Anda di halaman 1dari 180

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Arsitektur adalah bagian dari kebudayaan dengan bangunan sebagai media


serta wujud fisik peninggalannya (Sardadi, 1991: 60-61;Isthipraya, Susanto,
Noviyanto, dan Nugroho, 2009: 6). Ruang arsitektural juga merupakan bagian dari
archeological formation processes, yaitu sebuah istilah untuk menggambarkan
berbagai proses kegiatan, mekanis dan kimiawi pada suatu obyek, dari mulai obyek
itu pertama dibuat sampai kemudian ditemukan kembali (Renfrew&Bahn, 2005
:21). Arsitektur sendiri merupakan sebuah konsep yang berhubungan dengan
konsep-konsep lainnya sehingga dapat dikatakan bahwa arsitektur itu adalah sebuah
produk kebudayaan (Tjahjono, 1999: 194). Bangunan sendiri dalam klasifikasi ilmu
arkeologi masuk kedalam kelompok fitur dan merupakan hasil kebudayaan manusia
yang bersifat material.

Arsitektur kolonial Indonesia merupakan fenomena budaya yang unik


karena banyak terdapat percampuran budaya Eropa dengan budaya Indonesia
sendiri. Arsitektur kolonial di Indonesia merupakan arsitektur yang berkembang
dan berubah dengan cepat sesuai dengan perkembangan teknologi dan penduduk
(Sumalyo, 1995: 2). Percampuran budaya ini menimbulkan ciri khas tersendiri
dalam bentuk bangunannya. Sehingga dengan mempelajari tentang gaya kita dapat
melihat bentuk seperti apa yang dibuat pada masa itu.

Menurut Snyder dan Catanese (1989: 14) semua hasil peninggalan manusia
dibuat dalam artian terdapat keputusan maupun pilihan-pilihan tertentu. Pilihan-
pilihan ini menghasilkan gaya yang membuat suatu tempat atau bangunan berbeda
satu sama lain. Gaya dalam kaitannya dengan arkeologi adalah sebuah pola atau
135 Universitas Indonesia
2

motif yang secara tidak langsung dapat membantu arkeolog untuk memahami
kualitas karya suatu budaya, sehingga mempermudah untuk melokalisasi dan
mendata suatu data (Soekiman, 2000: 81).

Menurut Henk Baren yang dikutip oleh Soekiman (2000: 83) gaya memiliki
empat pengertian, yaitu:

1. Gaya objektif (objectieve stijl) merupakan gaya dari benda atau barang itu
sendiri
2. Subjectieve stijl atau (persoonlijke stijl) yaitu gaya yang dimiliki oleh si
seniman, penulis, pemahat, pelukis dan arsitek, yang merupakan ciri sebagai
pertanda dari hasil kerjanya
3. Stijl massa atau Nationale stijl yaitu gaya yang menjadi ciri atau pertanda
(watak) suatu bangsa
4. Gaya khusus pada suatu keistimewaan teknik (technische stijl) yaitu tentang
bahan/material yang digunakan. Jadi yang memegang peranan adalah teknik
dan material yang dipergunakan.

Dalam pengertian arsitektur, didalam sebuah gaya bangunan terdapat


makna dan tujuan dari bangunan tersebut (Conway&Roenisch, 2005: 5-6). Gaya
atau model sebuah bangunan juga merupakan syarat dalam sebuah wujud arsitektur
(Budihardjo, 1991: 71). Karena didalam sebuah gaya bangunan terdapat faktor
sosio-budaya yang tidak kalah penting dengan faktor lain seperti faktor iklim,
teknologi, bahan, dan ekonomi (Snyder & Catanese, 1989: 4). Sehingga dapat
dikatakan bahwa gaya dapat merepresentasikan sebuah bangunan dan juga sang
arsitek, yang dapat membantu dalam merekonstruksi suatu peninggalan budaya.

Arsitektur di Indonesia selama periode masa penjajahan Belanda contohnya


berupa bangunan perkantoran, gereja, vila, rumah tinggal, sekolah, hotel, toko, dan
bangunan pertahanan. Masing-masing bangunan tersebut memiliki gaya bangunan

Universitas Indonesia
3

yang khas. Salah satu bangunan kolonial di Indonesia adalah bangunan loji. Loji
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990: 530) berarti gedung besar atau
kantor dan benteng kompeni masa penjajahan Belanda di Indonesia.

Loji sendiri disini diartikan sebagai tempat berkumpul dari anggota


Vrijmetselarij (Vrijmetselaar), dan dalam bahasa inggris disebut juga sebagai
lodge. Sehingga loji Vrijmetselarij tentunya akan berbeda dengan pengertian loji
pada umumnya. Karena dalam fungsi bangunannya pun sangat berbeda, dan
pengertian tempat berkumpul dan pusat kegiatan yang dilakukan juga berupa ritual-
ritual yang hanya bisa dipahami oleh seorang anggota Vrijmetselarij sendiri.

Vrjmetselarij pada masa modern lebih dikenal sebagai Freemasonry.


Organisasi ini merupakan salah satu organisasi persaudaraan internasional yang
telah ada sejak abad pertengahan di Eropa dan bersifat rahasia (van der Veur,
1976:1). Menurut Encyclopaedia of Religion and Ethics Vol. VI (Hastings, 1914:
118), pengertian freemasonry pada masa ini adalah asosiasi loji yang
dikelompokkan secara teritorial dibawah sebuah Grand Lodge yang dibentuk di
London pada tahun 1717, ketika terjadi penggabungan antara empat loji tertua
untuk membentuk sebuah Grand Lodge pertama di dunia.

Vrijmetselarij sendiri disebarkan di Indonesia melalui kaum elit Eropa yang


memang telah lama tinggal di Asia dan bekerja di Kompeni serta memiliki
kehidupan makmur di Batavia (Stevens, 1976: 26). Organisasi ini secara resmi ada
di Indonesia sejak didirikan loji pertama La Choisie di Batavia pada tahun 1762
atas inisiatif dari J.C.M Radermacher Junior. Radermacher Jr. adalah anak dari
J.C.M Radermacher yang merupakan Grand Master pertama dari Vrijmetselarij di
Belanda (Van der Veur, 1976: 4). Radermacher Jr. juga merupakan kelompok
kalangan elit Batavia dan anggota luar biasa Dewan Hindia Belanda / Raad
extraordinir van Nederland Indie (Haris, 1994: 5).

Universitas Indonesia
4

Van der Veur telah membuat tabel daftar loji yang ada di Hindia Belanda
sejak sebelum tahun 1815 sampai tahun 1870-an yang diambil dari daftar
keanggotaan vrijmetselarij pada tahun 1940 di Ledenlijet van de loges behoorende
tot de Provinciale Grootloge van Nederlansch-Indie; bij den aanvang van het
Werkjaar 1940 – 1941 (1976: 8). Berikut tabel daftar loji yang dibuat oleh Van der
Veur;

Tabel 1.1 Daftar loji di Hindia Belanda

Kota Tahun Dibangun Nama Loji Jumlah


Anggota (pada
tahun 1940)
Batavia 1762 La Choisie -
1767 La Fidele Sincerite -
1768 La Vertuese -
1837 De Ster in het Oosten 163
1918 Het Zuiderkruis 49
1919 De Broederketen 26
Semarang 1798 La Constante et Fidele 79
Surabaya 1809 De Vriendschap 142
Pondok Gedeh 1813 Virtutis et Artis Amici -
Yogyakarta 1870 Mataram 48
Surakarta 1872 L’union Frederic Royal 24
Probolinggo 1882 Veritas 18
Buitenzorg 1891 Excelsior 36
(sekarang
Bogor)
Magelang 1896 Tidar 22
Bandung 1896 Sint-Jan 193
Universitas Indonesia
5

1931 Broedertrouw 33
Salatiga 1896 Fraternitas 11
Tegal 1898 Humanitas 45
Malang 1901 Malang 86
Blitar 1906 Blitar 8
Kediri 1918 De Dageraad 28
Jember 1926 De Driehoek 17
Purwokerto (pertengahan 1930) Serajudal 33
Sukabumi (pertengahan 1930) De Hoeksteen 13
Padang 1858 Mata Hari 30
Kota Radja 1877 Prins Frederik 26
Makasar 1882 Arbeid Adelt 51
Medan 1889 Deli 76
Palembang (pertengahan 1930) Palembang 24

Penelitian akan berfokus pada kota Batavia atau Jakarta, Yogyakarta, dan
Surabaya. Selain dikarenakan bangunan loji di daerah lain di Jawa memang sudah
tidak ada lagi dan bangunannya sudah dihancurkan, ketiga kota ini merupakan kota
penting pada masa kolonial baik itu dalam segi politik, sosial, ekonomi, dan budaya.
Keberadaan loji Vrijmetselarij di Batavia juga jumlahnya lebih banyak
dibandingkan dengan daerah lain juga membuktikan bahwa Vrijmetselarij memiliki
pengaruh yang kuat di Batavia masa itu.

Batavia juga merupakan pusat kota pada masa pemerintahan Hindia


Belanda, dimana banyak tinggal orang-orang Eropa yang memiliki jabatan tinggi.
Selain itu Batavia merupakan pusat kedudukan Gubernur Jendral serta menjadi
pusat aktivitas VOC di Asia sampai akhir abad 18. Kota ini juga menjadi pusat

Universitas Indonesia
6

modernisasi di Asia dan merupakan pintu gerbang masuk pengaruh dan elemen-
elemen Eropa di Nusantara (Haris, 1993: 30).

Sementara itu di Surabaya terdapat loji De Vriendschap. Loji De


Vriendschap di Surabaya juga merupakan salah satu loji yang memilik pengaruh
kuat di masyarakat dan memiliki pengaruh kuat di Eropa, yang mungkin disebabkan
karena letak Surabaya sebagai kota pelabuhan (Stevens, 2004: 126). Letak
Surabaya yang strategis karena berada di ujung Selat Madura membuah pelabuhan
Surabaya tepat berada di pusat lalu lintas perdagangan (Kurniati, 1996:15). Hal ini
membuat kota Surabaya menjadi sebuah kota besar dan penting pada jaman
penjajahan Belanda.

Daerah Istimewa Yogyakarta juga merupakan sebuah kota penting karena


merupakan pusat dari keraton Yogyakarta dan terdapat hubungan antara
Vrijmetselarij dengan keraton Yogyakarta. Pada masa penjajahan Belanda, status
Kesultanan Yogyakarta tidak diatur dengan ordonnantie (undang-undang),
melainkan dalam sebuah perjanjian (politiek-contract) antara Gubernur Jenderal
Belanda dan Sri Sultan. Dalam politiek-contract yang dibuat oleh Belanda, Sri
Sultan mengakui berada di bawah kekuasaan Ratu Belanda yang diwakili oleh
Gubernur Jenderal (Poerwokoesoemo, 1968: 3 – 4). Dalam keanggotaan loji
Mataram pun banyak dipenuhi oleh anggota keraton, seperti Pangeran Soejodilogo
yang telah menjadi anggota sejak tahun 1871 (Stevens, 2004: 301). Sehingga
menarik untuk dapat melihat percampuran kebudayaan ini pada bangunan loji
Mataram.

Dari tabel yang telah dibuat terdapat 6 buah Loji di Batavia sejak sebelum
tahun 1815 sampai tahun 1870-an. Loji-loji itu adalah La Choisie, La Fidele
Sincerite, La Vertuese, De Ster in het Oosten, Het Zuiderkruis, dan De
Broederketeen. La Fidele Sincerite dan La Vertuese bergabung menjadi loji De Ster
in het Oosten pada tahun 1837. Loji La Choisie berhenti beroperasi pada tahun
Universitas Indonesia
7

1767, begitu juga dengan Het Zuiderkruis dan De Broederketeen yang ditutup pada
tahun 1955 dan tahun 1948. Sementara di Surabaya terdapat loji De Vriendschap
dan di Yogyakarta terdapat loji Mataram.

Loji-loji Vrijmetselarij juga memiliki peran penting dalam kehidupan


masyarakat di Hindia-Belanda (Stevens, 2004: xviii). Pada awalnya kedudukan
dalam loji Vrijmetselarij menjadi penting bagi orang Belanda atau Eropa untuk
mengkukuhkan diri sebagai bagian dari kelompok elit Eropa (Taylor, 2009: 158).
Loji-loji Vrijmetselarij di Jakarta yang masih ada bangunan utuh tanpa ada
pembongkaran adalah gedung BAPPENAS dan gedung Kimia Farma. Kedua loji
ini merupakan milik loji De Ster in het Oosten. Di Surabaya loji De Vriendschap
sekarang menjadi kantor Badan Pertanahan Surabaya. Sementara loji Mataram di
Daerah Istimewa Yogyakarta sekarang menjadi kantor DPRD Yogyakarta.

1.2 Masalah Penelitian

Penelitian tentang Vrijmetselarij di Indonesia ini memang sudah ada namun


belum ada yang mengkhususkan tentang gaya bangunan dari loji-lojinya. Sehingga
penelitian ini membahas mengenai gaya bangunan apa yang ada pada loji-loji
Vrijmetselarij tersebut. Simbol-simbol Vrijmetselarij juga jelas diperlihatkan pada
gedung BAPPENAS, gedung Kimia Farma, dan gedung BPN Surabaya. Sehingga
ketika sekarang simbol ini telah dihilangkan, ingin diketahaui apakah Vrijmetselarij
menunjukkan ciri-ciri khusus pada bangunan lojinya selain dengan penempatan
simbol. Menurut Renfrew (2004: 129 – 130) benda material dapat menjadi simbol
dalam merepresentasikan sejarah benda tersebut. Sehingga dari penelitian ini ingin
diketahui gaya bangunan apakah yang dimiliki oleh loji-loji Vrijmetselarij.

Loji-loji Vrijmetselarij tersebut tentu memiliki gaya bangunan tertentu yang


berbeda dengan pengertian bangunan loji lainnnya. Sehingga dengan melihat dari
Universitas Indonesia
8

segi keletakan dan bentuk dapat diketahui gaya bangunan apakah yang dimiliki oleh
loji-loji Vrijmetselarij. Pembangunan loji-loji pada jangka tahun berbeda tentu juga
membuat perbedaan dalam gaya arsitektur yang digunakan mengikuti dengan trend
yang ada pada masyarakat masa itu. Sehingga permasalahan yang ingin dilihat
dalam penulisan ini adalah:

 Gaya bangunan apa saja yang terdapat pada loji-loji Vrijmetselarij di


Jakarta, Yogyakarta, Surabaya

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengetahui unsur-unsur gaya seni bangunan yang terdapat pada loji-loji


Vrijmetselarij.
2. Mencari tahu ciri-ciri khusus dari bangunan loji Vrijmetselarij

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Bermanfaat sebagai data sejarah perkembangan keberadaan Vrijmetselarij


melalui peninggalan bangunannya di Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta.
2. Penelitian ini juga memberikan manfaat terhadap perkembangan gaya
bangunan arsitektur khususnya pada loji-loji Vrijmetselarij.
3. Diharapkan penelitian dapat menjadi acuan dalam meneliti mengenai loji-
loji Vrijmetselarij di daerah lain.
4. Sebagai perekaman dan pencatatan data mengingat banyak loji-loji
Vrijmetselarij di daerah lain yang sudah dihancurkan.

Universitas Indonesia
9

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini membahas mengenai peninggalan gedung loji Vrijmetselarij


khususnya yang berada di pulau Jawa, yaitu di kota Daerah Istimewa Yogyakarta,
Surabaya, dan Jakarta. Di Jakarta terdapat gedung Laboratorium Kimia Farma di
Jl. Budi Utomo yang dulunya merupakan gedung loji La Vertuese yang kemudian
menjadi gedung loji De Ster in het Oosten sebelum kemudian berpindah ke gedung
baru yaitu gedung BAPPENAS yang dulunya bernama Adhuc Stat.

Di Surabaya terdapat gedung BPN Surabaya yang dulu menjadi gedung loji
De Vriendschap, dan di kota Daerah Istimewa Yogyakarta terdapat gedung DPRD
DIY yang dulu menjadi gedung loji Mataram.Penulis membatasi penelitian hanya
pada bagian gedung lama saja karena banyak diantara bangunan-bangunan tersebut
yang sudah ditambahkan bangunan baru. Hal ini dikarenakan yang menjadi tujuan
dari penelitian adalah mencari tahu gaya bangunan dari loji Vrijmetselarij.

1.5 Riwayat Penelitian

Penelitian mengenai Vrijmetselarij di Indonesia pada masa Kolonial


Belanda memang belum banyak dilakukan namun terdapat dua sumber pustaka
yang membahas khusus mengenai hal ini yaitu laporan penelitian yang dilakukan
oleh Paul W. Van der Veur dengan judul “Freemasonry in Indonesia from
Radermacher to Soekanto, 1762 – 1961” dan buku dari Dr. Th. Stevens dengan
judul “Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia-Belanda dan Indonesia
1764 – 1962”. Terdapat juga skripsi mengenai hubungan kaum Vrijmetselarij
dengan elit pribumi di Jawa (1908 – 1962) yang dibuat oleh Tri Ilham Pramudya
pada tahun 2012 dan skripsi yang dibuat oleh Panji Syofiadisna mengenai tugu
Yogyakarta dan kaitannya dengan Freemason dengan judul “Ornamen dan Bentuk
Tugu Yogyakarta Pasca Renovasi Tahun 1889” pada tahun 2013.

Universitas Indonesia
10

Penelitian mengenai gaya bangunan kolonial di Indonesia sudah banyak


dilakukan seperti skripsi dari Tanty Wulandari mengenai gaya bangunan balaikota
Jakarta, skripsi dari Agustinus David mengenai bentuk dan gaya bangunan
balaikota Cirebon. Banyak juga yang membahas mengenai gaya bangunan gereja
seperti skripsi dari Ario Febrianto tentang gaya bangunan gereja Santa Theresia
Menteng, Cheviano Eduardo mengenai gaya bangunan gereja Santa Perawan Maria
Bogor, Albertus Napitupulu mengenai bentuk dan gaya bangunan GPIB Bethel di
Bandung, dan masih banyak lainnya. Penelitian mengenai gaya arsitektur juga
pernah dilakukan oleh skripsi dari Eka Kartika mengenai tinjauan gaya arsitektur
toko merah di Jakarta abad 18 Masehi dan juga oleh Alin Musfiroh mengenai
tinjauan bentuk arsitektur pada gedung Bataviasche Kunstkring. Serta skripsi dari
Dede Semiawan dengan judul Bangunan-bangunan Pendidikan di Batavia Abad ke-
19 dan 20: Tinjauan Gaya Bangunan.

Penelitian mengenai kelima bangunan ini juga terdapat dalam buku Adolf
Heuken yang berjudul Historical Sites of Jakarta dan Menteng: Kota Taman
Pertama di Indonesia yang membahas mengenai gedung BAPPENAS dan gedung
Kimia Farma di Jl. Budi Utomo. Pada kedua buku tersebut hanya dijelaskan sekilas
mengenai sejarah dan bentuk bangunannya. Laporan mengenai BAPPENAS juga
terdapat di Arsip Nasional Republik Indonesia namun hanya berupa laporan rapat
negara dan laporan renovasi gedung. Laporan mengenai gedung DPRD DIY juga
sudah dibuat pendataan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Yogyakarta, namun
hanya berupa sejarah singkat bangunan dan penjelasan singkat mengenai gedung
tersebut. Inventarisasi sudah dilakukan antara lain oleh Pusat Dokumentasi
Arsitektur, Balai Pelestarian Cagar Budaya Yogyakarta, dan Dinas Permuseuman
DKI Jakarta namun tidak memberikan gambaran lengkap dari setiap unsur
bangunan yang ada.

Universitas Indonesia
11

1.6 Metode Penelitian

Penelitian arkeologi memiliki tahapan-tahapan dalam penelitiannya yaitu


Observasi/Pengumpulan Data, Dekripsi/Pengolahan Data, dan Eksplanasi/
Penafsiran data (Deetz, 1967: 8). Sehingga tahapan penelitian yang akan dipakai
dalam penelitian ini adalah:

1.6.1 Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang dilakukan berupa data pustaka dan data lapangan.
Data pustaka yang dikumpulkan, berupa buku ataupun laporan penelitian tentang
loji-loji Vrijmetselarij, gedung BAPPENAS, gedung Kimia Farma, gedung BPN
Surabaya, dan gedung DPRD DI Yogyakarta. Selain itu dikumpulkan juga buku-
buku ataupun laporan penelitian mengenai gaya bangunan dan yang memiliki
informasi terkait dengan Vrijmetselarij, gedung BAPPENAS, gedung Kimia
Farma, gedung BPN Surabaya, dan gedung DPRD DI Yogyakarta.

Karena yang dianalisis merupakan gaya bangunan, maka data dikumpulkan


adalah elemen-elemen bangunan yang terdapat pada bangunan. Seperti lantai,
dinding, tiang, langit-langit, atap, pintu, jendela, lubang ventilasi, pilaster1,
console2, tritisan, tangga, atau lampu. Dan juga bentuk ornamental yang ada pada
keempat bangunan tersebut.

Data ini diperoleh dengan cara observasi dan survey lapangan menyeluruh.
Dilakukan pengambilan foto atau gambar, baik itu yang menjelaskan tentang
bangunan tersebut di masa lampau maupun kegiatan dan simbol-simbol dari

1
Pilar yang menempel pada dinding dan biasanya terdapat dasar, kolom, dan kepala serta digunakan
sebagai unsur dekoratif, namun bukan termasuk unsur konstruksi. Biasanya berbentuk persegi
panjang atau ½ lingkaran, dan berada dekat pintu masuk. Terkadang dikonstruksikan sebagai
proyeksi dari bangunan (Harris, 1977: 419).
2
Bagian dekoratif yang berbentuk gulungan vertical dan berada di dinding untuk menyokong
cornice, pintu, atau kepala jendela dan terdapat pahatan/ukiran (Harris, 1977: 133).
Universitas Indonesia
12

Vrijmetselarij. Foto gedung pada masa kolonial juga diperoleh dari inventaris Pusat
Dokumentasi Arsitektur, kitlv-nl, dan tropenmuseum.nl

1.6.2 Pengolahan Data

Data yang telah ada kemudian diproses dengan dilakukan deskripsi verbal
dan piktorial. Deskripsi verbal adalah mendeskripsikan data dalam bentuk naratif
dan deskripsi piktorial adalah memberikan gambar atau sketsa. Setelah itu
dilakukan analisis data yang dilakukan dengan cara mengelompokkan bangunan
kedalam dua bagian, yaitu komponen arsitektural dan komponen ornamental.

Komponen arsitektural adalah bagian dari bangunan yang harus ada dalam
sebuah bangunan dan bila tidak ada akan merusak keseimbangan bangunan.
Sementara komponen ornamental adalah elemen dekorasi yang meskipun tidak
diperlukan untuk menjalankan fungsi praktis, digunakan untuk membantu
menghias bangunan. Bentuk pengolahan data seperti ini merujuk pada pengolahan
elemen arsitektural pada buku Bentuk dan Fungsi Arsitektur (TT: 14 - 16).

Kemudian dilakukan juga klasifikasi pada unsur-unsur pembentuk dan


unsur ornamental pada keempat gedung tersebut. Klasifikasi dan analisis dilakukan
pada komponen bangunan yang masih asli dan belum mengalami perubahan.
Kemudian dilakukan perbandingan antara data dengan bentuk kebudayaan yang
serupa. Hal ini diperlukan agar mendapatkan hasil yang tepat pada saat penafsiran
data.

1.6.3 Penafsiran Data

Penafsiran data dilakukan dengan melihat hasil analisis. Hasil penafsiran


dari tahap pengolahan data dan analisis dibuat dengan tulisan deskriptif dengan
melampirkan gambar, foto, dan tabel beserta keterangannya. Kemudian dapat
tercipta kesimpulan untuk menjawab pertanyaan penelitian yaitu gaya bangunan
apa yang ada pada loji-loji Vrijmetselarij di Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta.
Universitas Indonesia
13

1.7 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini terdiri dari 5 bab yaitu Bab 1, Bab 2, Bab 3, Bab 4, dan
Bab 5.

BAB 1: PENDAHULUAN

Bab 1 berisi tentang latar belakang dalam pemilihan judul, permasalahan penelitian,
tujuan dan manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian, riwayata penlitian, metde
penelitian serta sistematika penulisan.

BAB 2: GAMBARAN GAYA BANGUNAN DI HINDIA BELANDA

Bab 2 menjelaskan mengenai konsep gaya bangunan di Indonesia pada masa


kolonial. Penjelasan mengenai konsep ini dapat membantu untuk analisis mengenai
gaya bangunan di bab 4.

BAB 3: SEJARAH DAN DESKRIPSI LOJI VRIJMETSELARIJ DI


JAKARTA, SURABAYA, DAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA.

Bab 3 berisi tentang latar sejarah singkat dari masing-masing bangunan, yaitu
gedung Kimia Farma, gedung BAPPENAS, gedung BPN Surabaya, dan gedung
DPRD Yogyakarta. Kemudian terdapat juga deskripsi verbal dan piktorial
komponen arsitektural dan ornamental dari setiap gedung.

BAB 4: IDENTIFIKASI GAYA BANGUNAN

Bab 4 menjelaskan mengenai identifikasi gaya bangunan dari setiap gedung.


Identifikasi gaya bangunan ini beradasarkan dari komponen arsitektural dan
ornamental yang ada pada bangunan.

Universitas Indonesia
14

BAB 5: KESIMPULAN

Bab 5 menjelaskan mengenai kesimpulan gaya bangunan dari setiap gedung.


Setelah dilakukan identifikasi pada bab 4, sehingga kemudian dapat dicapai
kesimpulan yang ditulis di bab 5. Serta menjelaskan mengenai simbol-simbol
Vrijmetselarij yang ada pada setiap gedung.

