Anda di halaman 1dari 95

TRADISI PADUNGKU MASYARAKAT DESA BO’E KECAMATAN

PAMONA SELATAN KABUPATEN POSO DILIHAT DARI


PERSPEKTIF NILAI-NILAI PANCASILA

LEONARDO RICKY PUTRA TA’UKE

SKRIPSI

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Mendapatkan Gelar Sarjana (S1)
Pada Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Tadulako

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN


JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TADULAKO
2022
TRADISI PADUNGKU MASYARAKAT DESA BO’E KECAMATAN
PAMONA SELATAN KABUPATEN POSO DILIHAT DARI
PERSPEKTIF NILAI-NILAI PANCASILA

LEONARDO RICKY PUTRA TA’UKE

Stambuk : A321 18 025

SKRIPSI

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Mendapatkan Gelar Sarjana (S1)
Pada Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Tadulako

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN


JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TADULAKO
2022
THE PADUNGKU TRADITION IN THE BO'E VILLAGE COMMUNITY,
SOUTH PAMONA SUB-DISTRICT, POSO REGENCY FROM THE
PERSPECTIVE OF PANCASILA VALUES

LEONARDO RICKY PUTRA TA’UKE

SKRIPSI

Submitted as Partial Fulfillment of the Requirements for the Degree of

Sarjana Pendidikan at Pancasila and Civic Education Study Program

Social Science Education Department

Teacher Training and Education Faculty

Tadulako University

PANCASILA AND CIVIC EDUCATION STUDY PROGRAM


SOCIAL SCIENCE EDUCATION DEPARTMENT
TEACHER TRAINING AND EDUCATION FACULTY
TADULAKO UNIVERSITY
202
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Leonardo Ricky Putra Ta’uke

NIM : A 321 18 025

Jurusan/Program Studi : P.IPS/Pendidikan Pancasila dan


Kewarganegaraan

Fakultas : Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi ini benar tulisan saya dan bukan plagiasi,

baik sebagaian ataupun seluruhnya.

Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa skripsi ini memenuhi unsur

plagiasi, baik sebagian maupun seluruhnya maka saya bersedia menerima sanksi atas

perbuatan saya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Palu, Juni 2022

Leonardo Ricky Putra Ta’uke

ii
iii
iv
ABSTRAK

Leonardo Ricky Putra Ta’uke, 2022. Tradisi Padungku Masyarakat Desa Bo’e Kecamatan
Pamona Selatan Kabupaten Poso dilihat dari Perspektif Nilai-nilai Pancasila. Skripsi,
Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Jurusan Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Tadulako.
Pembimbing Dr. Sunarto Amus, M.Si.

Penelitian ini bertujuan untuk (1) Mendeskripsikan Proses Perubahan Tradisi Padungku
masyarakat Desa Bo’e (2) Mendeskripsikan nilai-nilai pancasila sebagai pandangan
hidup dalam tradisi padungku. Jenis Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Unit analisis
dalam penelitian ini adalah masyarakat Desa Bo’e, dengan informan terdiri dari sepuluh
orang, satu di antaranya adalah kepala Desa Bo’e, tiga orang pemuka Agama, dua orang
tokoh adat, empat di antaranya adalah anggota masyarakat yang bekerja sebagai petani dan
guru PNS. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling. Sedangkan
data dan informasi dikumpulkan melalui Observasi, wawancara dan dokumentasi. Hasil
penelitian menunjukan bahwa proses pelaksanaan Tradisi padungku yaitu: 1) Pemerintah
Desa dan majelis Jemaat menyepakati tanggal pelaksanaan padungku diforum musyawarah
desa. 2) Masyarakat mempersiapakn bahan-bahan yang dibutuhkan seperti: bambu (voyo),
kayu api (kaju apu), daun pisang (ira loka), beras kentan (pae puyu), dan hewan ternak. 3)
Ibadah syukur digedung Gereja dengan membawah hasil panen untuk di Doakan. 4) acara
puncak padungku yang dihadiri dari semua kalangan masyarakat tanpa terkecuali. Perubahan
yang terjadi dalam tradisi padungku yaitu: 1) Perubahan nama Mangore (mengangkat sukma
padi/maore ntanoana pae) menjadi Padungku (ucapan syukur karena proses pertanian (padi)
sudah usai atau tuntas). 2) Dulu pelaksanaanya di kebun, sawah dan balai Desa sekarang di
Desa Bo’e. 3) Dulu Masyarakat mempersembahkan hasil panen kepada pohon (pohon
Beringin) atau sesuatu yang dianggap mistis, tapi sekarang hasil panen dibawah di gedung
Gereja untuk di Doakan. 4) Dulu dalam acara tradisi padungku diisi dengan kegiatan-
kegiatan tradisional seperti Mowinti (permainan yang mengadu kekuatan dengan kaki),
motela (permain yang terbuat dari tempurung kelapa), moraego (suatu permaian yang khusus
dimainkan oleh orang-orang Tua pada saat pesta termasuk pada saat padungku), mobulingoni
(cerita yang disampaikan melalui syair lagu), dan moganci (permainan gasing, yang terbuat
dari kayu) tapi sekarang ini kegiatan tersebut tidak lagi dilaksanakan. Dan nilai-nilai
Pancasila yang terkandung dalam tradisi padungku yaitu: 1) Ketuhanan. 2) Persatuan. 3)
musyawarah dan, 4) Sosial.

Kata Kunci: Tradisi, Padungku, Nilai, Pancasila

v
ABSTRACT

Leonardo Ricky Putra Ta’uke. 2022. The Padungku Tradition in the Bo'e Village
Community, South Pamona Sub-district, Poso Regency from the Perspective of
Pancasila Values. Skripsi, Bachelor Degree. Pancasila and Civic Education Study
Program, Social Science Education Department, Teacher Training and Education
Faculty, Tadulako University Under the supervision of Sunarto Amus.
This research aims to describe (1)the process of change in Padungku tradition among
the Bo'e village community. (2) the values of Pancasila as a way of life in the
padungku tradition. It was qualitative research that employed the unit of analysis was
the community of Bo'e Village. The purposive sampling technique was used to select
ten informants, one of whom is the village head of Bo'e, three religious leaders, two
traditional leaders, four of whom are community members who work as farmers, and
a civil servant teacher. Data and information were gathered through observation,
interviews, and documentation. According to the findings, the process of
implementing the Padungku Tradition, specifically: 1) The Village Government and
the congregational assembly agreed on a date for the implementation of Padungku
during the village deliberation forum. 2) The community gathers the required
materials, such as bamboo (voyo), firewood (kaju apu), banana leaves (ira loka),
glutinous rice (pae puyu), and livestock. 3) A Thanksgiving service with harvest
prayers in the church building. 4) The Padungku peak event, drew people from all
walks of life. The changes to the padungku tradition are: 1) Name change from
Mangore (elevating the sukma padi/maore ntanoana pae) to Padungku (thanksgiving
because of the agricultural process (rice) is finished). 2) Previously, implementation
was carried out in the gardens, rice fields, and village hall; now, it is carried out in
Bo'e Village. 3) Previously, the harvest was offered to a tree (banyan tree) or
something mystical, but now it is brought down to the church building to be prayed
for. 4) In the past, traditional activities such as Mowinti (tug of war game), motela (a
game made of coconut shells), moraego (a game especially played by the elderly at
parties including Padungku), mobulingoni (a story told through song lyrics), and
moganci (a top game made of wood) were part of the Padungku tradition, but these
activities are no longer practiced. The following are the Pancasila values embodied in
the Padungku tradition: 1) A divine being. 2) Unity. 3) thoughtfulness; and 4) social.

Keywords: Pancasila, Padungku, tradition

vi
UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah

memlimpahkan segalah rahmatnya, kemuliaannya, serta keberkaha-Nya sehingga

penulis dapat menyusun dan menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Tradisi

Padungku Masyarakat Desa Bo’e Kecamatan Pamona Selatan Kabupaten Poso

dilihat dari Perspektif Nilai-nilai Pancasila”. Skripsi ini merupakan salah satu

syarat untuk memperoleh gelar sarjana Strata Satu (S1) pada Program Studi

Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan

Sosial, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Tadulako.

Saya sebagai penulis menyadari bawah kesulitan, kemudahan, senang, dan

duka, merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan ini. Begitu pula

dengan penelitian dan penyusunan skripsi ini, yang dari semua hal tersebut penulis

dapat mengatasinya berkat bantuan dan dukungan berbagai pihak. Sehingga dalam

kesempatan ini, secara khusus penulis mempersembahkan skripsi ini dan

menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada kedua Orang Tua saya.

Kepada Ayah Raiman Afredi Ta’uke dan Ibu Marcin Labiro tercinta atas segala

pengorbanan, perjuangan, kasih sayang, doa, nasehat, dukungan, motivasi, perhatian,

dan kepercayaan kepada penulis sehingga akhirnya mendapatkan kesempatan

menjalani Pendidikan sarjana strata satu (S1). Terima kasih keluargaku adiku tercinta

Lidia Evalinda Ta’uke atas doa dan motivasinya sehingga penulis dapat meraih

impian dan cita-cita masa depan yang lebih baik.

vii
Dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini banyak mendaptkan bantuan dari

berbagai pihak yang sangat berharga baik berupa moril ataupun materil. Penulis

mengucapkan terima kasih kepada Ayahanda Bapak Dr. Sunarto Amus, M.Si selaku

dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktunya dalam segala hal yakni

membantu, memotivasi, memberikan arahan, kritikan dan arahan mulai dari

pengusulan judul proposal, penyusunan proposal dan dalam penyusunan hasil

penelitian hingga skripsi nanti. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa

melimpahkan rahmat dan hidayahnya.

Penyelesaian skripsi ini juga tak luput dari bantuan dan dukungan dari

berbagai pihak yang sangat berharga, sehingga pada kesempatan ini dengan segala

kerendahan hati penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada:

1. Prof. Dr. Ir. H. Mahfudz, MP, Rektor Universitas Tadulako.

2. Dr. Amiruddin Kade. M, Si, Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Tadulako.

3. Dr. H. Nurhayadi, M.Si Wakil Dekan Bidang Akademik Fakultas Keguruan

dan Ilmu Pendidikan Universitas Tadulako.

4. Abdul Kamaruddin, S.Pd., M.Ed., Ph.D, Wakil Dekan Bidang Umum dan

Keuangan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tadulako.

5. Dr. Iskandar, M.Hum, Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan Fakultas

Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tadulako.

viii
6. Dr. Nuraedah, S.Pd., M.Pd., Ketua Jurusan Pendidikan IPS, Fakultas

Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tadulako.

7. Dr. Hasdin, S.Pd., M.Pd, Koordinator Program Studi PPKn Fakultas

Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tadulako.

8. Dr. Dwi Septiwiharti, SS., M. Phil selaku dosen ketua penguji yang banyak

memberikan saran sehingga selesainya skripsi ini.

9. Windy Makmur, S.Pd., M.Pd selaku dosen sekretaris penguji yang banyak

memberikan masukan dan saran hingga selesainya skripsi ini.

10. Dr. Sunarto Amus., M.Si selaku dosen pembimbing sekaligus sebagai dosen

penguji I yang telah memberikan masukan dan saran hingga selesainya skripsi

ini.

11. Drs. Imran, M.Si selaku dosen penguji II yang telah memberikan saran hingga

selesainya skripsi ini.

12. Dr. H. Kaharuddin Nawing, M.Si sebagai dosen penguji III yang telah banyak

memberikan masukan, saran dan motivasi hingga selesainya skripsi ini.

13. Seluruh dosen Program Studi PPKn, Jurusan P.IPS Fakultas Keguruan dan

Ilmu Pendidikan Universitas Tadulako.

14. Seluruh staf akademik pengajaran Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Tadulako.

15. Seluruh masyarakat yang ada di Desa Bo’e yang telah memberi kesempatan

kepada penulis untuk melaksanakan penelitian kurang lebih dua minggu.

ix
16. Seluruh keluargaku di Desa Bo’e, kamba dan Mayoa Nenek saya Mantiasa

Membilo, nenek saya Alfin Torile, Om saya Yanto labiro, Jemi Labiro, Ten

Labiro, Mama Ade saya Sarmin Membilo, Rita Membilo, Nita Labiro dan

Papa Ade saya Alfin Ta’uke, Jalindu Tambidjonga yang selama kuliah sangat

membantu penulis baik dari segi materi maupun moral serta dukungan dan

doa.

17. Saudara-saudariku Raimondo Sondah, Tirta Ta’uke, Vana Wonggi, Nilu,

Riska Tambidjonga dan Geby Bodjo yang tak henti-hentinya selalu

mendoakan dan memberi semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

18. Seluruh teman-teman prodi PPKn angkatan 2018 kelas A, B dan C yang

banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

19. Teman-Teman pengurus UPEMKIP Untad Periode 2020/2021 yang banyak

membantu, memberikan motivasi dan mendoakan penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini.

20. Sahabat saya Aldo Uwu, Miliams Mandalele dan juga Kak Naldi yang selama

ini selalu memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis sehingga boleh

menyelesaikan skripsi ini.

21. Teman saya Harol Mandjarara, Gustaf Kombuno dan Yuli yang sudah

memberikan motivasi dan dukungannya hingga penulis menyelesaikan skripsi

ini.

x
22. Teman-teman PLP saya Asmarita, iwan, Jessica, Meylan, Lulu, Rifki, Wulan,

Afdal, Amin, Tato dan teman-teman lainnya yang sudah membersamai selama

PLP dan memberikan dukukan dan doanya.

23. Teman-teman KKN Angkatan 96 Lala, Halija, Ijal, Enjel, Nova, Riska, Yung,

Rei, dan teman-teman lainnya yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu

terima kasih sudah meberikan doanya.

