Anda di halaman 1dari 15

A.

PETA KONSEP

KERAJAAN ISLAM DI SUMATERA

Kerajaan Islam di Kerajaan Islam di Kerajaan Islam di


Jambi Sumatra Selatan Sumatra Barat

Proses Berdiri Proses Berdiri Proses Berdiri

Perkembangan Perkembangan Perkembangan

Hasil kebudayaan Hasil kebudayaan Hasil kebudayaan

B. MATERI

A. Kerajaan Islam di Sumatera


1. Kerajaan Islam di Jambi
Berdasarkan temuan-temuan arkeologis kemungkinan kehadiran Islam di daerah Jambi diperkirakan
dimulai sejak abad ke-9 atau abad ke-10 sampai abad ke-13. Kemungkinan pada masa itu proses Islamisasi
masih terbatas pada perorangan. Karena proses Islamisasi besar-besaran bersamaan dengan tumbuh dan
berkembangnya Kerajaan Islam Jambi sekitar 1500 M di bawah pemerintahan Orang Kayo Hitam yang juga
meluaskan “Bangsa XII” dari “Bangsa IX”, anak Datuk Paduka Berhala. Konon menurut Undang- Undang
Jambi, Datuk Paduka Berhala adalah orang dari Turki yang terdampar di Pulau Berhala yang kemudian
dikenal dengan sebutan Ahmad Salim. Ia menikah dengan Putri Salaro Pinang Masak yang sudah Muslim,
turunan raja-raja Pagarruyung yang kemudian melahirkan Orang Kayo Hitam, Sultan Kerajaan Jambi yang
terkenal. Karena itu kemungkinan besar penyebaran Islam sudah terjadi sejak sekitar tahun 1460 atau
pertengahan abad ke-15. Menurut Sila-sila Keturunan Raja Jambi, dari pernikahan antara Datuk Paduka
Berhala dengan Putri Pinang Masak, melahirkan juga tiga saudaranya Orang Kayo Hitam yaitu Orang Kayo
Pingai, Orang Kayo Pedataran/Kedataran, dan Orang Kayo Gemuk (seorang putri). Yang menjadi pengganti
Datuk Paduka Berhala ialah Orang Kayo Hitam yang beristri
salah seorang putri dari saudara ibunya ialah Putri Panjang Rambut. Pengganti Orang Kayo Hiam
ialah Panembahan Ilang di Aer yang setelah wafat dimakamkan di Rantau Kapas sehingga terkenal pula
dengan Panembahan Rantau Kapas. Masa pemerintahan Datuk Paduka Berhala beserta Putri Pinang Masak
sekitar tahun 1460, Orang Kayo Pingai sekitar
tahun 1480, Orang Kayo Pedataran sekitar tahun 1490. Sedangkan masa pemerintahan Orang Kayo Hitam
sendiri sekitar tahun 1500, Panembahan Rantau Kapas sekitar antara tahun 1500 hingga 1540, Panembahan
Rengas Pandak cucu Orang Kayo Hitam sekitar tahun 1540 M, Panembahan Bawah Sawoh cicit Orang Kayo
Hitam sekitar tahun 1565. Setelah Panembahan Bawah Sawoh meninggal dunia, pemerintahan diganti kan
oleh Panembahan Kota Baru sekitar tahun 1590, dan kemudian diganti lagi oleh Pangeran Keda yang
bergelar Sultan Abdul Kahar pada 1615. Sejak masa pemerintahan Kerajaan Islam Jambi di bawah Sultan
Abdul Kahar itulah orang-orang VOC mulai datang untuk menjalin hubungan perdagangan. Mereka
1
membeli hasil-hasil Kerajaan Jambi terutama lada. Dengan izin Sultan Jambi pada 1616, Kompeni Belanda
(VOC) mendirikan lojinya di Muara Kompeh. Tetapi beberapa tahun kemudian ialah pada 1636 loji tersebut
ditinggalkan karena rakyat Jambi tidak mau menjual hasil- hasil buminya kepada VOC. Sejak itu hubungan
Kerajaan
Jambi dengan VOC makin renggang, ditambah pada 1642 Gubernur Jenderal VOC Antonio van
Diemn menuduh Jambi bekerjasama dengan Mataram. Pada masa pemerintahan Sultan Sri Ingalogo (1665-
1690) terjadi peperangan antara Kerajaan Jambi dengan Kerajaan Johor di mana Kerajaan Jambi mendapat
bantuan VOC dan akhirnya menang. Meskipun demikian, sebagai upah bantuan itu VOC berturut-turut
menyodorkan perjanjian pada 12 Juli 1681, 20 Agustus 1681, 11 Agustus 1683, dan 20 Agustus 1683. Pada
hakikatnya perjanjian-perjanjian tersebut menguatkan monopoli pembelian lada, dan sebaliknya VOC
memaksakan untuk penjualan kain dan opium. Beberapa tahun kemudian terjadi penyerangan kantor dagang
VOC oleh rakyat Jambi dan kepala pedagang VOC, Sybrandt Swart terbunuh pada 1690 dan Sultan Jambi
dituduh terlibat. Oleh karena itu,
Sultan Sri Ingalogo ditangkap dan diasingkan mula-mula ke Batavia dan akhirnya ke Pulau Banda.
Sultan penggantinya ialah Pangeran Dipati Cakraningrat yang bergelar Sultan Kiai Gede. Dengan demikian,
Sultan Ratu yang lebih berhak disingkirkan dan ia dengan sejumlah pengikutnya pindah ke Muaratebo,
membawa keris pusaka Sigenjei, keris lambing bagi Raja-Raja Jambi yang mempunyai hak atas kerajaan.
Sejak itulah terus-menerus terjadi konflik yang memuncak dengan pemberontakan dan perlawanan Sultan
Thâhâ Sayf al-Dîn yang dipusatkan terutama di daerah Batanghari Hulu. Di daerah inilah pada pertempuran
yang sengit, Sultan Thaha gugur pada 1 April 1904 dan ia dimakamkan di Muaratebo.

2. Kerajaan Islam di Sumatra Selatan


Sejak Kerajaan Sriwijaya mengalami kelemahan bahkan runtuh sekitar abad ke-14, mulailah proses
Islamisasi sehingga pada akhir abad ke-15 muncul komunitas Muslim di Palembang. Palembang pada akhir
abad ke-16 sudah merupakan daerah kantong Islam terpenting atau bahkan pusat Islam di bagian selatan
“Pulau Emas”. Bukan saja karena reputasinya sebagai pusat perdagangan yang banyak dikunjungi pedagang
Arab/Islam pada abad-abad kejayaan Sriwijaya, tetapi juga dibantu oleh kebesaran Malaka yang tak pernah
melepaskan keterlibatannya dengan Palembang sebagai tanah asalnya. Palembang sekitar awal abad ke-16
sudah ada di bawah pengaruh kekuasaan Kerajaan Demak masa pemerintahan Pate Rodim seperti
diberitakan Tome Pires (1512-1515) bahkan pada waktu itu penduduk Palembang berjumlah lebih kurang
10.000 orang. Tetapi banyak yang mati dalam serangan membantu Demak terhadap Portugis di Malaka.
Mereka berdagang dengan Malaka dan Pahang dengan jung-jung sebanyak 10 atau 12 setiap tahunnya.
Komoditi yang diperdagangkan adalah beras dan bahan makanan, katun, rotan, lilin, madu, anggur, emas,
besi, kapur barus, dan lain-lainnya. Meskipun kedudukan Palembang sebagai pusat penguasa Muslim sudah
ada sejak 1550, namun nama tokoh yang tercatat menjadi sultan pertama Kesultanan Palembang ialah
Susuhunan Sultan Abdurrahman Khalifat al-

Sumber : Taufik Abdullah dan A.B Lapian (ed). 2012. Indonesia Dalam Arus Sejarah. Jilid III. Jakarta: PT
Ichtiar Baru van Hoeve.
Gambar 3.17 Mesjid Agung Palembang yang dibangun pada masa pemerintahan Sultan Mahmud
Badaruddin

Mukminin Sayyid al-Iman/Pangeran Kusumo Abdurrahman/ Kiai Mas Endi sejak 1659 sampai 1706.
Palembang berturutturut diperintah oleh 11 sultan sejak 1706 dan sultan yang terakhir, Pangeran
Kromojoyo/Raden Abdul Azim Purbolinggo (1823-1825). Kontak pertama Kesultanan Palembang dengan
VOC terjadi pada 1610, tetapi karena VOC tidak dipedulikan kepentingannya maka selalu terjadi
kerenggangan. Pada 1658 wakil dagang VOC, Ockersz beserta pasukannya dibunuh dan dua buah kapalnya