Universitas Indonesia
15

BAB II
GAMBARAN GAYA BANGUNAN DI HINDIA BELANDA

Arsitektur kolonial di Indonesia adalah sebuah fenomena budaya yang unik


karena terdapat percampuran budaya antara penjajah dengan budaya asli Indonesia
yang beraneka ragam. Pada masa penjajahan Belanda, Indonesia mengalami
pengaruh Barat khususnya dari Eropa dalam berbagai segi kehidupan termasuk
kebudayaan. Hal ini dapat terlihat dalam bentuk tata ruang kota dan arsitektur
bangunan (Sumalyo, 1995: 2-3). Indonesia atau yang dulu disebut juga Hindia
Belanda banyak memiliki bentuk bangunan dengan gaya Eropa karena para
arsiteknya memang kebanyakan orang Eropa dan berlatar pendidikan Belanda.
Sehingga bentuk bangunan yang dihasilkan memiliki kesamaan dengan bentuk
bangunan yang ada di Eropa.

Di Eropa, gaya Arsitektur pertama kali dikenal saat masa kebudayaan


Yunani, Romawi, Kristen Awal, Bisantin, Carolingian & Romanesque, Gotik,
Reinaissance, Barok, dan Rokoko. Gaya ini disebut juga sebagai gaya Klasik.
Kemudian mulai muncul juga gerakan lain seperti Neo-Klasik yang mulai pada
awal abad 19, dimana gaya arsitektur mulai dipengaruhi oleh politik modern
(Sumalyo, 2003: 2). Kemudian terdapat juga gaya modern dengan penggunaan
bahan dari baja dan beton bertulang serta bahan-bahan yang tidak digunakan pada
masa arsitektur klasik.

Kemudian muncul lagi gaya Post-Modern pada abad 20, dengan bentuk
yang unik dan kreatif. Seperti yang sudah disebutkan bahwa terdapat bentuk
percampuran antara budaya Eropa dengan budaya Indonesia, terdapat juga gaya
arsitektur Indis. Gaya ini memakai bentuk bangunan barat namun dengan elemen-
elemen tradisional Indonesia di dalamnya. Bentuk perbandingan gaya dan contoh
bangunannyadapat dilihat pada tabel 2.1.
Universitas Indonesia
16

Tabel 2.1 Tabel Contoh Bentuk Bangunan

No Gaya Bangunan Contoh Bentuk Bangunan


1 Gaya Yunani

(Sumber: clipart.com, 2015)


2 Gaya Romawi

(Sumber: arsitekturpoint.wordpress.com, 2015)


3 Gaya Kristen
Awal

Gereja S. Stefano Rotondo, Roma (Sumber: Sumalyo, 2003: 61)


4 Gaya Bisantin

Hagia Sophia (Sumber: Greatbuildings.com, 2015)

Universitas Indonesia
17

5 Gaya Carolingian
& Romanesque

Gereja Apostles Perancis (Sumber: Sumalyo, 2003: 111)


6 Gaya Gotik

Gereja Notre Dame (Sumber:


http://englishforarchitects.pbworks.com, 2015)
7 Gaya Reinassance

Porta Palio, Verona (Sumber: Curl, 2003:77)


8 Gaya Barok &
Rokoko

Palazzo Barberini (Sumber: http://www.arborsapientiae.com,


2015)

Universitas Indonesia
18

9 Gaya Neo-Klasik
& Eklektik

Gedung Parlemen di Wina, Austria (Sumber: Sumalyo, 2003:


486)
10 Gaya Modern

Empire State Building (Sumber: http://skyscraperpage.com,


2015)
11 Gaya Post-
Modernisme

Dancing House in Prague (Sumber:


https://postmoderntherapies.wikispaces.com, 2015)
12 Gaya Indis

Balai Kota Jakarta (Sumber: jakarta.go.id, 2015)

Universitas Indonesia
19

2.1 Gaya Yunani

Kebudayaan Yunani berkembang kira-kira pada abad 3000 – 30 SM. Seni


bangunan yang berkembang pada masa kebudayaan Yunani dibentuk oleh dua
elemen utama, yaitu kolom dan balok. Bahan konstruksi utamanya berupa batu
yang dipahat dan dibentuk (Sumalyo, 2003: 6). Bagian depan bangunan terdiri dari
tangga masuk dan deretan kolom yang melintang dan menyangga ujung terdepan
dari atap yang berbentuk segitiga /pediment (lihat gambar 2.1).

Pediment sendiri terdiri dari cornice3 yaitu bingkai keliling segi tiga dari
molding4. Di bagian tengah dalam bingkai terdapat tympanum5 yang biasanya di
dalamnya terdapat dekorasi berupa relief atau patung-patung. Pediment berada
diatas alas balok horisontal yang disebut juga dengan entablature (Sumalyo, 2003:8
– 9). Susunan/konstruksi kolom dan entablature disebut juga dengan Order yang
kemudian dibagi menjadi dasar (base), kolom (saft), kepala (capital), dan
entablature (Sumalyo, 2003: 524).

3
Proyeksi menonjol yang ditempelkan untuk menghias atau mengakhiri suatu bagian ketiga atau
bagian teratas dari entablature dan terletak dibawah langit-langit (Harris, 1977: 141).
4
Bagian dari konstruksi atau dekorasi yang dibuat dengan berbagai macam bentuk dan diletakkan
pada cornice, capital, base, pintu, atau jendela (Harris, 1977: 357).
5
Bentuk segitiga ataupun ruang kosong yang dikelilingi oleh pediment. Terdapat pada bagian atas
jendela, pintu, atau pada bagian lengkungan (Harris, 1977: 556).
Universitas Indonesia
20

Gambar 2.1 Bagian-bagian Utama Arsitektur Yunani


(Sumber: Sumalyo, 2003: 8)

Kemudian arsitektur Order berkembang lagi menjadi tiga macam yaitu


Dorik, Ionik, dan Korintien (lihat gambar 2.2). Ketiga Order ini sama-sama
memiliki denah segi empat panjang, dan bagian depan terletak pada sisi terpendek
dengan bagian tengah sebagai bagian utama. Order ini kemudian dikeliling oleh
portico atau teras dan juga deretan kolom.

Order Dorik memiliki ciri-ciri yaitu kolom yang lebar, berdiri tanpa base
(langsung diatas crepidoma yang biasanya memiliki tiga tingkat tangga), dan kolom
yang rapat (Sumalyo, 2003: 9). Order Ionik memiliki capital dengan hiasan yang
lebih indah dan kolomnya memiliki diameter yang lebih kecil dibandingkan dengan
Order Dorik (Sumalyo, 2003: 14). Pada Order Korintien, kolom dan landasan
(base) mirip dengan Ionik yang langsing. Bagian capital Order Korintien biasanya
lebih bervariasi dan rumit serta proporsi dengan kolom dibawahnya lebih tinggi.

Universitas Indonesia
21

Gambar 2.2 Bentuk Tiang Yunani (Dorik, Ionik, Korinthian)


(Sumber: Sumalyo, 2003: 21)

2.2 Gaya Romawi

Pada arsitektur Romawi, masih banyak gaya arsitektur yang mengikuti


dengan arsitektur Yunani, namun terdapat hal yang baru yaitu adanya penggunaaan
bentuk konstruksi pelengkung. Pelengkung menjadi bagian yang penting karena
berfungsi sebagai konstruksi yang menggantikan kolom dan balok (Sumalyo, 2003:
46). Sehingga bentuk kolom dan balok Yunani hanya menjadi bagian dekorasi.
Walaupun masih ada bangunan yang menggunakan sistem kolom dan balok namun
konstruksi, komposisi, proporsi, dan dekorasinya berbeda dengan ketiga Order
Yunani (Sumalyo, 2003: 29).

Elemen Order Yunani dalam arsitektur Romawi hanya digunakan untuk


menghias pilaster dan balok (tidak terkait dengan konstruksi). Selain bentuk
lengkung dan kubah terdapat juga sistem konstruksi dinding atau biasa disebut
dengan bearing wall (lihat gambar 2.3). Pada arsitektur Romawi juga sudah
digunakan bahan semen sebagai bahan perekat dalam mendirikan bangunan

Universitas Indonesia
22

sehingga dapat membuat bangunan besar yang lebar tanpa tiang-tiang di tengah
(Sumalyo, 2003: 525).

Gambar 2.3 Bentuk Kubah Romawi


(Sumber: Watterson, 1968: 41)

Pada Gaya Romawi kolom-kolom khas gaya Yunani diadopsi ulang dan
disesuaikan dengan ciri khas Romawi, yang kemudian menghasilkan dua Order
(lihat gambar 2.4). Dua Order tersebut adalah Order tuskan dan Order Komposit.
Order Tuskan merupakan penyederhanaan dari Order dorik sehingga lebih terlihat
ringan tanpa hiasan apa pun, sedangkan Order komposit lebih banyak memiliki
ornamen, Capitalnya merupakan gabungan dari Order ionik dan korintian. Tidak
hanya menggunakan dua Order tersebut, tetapi Order Yunani juga masih
dipergunakan. Pada Gaya Romawi, kelima Order (dorik, ionik, korintian, tuskan,
dan komposit) memiliki base agar terlihat tinggi dan langsing (Watterson, 1968:
43).

Universitas Indonesia
23

Gambar 2.4 Jenis Order Masa Romawi (kiri-kanan: Tuscan, Dorik, Ionik, Korinthian, Komposit)
(Sumber: Watterson, 1968: 44)

2.3 Gaya Kristen Awal

Arsitektur Kristen Awal merupakan kelanjutan dan perkembangan dari


arsitektur Romawi. Pelengkung sebagai konstruksi utama dengan berbagai bentuk
Order Yunani digabungkan dan dipakai sebagai kolom penyangga dari deretan
pelengkung. Jika pada arsitektur Yunani, deretan Order dipakai pada wajah
bangunan (fasade), pada arsitektur Kristen Awal dipakai membujur di sisi kiri-
kanan dari nave6, menjadi batas dengan aisle7. Terkadang pelengkung ataupun
kubah digunakan juga sebagai bagian dari dekorasi (Sumalyo, 2003: 526).

Fungsi pelengkung tidak terlalu berperan dalam konstruksi ketika sudah


mulai dikenal konstruksi kuda-kuda dari kayu. Di dalam ruangan bentuk

6
Perpanjangan dari bagian tengah ataupun sisi samping lorong (aisle) dari sebuah gereja dari pintu
masuk dan bagian dari gereja yang dimaksudkan untuk masyarakat umum (Harris, 1977: 371)
7
1. Bagian memanjang antara bangku di auditorium atau gereja; 2. Bagian yang mengapit nave
pada gereja yang biasanya dipisahkan oleh pilar-pilar berbentuk lorong (Harris, 1977: 8)
Universitas Indonesia
24

pelengkung bukan lagi menjadi bagian konstruksi namun hanya menjadi plafon
penutup kuda-kuda dan kerangka atap lainnya. Ciri-ciri lain dari arsitektur Klasik
Kristen Awal adalah wajah depannya berupa proyeksi dari penampang melintang
dan berbentuk simetris. Kemudian dibuat juga jendela atas berderet pada dinding
(Sumalyo, 2003: 526). Pada arsitektur masa Kristen Awal banyak terdapat dekorasi
seperti mozaik atau lukisan dinding (lihat gambar 2.5). Terdapat juga hiasan
geometrik pada lantai, dinding, ukiran pada pintu dan jendela (Sumalyo, 2003: 66).

Gambar 2.5 Bentuk Ornamen Dekorasi pada Gaya Kristen Awal


(Sumber: Sumalyo, 2003: 66)

2.4 Gaya Bisantin (Byzantine)

Menurut Boediono (1997: 13), gaya Byzantium bermula pada abad VI


Masehi yang berasal dari berbagai macam kebudayaan, seperti:

a. Gaya klasik seni Romawi-hedonis yang tidak berbau keagamaan


b. Budaya pembuatan makam bawah tanah gaya gereja Kristen-
Romawi dari abad II – III Masehi
c. Banyaknya pembangunan gereja Kristen kuno di Yunani
Universitas Indonesia
25

Pada jaman Bisantin penggunaaan kubah ataupun setengah kubah yang


dipakai pada arsitektur Romawi mulai berkembang menjadi elemen utama (lihat
gambar 2.6). Elemen Yunani, Romawi, dan Kristen Awal juga masih digunakan
namun hanya berupa hiasan. Bentuk kubah yang tadinya menjadi elemen struktur,
mulai bervariasi fungsinya dan dipakai sebagai elemen penghias. Konstruksi
dinding (bearing wall) juga menjadi bagian dari struktur utama dalam arsitektur
Bisantin (Sumalyo, 2003: 527).

Gambar 2.6 Kubah Gaya Bisantin


(Sumber: Boediono, 1997: 19)

Jenis dekorasi pada kepala kolom (capital) menjadi lebih bervariasi dengan
bentuk ornamen seni setempat. Kemudian terdapat juga bentuk arsitektur baru,
yaitu terdapat sudut peralihan dari dinding melingkar (drum) yang menjadi alas dari
kubah dengan denah bujur sangkar yang disebut sebagai pendentive (lihat gambar
2.7). Bagian ini kemudian dihias oleh relif atau lukisan seperti pada bidang ceruk
kubah (Sumalyo, 2003: 527).

Universitas Indonesia
26

Gambar 2.7 Bentuk Pendentive pada Kubah Gaya Bisantin


(Sumber: Watterson, 1968: 71)

2.5 Gaya Carolingian dan Romanesque

Carolingian adalah istilah yang dipakai untuk menyebut wilayah kekuasaan


dari raja Charlemagne. Gaya ini muncul terlebih dahulu yang kemudian
berkembang menjadi gaya Romanesque (Sumalyo, 2003: 106 – 112). Pada
dasarnya gaya Carolingian dan Romanesque merupakan gabungan dari arsitektur
Romawi dan Bisantin baik dari segi ciri-ciri ataupun konsep. Bentuk-bentuk
lengkung dari arsitektur ini tidak hanya pada konstruksi tetapi juga pada denah,
seperti digabungkan dengan denah segi empat atau bujur sangkar, yang juga
merupakan hasil pengaruh arsitektur Romawi. Sehingga kemudian terbentuk atap
kubah, piramidal, kerucut, dan kerucut patah-patah (Sumalyo, 2003: 528). Gaya
Carolingian dari segi detail masih dipengaruhi gaya-gaya sebelumnya namun
terdapat perkembangan dari segi denah dan bangunan.

Bangunan dengan gaya Romanesque memiliki dinding tebal, kokoh, kuat,


masif, dengan struktur lengkung dan kubah ataupun setengah kubah. Bentuk
konstruksi penyangga melengkung ini kemudian mengilhami perubahan gaya baru,
yaitu gaya Gotik (Boediono, 1997: 55). Kemudian terdapat juga menara-menara
tinggi baik itu sebagai menara pengawas ataupun menara gereja yang kemudian
menjadi ciri arsitektur atau kota masa Romanesque. Dekorasi arsitektur mulai

Universitas Indonesia
27

memakai bentuk-bentuk yang diambil dari bagian konstruksi elemen pertahanan


(lihat gambar 2.8). Seperti memakai bentuk bastion8, battlement9, dan lengkung-
lengkung kecil berderet di dinding (Sumalyo, 2003: 528).

Gambar 2.8 Ornamen Gaya Romanik


(Sumber: Boediono, 1997: 76)

2.6 Gaya Gotik

Gaya Gotik adalah puncak seni arsitektur Abad Pertengahan. Gaya Gotik
adalah kelanjutan dan merupakan bentuk ekstrim dari gaya Romanesque dan gaya-
gaya sebelumnya. Banyak terdapat bentuk menjulang dan runcing seperti pada
Romanesque yang menjadi ciri utama gaya Gotik. Bentuk runcing dalam arsitektur
Gotik tidak hanya pada menara namun juga pada seluruh bagian bangunan terutama
bagian atas, seperti pada puncak kolom. Ciri khas dari Gotik juga adalah dekorasi
kolom melayang atau flying butress (Sumalyo, 2003: 528 – 529). Tiga elemen
konstruksi khas Gotik adalah kerangka atap yang melengkung, kontruksi tiang

8
Bagian dari bentuk pertahanan yang berdenah bulat, persegi panjang, atau polygonal yang
menyerupai dan memproyeksikan tembok terluar sebuah benteng dengan maksud untuk
merpetahankan serangan (Harris, 1977: 52)
9
1. Sebuah tembok pembatas yang diperkuat dengan bahan padat. Sebagai bentuk pertahanan
namun dapat juga digunakan sebagai motif dekorasi; 2. Atap atau balkon yang berfungsi sebagai
pos pertahanan (Harris, 1977: 53)
Universitas Indonesia
28

penopang di luar bangunan, dan lengkungan yang menyudut (Boediono, 1997:


104).

Gambar 2.9 Kerangka Atap Gaya Gotik dan Bentuk dari Flying Buttress
(Sumber: Boediono, 1997: 99)

Pada arsitektur Gotik juga terdapat konstruksi rib vault yang terbentuk
karena pelengkung dan kubah ditarik ke atas menjadi pelengkung patah. Sehingga
arsitektur Gotik sering juga disebut sebagai arsitektur Pointed Arch (Pelengkung
Runcing) atau juga biasa disebut “arsitektur vertikalisme” karena dominannya
elemen-elemen vertikal (lihat gambar 2.9). Selain terdapat dekorasi fungsional
seperti elemen konstruksi, arsitektur Gotik banyak dihiasi oleh patung, relief, dan
lukisan yang memenuhi hampir seluruh bagian bangunan (Sumalyo, 2003: 529).
Jendela-jendela dibuat semakin besar dan fasade serta gerbang utama diberi banyak
hiasan dan ornamen. Dinding diberikan hiasan berupa jendela bulat besar yang
berbentuk bunga mawar (rose window) yang terbuat dari kaca mosaik berwarna-
warni (Boediono, 1997: 98). Contoh bentuk bangunan Gotik di Hindia Belanda
terdapat pada gereja Katedral Jakarta (lihat foto 2.1).

Universitas Indonesia
29

Foto 2.1 Bentuk Neo-Gotik pada Gereja Katedral Jakarta


(Sumber: http://collectie.tropenmuseum.nl, 2015)

2.7 Gaya Renaissance

Reinassance berasal dari kata Itali yaitu rinascimento yang berarti kelahiran
kembali. Konsep arsitektur Reinassance bertolak belakang dengan konsep Gotik
yang sangat vertikal, karena arsitektur gaya ini mendasarkan pada horisontalisme.
Elemen-elemen bangunan termasuk dekorasi tidak menjulang ke atas namun
berderet melebar (Sumalyo, 2003: 529). Berbeda dengan zaman Gotik, bentuk
bangunan pada masa Renaissance ditunjukkan dengan gaya bangunan yang
sederhana dan jelas.

Pada gaya ini juga banyak digunakan bentuk lingkaran, bujursangkar,


kubus, bola, dan tabung yang memperlihatkan kesan rasional. Kombinasi baru dari
gaya Renaissance adalah bentuk jendela-jendela tinggi dan sempit tanpa
lengkungan, yang diletakkan pada fasade horisontal. Kemudian bangunan juga
dibuat dengan bentuk blok yang berulang dengan tinggi yang seragam serta jendela

Universitas Indonesia
30

berderet dengan jarak dan besar yang sama (Boediono, 2997: 18). Contoh bentuk
bangunan gaya Reinassance dapat terlihat di Museum Bank Indonesia di Jakarta
(lihat foto 2.2).

Foto 2.2 Contoh Gaya Reinassance pada Museum Bank Indonesia


(Sumber: http://media-kitlv.nl, 2015)

Garis batas lantai bawah dan di atasnya di-perlihatkan pada sisi luar
bangunan dengan entablature, molding, dan alur dekorasi (lihat gambar 2.10).
Unsur simetrisme juga membuat bangunan gaya Reinassance menjadi lebih megah
dan berwibawa. Konsep Reinassance dipakai tidak hanya pada satu bangunan
melainkan pada banyak bangunan, bahkan dalam lingkup kota sehingga menjadi
satu sistem (Sumalyo, 2003: 530).

Universitas Indonesia
31

Gambar 2.10 Ornamen Gaya Reinassance


(Sumber: Watterson, 1968: 170)

2. 8 Gaya Barok (Baroque) dan Rokoko (Rococo)

Konsep dasar pada gaya Barok adalah bangunan yang memusat dengan
mahkota kubah yang digabung dengan bangunan memanjang. Denah dibagi
menjadi tiga bagian yaitu gerbang, jalan, dan bangunan. Bangunan pada gaya Barok
dibagi menjadi tiga bagian penting yaitu fasade (wajah bangunan), ruang tengah,
dan kubah berelung (Boediono, 1997: 122). Horisontalisme dan simetrisisme masih
dominan dalam Barok, namun dekorasinya menjadi lebih ramai dan memenuhi
hampir seluruh bagian bangunan, termasuk ke plafon, yang identik dengan dekorasi
pada arsitektur Gotik )Sumalyo, 2003: 530).

Pada arsitektur Barok banyak pola yang berberlok-belok, lengkung, kurva,


dan melingkar dengaan dekorasi motif flora. Denah cenderung tidak lagi siku-siku
namun lengkung, begitu juga dengan dinding dan plafon. Konsepnya dibuat seperti
mengulur dengan denah memusat dan pemusatan denah membujur (Sumalyo, 2003:
531). Pembuatan gerbang masuk yang menjorok keluar serta sayap bangunan di

Universitas Indonesia
32

samping yang menjorok ke belakang memberikan kesan pengaturan denah


bangunan berporos di tengah melalui fasadenya (Boediono, 1997: 123). Contoh
bentuk bangunan bergaya Barok di Hindia Belanda terdapat pada bangunan Toko
Merah di daerah Jakarta (lihat foto 2.3).

Foto 2.3 Contoh gaya Barok pada Toko Merah Jakarta


(Sumber: http://www.tropenmuseum.nl/ , 2015)

Rokoko merupakan bagian tahap akhir dan puncak dari perkembangan


arsitektur Barok. Simetrisisisme, horisontalisme, dekorasi, ataupun denah dalam
Rokoko tidak berbeda dengan Barok. Akan tetapi pola ornamen mulai abstrak, non
figuratif, dan tidak simetris (lihat gambar 2.11). Penggunaan warna dalam arsitektur
Barok cenderung gelap sementara warna-warni pada bangunan Rokoko ringan,
cerah, dan terkadang mencolok (Sumalyo, 2003: 531).

Universitas Indonesia
33

Gambar 2.11 Ornamen Rokoko


(Sumber: http://digitalcollections.nypl.org/, 2015)

2.9 Gaya Neo-Klasik dan Eklektik

Neo-Klasik adalah suatu gaya dimana banyak pengulangan kembali bentuk


lama secara utuh walaupun memiliki sistem konstruksi, material, dan fungsi yang
berbeda. Contohnya seperti arsitektur kuil Yunani diterapkan pada gereja, bentuk
runcing Gotik diterapkan pada kantor, dan lain-lain. Bentuk lama yang diulang
secara utuh atau dominan menjadi sebutan alirannya seperti: Neoklasik Gotik,
Neoklasik Yunani, Neoklasik Romanesque (Sumalyo, 2003: 479).

Menurut Pevsner yang dikutip dari Sumalyo (2003: 480), bangunan hasil
penerapan konsep Neoklasikisme biasanya menerapkan kaidah-kaidah dari suatu
bentuk arsitektur yang diulangnya. Dekorasi dalam arsitektur Neoklasik mulai
dikurangi bahkan sering dihilangkan. Penggunaan Order Yunani juga kembali
difungsikan secara struktural setelah sebelumnya pada gaya Romawi hanya
dijadikan sebagai dekorasi.

Universitas Indonesia
34

Kemudian terdapat juga gaya Eklektisme, dimana artinya adalah gaya yang
menggabungkan elemen-elemen dari gaya terdahulu. Perbedaan dengan Neo-klasik
adalah pada Eklektisme banyak elemen yang digabungkan dari gaya Yunani,
Romawi, Byzantine, serta Romanesque yang dijadikan satu dan tidak ada yang
dominan (Sumalyo, 2003: 491). Perkembangan teknologi membuat arsitektur Neo-
klasik dan Eklektik dapat dibangun dengan lebih cepat dengan ukuran yang lebih
besar.

Gambar 2.12 Elemen Empire Style, salah satu aliran dalam arsitektur Neo-Klasik
(Sumber: http://glanmore.ca/second-empire-style-architecture/, 2015)

Gaya Neo-Klasik kemudian berkembang di Indonesia dengan sebutan Empire


Style atau Indische Empire Style. Empire Style sendiri merupakan salah satu fase
gaya Neoklasik yang populer di Perancis pada abad 18 (lihat gambar 2.12). Menurut
Akihary yang dikutip dari Handinoto (1996: 132) gaya Empire Style adalah sebuah
gaya neo-klasik yang tersebar di daerah Perancis yang kemudian diterjemahkan di
Indonesia sebagai suatu gaya arsitektur Hindia Belanda yang bercitra kolonial dan
disesuaikan dengan lingkungan lokal. Gaya ini dibawa oleh Gubernur Jenderal
Herman Willem Daendels saat memerintah Hindia Belanda.

Universitas Indonesia
35

Kemudian disesuaikan dengan kondisi lingkungan tropis sehingga


menghasilkan percampuran antara gaya klasik eropa dengan gaya Indis yang
disebut juga gaya Indische Empire (lihat gambar 2.13). Ciri-ciri dari gaya ini adalah
denah yang simetris, terdapat ruang utama yang langsung menuju ke bagian teras
depan dan belakang, teras/serambi di depan dan bagian belakang bangunan luas
dan terdapat barisan kolom baik itu Yunani ataupun Romawi. Ruang-ruang seperti
toilet, dapur, gudang terletak terpisah dari bagian utama dan berada di bagian
belakang. (Handinoto, 2008: 43).