Penulis berharap dan berdoa semoga kebaikan dari semua pihak yang telah

mendukung dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini mendapat

berhkat dan kesehatan dari Tuhan Yang Maha Esa. Penulis menyadari bahwa skripsi

ini masi jauh dari kata sempurna. Untuk itu, segalah masukan, kritik dan saran yang

bersifat membangun sangat diharapkan penulis. Namun semoga jerih paya penulis

dalam menyelesaikan skripsi ini dapat menyumbangkan ilmu dan bermanfaat bagi

berbagai pihak. Amin

Palu, Juni 2022

Leonardo Ricky Putra Ta’uke

xi
DAFTAR ISI

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN…………………………………………ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ………………........................... ..iii

HALAMAN PENGESAHAN………………………………………………………iv

ABSTRAK……………………………………………………………………………v

ABSTRACT…………………………………………………………………………vi

UCAPAN TERIMA KSIH…………………………………………………………vii

DAFTARISI………………………………………………………………………...xii

DAFTAR TABEL………………………………………………………………… .xv

DAFTAR GAMBAR………………………………………………………………xvi

BAB 1 PENDAHULUAN……………………………………………………………1

1.1 Latar Belakang………………………………………………………...1

1.2 Rumusan Masalah………………………………..................................5

1.3 Tujuan Penelitian……………………………………………………...5

1.4 Manfaat Penelitian………………………………………………….....5

BAB II TINJAUN PUSTAKA………………………………………………………7

2.2 Kajian Teori…………………………………………………………...7

2.2.1 Tradisi………………………………………………………………....7

2.2.2 Padungku……………………………………………………………...9

2.2.3 Kebudayaan Sebagai Warisan sosial atau Tradisi…………………...10

2.2.4 Masyarakat Desa……………………………………………………..11

xii
2.2.5 Pancasila sebagai Pandangan Hidup…………………………………12

2.2 Penelitian Yang Relevan……………………………………………..16

2.3 Kerangka Konseptual………………………………………………...18

BAB III METODE PENELITIAN………………………………………………...20

3.1 Pendekatan Penelitian……………………………………………......20

3.2 Tempat dan Waktu…………………………………………………...20

3.3 Subjek Penelitian…………………………………………………….21

3.4 Desain Penelitian…………………………………………………….21

3.5 Teknik dan Alat Perolehan Data……………………………………..21

3.6 Teknik Analisis Data………………………………………………...24

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN…………………………………………...26

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian…………………………………26

4.1.1 Sejarah Singkat Desa Bo’e…………………………………………..26

4.1.2 Keadaan Geografi Desa Bo’e………………………………………..28

4.1.3 Keadaan Demografi Desa Bo’e……………………………………...29

4.1.4 Keadaan jumlah penduduk Desa Bo’e……………………………….29

4.1.5 Sarana dan prasarana desa Bo’e……………………………………..30

4.2 Hasil Penelitian………………………………………………………31

4.2.1 Proses Perubahan Yang Terjadi Dalam Tradisi Padungku Masyarakat


Desa Bo’e…………………………………………………………….31

4.2.2 Nilai Pancasila Yang Terkandung Dalam Tradisi Padungku………..39

4.3 Pembahasan………………………………………………………….43

xiii
4.3.1 Proses Perubahan Tradisi Padungku…………………………………43

4.3.2 Padungku dilihat dari Perspektif Nilai Pancasila…………………….47

BAB V PENUTUP………………………………………………………………….50

5.1 Kesimpulan…………………………………………………………..50

5.2 Saran…………………………………………………………………52

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………53

LAMPIRAN-LAMPIRAN

xiv
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.2 Tabel Persamaan dan Perbedaan…………………………………………….17

4.1 Struktur Pemerintahan Desa Bo’e…………………………………………...27

4.2 Jumlah masyarakat berdasarkan jenis kelamin………………………………30

4.3 Jumlah Sarana dan Prasarana Desa Bo’e…………………………………….30

xv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.3 Kerangka Konseptual…………………………………………………..19

xvi
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan sebuah Negara yang cukup besar dilihat dari segi

penduduknya maupun keberagaman yang ada. Keberagaman bangsa Indonesia

dilatarbelakangi karena jumlah suku bangsa yang mendiami wilayah Indonesia sangat

banyak. Setiap suku bangsa mempunyai ciri atau karakter tersendiri, baik dalam

aspek sosial maupun budaya. Keberagaman bangsa Indonesia yang terdiri dari tradisi

atau upacara adat yang ada pada masyarakat Indonesia.

Di daerah Sulawesi tengah ada banyak tradisi dan budaya yang diturunkan

oleh nenek moyang dari zaman dahulu yang masih diteruskan sampai saat ini, salah

satunya yaitu tradisi Padungku. Padungku merupakan jenis tradisi dimana masyarakat

melakukan sebuah syukuran panen sekali sehari dalam setahun kurang lebih

dilakukan dua bulan setalah para petani melaksanakan panen.

Padungku dimaknai sebagai tradisi masyarakat dimana kegiatannya dilakukan

dengan menghantarkan hasil panen ke rumah ibadah atau gereja sebagai syukur

kepada Tuhan atas hasil panen masyarakat. Tidak hanya itu, padungku juga

merupakan kegiatan silahturahmi antarmasyarakat dimana masyarakat saling

berkunjung dari rumah ke rumah dan juga saling menjamu. Sebelumnya tradisi

padungku di Desa Bo’e pada masa lampau setelah selesai panen padi di sebut

Mangore (mengangkat sukma padi/maore ntanoana pae) dan ini dilakukan di Langa

(suatu tempat dimana petani itu berkebun dengan beberapa anggota keluarga).

1
2

Dan Pomatua Ada (ketua adat) mendoakan hasil panen kepada mpue pala

buru anu malaburumo yangi pai lino ( Tuhan Yang Maha Kuasa yang Menciptakan

Langit dan Bumi) dan orang tua mempersembahkan makanan pada suatu tempat atau

pohon yang dianggap keramat.

Setalah injil masuk tanah Poso pada tahun 1892, yang dibawakan oleh A.C.

Kruyt dari Belanda yang mengajarkan ajaran Nasrani sehingga sebagian masyarkat

poso pamona menerima dan menganut agama Kristen. Mulai saat itu orang tua dulu

tidak lagi sepenunya mempercayai hal-hal mistis sesuai dengan ajaran nenek moyang

mereka yang diyakininya.

Pada saat itu mangore (mengangkat sukma padi/ maore ntanoana pae) sudah

berganti dengan kata padungku yang artinya ucapan syukur karena proses pertanian

(padi) sudah usai atau tuntas dan tradisi padungku dilakukan sampai saat ini.

Dengan perkembangan zaman tradisi padungku sudah mengalami perubahan

yang dulunya diramaikan dengan tarian dero menggunakan gendang dan gong

sekarang menggunakan elekton, yang dulunya dilaksanakan masing-masing keluarga

di kebun sekarang padungku di laksankan bersama-sama satu desa dan desa lain bisa

datang dan meramaikan acara padungku.

Proses pelaksanaan tradisi padungku dilaksanakan setelah parah petani selesai

panen padi. Setelah itu parah aparat pemerintahan Desa dan ketua adat akan

bermusyawara untuk menentukan hari pelaksanaan padungku. Sesudah ditentukan

hari pelaksanaanya, para masyarakat di Desa Bo’e akan mempersiapan segalah


3

sesuatunya. Mulai dari bahan-bahan makanan, nasi bambu, burasa dan masi banyak

lagi. Masyarakat Desa Bo’e mulanya akan mengitu ibadah di gereja sebelum

menyambut tamu di rumah masing-masing.

Tradisi padungku memiliki dampak yang positif bagi masyarakat dalam hal

membangun interaksi sosial antar masyarakat, profesi, jabatan, strata sosial, agama

dan suku. Tradisi padungku dapat mempererat tali persaudaraan antar keluarga dan

masyarakat dimana budaya ini mengajak orang untuk membuka diri dalam hal saling

mengunjungi.

Tradisis padungku juga mengajarkan untuk selalu mengucap syukur kepada

Tuhan atas berkat dari hasil panen yang melimpah dengan menghantarkan ke gereja

untuk di doakan sehingga proses pengolahan sawah selanjutnya dapat menghasilkan

panen yang melimpah. Dalam tradisi padungku juga diajarkan untuk saling

menghargai perbedaan dan sebelum pelaksaan padungku warga masyarakat Desa

Bo’e memusyawarakan atau membicarakan terlebih dahulu kapan proses pelaksanaan

padungku dilaksanakan.

Pancasila sebagai pandangan hidup dalam kehidupan bangsa sangat

diperlukan karena menjadi pegangan dan pedoman bangsa Indonesia dalam

memecahkan masalah-masalah politik, ekonomi, sosial dan budaya. Pancasila sebagai

pandangan hidup merupakan kristalisasi nilai-nilai yang bersumber dari kehidupan

masyarakat dan bangsa Indonesia. Pancasila dirumuskan dari nilai budaya bangsa

Indonesia yang terdiri dari nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, kerakyatan dan

keadilan sosial. Sila pertama Ketuhanan Yang Mahasa Esa, diwujudkan setiap orang
4

seharusnya memeluk agama sesuai keyakinanya, bertoleransi terhadap orang lain

yang berbeda agama.

Sila kedua Kemanusiaan yang adil dan beradab, diwujudkan dalam bentuk

perilaku saling menghargai harkat dan martabat sesama, kesamaan dalam

kemasyarakatan dan hukum, saling mengasihi, dan menyangangi. Sila ketiga

persatuan Indonesia, diwujudkan dengan tiadanya diskriminasi individu dan antar

golongan, kesediaan bekerja sama untuk kepentingan bersama, bergotong royong,

rela berkorban.

Sila keempat Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan/perwakilan, diwujudkan ke dalam bentuk menyelesaikan masalah

dengan musyawarah, demokrasi substansial, dan tidak memaksakan kehendak. Silah

kelima Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, diwujudkan dalam bentuk

perilaku menghargai hak orang lain, karya cipta orang lain, dan mengedepankan

kewajiban kemudian hak yang dilaksankan secara seimbang.

Dalam tradisi padungku masyarakat Desa Bo’e, nilai-nilai pancasila yang

dapat di peroleh yaitu, nilai Religius dimana tradisi ini dilakukan dengan

menghantarkan hasil panen ke rumah ibadah atau gereja sebagai syukur kepada

Tuhan atas hasil panen masyarakat. Nilai sosial dimana tradisi ini mengajak dan

melayani siapapun yang datang dalam acara padungku.

Nilai Persatuan dalam tradisi padungku membangun solidaritas dan kotrisbusi

dari masyarakat lain yang berbeda suku dan keyakinan terlibat langsung dalam acara

tradisi padungku.
5

Dan yang terakhir adalah nilai Demokrasi dimana sebelum kegiatan tradisi

padungku ada kerja sama pemerintah Desa dengan masyarakat untuk membicarakan

atau memusyawarahkan terlebih dahulu kapan tradisi padungku akan dilaksanakan.

Berdasarkan latarbelakang diatas peneliti tertarik untuk mengadakan

penelitian “Tradisi Padungku Masyarakat Desa Bo’e Kecamatan Pamona Selatan

Kabupaten poso dilihat dari Sperpektif nilai-nilai Pancasila”. Karena itu penulis

memutuskan untuk meneliti lebih lanjut mengenai tradisi padungku.

1. 2 Rumusan Masalah

Berdasarkan urain di atas maka rumusan masalah yang dapat diambil yaitu :

1. Bagaimana Proses perubahan yang terjadi dalam tradisi padungku

masyarakat Desa Bo’e?

2. Nilai-nila pancasila apa saja yang terkandung dalam tradisi Padungku?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan proses perubahan tradisi padungku masyarakat Desa

Bo’e

2. Mendeskripsikan nilai-nilai pancasila sebagai pandangan hidup dalam

tradisi padungku

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini yaitu:

1. Manfaat Teoritis
6

Sebagai bahan referensi dan informasi bagi peneliti lain yang berminat

mengkaji masalah-masalah yang berhubungan dengan tradisi padunngku

masyarakat Desa Bo’e Kecamatan Pamona Selatan Kabupaten Poso.

2. Manfaat Praktis

a. Sebagai bahan masukan khususnya bagi masyarakat Desa Bo’e dalam

mengetahui bagaimana proses dan perubahan mengenai tradisi

Padungku.

b. Sebagai bahan masukan bagi masyarakat Desa Bo’e untuk

meningkatkan pengetahuan dalam memahami nilai-nilai yang

terkandung dalam tradisi Padungku.

c. Bagi masyarakat, dapat memberikan dampak yang positif dalam hal

membangun interaksi sosial antar masyarakat, profesi, jabatan, strata

sosial, agama dan suku serta dapat mempererat tali persaudaraan

antarkeluarga dan masyarakat.


BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Teori

2.2.1 Tradisi

Tradisi adalah bagian dari kebudayaan. Menurut Siburian, A. L. M., & Malau,

W. (2018:31) Koentjaraningrat (2009) menjelaskan bahwa kebudayaan memiliki arti

sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam

kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar.

Menurut Aldo Redho Syambudaya (2017:250) Budaya (culture), diartikan

sebagai: pikiran, adat, istiadat, sesatu yang sudah berkembang, sesuatu yang menjadi

kebiasaan yang sukar di ubah. Dalam pemakaian sehari-hari, orang biasanya

mensinonimkan pengertian budaya dengan tradisi (tradition). Dalam hal ini tradisi

diartikan sebagai ide-ide umum, sikap dan kebiasaan kelompok dalam masyarakat

tertentu. Menurut Rhoni Rodin (2013:78) Tradisi berasal dari kata traditium, yang

berarti segala sesuatu yang ditransmisikan, diwariskan oleh masa lalu ke masa

sekarang. Dari pengertian tersebut jelaslah bahwa tradisi adalah warisan kebudayaan

atau kebiasaan masa lalu yang dilestarikan secara terus-menerus hingga sekarang.

Menurut Huda, Nurul (2016:13) Tradisi (Bahasa Latin : traditio, “diteruskan”)

atau kebiasaan, dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah

dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat,

biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama.

7
8

Satu hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang

diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun (sering kali) lisan, karena

tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah.

Menurut Wennita Daud, Syaiful Arifin, Dahri Dahlan (2018:169) Tradisi

adalah sesuatu yang diwariskan tidak berarti harus di terima, dihargai, diasmilasi atau

disimpan sampai mati. Tradisi merupakan suatu gambaran sikap dan perilaku

manusia yang telah berproses dalam waktu lama dan dilakukan secara turun-temurun

dimulai dari nenek moyang.

Menurut Anastasia Imun (2020:8) Tradisi atau kebiasaan (latin: traditio,”

diteruskan”) adalah suatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian

dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan,

waktu, atau agama yang sama.

Menurut Rufaida, Arini (2011:14) Tradisi secara umum dipahami sebagai

pengetahuan, doktrin, kebiasaan, praktek, dan lain-lain yang diwariskan turun

temurun termasuk cara penyampain pengetahuan, doktrin, dan praktek terrsebut.

Menurut Tutuk Ningsih (2019:83) Tradisi sebagai warisan yang hidup

ditengah-tengah masyarakat muncul melalui dua cara: pertama, muncul dari bawah

melalui mekanisme kemunculan secara spontan dan tak diharapkan serta melibatkan

rakyat banyak.

Karena sesuatu alasan, individu tertentu menemukan warisan historis yang

menarik perhatian, kecintaan dan kekaguman yang kemudian disebarkan melalui


9

berbagai cara mempengaruhi rakyat banyak. Sikap-sikap tersebut berubah menjadi

perilaku dalam bentuk upacara, penelitian dan pemugaran peninggalan purbakala

serta menafsir ulang keyakinan lama.

2.2.2 Padungku

Menurut Zaitun (2014:11) padungku berasal dari bahasa pamona yang berarti

semua sudah rapi, sudah tertip, sudah tuntas. Hal ini disimbolkan dengan dua hal:

padi sudah tersimpan di lumbung. Kedua, alat pembajak sudah dibersikan dan

ditempatkan di bawah rumah (kolong rumah). Ketika dua hal tersebut sudah

dilakukan oleh seluruh petani di Desa maka diadakan pesta bersama yang di sebut mo

padungku.

Pada hari padungku semua rakyat dapat saling berkunjung satu sama lain

tanpa merasa keberatan. Tidak ada pembatasan untuk siapapun. Berbicara masalah

padungku, Menurut Zaitun (dalam Hasan dkk 2005:76) Menjelaskan bahwa:

“Upacara padungku dilaksanakan setelah upacara panen yang pada prinsipnya


merupakan suatu wujud ungkapan kegembiraan yang dituangkan dalam
proses syukur. Maka simbol dalam upacara adat padungku adalah pengucapan
syukur pada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rezeki dan
keselamatan dari masa pembukaan lahan atau lokasi ladang hingga masa
panen. Maka simbol inilah yang dituangkan dalam ungkapan kegembiraan”.

Menurut Muh. Ali Jennah, Kaharuddin Nawing, dan Roy Kulyawan (2021:69)

Padungku adalah suatu tradisi komunitas petani pada masyarakat Mori dan

Pamona di Kabupaten Poso. Padungku merupakan ritual budaya dilaksanakan

sekali (sehari) dalam setahun, perayaan tersebut dilaksanakan kurang lebih 2 bulan

setelah para petani melaksanakan panen. Padungku pada awalnya dilaksanakan


10

secara sederhana oleh keluarga petani dan peladang. Namun dalam

perkembangannya padungku sebagai manifestasi rasa syukur kepada Tuhan,

berlangsung dari tahun ketahun, hingga menjadi hari raya kultural melebihi hari

raya keagamaan.

