Anda di halaman 1dari 72

NILAI BHINNEKA TUNGGAL IKA DALAM KONSEP

FILOSOFIS HUMA BETANG BAGI MASYARAKAT


SUKU DAYAK NGAJU DI KECAMATAN MANTANGAI
KABUPATEN KAPUAS

PROPOSAL SKRIPSI

OLEH :
PERUNIKA
ABA 118 032

UNIVERSITAS PALANGKA RAYA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
PROGRAM STUDI PPKn
2023
NILAI BHINNEKA TUNGGAL IKA DALAM KONSEP
FILOSOFIS HUMA BETANG BAGI MASYARAKAT
SUKU DAYAK NGAJU DI KECAMATAN MANTANGAI
KABUPATEN KAPUAS

PROPOSAL SKRIPSI

Diajukan kepada
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Palangkaraya
Untuk memenuhi salah satu persyaratan
Memperoleh gelar sarjana pendidikan

OLEH :
PERUNIKA
ABA 118 032

UNIVERSITAS PALANGKA RAYA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
PROGRAM STUDI PPKn
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena

dengan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan proposal penulisan

kualitatif yang berjudul “Nilai Bhinneka Tunggal Ika Dalam Konsep Filosofis Huma

Betang Bagi Masyarakat Suku Dayak Ngaju di Kecamatan Mantangai Kabupaten

Kapuas” tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari Proposal Skripsi ini adalah sebagai

suatu syarat dalam menyelesaikan Program Sarjana (S1) pada Program Sarjana

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Palangka Raya.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada kedua

orangtua penulis yang telah memberikan dukungan baik secara moril maupun materiil

dan semua pihak yang telah membantu sehingga Proposal Skripsi ini dapat selesai.

Dalam menyelesaikan proposal penulisan ini penulis mendapat bimbingan dan

bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis menyampaikan

terima kasih dan perhargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Dr. Eli Karliani, M.Pd selaku ketua Program Studi PPKn, dan sekaligus sebagai

dosen Pembimbing Akademik.

2. Bapak dan Ibu Dosen di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas

Palangka Raya yang telah ikhlas memberikan ilmu pengetahuan guna bekal

dalam mengarungi kehidupan.

3. Tidak lupa saya ucapkan terima kasih kepada teman sehimpun, sahabat yang

terus memberikan semangat dan tak ada henti-hentinya menanyakan kapan


lulus dan kapan wisuda, harapannya proposal ini dapat menjadi awal untuk

menjawab pertanyaan kalian semua.

Dalam penyusunan Proposal Skripsi ini banyak hambatan serta rintangan

yang dihadapi namun pada akhirnya dapat diselesaikan berkat adanya bimbingan dan

bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengharapkan masukan dan

saran yang membangun dari pembaca guna menyempurnakan segala kekurangan

dalam proposal skripsi ini.

Palangka Raya Maret 2023


Penulis

PERUNIKA
ABA 118 032

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Suku Dayak, sebagai mana Suku Bangsa lainnya, memiliki Kebudayaan

Adat-istiadat tersendiri yang pula tidak sama secara tepat dengan Suku bangsa

lainnya di Indonesia. Seperti halnya di kalimantan tengah memiliki Adat-istiadat

yang masih kental dan hidup dalam masyarakat Suku Dayak Ngaju yang

merupakan unsur terpenting bagi kehidupan suku Dayak khususnya di Kecamatan

Mantangai Kabupaten Kapuas karna hal itu merupakan akar identitas bagi

masyarakat Suku Dayak Ngaju.

Kebudayaan Suku Dayak dapat diartikan keseluruhan konpleks yang


meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, dan
kemampuan-kemaampuan lainnya serta kebiasaan yang diperoleh
manusia sebagai anggota masyarakat (Garna, 1996:157).

Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa dengan kebudayaan yang

berisi seperangkat pengetahuan tersebut oleh manusia dapat dijadikan alternatif

untuk menanggapi lingkungannya, baik fisik maupun sosial.

Bisa dikatakan bahwa Indonesia satu negara dengan tingkat

keaneragaman budaya atau tingkat heterogenitasnya yang tinggi. Tidak saja

keanekaragaman budaya kelompok sukubangsa namun juga keanekaragaman

budaya dalam konteks peradaban, tradsional hingga ke modern, dan kewilayahan.

1 1945 mengatakan bahwa:


Berdasarkan ketentuan pasal 32 UUD
Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha
budi daya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli yang
terdapat sebagai puncak – puncak kebudayaan di daerah – daerah di
seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha
kebudayaan harus menuju kea rah kemajuan abad,budaya persatuan, dan
tidak menolak bahan – bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat
memperkembangkan atau memperkayakebudayaan bangsa sendiri, serta
mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.(UUD 1945. 108 :
2012)

Dengan keanekaragaman kebudayaannya Indonesia dapat dikatakan

mempunyai keunggulan dibandingkan dengan negara lainnya. Indonesia

mempunyai potret kebudayaan yang lengkap dan bervariasi. Kebudayaan suku

Dayak adalah seluruh sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia Dayak

dalam rangka kehidupan masyarakat suku Dayak yang dijadikan milik orang

Dayak serta dengan belajar dalam hal itu.

Ini berarti bahwa Kebudayaan dan Adat-istiadat yang sudah berakar

dalam kehidupan masyarakat Suku Dayak, kepemilikannya tidak melalui warisan

biologis yang ada didalam tubuh manusia suku Dayak, melainkan diperoleh

melalui proses belajar yang diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke

generasi, maka dalam Kebudayaan suku Dayak juga dapat ditemukan tiga wujud

dalam hal itu yaitu meliputi : Pertama, wujud Kebudayaan sebagai suatu himpunan

gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan. Wujud itu merupakan

wujud hakiki dari kebudayaan atau yang sering disebut dengan Adat, yang

berfungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur, mengendalikan dan memberikan

arah kepada perilaku manusia Dayak, tampak jelas didalam setiap upacara Adat

yang dilaksanakan berdasarkan siklus kehidupan, yakni kelahiran, perkawinan dan

kematian, juga tampak dalam berbagai upacara Adat yang berkaitan siklus

perladangan; Kedua, wujud Kebudayaan sebagai sejumlah perilaku yang berpola,


atau lazim disebut sistem sosial. Sistem sosial itu terdiri atas aktivitas manusia

yang berinteraksi dan senantiasa merujuk pada pola-pola tertentu yang didasarkan

pada Adat tata kelakuan yang dimilki, hal itu tampak dalam kehidupan sosial

orang Dayak yang sejak masa kecil sampai tua selalu dihadapkan pada aturan-

aturan mengenai hal-hal mana yang harus dilakukan dan mana yang dilarang yang

sifatnya tidak tertulis yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke

generasi sebagai pedoman dalam bertingkah laku bagi masyarakat Dayak. Ketiga,

wujud Kebudayaan sebagi bend-benda hasil karya Manusia, yang lazim disebut

Kebudayaan fisik, berupa keseluruhan hasil karya manusia Dayak, misalkan

seperti rumah panjang dan lain-lainnya.