Gambar 2.13 Denah rumah gaya Indische Empire


(Sumber: Handinoto, 2008: 47)

2.10 Gaya Modernisme

Arsitektur Modern merupakan perkembangan dari arsitektur klasik yang


berubah secara revolusioner sejalan dengan Revolusi Industri abad 19. Arsitektur
modern ini kemudian dibagi lagi menjadi dua kelompok yaitu barat dan timur
(Sumalyo, 1997: 2). Arsitektur modern-barat dipengaruhi oleh pola pikir dan pola
hidup yang berkembang di Eropa yang ditandai dengan terjadinya Revolusi
Industri. Perubahan mendasar yang terjadi adalah ornamen atau hiasan ditempatkan
pada perspektif yang lebih bebas dibanding dengan struktur dan ruang. Setelah itu

Universitas Indonesia
36

mulai banyak bermunculan seperti arsitektur fungsionalisme, internasionalisme,


kubisme, hingga post-modern (Sumalyo, 1997: 3 – 5).

Gaya ini memutuskan hubungan dengan bentuk arsitektur yang terdahulu,


dan mendasarkan keindahan bukan karena dekorasi, monumentalisme dan bentuk,
seperti ada klasikisme, namun pada fungsi. Penemuan material dan teknologi baru
seperti penggunaan besi tuang, baja, dan beton bertulang. Selain itu juga banyak
digunakan material-material yang dahulu saat masa Klasik tidak lazim untuk
dipakai sebagai bagian dalam konstruksi. Arsitektur modern di Indonesia diwarnai
oleh kebangkitan gaya klasik. Sehingga muncul aliran seperti Arts and Crafts, Art
Nouveau, De Stijl, Art Deco, dan Amsterdam School.

Aliran Arts and Crafts mulai muncul saat Revolusi Industri pada awal abad
19. Gaya ini tercipta dengan tujuan untuk menciptakan lingkungan yang indah
dengan membuat bangunan dari material yang menarik (Calloway, 1991: 306).
Aliran ini dipopulerkan oleh William Morris, yang kemudian memproduksi
peralatan rumah, karpet, wallpaper dinding, dan tekstil dengan gaya Arts and
Crafts. Bangunan dengan gaya ini biasanya sangat kaya akan dekorasi terampil dan
indah. Elemen bangunan dibuat seindah mungkin dengan bahan dan metode
tradisional. Warna yang digunakan biasanya warna lembut dengan pola yang padat
dan terdapat sentuhan ornamen eksotik (Calloway, 1991: 307).

Aliran Art Nouveau muncul pertama kali pada akhir abad 19. Arsitektur Art
Nouveau berawal dari sebuah teori arsitektur yang dikemukakan oleh arsitek
Perancis Viollet-le-Duc. Viollet-le-Duc mengungkapkan dari penggunaan material-
material modern serta perkembangan dari bentuk eskpresi artistis yang terlepas dari
bentuk gaya bangunan pada umumnya (Duncan, 2001: 37). Art Nouveau
merupakan bentuk seni yang lepas dari kaidah klsik serta sangat bebas dan
subyektif, sehingga pada awalnya banyak mendapat kritik. Aliran ini mulai
menggunakan warna dan penyederhanaan bentuk dari elemen-elemen floral dalam
Universitas Indonesia
37

bentuk abstrak. Pada sistem konstruksi mulai digunakan baja tuang yang dibentuk
melengkung-lengkung seperti cemeti (Sumalyo, 1997: 491). Contoh bentuk
bangunan bergaya Art Nouveau adalah gedung Batavia Kunstkring di daerah
Menteng (lihat foto 2.4).

Foto 2.4 Gedung Batavia Kunstkring yang memiliki fasade Art Nouveau
(Sumber: http://collectie.tropenmuseum.nl, 2015)

Aliran De Stijl dipelopori oleh Theo Van Doesburg dikarenakan efek Perang
Dunia I yang mengakibatkan kekacauan dan ketidakharmonisasian. Arsitektur De
Stijl memanfaatkan warna dalam arsitektur sehingga warna tidak hanya digunakan
sebagai dekorasi tetapi juga digunakan untuk mendapatkan ruang. Tata ruang dalam
menyatu dengan bangunan (build-in furniture), tersusun dalam komposisi bidang,
warna, dan garis datar. Gaya De Stjl di Indonesia diperlihatkan dengan bentuk
bangunan yang berdiri di atas lahan luas terbuka dengan komposisi bidang-bidang
serta garis-garis horizontal-vertikal (Sumalyo, 1997: 170 – 184). Salah satu contoh
bangunan bergaya De Stijl di Hindia Belanda adalah gedung Bioskop Megaria di
Jakarta (lihat foto 2.5).

Universitas Indonesia
38

Foto 2.5 Salah satu contoh arsitektur De Stijl di Bioskop Megaria


(Sumber: http://bataviadigital.perpusnas.go.id, 2015)

Istilah Art Deco terkenal pada tahun 1960an dan digunakan untuk menyebut
gaya yang penuh dengan ornamen dan dekorasi.istilah ini mulai dikenal ketika pad
atahun 1925 di Paris terdapat pameran dengan judul Paris Exposition
Internationale des Arts Decortifs et Industriels Modernes yang menampilkan
bentuk-bentuk seni dan arsitektur dengan dekorasi mewah serta modern. Karakter
dari Art Deco ini adalah bentuk-bentuk geometris, warna mencolok, dan garis yang
kuat. Gaya Art Deco ditunjukkan dengan bangunan-bangunan tinggi menjulang
(Peel, Powell, dan Garrett, 1989: 61 63). Salah satu contoh bangunan bergaya Art
Deco adalah Hotel Savoy Homann yang berada di Bandung (lihat foto 2.6).

Universitas Indonesia
39

Foto 2.6 Hotel Savoy Homann Bandung dengan gaya Art Deco
(Sumber: http://collectie.tropenmuseum.nl, 2015)

Amsterdam School adalah aliran arsitektur. yang berkembang di Belanda


antara tahun 1915 – 1930 (Handinoto dan Hartono, 2007: 1). Indonesia sebagai
negara bekas jajahan Belanda juga banyak terpengaruh akan aliran arsitektur ini.
Aliran ini awalnya berkembang di Amsterdam dan dinamakan Nieuwe Kunst yang
merupakan versi Belanda dari aliran Art Nouveau. Aliran Amsterdam School
memiliki ciri-ciri yaitu bentuk yang dihasilkan tidak bisa diproduksi masal karena
setiap seniman harus memiliki ciri unik yang tidak dapat ditiru oleh orang lain.
Pemakaian bahan alam seperti batu bata, kayu, dan ubin serta ornamen yang dipahat
dengan warna yang berbeda merupakan salah satu ciri aliran Amsterdam School.
Kemudian bentuk bangunan juga terlihat ekspresif karena bangunan dipandang
sebagai sebuah karya seni dengan arsitektur sebagai unsur paling utama (Handinoto
dan Hartono, 2007: 6 – 8). Salah satu contoh bangunan yang memiliki unsur
Amsterdam School adalah gedung Balaikota Cirebon (lihat foto 2.7).

Universitas Indonesia
40

Foto 2.7 Bentuk Amsterdam School pada Balaikota Cirebon


(Sumber: http://collectie.tropenmuseum.nl, 2015)

2.10 Gaya Post-Modernisme

Post-modernisme adalah istilah untuk menyebut suatu masa atau zaman


yang dipakai dalam berbagai disiplin ilmu untuk menguraikan bentuk budaya dari
suatu titik pandang berlawanan untuk mengganti istilah modernisme. Dalam
arsitektur gaya ini tercipta karena adanya kejenuhan terhadap konsep
fungsionalisme yang terlalu mengacu kepada fungsi (Sumalyo, 1997: 463). Gaya
Post Modern menampilkan konsep terciptanya elemen masa lampau namun dalam
bentuk lain, serta menerapkan unsur-unsur yang tidak berfungsi sebagai elemen
penghias (Sumalyo, 1997: 469). Pemakaian elemen-elemen geometris dan
sederhana serta terlihat tidak fungsional, ditonjolkan sebagai unsur penambah
keselarana dalam komposisi ataupun sebagai dekor, kemudian arsitektur Post-
modernisme juga menyatukan lingkungan dengan sejarah (Sumalyo, 1997: 463).

2.11 Gaya Indis

Gaya Indis terjadi karena adanya percampuran dan kontak budaya Eropa
dengan budaya lokal. Percampuran budaya ini juga meliputi berbagai macam unsur
kebudayaan (Soekiman, 2000: 39). Menurut van de Wall yang dikutip oleh
Universitas Indonesia
41

Soekiman (2007: 136) pembuatan bangunan Indis menggunakan material lokal


dengan seni bangunan barat yang disesuaikan dengan lingkungan dunia timur.
Ornamen pun biasanya terbuat dari bahan kayu yang kuat dan kokoh seperti kayu
jati.

Dibuat tembok tebal dari batu alam atau batu bata untuk melindungi diri
dari panas, kemudian untuk menangkal udara basah dan lembab dibuat tempat
tinggal yang bertingkat atau lebih tinggi diatas permukaan tanah. Kemudian banyak
terdapat pahatan seperti lubang kunci atau engsel yang diukir, panel daun pintu
yang dipahat halus, bentuk jendela dengan penutup rotan yang dianyam seperti
anyaman kursi (Soekiman, 2007: 138 – 139). Contoh bentuk dari arsitektur rumah
Indis dapat terlihat pada gambar 2.14.

Gambar 2.14 Langgam arsitektur rumah Indis


(Sumber: Hendra, 2003: 214)

Universitas Indonesia
42

BAB III
SEJARAH DAN DESKRIPSI LOJI VRIJMETSELARIJ DI JAKARTA,
SURABAYA, DAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

3.1 Loji De Ster in het Oosten

Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai lokasi dan latar sejarah dari loji De Ster
in het Oosten, Bentuk umum bangunan, Deskripsi bangunan yang terdiri dari denah
ruangan, fasade, portico, komponen arsitektural dan komponen ornamental
bangunan.

3.1.1 Lokasi dan Latar Sejarah

Loji De Ster in het Oosten saat ini digunakan sebagai gedung Kimia Farma
dan terletak di Jalan Budi Utomo no.1, Jakarta Pusat (dahulu bernama
Vrijmetselaarweg/ Jalan Vrijmetselaars). Gedung Kimia Farma yang menampung
tiga buah anak perusahaan (Kimia Farma Trading and Distribution, Kimia Farma
Apotek, dan Kimia Farma Diagnostika dan merupakan anak perusahaan. Sementara
kantor pusat Kimia Farma sendiri berada di Jalan Veteran no. 9, Jakarta Pusat. Pada
sisi Utara terdapat Jalan Doktor Sutomo, bagian Timur terdapat gedung Pusat
Pelatihan Pendidikan Kejuruan Jakarta Pusat, bagian Selatan berbatasan dengan
Jalan Budi Utomo, dan bagian Barat berbatasan dengan Jalan Gedung Kesenian
Jakarta.

Di Sepanjang Jalan Budi Utomo, selain terdapat Gedung Kimia Farma,


terdapat juga Gedung SMAN 1 Jakarta, Sekolah Menengah Kejuruan 1 Jakarta,
serta Gedung Pusat Pelatihan Pendidikan Kejuruan Jakarta Pusat. Selain itu di
sebelah selatan Jalan Budi Utomo terdapat juga gedung Departemen Keuangan dan
di sebelah barat terdapat gedung Pos Ibukota. Gedung ini juga berdekatan dengan
banyak bangunan kolonial lainnya seperti Lapangan Banteng atau Waterlooplein,

Universitas Indonesia
43

SMAN 1 Jakarta (bekas bangunan Prins Hendrick School), SMKN 1 Jakarta (bekas
bangunan Koning Klike Wilhelmina School), gedung Mahkamah Agung (bekas
bangunan Hoogerechtshoof), serta Kantor Pos Pasar Baru (dahulu bernama
Postkantoor Weltevreden).

Foto 3.1 Peta Keletakan Gedung Klinik Kimia Farma (skala 1:100m)
(sumber: google-earth-com diunduh pada tanggal 23 Desember 2014)

Keterangan:

:Gedung Kimia Farma

Gedung Kimia Farma Jakarta yang terletak di Jl. Budi Utomo awalnya
merupakan loji La Vertuese. Pada saat itu gedung loji La Vertuese dirasakan mulai
tidak layak untuk dijadikan sebagai loji sehingga diputuskan untuk dibangun
gedung baru pada tahun 1786. Pemerintah Hindia Belanda memberikan secara
cuma-cuma tanah yang digunakan dalam pembangunan loji dengan syarat harus
dibangun gedung diatasnya (Stevens, 2004: 105) . Hal ini merupakan hasil dari
reaksi protes dari para Vrijmetselaar atas keputusan Gubernur Jendral Du Bus de

Universitas Indonesia
44

Ghisignies yang menyumbangkan sejumlah lahan untuk pembangunan gereja


Katolik (Heuken, 2000: 242).

Letak loji yang disepakati berada di Jl. Vrijmetselaars dirasakan sangat baik
karena dekat dengan istana Gubernur Jendral di Weltevreden dan merupakan jalan
besar (Stevens, 2004: 74). Usaha untuk mempersatukan loji La Vertuese dan La
Fidele Sincerite sudah ada sejak tahun 1829 namun kedua loji baru bergabung pada
tahun 1837 dengan nama De Ster in het Oosten (Bintang Timur). Kemudian setelah
La Vertuese dan La Fidele Sincerite melebur menjadi De Ster in het Oosten,
diputuskan bahwa gedung loji yang berada di dekat Weltevreden itu menjadi loji
pusat bagi De Ster in het Oosten (Stevens, 2004: 130).

Akan tetapi pada tahun 1855 loji sudah mengalami kerusakan parah
sehingga kemudian diputuskan untuk membongkar dan membangun kembali.
Pendanaan dilakukan dengan cara meminta dana rembukan dari seluruh anggota
Vrijmetselarij di Hindia Belanda, dan dibawah pimpinan perwira zeni D.
Maarschalk pada tanggal 26 April 1858 resmi berdiri gedung loge baru (Stevens,
2004: 131-132). Gedung ini kemudian sempat menjadi lokasi digelarnya Kongres
Pemuda Indonesia yang pertama yakni pada 30 April sampai 2 Mei 1926. Setelah
Indonesia merdeka, gedung itu kemudian diambil alih dan menjadi gedung farmasi
Kimia Farma.

3.1.2 Bentuk Umum

Gedung Diagnostika Laboratorium Klinik Kimia Farma dibangun pada


tahun 1786 yang awalnya merupakan gedung loji La Vertuese yang kemudian
menjadi gedung loji De Ster in het Oosten. Kemudian pada tahun 1855 dilakukan
renovasi dan pembangunan kembali pada gedung ini. Pada tahun 1870 bangunan
ini menggunakan tiang-tiang bergaya tuscan. Unsur Eropa sangat kuat terlihat dari
bentuk bangunannya.

Universitas Indonesia
45

Tiang yang ada pada bangunan ini berjumlah enam buah dengan dua buah
jendela di sisi kanan dan kiri bangunan. Tiang-tiang ini menopang bagian
entablature dan pediment serta bagian tympanumnya. Dapat terlihat juga bahwa
bagian cornice, pediment, serta entablaturenya masih berbentuk sama seperti yang
terlihat pada sekarang.

Pada bentuk jendela terdapat percampuran dengan budaya lokal (indis) yang
ditunjukkan dari penggunaaan jendela dengan kayu serta bentuk yang lapang agar
udara mudah masuk. Terdapat juga tiga buah lampu gantung di portico depan
bangunan. Dapat dilihat juga bahwa simbol dari loji berupa lambang bintang segi
lima yang mengfotokan nama gedung (De Ster in het Oosten/ Bintang dari Timur)
terlihat jelas terpampang di bagian tympanum. Di tengah-tengah dapat terlihat satu
buah pintu masuk utama. Selain itu bangunan juga terlihat ditinggikan dengan
adanya anak tangga di bagian depan.Pada tampak depan bangunan juga terdapat
halaman lapang dengan pohon di sisi kanan dan kiri, serta dua buah tiang lampu di
sisi kanan dan kiri.

Foto 3.2 Loji De Ster in het Oosten pada tahun 1870


(Sumber: media-kitlv.nl, 2014)

Universitas Indonesia
46

Foto 3.3 Loji De Ster in het Oosten pada tahun 1880


(Sumber: media-kitlv.nl, 2014)

Pada tahun 1880 tidak terdapat perubahan yang berarti pada bangunan,
namun pada tahun 1900 dapat terlihat penambahan berupa penambahan seperti
kanopi yang menonjol keluar pada sisi kiri dan kanan. Selain itu ditambahkan pot-
pot bunga di portico depan dan juga di sisi kanan dan kiri bangunan. Sampai dengan
tahun 1920 masih dapat terlihat juga lambang dari loji ini.

Universitas Indonesia
47

Foto 3.4 Loji De Ster in het Oosten pada tahun 1900


(Sumber: media-kitlv.nl, 2014)

Foto 3.5 Loji De Ster in het Oosten pada tahun 1920


(Sumber: media-kitlv.nl, 2014)

Pada kondisi bangunan sekarang, hampir tidak ada perubahan yang berarti
dari segi fasade, namun simbol Vrijmetselarij sudah dihilangkan dan diganti

Universitas Indonesia
48

menjadi logo Kimia Farma. Tiang-tiang bergaya tuscan masih digunakan dan
bentuk jendela yang menggunakan kayu juga tidak mengalami perubahan.
Perubahan hanya terjadi di sisi kanan dan kiri bangunan, dimana sejak tahun 1900an
sisi kanan dan kiri menjadi menjorok keluar, dan sekarang telah dikembalikan lagi
seperti bentuk aslinya seperti yang terlihat pada foto tahun 1870. Kemudian
terdapat tiga buah pintu, namun pintu yang dibuka hanya bagian tengah. Pintu-pintu
ini tidak terlihat di foto tahun 1870, namun melihat bentuk pintu-pintu ini,
sepertinya dibangun pada satu periode karena memiliki kesamaan bentuk dan
bahan.

Kemudian terdapat tambahan bangunan baru di sebelah barat bagian


belakang, yaitu terdapat bangunan kantin bagi para pegawai Kimia Farma.Halaman
depan juga sudah berubah dan sekarang dipergunakan untuk parkir mobil serta
motor dan ditambahkan juga tiang bendera di bagian tengah. Terdapat juga dua
buah pos satpam di setiap bagian masuk dan keluar, dengan bagian masuk terdapat
di sebelah barat dan bagian keluar di timur. Terdapat juga pagar besi yang memagari
kompleks bangunan Kimia Farma ini.

Universitas Indonesia
49

Foto 3.6 Gedung Kimia Farma pada tahun 2015


(Sumber: dokumen pribadi, 2015)

3.1.3 Deskripsi Bangunan

Bagian dalam gedung sudah mengalami banyak perubahan , yaitu dengan


membagi gedung menjadi dua lantai dan membangun banyak ruang tambahan.
Sehingga dinding gedung lama sekarang ditutupi oleh dinding baru yang tidak tebal
dan sulit mencari tahu bagian gedung bagian dalam yang masih memiliki bentuk
asli. Diperkirakan bagian dalam dahulu berupa hall atau auditorium luas dengan
langit-langit yang tinggi, sehingga memungkinkan untuk membagi gedung menjadi
dua lantai.

Bangunan Kimia Farma di Jl. Budi Utomo ini terdiri dari dua lantai dan
terdiri dari 22 ruang. Di lantai 1 terdapat lobby utama yang kemudian
menghubungkan bangunan menjadi dua bagian yaitu, lantai 1 untuk bagian Trading
and Distribution yang terdiri dari 12 ruangan serta lantai 2 untuk bagian apotek.
Pada lantai 2 terdapat 11 ruangan. Kemudian terdapat juga tambahan bagian gedung
baru yaitu kantin di sisi barat gedung. Deskripsi yang akan dilakukan pada
Universitas Indonesia
50

bangunan ini adalah deskripsi tata letak ruangan, fasade, portico, komponen
arsitektural, dan juga komponen ornamental pada gedung.

3.1.3.1 Tata Letak Ruangan

Lantai satu memiliki 12 ruangan seperti yang terlihat pada gambar 3.1,
yaitu lobby utama, ruang tunggu direksi, ruang tunggu bagian Trading and
Distribution, ruang staf, ruang Institution Business, ruang divisi Accounting and
Finance, ruang Institution Business, ruang Information Technology, pantry, toilet
pria dan wanita, dan musholla. Terdapat dua buah tangga yang menghubungkan
lantai 1 dengan lantai 2. Pada lantai 2 terdapat 11 ruangan, yaitu ruang tunggu, tiga
buah ruang rapat, enam buah ruang staf, dan ruang direksi (terlihat pada gambar
3.2).

Gambar 3.1 Sketsa denah lantai 1


(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2015)

Keterangan:

: Tangga Menuju Lantai 2

: Pintu

Universitas Indonesia
51

Gambar 3.2 Sketsa denah lantai 2


(Sumber: Dokumentasi pribadi,2015)

Keterangan:

: Tangga Menuju Lantai 2

: Pintu

3.1.3.2 Fasade

Fasade bagian utara menempel pada tembok yang memagari keseluruhan


kompleks bangunan. Sementara pada fasade bagian barat terdapat lima buah jendela
dan di sebelah barat terdapat ruangan terbuka yang menjadi kantin (ruang 11).
Dinding fasade bagian barat berwarna putih, terdapat 10 buah pilaster, dan terdapat
cornice yang memenuhi bagian atas dinding. Pada bagian atas fasade bagian barat
terdapat hiasan pelipit sehingga terlihat memiliki kesamaan ukuran dengan dinding
bagian bawah.

Universitas Indonesia
52

Foto 3.7 Fasade Bagian Barat


(Sumber: Dokumen Pribadi, 2015)

Pada fasade bagian selatan terdapat 6 buah kolom dengan bentuk yang sama
di bagian muka. Fasade bagian selatan memiliki tiga buah jendela, tiga buah pintu
namun yang digunakan sebagai pintu utama hanya pintu bagian tengah. Pintu pada
fasade bagian selatan terbuat dari kayu dan kaca yang saling berlapis. Dinding
fasade bagian selatan berwarna putih dan terdapat tiga buah pilaster. Bentuk fasade
bagian selatan terlihat menjorok keluar dikarenakan adanya tambahan portico.
Kemudian pada fasade bagian timur juga letaknya menempel pada pagar/tembok
yang mengelilingi bangunan.

3.1.3.3 Portico

Portico adalah serambi yang atapnya ditopang oleh deretan tiang. Sehingga
sering juga disebut sebagai serambi dengan deretan tiang (Harris, 1977: 431).
Bagian ini terletak di muka bangunan. Terdapat 6 buah kolom dengan orientasi
sejajar dan juga 3 buah pintu yang terbuat dari kayu. Pada dinding terdapat dua
buah pilaster dan dicat warna putih. Kemudian terdapat dua buah pot bunga
Universitas Indonesia
53

berukuran besar yang terbuat dari plastik berwarna hitam di sisi kiri dan kanan Pada
bagian langit-langit terdapat hiasan persegi panjang dan juga lingkaran yang
dipahat, sehingga terlihat lebih tinggi keatas. Bentuk portico terlihat menjorok
kedalam dengan sisi kiri dan kanan menonjol keluar. Terdapat dua buah anak
tangga kecil yang mengeliling portico, sehingga letaknya sedikit lebih tinggi dari
permukaan tanah kira-kira 20 cm.

Foto 3.8 Portico depan


(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

3.1.3.4 Komponen Arsitektural

Komponen arsitektural yang akan dibahas adalah pondasi dan lantai, order,
dinding dan pilaster, plafon, tritisan, atap, pintu, dan jendela. Komponen ini
merupakan elemen yang lazim ditemukan pada setiap bangunan. Ada atau tidaknya
elemen-elemen ini disesuaikan lagi dengan ciri khas dari setiap gaya bangunan serta
pemikiran setiap arsitek perancang bangunan. Sehingga terdapat juga bangunan
yang tidak memiliki elemen seperti yang disebutkan, seperti tidak terdapat tritisan
pada bangunan ini.

Universitas Indonesia
54

3.1.3.4.1 Pondasi dan Lantai


Pondasi merupakan komponen sruktur paling bawah dari sebuah bangunan.
Pondasi menggunakan pondasi beton. Gedung ini memiliki pondasi yang sedikit
lebih tinggi kira-kira 40 cm diatas permukaan tanah. Lantai bangunan terbuat dari
kayu, marmer, dan ubin. Tidak diketahui dengan pasti lantai mana yang masih
mengikuti bentuk awal dan tidak ada perubahan. Pada lantai 2 menggunakan lantai
kayu, dan pada lantai 1 menggunakan campuran antara lantai ubin dan marmer.
Lantai marmer dipakai di bagian portico, lobby utama, serta lobby bagian trade &
distribution. Tidak ada hiasan lantai pada lantai bangunan ini.

Foto 3.9 Bentuk lantai marmer di bagian portico dan lobby


(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

3.1.3.4.2 Order

Order adalah susunan kontruksi kolom, entablature, atau balok dalam


arsitektur Yunani (Sumalyo, 2003: 9). Pada bangunan ini hanya terdapat order di
bagian luar saja, sementara di dalam hanya terdapat tiang penopang yang
kemungkinan baru dibuat untuk menopang lantai dua. Bentuk order gedung
memiliki bentuknya agak gemuk dan memiliki galur. Kepala kolom dan
entablaturenya sederhana tanpa hiasan dan terdapat base yang tidak terlalu tinggi.