Padungku sebagai upacara (pesta) syukur pada komunitas Pamona

merupakan suatu bentuk perpaduan antara sistem mata pencaharian komunitas

tersebut dengan sistem kepercayaan yang dianut pada masa lalu. Pesta rakyat

“padungku” tersebut diduga berkaitan sistem kepercayaan komunitas pamona pada

masa lalu, yang mengantungkan diri dengan alam dan memperoleh perlindungan

dari alam melalui sesembahan kepada kekuatan adikadrati yang diyakininya.

2.2.3 Kebudayaan Sebagai Warisan sosial atau Tradisi

Kebudayaan diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Tanpa

masyarakat kemungkinannya sangat kecil untuk membentuk kebudaayaan.

Sebaliknya tanpa kebudayaan tidak mungkin manusia (secara individual maupun

kelompok) dapat mempertahankan kehidupannya. Untuk itu kebudayaan sangat dekat

dengan manusia.

Menurut Zaitun (2014:13) Pada hakikatnya kebudayaan merupakan reaksi umum

terhadap perubahan kondisi kehidupan manusia, tempat suatu proses pembaharuan

terus menerus terhadap tradisi yang memungkinkan kondisi kehidupan manusia

menjadi lebih baik.

Kebudayaan juga dapat dipandang sebagai warisan sosial masyarakat yang

diteruskan dari generasi berikutnya yang secara turun temurun dilakukan sebagai
11

tradisi. Warisan budaya hanya dapat dimiliki oleh masyarakat pendukungnya yaitu

dengan jalan mempelajarinya.

Menurut pendapat Takdir Alisjahbana (1986:207) bahwa “kebudayaan dibagi

dalam beberapa golongan, salah satunya adalah golongan yang menekankan pada

sejarah kebudayaan dimana kebudayaan di pandang sebagai warisan sosial atau

tradisi”.

Kebudayaan telah ada semenjak manusia ada dipermukaan bumi, yang

diteruskan atau diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya sebagai sebuah warisan

sosial juga sebagai sesuatu yang tercipta atau dilakukan oleh sekumpulan individu di

suatu tempat tertentu di masa lalu dan kemudian melalui waktu hingga sampai di

masa selanjutnya. Pemberian itu kemudian diulang sebagi sebuah tradisi yang

sebagian berasal dari warisan lalu oleh generasi sekarang.

Suatu budaya akan hilang jika masyarakat sebagai pewaris kebudayaan

tersebut tidak menerimanya lagi. Sebagai warisan sosial, peran kebudayaan tidak

hanya berlaku pada generasi tertentu, melainkan berlaku pada tiap-tiap generasi

secara turun temurun. Untuk mewujudkan masyarakat yang berbudaya, penanaman

nilai-nilai tradisional sebagai warisan sosial sangat penting untuk menumbuhkan jati

diri masyarakat pendukungnya dalam rangka menghadapi tantangan zaman.

2.2.4 Masyarakat Desa

Menurut Dr. Sarintan Efratani Damanik, M.Si (2019:27) Masyarakat adalah

sejumlah manusia yang merupakan satu kesatuan golongan yang berhubungan tetap

dan mempunyai kepentingan yang sama saling berinteraksi menurut suatu sistem adat
12

istiadat tetentu yang bersifat kontiniu, dan yang terkait oleh suatu rasa identitas

bersama.

Menurut Eko Murdiyanto (2020:41) Masyarakat sebagai komunitas

(cummunity) adalah kelompok orang yang terikat oleh pola-pola interaksi karena

kebutuhan dan kepentingan bersama untuk bertemu dalam kepentingan mereka.

Pengertian Desa mestilah dibedakan antara rural dan village. Rural lebih

bermakna sebagai perdesaan dengan ciri khas pada karakteristik masyarakat,

sedangkan makna village lebih pada Desa sebagai suatu unit territorial.

Dengan demikian suatu perdesaan (rural) dapat mencakup satu Desa (village)

atau sejumlah Desa.

Menurut Zaitun (2014:18-19) Masyarakat Desa pada umumnya mempunyai

kepentingan pokok yang hampir sama. Mereka selalu bekerjasama untuk mencapai

kepentingan mereka seperti pada waktu mendirikan rumah, upacara pesta

perkawinan, memperbaiki jalan Desa, membuat saluran air, bakti sosial dan

sebagainya. Sistem kehidupan pada masyarakat Desa biasanya berkelompok atas

dasar sistem kekeluargaan. Penduduk masyarakat pedesaan pada umunya hidup dari

pertanian.

2.2.5 Pancasila sebagai Pandangan Hidup

Menurut Zaqiah, Q. Y., & Rusdiana, A. (2014:15) Nilai adalah segala hal

yang berhubungan dengan tingkah laku manusia mengenai baik atau buruk yang

diukur oleh agama, tradisi, etika, moral, dan kebudayaan yang berlaku dalam

masyarakat.
13

Menurut Zaqiah, Q. Y., & Rusdiana, A. (2014:14) (Dalam Ngalim Purwanto

(1987)) menyatakan bahwa nilai yang ada pada seseorang dipengaruhi oleh adanya

adat istiadat, etika, kepercayaan, dan agama yang dianutnya. Semua itu memengaruhi

sikap, pendapat, dan pandangan individu yang selanjutnya tercermin dalam cara

bertindak dan bertingkah laku dalam memberikan penilaian.

Menurut Adha, M. M., & Susanto, E. (2020:440) Pada dasarnya nilai-nilai

dasar Pancasila adalah nilai-nilai moral, dengan demikian Pancasila menjadi

semacam etika perilaku para penyelenggara negara dan masyarakat Indonesia agar

sejalan dengan nilai normative Pancasila itu sendiri.

Menurut Putriana, D. (2019:1238) Nilai-nilai Pancasila mencerminkan

kebudayaan, kepribadian bangsa, sistem keyakina hidup mengenai yang benar, yang

baik, yang indah dan religius. Asal mula materiil Pancasila adalah adat, tradisi, dan

kebudayaan Indonesia.

Menurut Sukmana, S. F., & Dewi, D. A. (2021:129-130) Pancasila sebagai

pandangan hidup bangsa Indonesia di dalamnya terdapat dua hal pokok yakni

dasar pikiran terdalam dan gagasan kehidupan yang baik. Nilai-nilai yang terkandung

dalam ke lima sila memiliki daya ikat yang sangat luar biasa, serangkaian nilai yang

terkandung di dalam pancasila yaitu ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan,

dan keadilan. Pada hakikatnya nilai-nilai pancasila diangkat dari seni-adat, nilai

kebudayaan serta nilai religius yang terdapat dalam pandangan hidup masyarakat

Indonesia.
14

Menurut Kariyadi, D. (2017:91) Sila pertama dalam Pancasila mencakup nilai

ketuhanan. Dimana sila pertama ini terkait dengan karakter transedensi yang

merupakan kekuatan yang menempa hubungan individu dengan semesta yang lebih

luas serta menyediakan makna. Dalam transendensi terdapat apresiasi terhadap

keindahan dan keunggulan, rasa syukur (gratitude), harapan, humor, dan religiusitas;

hal-hal yang merupakan bagian dari sila pertama.

Menurut Sutono, A., & Purwosaputro, S. (2019:77) “Rumusan sila

“Kemanusiaan yang adil dan beradab” menggambarkan ungkapan atau ide yang

memuat pengertian yang lebih dari cukup yang merujuk pada ungkapan terhadap

sifat-sifat manusia yang luhur dan mulia. Rumusan sila ini juga memuat pengertian

bahwa bangsa Indonesia menyadari sepenuhnya, bahwa dirinya adalah makhluk

Tuhan yang hidup bersama dengn sesamanya dalam dunia yang satu (Pasha,

2009:132)”.

Menurut Sutono, A., & Purwosaputro, S. (2019:79) Sila Persatuan Indonesia

secara substansial mengandung makna sebagai bentuk penggambaran kesadaran

bangsa Indonesia selaku diri pribadi yang berhakikat makhluk sosial. Lebih jauh

dapat pula dinyatakan bahwa sila Persatuan Indonesia mencerminkan kesadaran

hidup bangsa Indonesia yang meyakini akan hakikat dirinya sebagai makhluk

individual.

Menurut Menurut Sutono, A., & Purwosaputro, S. (2019:79-80) Sila keempat

merupakan cerminan nilai demokrasi Indonesia yang khas. Penegasan sila keempat

mengandung makna bahwa bentuk kerakyatan merupakan konsekuensi logis dari


15

akibat yang ditimbulkan oleh pandangan hidup yang diyakini bangsa Indonesia di

atas (Pasha, 2009:143).

Menurut Menurut Menurut Sutono, A., & Purwosaputro, S. (2019:80) Sila

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan tujuan dan cita-cita dari

bangsa dan negara Indonesia. Keadilan sosial berkonotasi pada pencapaian aspek-

aspek hidup yang berkualitas dari seluruh warga bangsa Indonesia. Ide keadilan sosial

dalam sila kelima Pancasila ini adalah keadilan yang berdimensi luas.

Pancasila sudah ada di dalam masyarakat kita seperti adat-istiadat yang kaya

akan nilai budaya dan tradisi, hidup bersama dalam gotong royong, rasa persaudaraan

dan kekeluargaan yang erat sejak dulu, sehingga kebanyakan masyarakat indonesia

baik pada masa lalu dan masa sekarang sudah tidak lagi memandang apa yang

menjadi latar belakang seseorang itu.

Sila-sila Pancasila adalah yang paling tepat dan bersifat mutlak bagi hakekat

kemanusiaan Indonesia yang kekal dan tidak akan berubah yang digali dari bangsa

Indonesia yang berupa nilai-nilai adat istiadat kebudayaan serta nilai-nilai religius

yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia.

Menurut Budianto, A. (2018:51) Nilai-nilai yang terdapat pada tradisi

Padungku yaitu:

a. Religius

b. persatuan

c. Sosial
16

e. Musyawarah

2.2 Penelitian Yang Relevan

Dasar atau acuan yang berupa teori-teori ataupun temuan-temuan melalui

berbagai hasil penelitian sebelumnya merupakan hal yang sangat perlu dan dapat

dijadikan sebagai alat pendukung. Tujuan penelitian relevan yaitu untuk mengetahui

kajian yang di peroleh peneliti sesudah atau sebelum di teliti oleh peneliti

sebelumnya. Maka dari itu perlu adanya perbandingan dengan peneliti sebelumnya

apakah mempunyai persamaan ataupun perbedaan.

Dan juga sebagai salah satu pendukung yang menurut peneliti perlu dijadikan

bagian tersendiri adalah penliti yang terdahulu yang relevan dengan permasalahan

yang sedang dibahas dalam penelitian ini. Dalam hal ini, fokus penelitian terdahulu

yang dijadikan acuan adalah terkait dengan masalah tradisi padungku yang hingga

kini masi bertahan dan tetap dilestarikan. Oleh karena itu, peneliti melakukan langkah

kajian terhadap beberapa hasil penelitian berupa jurnal-jurnal yang ada di Internet.

Selanjutnya peneliti membuat tabel yang disusun berdasarkan tahun peneliti dari

yang terdahulu hingga yang terkini serta persamaan dan perbedaannya. Untuk

mempermudah pemahaman dibagian ini, dapat dilihat pada tabel berikut :


17

Tabel 2.2 Perbedaan dan Persamaa

No Nama dan Judul Metode Penelitian Perbedaan Persamaan

1 MULIATI, R. Penelitian ini Studi tentang Meneliti

(2021). Eksistensi menggunakan tradisi tentang tradisi,

Tradisi metode deskriptif “Mappatettong dan tradisi ini

“Mappatettong kualitatif dengan Bola” berarti mengandung

Bola” Masyarkat teknik mendirikan nilai Religius.

Suku Bugis di pengumpulan data kerangka rumah

Desa Anabanua dengan melakukan panggung khas

Kecamatan Barru observasi, Bugis dengan

Kabupaten Barru wawancara, dan berbagai tahap

Dalam Perspektif dokumentasi. mulai penentuan

Hukum Islam. tempat dan

waktu.

2 Alfariz, F. (2020). Penelitian ini Studi tentang Meneliti

Tradisi Panai mengunakan tradisi Panai tentang tradisi,

dalam Perspektif metode penelitian dalam Perspektif dan dalam

Filsafat Nilai. pustaka dengan Filsafat tradisi ini

melakukan Nilaiyang mengandung

deskripsi, dimana panai nilai religius

sistematisasi dan diartikan serta tradisi ini


18

interpretasi. sebagai sampai

pemberian harta sekarang masi

benda oleh calon terus di

pengantin pria lakukan dan

kepada calon memiliki

pengantin makna.

wanita.

2.3 Kerangka Konseptual

Indonesia merupakan sebuah Negara yang cukup besar di lihat dari segi

penduduknya maupun keberagaman yang ada. Keberagaman bangsa Indonesia dilatar

belakangi karena jumlah suku bangsa yang mendiami wilayah Indonesia sangat

banyak. Setiap suku bangsa mempunyai ciri atau karakter tersendiri, baik dalam

aspek sosial maupun budaya. Padungku merupakan perayaan yang patut dilaksanakan

setelah musim panen padi.

Padungku merupakan jenis tradisi dimana masyarakat melakukan sebuah

syukuran panen sekali sehari dalam setahun kurang lebih dilakukan dua bulan setalah

para petani melaksanakan panen. Tradisi padungku memiliki dampak yang positif

bagi masyarakat dalam hal membangun interaksi sosial antar masyarakat, profesi,

jabatan, strata sosial, agama dan suku.

Dalam tradisi padungku masyarakat Desa Bo’e, nilai-nilai pancasila yang

dapat di peroleh yaitu, nilai religius, nilai sosial, nilai persatuan dan nilai
19

musyawarah. Oleh karena itu tradisis padungku hingga sekarang kenapa masi tetap

dipertahankan bahkan sudah mengalami perubahan dari tradisonal ke moderen.

Sesuai dengan judul penelitian yang diambil yaitu “Tradisi Padungku

Masyarakat Desa Bo’e, Kecamatan Pamona Selatan, Kabupaten Poso dilihat dari

Perspektif Nilai-Nilai Pancasila”, maka dapat digambarkan kerangka konseptual

sebagai berikut:

Gambar 2.3 Kerangka Konseptual

Tradisi Padungku Masyarakat Desa Bo’e Kecamatan


Pamona Selatan Kabupaten Poso Dilihat Dari
Perspektif Nilai-Nilai Pancasila

Perubahan proses Nilai-nilai Pancasila yang


pelaksanaan tradisi terkandung dalam tradisi
Padungku dari zaman Padungku yaitu:
dulu hingga sekarang ini 1. Nilai religius
2. Nilai persatuan
3. Nilai sosial
4. Nilai musyawarah

Tradisi Padungku Sebagai Warisan budaya


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Penelitian

kualitatif dilaksanakan untuk membangun pengetahuan melalui pemahaman dan

penemuan. Pendekatan penelitian kualitatif adalah suatu proses penelitian dan

pemahaman yang berdasarkan pada metode yang menyelidiki suatu fenomena sosial

dan masalah manusia. Metode penelitian deskriptif kualitatif adalah prosedur

penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tulisan. Untuk itu

penelitian ini hanya menggambarkan dan menjelaskan secara jelas masalah yang

diteliti yaitu “proses pelaksanaan padungku, perubahan-perubahan pada perayaan

padungku dan nilai-nilai pancasila yang terkandung dalam tradisi padungku”.