Berdasarkan atas pemahaman itu, maka kebudayaan Suku Dayak sangat

mempunyai makna dan peran yang amat penting bagi masyarakat dayak, yaitu

merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses kehidupan Suku Dayak atau

dengan kata lain kebudayaan Suku Dayak dalam perkembangan sejarahnya telah

tumbuh dan berkembang seiring dengan masyarakat Suku Dayak sebagai

pendukungnya.

Suku Dayak adalah suku asli Kalimantan yang hidup berkelompok yang

tinggal di pedalaman, di gunung, dan sebagainya. Kata Dayak itu sendiri

sebenarnya diberikan oleh orang-orang Melayu yang datang ke Kalimantan.

Orang-orang Dayak sendiri sebenarnya keberatan memakai nama Dayak, sebab

lebih diartikan agak negatif. Padahal, semboyan orang Dayak adalah “Menteng
Tuntang Mamut”, yang berarti seseorang yang memiliki kekuatan gagah berani,

serta tidak kenal menyerah atau pantang mundur.

Suku Dayak yang berada di kecamatan katingan hulu desa tumbang kuai

memiliki beranekaragam Agama serta bahasa. Dalam falsafahnya Huma Betang

ternyata amat cocok dengan Kebudayaan Kerukunan Keanekaragaman suku

Dayak khususnya di Kecamatan Mantangai Kabupaten Kapuas. Karena huma

betang dalam istilah sehari-hari bahasa merupakan rumah besar yang dihuni

banyak orang dengan beragam agama dan kepercayaan tetapi tetap rukun dan

damai. Dalam filosofisnya Huma Betang tidak pernah terjadi perselisihan yang

berarti karena tingkat kekeluargaan atau kekerabatan yang sangat tinggi. Sehingga

Huma Betang merupakan sebuah simbol dan filosofis kehidupan masyarakat di

Kalimantan Tengah (Kalteng) khususnya di Kecamatan Mantangai Kabupaten

Kapuas.

Huma Betang merupakan rumah Adat Dayak dalam filosofinya berarti

masyarakat Suku Dayak yang hidup rukun, damai. Dalam falsafah Huma Betang

yang tergambar dalam kehidupan suku dayak di Kecamatan Mantangai Kabupaten

Kapuas masih menghargai nilai-nilai adat-istiadat yang mencerminkan

kebersamaan dalam hal gotong royongdan upacara lainnya.

Sesuai dengan namanya rumah ini berukuran besar yang mampu

menampung puluhan orang atau keluarga yang mempunyai ikatan keluarga.

Walaupun Huma Betang sudah semakin jarang dipergunakan oleh masyarakat

Suku Dayak, namun falsafah hidup rumah betang masih tertanam dan berkembang
di dalam kehidupan masyarakat Suku Dayak seperti Suku Dayak di Kecamatan

Mantangai Kabupaten Kapuas.

Masyarakat Suku Dayak misalnya, sangat menghargai perbedaan dan

hidup bertoleransi itu cerminan dalam kehidupan rumah betang dimana dalam satu

keluarga bisa terdiri dari berbagai macam kepercayaan, agama, dan lain-lain.

Seperti Islam, Kristen dan Hindu Kaharingan. Mereka dapat hidup rukun dan

saling menghargai walaupun berbeda-beda kepercayaan dan agama, namun masih

menghargai nilai-nilai kehidupan dalam filosofi Huma Betang yang tergambar

didalam Kekeluargaan, kegotong-royongan, persatuan dan kesatuan itu merupakan

sikap dan prilaku kehidupan sehari-hari masyarakat Suku Dayak yang tercermin

dalam falsafah hidup Huma Betang.

Filosofi huma betang Dalam Nilai Bhinneka Tunggal Ika di Kecamatan

Mantangai Kabupaten Kapuas masih tetap lestari karena masyarakat Suku Dayak

masih memegang teguh semboyan dan falsafah Huma Betang itu sendiri dari

terdahulu hingga sekarang. Sepertinya yang sering ditemukan dalam kehidupan

Suku Dayak selalu mementingkan kepentingan bersama, saling menghargai

pendapat orang lain, memperkokoh kekeluargaan, belum bahadat tuntang bajenta

dan bajurah), dan dimasukan dalam semboyan Tingang menteng panunjung

tarung..

Dari paparan diatas saya merasa tertarik untuk melakukan penelitian lebih

mendalam tentang hal tersebut yang saya buat dalam judul penelitian “Nilai
Bhinneka Tunggal Ika Dalam Konsep Filosofis Huma Betang Bagi Masyarakat

Suku Dayak Ngaju di Kecamatan Mantangai Kabupaten Kapuas ”.

B. Fokus Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah dan melihat luasnya ruang lingkup

permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, membutuhkan spesifikasi

kajian hal-hal yang dilakukan agar pembahasan lebih terfokus, oleh karena itu

maka yang menjadi fokus penelitian ini adalah :

1. Nilai Bhinneka Tunggal Ika bagi masyarakat Suku Dayak Ngaju di Kecamatan

Mantangai Kabupaten Kapuas.

2. Filosofis Huma Betang bagi masyarakat Suku Dayak Ngaju di Kecamatan

Mantangai Kabupaten Kapuas.

C. Rumusan Masalah

Masalah dalam penelitian ini meliputi :

1. Bagaimanakah Nilai Bhinneka Tunggal Ika Dalam Konsep Filosofis Huma

Betang bagi masyarakat Suku Dayak Ngaju di Kecamatan Mantangai

Kabupaten Kapuas.?

D. Tujuan Penelitian
Sebagaimana umumnya suatu penelitian tentu mempunyai tujuan tertentu,

adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah :

1. Mendiskrifsikan dan menganalisis nilai Bhinneka Tunggal Ika bagi masyarakat

Suku Dayak Ngaju di Kecamatan Mantangai Kabupaten Kapuas.

2. Menganalisis dan mendiskrifsikan Filosofis Huma Betang bagi masyarakat

Suku Dayak Ngaju di Kecamatan Mantangai Kabupaten Kapuas.

E. Kegunaan Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka keguanaa penelitian ini

meliputi:

1. Kegunaan Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pengembang ilmu pengetahuan

dalam bidang sosial tentang nilai Bhinneka Tunggal Ika dalam konsep filosofis

Huma Betang bagi masyarakat Suku Dayak Ngaju di Kecamatan Mantangai

Kabupaten Kapuas.

2. Kegunaan Praktis

a. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan bagi masyarakat

menghadapi maslah – masalah sosial yang terjadi di lingkungan masyarakat

tentang nilai Bhinneka Tunggal Ika dalam konsep filosofis Huma Betang

bagi masyarakat Suku Dayak Ngaju di Kecamatan Mantangai Kabupaten

Kapuas.
b. Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman selain

teori yang diperoleh di bangku kuliah, khususnya masalah sosial dan

kehidupan di masyarakat.