Universitas Indonesia
55

Foto 3.10 Bentuk order pada bagian luar gedung


(Sumber: Dokumen Pribadi, 2015)

3.1.3.4.3 Dinding dan Pilaster

Dinding yang ada pada bangunan ini sudah bercampur antara dinding lama
yang tebal dengan dinding baru yang tidak terlalu tebal. Perbedaannya adalah
dinding lama terbuat dari beton tebal yang masif dan kokoh, dan dinding yang baru
terbuat dari campuran kayu dan semen dan ketika dipukul kita akan mengetahui
bahwa ada ruang kosong didalamnya (bergema). Dinding baru ini dibuat sebagai
penyekat ruangan-ruangan. Bagian yang masih menggunakan dinding lama adalah
dinding sisi timur ruang akuntansi, namun dinding itu juga sudah bercampur dengan
dinding baru (lihat foto 3.11).

Dinding bangunan dicat warna putih, namun ada juga yang dilapisi kayu,
seperti pada dinding lobby bagian Trade and Distribution. Kemudian di lantai dua
juga terdapat dinding yang dilapisi oleh bantalan busa yang terbuat dari kain

Universitas Indonesia
56

berwarna coklat. Selain itu di lantai dua juga terdapat dinding yang terbuat dari
kaca. Terdapat juga dinding yang dilapisi oleh ubin di bagian musholla.

Foto 3.11 Dinding berwarna putih yang tidak terlalu tebal yang menjadi dinding ruangan
(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

Pada bangunan ini juga terdapat pilaster meskipun sekarang hanya terlihat
di dinding bagian depan dan samping gedung. Pilaster pada bangunan ini memiliki
kepala dan dasar seperti yang terlihat pada order Tuscan dan berbentuk persegi
panjang. Pada bagian depan gedung terdapat pilaster yang mengapit pintu masuk
dan berjumlah tiga buah (lihat foto 3.12). Serta pilaster di sisi kiri dan kanan yang
masing-masing berjumlah tiga buah. Pilaster yang terletak di sudut ruangan juga
lansung terhubung dengan bagian entablature. Kemudian pada bagian samping,
pilaster ini berada di sisi barat bangunan. Pilaster pada bagian ini juga kemudian
diatasnya terdapat molding-molding. Pilaster pada sisi barat ini berjumlah 11 buah.

Universitas Indonesia
57

Foto 3.12 Pilaster yang mengapit pintu masuk


(Sumber: Dokumen Pribadi, 2015)

3.1.3.4.4 Plafon

Langit-langit atau plafon merupakan bagian teratas dari sebuah ruangan


yang biasanya digunakan untuk menutupi lantai diatasnya ataupun atap. Plafon
biasanya juga digunakan sebagai elemen dekoratif ruangan. Pada bangunan ini
plafon yang digunakan ada yang terbuat dari kayu dan gipsum. Pada bagian langit-
langit di bagian portico dicat putih dan terdapat hiasan persegi yang dibagi menjadi
empat bagian serta ditengahnya terdapat lingkaran.

Kemudian di bagian lobby utama terdapat juga langit-langit yang dibuat


bertingkat keatas dan dicat berwarna krem (lihat foto 3.13). Pada bagian lobby
plafonnya berhiaskan lampu tempel. Pada lantai dua langit-langitnya terbuat dari
kayu dan dihias dengan rangka kayu berbentuk setengah lingkaran. Sehingga langit-
langitnya seperti dihias oleh konstruksi kubah yang terpotong di bagian tengah.
Rangka kayu ini juga tidak sepenuhnya tertutup dan terbuka di bagian jendela

Universitas Indonesia
58

sehingga cahaya dapat masuk (lihat foto 3.14). Plafon juga berhiaskan lampu-lampu
gantung berbentuk sederhana.

Foto 3.13 Bentuk plafon di gedung Kimia Farma


(Sumber: Dokumen pribadi,2015)

Foto 3.14 Bentuk rangka kayu pada plafon lantai 2


(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

3.1.3.4.5 Atap

Atap pada bangunan ini berbentuk segitiga dan persegi panjang serta rata
di bagian belakang. Atap berbentuk segitiga terhubung dari bagian pediment dan

Universitas Indonesia
59

meluas ke bagian belakang. Sementara pada bagian gedung yang melebar ke


samping atap berbentuk persegi panjang yang rata dan tidak menonjol keluar.

3.1.3.4.6 Pintu

Pintu pada gedung Kimia Farma terbagi menjadi beberapa tipe sesuai
dengan bentuk dan jumlah daun pintunya (lihat foto 3.15). Pintu tipe I terbuat dari
kayu dan berdaun tunggal. Pintu tipe II terbuat dari kaca dan berdaun tunggal. Pintu
tipe III terdiri dari dua lapis dan terbuat dari kayu serta berdaun ganda. Terdapat
juga pintu tipe IV yaitu pintu berdaun ganda dan terbuat dari kaca serta kayu.
Kemudian pintu tipe V yang terbuat dari kaca dan berdaun ganda.

Pintu tipe I merupakan pintu yang hampir berada di setiap ruangan, dan
berjumlah 13 buah, dengan lantai 1 berjumlah 8 buah dan lantai 2 berjumlah 5 buah.
Bentuk dari pintu tipe I ini bermacam-macam namun memiliki kesamaan dengan
terdapat kaca di bagian atas pintu. Diperkirakan pintu yang memiliki kaca di bagian
atas merupakan bagian dari bangunan lama. Pintu tipe II juga banyak ditemui pada
bangunan ini. Di lantai 1 terdapat 6 buah pintu dan di lantai 2 terdapat 5 buah. Pintu
tipe II ini adalah bagian pintu baru yang dahulu tidak terdapat di bagian bangunan
lama. Pintu ini terbuat dari kaca dan berdaun tunggal.

Pintu tipe III merupakan pintu yang masih belum berubah dengan dua lapis
pintu (pintu ganda). Pintu lapis pertama merupakan jenis jalusi dan terbuat dari
kayu. Serta lapis kedua terbuat dari kayu dan kaca. Merupakan pintu yang
digunakan pada ruang utama, yaitu pada pintu masuk di bagian depan dan
berjumlah 3 buah. Diatas pintu ini juga terdapat lubang ventilasi yang khas berada
di rumah-rumah indis. Sementara pintu tipe IV yang menjadi pintu masuk bagian
apotek merupakan pintu baru. Pintu tipe V terdapat 2 buah di gedung ini dan masuk
kedalam bagian bangunan baru.

Universitas Indonesia
60

Foto 3.15 Tipe pintu pada gedung Kimia Farma


(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

3.1.3.4.7 Jendela

Jendela pada bangunan ini khususnya di lantai 1 hampir semua merupakan


jendela semu dan tidak lagi dipakai. Jendela dibagi juga kedalam beberapa tipe
berdasarkan jenisnya. Tipe 1 merupakan jendela kaca polos dengan teralis besi.
Bentuk teralis ini berbeda di setiap jendela, dengan bentuk teralis di jendela lantai

Universitas Indonesia
61

1 berbentuk wajik/ketupat cembung dan di lantai 2 berbentuk wajik/ketupat dengan


garis yang lebih kaku (lihat foto 3.16).

Jendela tipe 1 berjumlah 24 buah. Pada jendela lantai 2, jendela ini


mengelilingi ruangan di sisi utara dan selatan. Jendela ini terletak di atas dekat
dengan langit-langit. Jendela tipe 2 merupakan jendela yang dihias dengan kaca
patri warna-warni dan hanya terdapat 1 buah. Memiliki bentuk setengah lingkaran
dan terletak di sisi timur ruangan lantai 2. Jendela ini juga berada dekat dengan
langit-langit dan dikelingi juga oleh kontruksi kayu (lihat foto 3.17).

Foto 3.16 Jendela tipe 1 yang terletak di lantai 2 dan Jendela tipe 1 yang berada di lantai 1
(Sumber: Dokumentasi pribadi, 2015)

Universitas Indonesia
62

Foto 3.17 Jendela tipe 2


(Sumber: Dokumentasi pribadi, 2015)

3.1.3.5 Komponen Ornamental

Ornamen yang terdapat pada bangunan ini tidak terlalu kaya dan beragam.
Ornamen hanya ditemukan di bagian dinding di lantai 2. Ornamen terlihat seperti
cornice dengan bentuk persegi yang berbaris sejajar dan padat mengelilingi ruangan
(lihat foto 3.18). Ornamen ini mengelilingi dinding bagian atas ruangan, dan
menjadi pembatas antara dinding dan plafon.

Foto 3.18 Ornamen seperti cornice dibawah plafon


(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

Universitas Indonesia
63

3.2 Loji Adhuc Stat

Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai lokasi dan latar sejarah dari loji Adhuc
Stat, Bentuk umum bangunan, Deskripsi bangunan yang terdiri dari denah ruangan,
fasade, serambi, komponen arsitektural dan komponen ornamental bangunan.

3.2.1 Lokasi dan Latar Sejarah

Loji Adhuc Stat sekarang ini menjadi kantor dari Kementrian Perencanaan
Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(BAPPENAS). Gedung BAPPENAS terletak di Jalan Taman Suropati no. 2, Jakarta
Pusat. Terletak di poros tengah Taman Suropati, taman yang merupakan pusat
Menteng, tempat pertemuan poros timur-barat dan utara-selatan. Pada sisi utara
terdapat Taman Suropati, pada sisi Barat terdapat Jalan Taman Sunda Kelapa, pada
sebelah selatan terdapat Masjid Sunda Kelapa, dan pada sebelah timur diapit juga
oleh Jalan Taman Sunda Kelapa. Selain itu terdapat berbagai bangunan kolonial
lain di dekat gedung Bappenas seperti di sebelah selatan terdapat Masjid Sunda
Kelapa, dan di sebelah barat terdapat Gereja Paulus Menteng.

Universitas Indonesia
64

Foto 3.19 Peta Keletakan Gedung BAPPENAS (skala 1:535 m)


(Sumber: google-earth-com diunduh pada tanggal 23 Desember 2014)

Keterangan:

: Gedung BAPPENAS

Pada tahun 1925, loji De Ster in het Oosten yang semula berada di
Vrijmetselaarweg berpindah ke gedung baru di daerah Menteng. Gedung
BAPPENAS merupakan loji baru dari De Ster in het Oosten yang bernama Adhuc
Stat (Masih Ada). Gedung ini dibangun oleh arsitek belanda bernama F.J.L Ghijsels
yang tergabung dalam himpunan arsitek Algemeen Ingenieurs en Architecten
Bureau (AIA) pada tahun 1925.

Peran Ghijsels sebagai arsitek dari gedung ini sempat ia ceritakan lewat
sebuah surat kepada temannya di Belanda, dan selebihnya Ghijsels jarang
Universitas Indonesia
65

menceritakan keterlibatan dia dalam pembangunan bangunan ini (Akihary, 1996).


Keletakan gedung Adhuc Stat yang berada di kawasan Menteng, suatu kawasan elit
bagi petinggi-petinggi Belanda di Batavia, membuktikan peran penting dari gedung
tersebut bagi pemerintahan kolonial (Heuken, 2001: 72). Pada tahun 1966 gedung
ini digunakan oleh mahkamah militer yang mengadili tokoh-tokoh G30S.
Sebelumnya menjadi kantor Dewan Perencanaan Nasional. Kemudian pada tahun
1967 menjadi gedung induk kantor BAPPENAS.

3.2.2 Bentuk Umum

Gedung yang dibangun pada tahun 1925 ini memiliki bentuk yang sedikit
berbeda dengan arsitektur bangunan di sekitarnya. Arsitektur yang ditampakkan
simetris berbentuk balok dengan menampilkan ciri khas gaya indis di bagian
jendela dan ventilasi. Bangunan memiliki denah persegi panjang dengan sisi kiri
dan kanan menonjol keluar. Kemudian terdapat simbol Vrijmetselarij berupa
Penggaris dan Kompas serta nama gedung Adhuc Stat di tengah muka gedung.
Kemudian terdapat juga dua buah tiang panjang di samping tulisan Adhuc Stat yang
tidak diketahui fungsinya namun diperkirakan merupakan bagian dari dekorasi.

Gedung ini juga memiliki dua lantai dan terdapat balkon di lantai 2 dengan
pintu menuju balkon berada di sisi kanan atas. Terdapat 12 buah jendela di lantai
dua gedung, dan 2 buah jendela di masing-masing sisi kiri dan kanan gedung.
Kemudian di samping kiri dan kanan pada lantai 1 juga terdapat satu buah jendela.
Pada jendela-jendela ini juga terdapat lubang ventilasi berjumlah 3 buah di setiap
jendela. Jendela pada bangunan ini menggunakan bahan kayu, sementara ventilasi
dibuat degan melubangi tembok dan dipahat dengan ukiran balok-balok kecil.
Kemudian terdapat juga ventilasi yang tidak memiliki keterkaitan dengan jendela
dan terletak di bagian tengah tampak muka gedung. Ventilasi-ventilasi ini
berjumlah 6 buah dengan bentuk persegi panjang.

Universitas Indonesia
66

Pada tahun 1930 masih terdapat portico pada gedung dengan tiang-tiang
penyokong. Gedung juga terlihat ditinggikan dengan adanya tangga pada bagian
muka gedung. Gedung ini dikelilingi oleh halaman yang tidak terlalu luas. Pada
halaman juga tidak terdapat taman ataupun pohon dan kemudian terdapat pagar
pembatas yang mengelilingi gedung. Pagar ini berbentuk balok yang berjarak satu
sama lain dan juga tidak terlalu tinggi sehingga tidak menutupi bangunan ini.

Foto 3.20 Gedung BAPPENAS pada tahun 1930


(Sumber: media-kitlv.nl, 2014)

Universitas Indonesia
67

Foto 3.21 Nama loji jelas tertulis pada gedung ini pada tahun 1930-an
(Sumber: media-kitlv.nl, 2015)

Foto 3.22 Lambang Vrijmetselarij ditampakkan pada sisi kiri dan kanan gedung pada tahun 1930
(Sumber: media-kitlv.nl, 2015)

Pada kondisi bangunan sekarang terdapat perubahan yaitu dihilangkannya


serambi di bagian depan. Serambi yang dihilangkan ini kemudian menjadi satu
Universitas Indonesia
68

dengan lobby utama gedung. Sehingga dari tangga masuk langsung terhubung
dengan tiga buah pintu utama. Pintu masuk utama berjumlah tiga buah dan terbuat
dari kaca. Bagian jendela serta letak lubang ventilasi tidak mengalami perubahan,
begitu juga pada bentuk atap. Bentuk ventilasi yang berada di tengah bangunan juga
dilapisi oleh kaca. Pintu masuk utama merupakan pintu yang baru dibangun karena
bentuknya yang sudah modern. Selain itu terdapat perubahan yaitu penghilangan
lambang Vrijmetselarij dan lambang Adhuc Stat. Sekarang terdapat tulisan Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional di bagian bekas nama Adhuc Stat pernah
berada.

Akan tetapi bangunan utama sekarang dikeliling oleh bangunan baru di sisi
kanan, kiri, dan bagian belakang (lihat gambar 3.3). Bangunan utama dengan
bangunan-bangunan baru tersebut dihubungkan oleh lorong-lorong terbuka.
Kemudian bangunan utama juga diperlebar dan diperluas pada bagian dalam.
Bangunan ditinggikan sekitar 50 cm dari permukaan tanah, dengan anak tangga
masuk di bagian muka Halaman depan dan juga halaman pada sebelah timur
digunakan sebagai parkir motor dan juga mobil. Terdapat dua buah pos satpam di
setiap bagian masuk dan keluar, dengan bagian masuk di sebelah barat dan bagian
keluar di sebelah barat. Bangunan ini juga sekarang dikeliling oleh pagar besi yang
mengelilingi keseluruhan kompleks gedung BAPPENAS. Orientasi bangunan
adalah selatan – utara, dengan pintu masuk di bagian utara.

Universitas Indonesia
69

Foto 3.23 Gedung BAPPENAS pada tahun 2015


(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

Gambar 3.3 Sketsa keletakan gedung utama BAPPENAS pada kompleks BAPPENAS
(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

Universitas Indonesia
70

Keterangan:

I: Gedung utama yang dikelilingi oleh bangunan baru di sekitarnya

3.2.3 Deskripsi Bangunan

Bangunan induk BAPPENAS terdiri dari dua lantai. Sudah banyak terdapat
ruang-ruang tambahan pada bangunan ini. Pada lantai 1 terdapat 23 ruang dan pada
lantai 2 terdapat 9 ruangan. Bangunan baru saja di restorasi di bagian dalam
khususnya di lantai 2 dengan tata letak yang dikembalikan seperti pada kondisi
awal. Deskripsi yang akan dilakukan pada bangunan ini adalah deskripsi tata letak
ruangan, fasade, balkon, komponen arsitektural, dan juga komponen ornamental
padagedung.

3.2.3.1 Tata Letak Ruangan

Pada lantai 1 terdapat 23 ruangan seperti yang terlihat pada gambar 3.4 yaitu
ruang kerja Sekretaris Menteri, ruang Tata Usaha, pantry, ruang Fotocopy, Lobby
Utama, ruang tunggu, Tata Usaha, ruang fotocopy & pantry, ruang kerja Menteri,
ruang makan, toilet, WC wanita dan pria, ruang istirahat Menteri, ruang rapat
menteri, ruang tunggu, ruang rapat, ruang staf Sekretaris Utama, ruang kerja, ruang
panel, ruang istirahat, dan WC wanita & pria. Tangga menuju ke lantai 2 terletak di
sebelah barat. Pada lantai 1 sebenarnya masih banyak terdapat ruang lainnya.
Ruang-ruang ini merupakan bagian dari bangunan baru yang dihubungkan dengan
bangunan lama lewat lorong panjang yang tertutup sehingga antara bangunan baru
dan lama terlihat menempel menjadi satu.

Universitas Indonesia
71

Gambar 3.4 Denah lantai 1 orientasi selatan - utara


(Sumber: Biro Umum BAPPENAS, 2015 sudah diolah kembali)

Sementara pada lantai 2 terdapat ruang eksekutif, WC wanita dan pria,


ruang kontrol, gudang, dua ruang rapat, ruang pertemuan, ruang meeting informal,
lounge menteri, ruang kosong yang dahulunya dijadikan sebagai ruang panil listrik
(lihat gambar 3.5). Di lantai 2 juga terdapat balkon dengan pintu di pojok selatan
dan barat ruangan. Balkon atau teras ini terbuat dari beton dan memiliki pagar beton
yang tidak terlalu tinggi di sekelilingnya. Pada lantai 2 ini juga baru direnovasi dan
direstorasi bentuk ruangannya agar kembali seperti pada bentuk awal.

Universitas Indonesia
72

Gambar 3.5 Denah lantai 2 orientasi selatan - utara


(Sumber: Biro Umum BAPPENAS, 2015 sudah diolah kembali)

3.2.3.2 Fasade

Pada fasade bagian utara terdapat tiang-tiang penopang di bagian tengah.


Tiang penopang ini diatasnya terdapat teras atau balkon lantai 2. Terdapat 4 buah
anak tangga yang berada di bagian muka. Fasade bagian utara memiliki 22 jendela,
30 buah ventilasi, dan 3 buah pintu masuk utama di bagian utara. Fasade bagian
utara dihias oleh cornice yang mengeliling bagian atas gedung. Terdapat juga
tritisan di bagian fasade utara. Dinding fasade bagian utara dicat berwarna putih.
Kemudian di fasade bagian timur dicat berwarna putih dengan 1 buah jendela yang
terletak di sisi kanan bagian lantai 1 dan 3 buah lubang ventilasi yang berada di atas
jendela. Fasade bagian timur juga dihias oleh cornice yang mengelilingi bagian atas
dan bawah fasade.

Universitas Indonesia
73

Fasade bagian selatan merupakan bagian gedung yang terdapat lorong dan
menempel pada bagian gedung yang baru. Sehingga jika dilihat dari tampak selatan,
yang terlihat adalah fasade gedung baru. Fasade bagian barat menempel dengan
bagian bangunan baru dan terdapat 3 buah kaca besar berbentuk persegi panjang,
sehingga terlihat mendominasi bagian lantai 2. Pada fasae bagian barat terdapat
lorong terbuka yang menghubungkan dengan bangunan baru.Di depan fasade
bagian barat terdapat taman.

Foto 3.24 Fasade bagian utara


(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

3.2.3.3 Balkon10

Pada gedung ini terdapat balkon atau teras yang berada di lantai 2. Di bagian
balkon terdapat 18 buah jendela, dan pintu masuk yang berada masing-masing di
sudut kiri dan kanan balkon. Jendela dan pintu ini terbuat dari kayu, dan pada
masing-masing jendela dan pintu terdapat 3 buah ventilasi. Pada dinding balkon
terdapat pilaster-pilaster serta tiang-tiang air yang menempel. Dinding balkon

10
Balkon yang dimaksud disini adalah jenis platform yang menjorok keluar dari sebuah bangunan
dan biasanya disokon dari bawah kemudian dibatasi oleh pagar berornamen (Harris, 1977: 41).
Universitas Indonesia
74

diberi cat berwarna putih. Lantai balkon berupa lantai beton dan semen dan terdapat
lampu-lampu kecil di lantainya. Pada bagian balkon terdapat tritisan sehingga
tertutup di bagian atas namun pada bagian sampingnya terbuka. Terdapat tembok
putih yang berukuran tidak terlalu tinggi yang memagari balkon.

Foto 3.25 Balkon di lantai 2


(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

3.2.3.4 Komponen Arsitektural

Komponen arsitektural yang akan dibahas adalah pondasi dan lantai, order,
dinding dan pilaster, plafon, tritisan, atap, pintu, dan jendela. Komponen ini
merupakan elemen yang lazim ditemukan pada setiap bangunan. Ada atau tidaknya
elemen-elemen ini disesuaikan lagi dengan ciri khas dari setiap gaya bangunan serta
pemikiran setiap arsitek perancang bangunan. Sehingga terdapat juga bangunan
yang tidak memiliki elemen seperti yang disebutkan, seperti pada bangunan ini
tidak terdapat elemen order.

Universitas Indonesia
75

3.2.3.4.1 Pondasi dan Lantai

Pondasi adalah komponen bangunan yang berfungsi sebagai elemen


konstruksi gedung dan terletak di bagian paling bawah. Gedung ini memiliki
pondasi beton yang ditinggikan kira-kira 50 cm dari permukaan tanah. Terdapat
juga tiang-tiang penopang baik itu di luar dan di dalam gedung yang digunakan
untuk menopang lantai 2. Lantai gedung terbuat dari marmer, kayu, serta ubin. Ada
juga lantai yang mencampurkan antara marmer dan juga kayu dan memiliki
ornamen seperti papan catur. Terdapat juga lantai marmer yang diberi corak hiasan
sederhana.

Foto 3.26 Lantai marmer Foto 3.27 Lantai dengan ornamen


(Sumber: Dokumen pribadi, 2015) (Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

3.2.3.4.2 Dinding dan Pilaster

Dinding yang ada pada bangunan ini terbuat dari beton yang masif dan
setelah hasil restorasi sebagian besar dinding dikembalikan ke dalam bentuk
aslinya. Dinding pada bagian luar dicat warna putih, begitu juga dengan sebagian
besar ruangan lain di dalam. Ada juga dinding yang diberi warna lain yaitu krem.
Pada bagian dinding di lobby utama ada yang dilapisi oleh kayu dan marmer.
Dinding yang dilapisi kayu adalah dinding yang ada pada dinding di sisi selatan
lantai 1. Kemudian di lantai 2 juga terdapat lorong yang terbuat dari dinding kayu,

Universitas Indonesia
76

namun lorong kayu ini merupakan bagian yang baru dibuat. Di dinding bagian
dalam gedung BAPPENAS juga terdapat cornice di bagian atas dekat dengan
plafon.

Pilaster-pilaster yang terdapat di gedung ini ada pada dinding lobby utama
dan dinding balkon lantai 2. Pilaster pada dinding lobby utama memiliki capital dan
juga di bagian tengah terlihat lebih menonjol. Pilaster ini diberi cat warna putih dan
pada bagian bawah dilapisi marmer berwarna abu-abu tua. Di dinding lobby utama
terdapat 8 buah pilaster di masing-masing sisi barat dan timur. Sementara pada
pilaster di dinding balkon lantai 2 berwarna putih dan tidak terdapat capital atau
bentuk hiasan apapun. Pilaster yang ada pada bangunan ini semua berbentuk
persegi panjang.

Foto 3.28 Pilaster dan dinding pada gedung BAPPENAS


(Sumber: Dokumen pribadi, 2014)

Universitas Indonesia
77

3.2.3.4.3 Langit-langit

Langit-langit atau plafon pada bangunan ini semua dilapisi gypsum


berwarna putih serta memiliki ornamen. Ornamen yang ditemukan adalah bentuk
rangka persegi menonjol, bentuk persegi panjang yang naik keatas sehingga
memberi kesan langit-langit yang meninggi, bentuk silindris panjang, dan bentuk
anyaman tikar. Kemudian hampir semua langit-langit dikelilingi dengan molding
berwarna putih. Bentuk langit-langit pada gedung BAPPENAS persegi panjang
namun ada juga yang melengkung seperti kubah ½ lingkaran. Pada plafon juga
terdapat lampu tempel, namun ada juga yang dipasang lampu gantung.