3.2 Tempat dan Waktu

Tempat penelitian akan dilaksanakan di Desa Bo’e Kecamatan Pamona

Selatan Kabupaten Poso. Penelitian ini dilaksanakan selama 3 Minggu terhitung dari

tanggal 8 Maret – Minggu 29 Maret 2022 sesuai dengan waktu yang sudah

ditentukan. Dalam jangka waktu penelitian tersebut penulis berupaya mendapatkan

data sesuai dengan yang dibutuhkan.

20
21

3.3 Subjek Penelitian

Moleong (2010), mendeskripsikan subjek penelitian sebagai informan, yang

artinya orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan

kondisi tempat penelitian.

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Bo’e Kecamatan Pamona Selatan

Kabupaten Poso, dengan subjek penelitian adalah Kepalah Desa Bo’e, 3 (tiga) orang

Tokoh agama, 2 (dua) orang Tokoh adat, dan masyarakat yang ada di Desa Bo’e.

Informan yang telah ditetapkan didasari dengan anggapan dan keyakinan

bahwa informasi yang telah ditetapkan bisa mewakili masyarakat untuk memberikan

informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini.

3.4 Desain Penelitian

Dalam penelitian ini, pengambilan subyek dilakukan teknik purposive

sampling. Menurut Kumar (dalam Apsari, 2009), teknik purposive sampling

merupakan teknik dimana peneliti memilih calon subjek berdasarkan siapa yang

dapat memberikan informasi yang diinginkan dan bersedia untuk berbagi informasi

tersebut. Teknik purposive sampling ini berguna apabila peneliti ingin membuat suatu

gagasan mengenai kenyataan, menggambarkan suatu fenomena atau mengembangkan

suatu fenomena, atau mengembang suatu informasi.

3.5 Teknik dan Alat Perolehan Data

Beberapa macam teknik tentunya akan mendukung agar data dapat terkumpul

dengan lengkap, tepat dan valid. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan

dalam penelitian ini antara lain:


22

a) Teknik Observasi (Pengamatan)

Kegiatan yang dilakukan peneliti adalah melakukan pengamatan terhadap

objek yang diteliti untuk memperoleh informasi dan data yang diperlukan dalam

penelitian. Adapun teknik observasi yang hendak digunakan dalam penelitian ini

adalah observasi partisipatif.

Menurut Sugiono (2018) Teknik ini digunakan dengan maksud, agar peneliti

mengamati apa yang dikerjakan orang, mendengarkan apa yang mereka

ucapkan dan berpartisipasi dalam aktivitas mereka.

Jadi, peneliti melakukan pengamatan terhadap partisipasi masyarakat dalam

mengikuti tradisi Padungku serta mengamati terhadap proses pelaksanaan

Padungku, dan mengamati pengaruh tradisi padungku terhadap nilai-nilai yang ada

dalam kehidupan masyarakat.

a) Teknik Wawancara

Wawancara mendalam (in-depth interview) yang akan dieksplor dalam

penelitian ini menggunakan pendekatan emik, orang-orang (informan) dalam

pendekatan ini bersifat “domestik” , atau dengan kata lain walapun unit analisis

dalam penelitian ini adalah individu, tetapi individu tersebut berada dalam satuan-

satuan kelompok yang terstruktur.

Menurut Moleong (2017) Pendekatan emik berupaya untuk

mengungkapkan dan menguraikan sistem perilaku bersama dalam satuan struktur

melalui aksi-aksi dan reaksi para anggotanya. Dalam penelitian ini objek yang

diwawancarai adalah Kepala Desa, Tokoh Adat, Pemuka Agama dan


23

Masyarakat yang ada di Desa Bo’e Kecamatan Pamona Selatan. Yang nantinya

dari narasumber tersebut akan dihimpun informasi mengenai Proses, perubahan

dalam tradisi Padungku serta nilai pancasila yang terkandung.

b) Teknik Dokumentasi

Penggunaan teknik dokumentasi dalam penelitian ini dimaksudkan untuk

memperoleh data dan informasi yang terkait dengan masalah peneltian, dokumen

resmi bisa dalam bentuk tertulis dan foto (film). Proses analisis data dalam penelitian

ini menggunakan pendekatan fenomenologi. Realitas sosial yang hendak dikaji

adalah realitas subyektif, yang terfokus pada pemahaman dan pemaknaan.

Informasi dan data yang telah dikumpulkan selama proses penelitian,

akan dianalisis model analisis data dari Miles dan Hubermen (2014). Model

tersebut terdiri dari tiga alur kegiatan yang dilakukan secara bersamaan. Adapun

alur tersebut dimulai dari reduksi data, penyajian (display) data dan penarikan

kesimpualan (verifikasi).

Sebagai langkah awal, data dan informasi yang relatif banyak diperoleh dari

lapangan akan direduksi dalam bentuk mengategorisasi, memilah data dan informasi

kemudian memilih hal-hal yang pokok (penting) berdasrkan pokok permasalahan

selanjutnya membuat rangkuman.

Setelah proses reduksi data dan informasi, peneliti selajutnya akan melakukan

penyajian data, menyusun sejumlah informasi dan data wujud teks naratif, disertai

dengan table-tabel atau bagan, sesuai dengan kebutuhan penulisan. Proses

selajutnya adalah verifikasi. Pada tahapan ini peneliti akan membuat kesimpulan
24

sementara, sambil melakukan pengecekan kembali secara intersubjektifvitas, dengan

pihak informan.

3.6 Teknik Analisis Data

Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data hasil

wawancara, observasi dan dokumentasi dengan cara mengorganisasikan data dan

memilih mana yang penting serta mana yang perlu dipelajari serta membuat

kesimpulan sehingga mudah dipahami (Sugiyono, 2007: 333-345).

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis

kualitatif yang digunakan peneliti sebagaimana yang dikemukakan Miles dan

Hubberman (Sugiyono, 2007: 204) yaitu pengumpulan data, reduksi data, penyajian

data dan langkah terakhir adalah penarikan kesimpulan. Langkah-langkah tersebut

sebagi berikut:

a) Reduksi Data

Reduksi data merupakan penyerderhanaan yang dilakukan melalui seleksi,

pemfokusan dan keabsahan data mentah menjadi informasi yang bermakna, sehingga

memudahkan penarikan kesimpulan.

b) Penyajian Data

Penyajian data yang sering digunakan pada data kualitatif adalah bentuk

naratif. Penyajian-penyajian data berupa sekumpulan informasi yang tersusun secara

sistematis dan mudah dipahami.


25

c) Penarikan Kesimpulan

Penarikan kesimpulan merupakan tahap akhir dalam analisis data yang

dilakukan melihat hasil reduksi data tetap mengaju pada rumusan masalah secara

tujuan yang hendak dicapai. Data yang telah disusun dibandingkan antara satu dengan

yang lain untuk ditarik kesimpulan sebagai jawaban dari permasalahan yang ada.
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

4.1.1 Sejarah Singkat Desa Bo’e

Bo’e adalah sejenis tumbuh-tumbuhan yang hanya terdapat disekitar dataran

wilayah Kecamatan Pamona Selatan dan sangat digemari oleh penduduk setempat,

karena bunganya yang berwarna ungu dan sedap di pandang oleh mata dan dapat

buahnya jika sudah tua dapat dikonsumsi/dimakan. Di tempat pemukiman masyarakat

Desa Bo’e pada Tahun 1908 mengalir sebuah sungai dan disepanjang tepi sungai

tersebut ditumbuhi oleh tumbuh-tumbuhan Bo’e.

Karena sungai ini merupakan bagian dari kehidupan orang-orang disekitarnya,

maka oleh toko masyarakat pada saat itu sepakat untuk memberi nama tempat itu

sebagai Kampung Bo’e yaitu pada zaman penjajahan Koloni Belanda pada tahun

1908 dengan pimpinan (Tadulako) Sawiri alias Taendera. Karena tadulako ini sudah

lanjut usia, maka diangkat seorang pimpinan baru yaitu menjadi Kepala Kampung

yaitu Madusu alias Tamosanga. Setahun dalam jabatan, akibat beliau membunuh

orang, maka pemerintah Belanda beliau dimasukan dalam penjara dan meninggal

dalam penjara.

Adapun nama-nama atau tokoh-tokoh yang pernah menjabat sebagai Kepala

Desa adalah sebagai berikut :

26
27

Tabel 4.1 Struktur Pemerintahan Desa Bo’e

No. Nama Pemimpin Tahun Jabatan Lama Jabatan

1 Sawiri alias Taendera 1909 s/d 1910 1 Tahun

2 Madusu alias Tamosanga 1910 s/d 1916 6 Tahun

3 Pomelinja alias Tameripo 1916 s/d 1918 2 Tahun

4 Lanti alias Tamembue 1918 s/d 1930 12 Tahun

5 Ndjelu Dongalemba 1930 s/d 1945 15 Tahun

6 Sunda Dongi Ngkedo 1945 s/d 1955 10 Tahun

7 D. Lono 1955 s/d 1960 5 Tahun

8 L. Mosepe 1960 s/d 1963 3 Tahun

9 P. Djangana 1963 s/d 1964 1 Tahun

10 J. Jawiri 1964 s/d 1967 3 Tahun

11 B. Ngkedo 1967 s/d 1969 2 Tahun

12 J. Sawiri 1969 s/d 1996 25 Tahun

13 Arief Hamus Ngia 1996 s/d 2002 8 Tahun

14 Yamenchy Kampu 2002 s/d 2008 6 Tahun

15 Kristolsa Bodjo 2008 s/d 2014 6 Tahun


28

16 Drs. Herjan Botilangi 2014 s/d 2019 6 tahun

17 Pjs Amrosius Pundulai, S.Sos 2021 7 Bulan

18 Pjs Jhoni Naray Simpontu, S. Sos 2021 5 Bulan

20 Kristolsa Bodjo 2022 s/d sekarang

Sumber : Berdasarkan data dari Kantor Desa Bo’e

4.1.2 Keadaan Geografi Desa Bo’e

Desa Bo’e Kecamatan Pamona Selatan Kabupaten Poso memiliki luas

wilayah 8.3000 Ha. yang secara geografis mempunyai batas wilayah:

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Panjo

2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Pendolo ,

3. Sebelah Timur berbatasan dengan Danau Poso dan

4. Sebelah Barat berbatasan dengan Hutan Negara/ Sulawesi Selatan.

Secara Administratif, wilayah Desa Bo’e terdiri dari 5 (Lima) Dusun, dilihat

dari beberapa aspek tinjauan meliputi:

1. Dusun Satu

2. Dusun Dua

3. Dusun Tiga

4. Dusun Empat

5. Dusun Lima

Secara Topografi, Desa Bo’e berupa dataran, pegunungan, dan perbukitan.


29

4.1.3 Keadaan Demografi Desa Bo’e

Desa Bo’e Kecamatan Pamona Sealatan Kabupaten Poso memiliki luas

wilayah + 8.300 Ha terdiri dari + 3.200 Ha pegunungan, + 2.300 Ha dataran, +2.800

Ha perbukitan. Secara geografis sebagai berikut: Adapun Jumlah penduduk Desa

Bo’e mencapai 1.388 jiwa. Laki-laki berjumlah 731 jiwa. Sedangkan perempuan

berjumlah 657 jiwa.

4.1.4 Keadaan jumlah penduduk Desa Bo’e

Masyarakat adalah komponen terpenting yang harus ada di setiap Desa

maupun dusun. Desa Bo’e merupakan Desa yang masyarakatnya heterogen dari segi

etnis. Dari segi agama, penduduk Desa Bo’e adalah mayoritas masyarakatnya

beragama Kristen. Dari segi etnis, penduduk Desa Bo’e ini terdiri dari beberapa suku

pamona, Suku Toraja, Suku Bugis, Suku Batak, Suku Jawa, dan Suku Flores.

Berdasarkan data terbaru tahun 2022 yang diperoleh di Kantor Desa Bo’e

masyarakat Desa Bo’e berjumlah 1.388 jiwa. Jumlah masyarakat di Desa Bo’e

diklasifikasikan menjadi jumlah masyarakat berdasarkan jenis kelamin.

1. Jumlah penduduk/masyarakat berdasarkan jenis kelamin

Penduduk/masyarakat yang berjenis kelamin laki-laki berjumlah 731 jiwa dan

sedangkan masyarakat yang berjenis kelamin perempuan berjumlah 657 jiwa. Jumlah

penduduk/masyarakat tersebut menempati 5 dusun yang ada di Desa Bo’e yaitu

Dusun Satu, Dusun Dua, Dusun Tiga, Dususn Empat, dan Dusun Lima. Untuk

mengetahui jumlah jiwa berdasarkan jenis kelamin maka dapat pada tabel berikut:
30

Tabel 4.2 Jumlah masyarakat berdasarkan jenis kelamin

Jenis Kelamin Jumlah

No Nama Dusun penduduk


Laki-laki Perempuan
setiap dusun

1 Dusun Satu 149 140 289

2 Dusun Dua 122 100 222

3 Dusun Tiga 144 156 300

4 Dusun Empat 155 123 278

5 Dusun Lima 161 138 299

Jumlah jiwa 731 657 1.388

Sumber : Berdasarkan data dari Kantor Desa Bo’e

4.1.5 Sarana dan prasarana Desa Bo’e

Di Desa Bo’e terdapat beberapa sarana dan prasarana yang digunakan oleh

masyarakat sekitar ditunjukkan pada table berikut ini:

Tabel 4.3 Jumlah Sarana dan Prasarana Desa Bo’e

No Sarana & Prasarana Jumlah

1 Kantor Desa 1

2 Balai Desa 1
31

3 Gedung POLMAS 1

4 Gereja 3

5 Gedung PKK 1

6 PAUD 1

7 SD 1

8 Pustu 1

Sumber : Berdasarkan data dari Kantor Desa Bo’e

4.2 Hasil Penelitian

4.2.1 Proses Perubahan Yang Terjadi Dalam Tradisi Padungku Masyarakat Desa
Bo’e

Tradisi padungku dilaksanakan sesudah selesai panen padi, pada prinsipnya

merupakan suatu wujud ungkapan kegembiraan yang dituangkan dalam proses

syukuran. Sebelum pelaksanaanya tradis padungku terlebih dahulu di musyawarakan

untuk menentukan bulan dan hari pelaksanaan padungku.

