitung mengunakan persamaan:
W10 = W6 – W7 – Wc (2.7)
Keterangan:
Wc = Berat pasir dari dalam corong dengan satuan gram
W6 = Berat botol ditambah corong dan pasir dengan satuan gram
W7 = Berat botol ditambah corong dan sisa pasir dengan satuan gram

6. Menghitung berat isi kering dari tanah


Untuk menghitungnya dapat menggunakan persamaan:
ᵞ𝑤
ᵞd = × 100 % (2.8)
100+𝑤𝑐

Keterangan:
ᵞd = Berat isi kering dari tanah dengan satuan gram/cm 3
ᵞw = Berat isi dari tanah dengan satuan gram/cm 3
Wc = Nilai kadar air dari tanah dengan satuan persen
Untuk berat isi pasir
𝑊8−𝑊9 (2.9)
ᵞw = 𝑉𝑒

Keterangan:
ᵞw = Berat isi dari tanah dengan satuan gram/cm3
Ve = Volume dari lubang galian dengan satuan cm3
W8 = Berat dari wadah ditambah tanah dengan satuan gram
W9 = Berat dari wadah dengan satuan gram

21
Gambar 2.10. Kerucut Pasir

2.8. Korelasi Hubungan Nilai CBR – DCP


Telah banyak penelitian yang dilakukan untuk mengkorelasi nilai CBR dan DCP di
Negara Indonesia dan beberapa negara di dunia. Dari banyaknya penelitian
tersebut, berikut beberapa persamaan yang telah dihasilkan mengenai korelasi
hubungan nilai CBR dan DCP:
Tabel.2.3. Persamaan korelasi nilai CBR – DCP dari beberapa penelitian
Persamaan Korelasi Bahan Uji Acuan
Log(CBR)=2,53 – 1,14Log(DCP) Residu Piedmont Coonse1999

Log(CBR)=2,60 – 1,07Log(DCP) Agregat Dasar dan Kompak NCDOT1998

Log(CBR)=2,44 – 1,07Log(DCP) Agregat Dasar Eseietial1995

Log(CBR)=2,62 – 1,27Log(DCP) Tidak Diketahui Kleyn1975

Log(CBR)=2,46 – 1,12Log(DCP) Variasi Jenis Tanah Webster et al1992

Log(CBR)=2,45 – 1,12Log(DCP) Kohesif dan Granular Livneh et al1992

Log(CBR)=2,56 – 1,16Log(DCP) Kohesif dan Granular Harison1987

Log(CBR)=2,56 – 1,16Log(DCP) Kohesif dan Granular Livneh1987


Sumber: Potential Application of DCP in MTOD Pavement Designed Construction

Menurut data tersebut dapat dilihat nilai dari jumlah rerata penetrasi DCP per
tumbukan, dimana semakin kecil nilai penetrasinya maka semakin besarlah nilai
CBR yang diperoleh. Oleh sebab itu korelasi antara CBR dan DCP dapat dinyatakan
sebagai persamaan berikut:
Log(CBR) = a-b Log(DCP) (2.10)

22
Keterangan:
a = Konstanta nilai
b = Konstanta nilai
DCP = Nilai Penetrasi dengan satuan mm/tumbukan

23

Anda mungkin juga menyukai