F. Definisi Istilah

Definisi istilah dalam penelitian mengacu pada judul yang di teliti supaya

memahami maksud dan tujuan dalam judul yang dirumuskan, adapun judul yang

dirumuskan yaitu nilai Bhinneka Tunggal Ika dalam konsep filosofis Huma Betang

bagi masyarakat Suku Dayak Ngaju di Kecamatan Mantangai Kabupaten Kapuas

maka istilah yang saya tegaskan adalah sebagai berikut :

1. Nilai Bhinneka Tunggal Ika adalah sebuah nilai yang harus dijaga dan

dipertahankan oleh setiap suku bangsa yang ada di Indonesia kita hidup

ditengah perbedaan suku, adat dan budaya. Walau semua itu ada perbedaan kita

harus bersatu yakni bangsa Indonesia.

2. Filosofis Huma Betang adalah Filosofi merupakan suatu kebenaran yang

dianggap benar. filosofi Huma Betang tentang tersebut secara jelas baik dari

segi nilai-nilai atau pun budaya yang ada didalam Huma Betang itu sendiri.

Untuk diketahui bahwa filosofi Huma Betang (Rumah Betang) di Kalimantan

Tengah sangat menjunjung tinggi perdamaian dan anti-kekerasan serta hidup

toleransi yang tinggi antar-umat beragama.

Jadi yang dimaksudkan dengan nilai Bhinneka Tunggal Ika dalam

konsep filosofis Huma Betang bagi masyarakat Suku Dayak Ngaju sebuah nilai
yang harus dijaga dan dipertahankan oleh setiap suku bangsa yang ada di

Indonesia kita hidup ditengah perbedaan suku, adat dan budaya.

Walau semua itu ada perbedaan kita harus bersatu yakni bangsa

Indonesia. filosofi Huma Betang tentang tersebut secara jelas baik dari segi nilai-

nilai atau pun budaya yang ada didalam Huma Betang itu sendiri. Untuk diketahui

bahwa filosofi Huma Betang (Rumah Betang) di Kalimantan Tengah sangat

menjunjung tinggi perdamaian dan anti-kekerasan serta hidup toleransi yang tinggi

antar-umat beragama.

BAB II

TINJUAN PUSTAKA

A. Bhinneka Tunggal Ika, Nilai dan Eksistensi

1. Bhinneka Tunggal Ika

Semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang tertulis di dalam pita berwarna

dasar putih yang dicengkram oleh cakar Elang Garuda Pancasila adalah

semboyan yang berasal bahasa Jawa Kuno. Frase ini sangat dalam maknanya,

karena menggambarkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, walaupun

keluar memperlihatkan perbedaan atau keragaman.

Bhinneka Tunggal Ika yang kita kenal sebagai semboyan Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan sebuah cita-cita dari para

pembangun bangsa ini. Sempalan kata-kata yang dikarang oleh Mpu Tantular
ini seakan-akan sudah menajadi suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari

Republik ini. Hal ini terjadi karena semboyan Bhinneka Tunggal Ika sudah

menjadi 4 pilar kehidupan berbangsa dan bernegara. 4 pilar ini terdiri dari

Pancasila, Undang- Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik

Indonesia.1 Bait yang dijadikan semboyan resmi Negara Indonesia ini sangat

panjang, yaitu Bhinneka Tunggal Ika.

Semboyan Bhinneka Tunggal Ika dikenal untuk pertama kalinya pada

masa Majapahit era kepemimpinan Wisnuwardhana. Perumusan semboyan

Bhinneka Tunggal Ika ini dilakukan oleh Mpu Tantular dalam kitab Sutasoma.
10
Perumusan semboyan ini pada dasarnya merupakan pernyataan kreatif dalam

usaha mengatasi keanekaragaman kepercayaan dan keagamaan.

Dalam kata utuhnya semboyan Bhinneka Tunggal Ika Kutipan tersebut

berasal dari pupuh 139, bait 5, kekawin Sutasoma yang lengkapnya sebagai

berikut:

Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa, (Konon Buddha dan Siwa


merupakan dua zat yang berbeda), Bhinnêki rakwa ring apan kena
parwanosen (Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa
dikenali), Mangkang Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal (sebab
kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal, Bhinnêka tunggal
ika tan hana dharma mangrwa (Terpecah belahlah itu, tetapi satu
jualah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran)

Semboyan resmi Negara Republik Indonesia, Bhinneka Tunggal ika

ini tidak semena-mena langsung dipilih, akan tetapi melalui proses yang cukup

panjang. semboyan itu menempuh proses kristalisasi mulai pergerakan nasional

1928 sampai berdirinya negara Republik Indonesia 1945, yang kemudian


dilanjut pembentukan panitia teknis Lencana Negara dibawah koordinator

Sultan Hamid II, dengan susunan M. Yamin sebagai ketua, Ki Hajar

Dewantara, M A Pellaupessy, Moh Natsir dan RM Ng Purbatjaraka sebagai

anggota4 pada Tanggal 10 Januari 1950, pembentukan panitia ini bertujuan

untuk membuat rancangan lambang negara dan pada akhirnya diajukan kepada

pemerintah.

Selanjutnya, dipilihlah satu rancangan dari dua yang diajukan kepada

pemerintah, yaitu karya Sultan Hamid II. Setelah terpilih, rancangan tersebut

terus dilakukan penyempurnaan setelah terjadi dialog antara Sultan Hamid II

(Perancang), Ir. Soekarno (Presiden RIS) dan Moh. Hatta.

Hasilnya merupakan kesepakatan, untuk mengganti pita yang

dicengkram oleh burung garuda. Semula Burung tersebut mencengkram pita

merah putih dan seterusnya diganti dengan pita putih bertuliskan Bhinneka

Tunggal ika. Tanggal 8 Februari kemudian, diajukan kepada Presiden RIS

Soekarno, kemudian mendapat masukan kembali dari beberapa kalangan dan

partai. Pada akhirnya diresmikanlah serta dikenalkan ke masyarakat Indonesia

di Jakarta pada tanggal 15 Februari 1950.

Bhinneka Tunggal Ika yang kemudian terurai dalam prinsip-prinsip

yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika yang dijadikan acuan bagi

bangsa Indonesia dalam berbangsa dan bernegara. Semboyan ini mengandung

adanya Unsur pluralistik dan multikulturalistik dalam kehidupan yang terikat

pada suatu kesatuan yaitu Republik Indonesia.


Semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebagaimana diungkapkan Suhandi

Sigit Dalam buku Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

mengemukakan bahwa ungkapan Bhinneka Tunggal Ika dapat ditemukan dalam

Kitab Sutasoma yang ditulis oleh Mpu Tantular pada abad XIV (empat belas) di

masa Kerajaan Majapahit. Dalam kitab tersebut Mpu Tantular menulis

“Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa, Bhinnêki rakwa ring apan kena

parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, Bhinnêka tunggal

ika tan hana dharma mangrwa” (Bahwa agama Buddha dan Siwa (Hindu)

merupakan zat yang berbeda, tetapi nilai-nilai kebenaran Jina(Buddha) dan

Siwa adalah tunggal. Terpecah belah, tetapi satu jua, artinya tak ada dharma

yang mendua).

Dengan demikian, Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan yang

merupakan kesepakatan bangsa, yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar

Republik Indonesia. Oleh karena itu untuk dapat dijadikan acuan secara tepat

dalam hidup berbangsa dan bernegara, makna Bhinneka Tunggal Ika perlu

difahami secara tepat dan benar untuk selanjutnya difahami bagaimana cara

untuk mengimplementasikan secara tepat dan benar pula

2. Nilai Bhinneka Tunggal Ika


Nilai Bhinneka Tunggal Ika bagi Bangsa Indonesia merupakan arahan,

pedoman, acuan dan tuntutan bagi setiap individu dalam bertindak dan

membangun serta memeliharan tuntutan bangsa yang terintegrasi secara

nasional demi keutuhan NKRI yang dikenal dengan masyarakat multikultur.

Nilai yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika sendiri merupakan

pegangan bagi bangsa Indonesia agar lebih mementingan kepentingan umum

baik pribadi maupun kelompok, sosial, budaya, politik dan lain-lain.

Jadi dapat disimpulkan bahwa Nilai Bhinneka Tunggal Ika merupakan

suatu simbolis beranekaragaman suku bangsa yang ada di indonesia karena

didalamnya mengandung nilai filosofis budaya yang mempersatukan Suku

Bangsa yang ada di indonesia antara lain nilai keadilan, kerukunan, toleransi,

dan sebagainya.

Dari uraian-uraian diatas, maka pemahaman Nilai Bhinneka Tunggal

Ika menurut masyarakat Suku Dayak Ngaju di Kecamatan Mantangai

Kabupaten Kapuas adalah nilai-nilai yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal

Ika merupakan sebuah filosofis dan makna dalam kehidupan sosial artinya

mereka masih memiliki kebudayaan yang kental dan kearifan lokal yang masih

lestari. Menurut Masyarakat Dayak Ngaju di Kecamatan Mantangai Kabupaten

Kapuas sendiri nilai-nilai merupakan sebuah kerukunan hidup yang harus tetap

di tanamkan dalam kehidupan karena nilai-nilai adalah hasil karya Manusia

yang mempersatukan perbedaan, pola pikir yang hidup di dalam suatu wadah

yang tergambar dalah Filosofi Huma Betang. Masyarakat Dayak di Kecamatan


Mantangai Kabupaten Kapuas masih memegang teguh semboyan dan falsafah

Huma Betang itu sendiri dari dahulu hingga sekarang yang sering ditemukan

dalam kehidupan Masyarakat Dayak Ngaju yang selalu mementingkan

kepentingan bersama, saling menghargai pendapat orang lain, sikap toleransi

tinggi, memperkokoh kekeluargaan, Belum Bahadat / Belum Harati (Bajurah,

Bajenta), dan dimasukan dalam semboyan Tingang menteng Panunjung

Tarung.

3. Eksistensi Bhinneka Tunggal Ika dalam Kehidupan Sosial

Dalam kehidupan berbangsa dan bertanah air seperti Indonesia ini,

merupakan suatu hal yang wajar terdapat kemajemukan ras, suku, dan agama.

Pancasila dengan sila-sila yang terdapat didalamnya mencita-citakan kehidupan

yang harmonis, tentram, adil, bijaksana dalam kehidupan yang layak.

Semboyan nasional Bhinneka Tunggal Ika yang dipakai oleh bangsa Indonesia

jelas mempertegas pengakuan adanya “kesatuan dalam keberagaman atau

keragaman dalam kesatuan” dalam seluruh spektrum kehidupan kebangsaan

kita. Pluralitas kehidupan bangsa Indonesia sudah sejak lama menjadi bahan

kajian para ahli antropologi, sosiologi, histori dan para pakar lainnya.

Hildred Geertz menggambarkan keberagaman kehidupan bangsa

Indonesia sebagai berikut: Terdapat lebih dari tiga ratus kelompok etnis yang
benbeda-beda di Indonesia, masing-masing kelompok mempunyai identitas

budayanya sendiri- sendiri, dan lebih dari dua ratus lima puluh bahasa

kelompok dari umat beragama itu. Setiap kelompok umat beragama (termasuk

agama yang tidak dikelola secara resmi oleh pemerintah) juga ikut bertanggung

jawab atas terciptanya toleransi dan terwujudnya kerukunan hidup antar umat

beragama di Tanah Air.

Dengan masyarakat yang majemuk atau beragam tersebut tentulah

untuk menciptakan cita-cita pancasila merupakan hal yang sulit, akan tetapi

bisa dilakukan. Dengan syarat masyarakat mau bekerja sama, menyisihkan ego

diri masing-masing dan mau mengutamakan kepentingan bersama. Semangat

Ke Bhinnekaan merupakan hal yang dapat merubah sesuatu yang awalnya tidak

mungkin dijalankan, menjadi mungkin dijalankan.

Bhinneka Tunggal Ika melambangkan suatu masayrakat yang terdiri

atas macam-macam unsur Budaya, suku, ras, dan agama. Yusri FM dalam

tulisannya disebuah jurnal pendidikan menyatakan bahwa ada tiga istilah untuk

menggambarkan masyarakat yang memiliki macam-macam unsur Budaya,

suku, ras, dan agama, yaitu pluralitas, keragaman, dan multikultural.

Lebih lanjut Yusri menjelaskan bahwa keragaman itu berpengaruh

terhadap tingkah laku, sikap, dan pola pikir manusia, sehingga manusia

memiliki cara-cara, kebiasaan, aturan-aturan bahkan adat istiadat yang berbeda

satu sama lain. Bilamana keadaan di atas tidak dapat dipahami dengan baik oleh
pihak satu dan lainnya, maka akan sangat rawan terjadi persinggungan-

persinggungan yang kemudian berbuah pada adanya konflik.

Beragamnya kultur dan budaya mengakibatkan rentan bagi timbulnya

konflik antar budaya dan kultur yang berbeda. Persoalan tersebut menjadi salah

satu penyebab utama dari terjadinya konflik sosial. Multikulturalisme sebagai

penghormatan dan penghargaan terhadap bentuk keberagamaan dan perbedaan

baik etnis, suku, agama maupun simbol-simbol perbedaan lainnya menjadi

penting untuk ditanamkan dalam dkehidupan sehari-hari.