Foto 3.29 Plafon dengan rangka persegi dan plafon dengan ornamen anyaman tikar
(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

3.2.3.4.4 Tritisan

Pada gedung BAPPENAS bagian tritisan terdapat di bagian muka gedung


lantai 1 dan juga di atas balkon lantai 2. Tritisan ini berfungsi untuk melindungi
dari sinar matahari serta sebagai atap tambahan khususnya pada bagian balkon
lantai 2 yang terbuka. Tritisan pada bangunan ini terbuat dari semen yang diberi cat
berwarna putih. Bentuk tritisannya adalah persegi panjang yang melebar ke bagian
luar. Tritisan ini polos dan tidak terdapat hiasan dekoratif.

Universitas Indonesia
78

Foto 3.30 Bentuk tritisan pada gedung BAPPENAS


(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

3.2.3.4.5 Atap

Atap gedung BAPPENAS memiliki bentuk limasan. Atap ini menutupi


keseluruhan gedung. Atap terbuat dari genteng berwarna coklat kemerahan.
Terdapat bagian cornice yang berada tepat di bawah atap. Dari arah samping atap
memiliki bentuk piramid. Bentuk atap ini juga diikuti oleh bangunan baru yang
berada di kompleks BAPPENAS.

Gambar 3.6 Tampak Depan dan Samping Atap Limasan pada Gedung BAPPENAS
(Sumber: Biro Umum BAPPENAS, 2015 telah diolah kembali)

Universitas Indonesia
79

3.2.3.4.6 Pintu

Pintu yang ada pada gedung BAPPENAS ini dapat dibedakan menjadi dua
yaitu pintu yang berdaun tunggal dan pintu berdaun ganda. Pintu berdaun tunggal
dibedakan menjadi 5 tipe (lihat foto 3.31). Pintu tipe 1 terbuat dari kayu dan terdapat
kaca kecil berbentuk persegi yang saling membentuk bentuk persegi panjang
dengan bentuk ½ lingkaran di bagian atas. Pintu ini diberi cat berwarna putih dan
diatasnya terdapat bentuk ½ lingkaran yang diberi ornamen sulur-suluran. Pintu tipe
2 juga terbuat dari kayu dan kaca namun berwarna coklat muda. Serta kaca hanya
ditaruh di bagian tengah dan berbentuk persegi panjang. Pintu ini memiliki jenis
pegangan yang berbentuk pesegi panjang.

Pintu tipe 3 terbuat dari kayu dan kaca. Pintu ini ada di lantai 1 tepat depan
tangga menuju lantai 2. Pintu ini berfungsi untuk membatasi ruangan dengan
tangga. Pintu tipe ini berwarna coklat tua dengan kaca berbentuk persegi panjang
yang hampir menutupi keseluruhan bagian pintu. Pintu tipe 4 terbuat dari kayu dan
juga kaca. Pintu ini berada di lantai 2 sebagai pintu menuju balkon. Pintu ini dibuat
dari kayu yang diberi warna putih. Kaca pada pintu ini berbentuk dua buah persegi
besar yang terletak di atas dan bawah pintu. Diatas pintu ini terdapat tiga buah
lubang ventilasi yang berbentuk persegi panjang. Pintu tipe 5 terbuat dari kaca yang
kemudian diberi ornamen sulur-suluran.

Universitas Indonesia
80

Foto 3.31 Tipe pintu berdaun tunggal pada bangunan BAPPENAS


(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

Sementara itu terdapat dua jenis pintu berdaun ganda yang ada di bangunan
ini. Pintu berdaun ganda yang pertama adalah pintu asli yang terbuat dari kayu dan
kaca. Pintu ini memiliki bentuk yang sama dengan pintu berdaun tunggal tipe 1
dengan perbedaan warna kayu, yaitu coklat. Selain itu terdapat pelapis pintu yang
terbuat dari kayu berwarna putih. Diatas pintu ini juga terdapat bentuk persegi
panjang yang diberi hiasan ornamen sulur-suluran. Jenis pintu berdaun ganda yang
kedua adalah pintu yang terbuat dari kayu dan kaca, namun kaca hanya terdapat

Universitas Indonesia
81

pada satu sisi pintu. Pintu ini berwarna coklat dengan pegangan pintu terbuat dari
kayu yang memanjang di bagian tengah.

Foto 3.32 Jenis pintu berdaun ganda pada bangunan BAPPENAS


(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

3.2.3.4.7 Jendela

Jendela yang ada pada bangunan BAPPENAS semuanya berbahan kayu,


namun terdapat juga jendela dengan hiasan kaca patri di lantai 2. Jendela dibagi
menjadi tiga tipe, tipe I adalah jendela yang terbuat dari kayu dan berdaun ganda.
Bentuk jendela ini persegi dan biasa juga disebut sebagai jendela jelusi karena
bagian penutupnya menyerupai ventilasi. Jendela tipe I terdapat di fasade utara dan
fasade timur lantai 1 dan lantai 2. Diatas jendela ini juga terdapat lubang ventilasi
yang masing-masing berjumlah 3 buah. Jendela tipe I berjumlah 6 buah.

Kemudian jendela tipe II yang juga terbuat dari kayu dan berdaun tiga.
Jendela ini sebetulnya memiliki kesamaan dengan jendela tipe 1 namun jendela ini
berbentuk persegi panjang layaknya pintu. Jendela tipe II juga merupakan jendela

Universitas Indonesia
82

jelusi dengan diatasnya juga terdapat lubang ventilasi yang berjumlah 3 buah.
Jendela tipe II terdapat pada ruang pertemuan di lantai 2 dan memenuhi dinding sisi
utara dan selatan. Jendela tipe II berjumlah 36 buah. Jendela tipe III adalah jendela
dengan kaca patri. Jendela ini terdapat di lantai 2, yaitu di atas tangga dan di ruang
panil listrik. Hiasan kaca patri pada jendela ini sederhana yaitu berupa mosaik
kubus dan balok yang berwarna-warni. Terdapat tiga buah jendela tipe 3 pada
bangunan ini.

Foto 3.33 Jendela tipe 1 dan 2


(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

Universitas Indonesia
83

Foto 3.34 Jendela tipe 3


(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

3.2.3.5 Komponen Ornamental

Ragam hias yang ada pada bangunan ini memiliki kesamaan bentuk.
Terdapat juga ornamen yang baru dibuat namun bentuknya mengikuti dari ornamen
yang ada pada bangunan lama. Ragam hias atau ornamen-ornamen ini awalnya
hanya berada pada bagian atas pintu. Setelah renovasi gedung pada tahun 1990-an
dibuat pula ornamen di dinding-dinding gedung dengan mengikuti bentuk dari
ornamen yang ada di bagian atas pintu tersebut. Ornamen ini berupa sulur-suluran
yang kemudian ditengahnya dibentuk ketupat dan terbuat dari besi.

Universitas Indonesia
84

Foto 3.35 Ornamen asli yang berada di atas pintu


(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

3.3 Loji De Vriendschap

Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai lokasi dan latar sejarah dari loji De
Vriendschap, Bentuk umum bangunan, Deskripsi bangunan yang terdiri dari denah
ruangan, fasade, portico, komponen arsitektural dan komponen ornamental
bangunan.

3.3.1 Lokasi dan Latar Sejarah

Loji De Vriendschap (yang berarti persahabatan) sekarang menjadi kantor


dari Badan Pertanahan Surabaya. Secara administratif gedung BPN Surabaya
terletak di Kelurahan Genteng , Kecamatan Gent eng, Jalan Tunjungan No. 80, Kota
Surabaya. Di sebelah utara terdapat Jalan Tunjungan, di timur terdapat Hotel
Majapahit Surabaya, di selatan terdapat Pasar Tunjungan, dan di barat terdapat
Jalan Embong Malang.

Universitas Indonesia
85

Foto 3.36 Peta Keletakan Gedung BPN Surabaya skala 1: 242 m


(Sumber: google-earth-com diunduh pada tanggal 23 Desember 2014)

Keterangan:

: Gedung BPN Surabaya

Gedung ini sendiri dibangun pada tanggal 28 september 1809 oleh B.H.J
van Cattenburch (Widodo, 2013: 572). Pada awalnya De Vriendschap saat berdiri
belum memiliki sebuah bangunan loji dan upacara-upacara penting dilakukan di
gedung sewaan. Akan tetapi karena pertambahan anggota yang pesat kemudian
dirasa penting untuk memiliki sebuah gedung sendiri. Menurut Faber yang dikutip
oleh Handinoto (1996: 136) dan juga Stevens (2004: 123) gedung loji De
Vriendschap merupakan milik salah seorang ketua yang bernama van Cattenburch
yang kemudian dihibahkan oleh istrinya saat van Cattenburch meninggal.
Kemudian diresmikan dengan akte notaris pada tanggal 12 Juli 1811. Ketika BHJ.
van Cattenburch meninggal pada tanggal 29 Agustus 1811 batu peringatannya

Universitas Indonesia
86

dipasang juga didalam gedung tersebut. Pada tahun 1812 pembangunan loji mulai
berlangsung dengan arsitek yaitu Wardenaar.

Pada loji ini juga dilakukan pelantikan banyak tokoh-tokoh masyarakat


Eropa seperti Johannes van den Bosch, Thomas Stamford Raffles, serta Mr. H. W.
Muntinghe (Stevens, 2004: 123). Pada sebelum tahun 1900an dilakukan perubahan
khususnya pada segi denah dan tampak depan gedung. Gedung ini pernah dipakai
oleh Gementee Surabaya sebagai tempat persidangan sebelum kemudian Gementee
berpindah ke gedung baru. Gedung ini juga pernah dijadikan markas Palang Merah
Internasional atau International Rad Cross Commitee (Handinoto, 1996: 136).

Kondisi gedung sekarang tidak terawat dan menjadi gudang arsip dari
kantor BPN, dan tidak lagi dijadikan kantor. Gedung yang menjadi bangunan
konflik antara PEMDA Surabaya dan juga Yayasan Loka Pamitran. Kemudian
ketika kantor BPN Surabaya berpindah lokasi, gedung ini pun dikosongkan
walaupun masih terdapat logo BPN Surabaya pada gedung. Sehingga sekarang
gedung hanya dihuni oleh penjaga dari pihak BPN, dan juga penjaga dari pihak
Loka Pamitran.

3.3.2 Bentuk Umum

Pada tahun 1900-an gedung ini mempunyai barisan kolom yang menghiasi
fasade depan (lihat foto 3.37). Tiang-tiang ini berjumlah 4 buah dan menopang
entablature dan pediment yang diatasnya terdapat atap tympanum. Terdapat 6 buah
jendela yang juga dihiasi oleh tympanium sementara di bagian dinding atas terdapat
cornice. Terdapat satu buah pintu masuk di sisi timur yang diapit oleh satu buah
jendela di masing-masing sisi. Sementara bagian muka portico ditutup oleh pagar
langkan dan akses masuk ada pada sisi kiri dan kanan.

Kemudian dapat terlihat lambang Vrijmetselarij di bagian tympanum. Di


tengah lambang ini terdapat juga pahatan tangan yang saling berjabat. Halamannya
Universitas Indonesia
87

luas dan rindang yang mengeliling gedung. Terdapat juga tiang besi menjulang
pada bagian halaman depan. Pada halaman belakang dulunya dipenuhi dengan
pohon cemara yang rindang mirip sebuah lorong dan terdapat juga makam dari
B.H.J van Cattenburch (Widodo, 2013: 573).

Foto 3.37 Gedung BPN Surabaya pada tahun 1900an


(Sumber: kitlv.nl diunduh pada tanggal 23 Desember 2014)

Pada kondisi sekarang ini tidak terdapat perubahan pada bagian fasade
gedung. Tiang-tiang Dorik serta jendela bertympanum yang berada di bagian muka
gedung masih digunakan. Namun terdapat perubahan yaitu pada portico depan pada
sisi kiri dan kanan diberi pagar langkan. Sehingga jika pada awalnya untuk masuk
kedalam dari sebelah kiri dan kanan sekarang hanya dapat masuk dari sisi muka.
Kemudian terjadi perubahan dari pintu masuk utama yang sekarang memakai pintu
dari kaca dan alumunium. Mengingat penggunaan alumunium sebagai bahan
bangunan di Indonesia tergolong baru maka pintu utama ini dipastikan awalnya
bukan berbentuk seperti itu.

Universitas Indonesia
88

Bagian pagar langkan yang menutupi bagian portico juga dihilangkan.


Kemudian dapat dilihat bahwa simbol Vrijmetselarij masih berada dimuka gedung
dan masih ada (lihat foto 3.38). Hal ini merupakan suatu hal yang menarik jika
mengingat bahwa di loji-loji lainnya bentuk simbol Vrijmetselarij ini sudah
dihilangkan setelah bangunan loji jatuh ke tangan Pemerintah RI. Kemudian bagian
halaman sekarang di aspal dan berfungsi untuk parkiran mobil.

Di bagian halaman depan masih terdapat tiang besi yang sekarang


dikelilingi oleh pagar dari semen berbentuk pentagram (bintang segi lima). Di
dalam pagar semen ini terdapat gundukan tanah dan ditanam rumput dan pohon. Di
bagian belakang keadaan tidak terawat serta dibangun sebuah rumah kecil milik
penjaga gedung dari yayasan Loka Pamitran. Sementara pada sisi utara gedung
dibangun kantor Berita Metro. Gedung ini sekarang dipagari tembok semen yang
cukup tinggi. Kemudian terdapat pagar masuk dan diatasnya terdapat papan besi
yang bertuliskan Badan Pertanahan Nasional. Orientasi gedung ini adalah barat –
timur dengan pintu masuk di bagian timur.

Universitas Indonesia
89

Foto 3.38 Gedung BPN Surabaya pada tahun 2015


Sumber: Dokumen Pribadi (2015)

Foto 3.39 Lambang Vrijmetselarij dan juga loji De Vriendschap


(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

Universitas Indonesia
90

Gambar 3.7 Sketsa keletakan gedung BPN Surabaya


(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

Keterangan:

I: Gedung BPN Surabaya

II: Kantor Berita Metro

III: Rumah Penjaga

3.3.3 Deskripsi Bangunan

Bangunan loji ini terdiri dari satu lantai dan memiliki luas tanah 6968 m2
dengan luas bangunan ±4905 m2. Orientasi bangunan adalah utara-selatan, dengan
pintu masuk utama di bagian selatan. Bangunan ini memiliki dua buah bagian, yang
pertama bagian kantor BPN dan yang kedua adalah bagian milik dari yayasan Loka
Pamitran. Sudah terdapat ruang-ruang kecil tambahan dengan dinding kayu dan
semen. Deskripsi yang akan dilakukan pada bangunan ini adalah deskripsi tata letak
Universitas Indonesia
91

ruangan, fasade, balkon, komponen arsitektural, dan juga komponen ornamental


yang ada pada bangunan.

3.3.3.1 Tata Letak Ruangan

Jumlah ruang yang ada pada bangunan ini adalah 12 ruangan. Ruang-ruang
ini terdiri dari ruang lobby utama, ruang arsip, ruang kerja, ruang panitia pengadaan
tanah dan ganti rugi, gudang, WC pria dan wanita, musholla, 4 buah ruang kosong
di bagian belakang, serta 1 ruang kosong yang dijadikan aula. Semua ruangan ini
sudah tidak lagi berfungsi, seperti pada ruang kerja yang kini menjadi ruang tunggu
dari penjaga gedung pihak BPN Surabaya dan ruang-ruang di bagian belakang/
barat bangunan.

Bangunan ini sendiri terbagi dua, dengan bangunan di sebelah selatan


digunakan oleh kantor BPN Surabaya dan bangunan di sebelah utara digunakan
oleh yayasan Loka Pamitran. Kedua bagian ini dibatasi oleh dinding yang terbuat
dari tembok semen. Pintu masuk ke bagian kantor BPN Surabaya di bagian muka
gedung (bagian selatan) sementara pintu masuk ke bagian milik Loka Pamitran
berada di samping timur bangunan. Bagian bangunan di sebelah utara kondisinya
telah kosong dan tidak terawat.

Universitas Indonesia
92

Gambar 3.8 Sketsa tata letak ruangan gedung BPN Surabaya


(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

3.3.3.2 Fasade

Fasade bagian utara menempel pada kantor Berita Metro yang menutupi
hampir setengah tampak muka (lihat foto 3.40). Bagian yang masih terlihat adalah
bagian sisi kanan fasade. Pada fasade bagian utara terdapat pintu berbahan kayu
dan kaca berjumlah 6 buah. Diatas pintu ini terdapat jendela dari kayu dan kaca
yang menempel (tidak terdapat bukaan). Di bagian atas dinding fasade terdapat 12
lubang ventilasi yang berbentuk persegi dengan bintang segi 8 di tengahnya.
Terdapat juga tritisan pada fasade bagian utara. Tritisan ini menempel di tengah
fasade dan memanjang menutupi sampai ke ujung.

Universitas Indonesia
93

Foto 3.40 Fasade bagian utara


(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

Pada fasade bagian timur terdapat 4 buah kolom dengan bentuk dan
orientasi yang sama di bagian muka. Kemudian terdapat 1 buah pintu masuk utama
yang terbuat dari kaca. Terdapat 6 buah jendela serta pilaster-pilaster yang memiliki
bentuk Dorik. Dua buah jendela di sisi kanan fasade merupakan jendela semu dan
sekarang ditutup oleh alumunium. Terdapat masing-masing 3 pilaster di setiap sisi
kiri dan kanan fasade. Bagian tengah fasade terdapat portico yang memiliki
konstruksi entablature dan pediment. Di dekat atap juga terdapat cornice yang
diukir bergerigi yang mengeliling fasade bagian timur.

Fasade bagian selatan memiliki bentuk yang sama dengan fasade bagian
utara namun tidak terdapat pintu-pintu seperti yang ada pada fasade bagian utara.
Pada bagian fasade bagian selatan terdapat jendela yang terbuat dari kayu dan kaca.
Jendela-jendela ini tidak memiliki tympanum seperti pada jendela di fasade bagian
timur. Terdapat cornice yang mengelilingi bagian atas dinding.

Universitas Indonesia
94

3.3.3.3 Portico

Portico pada bangunan ini terletak di bagian fasade. Terdapat 4 buah tiang
yang menopang bagian depan. Sementara di sudut kiri dan kanan terdapat 1 buah
tiang yang menopang bagian sudut. Tiang ini dibuat menempel pada dinding,
sehingga terlihat seperti pilaster. Semua tiang memiliki bentuk dan tinggi yang
sama. Pada dinding terdapat dua buah jendela dan satu buah pintu masuk di tengah.
Di jendela dan pintu ini diatasnya terdapat tympanum. Pintu masuk portico berada
di tengah.

Terdapat pagar langkan yang terbuat dari semen dan dicat berwarna hitam
yang mengeliling sisi kiri dan kanan portico. Pagar langkan ini ditanam berbagai
macam jenis tanaman hias dan juga pohon palem. Lantai portico terbuat dari ubin
berwarna coklat dan putih. Langit-langit portico polos berwarna putih dan tidak ada
hiasan.

Foto 3.41 Bentuk portico di bagian depan


(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

Universitas Indonesia
95

3.3.3.4 Komponen Arsitektural

Komponen arsitektural yang akan dibahas adalah pondasi dan lantai, order,
dinding dan pilaster, plafon, tritisan, atap, pintu, dan jendela. Komponen ini
merupakan elemen yang lazim ditemukan pada setiap bangunan. Ada atau tidaknya
elemen-elemen ini disesuaikan lagi dengan ciri khas dari setiap gaya bangunan serta
pemikiran setiap arsitek perancang bangunan. Sehingga terdapat juga bangunan
yang tidak memiliki elemen seperti yang disebutkan.

3.3.3.4.1 Pondasi dan Lantai

Gedung ini memiliki pondasi yang terbuat dari beton. Gedung memiliki
tinggi yang rata dari permukaan tanah. Terdapat tiang penopang di bagian muka
gedung. Lantai gedung terbuat dari ubin. Pada gedung juga ditemukan bentuk ubin
yang memiliki hiasan, yaitu ubin pada ruang arsip, serta ubin di ruang belakang
gedung. Corak hiasan yang ada pada lantai ini berbentuk bunga dan daun-daunan
dan ada juga yang dibentuk seperti mosaik wajik/ketupat.

Foto 3.42 Bentuk lantai dengan corak hiasan


(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

Universitas Indonesia
96

3.3.3.4.2 Order

Order atau tiang yang ada pada gedung ini memiliki bentuk Dorik. Karena
bentuknya yang gemuk, memiliki galur-galur, dan berdiri tanpa base. Order ini
hanya terletak pada bagian muka gedung (portico/fasade bagian timur). Order ini
berjumlah 6 buah, dengan 4 buah diletakkan di bagian depan dan 2 buah lainnya di
sudut kiri dan kanan portico. Pada bagian capital diberi hiasan lingkaran. Order
yang ada pada bangunan ini digunakan untuk menopang bagian entablature dan
pediment.

Foto 3.43 Order Dorik pada gedung BPN Surabaya


(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

3.3.3.4.3 Dinding dan Pilaster

Dinding pada bangunan ini sudah tercampur dengan dinding baru yang
terbuat dari kayu dan semen untuk membatasi ruangan-ruangan. Dinding yang ada
hampir semuanya terbuat dari semen dan dicat putih. Akan tetapi ada juga dinding

Universitas Indonesia
97

yang dihias oleh balok-balok kayu yang ditempel dan ada juga dinding yang dilapisi
kayu. Dinding berhiaskan balok kayu ini berada pada bagian belakang bangunan.
Dinding yang dilapisi kayu berada di ruangan-ruangan yang baru ditambahkan
setelah gedung ini ditempati oleh pihak BPN Surabaya. Dinding lama pada
bangunan ini memiliki ketebalan 60 cm, sehingga cukup tebal dan masif.

Foto 3.44 Dinding yang dihias balok kayu


(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

Pilaster yang ada pada bangunan ini memiliki bentuk yang sama dengan
Order yang menopang atap tympanum di bagian muka. Pilaster-pilaster ini terletak
di dinding luar bangunan, tepatnya di sisi timur. Pilaster ini menghiasi dinding dari
sudut kanan dan kiri. Pilaster ini berderet dan memiliki orientasi sama. Terdapat 3
buah pilaster berbentuk ini pada masing-masing sisi kiri dan kanan dinding fasade
bagian timur.

Universitas Indonesia
98

Foto 3.45 Bentuk pilaster


(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

.3.3.4.4 Langit-langit

Langit-langit atau plafon pada bangunan ini berbahan gipsum yang diberi
warna putih. Seluruh bagian langit-langit dilapisi plafon berbahan gipsum sehingga
rangka atap tidak terlihat. Plafon yang ada pada ruang dalam penuh akan ukiran
sulur-suluran atau bunga dan pesegi. Selain itu terdapat plafon dengan kerangka
kayu yang saling bersilangan. Pada plafon terdapat lampu gantung. Terdapat juga
kipas angin yang digantung di plafon. Plafon yang memiliki kipas angin ini berada
di ruang bagian belakang bangunan/ di sisi utara bangunan.

Universitas Indonesia
99

Foto 3.46 Bentuk langit-langit pada gedung BPN Surabaya


(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

3.3.3.4.5 Tritisan

Pada gedung BPN Surabaya, tritisan terdapat di bagian fasade utara. Tritisan
ini terbuat dari semen yang dicat putih. Bentuk tritisan pada gedung ini adalah
persegi panjang dan melebar ke luar (lihat foto 3.47). Tritisan yang ada pada gedung
ini berfungsi untuk melindungi bagian pintu masuk pada fasade utara dari sinar
matahari. Tritisan ini memanjang dan berada di atas pintu masuk, yang ada dari
tengah fasade sampai ke sudut. Pada fasade utara juga terdapat tritisan yang
merupakan perpanjangan dari atap yang melebar ke luar.

Universitas Indonesia
100

Foto 3.47 Bentuk tritisan pada BPN Surabaya


(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

3.3.3.4.6 Atap

Atap pada gedung BPN Surabaya ini menggunakan atap limasan dan juga
piramidal. Atap piramidal digunakan pada bagian portico, dan sisanya
menggunakan atap limasan. Atap limasan ini juga melebar ke samping sehingga
dapat berfungsi juga sebagai tritisan. Atap gedung BPN Surabaya terbuat dari
genteng yang berwarna coklat kemerahan.

Universitas Indonesia
101

Foto 3.48 Bentuk atap gedung BPN Surabaya


(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

3.3.3.4.7 Pintu

Pintu yang ada pada gedung BPN Surabaya ada yang berdaun ganda dan
ada yang berdaun tunggal. Pintu kemudian dibagi menjadi 5 tipe sesuai dengan
bahan dan bentuknya (lihat foto 3.49). Pintu tipe I merupakan pintu berdaun ganda
yang terbuat dari kaca. Pintu tipe ini hanya terdapat ada pada lobby utama sebagai
pintu masuk. Diatas pintu ini terdapat dua buah kaca hitam. Pintu tipe II merupakan
pintu berdaun ganda yang terbuat dari kayu berwarna putih. Pintu ini merupakan
jenis pintu geser dan terdapat hiasan berupa empat buah persegi dari atas sampai
kebawah. Pintu ini berukuran lebar.

Pintu tipe III merupakan pintu berdaun ganda yang terbuat dari kayu
berwarna putih. Pintu ini memiliki bentuk sama seperti tipe II namun berukuran
lebih ramping serta merupakan pintu tarik. Pada bagian atas pintu ini terdapat dua
buah kaca hitam. Pintu tipe IV merupakan pintu berdaun tunggal dengan bahan
kayu. Pintu ini memiliki kesamaan bentuk dengan tipe II dan tipe III. Pintu ini diberi
warna putih dan diatasnya terdapat dua buah kaca hitam. Pintu tipe V terdapat di
bagian fasade utara dan berfungsi sebagai pintu masuk. Pintu ini berbahan kayu dan

Universitas Indonesia
102

kaca dan berwarna hijau. Kaca pada pintu ini terletak dari bawah sampai atas
dengan jumlah 8 buah pada setiap daunnya. Diatas pintu ini juga terdapat kaca
dengan rangka kayu.