2
yaitu Wachter dan Jacatra dirampas. Akibatnya pada 4 November 1659 terjadi peperangan antara Kesultanan
Palembang dengan VOC di bawah pimpinan Laksamana Joan van der Laen. Pada perang ini Keraton
Kesultanan Palembang dibakar. Demikian pula Kuta dan permukiman penduduk Cina, Portugis, Arab dan
bangsa- bangsa lainnya yang berada di seberang Kuta juga dibakar. Kota Palembang dapat direbut lagi oleh
pasukan Palembang dan kemudian dilakukan pembangunan-pembangunan, kecuali Masjid Agung yang
hingga kini masih dapat disaksikan meskipun sudah ada beberapa perubahan. Masjid agung mulai dibangun
28 Jumadil Awal 1151 H atau 26 Mei 1748 M pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-
1758). Pada masa pemerintahan putranya yaitu Sultan Ahmad Najmuddin (1758-1774) syiar agama Islam
makin pesat. Pada waktu itu, berkembanglah hasil-hasil sastra keagamaan dari tokoh-tokoh, antara lain,
Abdussamad al- Palimbani, Kemas Fakhruddin, Kemas Muhammad ibn Ahmad, Muhammad Muhyiddin ibn
Syaikh Shibabuddin, Muhammad Ma’ruf ibn Abdullah, dan lainnya. Mengenai ulama terkenal Abdussamad
bin Abdullah al-Jawi al-Palimbani (1704-1789), telah dibicarakan Azyumardi Azra dalam Historiografi
Islam Kontemporer secara lengkap tentang riwayatnya, ajaran serta kitab-kitabnya dan guru-guru sufi serta
tarekatnya. Dalam perjalanan sejarahnya, Kesultanan Palembang sejak pemerintahan Sultan Mahmud Badar
II mendapat serangan dari pasukan Hindia Belanda pada Juli 1819 atau yang dikenal sebagai Perang
Menteng (diambil dari kata Muntinghe). Serangan besar-besaran oleh pasukan Belanda pimpinan J.C.
Wolterboek yang terjadi pada Oktober 1819 juga dapat dipukul mundur oleh prajurit-prajurit Kesultanan
Palembang. Tetapi pihak Belanda pada Juni 1821 mencoba lagi melakukan penyerangan dengan banyak
armada di bawah pimpinan panglima Jenderal de Kock. Sultan Mahmud Badaruddin II ditangkap kemudian
dibuang ke Ternate. Kesultanan Palembang sejak 7 Oktober 1823 dihapuskan dan kekuasaan daerah
Palembang berada langsung di bawah Pemerintah Hindia Belanda dengan penempatan Residen Jon Cornelis
Reijnst yang tidak diterima. Sultan Ahmad Najaruddin Prabu Anom karena memberontak akhirnya
ditangkap kemudian diasingkan ke Banda, dan seterusnya dipindahkan ke Menado.

Sumber :Harsja.
Bachtiar,
Peter
B.R.
Carey,

Onghokham. 2009. Raden Saleh: Anak Belanda, Mooi Indie dan Nasionalisme. Jakarta
Komunitas Bambu.
Gambar 3.18 Jenderal de Kock

3. Kerajaan Islam di Sumatra Barat

A. Kerajaan Pagaruyung
1. Sejarah
Sejarah Kerajaan Pagaruyung tidak bisa dipisahkan dari adanya Ekspedisi Pamalayu pada 1275
(M.D. Mansoer, et.al., 1970:51). Ekspedisi Pamalayu merupakan sebuah ekspedisi untuk menaklukkan
Melayu dengan pusat Kerajaan Darmasraya di Swarnnabhumi (Sumatera). Ekspedisi ini merupakan buah
pemikiran dari Raja Kertanegara dari Kerajaan Singasari yang naik tahta pada 1254 (Marwati Djoenoed

3
Poeponegoro & Nugroho Notosusanto, 1993: 410). Raja Kertanegara mempunyai beberapa tujuan dalam
melakukan Ekspedisi Pamalayu ini. Seperti ditulis dalam buku Sejarah Nasional Indonesia II (1993), Raja
Kertanegara merupakan sosok seorang raja yang terkenal mempunyai gagasan perluasan cakrawala
mandala ke luar Pulau Jawa yang meliputi daerah seluruh dwipantara sebelum ditaklukkan oleh Kaisar
Shih-tsu Kubilai Khan dari Mongol. Kubilai Khan yang merupakan cucu dari Genghis Khan mulai menebar
ancaman ketika naik tahta pada 1260 dan mendirikan Dinasi Yuan pada 1280. Ancaman ini dilakukan
dengan mulainya Kubilai Khan meminta pengakuan kedaulatan atas daerah-daerah taklukan yang
sebelumnya mengakui kekuasaan raja-raja (kaisar) Cina dari Dinasti Sung. Untuk mendahului penguasaan
atas Melayu, maka Raja Kertanegara mengirimkan kekuatan militer yang dikenal dengan Ekspedisi
Pamalayu (Marwati Djoenoed Poeponegoro & Nugroho Notosusanto, 1993: 413-414). Seperti ditulis dalam
buku Sedjarah Minangkabau (1970), penguasaan atas Melayu sekaligus juga merupakan penguasaan atas
perekonomian (perdagangan) lada yang telah ramai di sekitar Sungai Batanghari dan Kampar Kiri-Kanan.
Selain itu tujuan lain dari Ekspedisi Pamalayu adalah penyebaran agama Budha Tatrayana (M.D. Mansoer,
et.al., 1970:51-52).
Selain faktor perluasan wilayah yang dilakukan Kubilai Khan, faktor lain yang membuat Raja
Kertanegara melakukan Ekspedisi Pamalayu, menurut Uli Kozok, yaitu terjadinya perubahan pola
perdagangan di Asia dari abad ke-10 sampai ke-13. Meningkatnya jumlah pedagang asing yang berlabuh di
Asia, khususnya yang melewati Selat Malaka, membuat arus perdagangan, khususnya rempah-rempah
menjadi sangat ramai. Perubahan yang signifikan ditunjukkan para pedagang dengan tidak lagi bergantung
pada suatu kerajaan yang memonopoli perdagangan di suatu negeri, tetapi para pedagang mencari sendiri
barang dagangannya langsung ke produsen. Akibatnya monopoli perdagangan rempah-rempah yang
sebelumnya dikuasai Kerajaan Sriwijaya menjadi tidak berarti karena Sriwijaya tidak lagi dapat mengontrol
arus perdagangan dengan menguasai Selat Malaka. Dalam hal ini berarti Jawa lebih diuntungkan karena
menguasai perdagangan rempah-rempah dari Maluku yang jaraknya sangat jauh dari Selat Malaka.
Sehingga para pedagang cenderung untuk membeli rempah-rempah hasil monopoli di Jawa dibandingkan
datang sendiri ke Maluku. Ditambah lagi selama abad ke-13 Kerajaan Sukothai mulai masuk ke
Semenanjung Malaya dan mulai melakukan penaklukan beberapa daerah di Melayu, contohnya Temasik
(Singapura). Faktor perubahan pola perdagangan, kemunduran Sriwijaya yang kemudian memunculkan
Kerajaan Darmasraya, penyerangan Kerajaan Sukothai, dan mulai meluasnya pengaruh Kubilai Khan,
membuat Jawa mengambil kesempatan untuk mulai menanamkan pengaruh ke Sumatera. Atas dasar
beberapa faktor di atas, Jawa dengan Kerajaan Singasarinya mulai memperluas kekuasaan ke Sumatera
dengan misi yang dikenal sebagai Ekspedisi Pamalayu pada 1275 (Kozok, Uli, 2006:14-15).
Stutterheim berpendapat bahwa Ekspedisi Pamalayu yang dipimpin oleh Kebo Anabrang tidak
mengandung pengertian bahwa Kerajaan Singasari berusaha menaklukkan Kerajaan Darmasraya,
melainkan persekutuan antara dua kerajaan yang dikuatkan dengan ikatan perkawinan (M.D. Mansoer,
et.al., 1970:51). Pengertian ini mengacu pada ketiadaan upaya penaklukan secara langsung (militer)
terhadap Kerajaan Darmasraya. Ekspedisi Pamalayu pada awalnya dilakukan melalui penaklukan pusat
perdagangan lada di Sungai Batanghari dan Sungai Kampar Kiri-Kanan. Kebetulan kedua daerah ini
merupakan urat nadi perekonomian Kerajaan Darmasraya. Dengan jatuhnya kedua daerah ini,
perekonomian di Kerajaan Darmasraya menjadi lumpuh. Akhirnya Raja Srimat Tribhuwanaraja
Mauliwarmadewa (raja di Kerajaan Darmasraya) menyatakan tunduk di bawah kekuasaan Kerajaan
Singasari. Pemakaian istilah persekutuan dibandingkan penaklukan dirasa semakin lebih tepat ketika pada
1286, Raja Kertanegara mengirimkan tiruan arca Amoghapasa dari Candi Jayaghu (Candi Jago yang
terletak di Malang, di Jawa Timur) kepada Raja Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa (Marwati Djoenoed
Poeponegoro & Nugroho Notosusanto, 1993:418). Prasasti Padangroco juga menyebutkan bahwa arca
Amoghapasa diberangkatkan dari Jawa menuju Sumatera dengan dikawal oleh 14 orang, di antaranya ialah
Rakryan Mahamantri Dyah Adwayabrahma, Rakryan Sirikan Dyah Sugatabrahma, Payaman Hyang
Dipangkaradasa, dan Rakryan Demung Mpu Wira (http://id.wikipedia.org/wiki/Ekspedisi_Pamalayu).
Tiruan arca ini diterima oleh Raja Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa dan sebagai balasan, sang raja
mempersembahkan kedua orang puterinya, Dara Petak dan Dara Jingga kepada Raja Kertanegara (M.D.
Mansoer, et.al., 1970:56-57).
Ketika sampai di Jawadwipa (Jawa), ternyata Kerajaan Singasari telah runtuh. Penerus Kerajaan
Singasari adalah Raden Wijaya yang kemudian mendirikan Kerajaan Majapahit pada 1292, sekaligus
memproklamirkan diri sebagai Raja Majapahit pertama dengan gelar Prabu Kertarajasa (M.D. Mansoer,
et.al., 1970:55). Dara Petak yang telah terlanjur tiba di Jawa, akhirnya dinikahkan dengan Prabu Kertarajasa
(1292-1309). Pernikahan antara Prabu Kertarajasa dengan Dara Petak melahirkan Kalagemet yang
kemudian naik menjadi raja kedua Majapahit bergelar Prabu Jayanegara (1903-1328) (M.D. Mansoer,
et.al., 1970:57).