Bapak Kristolsa Bodjo (49) selaku Kepala Desa Bo’e menyatakan


bahwa tradisi padungku itu secara turun-temurun itu dari orang tua nenek
moyang. Jadi kita hari ini melaksankan tradisi padungku itu adalah warisan
dari nenek moyang. Penentuan pelaksananan padungku itu biasa juga ada dua
versi. Ada kesepakatan pemerintah dengan majelis jemaat dan kesepakatan
diforum musyawarah desa. Tergantung situasinya saja, kalau padungku yang
di maksud itu kegiatan syukuran tahunan itu dilaksanakan setahun sekali.
Penentuan waktu dan tanggalnya tadi, kita tentukan bisa berdasarkan
kesepakatan majelis jemaat dan pemerintah desa, bisa dilaksanakan dalam
musyawarah desa. Ketika musyawarah desa itu, disitu di sepakati. Setelah ada
kesepakatan tanggal dan waktu pelaksanaanya itu, maka jau sebelumnya
sudah ada pemberitahuan kepada masyarakat. Sehingga persiapan untuk
pelaksanaan padungku betul-betul dipersiapkan oleh warga masyarakat atau
32

warga jemaat. Karena namanya pengucapan syukur tahunan berarti itu semua
warga masyarakat yang ada di desa itu melaksanakan tidak terkecuali. Dalam
kegiatan itu terbuka ruang untuk hal layak umum dari luar desa. Karena
kegiatan padungku itu atau pengucapan syukur tahunan di desa itu sesungunya
juga adalah salah satu momentum pertemuan keluarga, sahabat dll. Andai
taulan tanmpa di undang silakan datang, dikenal atau tidak di kenal masuk
saja saat padungku itu, dirumah siapa saja pasti dilayani baik-baik disana, itu
sebanarnya kelebihanya padungku. Sebenarnya idealnya pelaksanaan
padungku itu biasa diperhitungkan dengan musim panen raya yang saya
maksudkan itu tidak hanya musim panen padi sawa tetapi juga
memperhitungkan musim panen buah pokonya hasil pertanian, peternakan,
perikanan masyarakat. Karena disitu pengucapan syukur tidak hanya
syukuran, kalau dulu itu karena orang tua dulu mata pencaharianya hanya
identic dengan petani sawah maka menunggu panen padi tapi kalau hari ini
sudah ada orang konsentrasinya di kebun, danau nelayan dalam hal ini, dan
juga ada usah-usaha lain yang dilakukan masyarakat. Penentuanya biasa itu
kalau hari ini disepakati dalam forum itu dengan menyesuaikan panen tadi.
Kalau kita hari ini di Desa Bo’e, sekarang ini di Desa Bo’e itu masi saya dulu
menjabat sebagai kepala desa 2008 itu sudah ada di tetapkan bulan Juli
sampai hari ini tetap kita laksanakan itu. Tinggal waktu, tanggal berapa, hari
apa kita tentukan pelaksanaanya dan untuk bulanya sudah di tetapkan bulan
Juli. Seperti di wilaya lain Pamona Utara itukan bulan Oktober mereka
demikian pun di tempat-tempat lain di tetapkan. Sehingga itu juga kenapa ada
penetapan waktu bulan itu supaya tidak tumpang tindi dengan wilaya lain.
tidak dilakukan bersamaan. (Wawncara tanggal 14 Maret 2022)

Proses tradisi padungku, pada umumnya masyarkat Desa Bo’e sangat

antusias, terutama kalangan muda mudi dalam mensukseskan acara ini. Bentuk

Partisipasi yang di tuangkan dalam tradisi padungku sangat luar biasa. Setelah hari

pelaksanaan padungku tibah, seluruh warga masyarkat Desa Bo’e mempersiapkan

diri untuk acara padungku.

Mulai dari mencari dedaunan (ira loka), bambu (voyo), kayu api (kaju apu),

beras kentan merah atau hitam (pae puyu), dan hewan ternak yang akan dipotong

pada saat tradisi padungku.


33

Menurut Bapak David H Kerebungu (67) selaku Ketua Adat. Proses


pelaksanaan padungku setahun sekali. Dengan mempersiapkan bahan-bahan
misalnya bambu, beras, kelapa untuk proses pembuatan nasi bambu (inuyu).
(Wawancara 09 Maret 2022).

Menurut Bapak R. G. Ngkedo (85) selaku mantan Tokoh adat


(sekretaris adat) jadi prosesnya kita menyiapkan padungku itu karena bukan
hanya untuk rumah tangga sendiri tapi untuk tamu-tamu dari kampung lain
yang akan datang. Prosenya juga kita mempersiapak kayu bakar, nasi bambu,
dan rempah-rempah karena didalamnya kita bermaksud mengundang
keluarga, saudara dari jau atau dekatuntuk makan bersama artinya kesenangan
disitu itulah ditunjukan bahwa kita itu mengucap syukur bahwa kita punya
pertanian itu berhasil oleh karena Tuhan jadi dsitulah kita nyatakan kepada
teman-teman atau kerabat bahwa kita senang menyediakan semua makanan
kepada mereka. (Wawancara tanggal 20 Maret 2022)

Menurut Bapak Jems Molebu (54) Selaku Tokoh Adat (sekretaris


adat) proses pelaksanaan tradisi padungku yaitu masyarakat mempersiapakn
diri sebelum hari pelaksanaan tradisi padungku dengan mempersiapkan
segalah sesuatunya seperti bambu mudah, beras pulut, daun pisang itu yang
utama harus ada dalam padungku. Dan bahan-bahan lainya juga yang
dibutuhkan. (Wawancara tanggal 20 Maret 2022)

Menurut Ibu Abigai. Tambidjonga (56) selaku anggota mayarakat dan


petani. Biaya yang dikeluarkan untuk pelaksanaan padungku, agak besar
sedikit sesuai dengan kenaikan harga barang atau kemampuan dari keluarga
tersebut. (Wawancara tanggal 09 Maret 2022)

Menurut Apris Mosinta, S.Pd (33) selaku anggota masyarkat dan


Tenaga Pendidik. Biaya yang dikeluarkan saat padungku tergantung konteks.
Kalau di buat padungku yang besar tentu biayanya besar dan tergantung dari
masing-masing keluarga. Kalau dia punya kerabat yang banyak tentu
persiapan dan biaya yang dikeluarkan cukup besar. (Wawancara tanggal 10
Maret 20220

Menurut Watilemba Mandjarara, S.Pd (52) selaku anggota masyarkat


dan Guru PNS. Untuk biaya padungku ini tergantung dari masing-masing
keluarga sesuai dengan kemampuanya. Misalnya dari tingkat keberhasilan
panen padinya lumayan tentunya biayanya juga agak besar dan ini juga
tergantung dari status sosial seseorang. Kadang yang padungku ini misalnya
pegawai biasanya walaupun tidak bertani karena dia pegawai tentunyanya
akan bedah biaya yang dikelurakan dan tamunya juga berbeda dan
kebanyakan dari pegawai juga. (Wawancara tanggal 09 Maret 2022)
34

Perubahan kebudayaan mencakup unsur-unsur kebudayaan itu sendiri. Proses

perubahan dapat menyentu nilai, norma sosial, pola perilaku, organisasi susunan

lembaga kemasyarakatan, lapisan masyarakat, kekuasaan, wewenang, interaksi sosial,

dan lain sebagainya. Perubahan-perubahan pada suatu masyarakat dapat terjadi hanya

pada suatu bagian atau beberapa bagian (komponen) saja dan tidak menyentuh pada

bagian-bagian tertentu yang dianggap sebagai inti dari kehidupan masyarakat.

Menurut Ibu Pdt. D. Balongka, S.Th (50) selaku Ketua Jemaat,


padungku ini berarti diambil alih dari pemahaman orang Tua dulu tentang
tradisi padungku. Artinya orang Tua dulu kalau bersawah berarti dari
pengolahan sawah dulu, setalah pegolahan sawah dan dirawat sampai dia
menghasilkan. Artinya kenapa harus dengan pengolahan sawah, karena
budaya kita disini mayoritas petani sawah sehingga pengucapan syukur
berkaitan dengan padungku sawah. Padungku ini dilatarbelakangi dari usaha
pertanian orang Tua dulu. Dulu dikatakan mangore baru ada padungku, dan
juga pada zaman dulu cara padungkunya tidak seperti sekarang ini. Orang Tua
dulu cara padungkunya molimbu di baruga (makan bersama di balai desa).
Sebelumnya orang Tua dulu dalam acara tradisi padungku mempersembahkan
makanan dari hasil pertanian pada pohon beringin yang dimana diangga ada
penungunya. Setelah injil masuk dan diterima oleh masyarakat, sehingga
masyarakat sudah mengenal Tuhan sesuai dengan iman Kristen maka tradisi
padungku ini dialihkan dengan pengucapan syukur. Pengucapan syukurnya
dulu belum dilaksanakan di gereja hanya makan bersama di balai desa, tapi
setelah masuk injil ternyata dilihat padungku ini sangat singkron dengan
masuknya injil ditengah-tengah masyarakat yang dimana padungku dikaitkan
dengan pengucapan syukur kepada Tuhan yang memberi kehidupan ini. Maka
diarahkan masyarakat bawah hal ini baik dan sudah akan kami jadikan sebagai
ucapan syukur melalui ibadah di gedung gereja. Sehingga dalam ibadanya
masyarakat membawah hasil panen mereka untuk di doakan, setelah selesai
kegiatan ibadah padungku barulah kegiatan makan yang di hadiri oleh
masyarakat setempat, keluarga, maupun orang dari luar desa dan siapun boleh
terlibat tanpa memandang suku dan agama. (Wawancar tanggal 08 Maret

Menurut Bapak David H Kerebungu (67) selaku Ketua Adat. Pada


zaman dulu proses pelaksanaan padungku dilaksankan dikebun dan disawah.
Ada yang selesai panen mereka buat di satu lingkup persawahan atau
perkebunan mereka. Zaman dulu juga pelaksanaan padungku setahun dua kali
35

setiap panen dan sekarang sudah setahun satu kali. Dulu jika gagal panen
pelaksanaanya sederhana saja. (Wawancara tanggal 09 2022)

Menurut Bapak Jems Molebu (54) selaku Tokoh Adat (sekretaris adat)
tradisi padungku pada zaman dulu dilaksanakan di sawah atau ladang oleh
anggota keluarga saja. Pada zaman dulu dalam acara tradisi padungku ada
kegiatan-kegiatan tadisional yang dilakukan seperti, moende (modero),
moraengo, dan mobulingoni. Karena perkembangan zaman tidak lagi
dilaksanakan seperti moraengo dan mobulingoni dan moendo (modero) tetap
dilaksanakan hingga saat ini. (Wawncara tanggal 20 Maret 2022)

Menurut Bapak Kristolsa Bodjo (43) selaku Kepala Desa Bo’e. Pada
zaman dulu kegiatan padungku itu diisi dengan kegiatan-kegiatan tradisional.
Kalau orang Tua dulu itu diisi dengan kegiatan mowinti, motela, moganci tapi
sekarang dengan perkembangan zaman yang sering dilakukan sekarang ini
dalam tradisi padungku paling tidak ada kegiatan dero yang motela, mowinti,
moganci tidak lagi dilakukan. (Wawancara tanggal 14 Maret 2022)

Menurut Bapak Watilemba Mandjarara, S.Pd (52) selaku anggota


masyarakat dan Guru PNS, yang menyebabkan terjadinya suatu perubahan
karena adanya perkembangan zaman dan teknologi sehingga terjadi suatu
perubahan. Kalau dulunya itu padungku hanya padi yang dibuat menjadi nasi
bambu (inuyu). Tapi sekarang dengan perkembangan yang ada tidak hanya itu
lagi tapi sudah berbagai banyak jenis makanan yang sudah agak moderen
yang disugukan bagi tamu. (Wawancara tanggal 09 Maret 2022)

Menurut Ibu Abigai Tambidjonga (56) selaku anggota masyarakat dan


petani. Terjadinya suatu perubahan karena modernisasi dan teknoli, sehingga
tradisi padungku zaman dulu dan sekarang ini mengalami beberapa
perubahan. (Wawancara tanggal 09 Maret 2022)

Menurut Apris Mosinta, S.Pd (33) selaku anggota masyarakat dan


Tenaga Pendidik, melihat konteks sekarang dengan konteks dulu. Contohnya
konteks sekarang dengan perkembangan zaman dan iptek yang sangat luar
biasa dibandingkan dengan dulu ada pergeseran yang bergeser sedikit
mengaga sekarang ini dengan perekembangan iptek orang-orang itu sudah
menggunakan iptek untuk menyampaikan bawah disini ada padungku, itu sisi
pertama pergeseran dari padungku. Sisi yang kedua, sekarang ini padungku
itu dimaknai sebagai sesuatu yang harus wajib di lakukan oleh kalangan
agama tertentu seperti agama Kristen. Terutama budaya suku pamona itu
sendiri, disisi lain pergeseranya ada, orang Tua dulu melakukan padungku itu
dengan kesederhanaan tapi sekarang kalau kita tidak menyiapkan hal-hal yang
36

luar biasa kita anggap padungku itu tidak memberi makna yang luar biasa.
(Wawancara tanggal 10 Maret 2022)

Masyarakat Desa Bo’e sangat setuju dengan pelaksanaan tradisi padungku.

Dimana tradisi padungku memberikan banyak hal yang positif dari segi nilai-nilai

sosial yang sangat baik bagi kehidupan masyarakat.

Menurut Bapak R. G. Ngkedo (85) selaku mantan Tokoh adat


(sekretaris adat) artinya begini tradisi padungku ini terutamanya memang
terkait dengan adat istiadat karena satu tradisi dari orang tua dahulu kalah
tetapi semua itu penyerahan akhirnya kepada Tuhan. Berarti tradisi itu
memang dari adat kemudian sekarang kita sudah alihkan ke Tuhan. Dari adat
itu tetap ada tapi itu karunia semua dari pada Tuhan. (Wawancara tanggal 20
Maret 2022)

Menurut Apris Mosinta, S.Pd (33) selaku anggota masyarakat dan


Tenaga Pedidik Setuju. Alasanya kalau berbicara tradisi padungku memang
turun temurun dari nenek moyang. Hanya saja nilai-nilai pergeseranya ada
dibandingkan dengan tardisi padungku pada zaman dulu dengan sekarang itu
ada perbedaanya. Kalau zaman dulu padungku itu dimaknai sebuah hal yang
sakral. Tapi sekarang karena pergeseran zaman dan juga pola pikirnya kita,
padungku itu dianggap hal yang biasa ditengah-tengah kalangan masyarakat.
Alasanya juga mengapa setuju, karena padungku ini memberi nilai moral yang
sangat baik dalam hidup persaudaraan. Contohnya: ketika dilaksankan
padungku ada keluarga satu yang dari tempat jau hadir, kesempatan saling
mengunjungi. Adanya persaudaraan yang rukun, damai, ada nilai-nilai sisi
positifnya juga dari sisi padungku tentang persatuan. Mungkin persatuan
selama ini retak karena dengan adanya padungku persatuan itu kembali
berjalan dengan baik. (Wawancara tanggal 10 Maret 2022)

Menurut Bapak Watilemba Mandjarara, S.Pd (52) selaku anggota


masyarakat dan Guru PNS setuju dengan pelaksanaan tardisi padungku.
Alasanya kerena padungku ini salah satu pengucapan syukur yang dilakukan
oleh umat Kristiani setelah mereka panen padi. Jadi dalam pelaksanaan
padungku ini mereka bersyukur setelah selesai panen padi. (Wawancara
tanggal 09 Maret 2022)

Menurut Ibu Abigai Tambidjonga (56) selaku anggota masyarakat


setuju dengan pelaksanaan Tradisi Padungku. Alasanya karena tradisi
padungku sudah menjadi tradisi sejak nenek moyang dan juga sudah menjadi
pesta rakyat dikalangan masyarakat. (Wawancara tanggal 09 Maret 2022)
37

Tradisi padungku memiliki dampak yang positif bagi masyarakat dalam hal

membangun interaksi sosial antar masyarakat, profesi, jabatan, strata sosial, agama

dan suku. Tradisi padungku dapat mempererat tali persaudaraan antar keluarga dan

masyarakat dimana budaya ini mengajak orang dari daerah manapun untuk ikut

terlibat langsung dalam pelaksanaan tradisi padungku.