Foto 3.49 Tipe pintu pada gedung BPN Surabaya


(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

3.3.3.4.8 Jendela

Jendela yang ada pada bangunan ini memiliki jenis yang sama, yaitu terbuat
dari kayu dan kaca dan berbentuk persegi. Diatas jendela terdapat lubang ventilasi
yang terbuat dari kaca. Tembok yang mengeliling jendela dibentuk ½ lingkaran di
Universitas Indonesia
103

bagian atas. Jendela juga dibuat unik yaitu berdaun ganda yang kemudian dibagi
lagi menjadi empat buah jendela kecil. Jendela diberi warna putih dengan teralis
besi yang berbentuk horizontal. Jendela ini ada di setiap ruangan, di lobby utama
terdapat dua buah, di ruang kerja tiga buah, dan di ruang arsip tiga buah. Jendela di
ruang arsip kini menjadi jendela semu yang bahkan ditutupi alumunium dari luar.
Kemudian pada bagian luar jendela juga diatasnya terdapat tympanum beserta
pediment.

Foto 3.50 Bentuk jendela tampak dalam pada gedung BPN Surabaya
(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

Universitas Indonesia
104

Foto 3.51 Tampak luar jendela


(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

3.3.3.5 Komponen Ornamental

Ragam hias yang ada pada bangunan ini terdapat di bagian entablature yang
berada di sepanjang dinding luar bangunan (lihat foto 3.52). Entablature pada
bangunan ini cukup kaya akan ornamen, yaitu ornamen persegi panjang dengan
lingkaran ditengahnya. Ornamen ini tersusun rapi dan menonjol keluar. Ornamen
ini mengelilingi keseluruhan dinding teratas di tembok luar bangunan.

Foto 3.52 Bentuk ornamen pada bagian entablature


(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

Universitas Indonesia
105

3.4 Gedung DPRD Yogyakarta

Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai lokasi dan latar sejarah dari loji Mataram,
Bentuk umum bangunan, Deskripsi bangunan yang terdiri dari denah ruangan,
fasade, portico, komponen arsitektural dan komponen ornamental bangunan.

3.4.1 Lokasi dan Latar Sejarah

Secara administratif gedung ini terletak di wilayah Kelurahan Suryatmajan,


Kecamatan Danurajan, Kotamadya Yogyakarta, tepatnya di Jalan Malioboro 54,
Yogyakarta. Di sebelah utara bangunan terdapat Kantor Wilayah Pekerjaan Umum,
di selatan terdapat Hotel Ibis Yogyakarta, di sebelah barat terdapat Jl. Malioboro,
dan di sebelah timur terdapat perumahan penduduk dan pertokoan. Di jalan
Malioboro terdapat banyak bangunan-bangunan kolonial peninggalan Belanda
yang lainnya, seperti gedung Kepatihan dan benteng Vrederburg.

Foto 3.53 Peta Keletakan Gedung DPRD DIY skala 1:507 m


Sumber: Sumber: google-earth.com diunduh pada tanggal 23 Desember 2014)
Universitas Indonesia
106

Keterangan:

: Gedung DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta

Loji Mataram didirikan pada tahun 1870 dan peresmian loge tersebut
dilakukan pada gedung yang disewakan oleh sultan Hamengku Buwono VI kepada
loji Mataram. Menurut Indisch Maconniek Tijdschrift11 th. 56 yang dikutip oleh
Stevens (2004: 301) karena kebaikan sultan itulah, Suhu Agung Nederland yaitu
Pangeran Frederik mengucapkan terimasih pada sultan melalui surat pribadi.
Gedung ini terletak di jalan utama Yogya yaitu Malioboro, dan setelah Hamengku
Buwono VI meninggal, penerus-penerusnya tetap menghormati keputusanya.
Sampai kependudukan Jepang gedung ini masih menjadi pusat kegiatan
Vrijmetselarij (Stevens, 2004: 301).

Nama loji Mataram juga dibuat dengan keputusan penting yaitu menunjuk
pada kerajaan penting yang memiliki peranan besar dalam sejarah Jawa. Dalam
keputusan Majelis Tahunan Provinsial Vrijmetselarij Belanda pada tahun 1930
dibuat keputusan untuk membuat museum dengan koleksi berbagai benda milik
Vrijmetselarij di loji tersebut (Stevens, 2004: 303-304).

Gedung ini sering digunakan untuk tempat bermeditasi dan sebagai ruang
pameran, misalnya pameran oleh Luch Bescherming Dienst pada tahun 1940. Pasca
Kemerdekaan pada tahun 1948 – 1950, gedung ini digunakan sebagai kantor BP
KNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat), kantor Dewan Pertahanan
Negara, dan penyelenggaraan sidang Kabinet (1948). Pada tahun 1951 oleh pihak
Kasultanan diserahkan kepada Pemerintah Daerah untuk dijadikan DPRD DIY.

11
I.M.T adalah Majalah Masonik Hindia yang didirikan oleh A.S. Carpenter Alting pada tahun 1895
dan berfungsi sebagai forum penyaluran pendapat serta untuk memperkuat loji-loji Hindia satu sama
lain serta memupuk rasa kebersamaan antar para anggota (Stevens, 2004: 219).
Universitas Indonesia
107

3.4.2 Bentuk Umum

Gedung ini menempati areal tanah seluas lebih kurang 15.380 m2 dengan
gedung yang memiliki orientasi kearah barat. Memiliki denah umum berbentuk
persegi panjang. Pada tahun 1978 sampai tahun 1990 dilakukan pembangunan
bertahap bangunan baru di timur dan utara. Terdapat 4 buah tiang dengan bentuk
tuscan di bagian portico depan. Tiang-tiang ini menopang bagian pediment dan
entablature. Gedung ini memiliki dua buah pintu masuk utama yang berada di
fasade bagian barat. Bangunan terlihat ditinggikan dengan adanya anak tangga di
bagian portico. Menurut laporan dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Yogyakarta,
gedung ini masuk kedalam kategori A. Serta dari segi pelestarian dan keasliannya
memiliki nilai 5, yaitu masih terawat dan terjaga bentuk aslinya.

Seperti yang sudah disebutkan bahwa telah ditambahkan bangunan baru di


dalam kompleks gedung DPRD Yogyakarta. Bangunan-bangunan baru ini berada
di bagian utara dan timur. Terdapat lorong dengan kanopi yang menghubungkan
antara bangunan baru dan bangunan lama. Kemudian terdapat musholla di sisi barat
kompleks gedung DPRD Yogyakarta.

Gedung ini memiliki halaman yang luas di bagian depan khas dengan rumah
Indis. Bagian taman yang berada di depan gedung merupakan bagian yang baru
dibuat. Kemudian di bagian taman dihias dengan patung-patung yang terbuat dari
batu andesit. Menurut catatan dari BPCB Yogyakarta, patung ini juga merupakan
bagian dari benda cagar budaya, sehingga pernah dilakukan upaya konservasi
terhadap patung-patung ini.

Di bagian halaman depan juga terdapat tiang bendera yang terbuat dari besi.
Halaman gedung ini sekarang digunakan untuk parkiran mobil dan motor. Gedung
ini juga dikelilingi pagar besi dan tembok semen, dengan pintu gerbang terletak di
bagian barat gedung. Dengan pos satpam kecil di depannya. Menurut Th. Stevens
(2004: 306) pada pintu gerbang dahulu terdapat lambang segitiga sama sisi, dan di
Universitas Indonesia
108

dalamnya terdapat bulan sabit dan bintang bersudut lima. Akan tetapi sekarang
lambang itu sudah tidak ada lagi/dihilangkan.

Foto 3. 54 Gedung DPRD Yogyakarta pada tahun 2014


(Sumber: Dokumen pribadi, 2014)

Gambar 3.9 Denah keletakan gedung induk DPRD Yogyakarta skala 1:500 m
(Sumber: BPCB Yogyakarta, 2015 telah diolah kembali)

Universitas Indonesia
109

Keterangan:

I : Gedung DPRD Yogyakarta

II & III : Bagian gedung baru

IV : Musholla

3.4.3 Deskripsi Bangunan

Loji Mataram atau yang sekarang menjadi gedung DPRD Yogyakarta


memiliki delapan ruangan. Bangunan ini memiliki 1 lantai namun pada ruang rapat
utama terdapat tangga menuju ruang wartawan diatas. Tangga ataupun ruang
wartawan ini diperkirakan merupakan ruang baru. Deskripsi yang akan dilakukan
pada bangunan ini adalah deskripsi tata letak ruangan, fasade, balkon, komponen
arsitektural, dan juga komponen ornamental pada gedung.

3.4.3.1 Tata Letak Ruangan

Pada bangunan ini terdapat 8 ruangan, yaitu ruang rapat fraksi, dua buah
ruang fraksi, ruang pelayanan, perpustakaan, ruang tunggu, ruang khusus tamu VIP,
dan di tengah terdapat ruang sidang. Ruang sidang berbentuk aula luas dengan
podium di bagian timur untuk tempat gubernur. Kemudian terdapat lantai 2 yang
diatasnya terdapat ruang wartawan. Tangga menuju lantai 2 terletak di sisi barat
ruang rapat utama. Ruang wartawan berukuran kecil dengan dinding terbuat dari
kaca yang berfungsi sebagai jendela. Ruang wartawan ini hanya terdapat di sisi
barat ruang rapat utama. Diperkirakan ruang ini baru dibangun atau
pembangunannya tidak sejalan dengan pembangunan gedung utama. Karena
memiliki bentuk yang baru serta dindingnya terbuat dari kayu penyekat (tipis) dan
tidak tinggi sampai ke atap.

Universitas Indonesia
110

Gambar 3. 10 Sketsa tata letak ruangan pada gedung DPRD Yogyakarta

(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

Keterangan:

: Tangga menuju ruang wawancara

: Pintu

3.4.3.2 Fasade

Pada fasade bagian utara terdapat lorong yang menghubungkan bagian


fasade ini ke lobby bangunan baru (lihat foto 3.55). Lantai fasade terbuat dari
marmer. Fasade bagian utara memiliki empat buah pintu kayu yang menuju ruang
rapat fraksi dan satu buah pintu masuk samping yang terbuat dari kaca. Terdapat 2
buah jendela jelusi dan tritisan yang tersambung sampai ke fasade bagian barat. Di
bagian dinding fasade juga terdapat cornice.

Universitas Indonesia
111

Foto 3.55 Fasade Utara


(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

Pada fasade bagian barat terdapat anak tangga di bagian depan. Terdapat
juga portico pada fasade bagian barat (lihat foto 3.56). Lantai fasade dilapisi oleh
marmer. Fasade bagian barat memiliki dua buah pintu yang merupakan pintu masuk
utama dari bangunan ini. Kemudian terdapat masing-masing tiga buah jendela jelusi
di sisi kiri dan kanan fasade. Dinding fasade bagian barat dicat berwarna putih dan
terdapat empat buah pilaster. Terdapat tritisan yanng menaungi sisi kiri dan kanan
fasade bagian barat. Kemudian pada bagian muka terdapat atap tympanum dengan
entablature dan pedimen yang ditopang oleh empat buah tiang. Terdapat juga
cornice yang menghiasi bagian teratas dinding fasade. Di sisi kiri dan kanan fasade
dikelilingi oleh halaman rumput.

Universitas Indonesia
112

Foto 3.56 Fasade bagian barat


(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

Fasade bagian selatan memiliki dua buah anak tangga yang memiliki
kesamaan tinggi dengan anak tangga pada fasade bagian barat. Fasade bagian
selatan memiliki empat buah pintu yang menuju ruang rapat fraksi. Kemudian satu
buah pintu yang menuju ruang pelayanan, satu pintu menuju ruang perpustakaan,
dan satu pintu yang menuju ke lorong belakang. Terdapat 4 buah jendela dan 5 buah
tiang yang menopang bagian tritisan. Bagian tritisan ini tersambung sampai ke
fasade bagian barat

Universitas Indonesia
113

Foto 3.57 Fasade bagian selatan


(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

3.4.3.3 Portico

Portico pada bangunan ini terletak di fasade bagian barat. Portico terletak
pada bagian muka bangunan. Terdapat tiang-tiang dengan orientasi sejajar di bagian
muka yang menopang portico. Terdapat tiga buah anak tangga di bagian muka
portico. Lantai portico terbuat dari marmer dan terdapat hiasan persegi panjang di
tengah. Terdapat dua pintu masuk di sisi kiri dan kanan yang berfungsi sebagai
pintu masuk utama.

Dinding portico dicat warna putih dan terdapat empat buah pilaster.
Kemudian terdapat empat buah lampu dinding dan lambang Daerah Istimewa
Yogyakarta berukuran besar yang diletakkan di tengah dinding. Pada lambang ini
terdapat bintang segi lima, padi dan kapas, lingkaran berwarna merah dengan garis
luar putih, tugu bersayap, umpah bertatakan teratai, dan sengkalan dengan huruf
jawa. Langit-langit portico dihias plafon dengan bahan gipsum. Kemudian terdapat
rangka kayu pada plafon portico. Terdapat juga tiga buah lampu gantung kristal.

Universitas Indonesia
114

Foto 3.58 Bentuk portico gedung DPRD Yogyakarta


(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

3.4.3.4 Komponen Arsitektural

Komponen arsitektural yang akan dibahas adalah pondasi dan lantai, order,
dinding dan pilaster, plafon, tritisan, atap, pintu, dan jendela. Komponen ini
merupakan elemen yang lazim ditemukan pada setiap bangunan. Ada atau tidaknya
elemen-elemen ini disesuaikan lagi dengan ciri khas dari setiap gaya bangunan serta
pemikiran setiap arsitek perancang bangunan. Sehingga terdapat juga bangunan
yang tidak memiliki elemen seperti yang disebutkan.

3.4.3.4.1 Pondasi dan Lantai

Bangunan ini mempunyai pondasi beton yang ditinggikan sekitar 40 cm dari


permukaan tanah. Sehingga terdapat anak tangga yang mengelilingi bangunan.
Lantai bangunan terbuat dari marmer sementara pada lantai dalam dilapisi oleh
karpet. Pada ruang sidang dilapisi karpet berwarna merah, sementara pada ruang-
ruang yang lain dilapisi karpet berwarna abu-abu. Pengecualian ada pada ruang
Universitas Indonesia
115

perpustakaan, ruang tunggu, dan ruang pelayanan yang memakai lantai marmer dan
tidak dilapisi oleh karpet.

Foto 3.59 Lantai marmer gedung DPRD Yogyakarta


(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

3.4.3.4.2 Order

Order pada bangunan ini memiliki jenis Tuskan. Pada bagian portico
terdapat barisan Order Tuskan dengan bagian base dilapisi oleh marmer (lihat foto
3.62). Namun order ini berbentuk balok panjang yang berbeda pada bentuk Order
pada umumnya. Order ini menopang bagian entablature dan pediment. Pada ruang
sidang di dalam juga terdapat barisan Order Tuskan yang mengelilingi bagian ruang
(lihat foto 3.61). Order ini pada bagian base dilapisi oleh kayu yang memiliki
pahatan. Pada fasade bagian selatan juga terdapat barisan tiang yang menopang
bagian tritisan. Tiang ini berbentuk silinder dan dicat berwarna putih (lihat foto
3.60).

Universitas Indonesia
116

Foto 3.60 Order pada fasade selatan


(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

Foto 3.61 Barisan order di bagian dalam gedung


(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

Universitas Indonesia
117

Foto 3.62 Order di bagian muka gedung


(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

3.4.3.4.3 Dinding dan Pilaster

Dinding bangunan di bagian luar di cat berwarna putih dan terbuat dari
beton. Sementara dinding di bagian dalam dilapisi lagi oleh kayu yang penuh
dengan ukiran dan pahatan. Keseluruhan dinding bangunan dihiasi oleh pilaster
yang terbuat dari semen atau kayu. Pada dinding di bagian luar dipenuhi oleh
cornice yang mengelilingi bagian atas dinding. Pada dinding di bagian luar sebelum
di renovasi berwarna coklat. Kemudian pada tahun 2012 keseluruhan dinding di
bagian luar dirubah warna menjadi warna putih

Dinding pada bagian dalam bangunan juga dipenuhi pilaster. Pilaster di


bagian dalam gedung juga dipenuhi oleh ukiran dan ornamen kayu di bagian tengah.
Pilaster pada gedung bagian dalam merupakan proyeksi menonjol dari dinding
sehingga memiliki bahan dan bentuk yang sama dengan dinding. Pilaster-pilaster
ini berbentuk persegi panjang.

Universitas Indonesia
118

Foto 3.63 Bentuk dinding dan pilaster pada gedung DPRD Yogyakarta
(Sumber: Dokumentasi pribadi, 2015)

3.4.3.4.4 Langit-langit

Seluruh bagian langit-langit pada bangunan ini dilapisi plafon berbahan


gipsum sehingga rangka atap tidak terlihat. Akan tetapi ada juga plafon yang terbuat
dari kayu, seperti pada plafon ruang sidang dan ruang tamu VIP (lihat foto 3.77).
Plafon pada ruang tamu VIP terbuat dari kayu dan dihias oleh kerangka kayu yang
saling menyilang horizontal dan vertikal. Bentuk ini juga hampir ditemui di semua
ruangan dengan pengecualian plafonnya terbuat dari gipsum walaupun terdapat
juga kerangka kayu menyilang. Pada plafon di ruang dalam ditengahnya juga
terdapat kayu yang dibentuk persegi dan ditempelkan lampu pada masing-masing
sisi. Terdapat juga pendingin ruangan yang berada di tengah.

Langit-langit yang memiliki bentuk yang cukup berbeda dengan plafon


lainnya pada bangunan ini adalah pada ruang sidang. Pada ruang sidang langit-
langitnya naik keatas sehingga plafon seakan membentuk ruangan tersendiri.

Universitas Indonesia
119

Terdapat juga 8 buah lubang-lubang ventilasi. Kemudian terdapat 2 buah ornamen


bintang bertumpuk pada bagian tengah plafon. Plafon pada ruangan ini terbuat dari
kayu. Sementara pada plafon di bagian luar terbuat dari gipsum berwana putih dan
polos tidak terdapat hiasan.

Foto 3.64 Bentuk langit-langit pada gedung DPRD Yoyakarta


(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

3.4.3.4.5 Tritisan

Pada gedung DPRD Yogyakarta, terdapat tritisan yang menaungi fasade


bagian utara, selatan, dan barat. Bentuk tritisan ini berupa atap limasan dan melebar
keluar. Tritisan pada gedung DPRD Yogyakarta terbuat dari semen dan genteng.
Universitas Indonesia
120

Tritisan pada gedung ini bukan merupakan perpanjangan dari atap, melainkan
berada tepat di atas jendela/pintu. Diatas tritisan ini terdapat cornice-cornice yang
menghias bagian atas dinding. Pada tritisan di fasade bagian selatan terdapat
deretan tiang yang menopang bagian tritisan.

Foto 3.65 Bentuk tritisan pada gedung DPRD Yogyakarta


(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

3.4.3.4.6 Atap

Atap pada gedung DPRD Yogyakarta berbentuk limasan. Terdapat pula


cornice yang menghiasi bagian atas dinding sampai tepat di bawah atap. Bentuk
atap ini tersembunyi dengan adanya dinding yang meninggi ke atas. Atap terbuat
dari genteng dan berwarna coklat tua.

Universitas Indonesia
121

Foto 3.66 Bentuk atap gedung DPRD Yogyakarta


(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

3.4.3.4.7 Pintu

Pintu pada bangunan ini memiliki lima tipe yang dibedakan berdasarkan
daun dan bentuknya. Pintu tipe 1 merupakan pintu berdaun tunggal dan terbuat dari
kayu serta kaca (lihat foto 3.67). Pintu ini terdiri dari dua lapis, dengan lapis
pertama terbuat dari kayu dan terdapat 3 buah kaca hitam yang disusun dari atas
sampai bawah. Kemudian lapis kedua bentuk pintu merupakan bentuk pesegi
panjang kecil yang terbuat dari kayu. Sehingga pintu lapis kedua ini tidak menutupi
sampai ke atas layaknya pintu pada umumnya.

Pintu tipe II adalah pintu berdaun ganda yang terdiri dari dua lapis dan
terbuat dari kayu . Pada pintu lapis pertama terdapat bentuk seperti yang ada pada
jendela jalusi dengan lubang-lubang ventilasinya. Kemudian pada lapis kedua
terdapat pintu dari kaca. Diatas pintu tipe II juga terdapat fanlight yang memiliki
ornamen. Pintu tipe III memiliki bentuk yang persis sama dengan pintu tipe II
namun yang membedakan adalah pada pintu tipe III tidak terdapat fanlight
diatasnya (lihat foto 3.68).

Universitas Indonesia
122

Pintu tipe IV merupakan pintu berdaun ganda dengan bahan kayu (lihat foto
3.69). Terdapat juga dua buah kaca hitam yang memanjang pada pintu. Pintu kayu
ini juga terdapat ukiran di bagian bawah. Pintu tipe IV ini ada yang memakai
bingkai kayu dan cornice, serta ada yang tidak. Pada pintu masuk ruang fraksi dan
ruang tamu VIP kanan, kiri, dan atas pintu terdapat bingkai kayu dengan cornice
yang penuh dengan pahatan. Sementara pada pintu di dalam ruangannya tidak
penuh dengan pahatan kayu.

Pintu tipe V merupakan pintu yang berada pada bagian fasade utara, barat,
dan selatan (lihat foto 3.70). Pintu tipe V merupakan pintu berdaun ganda dan terdiri
dari dua lapis. Pada lapis pertama pintu terbuat dari kayu yang di beri warna putih
dan krem. Pada bagian daun terdapat juga ukiran kayu berbentuk persegi panjang.
Kemudian pada lapis kedua terbuat dari kayu dan kaca. Terdapat dua buah kaca
hitam yang memenuhi bagian pintu.

Foto 3.67 Pintu tipe I

(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

Universitas Indonesia
123

Foto 3.68 Pintu tipe II dengan fanlight dan pintu tipe III tanpa fanlight

(Sumber: Dokumen pribadi)

Foto 3.69 Kiri-Kanan: Pintu tipe IV bagian dalam dan bagian luar

(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

Universitas Indonesia
124

Foto 3.70 Pintu tipe V


(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

3.4.3.4.8 Jendela

Jendela yang ada pada bangunan ini memiliki jenis yang sama, yaitu jendela
jelusi yang terbuat dari kayu dan kaca dan berbentuk persegi. Jendela-jendela ini
berdaun ganda serta terdiri dari dua lapis. Lapis pertama merupakan bentuk panil
seperti ventilasi dan lapis kedua merupakan jendela dengan dua buah kaca hitam di
atas. Jendela-jendela ini ada di setiap ruangan namun ada juga yang menjadi jendela
semu.

Universitas Indonesia
125

Foto 3.71 Bentuk jendela pada gedung DPRD Yogyakarta

(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

3.4.3.5 Komponen Ornamental

Ornamen yang ada pada bangunan ini terdapat pada bagian fanlight, dinding
bangunan, bingkai jendela, bingkai pintu, bagian base dari tiang, dan plafon.
Ornamen-ornamen ini dipahat atau diukir pada kayu. Terdapat juga ornamen yang
disepuh cat emas. Ornamen yang ada pada bingkai pintu dan jendela memiliki
ukiran yang sama yaitu sulur-suluran, daun, dan bunga. Pada dinding, ukiran
ornamen berupa sulur-suluran di cat emas. Ornamen pada dinding ini juga terdapat
pada pilaster. Sementara pada tiang, ornamen menghias bagian badan tiang dengan
ukiran bunga atau sulur-suluran. Ornamen juga menghiasi bagian plafon dengan
ukiran yang lebih besar. Terdapat juga ornamen berupa bentuk persegi berwarna
putih, ditengahnya terdapat bentuk seperti matahari dan bintang segi 8 yang saling
berlapis di bagian plafon.

Universitas Indonesia
126

Foto 3.72 Ornamen pada bingkai jendela dan dinding

(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

Foto 3.73 Ornamen pada plafon

(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

Universitas Indonesia
127

BAB IV
IDENTIFIKASI GAYA BANGUNAN

4.1 Pondasi dan Lantai

Pondasi pada gedung Kimia Farma, BAPPENAS, dan gedung DPRD


Yogyakarta mirip dengan pondasi khas kuil Yunani. Bentuk yang ditampilkan
adalah bangunan yang ditinggikan dari permukaan tanah. Pondasi yang ditinggikan
ini ditujukan untuk menimbulkan ilusi optik agar tidak terlihat melengkung ketika
dilihat dari bawah (lihat gambar 4.1). Pada bentuk bangunan Kimia Farma, BPN
Surabaya, dan DPRD Yogyakarta juga memiliki kesamaan dengan gaya arsitektur
Kuil Yunani. Dengan perbedaan bahwa pondasi bangunan BPN Surabaya ini tidak
ditinggikan dari permukaan tanah.

Gambar 4.1 Contoh ilusi optik pada kuil Yunani


(Sumber: Sumalyo, 2003: 7)

Lantai pada ke empat gedung kebanyakan memakai lantai ubin dan marmer.
Terdapat juga lantai yang dilapisi kayu seperti pada lantai di gedung Kimia Farma,
akan tetapi lantai kayu ini merupakan lantai yang baru dipasang setelah gedung
Universitas Indonesia
128

dibuat menjadi dua lantai. Lantai dengan bahan batu mulai digunakan sejak abad
pertengahan dan masa Reinaissance. Pada awalnya hanya digunakan jenis batu
pasir, batu tulis, batu gamping, dan granit. Lantai berbahan marmer mulai
digunakan pada abad ke-16 di Eropa (Berman, 1997: 27). Sementara lantai
berbahan ubin/keramik juga mulai dipakai pada abad 16 – 17. Pemakaian lantai
dengan ubin/keramik juga semakin bervariasi dengan majunya industri ekspor-
impor keramik di Eropa dan Asia. Pada akhir abad ke-19 pemakaian ubin dengan
motif mulai terkenal sejak adanya gaya Art Nouveau (Berman, 1997: 48).