4
Menurut Prasasti Kubu Rajo No I yang merupakan sebuah prasasti Kerajaan Pagaruyung yang
terletak di Kubu Rajo daerah Limau Kaum, ayah Adityawarman bernama Adwayawarmma (Pitono
Hardjowardojo, 1966:20). Adwayawarmma merupakan salah satu pejabat tinggi di Kerajaan Majapahit
yang berpangkat “dewa”. Adwayawarmma inilah yang menikah dengan Dara Jingga, sehingga secara garis
keturunan, Adityawarman masih memiliki garis keturunan dengan Kerajaan Darmasraya. Pasca
kelahirannya, Adityawarman dititipkan di Kerajaan Majapahit (M.D. Mansoer, et.al., 1970:57). Nama raja
Melayu yang lahir dari perkawinan antara Dara Jingga dan Adwayawarmma, dalam Pararaton (1965)
disebut dengan Tuhan Janaka, Keturunan Sri Marmadewa, bergelar Haji Mantrolot (Pitono Hardjowardojo,
1965:46) Seperti tertulis di dalam buku Sedjarah Minangkabau (1970), Adityawarman dididik dan
dibesarkan dalam lingkungan Kerajaan Majapahit. Beliau pernah ditunjuk sebagai utusan Kerajaan
Majapahit ke Negeri Cina pada 1325-1331. Pada 1343 Adityawarman menjabat Mantri Prandhatara, sebuah
jabatan yang sama dengan pangkat Werdhamantri. Jabatan yang tinggi untuk Adityawarman ini
menandakan bahwa Adityawarman adalah seorang anggota keluarga kerajaan Raja Majapahit yang sangat
dekat, mengingat ibu Adityawarman merupakan saudara sekandung dari Ibu Raja Jayanegara sekaligus
permaisuri dari Raja Kertarajasa, raja pertama Majapahit (M.D. Mansoer, et.al., 1970:57).
Berkembangnya Majapahit sebagai kekuatan baru di Jawa membuat obsesi untuk meneruskan ekspedisi
Pamalayu kembali muncul. Ditambah lagi kini Majapahit mempunyai seorang mahapatih yang terkenal
dengan Sumpah Amukti Palapanya, yaitu Gadjah Mada. Maka sebagai pembuka atas Ekspedisi Pamalayu
jilid 2, diutuslah Adityawarman untuk pergi ke Darmasraya dan duduk sebagai penguasa di sana. Kebetulan
Darmasraya telah jatuh ke dalam kekuasaan Kesultanan Aru Barumun. Seperti dikutip dalam buku
Sedjarah Minangkabau (1970), Kesultanan Aru Barumun merupakan sebuah kesultanan yang menganut
ajaran agama Islam Syiah dan lepas dari Kesultanan Samudera Pasai yang telah menganut Mazhab Syafi’i.
Kesultanan Aru Barumun didirikan oleh Sultan Malik As Saleh, Sultan Samudera Pasai yang pertama.
Berdiri pada 1299, Kesultanan Aru Barumun menempatkan pusat pemerintahan di daerah yang kini kita
kenal dengan nama Labuhan Bilik. Pada 1301 Kesultanan Aru Barumun berhasil menguasai Kerajaan
Darmasraya, sehingga praktis monopoli lada di Sungai Kampar Kiri-Kanan serta Sungai Batanghari,
dikuasai oleh Kesultanan Aru Barumun. Tidak hanya itu saja, penguasaan atas Kerajaan Darmasraya secara
langsung memutus perkembangan agama Budha Tantrayana yang dibawa oleh penguasa sebelumnya, yaitu
Kerajaan Singasari dan menggantikannya dengan agama Islam. Rakyat Kerajaan Singasari yang telah
bermukim di daerah ini sejak 1286 dan berkebun lada di sana, terpaksa harus melarikan diri ke lereng
Gunung Kembar Merapi/ Singgalang. Di sana mereka mendirikan perkampungan dengan nama Singasari
dan mengembangkan pusat perdagangan lada. Akibatnya, lada tidak hanya diangkut ke Pantai Timur
Sumatera saja, melainkan juga diangkut ke Pesisir, Pantai Barat Sumatera. Bandar lada baru ini ramai
didatangi oleh para pedagang dari Gujarat/India. Bandar baru inilah yang dikenal dengan nama Pariaman
(M.D. Mansoer, et.al., 1970:54-55).
Penguasaan atas Kerajaan Darmasraya oleh Kesultanan Aru Barumun, pada perkembangan kemudian
berhasil mendirikan Kesultanan Kuntu Kampar (M.D. Mansoer, et.al., 1970:54). Kerajaan Singasari yang
kini telah bersulih menjadi Kerajaan Majapahit berusaha untuk tetap meneruskan dominasi penguasaan lada
di tanah Melayu. Akhirnya dikirimlah kekuatan militer ke tanah Melayu untuk membebaskan Kerajaan
Darmasraya sekaligus mengembalikan dominasi penguasaan lada di Sungai Kampar Kiri- Kanan serta
Sungai Batanghari.   Ekspedisi Pamalayu jilid 2 yang kali ini diprakarsai oleh Kerajaan Majapahit, ternyata
menuai hasil gemilang. Adityawarman sebagai utusan sekaligus pemimpin pasukan dari Majapahit, sukses
mendapatkan kembali monopoli lada yang sebelumnya diambil oleh Kesultanan Aru Barumun yang
mendirikan Kesultanan Kuntu Kampar. Pada 1347, Adityawarman telah berhasil menguasai daerah
perdagangan lada di Sungai Batanghari. Bahkan pada tahun yang sama Adityawarman juga menyatakan
diri sebagai raja dari kerajaan di Swarnnabhumi (Sumatera) yang meliputi kawasan Sungai Langsat-Sungai
Dareh-Rambahan-Padang Roco yang merupakan kawasan di Minangkabau Timur yang dekat dengan
Batanghari (M.D. Mansoer, et.al., 1970:55). Sebagai upaya menanamkan monopoli secara lebih luas,
Adityawarman juga menyerang dan menaklukkan Kesultanan Kuntu Kampar pada 1349. Dengan
ditaklukkannya Kesultanan Kuntu Kampar, berarti Adityawarman telah memonopoli perdagangan lada di
kedua daerah yang penting, yaitu Sungai Kampar Kanan-Kiri dan Sungai Batanghari.
Suksesnya misi Ekspedisi Pamalayu jilid 2 membuat Adityawarman kini mutlak sebagai penguasa di
tanah Melayu. Daerah kekuasaannya kini meliputi seluruh Alam Minangkabau, bahkan sampai ke Riau
Daratan. Pusat pemerintahanpun dipindahkan lebih masuk ke daerah pedalaman Alam Minangkabau, tidak
lagi di Rantau Minangkabau. Sampai akhirnya Luhak Tanah Datar menjadi pilihan untuk membangun pusat
pemerintahan. Dengan demikian, Kerajaan Darmasraya di Jambi lambat laun berubah menjadi Kerajaan
Pagaruyung Minangkabau, bahkan tidak salah jika dikatakan berubah menjadi “Kerajaan Minangkabau”
(M.D. Mansoer, et.al., 1970:56). Sehingga dirunut dari lokasi perpindahannya, Kerajaan Pagaruyung
awalnya bertempat di Muara Jambi kemudian Darmasraya lalu ke Saruaso (Kozok, Uli, 2006:25-26). Letak
5
Kerajaan Pagaruyung secara spesifik sebagaimana disebut dalam buku Minangkabau (1993), berada di
Nagari Bukit Gombak, Saruaso, Luhak Tanah Datar, Sumatera Barat (Darman Moenir et.al., 1993:19).
Pemindahan pusat pemerintahan seperti yang dilakukan oleh Adityawarman memunculkan beberapa
kemungkinan. Pertama pemindahan pusat pemerintahan ke pedalaman dilakukan sebagai cara untuk
menghindari serangan dari pihak Kubilai Khan sekaligus dari pihak Sukhotai yang telah menguasai daerah
pesisir. Kedua, pemindahan ini sekaligus juga membuka kesempatan untuk menggarap secara maksimal
komoditi perdagangan yang ada di pedalaman seperti lada dan emas yang terdapat di sekitar Tanah Datar
(Kozok, Uli, 2006:31). Ketiga, Adityawarman merasa bisa berdiri sendiri tanpa terikat atau berhubungan
dengan Kerajaan Majapahit karena telah merasa kuat dan mampu menguasai perdagangan lada serta
meluaskan kekuasaan hingga ke Riau Daratan. Kemungkinan tersebut dapat dibuktikan pada sebuah
prasasti yang disebut Prasasti Kuburajo (1349) yang menyebut Adityawarman sebagai
“Kanakamedinindra” atau raja Negeri Emas (M.D. Mansoer, et.al., 1970:60-61).
Bahkan Adityawarman kemudian menggunakan gelar tertinggi yaitu maharajadiraja sebagai sebuah
status bahwa Kerajaan Pagaruyung setara kedudukannya dengan Kerajaan Majapahit di Jawa. Gelar ini
dipahat dalam patung Amoghapasa pada 1347 (Kozok, Uli, 2006:32). Selain itu, dalam Prasasti Pagaruyung
(1357), Adityawarman disebut juga sebagai “Maharajo Dirajo”. Beliau juga mendapat gelar “Dharmaraja
Kulatilaka” yang artinya “permata dari Kerajaan Swarnnabhumi” (Datoek Toeah, 1976:93).
Saat memerintah Kerajaan Pagaruyung, Adityawarman meninggalkan sejumlah prasasti, antara lain:
1. Prasasti Kapalo Bukit Gombak I
2. Prasasti pada bagian belakang arca Amoghapasa dari Padang Candi (Padang Roco)
3. Prasasti Bukit Gombak II
4. Prasasti pada arca Manjusri dari Candi Jago
5. Prasasti Saruaso I atau disebut juga Prasasti Surawasa I
6. Prasasti Kuburajo I
7. Prasasti Bandar Bapahat (Pitono Hardjowardojo, 1965:9-21).
Sepeninggal Adityawarman yang wafat pada 1375, belum ditemukan bukti yang memadai untuk
mengetahui siapa pengganti dari Adityawarman. Terdapat ”bagian yang hilang“ dalam penulisan sejarah
Kerajaan Pagaruyung. Bagian tersebut berada di antara masa pemerintahan Adityawarman (1347-1376) dan
masa pemerintahan Sultan Alif Khalifatullah (Sultan pertama yang memeluk agama Islam) yang naik tahta
sekitar tahun 1560 M. Sedikit informasi yang berhasil ditemukan, menyatakan bahwa ada kemungkinan
pengganti Adityawarman adalah Ananggawarman yang merupakan putera dari Adityawarman (M.D.
Mansoer et.al., 1970:64-65). Nama ini muncul dan dipahat dalam Prasasti Saruaso II. Ananggawarman inilah
yang ditahbiskan pada 1376 untuk menduduki posisi raja menggantikan ayahnya, Adityawarman yang telah 
meninggal (M.D. Mansoer et.al., 1970:64-65).
Setelah Ananggawarman turun tahta, tidak ada sumber yang menunjukkan secara jelas siapa raja
pengganti beliau. Hanya saja di dalam buku Tambo Alam Minangkabau (1976), berturut-turut terdapat dua
orang raja yang naik tahta sepeninggal Raja Ananggawarman dan sebelum Sultan Alif Khalifatullah naik
tahta pada 1560. Kedua raja tersebut adalah Sultan Bakilapalam dan Sultan Persembahan (Datoek Toeah,
1976:118). Hanya saja tidak ditemukan sumber yang jelas bagaimana situasi kerajaan, pemerintah, maupun
kehidupan sosial politik yang terjadi ketika kedua raja tersebut memegang kendali pemerintahan di Kerajaan
Pagaruyung. Sumber yang cukup jelas baru ditemukan ketika Sultan Alif Khalifatullah naik tahta sekitar
tahun 1560 dan meninggal pada 1580 (M.D. Mansoer et.al., 1970:63-65). Dari sini terdapat bagian sejarah
yang hilang dalam penulisan sejarah Kerajaan Pagaruyung, yaitu mulai 1376-1560 (sekitar 200 tahun).
Sultan Alif Khalifatullah naik tahta sekitar tahun 1560 (Mardjamni Martamin et.al., 2002:122).
Beliau merupakan raja (sultan) pertama di Kerajaan Pagaruyung yang memeluk Islam. Perubahan corak
kepemimpinan ini secara langsung mengubah pula sistem pemerintahan yang berlaku di Kerajaan
Pagaruyung. Selain itu, nama Kerajaan Pagaruyung juga turut berubah dan digantikan dengan Kesultanan
Pagaruyung. Perubahan tersebut dapat dilihat dari gelar sultan yang dipakai oleh para pemimpin Kesultanan
Pagaruyung, bukan gelar raja sebagaimana dipakai oleh para pendahulu mereka yang menganut ajaran
agama Budha Tatrayana.
Sebagaimana ditulis dalam buku Sejarah Perjuangan Minangkabau (2002), penerus tahta Kesultanan
Pagaruyung pasca meninggalnya Sultan Alif Khalifatullah adalah Yang Dipertuan Raja Bagewang II (Sultan
Bagewang II) yang bergelar Yang Dipertuan Raja Alam Muningsyah I. Beliau merupakan kemenakan Raja
Bakiek Alam (Bagewang I) yang merupakan salah satu raja di Kerajaan Pagaruyung ketika kerajaan tersebut
masih bercorak Budha. Raja selanjutnya adalah Sultan Abdul Jalil. Pada masa pemerintahannya inilah
berbagai surat-menyurat sudah mempergunakan cap/stempel yang bertuliskan huruf Arab. Beliau juga
menjalin hubungan dengan Kerajaan Negeri Sembilan di Malaysia. Dituliskan pula bahwa beliaulah yang
mengangkat raja di sana. Sultan Abdul Jalil merupakan kemenakan Raja Jambi yang menerima waris untuk
menduduki jabatan Raja Alam di Kesultanan Pagaruyung. Sebelumnya Abdul Jalil memangku jabatan
6
sebagai Raja Adat di Buo. Pengganti Sultan Abdul Jalil adalah Yang Dipertuan Agung Rajo Basusu Ampek
bergelar Sultan Alam Muningsyah II (1615 M). Raja selanjutnya adalah Sultan Ahmad Syah (1650-1680
M).  Beliau memberlakukan sistem pemerintahan dengan corak desentralistis, berdasarkan hukum Islam dan
hukum adat yang lazim disebut Tungku nan Tigo Sajarangan atau Tali Tigo Sapilin (Mardjamni Martamin
et.al., 2002:123-125). Tungku nan Tigo Sajarangan atau Tali Tigo Sapilin terdiri dari Basa Ampek Balai
sebagai Dewan Menteri yang memegang kekuasaan politik-religius-yuridis tertinggi di pusat pemerintahan.
Sedangkan Rajo Nan Tigo Selo menjadi tokoh-tokoh religio-magis tanpa kekuasaan politik (M.D. Mansoer
et.al., 1970:70).
Perubahan yang sangat drastis di lingkungan Kerajaan Pagaruyung terjadi ketika datang 3 orang ulama
yang baru pulang dari Tanah Suci (Mekah) pada 1803, yaitu Haji Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumanik.
Seperti dituliskan dalam Tambo Alam Minangkabau (1976), pada 1803 terdapat tiga ulama yang baru pulang
dari Mekah, yaitu:
1. Haji Miskin yang berasal dari Luhak Agam dan suraunya terletak di kampungnya, Pandai Sikat.
2. Haji Piobang yang berasal dari Luhak Lima Puluh Kota. Beliau seorang ulama muda yang
revolusioner dan ahli di bidang taktik dan strategi militer.
3. Haji Sumanik yang berasal dari Luhak Agam. Beliau adalah seorang ulama muda yang berjiwa
pembaharu (Datoek Toeah, 1976:364-365).
Mereka berupaya melakukan pembaharuan (pemurnian) ajaran agama Islam yang menimbulkan
“Gerakan Paderi” (M.D. Mansoer et.al., 1970:67). Konflik bermula ketika Kaum Paderi mencoba melakukan
pemurnian agama Islam di lingkungan Kesultanan Pagaruyung. Kaum Paderi melihat bahwa ajaran Islam di
tempat tersebut telah meleceng dari norma yang digariskan oleh agama Islam. Misalnya saja banyak orang
Islam yang tidak melakukan ibadah sholat dan puasa, akan tetapi lebih gemar melakukan sabung ayam dan
menghisap candu yang dilarang oleh agama Islam.
Ketiga ulama ini merupakan pengikut aliran Wahabi yang berusaha menyebarkan dan menanamkan
pengaruh di Minangkabau. Mereka melakukan pelarangan dan menetapkan norma-norma yang ketat pada
masyarakat Minangkabau, seperti tidak boleh menghisap candu, merokok, menyabung ayam, minum tuak,
dan para wanita dilarang makan sirih. Semua ajaran ini di kemudian hari disertai pula dengan berbagai
sanksi yang keras. Awalnya para ulama ini menyebarkan pengaruh di Pandai Sikat. Akan tetapi kemudian
mereka diusir oleh para penghulu di Padangpanjang sehingga mereka menyingkir ke Kamang. Di Kamang
inilah dilakukan konsolidasi oleh para ulama, antara lain Tuanku nan Renceh, Tuanku Rao di Cangking,
Malin Putih di Air Tabit, Tuanku Pamansiangan dan Peto Syarif di Bonjol (dikemudian hari dikenal dengan
sebutan Tuanku Imam Bonjol). Dari sinilah muncul 8 orang pemimpin yang dikenal dengan sebutan
“Harimau Nan Delapan“. Sehubungan dengan pakaian yang dikenakan oleh “Harimau Nan Delapan“
berwarna putih, maka mereka dijuluki “Kaum Putih” atau “Kaum Paderi“. Sedangkan Kaum Adat yang
pakaiannya bisanya berwarna hitam dijuluki dengan “Kaum Hitam“. Dari sinilah asal mula perseteruan
antara Kaum Paderi dengan Kaum Hitam di lingkungan Kesultanan Pagaruyung (Datoek Toeah, 1976:364-
365).
Bentrokan secara fisik terjadi ketika gerakan Kaum Paderi meluas sampai ke Tanah Datar yang
merupakan pusat pemerintahan sekaligus kedudukan Sultan Arifin Muning Alamsyah atau lebih dikenal
dengan sebutan Sultan Bagagar Alamsyah. Sebuah peristiwa berdarah terjadi di Koto Tangah, di mana
terjadi pembunuhan keluarga Kesultanan Pagaruyung yang dilakukan oleh Kaum Paderi di bawah pimpinan
Tuanku Lelo, bawahan dari Tuanku Rao pada 1809. Akibat pembunuhan ini, Kaum Adat dan hampir seluruh
anggota Kesultanan Pagaruyung musnah. Untunglah Sultan Arifin Muning Alamsyah sendiri sempat
melarikan diri bersama dengan seorang cucunya ke Lubukjambi.
Karena terdesak Kaum Paderi, keluarga Kerajaan Pagaruyung meminta bantuan kepada Belanda. Pada
10 Februari 1821 Sultan Bagagar Alamsyah, beserta 19 orang pemuka adat lainnya menandatangani
perjanjian penyerahan Kerajaan Pagaruyung kepada Belanda. Sebagai imbalannya, Belanda akan membantu
berperang melawan Kaum Paderi dan sultan diangkat menjadi Regent Tanah Datar mewakili pemerintah
pusat. Setelah menyelesaikan Perang Diponegoro di Jawa, Belanda kemudian berusaha menaklukkan Kaum
Paderi dengan kiriman tentara dari Jawa dan Maluku. Namun ambisi kolonial Belanda tampaknya membuat
Kaum Adat dan Kaum Paderi berusaha melupakan perbedaan mereka dan bersekutu secara rahasia untuk
mengusir Belanda. Pada 2 Mei 1833 Yang Dipertuan Minangkabau Sultan Bagagar Alamsyah, raja terakhir
Kerajaan Pagaruyung, ditangkap oleh Letnan Kolonel Elout di Batusangkar atas tuduhan pengkhianatan.
Sultan dibuang ke Betawi, dan akhirnya dimakamkan di pekuburan Mangga Dua (http://id.wikipedia.org/).
Sepeninggal Sultan Bagagar Alamsyah, perlawanan secara gerilya masih dilakukan oleh Sultan
Sembahyang III. Akan tetapi perlawanan ini hanya terjadi sesaat karena pada 1870 Sultan Sembahyang III
meninggal dunia di Muara Lembu (Datoek Toeah, 1976:367). Dengan meninggalnya Sultan Sembahyang III,
maka berakhir pula sejarah Kerajaan Pagarung yang didirikan oleh Adityawarman pada 1347.