Menurut Bapak Watilemba Mandjarara (52) selaku anggota


masyarakat dan Guru PNS. Yang terlibat dalam pelaksanaan tradisi padungku
seluruh masyarakat desa Bo’e . Walaupun ada yang dari suku lain misalnya
suku Toraja yang ada di desa Bo’e mereka juga sudah mengikuti tradisi
padungku. Jadi Siapun yang datang disini secara khsus mereka sudah
mengikuti tradisi padungku yang ada. Dan ada juga suku-suku lain yang
sudah lama tinggal di desa Bo’e mereka juga sudah mengikuti tradisi
padungku. (Wawancara tanggal 09 Maret 2022)

Menurut Bapak R. G. Ngkedo (85) selaku mantan Tokoh adat


(sekretaris adat) artinya kita buat tradisi padungku itu, utamnya dalam rumah
tangga kemudian masyarakat hingga kerabat dan masyarakat dari desa lain.
Contanya desa Bo’e padungku biarpun tidak ada undangan tapi orang sudah
tau dan dengar mereka dengan sendirinya pasti akan datang dan tidak dibatasi
siapan boleh datang. Selama saya hidup ssampai saat ini padungku ini
memang Cuma terjadi di suku pamona tetapi jika ada dari suku lain yang
sudah bersma-sama tinggal daerah pamona, mereka pasti akan sudah
melaksanakan dan ikut langsung dalam acara tradisi padungku. (Wawancara
tanggal 20 Maret 2022)

Menurt Bapak Jems Molebu (54) selaku Tokog Adat (sekretaris adat)
yang terlibat dalam tradisi padungku yaitu seluruh masyarakat, kepala desa,
tokoh adat dan masyarakat desa Bo’e serta para tamu yang akan datang dari
berbagai desa tanpa melihat dari agama dan suka mana. (Wawancara
tanggal 20 Maret 2022)

Menurut Bapak David H Kerebungu (67) selaku Ketua Adat. Tradisi


padungku masi sesuai dengan adat istiadat tidak akan terkikis, sedangkan
orang bukan dari suku pamona saja suda melakukan dan tidak akan hilang dan
punah.(Wawancara tanggal 09 Maret 2022)
38

Menurut Apris Mosinta (33) selaku anggota masyarakat dan Tenaga


Pendidik. Yang terlibat dalam tradisi padungku semua elemen masyarakat
dari pemerintah, tokoh agama, dan semua masyarakat di dalamnya. Karena
elemen ini tidak bisa dipisahkan, pemerintah tidak bisa dipisahkan dengan
masyarakatnya, begitupun agama tidak bisa dipisahkan dengan pemerintah.
Sekarang kehidupan masyarakat Pamona itu sudah beragam suku di
dalamnya, baik suku Toraja, Jawa, dan bugis. Merekah juga sekarang ini
menyesuaikan untuk ikut dalam tradisi padungku. Bahkan tradisi padungku
ini saja sudah terjadi diantara Provinsi. Di Manado sudah ada tradisi
padungku. Karena tradisi padungku pada umumnya umat Kristen dimaknai
dengan sebuah ucapan syukur. Kalau dari sisi sosial budaya itu menghargai
setelah kita melaksanakan pekerjaan kita di bidang pertanian. Bukan hanya
padi, buah-buahan juga ada tradisi padungkunya. Jadi sudah luas, antar suku
sudah melakukan ini karena bukan Cuma dimaknai dalam sisi budaya tapi
padungku itu juga dimaknai sebuah ucapan syukur persembahan kita kepada
Tuhan Yang Maha Kuasa. (Wawancara tanggal 10 Maret 2022)

Tradisi padungku masyarakat desa Bo’e merupakan warisan sosial dari nenek

moyang yang turun-temurun hingga saat ini masi tetap dipertahan sampai kapanpun.

Menurut Bapak Jems Molebu (54) selaku Tokoh Adat (sekretaris adat)
tradisi padungku ini sudah merupakan warisan sosial yang turun-temurun
karena sudah menjadi budaya bagi masyarakat pamona khususnya di desa
Bo’e. (Wawancara tanggal 20 Maret 2022)

Menurut Bapak David H Kerebungu (67) selaku Ketua Adat tradisi


padungku adalah warisan sosial suku pamona karena ini adalah tradisi dari
nenek moyang kita yang harus tetap dipertahnakan dan terus dilaksanakan
hingga saat ini. (Wawancara tanggal 9 Maret 2022)

Menurut Apris Mosinta, S.Pd (33) selaku anggota masyarakat dan


Tenaga Pendidik tradisi padungku itu sudah ada sejak nenek moyang kita
sebagai suku pamona. Dari sisi warisan sosial benar itu dilakukan karena sisi
padungku ini sudah turun-temurun dilakukan, dari sisi sosial itu sudah boleh
saya katan sudah mendunia sekarang ini karena dari sisi sosial itu buhkan
hanya hanya salah satu suku yang melakukan tradisi padungku. Jadi susku-
suku yang ada dibagianya itu sudah melakukan itu karena ada sisi makna
positif di dalamnya seperti persatuan dan kestuan. (Wawancara tanggal 10
Maret 2022)

Menurut Bapak Watilemba Mandjarara (52) selaku anggota


masyarakat dan Guru PNS jadi tradisi padungku ini adalah warisan sosial dari
39

leluhur secara khusus orang pamona. Jadi sejak zaman dahulu padungku ini
sudah ada tapi pelaksanaanya sudah agak berbeda dengan dulu sesuai dengan
perkembangan zaman yang ada, jadi sekarang ini sudah agak lebih maju lagi
ketimbang dengan zaman dulu. Jadi mengikuti perkembangan zaman.
(Wawancara Tanggal 09 Maret 2022)

4.2.2 Nilai Pancasila Yang Terkandung Dalam Tradisi Padungku

Padungku dalam perspektif komunitas suku pamona, dipahami secara praktis

sebagai hari raya petani sebagai manifestari tanda syukur kepada Tuhan penguasa

alam raya yang telah memberikan rezeki dan keberhasilan Petani dalam bidang

pertanian dan perkebunan.

Menurut Ibu Abigai Tambidjonga (59) selaku anggota masyarakat dan


petani. Tradisi Padungku adalah sebuah pesta rakyat yang dilaksanakan
setelah selesai panen padi. (wawancara tanggal 09 Maret 2022)

Menurut Bapak Watilemba Mandjarara, S.Pd (52) selaku anggota


masyarakat dan guru PNS bahwa Tradisi Padungku adalah suatu pengucapan
syukur yang dilaksanakan oleh suku pamona dari dulu sampai skarang.
Namanya tardisi itu ya suatu kegiatan yang dilakukan secara berulang-ulang
(kebiasaan). Jadi kebiasaan ini dari dulu sampe sekarang tetap dilaksanakan.
(Wawancara tanggal 09 Maret 2022)

`Tradisi padungku bagi suku Pamona dimaknai sebagai ucapan syukur kepada

Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan hasil panen yang melimpah bagi

masyarakat. Sehingga masyarakat menghentarkan sebagian hasil panen di gedung

gereja untuk didoakan sebagai ucupan syukur atas hasil panen yang diperoleh.

Menurut Ibu Pdt. D. Balongka, S.Th (50) selaku Ketua Jemaat. Tradisi
Padungku dimaknai sebagai pengucapan syukur karena kita telah menerimah
berkat dari usaha pekerjaan yang ada sehingga dinyatakan dengan ucapan
Syukur.(Wawancara tanggal 08 Maret 2022)

Menurut Ibu Pdt. Eyrene Menongko, S.Th (39) selaku Pendeta Jemaat
.Tradisi padungku dimaknai dengan pengucapan syukur karena segalah
sesuatu yang kita miliki ini adalah ciptaan Tuhan. Jadi apa yang Tuhan
40

berikan tidak mungkin bisa kita balas dengan apa yang kita miliki, yang bisa
kita balas dengan mengucap syukur. Mengucap syukur itu berterimaksi
kepada Tuhan. Dan sebagai orang Kristen jelas kita akan beribadah dan dalam
ibadah itu dibawah persembahan jemaat berupa hasil bumi misalnya: padi,
kakao, dll. Itu sebagai persembahan ungkapan tanda syukur, tanda sukacita
jemaat untuk semua yang Tuhan telah berikan lewat tanaman-tanaman yang
kita punya. (Wawncara tanggal 08 Maret 2022)

Menurut Ibu Pdt. Etra Pa’esa S.Th (40) selaku Pendeta Jemaat, tradisi
padungku dimaknai sebagai pengucapan syukur karena berkaitan dengan
ketika kita melakukan suatu pekerjaan. Khsusnya dibidang pertanian atau
persawahan tentunya kita diberkati Tuhan lewat pekerjaan itu. Sehingga hasil
yang kita terima pasti kita akan mensyukurinya karena apa yang kita
usahakan kalau Tuhan tidak berkati pastinya kita tidak akan terima. Sehingga
yang kita terima melalui hasil usaha itu kita syukuri berkaitan dengan tradisi
yang ada khusunya kita orang Pamona dari nenek moyang kita sudah
melakukan itu. (Wawancara 08 Maret 2022)

Menurut Bapak David H Kerebungu (67) selaku Ketua adat. Tradisi


Padungku adalah budaya turun terun dari nenek moyang suku pamona. Inti
dari budaya itu mensyukuri hasil panen padi. (Wawancara tanggal 09 Maret
2022)
Menurut Bapak Jems. Molebu (54) selaku Toko adat (sekretaris adat)
tradisi padungku adalah syukuran tahunan yang dilakukan setelah parah petani
selesai panen padi. (Wawancara tanggal 20 Maret 2022)

Menurut Bapak R. G. Ngkedo (85) selaku mantan Tokoh adat


(sekretaris adat) yang utama itu dalam tradisi padungku adalah mengucap
syukur karena hasil dari pekerjaan terutama persawaan, jadi itu maksud utama
dan penyerahan bawah kita punya pekerjaan tidak sia-sia oleh karena Tuhan.
(wawancara Tanggal 20 Maret 2022)

Menurut Bapak R. G. Ngkedo (85) selaku mantan Tokoh adat


(sekretaris adat) artinya begini tradisi padungku ini terutamanya memang
terkait dengan adat istiadat karena satu tradisi dari orang tua dahulu kalah
tetapi semua itu penyerahan akhirnya kepada Tuhan. Berarti tradisi itu
memang dari adat kemudian sekarang kita sudah alihkan ke Tuhan. Dari adat
itu tetap ada tapi itu karunia semua dari pada Tuhan. (Wawancara tanggal 20
Maret 2022)

Pada dasarnya nilai-nilai pancasila adalah nilai-nilai moral, dengan demikian

pancasila menjadi semacam etika perilaku para penyelenggara Negara dan


41

masyarakat Indonesia agar sejalan dengan nilai normative pancasila itu sendiri.

Pancasila sudah ada di dalam masyarakat kita seperti adat-istiadat yang kaya akan

nilai budaya dan tradisi, hidup bersama dalam gotong royong, rasa persaudaraan dan

kekeluargaan yang erat sejak dulu.

Menurut Bapak Watilemba Mandjarara, S.Pd (52) selaku anggota


masyarakat dan Guru PNS, nilai yang terdapat dalam tradisi padungku yaitu:
nilai persatuan dimana tidak memandang dari suka pamona saja terlibat dalam
padungku tapi semua lapisan masyarakat entah dia dari suku Toraja, suku
Bugis mereka juga saling mengunjungi pada saat padungku. Jadi nilai
persatuanya ada. Saya berikan contoh kalau saya padungku bukan hanya saya
yang menyiapkan tetapi ada keluarga dari kampung lain datang membantu
bahkan mereka juga membawah bahan-bahan yang digunakn dalam acara
padungku. Kemudian secara khusus nilai persatua ini karena istri saya
mengajar di daerah umat Muslim di desa Pandajaya dan biasanya makanan itu
mereka sudah siapkan disana seperti gogos, soto sebetulnya mungkin bukan
budaya dari suku Pamona tapi mereka juga buat dan antar pada hari
pelaksanaan padungku. Nilai religius sudah pasti ada karena namanya saja
pengucapan syukur kepada Tuhan atas hasil panen. Dan juga nilasi sosial dan
nilai musyawaranya ada dalam tradisi padungku. (Wawancara tanggal 09
Maret 2022)

Menurut Bapak Watilemba Mandjarara, S.Pd (52) selaku anggota


masyarakat dan Guru PNS, nilai yang paling mendasar sehingga tradisi
padungku ini mempunyai makna adalah nilai bersyukur bahwa telah selesai
panen artinya secara iman Kristen berarti Tuhan memberkati apa hasil kerja
kita, jadi sebagai manusia kita wajib mengembalikan ucupan syukur itu
kepada Sang Pemberi apa yang telah kita buat dan kerjakan kurang lebih 4
bulan panen. Menurut saya melihat tradisi padungku dari perspektif nilai-nilai
pancasila tidak pertentangan dan perlu dilestarikan nilai-nilai tradisi padungku
ini. Sebab seperti yang telah saya katan tadi, disitu ada nilai riligius, dan nilai
persatuanya. Saya pikir ini tidak bertentangan dan harus dilestarikan secara
turun-temurun sampai kapan-pun dan tidak bertentangan dengan nilai
pancasila. (Wawancara tanggal 09 Maret 2022)

Apris Mosinta, S.Pd (33) selaku anggota masyarakat dan Tenaga


Pendidik, Menyatakan nilai pancasila yang terdapat dalam tradisi padungku,
bisa dilihat dari silah pertama yaitu: Ketuhanan Yang Maha Esa, menganggap
bawah Tuhan itu ada diatas segalah-galahnya, keselamatan, pekerjaan yang
dilakukan serta keberhasilan itu karena Tuhan Yang Maha Esa. Seperti yang
42

suda saya jelaskan di awal bahwa padungku ini memberi dan mengeratkan
persatuan antar keluarga yang satu dengan keluarga yang lain. Keadilan sosial
saling memberi ketika ada keluarga yang berkekurangan. Tradisi padungku ini
sangat berkaitan sekali dengan nilai-nilai pancasila dan jangan hanya diliat
dari sisi budaya karena padungku sala satu warisan budaya. Karena peletakan
dasar tradisi padungku ini, orang Tua dulu sudah berfikir karena dasar Negara
kita adalah pancasila sehingga meletakan dasar padungku itu tidak kebetulan
dikatakan ini padungku. Mungkin ada kaitanya dengan nilai-nilai moral
pancasila. Sehingga dampaknya sekarang sudah dirasakan yang pertama
Katuhanan Yang Maha Esa. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, sisi
berdabnya kita menghargai budaya itu sendiri. Persatuan, sisi persatuannya
suku satu bisa bersatu dengan suku satu dengan hadir saling mengunjungi
tanpa memandang suku dari mana diterima. Keadilan Sosial Bagi Seluruh
Rakyat Indonesia, sisi keadilanya dapat dinilai bahwa kehidupan suku pamona
didasarkan atas dasar Pancasila. (Wawancara tanggal 10 Maret 2022)

Menurut Ibu Abigai Tambidjonga (56) selaku anggota masyarakat dan


petani, nilai-nilai pancasila yang terdapat dalam tradisi padungku yaitu: nilai
persatuan, nilai sosial dan nilai religius. Dimana nilai persatuanya, masyarakat
saling membantu dan bekerja sama dalam acara tradisi padungku dan tanpa
memandang jabatan, pekerjaan dan suku semua sama dalam pelaksanaan
tradisi padungku. Nilai sosialnya dalam tradisi padung ini masyarakat saling
menjamu serta mengunjingi tanpa membedakan suku, dan agama semuanya
bisa terlibat langsung dalam tradisi padungku. Dan nilai riligiusnya adalah
ucapan syukur kepada Tuhan yang menyertai proses pertanian dari awal
hingga menghasilkan panen yang melimpa dan bentuk kegembiraan
masyarakat dengan hasil yang telah diperoleh, meraka mempersembahkan
hasil panen mereka di gereja untuk di doakan agar panen berikutnya boleh
menghasilakn panen yang lebih baik lagi. (Wawancara tanggal 09 Maret
2022)

Apris Mosinta, S.Pd (33) selaku anggota masyarakat dan Tenaga


Pendidik, menyatakan nilai yang paling mendasar dan bermakna dari sisi
pancasila adalah sila pertama, yaitu: Ketuhan Yang Maha Esa, karena
padungku ini bukanya hanya selesai panen. Mau panen dan tidak panen
dalam satu tahun itu harus dibuat padungku, karena menyatakan Tuhan Yang
Maha Kuasa itu adalah hal diatas segalah-galahnya pekerjaan, kesehatan,
keselamatan yang dimiliki selama satu tahun itu di syukurkan kepada Tuhan.
Yang paling mendasar sila pertama. Jika tadisi padungku dilihat dari
perspektif nilai-nilai pancasil itu sangat berkaitan dari kelima sila itu. Orang
Tua dulu karena sudah diletakan dasar pancasila, mereka menganggap bawah
ini semua sangat berkaitan dengan kelima sila tersebut. Jadi tidak ada satu sila
yang terlewatkan semua sangat berkaitan karena sisi padungku ini membawah
43

dampak yang luar biasa dalam kehidupan khususnya kita suku orang pamona.
Dengan masi mempertahnkan tradisi itu, mendasarkan kelima sila sehingga
dianggap padungku ini adalah hal yang sakral dan sangat di hormati
dikalangan suku pamona secara umumnya. (Wawancara tanggal 10 Maret
2022)

4.3 Pembahasan

4.3.1 Proses Perubahan Tradisi Padungku

Tradisi adalah kebiasaan yang turun temurun dalam suatu masyarakat. Tradisi

padungku merupakan mekanisme yang dapat membantu untuk membangun interaksi

sosial antar masyarakat, profesi, jabatan, strata sosial, agama dan suku. Tradisi

merupakan sebuah gambaran sikap dan perilaku manusia yang sudah berproses dalam

waktu lama dan dilakukan secara turun temurun dimulai dari nenek moyang.