Bentuk lantai pada gedung BAPPENAS memiliki keunikan yaitu lantai


marmer dan dibentuk seperti papan catur di tengahnya (lihat foto 4.1). Lantai
dengan motif papan catur ini kemudian terdapat lantai kayu disekelilingnya. Bentuk
marmer dengan papan catur tersebut sudah ada pada arsitektur Barok (lihat gambar
4.2), namun bentuk lantai kayu yang kemudian ada di sekeliling lantai dikenal saat
gaya kolonial/colonial style (lihat gambar 4.3). Bentuk lantai ini ada pada lantai 2,
yaitu di ruang pertemuan. Pada lantai di gedung BAPPENAS juga terdapat motif
carreaux d’octoganes (lihat gambar 4.4), sebuah pola pada lantai yang ada sejak
abad ke-18 (Calloway, 1996: 91). Lantai dengan motif ini ada di lobby lantai 1 (lihat
foto 4.2).

Foto 4.1 Bentuk lantai motif papan catur di BAPPENAS


(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

Universitas Indonesia
129

Gambar 4.2 Lantai marmer gaya Barok Gambar 4.3 Lantai gaya kolonial

(Sumber: Calloway, 1996: 59) (Sumber: Calloway, 1996: 120)

Foto 4.2 Lantai pada BAPPENAS

(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

Gambar 4.4 Lantai motif carreaux d’octoganes

(Sumber: Calloway, 1996: 153)

Universitas Indonesia
130

Foto 4.3 Lantai di gedung BPN Surabaya Gambar 4.5 Lantai gaya Art Nouveau

(Sumber: Dokumen pribadi, 2015) (Sumber: Heuken, 2001: 108)

Pada lantai ruangan gedung BPN Surabaya terdapat juga lantai dengan motif
bunga dan juga daun-daunan (lihat foto 4.3). Motif flora serta garis lentur dan
meliuk yang halus merupakan salah satu ciri khas gaya Art Nouveau (Heuken, 2001:
108). Lantai gaya Art Nouveau ini terdapat pada lantai di ruangan depan yaitu lobby
utama, ruang arsip, ruang kerja, ruang panitia pengadaan tanah dan ganti rugi, dan
gudang. Lantai jenis ini banyak terdapat pada lantai di rumah-rumah Menteng.
Bentuk lantai ini diperkirakan baru ditambah saat renovasi gedung tahun 1900-an,
karena sesuai dengan tren Art Nouveau yang ada pada tahun 1920an (lihat gambar
4.5). Tabel analisis gaya lantai pada keempat bangunan dapat dilihat pada tabel 4.1:

Tabel 4.1 Tabel analisis pondasi dan lantai

Gaya Pondasi & Lantai


Bangunan Loji De Ster Loji Adhuc Loji De Loji Mataram
in het Oosten Stat (Gedung Vriendschap (Gedung
(Gedung BAPPENAS) (Gedung DPRD
Kimia Farma) BPN Yogyakarta)
Surabaya)
Yunani ✔ ✔ ✔

Universitas Indonesia
131

Romawi ✔

Kristen Awal
Bisantine
Carolingian &
Romanesque
Gotik
Reinassance
Barok & ✔
Rokoko
Neoklasik & ✔
Eklektik
Modernisme ✔

PostModern
Indis

4.2 Order

Dalam menganalisis bentuk order perlu diperhatikan bahwa tidak semua gaya
bangunan memiliki elemen order. Bentuk elemen ini diperkenalkan pada gaya
Yunani dan Romawi. Sehingga pada gaya-gaya setelahnya tidak terdapat bentuk
baru dan mengikuti order gaya Yunani ataupun Romawi.

Universitas Indonesia
132

Tabel 4.2 Tabel Analisis Order

Gaya Order
Bangunan Loji De Ster in Loji Adhuc Loji De Loji
het Oosten Stat (Gedung Vriendschap Mataram
(Gedung BAPPENAS) (Gedung BPN (Gedung
Kimia Farma) Surabaya) DPRD
Yogyakarta)

Yunani ✔ ✔

Romawi ✔
Kristen Awal

Bisantine
Carolingian &
Romanesque

Gotik
Reinassance

Barok &
Rokoko
Neoklasik &
Eklektik

Modernisme

PostModern

Indis

Universitas Indonesia
133

Order/tiang pada gedung Kimia Farma menunjukkan gaya Yunani, karena


memiliki order Dorik. Order Dorik juga ditemui pada gedung BPN Surabaya (lihat
foto 4.4). Order Dorik adalah salah satu dari tiga order gaya Yunani (lihat gambar
4.7). Ciri-ciri dari order Dorik adalah kolom yang gemuk (perbandingan diameter
dibanding tinggi kolom tidak terlalu besar), berdiri tanpa base, dan memiliki galur
(Sumalyo, 2003: 9).

Pada gedung DPRD Yogyakarta bentuk order yang ditemukan adalah sejenis
dengan order Tuskan (lihat foto 4.5). Bentuk dari order Tuskan adalah sederhana,
tanpa ornamen di bagian entablature, dan hanya dipenuhi molding di bagian base
dan capital (lihat gambar 4.6). Bentuk order Tuskan ini ada pada bagian muka
gedung dan menopang bagian entablature dan pediment. Pada bangunan ini juga
terdapat dua jenis order lagi namun tidak diketahui bentuk gayanya. Diperkirakan
bentuk order ini merupakan percampuran antara order klasik Eropa dengan budaya
setempat. Sementara pada gedung BAPPENAS tidak ditemukan bentuk order.
Bentuk yang ada hanyalah tiang penopang pada lobby untuk menopang lantai 2.

Foto 4.4 Bentuk order Dorik pada gedung Kimia Farma dan BPN Surabaya

(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)


Universitas Indonesia
134

Foto 4.5 Bentuk order Tuskan pada gedung DPRD Yogyakarta

(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

Gambar 4.6 Order Tuskan Romawi Gambar 4.7 Order Dorik Yunani

(Sumber: Watterson, 1968: 44) (Sumber: Sumalyo, 2003: 21)

Universitas Indonesia
135

4.3 Dinding dan Pilaster

Dinding pada gedung Kimia Farma terdapat pilaster bergaya Tuskan Romawi
(lihat foto 4.6). Pilaster ini mengelilingi dinding bagian luar gedung. Sementara
pada dinding di gedung BAPPENAS berbentuk geometris dan kubisme khas
arsitektur De Stijl (lihat gambar 4.9). Dinding berdesain sederhana dan sedikit
terdapat elemen dekoratif. Akan tetapi pada ruangan di bagian dalam gedung,
terdapat juga dinding yang dihiasi pilaster bergaya Tuskan. Pilaster bergaya Tuskan
adalah bentuk order Tuskan namun diaplikasikan pada pilaster, dengan bentuk yang
lebih pipih (lihat gambar 4.8).

Foto 4.6 Pilaster Tuskan di Kimia Farma Gambar 4.8 Bentuk Pilaster Tuskan

(Sumber: Dokumen Pribadi, 2015) (Sumber: http://maisonstone.com,


2015)

Universitas Indonesia
136

Gambar 4.9 Bentuk dinding de Stijl yang sederhana dan kubisme

(Sumber: Heuken, 2001: 63)

Pada bagian dinding fasade bagian timur dari gedung BPN Surabaya terdapat
gaya Reinassance (lihat foto 4.7). Hal ini terlihat dari adanya pilaster bergaya Dorik
yang memenuhi bagian dinding. Bentuk dinding seperti ini khas dengan bangunan
gaya Reinassance. Bentuk bangunan pada masa Reinassance pada bagian dinding
luar juga terdapat bentuk pilaster bergaya tiang Yunani atau Romawi (lihat gambar
4.10).

Foto 4.7 Bentuk dinding pada BPN Surabaya

(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)


Universitas Indonesia
137

Gambar 4.10 Bentuk Dinding Gaya Reinassance

(Sumber: Curl, 2003: 77)

Kemudian pada dinding di gedung DPRD Yogyakarta yang penuh dengan


ukir-ukiran kayu serta ornamen menunjukkan ciri-ciri khas arsitektur Jawa.
Dinding berciri arsitektur Jawa biasanya memang penuh dengan ukiran kayu serta
ornamen yang menyatu dengan bangunannya (Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan RI, 1998: 137). Terdapat juga pilaster di bagian dinding serta dinding
terbuat dari beton (lihat foto 4.8). Bentuk pilaster dan dinding dengan bahan beton
sendiri bukan merupakan bentuk arsitektur tradisional Indonesia. Bentuk ini baru
dibawa ketika bangsa Eropa masuk (masa kolonial).

Universitas Indonesia
138

Foto 4.8 Bentuk dinding DPRD Yogyakarta penuh dengan pilaster & ukiran kayu
(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

Tabel 4.3 Tabel Analisis Gaya Dinding dan Pilaster

Gaya Dinding & Pilaster


Bangunan Loji De Ster in Loji Adhuc Loji De Loji Mataram
het Oosten Stat (Gedung Vriendschap (Gedung
(Gedung Kimia BAPPENAS) (Gedung DPRD
Farma) BPN Yogyakarta)
Surabaya)
Yunani
Romawi ✔ ✔

Kristen
Awal
Bisantine

Universitas Indonesia
139

Carolingian
&
Romanesque
Gotik
Reinassance ✔

Barok &
Rokoko
Neoklasik &
Eklektik

Modernisme ✔

PostModern

Indis ✔

4.4 Langit-langit

Pada langit-langit atau plafon dari gedung Kimia Farma memiliki gaya
Romawi (lihat foto 4.9). Bentuk plafon menyerupai ½ kubah dengan rangka kayu.
Plafon ini kemudian di bagian atas ditutup oleh sejenis kayu dan gipsum berbentuk
persegi panjang. Bagian ini juga kemudian diberi tekstur bergelombang dan di cat
warna coklat muda. Bentuk kubah ataupun ½ kubah merupakan bentuk yang mulai
digunakan pada masa Romawi, serta masih digunakan pada periode arsitektur
klasik di Eropa. Kemudian juga terdapat bentuk plafon dengan ciri khas
Reinassance. Ciri khas ini adalah bentuk coffered ceilings, yaitu terdapat panil-panil
cekung berbentuk persegi yang masuk ke dalam. Bentuk plafon ini sudah ada sejak
masa Romawi namun lebih berkembang pada pada masa Reinissance (lihat gambar
Universitas Indonesia
140

4.11). Bentuk plafon ini biasanya ditengahnya terdapat ornamen yang kaya dan
ramai. (Harris, 1977: 123).

Foto 4.9 Plafon ½ kubah dan bentuk coffered ceilings pada gedung Kimia Farma

(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

Foto 4.10 Plafon bentuk coffered ceiling di gedung BAPPENAS dan gedung BPN Surabaya

(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

Plafon pada gedung BAPPENAS terlihat memiliki gaya Reinassance, Art


Deco dan juga Indis. Bentuk plafon gaya Reinassance ini di gedung BAPPENAS
terdapat pada plafon di lantai 2, tepatnya di ruang pertemuan. Plafon ini berupa
panil-panil cekung berbentuk persegi dan persegi panjang yang banyak dipakai

Universitas Indonesia
141

pada arsitektur gaya Renaissance (lihat foto 4.10). Sementara pada plafon di lobby
lantai 1 memiliki bentuk Art Deco (lihat foto 4.12). Bentuk ini ditunjukkan dari
adanya bentuk melengkung di bagian sudut dan langit-langit dengan lipatan
molding naik ke atas (lihat gambar 4.13).

Foto 4.11 Plafon gaya Art Deco pada gedung BAPPENAS


(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

Gambar 4.11 Plafon gaya Art Deco


(Sumber: Ching, 1997: 31)

Terdapat juga plafon dengan gaya Indis di bangunan ini yang ditunjukkan
dengan adanya ornamen anyaman tikar (lihat foto 4.13). Plafon gaya ini terdapat di
lantai 2 di ruang kontrol listrik yang sekarang sudah tidak terpakai. Ornamen
anyaman tikar merupakan salah satu bentuk ragam hias yang ada di arsitektur Jawa

Universitas Indonesia
142

Tengah (lihat gambar 4.14) (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1998:
143).

Foto 4.12 Plafon ornamen anyaman pada BAPPENAS


(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

Gambar 4.12 Bentuk ornamen anyam-anyaman pada arsitektur Jawa Tengah

(Sumber: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1998: 195)

Kemudian pada plafon gedung BPN Surabaya di bagian ruang dalam juga
terdapat gaya Reinassance yaitu bentuk coffered ceiling. Bentuk coffered ceiling ini
memiliki warna putih dengan rangka kayu berwarna coklat (lihat foto 4.10). Bentuk
ini terdapat pada ruangan belakang bangunan. Sementara pada ruangan bagian
depan plafonnya berbentuk gipsum putih yang diberi ornamen (lihat foto 4.11).

Universitas Indonesia
143

Ornamen pada plafon ini berbentuk sulur-suluran serta bunga yang berbingkai
persegi.

Kemudian terdapat plafon dengan hiasan sulur daun bercampur wajik/ketupat


yang juga berbingkai persegi. Bentuk plafon dengan ornamen seperti ini dikenal
sejak masa Reinassance, dan biasanya digabung dengan bentuk coffered ceiling
(lihat gambar 4.12). Pada bagian dinding juga terdapat cornice yang diberikan
ornamen. Dinding dengan cornice seperti ini ada pada dinding lobby utama dan
ruang kerja staf.

Gambar 4.13 Plafon ornamen khas Reinassance


(Sumber: Calloway, 1996: 397)

Foto 4.13 Plafon dengan ornamen pada gedung BPN Surabaya


(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

Universitas Indonesia
144

Pada plafon yang ada pada gedung DPRD Yogyakarta memiliki bentuk Barok
(lihat foto 4.15). Plafon ini terletak di bagian ruang sidang dewan. Pada bagian
tengah plafon, bentuknya naik keatas dan penuh dengan ukiran kayu. Kemudian
terdapat juga tingkatan cornice yang juga terbuat dari kayu dengan ornamen di
atasnya. Bentuk plafon seperti ini mulai dikenal sejak arsitektur Barok (lihat
gambar 4.16). Kemudian terdapat juga bentuk Art Deco pada plafon di bangunan
ini (lihat gambar 4.15). Gaya Art Deco terdapat di plafon di ruangan selain ruang
sidang dewan (lihat foto 4.14).

Gambar 4.14 Plafon dengan coffered ceiling


(Sumber: Calloway, 1996: 429

Foto 4.14 Plafon gaya Art Deco di gedung DPRD Yogyakarta


(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)
Universitas Indonesia
145

Gambar 4.15 Plafon gaya Art Deco

(Sumber: Calloway, 1996: 429)

Foto 4.15 Plafon pada gedung DPRD Yogyakarta

(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

Gambar 4.16 Plafon dengan gaya Barok

(Sumber: Calloway, 1996: 58)

Universitas Indonesia
146

Tabel 4.4 Tabel Analisis Gaya Bangunan pada Langit-langit/Plafon

Gaya Bangunan Langit-langit/Plafon


Loji De Ster in het Loji Adhuc Stat Loji De Loji Mataram
Oosten (Gedung (Gedung Vriendschap (Gedung
Kimia Farma) BAPPENAS) (Gedung BPN DPRD
Surabaya) Yogyakarta)

Yunani
Romawi ✔

Kristen Awal

Bisantine
Carolingian &
Romanesque

Gotik
Reinassance ✔ ✔ ✔

Barok & ✔
Rokoko
Neoklasik &
Eklektik

Modernisme ✔ ✔

PostModern

Indis ✔

Universitas Indonesia
147

4.5 Tritisan

Tritisan memiliki fungsi sebagai perisai yang menangkis radiasi sinar panas
dan matahari. Tritisan memiliki bermacam-macam variasi pada bentuknya. Tritisan
ada yang berbentuk horisontal dengan penggunaan kombinasi dari elevasi dan
balkon yang memberikan tekstur kaya. Tritisan berbentuk horisontal ini dapat terus
menerus menutupi keseluruhan jendela. Terdapat juga tritisan berbentuk vertikal,
tritisan yang dapat digerakkan, dan bersifat permanen (Umbas, 2002: 10).

Bentuk tritisan terdapat pada gedung BAPPENAS, BPN Surabaya, dan


gedung DPRD Yogyakarta. Pada gedung BAPPENAS dan gedung BPN Surabaya
tritisannya berbentuk horisontal dan menutupi keseluruhan jendela serta pintu.
Tritisan pada gedung BAPPENAS juga menyatu dengan bagian balkon. Tritisan
gaya horisontal ini merupakan gaya de Stijl, karena sangat menguatkan elemen
horisontal. Sementara pada gedung DPRD Yogyakarta, bentuk tritisannya khas
dengan bentuk arsitektur jawa yang melebar keluar. Pada rumah tradisional Jawa
biasanya memakai tritisan yang lebar (Sunarni, 2007: 39). Bentuk tritisan seperti
ini juga ditemui pada gedung BPN Surabaya, selain dengan tritisan bentuk
horisontal. Tritisan ini berada di atas dan merupakan bentuk perpanjangan dari atap
yang melebar keluar.

Tabel 4.5 Tabel Analisis Gaya Bangunan pada Tritisan

Gaya Tritisan
Bangunan Loji De Ster in Loji Adhuc Loji De Loji Mataram
het Oosten Stat (Gedung Vriendschap (Gedung
(Gedung Kimia BAPPENAS) (Gedung BPN DPRD
Farma) Surabaya) Yogyakarta)

Yunani

Universitas Indonesia
148

Romawi

Kristen Awal

Bisantine
Carolingian &
Romanesque

Gotik
Reinassance

Barok &
Rokoko
Neoklasik &
Eklektik

Modernisme ✔ ✔

PostModern

Indis ✔

4.6 Atap

Atap yang ada pada gedung Kimia Farma menyerupai bentuk atap arsitektur
kuil Yunani. Bentuk atap ini mengikuti dengan bentuk tympanum yang ada di
bagian portico dan kemudian melebar ke belakang menutupi bagian atas bangunan.
Karena atap ini menyatu dengan bangunan (tidak ada pelebaran keluar serta tidak
ditinggikan), maka jika kita melihat dari bawah maka seakan bentuk atap ini tidak
nampak. Sementara pada atap di gedung BAPPENAS, BPN Surabaya, dan DPRD
Yogyakarta memakai bentuk atap limasan dengan bahan genteng.

Universitas Indonesia
149

Atap limasan merupakan jenis atap yang khas ada pada arsitektur Jawa
Tengah. Bentuk bangunan limasan pun bervariasi jenisnya namun memiliki
memiliki bentuk pokok atap trapesium dengan dua buah tiang pokok yang
menopang (lihat gambar 4.17). Bentuk bangunan ini merupakan perkembangan dari
bangunan yang ada sebelumnya. Limasan diambil dari kata “lima-lasan”, yaitu
perhitungan menggunakan ukuran “molo” 3 m dan “blandar” 5 m. Akan tetapi jika
“molo” 10 m, maka “blandar” harus memakan ukuran 15 m (Departemen
Pendidikan Kebudayaan RI, 1998: 43).

Gambar 4.17 Atap dan denah bangunan Limasan


(Sumber: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1998: 43)

Universitas Indonesia
150

Tabel 4.6 Tabel Analisis Gaya Bangunan pada Atap

Gaya Atap
Bangunan Loji De Ster in het Loji Adhuc Loji De Vriendschap Loji Mataram
Oosten (Gedung Stat (Gedung (Gedung BPN (Gedung DPRD
Kimia Farma) BAPPENAS) Surabaya) Yogyakarta)
Yunani ✔

Romawi

Kristen Awal

Bisantine
Carolingian
&
Romanesque
Gotik
Reinassance

Barok &
Rokoko
Neoklasik &
Eklektik

Modernisme

PostModern

Indis ✔ ✔ ✔

Universitas Indonesia
151

4.7 Pintu

Gaya Neo-Klasik terdapat pada pintu di gedung Kimia Farma dan DPRD
Yogyakarta (lihat foto 4.16). Pada pintu di Kimia Farma merupakan pintu tipe III
jenis pertama. Pada gedung DPRD Yogyakarta ada pada pintu tipe II dan III. Pintu
ini memiliki gaya Indische Empire Style sehingga masuk kedalam kategori Neo-
klasik (lihat gambar 4.18). Pintu ini sama-sama berada di bagian depan dan
berfungsi sebagai pintu masuk utama gedung. Pintu ini berdaun ganda dan terdapat
dua lapis. Lapis pertama dari pintu berbentuk jalusi sementara lapis kedua terbuat
dari kaca. Pada gedung Kimia Farma diatas pintu jenis ini terdapat juga lubang
ventilasi dengan bentuk jalusi. Sementara pada gedung DPRD Yogyakarta tidak
terdapat ventilasi, namun ada juga pintu yang diatasnya terdapat fanlight
berornamen.

Foto 4.16 Kiri:Pintu pada gedung Kimia Farma; Kanan: Pintu pada gedung DPRD Yogyakarta

(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

Universitas Indonesia
152

Gambar 4.18 Pintu gaya Indische Empire Style


(Sumber: Junianto,2002: 27)

Pada gedung BAPPENAS terdapat pintu dengan gaya Art Deco. Pintu
bergaya Art Deco terdapat pada pintu tipe I dan pintu berdaun ganda yang memang
memiliki bentuk yang sama (lihat foto 4.17). Pada pintu yang berdaun ganda juga
terdapat dua lapis daun pintu dan disekelilingnya terdapat pilaster. Bentuk Art Deco
ditunjukkan dari bentuk jendela yang ada pada pintu yaitu melengkung (lihat
gambar 4.19). Di atas pintu terdapat fanlight dengan ornamen dari besi.

Universitas Indonesia
153

Foto 4.17 Pintu pada BAPPENAS Gambar 4.19 Pintu bergaya Art Deco

(Sumber: Dokumen pribadi, 2015) (Sumber: Calloway, 1996: 419)

Sementara pada pintu tipe I di gedung BPN Surabaya memiliki gaya Empire
Style (lihat foto 4.18). Bentuk pintu dengan empat buah panil dan berdaun ganda
serta merupakan pintu dorong, banyak ditemukan pada pintu di bangunan Empire
Style (lihat gambar 4.20). Akan tetapi biasanya pada pintu tersebut diberi bingkai
berupa bentuk pilaster Yunani atau Romawi di samping kiri dan kanannya.
Kemudian pintu tipe V dengan gaya Arts and Craft. Pintu gaya Arts and Crafts ini
terdapat pada pintu masuk yang berada di fasade bagian timur (lihat foto 4.19).
Gaya Arts and Crafts ditunjukkan dengan pemakaian panil-panil kaca di atas panil
kayu (lihat gambar 4.21).

Universitas Indonesia
154

Foto 4.18 Pintu BPN Surabaya dengan bentuk Empire Style

(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

Gambar 4.20 Pintu gaya Empire Style

(Sumber: Calloway,1996:209 )

Universitas Indonesia
155

Foto 4.19 Pintu BPN Surabaya khas Art & Crafts dengan panil kaca dan panil kayu

(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

Gambar 4.21 Bentuk pintu Art & Crafts


(Sumber: Calloway, 1996: 309)

Pada pintu di gedung DPRD Yogyakarta juga terdapat gaya Barok dan Post-
Modern. Gaya Barok ini muncul pada pintu tipe IV (lihat foto 4.20). Pintu tipe IV
penuh akan ukir-ukiran kayu di sisi kiri dan kanan. Serta pediment yang saling
bertumpuk di bagian atas. Sementara pintu dengan gaya Post-Modern terdapat pada

Universitas Indonesia
156

pintu tipe I (lihat foto 4.21). Pintu ini bergaya Wild West dan mulai digunakan pada
bangunan dengan gaya Post-Modern (Calloway, 1996: 477).

Foto 4.20 Pintu pada gedung DPRD Yogyakarta Gambar 4.22 Pintu gaya Barok

(Sumber: Dokumen pribadi, 2015) (Sumber: Calloway, 1996: 48)

Foto 4.21 Pintu di gedung DPRD Yogyakarta Gambar 4.23 Pintu gaya wild west

(Sumber: Dokumen pribadi, 2015) (Sumber: Calloway, 1996: 477)

Universitas Indonesia
157

Tabel 4.7 Tabel Analisis Gaya Bangunan pada Pintu

Gaya Pintu
Bangunan Loji De Ster in het Loji Adhuc Stat Loji De Vriendschap Loji Mataram
Oosten (Gedung (Gedung (Gedung BPN (Gedung DPRD
Kimia Farma) BAPPENAS) Surabaya) Yogyakarta)

Yunani

Romawi

Kristen Awal

Bisantine
Carolingian &
Romanesque

Gotik
Reinassance

Barok & ✔
Rokoko
Neoklasik & ✔ ✔ ✔ ✔
Eklektik
Modernisme ✔ ✔

PostModern ✔

Indis ✔

Universitas Indonesia
158

4.8 Jendela

Pada jendela tipe 2 di gedung Kimia Farma terdapat gaya Art Nouveau (lihat
foto 4.22). Jendela ini hanya terdapat satu buah dan dihias dengan motif flora serta
daun-daunan, motif yang khas Art Nouveau. Jendela ini sedikit terhalang dengan
adanya rangka kayu yang membentuk plafon. Jendela dengan kaca patri mulai
terkenal dan digunakan pada gaya Art Nouveau (lihat gambar 4.24). Kaca patri
sendiri sudah dipakai sejak masa Gotik, dan mengalami pengulangan trend pada
masa Art Nouveau dengan bentuk ornamen yang berbeda. Bentuk jendela dengan
kaca patri juga ditemukan pada gedung BAPPENAS (lihat foto 4.22). Jendela ini
merupakan jendela tipe III. Bentuk pola kaca patri pada jendela ini tidak seramai
jika dibandingkan dengan jendela tipe 2 pada gedung Kimia Farma. Motif kaca
patrinya hanya berupa motif geometris kubus dan berwarna-warni khas dengan
gaya de Stijl yang kubisme (lihat gambar 4.25).