B. Budaya
1. Pengerian Budaya

Budaya, satu kata yang tidak dapat dipisahkan dari sebuah negara

terlebih untuk Indonesia yang dikenal sebagai negara multikultural. Budaya

atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang

merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal

yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki


bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke
generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk
sistem dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan,
dan karya seni Bahasa , sebagaimana juga budaya, merupakan bagian
tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung
menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha
berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan
menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya
itu dipelajari. (agussetiaman.wordpress.com.11.07.2008)

Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat

kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku

komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak

kegiatan sosial manusia.

Beberapa alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika

berkomunikasi dengan orang dari budaya lain terlihat dalam definisi budaya:

Budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-nilai yang dipolarisasikan oleh suatu

citra yang mengandung pandangan atas keistimewaannya sendiri.”Citra yang

memaksa” itu mengambil bentuk-bentuk berbeda dalam berbagai budaya

seperti “individualisme kasar” di Amerika , “keselarasan individu dengan alam”

di Jepang  dan “kepatuhan kolektif” di Cina. Citra budaya yang brsifat

memaksa tersebut membekali anggota-anggotanya dengan pedoman mengenai

perilaku yang layak dan menetapkan dunia makna  dan nilai logis  yang dapat

dipinjam anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa

bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka.

Dengan demikian, budayalah yang menyediakan suatu kerangka yang

koheren untuk mengorganisasikan aktivitas seseorang dan memungkinkannya

meramalkan perilaku orang lain.

Kebudayaan-kebudayaan bangsa sekarang sudah mulai luntur dari

masyarakat kita karena masyarakat kita khususnya para pemuda lebih condong
senang meniru budaya-budaya luar dari pada budaya asli kita sendiri. Sebagai

contoh para remaja putri atau pemudi kita lebih senang meniru memakai celana

pendek seperti remaja putri atau pemudi bule yang ternyata merupakan

kebudayaan barat yang mereka anggap dapat membuat mereka lebih cantik dari

pada memakai pakaian yang menutup anggota tubuh yang merupakan salah ciri

khas kita sebagai negara yang penuh sopan santun dan keramahannya. Remaja

sekarang ini berbeda jauh dengan remaja-remaja zaman dulu. Jika remaja dulu

cenderung aktif, kreatif, ulet dan mau berusaha sedangkan remaja sekarang ini

sudah dimanjakan dengan peralatan serba canggih dan makanan instan, dan

kebanyakan tidak mau berusaha dengan keras, sebagi generasi penerus

hendaknya kita harus berusaha lebih keras . Zaman yang serba ada ternyata

mampu membuat seorang menjadi pemalas dan lamban dalam berfikir serta

bertindak.

Nasib bangsa Indonesia dan nilai-nilai kebudayaan sangat tergantung

kepada kemampuan penalaran, skill, dan manajemen masyarakat khususnya

kaum muda sebagai generasi penerus. Sayang sekali sampai dengan saat ini,

masyarakat Indonesia mengalami krisis kebudayaan. hal ini disebabkan

Kebudayaan asli bangsa Indonesia dibiarkan merana, tidak terawat, dan tidak

dikembangkan oleh pihak-pihak yang berkompeten.

Bahkan kebudayaan asli bangsa terkesan dibiarkan mati merana

digerilya oleh kebudayaan asing khususnya kebudayaan barat. Watak-watak

negatif masyarakat Indonesia seperti munafik, feodal, malas, tidak suka


bertanggung jawab, suka gengsi dan prestis, dan tidak suka bisnis, harus

dihilangkan dan diganti dengan watak-watak yang baik.

Semangat rakyat yang senang bergotong royong dalam menyelesaikan

suatu pekerjaan, bermusyawarah memutuskan cara penyelesaian masalah sudah

sangat jarang terlihat. Nilai-nilai kebudayaanpun sudah mulai hilang terlindas

oleh kemajuan jaman . Dahulu, nilai gotong royong sangat terasa sekali, jika

ada tetangga yang melaksanakan hajatan. Ketika petani mau menanam padi

atau kedelai di ladang atau panenan, pasti tidak bayar, upahnya hanya makan

pagi dan siang atau makan kecil. Jadi, kalau ada diantara mereka menanam atau

memanen, maka warga yang lainnya ikut gotong royong dan begitu sebaliknya,

terjadi semacam barter tenaga. Sekarang keadaanya telah bergeser, kalau mau

bercocok tanam atau panenan sudah harus memperhitungkan upah. Bahkan

sekarang jika ada kentongan dipukul untuk bergotong royong di rumah

tetangga, banyak orang yang berfikir praktis, cukup memberi uang dan tidak

udah ikut gotong royong.

Adanya desakan ekonomi pasar yang kuat, memang terlalu sulit dan

berat untuk mempertahankan model gotong royong seperti diatas, dan memang

tidak harus dipertahankan benar-asal proporsional. Pola pikir praktis dengan

hanya memberi uang tanpa mau terlibat gotong royong jelas merupakan

pertanda erosi nilai dan munculnya nilai baru yakni indivualisme pada

masyarakat perdesaan, Munculnya nilai individualisme ini terjadi karena


semakin terbatasnya kepemilikan tanah yang banyak dikuasai oleh tuan tanah

lokal atau masuknya petani berdasi dari kota.

Sebenarnya jika kebudayaan asli kita yang sangat banyak ini dapat kita

manfaatkan dengan baik, dapat menjadi penyumbang pendapatan negara kita

yang cukup besar dengan menjadikan budaya asli kita dapat kita jadikan

sebagai objek wisata. Dengan dijadikan sebagai objek wisata maka tentunya

devisa akan bertambah. sekarang ini memang kebudayaan kita mulai menjadi

salah satu ikon sebagai objek wisata tetapi masih kurang maksimal. Saat ini

banyak sekali kamelut bangsa bermunculan.

Perubahan pada tingkat global dipengaruhi oleh pola hubungan antar

negara. Negara berkembang cenderung hanya sebagai “objek” perubahan yang

dihasilkan oleh negara maju. Berbagai teori yang menjelaskan hubungan antar

negara memberi gambaran bahwa peran negara maju dalam modernisasi

menghasilkan gejala globalisasi. Globalisasi ini yang meluluhlantakan nilai

budaya tradisional.

Ketidakpuasan akan modernisasi melahirkan pemikiran post-

modernisasi yang mencoba menolak pengaruh perkembangan ekonomi

terhadap perubahan budaya. Berbagai pengalam telah membuktikan bahwa

perubahan di tingkat global tidak hanya dimonopoli oleh negara maju saja,

namun negara berkembang memiliki peran dalam perubahan global tersebut.

Munculnya ide pembangunan berbasisi lokalitas dapat dikatakan

sebagai bentuk perlawanan terhadap modernisasi ini. Keberhasilan


pembangunan di tingkat lokalitas diharapkan dapat membawa perubahan di

tingkat global utamanya mengurangi ketergantungan negara berkembang

dengan negara maju.

Budaya bangsa yang luntur dan rapuh harus kita kembalikan agar

kamelut - kamelut bangsa kita ini menjadi sirna. Untuk mengembalikan

kebudayaan bangsa kita yang luntur tentunya diperlukan membuat kesadaran

masyarakat bahwa budaya bangsa kita adalah harta yang tak ternilai harganya

yang dapat mengembalikan negara kita yang penuh dengan ketentraman,

ketenangan dan pandangan dunia bahwa bangsa kita adalah bangsa yang selalu

menghargai kebudayaan bangsanya. Dan di era sekarang ini organisasi sosial

mulai meluntur bahkan ada yang tergilas oleh rasa keegoisan individu.

Di tengah gegap gempita teknologi dan inovasi baru, justru sebagian

besar masyarakat bangsa ini hidup dalam ketidakpastian, dan yang pasti

kemiskinan. Solidaritas dan kebersamaan dikesampingkan di tengah ruang

publik yang bersifat sangat individual. Manfaatnya sebagai resolusi masalah

masalah yang timbul di kemudian hari tidak tampak sebab keberadaannya

sendiri semakin tidak dihargai. Politik kekuasaan merupakan faktor yang paling

banyak menyumbangkan kondisi disfungsi ruang publik. Seharusnya,

kemiskinan bisa diatasi bila terdapat solidaritas dan kebersamaan.

Namun, karena nilai tersebut telah lama melepuh, sering kali solusi

dari kemiskinan diserahkan kepada masingmasing pribadi. Begitu sulitnya

orang untuk berjuang melawan kemiskinan, akibatnya pilihan untuk bertindak


melawan hukum ataupun berbuat kriminal menjadi jalan satu-satunya yang bisa

ditempuh.

2. Keberagaman Budaya

Sejarah membuktikan bahwa kebudayaan di Indonesia mampu hidup

secara berdampingan, saling mengisi, dan ataupun berjalan secara paralel.

Misalnya kebudayaan kraton atau kerajaan yang berdiri sejalan secara paralel

dengan kebudayaan berburu meramu kelompok masyarakat tertentu. Dalam

konteks kekinian dapat kita temui bagaimana kebudayaan masyarakat urban

dapat berjalan paralel dengan kebudayaan rural atau pedesaan, bahkan dengan

kebudayaan berburu meramu yang hidup jauh terpencil.

Hubungan-hubungan antar kebudayaan tersebut dapat berjalan terjalin

dalam bingkai ”Bhinneka Tunggal Ika” dimana bisa kita maknai bahwa konteks

keanekaragamannya bukan hanya mengacu kepada keanekaragaman kelompok

sukubangsa semata namun kepada konteks kebudayaan.

Didasari pula bahwa dengan jumlah kelompok sukubangsa kurang

lebih 700’an sukubangsa di seluruh nusantara, dengan berbagai tipe kelompok

masyarakat yang beragam, serta keragaman agamanya, masyarakat Indonesia

adalah masyarakat majemuk yang sesungguhnya rapuh. Rapuh dalam artian

dengan keragaman perbedaan yang dimilikinya maka potensi konflik yang

dipunyainya juga akan semakin tajam.


Perbedaan-perbedaan yang ada dalam masyarakat akan menjadi

pendorong untuk memperkuat isu konflik yang muncul di tengah-tengah

masyarakat dimana sebenarnya konflik itu muncul dari isu-isu lain yang tidak

berkenaan dengan keragaman kebudayaan. Seperti kasus-kasus konflik yang

muncul di Indonesia dimana dinyatakan sebagai kasus konflik agama dan

sukubangsa. Padahal kenyataannya konflik-konflik tersebut didominsi oleh isu-

isu lain yang lebih bersifat politik dan ekonomi.

Memang tidak ada penyebab yang tunggal dalam kasus konflik yang

ada di Indonesia. Namun beberapa kasus konflik yang ada di Indonesia mulai

memunculkan pertanyaan tentang keanekaragaman yang kita miliki dan

bagaimana seharusnya mengelolanya dengan benar. Sesungguhnya peran

pemerintah dalam konteks menjaga keanekaragaman kebudayaan adalah sangat

penting.

Dalam konteks ini pemerintah berfungsi sebagai pengayom dan

pelindung bagi warganya, sekaligus sebagai penjaga tata hubungan interaksi

antar kelompok-kelompok kebudayaan yang ada di Indonesia. Namun

sayangnya pemerintah yang kita anggap sebagai pengayom dan pelindung,

dilain sisi ternyata tidak mampu untuk memberikan ruang yang cukup bagi

semua kelompok-kelompok yang hidup di Indonesia.

Misalnya bagaimana pemerintah dulunya tidak memberikan ruang bagi

kelompok-kelompok sukubangsa asli minoritas untuk berkembang sesuai

dengan kebudayaannya. Kebudayaan-kebudayaan yang berkembang sesuai


dengan sukubangsa ternyata tidak dianggap serius oleh pemerintah.

Kebudayaan-kebudayaan kelompok sukubangsa minoritas tersebut telah

tergantikan oleh kebudayaan daerah dominant setempat, sehingga membuat

kebudayaan kelompok sukubangsa asli minoritas menjadi tersingkir. Contoh

lain yang cukup menonjol adalah bagaimana misalnya karya-karya seni hasil

kebudayaan dulunya dipandang dalam prespektif kepentingan pemerintah.

Pemerintah menentukan baik buruknya suatu produk kebudayaan

berdasarkan kepentingannya. Implikasi yang kuat dari politik kebudayaan yang

dilakukan pada masa lalu (masa Orde Baru) adalah penyeragaman kebudayaan

untuk menjadi “Indonesia”. Dalam artian bukan menghargai perbedaan yang

tumbuh dan berkembang secara natural, namun dimatikan sedemikian rupa

untuk menjadi sama dengan identitas kebudayaan yang disebut sebagai

”kebudayaan nasional Indonesia”. Dalam konteks ini proses penyeragaman

kebudayaan kemudian menyebabkan kebudayaan yang berkembang di

masyarakat, termasuk didalamnya kebudayaan kelompok sukubangsa asli dan

kelompok marginal, menjadi terbelakang dan tersudut. Seperti misalnya dengan

penyeragaman bentuk birokrasi yang ada ditingkat desa untuk semua daerah di

Indonesia sesuai dengan bentuk desa yang ada di Jawa sehingga menyebabkan

hilangnya otoritas adat yang ada dalam kebudayaan daerah.

Tidak dipungkiri proses peminggiran kebudayaan kelompok yang

terjadi diatas tidak lepas dengan konsep yang disebut sebagai kebudayaan

nasional, dimana ini juga berkaitan dengan arah politik kebudayaan nasional
ketika itu. Keberadaan kebudayaan nasional sesungguhnya adalah suatu konsep

yang sifatnya umum dan biasa ada dalam konteks sejarah negara modern

dimana ia digunakan oleh negara untuk memperkuat rasa kebersamaan

masyarakatnya yang beragam dan berasal dari latar belakang kebudayaan yang

berbeda.

Akan tetapi dalam perjalanannya, pemerintah kemudian memperkuat

batas-batas kebudayaan nasionalnya dengan menggunakan kekuatan-kekuatan

politik, ekonomi, dan militer yang dimilikinya. Keadaan ini terjadi berkaitan

dengan gagasan yang melihat bahwa usaha-usaha untuk membentuk suatu

kebudayaan nasional adalah juga suatu upaya untuk mencari letigimasi ideologi

demi memantapkan peran pemerintah dihadapan warganya.

Tidak mengherankan kemudian, jika yang nampak dipermukaan

adalah gejala bagaimana pemerintah menggunakan segala daya upaya kekuatan

politik dan pendekatan kekuasaannya untuk ”mematikan” kebudayaan-

kebudayaan lokal yang ada didaerah atau kelompok-kelompok pinggiran,

dimana kebudayaan-kebudayaan tersebut dianggap tidak sesuai dengan

kebudayaan nasional.

Setelah reformasi 1998, muncul kesadaran baru tentang bagaimana

menyikapi perbedaan dan keanekaragaman yang dimiliki oleh bangsa

Indonesia.

Kesadaran untuk membangun masyarakat Indonesia yang sifatnya


multibudaya, dimana acuan utama bagi terwujudnya masyarakat
Indonesia yang multibudaya adalah multibudayaisme, yaitu sebuah
ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam
kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan
(Suparlan,2016 : 29).

Dalam model multikultural ini, sebuah masyarakat (termasuk juga

masyarakat bangsa seperti Indonesia) dilihat sebagai mempunyai sebuah

kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya

seperti sebuah mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari

masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya

masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan yang seperti sebuah

mosaik tersebut.

Model multibudayaisme ini sebenarnya telah digunakan sebagai acuan

oleh para pendiri bangsa Indonesia dalam mendesain apa yang dinamakan

sebagai kebudayaan bangsa, sebagaimana yang terungkap dalam penjelasan

Pasal 32 UUD 1945, yang berbunyi: “kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah

puncak-puncak kebudayaan di daerah”.

Sebagai suatu ideologi, multikultural harus didukung dengan sistem

infrastuktur demokrasi yang kuat serta didukung oleh kemampuan aparatus

pemerintah yang mumpuni karena kunci multibudayaisme adalah kesamaan di

depan hukum. Negara dalam hal ini berfungsi sebagai fasilitator sekaligus

penjaga pola interaksi antar kebudayaan kelompok untuk tetap seimbang antara

kepentingan pusat dan daerah, kuncinya adalah pengelolaan pemerintah pada

keseimbangan antara dua titik ekstrim lokalitas dan sentralitas. Seperti misalnya

kasus Papua dimana oleh pemerintah dibiarkan menjadi berkembang dengan


kebudayaan Papuanya, namun secara ekonomi dilakukan pembagian kue

ekonomi yang adil. Dalam konteks waktu, produk atau hasil kebudayaan dapat

dilihat dalam 2 prespekif yaitu kebudayaan yang berlaku pada saat ini dan

tinggalan atau produk kebudayaan pada masa lampau.

3. Upaya Melestarikan Budaya Indonesia

Tugas utama yang harus dibenahi adalah bagaimana mempertahankan,

melestarikan, menjaga, serta mewarisi budaya lokal dengan sebaik-baiknya agar

dapat memperkokoh budaya bangsa yang akan megharumkan nama Indonesia.

Dan juga supaya budaya asli negara kita tidak diklaim oleh negara lain.Berikut

beberapa hal yang dapat kita simak dalam rangka melestarikan budaya.

Keaneka ragaman budaya lokal yang ada di Indonesia

Indonesia memiliki keanekaragaman budaya lokal yang dapat dijadikan sebagai

ke  aset yang tidak dapat disamakan dengan budaya lokal negara lain. Budaya

lokal yang dimiliki Indonesia berbeda-beda pada setiap daerah.

Tiap daerah memiliki ciri khas budayanya, seperti rumah adat, pakaian

adat, tarian, alat musik, ataupun adat istiadat yang dianut. Semua itu dapat

dijadikan kekuatan untuk dapat memperkokoh ketahanan budaya bangsa dimata

Internasional.

Kekhasan budaya Indonesia kekhasan budaya lokal yang dimiliki

setiap daerah di Indonesia memliki kekuatan tersediri. Misalnya rumah adat,


pakaian adat, tarian, alat musik, ataupun adat istiadat yang dianut. Kekhasan

budaya lokal ini sering kali menarik pandangan negara lain.

Terbukti banyaknya warga asing yang  mempelajari budaya Indonesia

seperti belajar tarian khas suat daerah atau mencari barang-barang kerajinan

untuk dijadikan buah tangan. Ini membuktikan bahwa budaya bangsa Indonesia

memiliki ciri khas yang unik. Kebudayaan Lokal menjadi sumber ketahanan

budaya bangsa Kesatuan budaya lokal yang dimiliki Indonesia merupakan

budaya bangsa yang mewakili identitas negara Indonesia. Untuk itu, budaya

lokal harus tetap dijaga serta diwarisi dengan baik agar budaya bangsa tetap

kokoh.

Kurangnya kesadaran masyarakat kesadaran masyarakat untuk

menjaga budaya lokal sekarang ini masih terbilang minim. Masyarakat lebih

memilih budaya asing yang lebih praktis dan sesuai dengan perkembangan

zaman. Hal ini bukan berarti budaya lokal tidak sesuai dengan perkembangan

zaman, tetapi banyak budaya asing yang tidak sesuai dengan kepribadian

bangsa. Budaya lokal juga dapat di sesuaikan dengan perkembangan zaman,

asalkan masih tidak meningalkan ciri khas dari budaya tersebut.

Kurangnya pembelajaran budaya pembelajaran tentang budaya, harus

ditanamkan sejak dini. Namun sekarang ini banyak yang sudah tidak

menganggap penting mempelajari budaya lokal. Padahal melalui pembelajaran

budaya, kita dapat mengetahui pentingnya budaya lokal dalam membangun


budaya bangsa serta bagaiman cara mengadaptasi budaya lokal di tengan

perkembangan zaman.

Minimnya komunikasi budaya Kemampuan untuk berkomunikasi

sangat penting agar tidak terjadi salah pahaman tentang budaya yang dianut.

Minimnya komunikasi budaya ini sering menimbulkan perselisihan antarsuku

yang akan berdampak turunnya ketahanan budaya bangsa.