7
2. Silsilah
Menurut buku Tambo Alam Minangkabau (1976), silsilah para raja di Kerajaan Pagaruyung sebagai
berikut:
1. Adityawarman (1347-1376)
2. Ananggawarman (1376-…)
3. Sultan Bakilapalam
4. Sultan Persembahan
5. Sultan Alif (sekitar tahun 1560-1583)
6. Sultan Banandangan
7. Sultan Bawang (Sultan Muning I)
8. Sultan Patah (Sultan Muning II)
9. Sultan Muning III
10. Sultan Sembahyang III
11. Tuan Gadih Reno Sumpur
12. Sultan Ibrahim
13. Sultan Usman (Datoek Toeah, 1976:118). 
Akan tetapi di dalam buku Sedjarah Minangkabau (1970), terdapat beberapa perbedaan dalam penulisan
silsilah para raja di Kerajaan Pagaruyung. Menurut buku tersebut, silsilah para raja di Kerajaan Pagaruyung
sebagai berikut:
1. Raja Adityawarman (1347-1376)
2. Ananggawarman (1376-…)
3. Sultan Alif (naik tahta sekitar tahun 1560-1583)
4. Yang Dipertuan Raja Alam Muningsyah I
5. Sultan Abdul Jalil
6. Yang Dipertuan Agung Rajo Basusu Ampek bergelar Sultan Alam Muningsyah II (naik tahta sekitar
1615 M)
7. Sultan Ahmad Syah (1650-1680 M)
8. Sultan Arifin Muning Alamsyah atau lebih dikenal dengan sebutan Sultan Bagagar Alamsyah (Sultan
Muning III) (M.D. Mansoer et.al., 1970 :63-67).
Silsilah para raja di Kerajaan Pagaruyung ditambah dengan seorang raja sepeninggal Sultan Bagagar
Alamsyah. Sultan tersebut adalah Yang Dipertuan Sembahyang III (Sultan Sembahyang III). Disebutkan
dalam buku Tambo Alam Minangkabau (1976) bahwa Yang Dipertuan Sembahyang III (Sultan Sembahyang
III), meninggal di Muara Lembu pada 1870 (Datoek Toeah, 1976 :376). Dengan meninggalnya Sultan
Sembahyang III, berarti runtuhlah Kerajaan Pagaruyung.