Foto 4.22 Jendela kaca patri di gedung Kimia Farma dan gedung BAPPENAS

(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

Universitas Indonesia
159

Gambar 4.24 Kaca patri gaya Art Nouveau

(Sumber: Heuken, 2001: 110)

Gambar 4.25 Motif de stijl

(Sumber: http://www.theartstory.org/ diunduh tanggal 19 Mei 2015)

Pada bangunan BAPPENAS juga terdapat jendela dengan gaya Empire Style
(lihat foto 4.23). Gaya Empire Style terdapat pada jendela tipe I dan tipe II. Jendela
tipe I memiliki bukaan jalusi khas Empire Style dan diatasnya terdapat tiga buah
lubang ventilasi. Sementara jendela tipe II banyak digunakan pada bangunan
mewah khas Empire Style. Bentuk jendela tinggi dari lantai sampai ke plafon
biasanya digunakan pada lantai 2. Pada bangunan bergaya Empire Style jendela ini
Universitas Indonesia
160

juga berfungsi sebagai pintu menuju balkon (lihat gambar 4.26). Kemudian pada
jendela di gedung BPN Surabaya juga menunjukkan ciri khas Empire Style dengan
adanya tympanum dan pediment di bagian atas jendela. Gaya Empire Style juga
terdapat di jendela gedung DPRD Yogyakarta. Jendela ini memiliki kesamaan
dengan jendela tipe I di gedung BAPPENAS, dengan bukaan jalusi di depan.
Analisis gaya bangunan pada jendela yang ada pada keempat bangunan dapat
dilihat pada tabel 4.8:

Foto 4.23 Bentuk jendela di balkon BAPPENAS dan jendela dengan tympanum di BPN Surabaya

(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

Universitas Indonesia
161

Gambar 4.26 Jendela tinggi pada balkon dan jendela dengan tympanum gaya Empire Style
(Sumber: Calloway, 1996: 212)

Tabel 4.8 Tabel Analisis Gaya Bangunan pada Jendela

Gaya Jendela
Bangunan Loji De Ster in Loji Adhuc Loji De Loji Mataram
het Oosten Stat (Gedung Vriendschap (Gedung
(Gedung BAPPENAS) (Gedung BPN DPRD
Kimia Farma) Surabaya) Yogyakarta)

Yunani
Romawi

Kristen Awal

Bisantine
Carolingian
&
Romanesque
Gotik

Universitas Indonesia
162

Reinassance
Barok &
Rokoko
Neoklasik & ✓ ✓ ✓
Eklektik
Modernisme ✓ ✓

PostModern
Indis

4.9 Komponen Ornamental

Pada gedung Kimia Farma terdapat bentuk ornamen yang terdapat di dinding
lantai 2 (lihat foto 4.24). Ornamen ini memiliki kesamaan dengan ornamen yang
biasa ada di bagian entablature arsitektur Yunani. Ornamen ini memiliki bentuk
persegi yang saling bersusun panjang dan mengelilingi dinding bagian atas. Tepat
diatas ornamen terdapat rangka plafon yang terbuat dari kayu. Ornamen ini terbuat
dari kayu dan memiliki warna yang sama dengan bagian plafon. Ornamen ini
memiliki bentuk seperti dengan bentuk cornice pada dinding. Bentuk ornamen
Yunani ini memang kemudian banyak dipakai sebagai elemen penghias di dinding
(lihat gambar 4.27).

Universitas Indonesia
163

Foto 4.24 Ornamen di gedung Kimia Farma Gambar 4.27 Bentuk ornamen dinding

(Sumber: Dokumen pribadi, 2015) (Sumber: Calloway, 1996: 90)

Ornamen yang ada di gedung BAPPENAS terdapat di atas pintu (lihat foto
4.25). Bentuk ornamen berupa sulur-suluran dengan ketupat yang dibentuk bunga.
Ornamen ini berbentuk simetris dan terbuat dari besi. Bentuk flora seperti ini
merupakan ciri khas gaya Art Nouveau (lihat gambar 4.28). Kemudian pada gedung
BPN Surabaya ditemukan juga bentuk ornamen dengan gaya Yunani. Ornamen ini
terletak di bagian entablature yang ada di bagian muka bangunan (lihat foto 4.26).
Ornamen ini juga mengelilingi dinding bagian atas yang ada di muka bangunan.
Ornamen ini disebut dengan Triglyphs and Metopes. Ornamen ini khas dengan
arsitektur Yunani dan biasanya juga berada di bagian entablature (lihat gambar
4.29).

Foto 4.25 Ornamen di bagian fanlight pintu gedung BAPPENAS

(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

Universitas Indonesia
164

Gambar 4.28 Bentuk ornamen pada fanlight gaya Art Nouveau

(Sumber: Calloway, 1996: 353)

Foto 4.26 Bentuk ornamen Triglyphs & Metopes di entablature BPN Surabaya
(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

Universitas Indonesia
165

Gambar 4.29 Bentuk Triglyphs & Metopes pada arsitektur Yunani


(Sumber:Curl, 2003: 37)

Sementara pada ornamen di gedung DPRD Yogyakarta didominasi oleh


bentuk ragam hias arsitektur Jawa Tengah. Ornamen pada bangunan ini dipahat
pada bidang kayu. Seperti ornamen lung-lungan yang berada di bingkai pintu dan
jendela serta di bagian plafon (lihat foto 4.27). Kata lung-lungan berasal dari kata
dasar “lung” yang berarti batang tumbuhan melata yang masih muda, sehingga
melengkung. Bentuk ragam hias lung-lungan terdiri atas bentuk tangkai, daun,
bunga, atau buah yang dilukis atau dipahat (lihat gambar 4.30). Pada rumah
tradisional jawa hiasan ini tidak diberi warna mengikuti warna kayunya. Bentuk
ragam hias lung-lungan ini biasanya ditempatkan pada balok kerangka rumah, daun
pintu, dan sebagainya. Bentuk ornamen ini hanya terdapat pada rumah bangsawan
(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1998: 142).

Universitas Indonesia
166

Foto 4.27 Contoh ornamen lung-lungan pada bingkai pintu gedung DPRD Yogyakarta

(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

Gambar 4.30 Bentuk ornamen lung-lungan di arsitektur Jawa tengah

(Sumber: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1998: 140)

Kemudian terdapat juga bentuk ornamen wajikan di gedung DPRD


Yogyakarta. Ornamen wajikan ini berada di bagian bawah pintu dan tiang (lihat
foto 4.28). Disebut wajikan karena bentuk ragam hias ini seperti irisan wajik yang
berbentuk belah ketupat sama sisi. Ragam hias bentuk ini juga sering disebut juga
sebagai sengkulunan. Sengkulun sendiri merupakan nama motif batik yang
memiliki bentuk belah ketupat. Ornamen ini memiliki garis tepi dan di dalamnya
terdapat daun-daunan bersusun serta gambar bunga (lihat gambar 4.31). Cara
meletakkannya dapat berupa horizontal atau vertikal (Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan RI, 1998: 144 – 145).

Universitas Indonesia
167

Foto 4.28 Bentuk wajikan pada tiang DPRD Yogyakarta

(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

Gambar 4.31 Ornamen wajikan

(Sumber: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1998: 145)

Selain itu terdapat bentuk ragam hias patran di dinding dan pilaster pada
ruang gedung DPRD Yogyakarta. Ragam hias patran adalah bentuk ornamen khas
arsitektur Jawa Tengah yang berderet-deret (lihat gambar 4.32). Biasanya ragam
hias ini berada pada bidang datar kecil dan memanjang, dan berupa ornamen daun

Universitas Indonesia
168

(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1998: 152). Pada dinding DPRD
Yogyakarta bentuk patran ini berupa daun, bunga, dan sulur-suluran. Bentuknya
juga menghadap ke atas, sedikit berbeda dengan ornamen patran yang daunnya
menghadap ke bawah (lihat foto 4.29). Bentuk ornamen patran kemudian juga
diberi warna kuning emas.

Foto 4.29 Ornamen Patran di dinding gedung DPRD Yogyakarta

(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

Gambar 4.32 Bentuk ornamen patran pada rumah tradisional Jawa tengah

(Sumber: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1998: 153)

Pada fanlight yang ada di pintu gedung DPRD Yogyakarta juga terdapat
ornamen panah (lihat foto 4.30). Ornamen panah merupakan bentuk ornamen khas
Jawa Tengah yang diletakkan di bagian fanlight pintu atau jendela (Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1998: 180 – 182). Bentuknya berupa anak panah
yang berjumlah beberapa buah dan menghadap (konsentrasi) ke satu titik (lihat
Universitas Indonesia
169

gambar 4.33). Ornamen ini biasanya diberi warna hijau, dan pada fanlight pintu di
gedung DPRD Yogyakarta juga ornamen panah ini berwarna hijau.

Foto 4.30 Ornamen panah pada fanlight gedung DPRD Yogyakarta

(Sumber: Dokumen pribadi, 2015)

Gambar 4.33 Bentuk ragam hias panah pada tebeng/fanlight khas Jawa Tengah

(Sumber: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1998: 18)

Universitas Indonesia
170

Tabel 4.9 Tabel Analisis Gaya Ornamen

Gaya Ornamen
Bangunan Loji De Ster in Loji Adhuc Loji De Loji Mataram
het Oosten Stat (Gedung Vriendschap (Gedung
(Gedung Kimia BAPPENAS) (Gedung DPRD
Farma) BPN Yogyakarta)
Surabaya)
Yunani ✓ ✓

Romawi

Kristen
Awal
Bisantine
Carolingian
&
Romanesque
Gotik
Reinassance
Barok &
Rokoko
Neoklasik &
Eklektik
Modernisme ✓

PostModern
Indis ✓

Universitas Indonesia
171

BAB V
KESIMPULAN

Berdasarkan apa yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, bangunan loji
Vrijmetselarij di Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya ternyata banyak mengadopsi
gaya Eropa pada bentuk bangunannya. Dari segi bentuk umum bangunan loji De
ster in het Oosten atau gedung Kimia Farma memiliki gaya Neo-Klasik Yunani dan
Romawi. Bentuk bangunan mengikuti arsitektur kuil Yunani. Bangunan dengan
gaya Neo-Klasik memang memakai bentuk arsitektur klasik namun dengan fungsi
yang berbeda dengan bentuk arsitektur aslinya. Seperti bentuk arsitektur kuil
Yunani yang dipakai pada bangunan loji De Ster in het Osten. Bentuk atap juga
mengikuti atap seperti pada kuil Yunani.

Akan tetapi pada bangunan ini juga terdapat gaya bangunan modern, yaitu
dari bentuk kaca patrinya. Bentuk kaca patri sendiri merupakan bentuk yang ada
saat masa arsitektur klasik (arsitektur Gotik) namun pada kaca patri ini memiliki
pola Art Nouveau. Sehingga pada bangunan ini memiliki gaya Neo-Klasik dengan
gaya Yunani, Romawi, dan Reinassance. Kemudian terdapat percampuran dengan
gaya modern yaitu dari bentuk jendela. Kemudian karena bangunan sudah banyak
direnovasi, banyak bentuk post-modern seperti penggunaan pintu kaca dengan besi
dan pintu plastik.

Bangunan loji Adhuc Stat atau gedung BAPPENAS dari bentuk umum
memiliki gaya Modern de stijl. Salah satu ciri-cirinya adalah bentuk tritisan yang
mengelilingi dinding bangunan pada ketinggian atas jendela sehingga memperkuat
unsur de Stijl. Pada gedung juga terdapat banyak bentuk arsitektur modern seperti
bentuk Art Deco dan de Stijl pada pintu dan jendela. Gaya klasik juga ditemukan
pada bangunan ini, seperti bentuk lantai dengan pola Barok dan gaya kolonial.
Kemudian bentuk plafon/langit-langit dengan gaya Reinassance.
Universitas Indonesia
172

Serta terdapat juga bentuk jendela yang bergaya Neo-Klasik yaitu Empire
Style. Kemudian pada bentuk atap memakai gaya Indis. Bangunan dengan bentuk
seperti loji Adhuc Stat atau gedung BAPPENAS ini memang merupakan bentuk
bangunan yang ada pada akhir abad 19 di Indonesia. Sehingga dapat dikatakan
bentuk bangunan ini memiliki gaya Modern, yang didalamnya terdapat gaya de Stijl
dan Art Deco. Kemudian terdapat percampuran dengan gaya Indis, klasik, serta
Neo-Klasik.

Sementara pada gedung loji De Vriendschap atau gedung BPN Surabaya


memiliki gaya Neo-Klasik yaitu Empire Style dengan kolom doric di fasade depan.
Gaya Empire Style ini tidak lepas dari pengaruh Gubernur Daendels yang pernah
menguasai Surabaya dan meninggalkan banyak pengaruh khususnya bentuk
arsitektur Empire Style pada abad ke-19. Pada bangunan ini gaya Empire Style,
ada pada bentuk jendela dan pintu. Kemudian terdapat juga gaya klasik yaitu
Reinassance yang terdapat pada bagian plafon. Bangunan ini juga memiliki gaya
modern yaitu Arts & Crafts yang terdapat pada bagian pintu. Gaya Arts & Crafts
ini memang mulai terkenal pada tahun 1860 – 1925. Sehingga bentuk ini sesuai
dengan tahun pembangunan bangunan loji De Vriendschap atau gedung BPN
Surabaya.

Pada bangunan loji Mataram atau gedung DPRD Yogyakarta, memiliki


gaya arsitektur khas Jawa Tengah yang bercampur dengan bentuk bangunan Eropa.
Dari segi tata ruang bangunan ini mirip dengan konsep rumah tradisional yaitu
terdapat pendopo, lobby yang memiliki 4 tiang penyokong, ruang utama dengan 6
tiang di tengah (saat ini sebagai ruang sidang), teras, dan ruang pelayanan.
Kemudian terdapat banyak ukiran khas Jawa Tengah yang memenuhi bangunan,
seperti pada dinding, pintu, jendela, dan plafon. Ukiran pada kayu ini banyak
ditemukan pada bangunan milik bangsawan di daerah Jawa.

Universitas Indonesia
173

Percampuran bentuk dengan bangunan Eropa terdapat pada bagian dinding


dan pondasi. Bentuk dinding dengan beton memang baru dikenal sejak bangsa
Eropa datang ke Hindia-Belanda (Indonesia). Kemudian pada bentuk pondasi yang
ditinggikan mirip dengan pondasi arsitektur Yunani. Dari bentuk jendela juga
memiliki gaya Empire Style, namun dengan bentuk fanlight khas Indis. Sehingga
dapat dikatakan bangunan ini memiliki gaya Indis dengan bentuk elemen Eropa
yaitu Neo-Klasik.

Sehingga kesimpulan yang didapat adalah pada tiga bangunan loji (Gedung
Kimia Farma, gedung BAPPENAS, gedung DPRD Yogyakarta) ini memiliki
kesamaan gaya, yaitu NeoKlasik. Hal ini dikarenakan juga oleh faktor tahun
pembangunan gedung. Pada abad ke-19, Belanda banyak membangun bangunan
bergaya NeoKlasik. Semakin awal pembangunannya, gaya arsitektur Eropa yang
diadopsi lebih dominan, seperti pada loji De Ster in het Oosten. Sementara pada loji
De Vriendschap atau gedung BPN Surabaya dan loji Mataram atau gedung DPRD
Yogyakarta yang dibangun mendekati tahun 1900an, sudah banyak bercampur
dengan bentuk arsitektur khas Indis. Kemudian pada gedung BAPPENAS yang
memiliki gaya Modern, berbeda dengan ketiga loji lain. Hal ini dikarenakan pada
abad 20 awal, mulai muncul gaya baru yang menjadi trend dalam membangun
sebuah bangunan.

Dalam bentuk ruangan loji, juga dilihat memiliki kesamaan yaitu adanya
ruang seperti auditorium yang luas di bagian tengah bangunan. Ruang ini terdapat
pada keempat bangunan loji, namun pada loji De Ster in het Oosten atau gedung
Kimia Farma sudah tertutup oleh dinding dan sekat. Pada fungsinya, ruang yang
luas ini diperkirakan menjadi ruang pemujaan bagi para anggota Vrijmetselarij.

Pada keempat bangunan ditemukan juga simbol dari Vrijmetselarij. Simbol


ini berupa jangka dan penggaris, yang merupakan simbol penanda organisasi ini.
Walaupun pada gedung BAPPENAS simbol ini telah dihilangkan, pada gedung
Universitas Indonesia
174

BPN Surabaya simbol ini masih terdapat di bagian tympanum. Terdapat juga
bentuk ornamen bintang seperti pada gedung DPRD Yogyakarta dan gedung Kimia
Farma. Pada gedung Kimia Farma bentuk bintang di bagian fasade sudah tidak ada,
namun pada gedung DPRD Yogyakarta bentuk ini ada di bagian plafon. Tidak
diketahui dengan pasti apakah bentuk simbol bintang merupakan salah satu simbol
penanda dari loji Vrijmetselarij.

Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA

Akihary, Huib. (1996). Ir. F.J.L. Ghijsels, Architect in Indonesia (1910 – 1929).

Distributor, Java Books.

Bentuk dan Fungsi pada Arsitektur. TT. Dialih bahasakan oleh 24G.

Berman, Alan. (1997). The Complete Book of Floor. Frances Lincoln Limited.

Budihardjo, Eko. (1991). Arsitektur Bukan Sekadar Bangunan. Jati Diri

Arsitektur Indonesia. Bandung: Penerbit Alumni, 70 – 75.

Boediono, Endang. (1997). Sejarah Arsitektur 1. Yogyakarta: Kanisius.

_______________. (1997). Sejarah Arsitektur 2. Yogyakarta: Kanisius.

Calloway, Stephen. (1991). Elements of Style. New York: Simon & Schuster.

Ching, Francis D.K. (1997). A Visual Dictionary of Architecture. Canada: John

Willey & Sons, Inc.

Curl, James Stevens. (2003). Classical Architecture. New York: W.W Norton &

Company.

Conway, Hazel dan Rowan Roenisch. (2005). Understanding Architecture An

introduction to architecture and architectural history. Routledge.

Deetz, James. (1967). Invitation to Archaeology. New York: The Natural History

Press.

Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Kebudayaan. (2000).

Laporan Pendokumentasian Bangunan-Bangunan Kuno yang Merupakan


Struktur Kota Yogyakarta Lama. Yogyakarta: Suaka Peninggalan Sejarah
dan Purbakala Daerah Istimewa Yogyakarta.

1 Universitas Indonesia
176

De Wit, Wim. (1983). The Amsterdam School: Dutch Expressionist Architecture,

1915-1930. MIT Press

Duncan, Alastair. (2001). Art Nouveau. London: Thames & Hudson LTD.

Handinoto. (1996). Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial belanda di

Surabaya (1870 – 1940). Lembaga Penelitian dan Pengabdian

Kepada Masyarakat Universitas Kristen dan PETRA Surabaya.

_________. (2008). Daendels dan Perkembangan Arsitektur Hindia Belanda abad

19. Jurnal DIMENSI vol 36, No. 1. 43 – 53.

Handinoto & Samuel Hartono. (2007). “The Amsterdam School” dan

Perkembangan Arsitektur Kolonial di Hindia Belanda Antara 1915-1940.


Jurnal DIMENSI; Vol 35, No 1. 1 – 24.

Harris, Cyrill M. (1977). Historic Architecture Sourcebook. United States of

America:McGraw-Hill Book Company.

Haris, Tawalinuddin. (1993). Perkembangan Kota Jakarta. Laporan Penelitian.

Universitas Indonesia.

________________. (1994). Lahirnya Museum di Indonesia. Laporan Penelitian.

Universitas Indonesia.

Hastings, James. (1914). Encyclopaedia of Religion and Ethics Vol. VI. New

York: Charles Scribner’s Sons.

Hendra, Herman Failasuf. (2003). Adaptasi Guna Mencapai Kenyamanan di

dalam Bangunan Kolonial Pada Lingkungan Padat. Studi Kasus : Rumah


Indis di Kampung Kemasan Kota Lama Gresik. Jurnal Arsitektur-

Universitas Indonesia
177

TEKSTUR, Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya, Volume 1 Nomor 2.


212 – 216.

Heuken, Adolf SJ. (2000). Historical Sites of Jakarta. Jakarta: Yayasan

Cipta Loka Caraka.

_______________. (2001). Menteng – Kota taman pertama di Indonesia. Jakarta:

Yayasan Cipta Loka Caraka.

Isabella Isthipraya, Heru Susanto, Roy Noviyanto, dan Stephan Nugroho. (2009).

Perpaduan Budaya pada Arsitektur dan Desain Interior Hunian di Kawasan


Lama Kota Tuban, Studi Kasus: Hunian Tipe Vila Jl. Dr. Soetomo dan
Kampung Arab. Laporan Penelitian. Universitas Kristen Maranatha.

Jencks, Charles. (1991). Language of Post-Modern Architecture 6. Rizzoli.

Junianto. (2002). Arsitektur Indis. Semarang: Group Konservasi Arsitektur dan


Kota.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. (1990). Jakarta: Balai Pustaka.
Lucy Peel, Polly Powell, dan Alexander Garrett. (1989). An Introduction to 20th –

Century Architecture. New Jersey: Chartwell Books.

Pusat Dokumentasi Arsitektur. (2000). Laporan penelitian sejarah bangunan tua:

inventaris bangunan cagar budaya - wilayah Jakarta Pusat. Jakarta : Dinas


Permuseuman dan Pemugaran DKI Jakarta.

________________________. (2005). Data Benda Cagar Budaya Tidak Bergerak

Milik Instansi/Pribadi/Kolektor di Provinsi DKI Jakarta. Jakarta: Dinas


Kebudayaan dan Permuseuman.

Poerwokoesoemo, KPH MR. Soedarisman. (1968). Daerah Istimewa Yogyakarta.

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Renfrew, Colin dan Paul Bahn. (2005). Archaeology The Key Concepts.

Universitas Indonesia
178

Routledge 2 Park Square, Milton Park, Abingdon, Oxon.

Renfrew, Colin. (2004). Symbol Before Concept: Material Engagement and the

Early Development of Society. Archaeological Theory Today. USA:


Blackwell Publishers.

Sardadi, Baskoro. (1991). Arsitektur Tradisional: Sebuah Faktor dalam

Perancangan. Jati Diri Arsitektur Indonesia. Bandung: Penerbit Alumni, 60


– 69.

Snyder, James dan Anthony J. Cantanese. (1989). Pengantar Arsitektur. Penerbit

Erlangga.

Soekiman, Djoko. (2000). Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat

Pendukungnya di Jawa (Abad XVIII– Medio Abad XX) . Yogyakarta:


Yayasan Bentang Budaya.

Stevens, Th. (2004). Tarekat mason bebas dan masyarakat di Hindia-Belanda

dan Indonesia 1764 – 1962. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

Sumalyo, Yulianto. (1995). Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia. Gadjah

Mada University Press.

_______________. (1997). Arsitektur Modern Akhir Abad XIX dan Abad XX.

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

_______________. (2003). Arsitektur Klasik Eropa. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press.

Sunarni,dkk. (2007). Arsitektur dan Interior Nusantara. Surakarta: UNS Press

Taylor, Jean Gelman. (2009). Kehidupan Sosial di Batavia. Masup Jakarta.

Tjahjono, Gunawan. (1999). Tema sejarah dalam pendidikan arsitektur. Laporan

Universitas Indonesia
179

Penelitian. Universitas Indonesia.

Umbas, Rangga. (2002). Pengaruh bentuk tritisan pada kenyamanan termal

bangunan sekolah. Skripsi FT-UI: Universitas Indonesia.

Van der Veur, Paul W. (1976). Freemasonry in Indonesia from Radermacher to

Soekanto, 1762 – 1961. International Studies Southeast Asia Series no. 40.

Widodo, Iman Dukut. (2013). Hikajat Soerabaia Tempo Doeloe. Surabaya: Dukut

Publishing.

Watterson, Joseph. (1968). Architecture a Short History. New York: W.W.

Norton

Sumber Elektronik

http://www.artdecowa.org.au/artdeco.htm diunduh tanggal 05 Mei 2015

http://glanmore.ca/second-empire-style-architecture/ diunduh tanggal 05 Mei 2015

http://bataviadigital.perpusnas.go.id diunduh tanggal 01 Juni 2015

clipart.com diunduh tanggal 20 Juni 2015

arsitekturpoint.wordpress.com diunduh tanggal 20 Juni 2015

Greatbuildings.com diunduh tanggal 20 Juni 2015

http://englishforarchitects.pbworks.com diunduh tanggal 20 Juni 2015

http://www.arborsapientiae.com diunduh tanggal 20 Juni 2015

http://skyscraperpage.com diunduh tanggal 20 Juni 2015

https://postmoderntherapies.wikispaces.com diunduh tanggal 20 Juni 2015

Universitas Indonesia
180

jakarta.go.id diunduh tanggal 20 Juni 2015

http://maisonstone.com, diunduh tanggal 28 Juni 2015

google-earth-com

media-kitlv.nl

collectie.tropenmuseum.nl

Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai