Anda di halaman 1dari 5

Makalah

KESULTANAN JAMBI

S
E
J
A
R
A
H

Disusun:
 Muh. Fadil Faturahman
 Jumail Alam Syaila
 Andi Muhammad Dani R.K.T
 Christian Jeremia Chandra
Daftar isi

1. Letak dan Sejarah Kesultanan Jambi

2. Pendiri Kesultanan Jambi

3. Puncak Kejayaan Kesultanan Jambi

4. Keruntuhan Kerajaan cirebon

5. Peninggalan Kesultanan Jambi


1. Letak dan Sejarah Kesultanan jambi

Kesultanan Jambi adalah kerajaan Melayu Islam yang pernah berdiri di


Provinsi Jambi pada abad ke-17 hingga awal abad ke-20. Sebelum berubah menjadi
kesultanan, namanya dikenal dengan Kerajaan Melayu Jambi.

Kerajaan Jambi didirikan oleh Datuk Paduko Berhalo bersama istrinya, Putri
Selaras Pinang Masak, pada 1460. Pada 1615, kerajaan ini resmi menjadi kesultanan
setelah Pangeran Kedah naik takhta dan menggunakan gelar Sultan Abdul Kahar.

Di bawah Sultan Abdul Kahar pula, Kesultanan Jambi mencapai masa


kejayaan, di mana Jambi menjadi salah satu perniagaan utama di Sumatera.

Sejarah Berdirinya

Sejak dikuasai Kerajaan Sriwijaya, Jambi telah dianggap memiliki peluang


yang baik dalam bidang perdagangan. Kerajaan Sriwijaya pun diakui sebagai
penguasa sukses, khususnya dalam membangun hubungan perdagangan.
Pada 1460, Datuk Paduko Berhalo, yang konon berasal dari Turki, mendirikan
Kerajaan Melayu Jambi bersama istrinya, Putri Selaras Pinang Masak. Meski letak
Kerajaan Jambi berada di Pulau Sumatera, tepatnya di Provinsi Jambi, tetapi
keberadaannya tidak luput dari jangkauan Kerajaan Majapahit.
Kala itu, Kerajaan Jambi berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit,
yang berpusat di Jawa Timur. Pada akhir abad ke-16, Kerajaan Majapahit runtuh,
bersamaan dengan tersiarnya agama Islam di Jambi. Kerajaan Jambi secara resmi
berubah menjadi kesultanan saat Pangerah Kedah naik takhta pada 1615 dengan gelar
Sultan Abdul Kahar.

2. Pendiri Kesultanan Jambi


Kesultanan ini sebelumnya bernama kerajaan Melayu Jambi yang didirikan
oleh Datuk Paduko Berhalo bersama istrinya, Putri Selaras Pinang Masak di Kota
Jambi, pada tahun 1460. Dalam perkembangannya, pada tahun 1615 kerajaan ini
resmi menjadi kesultanan setelah Pangeran Kedah naik takhta dan menggunakan gelar
Sultan Abdul Kahar. Kesultanan Jambi resmi dibubarkan oleh pemerintah Hindia
Belanda pada tahun 1906 dengan sultan terakhirnya Sultan Thaha Syaifuddin.

3. Masa Kejayaan
Sejak pertengahan abad ke-16, para penguasa Jambi mengadakan perdagangan
lada yang menguntungkan dengan bangsa Portugis, Inggris, dan Belanda. Kegiatan
perdagangan itu juga melibatkan bangsa China, Melayu, Makassar, dan Jawa.
Kehidupan ekonomi Kesultanan Jambi yang makmur akibat kegiatan perdagangan
inilah yang mampu membawa kerajaan menuju masa kejayaan di bawah Sultan Abdul
Kahar.
Sultan Kesultanan Jambi yang pertama ini berhasil membawa kerajaannya
menjadi makmur berkat monopoli perdagangan lada dan pengenaan bea ekspor.
Bahkan, pada 1616, ibu kota Jambi sudah dipandang sebagai pelabuhan terkaya kedua
di Sumatera, setelah Aceh. Berdasarkan data VOC, Sultan Jambi meraup keuntungan
30-35 persen dari lada yang terjual. Sultan Abdul Kahar juga dikatakan sebagai
penguasa yang kuat, bahkan tidak takut dengan tuntutan Raja Johor dan tidak pernah
mau bekerja sama dengan VOC.

4. Keruntuhan kesultanan Jambi


Pada 1643, Sultan Abdul Kahar memilih turun takhta dan kedudukannya
digantikan oleh Pangeran Depati Anom atau Sultan Agung.
Hal ini dilakukan setelah VOC menyodorkan perjanjian dagang kepada
Kesultanan Jambi, dengan tujuan melakukan monopoli. Sultan Abdul Kahar menolak
perjanjian tersebut dan memilih mengundurkan diri dari takhta kerajaan.
Setelah Pangeran Depati Anom, perjanjian pertama Kesultanan Jambi dengan
VOC pun dilakukan, yang perlahan membawa kemunduran bagi kerajaan. Pada 1680-
an, Jambi mulai kehilangan kedudukannya sebagai pelabuhan lada utama setelah
pertempuran dengan pihak Johor. Selain itu, adanya penyelundupan dan utang, juga
menjadi penyebab runtuhnya Kesultanan Jambi, yang diperparah dengan campur
tangan Belanda dalam politik kerajaan.
Ketika berada di bawah jeratan Belanda, intrik di dalam kerajaan semakin
membuat Jambi terpuruk dan rakyatnya dilanda kemiskinan.
Pada 1855, Sulyam Mazaruddin wafat dan kedudukannya sebagai sultan
digantikan oleh putranya, Taha Safiuddin. Berbeda dari penguasa sebelumnya, Sultan
Taha menolak keras perjanjian dengan Belanda.
Bahkan, utusan Belanda yang beberapa kali datang untuk menyodorkan
perjanjian kepadanya, selalu dihindari. Akibatnya, Belanda marah dan melayangkan
serangan pada 1858, hingga berhasil menguasai istana.
Dalam serangan itu, Sultan Taha melarikan diri, sehingga Pangeran Prabu
kemudian diangkat oleh Belanda menjadi penguasa baru di Kesultanan Jambi dengan
gelar Sultan Ahmad Nazaruddin. Ketika Sultan Taha dalam pelarian, Kesultanan
Jambi sempat dipimpin oleh beberapa sultan di bawah pengaruh Belanda.
Kesempatan datang ketika terjadi kekosongan kekuasaan pada 1899, setelah
Sultan Zainuddin dicopot oleh Belanda.
Namun, Belanda masih berkuasa dengan menempatkan seorang residen untuk
menempati posisi sultan.

5. Peninggalan Kesultanan Jambi


 Makam Taman Rajo-Rajo
 Masjid Agung Al-Falah Jambi
 Istana Abdurrahman Thaha Saifuddin
 Rumah Batu Olak Kemang

Anda mungkin juga menyukai