3. Sistem Pemerintahan
Di dalam buku Tambo Alam Minangkabau (1976), situasi pemerintahan di Kerajaan Pagaruyung
ketika diperintah oleh Adityawarman, menerapkan sistem autokrasi dan demokrasi. Adityawarman
meninggalkan sistem demokrasi yang telah berlaku di Minangkabau. Sistem lama yang merupakan
pemerintahan federasi, “berpematang bagi sawah, berbintalak bagi kebun”, mulai ditinggalkan oleh
Adityawarman. Dalam menjalankan pemerintahan, Adityawarman dibantu oleh Datuk Ketemanggungan,
sebuah jabatan yang setara tingkatannya dengan seorang senopati di Jawa. Adityawarman juga membagi
masyarakat di kerajaannya menjadi 4 kasta sesuai dengan ajaran Hindu. Pembagian inilah yang disebut
dengan Basa Ampek Balai. Dalam pembagian pemerintahannya kemudian disebutkan bahwa: payung panji
di Saruaso, suluh bendang di Padang Ganting, cermin terus di Batusangkar, cemeti di Tanjung Balit, harimau
di Pauh Tinggi, alim di Pariangan Padangpanjang, dan Raja Besar di Bukit Patah. Selain itu Adityawarman
juga mengkonsolidasikan kekuatan militer untuk memperluas kekuasaan dan menangkal serangan dari luar.
Ternyata konsolidasi di seluruh wilayah Minangkabau ini berhasil dilakukan Adityawarman dengan  bukti
kemenangan ketika Kerajaan Pagaruyung berperang melawan pasukan dari Kerajaan Majapahit di Padang
Sibusuk pada 1409. Dalam pertempuran tersebut Kerajaan Pagaruyung memperoleh kemenangan dan
memukul mundur pasukan Majapahit kembali ke Jawa (Datoek Toeah, 1976:94-96). 
Masuknya pengaruh Islam ke Kerajaan Pagaruyung, secara langsung berimplikasi terhadap sistem
pemerintahan. Sistem pemerintahan di Kerajaan Pagaruyung mengalami perubahan dengan pemerintahan
yang berdasarkan adat dan syarak, “Adat Basandi Syarak dan Syarak Basandi Kitabullah”, sampai datangnya
pemurnian agama Islam yang dilakukan oleh Haji Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumanik (Mardjamni
Martamin, et.al., 2002:125). Menurut buku Sejarah Perjuangan Minangkabau (2002), perubahan tersebut
adalah perubahan tentang konsolidasi kekuatan militer di seluruh wilayah Minangkabau. Sejak Kesultanan
Pagaruyung diperintah oleh Sultan Alif Khalifatullah (Sultan pertama yang memeluk agama Islam),
Kesultanan Pagaruyung tidak memiliki angkatan perang yang kuat lagi. Hukum tertulis juga tidak ada, yang
8
ada hanyalah hukum tidak tertulis yang diwariskan secara lisan turun-temurun berupa pepatah-petitih. Pada
masa pemerintahan Sultan Ahmad Syah (1650-1680), pemerintahan di Kesultanan Pagaruyung berubah
menjadi bercorak desentralisasi berdasarkan hukum Islam dan hukum Adat yang lazim disebut Tungku nan
Tigo Sajarangan atau Tali Tigo Sapilin. Dalam sistem pemerintahan ini, ada tiga raja yang berkuasa, yaitu
Raja Adat di Buo sebagai pemegang Adat dan Limbogo. Raja Ibadat di Sumpurkudus sebagai pemegang
Hukum Titah Allah. Raja Alam di Pagaruyung merupakan pengampu kekuasaan tertinggi di atas Raja Adat
dan Raja Alam. Ketiga jabatan ini disebut dengan Rajo Nan Tigo Selo. Di bawah kedudukan raja terdapat
Basa Ampek Balai (Dewan Empat Menteri) yang terdiri dari Datuk Bandaharo di Sungai Tarab, Tuan Kadhi
di Padang Gantiang, Tuan Indomo di Saruaso, dan Tuan Makhdum di Sumanik. Di bawah Basa Ampek
Balai terdapat manti. Di bawah manti terdapat dubalang (hulubalang) yang jumlahnya lebih besar daripada
penghulu. Penghulu dan hulubanglah yang berhubungan langsung dengan rakyat. Hulubalang bertugas
mengamankan anak nagari. Sebagai “pagar kampung”, ia menjaga ketertiban dan keamanan di dalam negeri
(Mardjamni Martamin, et.al., 2002:122-124).
Dalam menjalankan tugasnya, penghulu atau hulubalang (dubalang) merupakan orang yang pertama
kali menangani suatu perkara. Seperti dikutip dalam buku Sedjarah Minangkabau (1970):
“Djika seorang penduduk ternjata bersalah karena telah melanggar hukum (Islam) maupun adat, dubalang
memanggilnya untuk dihadapkan pada penghulu yang mengerti hukum syarak dan adat. Tetapi djika perkara
tidak selesai pada taraf penghulu sadja, penghulu membawa orang itu kepada Tuan Kadhi selaku anggota Basa
Ampek Balai di Padang Ganting. Seandainya masih belum djuga terdapat kata putus, penghulu, dubalang, dan
Tuan Kadhi membawa orang itu mengghadap Raja Ibadat di Sumpurkudus. Di sini perkaranja diperiksa lagi.
Seandainja perkaranjapun masih belum djuga putus, orang itu dibawa kepada Jang Dipertuan Radja Alam
Minangkabau di Pagaruyung. Beliaulah yang pada taraf terakhir dan tertinggi mendjatuhkan hukuman kepada di
pelanggar hukum tadi” (M.D. Mansoer et.al., 1970:65).     
   