Tradisi padungku dilaksanakan satu kali dalam setahun. Waktu pelaksanaan

tardisi padungku pada masyarakat Desa Bo’e ada dua versi, yaitu : ada kesepakatan

pemerintah dengan majelis jemaat dan kesepakatan diforum musyawarah desa.

Biasanya padungku dilaksanakan dua bulan setelah masa panen usai.

Proses pelaksanaan tardisi padungku disambut dengan penuh antusias oleh

seluruh masyarakat Desa Bo’e, dengan partisipasi masyarakat yang sangat luar biasa

siap melaksanakan tradisi padungku. Setalah hari pelaksanaan padungku tibah,

seluruh warga masyarakat Desa Bo’e telah mempersiapkan diri. Mulai dari mencari

bambu (voyo), dedaunan (ira loka), kayu api (kaju apu), beras ketan putih atau hitam

(pae puyu), hewan yang akan di potong, dan bahan-bahan lainnya yang akan di

gunakan. Sebelum menyambut tamu-tamu yang akan datang berkunjung, proses

padungku dilakukan terlebih dahulu dalam bentuk ibadah pengucapan syukur di


44

gedung gereja yang berlangsung selama 1 jam. Pdt. Jemaat yang ditugaskan pada saat

itu, mendoakan semua hasil penen yang di bawah oleh warga masyarakat. Yang

dimana seluruh warga masyarakat Desa Bo’e bersyukur kepada Tuhan atas berkat

yang telah diterimah melalui hasil panen.

Dan rasa syukur itu dituangkan dalam bentuk ibadah pengucapan syukur di

gedung gereja. Setelah selesai pelaksanaan ibadah pengucapan syukur, kegiatan

makan dirumah masing-masing di hadiri oleh keluarga, masyarakat setempat, suku

(Toraja, jawah, bugis dll), dari agama yang berbedah, serta warga masyarakat dari

desa lain juga datang menghadiri acara padungku.

Tradidi padungku ini tidak membatasi profesi, jabatan, strata sosial, agama,

dan suku. Semuanya dapat terlibat dalam padungku karena tradisi padungku

merupakan kegiatan silahturahmi antar masyarakat dimana masyarakat saling

berkunjung dari rumah kerumah serta saling menjamu.

Dalam pelaksanaan tradisi padungku pasti ada persiapan yang harus

masyarakat Desa Bo’e siapkan seperti bahan-bahan yang di butuhkan dalam

padungku. Semuanya itu membutuhkan biaya yang sangat banyak tergantung dari

keluarga masing-masing dan tamu yang akan datang dalam acara padungku. Karena

masyarkat Desa Bo’e mayoritas bermata pencarian petani dan sebagian

masyarakatnya ada yang Guru PNS, TNI/Polri dan lain sebagainya. Mereka semua

terlibat tanpa memandang status yang ada.

Dalam tradisi padungku ini biaya yang dikeluarkan sangat banyak dari

mempersiapakn bahan-bahan yang di butuhkan dan menyesuaikan dengan tamu yang


45

akan datang, jika dia berprofesi sebagai PNS tentu persiapanya banyak dan

membutuhkan biaya yang banyak juga.

Perubahan kebudayaan mencakup unsur-unsur kebudayaan itu sendiri.

Perubahan dirasakan oleh hampir semua manusia dalam masyarakat. Perubahan

dalam masyarakat tersebut wajar, mengigat manusia memiliki kebutuhan yang tidak

terbatas. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang

selalu ingin mengadakan perubahan. Begitu pula dengan perubahan tradisi padungku

yang dapat timbul akibat adanya perubahan zaman, dan teknologi. Perubahan-

perubahan pada suatu masyarakat dapat terjadi hanya pada suatu bagian atau

beberapa bagian (komponen) saja dan tidak menyentuh pada bagian-bagian tertentu

yang dianggap sebagian inti dari kehidupan masyarakat.

Tradisi padungku pada zaman dulu disebut dengan kata magore (Mengangkat

sukma padi/Maore ntanoana pae) dan Padungku pada zaman dulu dilaksanakan satu

atau dua kali dalam setahun, setelah selesai panen padi. Tradisi padungku zaman dulu

ada yang di laksanakan di suatu tempat seperti persawahan, kebun dan di balai Desa

(baruga), kalau padungku yang di laksanakan disawah dan kebun hanya oleh anggota

keluarga saja, sedangkan di balai Desa (baruga) itu pelaksanaanya makan bersama

dengan warga masyarakat setempat.

Tradisi padungku pada zaman dulu tidak dilaksanakan dengan ibadah

pengucapan syukur di gedung gereja, karena kepercayaan orang Tua dulu masi

mempercayai hal-hal Animisme. Orang Tua dulu mempersembahkan hasil panen

kepada pohon-pohon (Pohon Beringin) atau sesuatu yang di anggap keramat. Pada
46

zaman dulu kegiatan padungku diisi dengan kegiatan-kegiatan tradisional. Seperti

kegiatan mowinti, moraego, mobulingoni, motela, moganci dan kegiatan dero.

Dengan adanya perkembangan zaman, tadisi padugku mulai mengalami

perubahan. Tradisi padungku mulai mengalami perubahan setelah injil masuk ke

tanah poso khususnya Desa Bo’e pada tahun 1892, yang di bawahkan oleh A.C.

Kruyt dari Belanda yang mengajarkan ajaran Nasrani sehingga masyarakat Desa Bo’e

menerima dan menganut agama Kristen. Sehingga yang dulu proses pengucapanya

dengan mempersembahkan hasil panen kepada pohon (pohon beringin yang dianggap

mistis) tapi sekarang sudah di persembahkan di gedung gereja dengan ibadah syukur

kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberkati dari awal pengolahan dan

menghasilakn panen yang melimpah sehingga masyarakat bersyukur atas semuanya

itu. Dan kata mangore (mengangkat sukma padi) sudah berganti dengan kata

padungku yang artinya ucapan syukur karena proses pertanian (padi) sudah usai atau

tuntas.

Pada zaman dulu tradisi padungku diisi dengan kegiatan-kegiatan tradisonal

seperti Mowinti (permainan yang mengadu kekuatan dengan kaki), motela (permain

yang terbuat dari tempurung kelapa), moraego (suatu permaian yang khusus

dimainkan oleh orang-orang Tua pada saat pesta termasuk pada saat padungku),

mobulingoni (cerita yang disampaikan melalui syair lagu), dan moganci (permainan

gasing, yang terbuat dari kayu) tapi sekarang ini kegiatan tersbut tidak lagi

dilaksankan. Kegiatan tradisional yang masi bertahan adalah kegiatan dero miskipun

sudah mengalami sedikit perubahan yang dulunya alat musiknya mengunukan gong
47

dan gendang sekarang karena adanya perkembangan teknologi sudah mengunkan

elekton. Tradisi padungku yang dulunya hanya dilaksankan oleh keluarga dan

masyarakat setempat saja tapi sekarang ini tradisi padungku sudah menerima siapa

saja tanmpa memandang suku dan agama semuanya bisa terlibat langsung dalam

padungku.

Pemahaman mengenai padungku sebagai identitas dimulai dari pemahaman

menurut bahasa. Padungku merupakan kata yang populer di tanah Poso, terutama di

Desa Bo’e sebagai pendukung dan pelaku utama tradisi ini. realitas menunjukan

bawah padungku sebagai bahasa dan identitas kultural merupakan hari raya petani

atau pesta syukur petani sehabis panen.

Namun demikian realitas lain menunjukan bahwa hari raya ini bukan hanya

dilaksanakan oleh para petani tetapi seluruh masyarakat Desa Bo’e tersebut terlibat

dalam hari raya padungku.

Masyarakat Desa Bo’e sangat setuju dengan adanya pelaksanaan tradisi

padungku. tradisi padungku ini masi dipertahankan hingga saat ini bahkan tradisi

padungku ini dipandang masyarakat sebagai tradisi nenek moyang yang harus terus

dilestarikan dan dianggap memberikan hal yang positif bagi masyarakat Desa Bo’e.

4.3.2 Padungku dilihat dari Perspektif Nilai Pancasila

Nilai adalah segalah hal yang berhubungan dengan tingka laku manusia

mengenai baik atau buruk yang diukur oleh agama, tradisi, etika moral, dan

kebudayaan yang berlaku dalam masyarakat. Pada dasarnya nilai-nilai dasar pancasila

adalah nilai-nilai moral, dengan demikian pancasila menjadi semacam etika perilaku
48

para penyelenggara Negara dan masyarakat Indonesia agar sejalan dengan nilai

normative pancasila itu sendiri. Hal ini dapat ditunjukan dengan adanya

keharmonisan kehidupan yang dibangun dalam kebersamaan, saling menyayangi,

memiliki rasa persaudaraan yang tinggi, dan konsep gotong royong yang tidak perna

dilupakan dan ditinggalkan oleh masyarakat indonesia.

Pancasila sudah ada di dalam masyarakat kita seperti adat-istiadat yang kaya

akan nilai budaya dan tradisi, hidup bersama dalam gotong royong, rasa persaudaraan

dan kekeluargaan yang erat sejak dulu. Pancasila dirumuskan dari nilai budaya

bangsa indonesia yang terdiri dari nilai Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,

kerakyatan, dan keadilan sosial. Dalam kehidupan sehari-hari, nilai merupakan

sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukan kualitas, dan berguna bagi manusia.

Tradisi padungku mengandung nilai-nilai pancasila antara lain: 1). nilai

religius yang dimana dalam tradisi padungku masyarakat Desa Bo’e kegiatanya

dilakukan dengan menghantarkan hasil panen ke rumah ibadah atau gereja sebagai

syukur kepada Tuhan atas hasil panen masyarakat. 2) Nilai Kemanusiaan Yang Adil

dan Beradab, masyarakat Desa Bo’e menghargai budaya tradisi padungku itu sendiri

sebagai warisan sosial yang turun temurun. 3) Nilai persatuan dalam tradisi padungku

tidak memandang dari suku pamona saja yang terlibat dalam padungku tapi semua

lapisan masyarakat entah dia dari suku toraja, suku bugis mereka juga saling

mengunjungi pada saat padungku. 4). Nilai sosial dalam tradisi padung ini

masyarakat saling menjamu serta mengunjingi tanpa membedakan suku, dan agama

semuanya bisa terlibat langsung dalam tradisi padungku.


49

Tradisi padungku jika dilihat dari perspektif nilai-nilai pancasila tidak

bertentangan sama sekali bahkan nilai-nilai yang terdapat dalam tradisi padungku

perlu dilestarikan. Seperti nilai riligius, persatuan dan sosial. Sehingga nilai-nilai

tersebut tidak betentangan dan harus dilestarikan secara turun-temurun sampai kapan-

pun dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai pancasila. Jadi tidak ada satu sila yang

terlewatkan semua sangat berkaitan karena sisi padungku ini membawah dampak

yang luar biasa dalam kehidupan khususnya bagi suku orang pamona.

Dengan masi mempertahankan tradisi ini, mendasarkan kelima sila pancasila

sehingga dianggap padungku ini adalah hal yang sakral dan sangat di hormati

dikalangan suku pamona secara umumnya.

Karena pada dasarnya tradisi padungku ini adalah pengucapan syukur Kepada

Tuhan Yang Maha Esa, yang telah menyertai proses pertanian masyarakat dari awal

pengolahan sawah hingga panen padi. Sehingga dilaksanakan dengan proses

padungku dengan artian pengucapan syukur karena proses pertanian masyarakat telah

selesai dan masyarkat mensyukuri semuanya kepada Tuhan.


BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan peneliti, maka yang didapati

bawah:

1. Padungku merupakan jenis tradisi dimana masyarakat melakukan sebuah

syukuran panen padi sekali sehari dalam setahun kurang lebih dilakukan dua

bulan setelah para petani melaksanakan panen padi. Proses Tradisi padungku

pertama yaitu 1) Pemerintah Desa akan memusyawarahkan tanggal

pelaksanakan padungku. 2) Masyarakat mempersiapkan bahan-bahan seperti

bambu (voyo), kayu api (kaju apu), beras kentan (pae puyu), dedaunan (ira

loka), dan hewan ternak yang akan dipotong pada saat tradisi padungku. 3)

Melaksanakan ibadah syukur di gedung Gereja dengan membawah hasil

panen untuk di doakan. 4) dan acara makan-makan dirumah masyarkat.

Pada zaman dulu padangku di Desa Bo’e di sebut Mangore

(mengangkat sukma padi) dan tradisi padungku ini dilakukan di kebun, sawah

dan baruga (balai Desa). Dulu padungku hanya dilakukan oleh parah petani

yang diam disuatu pedesaan saja dan masyarakat pada saat itu

mempersembahkan hasil pertanian mereka kepada pohon yang dianggap

keramat. Setelah injil masuk ketanah poso khususnya di Desa Bo’e pada tahun

1892, yang dibawahkan oleh A.C. Kruyt dari Belanda yang mengajarkan

ajaran Nasrani sehingga masyarakat Desa Bo’e menerima dan menganut

50
51

agama Kristen. Sehingga kata Mangore (mengangkat sukma padi) berubah

menjadi kata Padungku yang dimaknai dengan pengucapan syukur karena

telah selesai panen padi.