4. Wilayah Kekuasaan
Pada masa pemerintahan Adityawarman wilayah Kerajaan Pagaruyung meliputi seluruh Alam
Minangkabau, bahkan sampai ke Riau Daratan, dan Sungai Langsat-Sungai Dareh-Rambahan-Padang Roco
yang merupakan kawasan di Minangkabau Timur yang dekat dengan Batanghari (M.D. Mansoer, et.al.,
1970:55-56). Pasca meninggalnya Raja Adityawarman dan pengaruh Islam mulai menggantikan pengaruh
Budha, wilayah kekuasaan Kesultanan Pagaruyung meliputi: Kuantan, Cerenti, Baserah, Kudaman, Pangian,
Limo Koto, (terdiri dari Seberahan, Semendalak, Banai, Kapak, dan Telukkari), Ampek Koto Ilia, (terdiri
dari Kerasiktawar, Gunungringin, Lubukjambi, dan Sungaipinang), dan DuoKoto (terdiri dari Lubuk-
Ambacang dan Sungaimanan), Siak, Indragiri, Jambi, Batanghari, Sungai Pagu, Pasaman, dan Rao
(Mardjamni Martamin, et.al., 2002:124).
Tim Wacana Nusantara dalam artikel yang berjudul “Pagaruyung” menyebutkan bahwa
wilayah pengaruh politik Kerajaan Pagaruyung (wilayah kekuasaan) dapat dilacak dari pernyataan berbahasa
Minang ini:
“Dari Sikilang Aia Bangih hingga Taratak Aia Hitam.
Dari Durian Ditakuak Rajo hingga Sialang Balantak Basi”
Sikilang Aia Bangih adalah batas utara, sekarang di daerah Pasaman Barat, berbatasan dengan Natal,
Sumatra Utara. Taratak Aia Hitam adalah daerah Bengkulu. Durian Ditakuak Rajo adalah wilayah di
Kabupaten Bungo, Jambi. Yang terakhir, Sialang Balantak Basi adalah wilayah di Rantau Barangin,
Kabupaten Kampar, Riau sekarang (Tim Wacana Nusantara [2009] dalam http://www.wacananusantara.org/)

5. Kehidupan Sosial-Budaya
Gambaran kehidupan sosial di Kerajaan Pagaruyung salah satunya ditunjukkan dalam sebuah prasasti
yang bernama Prasasti Bandar Bapahat. Prasasti ini dipahat pada sebuah batu karang di Bandar Bapahat
dekat Saruaso (Pitono Hardjowardojo, 1966:21). Di dalam prasasti tersebut terdapat beberapa tulisan, yaitu
Aksara Sumatera-Kuno yang mirip dengan Aksara Jawa-Kuno dan tulisan Granta yang lazim digunakan oleh
orang-orang Tamil di India Selatan (M.D. Mansoer et.al., 1970:62). Menurut Prof. N.J. Krom dalam buku
Sedjarah Minangkabau (1970), penduduk Kerajaan Pagaruyung saat itu juga terdiri atas para pendatang dari
India Selatan. Kemungkinan para pendatang dari India Selatan tersebut menetap di daerah kekuasaan
Kerajaan Pagaruyung yang jauh masuk ke pedalaman karena ketertarikan mereka akan lada sebagai komoditi
perdagangan. Bahkan di Barus pun terdapat prasasti-prasasti bertuliskan aksara Granta (M.D. Mansoer et.al.,
1970:62). Dituliskannya aksara Granta pada beberapa prasasti di wilayah kekuasaan Kerajaan Pagaruyung,
mengindikasikan bahwa para pendatang yang berasal dari India Selatan telah mempunyai hubungan yang
kuat dengan Kerajaan Pagaruyung. Kemungkinan penulisan Prasasti Bandar Bapahat ke dalam dua bahasa,
dilakukan agar orang-orang dari India Selatan bisa memahami isi dari prasasti tersebut.
Selain itu, hubungan luar negeri antara Kerajaan/Kesultanan Pagaruyung dengan Kerajaan Negeri
Sembilan telah dirintis Sultan Abdul Jalil. Pada masa pemerintahannya inilah berbagai surat-menyurat sudah
mempergunakan cap/stempel yang bertuliskan huruf Arab. Beliau juga menjalin hubungan dengan Kerajaan
9
Negeri Sembilan di Malaysia. Dituliskan pula bahwa beliaulah yang mengangkat raja di sana. Sultan Abdul
Jalil merupakan kemenakan Raja Jambi yang menerima waris untuk menduduki jabatan Raja Alam di
Kesultanan Pagaruyung (Mardjamni Martamin et.al., 2002:123). Hubungan politik, kebudayaan, bahkan
ikatan darah sebenarnya telah terjalin antara Semenanjung Malaya dan Minangkabau Timur. Hubungan
tersebut kembali dikukuhkan ketika Kesultanan Pagaruyung diperintah oleh Sultan Abdul Jalil yang
mendudukkan Raja Malewar (atas penunjukan yang dilakukan oleh Basa Ampek Balai) sebagai Yang
Dipertuan di Negeri sembilan. Raja Malewar merupakan seorang anggota keluarga Raja Pagaruyung yang
ditempatkan di Kerajaan Negeri Sembilan pada 1773-1795. Pengangkatan kedudukan Yang Dipertuan di
Kerajaan Negeri Sembilan kembali terjadi ketika Raja Ali ditunjuk pada 1803. Beliaulah yang menjadi cikal
bakal Yang Dipertuan Besar Negeri Sembilan (M.D. Mansoer et.al., 1970:69-71). 
Kehidupan sosial khususnya perekonomian yang terdapat di Kerajaan Pagaruyung dititikberatkan
pada produksi lada dan emas. Seperti diketahui bahwa daerah sekitar Sungai Kampar Kiri-Kanan dan Sungai
Batanghari merupakan daerah bandar perdagangan lada yang ramai didatangi oleh para pedagang dari
mancanegara. Kerajaan Pagaruyung yang kebetulan menguasai kedua daerah tersebut secara otomatis
mendapatkan keuntungan yang berlimpah. Raja Adityawarman yang kemudian memindahkan pusat
pemerintahan jauh lebih ke dalam melihat bahwa potensi monopoli lada dan emas bisa lebih ditingkatkan
dengan menguasai daerah pedalaman yang notabene merupakan daerah penghasil lada dan emas. Inilah salah
satu alasan Adityawarman memindahkan pusat pemerintahan dari Darmasraya ke Saruaso. Pemindahan ini
juga sekaligus membuka kesempatan untuk menggarap secara maksimal komoditi perdagangan yang ada di
pedalaman seperti lada dan emas yang terdapat di sekitar Tanah Datar (Kozok, Uli, 2006:31). Selain itu,
Adityawarman merasa bisa berdiri sendiri tanpa terikat atau berhubungan dengan Kerajaan Majapahit karena
telah merasa kuat dan mampu menguasai perdagangan lada serta meluaskan kekuasaan hingga ke Riau
Daratan. Kemungkinan tersebut dapat dibuktikan pada sebuah prasasti yang disebut Prasasti Kuburajo
(1349) yang menyebut Adityawarman sebagai “Kanakamedinindra” atau raja Negeri Emas (M.D. Mansoer,
et.al., 1970:60-61).
Penguasaan daerah pedalaman sebagaimana dilakukan oleh Adityawarman merupakan langkah yang
sangat tepat karena dengan menempatkan pusat pemerintahan di pedalaman, berarti perdagangan darat dapat
dikuasai secara efektif. Seperti ditulis dalam buku  Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu
yang Tertua (2006), jalan darat yang melintasi dari utara hingga selatan, pasti melintasi daerah
Minangkabau. Demikian pula dengan jalan darat dari Barat ke Timur yang menghubungkan Padang dengan
Jambi dan Palembang. Begitu halnya dengan dengan jalan yang menghubungkan Padang dengan Pekanbaru
yang juga melintasi lembah-lembah di pegunungan Sumatera Barat. Keadaan di pegunungan (pedalaman) ini
sangat ideal karena terlindung dari bahaya luar (serangan Kubilai Khan dan Sukothai), dan juga tanah yang
subur di ranah Minangkabau merupakan dasar ekonomi yang kuat (Kozok, Uli, 2006 :29).
Selain penguasaan di bidang ekonomi, Kerajaan Pagaruyung juga melakukan hubungan luar negeri.
Seperti ditulis dalam buku Sedjarah Minangkabau (1970), hubungan dengan Negeri Cina juga dilakukan
oleh penguasa di Kerajaan Pagaruyung. Hubungan ini terjadi dalam tahun 1357, 1375, dan 1377. Menurut
berita dari Dinasti Ming, raja Seng-Kia-Tie-Ya-Lam mengirimkan utusan pada tahun-tahun tersebut. Ir.
Moens menafsirkan nama tersebut sebagai sang Adityawarman. Menurut Krom, nama tersebut memang
mirip dengan nama Duta Jawa dari Majapahit pada 1325 dan 1332, yaitu Si-La-Seng-Kit-Li-Ye yang oleh
Krom dibaca Adityawarman (M.D. Mansoer et.al., 1970:62).

B. Beberapa Peninggalan Islam di Sumatera


1. Peninggalan Islam di Sumatera Selatan
a. Masjid
Masjid merupakan tempat salat umat Islam. Masjid tersebar di berbagai daerah. Namun,
biasanya masjid didirikan pada tepi barat alun-alun dekat istana. Alun-alun adalah tempat
bertemunya rakyat dan rajanya. Masjid merupakan tempat bersatunya rakyat dan rajanya sebagai
sesama mahkluk Illahi dengan Tuhan. Raja akan bertindak sebagai imam dalam memimpin salat.
Bentuk dan ukuran masjid bermacam-macam. Namun, yang merupakan ciri khas sebuah masjid
ialah atap (kubahnya). Masjid di Indonesia umumnya atap yang bersusun, makin ke atas makin kecil,
dan tingkatan yang paling atas biasanya berbentuk limas. Jumlah atapnya selalu ganjil. Bentuk ini
mengingatkan kita pada bentuk atap candi yang denahnya bujur sangkar dan selalu bersusun serta
puncak stupa yang adakalanya berbentuk susunan payung-payung yang terbuka.
Dengan demikian, masjid dengan bentuk seperti ini mendapat pengaruh dari Hindu-Buddha.
Beberapa di antara masjid-masjid khas Indonesia memiliki menara, tempat muadzin menyuarakan
adzan dan memukul bedug. Contohnya menara Masjid Kudus yang memiliki bentuk dan struktur
bangunan yang mirip dengan bale kul-kul di Pura Taman Ayun. Kul-kul memiliki fungsi yang sama
dengan menara, yakni memberi informasi atau tanda kepada masyarakat mengenai berbagai hal
10
berkaitan dengan kegiatan suci atau yang lain dengan dipukulnya kul-kul dengan irama tertentu.
Peninggalan bangunan masjid pada zaman dahulu kini masih tampak terawat cantik anggun dan
tetap bernilai sejarah pasalnya meskipun ada perehaban namun hanya sebagian kecil saja, salah satu
contoh Masjid Lawang Kidul, yang dibangun oleh Ki. Mgs. H. Abdul Hamid bin Mgs. H. Mahmud
alias K. Anang atau yang lebih dikenal dengan Kiai Merogan.

Masjid Lawang Kidul

Masjid Lawang Kidul adalah salah satu masjid tua di kota Palembang. Masjid ini terletak di tepian
Sungai Musi di semacam tanjung yang terbentuk oleh pertemuannya dengan muara Sungai Lawangkidul, di
kawasan Kelurahan Lawang Kidul, Kecamatan Ilir Timur II. Rumah ibadah ini dibangun dan diwakafkan
ulama Palembang Kharismatik, Ki. Mgs. H. Abdul Hamid bin Mgs. H. Mahmud alias K. Anang pada tahun
1310 H(1890 M).
Ulama ini lebih dikenal sebagai Kiai Merogan. Panggilan itu merujuk pada tempat tinggal dan
aktivitasnya yang banyak di kawasan muara Sungai Ogan (salah sat anak Sungai Musi) di kawasan Seberang
Ulu. Ayahnya adalah seorang ulama dan pedagang yang sukses. Kiai Merogan dilahirkan pada tahun 1811
M dan wafat pada 31 Oktober 1901. Ulama ini dimakaman di areal Masjid Ki Merogan, salah satu masjid
yang dibangun selama syiar Islamnya.
Selama berdakwah-sebelumnya, dia menetap di Mekkah, Saudi Arabia, tetapi mendapat bisikan untuk
kembali ke kampong halaman – bersama murid-muridnya, Kiai Merogan menggunakan perahu hingga ke
daerah pelosok di Sumatera Selatan. Karena itu pula, selain Masjid Lawang Kidul dan Masjid Kiai Merogan