Ada beberapa perubahan yang terjadi dalam tardisi padungku akibat

dari perkembangan zaman dan kemajuan teknologoi yaitu: 1) Perubahan kata

Mangore menjadi padungku, 2) Zaman dulu kegiatan padungku diisi dengan

kegiatan-kegiatan tradisional seperti kegiatan Mowinti (permainan yang

mengadu kekuatan dengan kaki), motela (permain yang terbuat dari

tempurung kelapa), moraego (suatu permaian yang khusus dimainkan oleh

orang-orang Tua pada saat pesta termasuk pada saat padungku), mobulingoni

(cerita yang disampaikan melalui syair lagu), dan moganci (permainan gasing,

yang terbuat dari kayu) tapi sekarang dengan perkembangan zaman yang

sering dilakukan sekarang ini dalam tradisi padungku paling tidak ada

kegiatan dero, 3) Orang Tua dulu mempersembahkan hasil panen kepada

pohon yang dianggap keramat, tapi sekarang masyarkat mempersembahan

hasil panen dalam bentuk ibadah syukur ke gereja dengan membawah hasil

panen mereka untuk di doakan.

2. Dalam tradisi padungku terdapat nilai-nilai pancasila seperti nilai religius,

persatuan, musyawarah dan sosial.


52

5.2 Saran

1. Bagi masyarkat Desa Bo’e agar dalam biaya pelaksanaan tardisi padungku

untuk bisa di sesuaikan dengan kebutuhan dan hasil dari panen masyarakat

agar tidak mengeluarkan biaya yang terlalu banyak.

2. Bagi peneliti selanjutnya, di harapkan dapat menggali nilai-nilai yang ada

dalam tradisi padungku dan mengkaji lebih lanjut pandangan masyarakat

melihat tradisi padungku dari perspektif nilai-nilai pancasila.


53

DAFTAR PUSTAKA

Adha, M. M., & Susanto, E. (2020). Kekuatan nilai-nilai Pancasila dalam


membangun Kepribadian masayarakat Indonesia. Al-Adabiya: Jurnal
Kebudayaan dan Keagamaan, 15(01), 121-138

Alfariz, F. (2020). Tradisi Panai dalam Perspektif Filsafat Nilai. Jurnal Filsafat
Indonesia, 3(2), 35-39.
Anastasia, I. (2020). Analisis Bentuk dan Fungsi Tradisi Penti Pada Masyarakat
Manggarai (Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah Mataram).
Budianto, A. (2018). Tradisi Padungku Masyarakat Desa Maleku Kecamatan
Mangkutana Kabupaten Luwu Timur Sebagai Sumber Bahan Ajar Materi
Geografi di SMA Negeri 4 Luwu Timur. LaGeografia, 17(1), 45-54.
Damanik, S. E. (2019). Pemberdayaan Masyarakat Desa Sekitar Kawasan Hutan.
Uwais Inspirasi Indonesia.
Daud, W., Arifin, S., & Dahlan, D. (2018). Analisis Tuturan Tradisi Upacara Ladung
Bio’Suku Dayak Kenyah Lepo’Tau Di Desa Nawang Baru Kecamatan Kayan
Hulu Kabupaten Malinau: Kajian Folklor. Ilmu Budaya: Jurnal Bahasa,
Sastra, Seni dan Budaya, 2(2), 167-174.
Fathurrohman, M. (2016). Pengembangan Budaya Religius Dalam Meningkatkan
Mutu Pendidikan. Ta'allum: Jurnal Pendidikan Islam, 4(1), 19-42.
Hidayatun, M. I. (2004). Pendopo Dalam Era Modernisasi: Bentuk Fungsi dan Makna
Pendopo pada Arsitektur Tradisional Jawa dalam Perubahan
Kebudayaan. Dimensi (Journal of Architecture and Built Environment), 27(1).
Huda, N. (2016). Makna tradisi sedekah bumi dan laut (studi kasus di Desa
Betahwalang Kecamatan Bonang Kabupaten Demak) (Doctoral dissertation,
UIN Walisongo).
Idrus, M. (2009). Metode penelitian Ilmu Sosial.Yogyakarta, Indonesia: PT.
Gelora Akasara
Iskandar.( 2009). “Metodologi Penelitian Kualitatif.” : 54–68.
Jennah, M. A., Nawing, K., & Kulyawan, R. (2021). Makna Padungku pada
Komunitas Pamona di Kecamatan Pamona Pasulemba. Jurnal Kreatif
Online, 9(1), 61-74.
54

Kariyadi, D. (2017). Membangun Kepemimpinan Berbasis Nilai-Nilai Pancasila


Dalam Perspektif Masyarakat Multikultural. Citizenship Jurnal Pancasila
Dan Kewarganegaraan, 5(2), 86-96.

Kistanto, N. H. (2008). Sistem Sosial-Budaya di Indonesia. Sabda: jurnal kajian


kebudayaan, 3(2).
Maiti, and Bidinger. 1981. “Metode Penelitian Kualitatif.” Journal of Chemical
Information and Modeling 53(9): 1689–99.
Mardimin, J. (1994). Jangan Tangisi Tradisi “Transformasi Budaya Menuju
Masyarakat Indonesia Modern”. Yogyakarta : Kanisius.
Moleong, L.(2010). Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosda
Karya.
Moleong,L.(2017). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung, Indonesia: PT Remaja
Muliati, R. (2021). Eksistensi Tradisi “Mappatettong Bola” Masyarakat Suku Bugus
di Desa Anabanua Kecamatan Barru Kabupaten Barru Dalam Perspektif
Hukum Islam (Doctoral dissertation, Universitas Negeri Makassar).

Murdiyanto, E. (2020). Sosiologi perdesaan Pengantar untuk Memahami Masyarakat


Desa.
Ningsih, T. (2019). Tradisi Saparan Dalam Budaya Masyarakat Jawa Di
Lumajang. Ibda: Jurnal Kajian Islam dan Budaya, 17(1), 79-93.
Pratiwi, C. A. (2017). Harai: Telaah Konsep Religi Koentjaraningrat. Jurnal
Japology, 5(2).

Putriana, D. (2019). Grebeg Pancasila sebagai Sarana Penanaman Nilai-Nilai


Pancasila (Studi Kasus di Kota Blitar). Kajian Moral dan
Kewarganegaraan, 7(2).
Rakmat,Jalaludin.(2012). Metode Penelitian Komunikasi. Bandung:PT Remaja
Rosdakarya
Rodin, R. (2013). Tradisi Tahlilan dan Yasinan. IBDA: Jurnal Kajian Islam dan
Budaya, 11(1), 76-87. Rosdakarya.
Rufaida, A. (2011). Tradisi begalan dalam perkawinan adat Banyumas
perspektif'urf (Doctoral dissertation, Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim).
55

Ruswanto, W. (2014). Pengertian Perubahan dan Disorganisasi Sosial. Universitas


Terbuka.
Siburian, A. L. M., & Malau, W. (2018). Tradisi Ritual Bulan Suro pada Masyarakat
Jawa di Desa Sambirejo Timur Percut Sei Tuan. Gondang: Jurnal Seni dan
Budaya, 2(1), 28-35.
Sugiono. (2018). Metode Penelitian Kuantitatif & Kualitatif, dan R&D. Bandung
Indonesia:Alfabeta.
Sugiyono. (2006). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta
Sukandarrumidi. (2006). Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Pers UGM
Sukmana, S. F., & Dewi, D. A. (2021). Pengimplementasian Nilai Pancasila dalam
Kehidupan Sosial dan Budaya di Indonesia. EduPsyCouns: Journal of
Education, Psychology and Counseling, 3(1), 128-134.
Sutono, A., & Purwosaputro, S. (2019). Aksiologi Pancasila. CIVIS, 8(2).
Syam, A. R. (2017). Urgensi budaya organisasi untuk pengembangan lembaga
pendidikan Islam. Educan: Jurnal Pendidikan Islam, 1(2).
Zaitun (2014). Budaya Padungku Pada Masyarakat di Desa Mawomba Kecamatan
Tojo Barat. Skripsi Sarjana pada FKIP Universitas TadulakoPalu.
Zaqiah, Q. Y., & Rusdiana, A. (2014). Pendidikan Nilai: Kajian Teori dan Praktik di
Sekolah.
56

Lampiran 1

PEDOMAN WAWANCARA

A. Identitas Informan

Nama :

Pendidikan :

Usia :

Pekerjaan :

Alamat :

B. Daftar Pertanyaan Wawancara

Rumusan Masalah 1

Bagaimana proses pelaksanaan tradisi padungku pada masyarakat Desa Bo’e?

1. Menurut Bapak/Ibu apa yang dimaksud dengan tradisi padungku?

2. Menurut Bapak/Ibu bagaimana proses pelaksanaan tradisi padungku?

3. Menurut Bapak/Ibu kapan pelaksanaan tradisi padungku di Desa Bo’e?

4. Menurut Bapak/Ibu bahan-bahan apa saja yang dibutuhkan dalam

persiapan tradisi padungku?

5. Berapa besar biaya yang Bapak/Ibu keluarkan untuk pelaksanaan tradisi

padungku?

6. Menurut Bapak/Ibu siapa saja yang terlibat dalam tradisi padungku?

7. Menurut Bapak/Ibu apakah hanya suku pamona saja yang melaksanakan

tradisi padungku?
57

8. Menurut Bapak/Ibu tradisi padungku yang dilaksanakan masi sesuai

dengan adat istiadat?

9. Apakah Bapak/Ibu setuju dengan pelaksanaan tradisi padungku?

Alasanya!

10. Menurut Bapak/Ibu mengapa dalam tradisi padungku dimaknai dengan

pengucapan syukur?

11. Menurut Bapak/Ibu dengan adanya wabah Virus Corona apakah tradisi

padungku tetap dilaksanakan pada tahun ini.

Rumusan Masalah 2

Bagaimana bentuk perubahan yang terjadi dalam tradisi padungku masyarakat

Desa Bo’e?

1. Menurut Bapak/Ibu pada zaman dulu proses tradisi padungku

dilaksanakan dimana?

2. Menurut Bapak/Ibu bagaimana proses pelaksanaan tradisi padungku pada

zaman dulu?

3. Menurut Bapak/Ibu apa saja kegiatan-kegiatan tradisional yang terdapat

dalam tradisi padungku?

4. Menurut Bapak/Ibu kegiatan-kegiatan tradisional tersebut masi bertahan

hingga saat ini?

5. Menurut Bapak/Ibu apa yang menyebabkan terjadinya perubahan dalam

tradisi padungku?

6. Menurut Bapak/Ibu apakah tradisi padungku adalah warisan sosial


58

Rumusan Masalah 3

Nilai-nilai pancasila apa saja yang terkandung dalam tradisi padungku

masyarakat Desa Bo’e?

1. Menurut Bapak/Ibu nilai-nilai pancasila apa saja yang terdapat dalam

tradisi padungku?

2. Menurut Bapak/Ibu apakah nilai religius, persatuan, sosial, dan demokrasi

ada dalam tradisi padungku?

3. Menurut Bapak/Ibu apa nilai yang paling mendasar sehingga tradisi

padungku masi dilaksanakan hingga saat ini?

4. Bagaimana pandangan Bapak/Ibu melihat tradisi padungku dari perspektif

nilai-nilai pancasila?
59

Lampiran 2

PEDOMAN OBSERVASI

Dalam pengamatan (Observasi) yang dilakukan adalah mengamati Tradisi Padungku

masyarakat Desa Bo’e Kecamatan Pamona Selatan Kabupaten Poso dilihat dari

Perspektif Nilai-nilai Pancasila Meliputi:

1. Mengamati kondisi geograsifs lokasi penelitian

2. Mengamati kondisi demografi lokasi penelitian

3. Mengamati kegiatan rutinitas masyarakat pada lokasi penelitian


60

Lampiran 3

PEDOMAN DOKUMENTASI

Pedoman Dokumentasi dilakukan untuk mengambil beberapa gambar dalam

penelitian untuk memenuhi kevalidatan data baik observasi maupun wawancara

mengenai Tradisi Padungku Masyarakat Desa Bo’e Kecamatan Pamona Selatan

Kabupaten Poso dilihat dari Perspektif Nilai-nilai Pancasila.


61

Lampiran 4

DAFTAR INFORMAN

1. Nama : Pdt. Eyrene. Menongko. S.Th

Pendidikan : S1

Usia : 39 Tahun

Pekerjaan : Pendeta

Alamat : Desa Bo’e

2. Nama : Pdt. Etra Pa’esa. S.Th

Pendidikan : S1

Usia : 40

Pekerjaan : Pendeta

Alamat : Desa Bo’e

3. Nama : Pdt. D. Balongka. S.Th

Pendidikan : S1

Usia : 50 Tahun

Pekerjaan : Pendeta

Alamat : Desa Bo’e

4. Nama : David. H. Kerebungu

Pendidikan : SMA

Usia : 67 Tahun

Pekerjaan : Tani

Alamat : Desa Bo’e


62

5. Nama : R. G. Ngkedo

Pendidikan : SD

Usia : 85

Pekerjaan : Tani

Alamat : Desa Bo’e

6. Nama : Apris Mosinta. S.Pd

Pendidikan : S1

Usia : 33 Tahun

Pekerjaan : Tenaga Pendidik

Alamat : Desa Bo’e

7. Nama : Watilemba Mandjarara. S.Pd

Pendidikan : S1

Usia : 52 Tahun

Pekerjaan : Guru PNS

Alamat : Desa Bo’e

8. Nama : Abigai Tambidjonga

Pendidikan : SMP

Usia : 56 Tahun

Pekerjaan : Tani

Alamat : Desa Bo’e


63

9. Nama : Kristolsa Bodjo

Pendidikan : SMA

Usia : 49 Tahun

Pekerjaan : Kepala Desa Bo’e

Alamat : Desa Bo’e

10. Nama : Jems Molebu

Pendidikan : SMP

Usia : 54 Tahun

Pekerjaan : Tokoh Adat (sekretaris adat)/Tani

Alamat : Desa Bo’e


64

Lampiran 5

DOKUMENTASI PENELITIAN

Foto penyerahan surat izin penelitian kepada Bapak Kristolsa Bodjo selaku Kepala

Desa Bo’e

Foto wawancara dengan Ibu Pdt. Eyrene. Menongko. S.Th


65

Foto wawancara dengan Ibu Pdt. Etra Pa’esa. S.Th

Foto wawancara dengan Ibu Pdt. D. Balongka. S.Th


66

Foto wawancara dengan Bapak David. H. Kerebungu

Foto wawncara dengan Ibu Abigai. Tambidjonga


67

Foto wawancara dengan Bapak Watilemba Mandjarara, S.Pd

Foto wawancara dengan Bapak Jems Molebu


68

Foto wawancara dengan Bapak R. G. Ngkedo

Foto wawancara dengan Bapak Kristolsa Bodjo selaku Kepala desa Bo’e
69

Foto proses panen padi di sawah Bo’e

Foto proses pengilingan padi setelah di sabit


70

Foto proses pembuatan nasi bambu (inuyu)

Foto proses pembakaran nasi bambu (inuyu)


71

Foto ibadah syukur padungku di gedung gereja

Foto acara tradisi padungku dengan di hadiri oleh tamu dari luar Desa
72

Foto dero bersama pada malam hari dalam rangka merayakan tradisi padungku
73
74
75
76
77

BIODATA PENULIS

1. UMUM

1. Nama : LEONARDO RICKY PUTRA TA’UKE

2. Tempat dan Tanggal Lahir : Mayoa, 22 Agustus 1998

3. Jenis Kelamin : Laki-laki

4. Nama Orang Tua

a. Ayah : Raiman Afredy Ta’uke

b. Ibu : Marcin Labiro

5. Agama : Kristen Protestan

6. Alamat : Jl. Basuki Rhamat 1

2. PENDIDIKAN

1. SD : SDN 1 Bo’e

2. SMP : SMP Negeri 1 Pamona Selatan

3. SMA : SMA Negeri 1 Pamona Selatan

Anda mungkin juga menyukai