11
di Palembang serta tiga pemondokan jemaah haji di Saudi Arabia, Kiai Merogan masih memiliki
peninggalan berupa masjid di Dusun Ulak Kerbau Lama Pegagan Ilir (OKI).
Sayang, kebakaran hebat pernah menghaguskan Kampung Karangberahi pada antara tahun 1964-
1965. Kebakaran ini juga, diduga menghanguskan peninggalan berupa karya tulis Kiai Merogan, yang
makamnya dikeramatkan hingga kini dan dipercaya membawa berkah bagi para peziarah yang memanjatkan
doa di makam itu.
Sebagai salah satu warisannya, Masjid Lawang Kidul hingga kini masih menampakkan kekukuhan
dan kemegahan perkembangan Islam di kota ini. Arsitektur Masjid Lawang Kidul menyerupai Masjid Agung
Palembang dan Masjid Kiai Muara Ogan. Ada ciri khas pada Masjid Lawang Kidul, yakni menara masjid
memiliki tiga undakan pada bagian tubuh menara. Kemudian, atap masjid pada bangunan utama melebar
memayungi ruangan utama di bawahnya.
Atap Masjid Lawang Kidul memiliki tiga undakan. Uniknya, undakan kedua seakan-akan menutupi
undakan pertama. Diantara undakan kedua dan ketiga tidak ada diberi sekat jendela. Bagian puncak atap
terpasang bulan sabit. Atap ruangan mihrab tidak sama dengan atap utama masjid. Atap mihrab dibuat sangat
mirip dengan atap kelenteng.
Hingga sekarang, masjid yang bangunan induknya memiliki luas lantai lebih kurang 20X20 meter itu,
sebagian besar masih asli. Namun, terdapat bangunan tambahan sehingga luasnya saat ini menjadi 40X41
meter.
Pemugaran dilaksanakan pada 1983-1987 lalu. Meskipun sebagian besar materialnya asli, ada
beberapa bagian yang terpaksa diganti. Bagian yang diganti itu terutama bagian atapnya yang semula genting
belah bamboo. Karena genting jenis itu tidak ada lagi, diganti dengan genting genting kodok.
Konon, material bangunan itu terdiri atas campuran kapur, telur, dan pasir. Sedangkan bahan
kayunya –tiang, pintu, atap, dan bagian penunjang lainnya terbuat dari kayu unglen. Interior masjid, juga
masih menampakkan keaslian. Empat saka guru memiliki ketinggian delapan meter dengan 12 pilar
pendamping setinggi lebih kurang enam meter, Kesemua tiang bersudut delapan. Empat alang (penyangga)
atas sepanjang 20 meter juga terbuat dari unglen tanpa sambungan.
b. Makam dan Nisan
Makam memiliki daya tarik tersendiri karena merupakan hasil kebudayaan. Makam biasanya
memiliki batu nisan. Di samping kebesaran nama orang yang dikebumikan pada makam tersebut,
biasanya batu nisannya pun memiliki nilai budaya tinggi. Makam yang terkenal antara lain makam
para anggota Walisongo dan makam raja-raja.
Pada makam orang-orang penting atau terhormat didirikan sebuah rumah yang disebut
cungkup atau kubah dalam bentuk yang sangat indah dan megah. Misalnya, makam Sunan Kudus,
Sunan Kalijaga, dan sunan-sunan besar yang lain.
Peninggalan sejarah Islam dalam bentuk makam dapat kita lihat antara lain pad makam berikut
Makam Kawah Tengkurep

12
Sejarah
Keberadaan kesultanan ini masih tetap dirasakan hingga kini. Kompleks pemakaman kesultanan
menjadi bukti bahwa nilai-nilai Islam begitu kuat di masa Kesultanan Palembang Darussalam. Tidak sulit
untuk menemukan kompleks pemakaman ini, walaupun letaknya terlindungi kompleks pergudangan peti
kemas Pelabuhan Bom Baru di kawasan Kelurahan III Ilir, Kecamatan Ilir Timur II. Dari pinggiran jalan
raya, kita harus berjalan sekitar 200 meter untuk dapat melihat langsung kompleks pemakaman ini. Jika lebih
memilih dari tepian Sungai Musi, maka kompleks ini berjarak tak lebih dari 100 meter.
Nama kawah tekurep diambil dari bentuk cungkup (kubah) yang menyerupai kawah ditengkurapkan
(Palembang: tekurep). Di sisi yang menghadap Sungai Musi (arah selatan), terdapat gapura yang merupakan
gerbang utama untuk memasuki kompleks makam. Di dalamnya, terdapat empat cungkup. Yaitu, tiga
cungkup yang diperuntukkan bagi makam para sultan dan satu cungkup untuk putra-putri Sultan Mahmud
Badaruddin, para pejabat dan hulubalang kesultanan. Layaknya komplek pemakaman, Kawah Tengkurep
dikelilingi tembok tinggi di sekelilingnya. Suasananya begitu teduh dengan pepohonan sehingga sangat
nyaman bagi mereka yang berziarah.
Dahulu di masa-masa awal, Kambang Koci merupakan bagian dari komplek Kawah Tengkurep
Konon, pada tahun 1151 H/ 1735 M, Sultan Mahmud Badaruddin 1 mewakafkan sebidang tanah yang cukup
luas untuk pemakaman anak cucu serta menantunya. Tanah pemakaman tersebut dinamakan Kambang Koci,
yang berasal dari kata kambang (kolam) dan sekoci (perahu), karena jauh sebelumnya tempat itu merupakan
tempat pencucian perahu. Pemakaman ini sempat nyaris tergusur untuk perluasan area pelabuhan. Namun
usaha “pembumi-hangusan” itu tak pernah berjalan mulus. Konon, pada tahun 1997, telah disiapkan ratusan
peti untuk memindahkan jasad-jasad terkubur ke tempat lain. Namun tiba-tiba terjadi kecelakaan pesawat
Silk air di perairan Sungsang, salah satu musibah terbesar dalam penerbangan Indonesia. Ajaibnya, jumlah
korban tewas kecelakaan tersebut sama dengan jumlah peti yang rencananya untuk pemindahan kubur tadi.
Akhirnya, peti tersebut digunakan untuk para korban kecelakaan.
Ketebalan bangunan pada makam ini mencapai 1 M. Oleh karena itu, bangunan-bangunannya tidak
pernah direnovasi karena masih sangat kokoh. Hanya saja pengecatan pada temboknya saja lebih
ditingkatkan. Kompleks Pemakaman Kawah Tengkurep ini merupakan salah satu dari belasan komplek
pemakaman lainnya yang tersebar di sudut kota Palembang dan Pemakaman Kawah Tengkurep ini pun
merupakan jejak sejarah dari para ulama dan sultan di era Pemerintahan Palembang Darussalam.
Berdasarkan dari catatan sejarah lama kota Palembang, Pemakaman Kawah Tengkurep ini dibangun pada
tahun 1728 Masehi atas perintah dari Sultan Mahmud Badaruddin I atau nama lainnya adalah Sultan
Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo ( yang wafat pada tahun 1756 M ), kalau tidak salah, itu kurang lebih
13
tidak lama setelah masa pembangunan Kompleks Makam atau Gubah Talang Kerangga ( 30 Ilir ) itu di
selesaikan. Nama Pemakaman Kawah Tengkurep itu sendiripun diambil dari bentuk cungkup (kubah) -nya
yang menyerupai sebuah kawah yang ditengkurapkan, atau kawah terbalik, ( kalau dalam bahasa Palembang
adalah Tengkurep ).
Kompleks Pemakaman Kawah Tengkurep ini di dalamnya terdapat empat cungkup, tiga cungkup
sengaja diperuntukkan bagi makam para sultan-sultan kota Palembang dan satu cungkup lainnya untuk
putra-putri Sultan Mahmud Badaruddin, para pejabat kesultanan dan hulu-balang kesultanan kota
Palembang.
Berikut nama-nama tokoh yang dimakamkan di Pemakaman Kawah Tengkurep :
Tata Letak Makam-makam

Cungkup I :  
1.      Sultan Mahmud Badaruddin I (wafat tahun 1756 M)
2.      Ratu Sepuh, istri pertama yang berasal dari Jawa Tengah
3.      Ratu Gading, istri kedua yang berasal dari Kelantan (Malaysia)
4.      Mas Ayu Ratu (Liem Ban Nio), istri ketiga yang berasal dari Cina
5.     Nyimas Naimah, istri keempat yang berasal dari I Ilir (Guguk Jero Pager Kota Palembang Lamo)
6.      Imam Sayyid Idrus Al Idrus dari Yaman Selatan (Guru Spiritual Sultan).
Cungkup II :
1.      Pangeran Ratu Kamuk (wafat tahun 1755 M)
2.      Ratu Mudo (istri P. Kamuk)
3.      Sayyid Yusuf Al Angkawi (Imam/ Guru penasihat Sultan)

Cungkup III :
1.      Sultan Ahmad Najamuddin (wafat tahun 1776 M)
2.      Masayu Dalem (istri Najamuddin)
3.      Sayyid Abdur Rahman Maulana Tugaah (imam Sultan dari Yaman)

Cungkup IV :
1.      Sultan Muhammad Bahauddin (wafat tahun 1803 Masehi)
2.      Ratu Agung (istri Bahauddin)
3.      Datuk Murni Hadad (Imam Sultan dari Arab Saudi)
4.      Beberapa makam lain yang tidak terbaca namanya
Di luar keempat cungkup itu, masih terdapat beberapa makam. Antara lain, Susuhunan Husin
Diauddin, yang wafat dalam pembuangan oleh Belanda di Jakarta, 4 Jul 1826. Semula, Husin Diauddin
dimakamkan di Krukut tetapi kemudian dipindahkan ke Palembang.

F. Sumber Belajar
Buku Sejarah Indonesia Kelas X (Kemendikbud)
Darmawijaya. 2010. Kesultanan Islam Nusantara. Jakarta: Pustaka Al- Kautsar
Witrianto. http://witrianto.blogdetik.com/2010/12/27/islam-di-kota-palembang/ . Diakses pada tanggal 12 Mei
2015
Anonim. http://historypeople94.blogspot.com/2014/05/beberapa-peninggalan-islam-di-sumatera.html . Diakses pada

14
tanggal 12 Mei 2015

15

Anda mungkin juga menyukai