Indonesia dipandang dunia Internasional karena kekuatan budayanya

apabila budaya lokal dapat di jaga dengan baik, Indonesia akan di pandang

sebagai negara yang dapat mempertahankan identitasnya di mata

Internasioanal. Kuatnya budaya bangsa, memperkokoh rasa persatuan usaha

masyarakat dalam mempertahankan budaya lokal agar dapat memperkokoh

budaya bangsa, juga dapat memperkokoh persatuan. Karena adanya saling

menghormati antara budaya lokal sehingga dapat bersatu menjadi budaya

bangsa yang kokoh.

Kemajuan pariwisata Budaya lokal Indonesia sering kali menarik

perhatian para turis mancanegara. Ini dapat dijadikan objek wisata yang akan

menghasilkan devisa bagi negara. Akan tetapi hal ini juga harus diwaspadai

karena banyaknya aksi pembajakan  budaya yang mungkin terjadi.

Multikulturlarisme Dalam artikelnya, Junaidi SS (2005 : 16)

mengatakan bahwa multikulturalisme meberikan peluang bagi kebangkitan

etnik dan kudaya lokal Indonesia. “Dua pilar yang mendukung pemahaman ini

adalah pendidikan budaya dan komunikasi antar budaya”.


Perubahan lingkungan alam dan fisik Perubahan lingkungan alam dan

fisik menjadi tantangan tersendiri bagi suatu negara   untuk mempertahankan

budaya lokalnya. Karena seiring perubahan lingkungan alam dan fisik, pola

piker serta pola hidup masyakrkat juga ikut berubah. Kemajuan teknologi

meskipun dipandang banyak memberikan banyak manfaat, kemajuan teknologi

ternyata menjadi salah satu factor yang menyebabkan ditinggalkannya budaya

lokal.

C. Budaya Huma Betang Suku Dayak Ngaju

1. Huma Betang

Bila melihat sejarah Huma Betang ada banyak hal yang menjadi aspek

kenapa Huma Betang itu ada, pada masyarakat Kalimantan Tengah Huma

Betang bukan hanya sekedar tempat tinggal namun mempunyai maksud dan

tujuan mengapa Huma Betang tersebut ada.

Huma betang dapat dikatakan sebagai ciri khas rumah adat bagi

masyarakat Kalimantan Tengah. Hal inilah yang nantinya akan melandasi

adanya Huma Betang bila dilihat dari kontek saat itu maka tidaklah heran

bahwa Huma Betang itu berdiri dan menjadi rumah bagi masyarakat
Kalimantan Tengah. Mengenai model bangunan perlu disampaikan bahwa

Huma Betang menyerupai rumah panggung yang apabila dilihat dari model

dan kontruksi bangunan Huma Betang tersebut tinggi dan memanjang, secara

tidak langsung hal tersebut merujuk kepada maksud dan tujuan. Secara garis

besar tinggi dari pada Huma Betang tersebut berkisar tiga sampai lima meter

dari permukaan tanah dan panjang bangunan diperkirakan mencapai 150 dan

lebar sampai dengan 30 meter.

Namun betang-betang yang ada di Kalimantan Tengah mulai dari

tinggi dan panjangnya bervariasi artinya setiap betang yang dibangun tidak

sama bila dilihat dari tinggi maupun panjang bangunan Huma Betang tersebut

tergantung dari pada penghuni. Pada dasarnya ada banyak aspek yang

mendasari Huma Betang tersebut khususnya pada masyarakat dayak

Ngaju.Aspek-aspek yang dimaksudkan adalah gejala alam, hal keamanan dari

serangan musuh.

Aspek yang pertama, adanya Huma Betang tersebut yaitu untuk

mengantisipasi luapan air hujan atau menghindari datangnya banjir pada musim

penghujan yang mengancam daerah-daerah di hulu sungai di Kalimantan

Tengah karena baik Betang ataupun kehidupan masyarakat Kalimantan Tengah

lebih dekat dengan sungai kahayan tempat terjadinya rutinitas masyarakat

tersebut.

Kedua dilihat dari aspek keamanan yang terbagi atas dua yaitu

menghindari dari serangan musuh atau dikenal dengan asang/kayau dengan


ancaman dari serangan binatang buas yang ingin memangsa. Lebih dari pada itu

Huma Betang adalah tempat bernaungnya puluhan bahkan ratusan kepala

keluarga yang hidup dalam satu wadah Huma Betang itu sendiri yang di bagi

hanya dengan pembatas yang dapat juga dikatakan dengan sekat sebagai

pembatas antara keluarga yang satu dengan keluarga yang lain.

Namun walaupun demikian halnya dalam Huma Betang tersebut setiap

kehidupan yang terjalin dari pada para penghuni-penghuni Huma Betang

tersebut aman, damai dan tentram sekalipun dalam perbedaan yang berbeda-

beda antara satu dengan yang lain. Inilah lah yang sekiranya tentang Huma

Betang apabila ditinjau sekilas, namun yang unik pada Huma Betang ini tidak

hanya sekedar mengetahui apa itu Huma Betang akan tetapi bila diperdalam

maka akan banyak ditemukan hal-hal yang berkaitan erat dengan nilai-nilai

yang terkandung didalam Huma Betang tersebut. Untuk mengetahui nilai-nilai

apa saja yang terkandung dalam Huma Betang tersebut maka tentu saja tidak

sampai disini.

Nilai - nilai apa saja yang terkandung di dalam Huma Betang tersebut

maka terlebih dahulu harus diketahui apa yang dimaksud dengan filosofi.

Filosofi merupakan suatu kebenaran yang dianggap benar.

Pada pembahasan sebelumnya sudah disinggung mengenai Huma

Betang, seperti yang dipaparkan pada pembahasan mengenai Huma Betang

tidak disinggung mengenai nilai-nilai yang terkandung didalam Huma Betang

tersebut sehingga menimbulkan kesan yang biasa pada bagian ini akan dibahas
mengenai filosofi Huma Betang tentang tersebut secara jelas baik dari segi

nilai-nilai atau pun budaya yang ada didalam Huma Betang itu sendiri. Untuk

diketahui bahwa filosofi Huma Betang (Rumah Betang) di Kalimantan Tengah

sangat menjunjung tinggi perdamaian dan anti-kekerasan serta hidup toleransi

yang tinggi antar-umat beragama. Lebih spesifiknya nilai-nilai yang terkandung

didalam Huma Betang tersebut melingkupi empat pilar nilai-nilai dalam Huma

Betang yaitu kebersamaan, kejujuran, kesetaraan, dan sikap saling menghargai

satu sama lain (toleransi).

2. Filosofis Huma Betang Suku Dayak Ngaju

Huma Betang adalah sebuah simbol dan filosofis kehidupan

masyarakat di Kalimantan Tengah (Kalteng) seperti padamasyarakat suku

dayak Huma Betang adalah (rumah panjang, rumah besar) merupakan Rumah

Adat Dayak.Walaupun Huma Betang sudah semakin jarang dipergunakan oleh

masyarakat Dayak, namun falsafah hidup Huma Betang masih tertanam dan

berkembang di dalam kehidupan masyarakat Suku Dayak.

Masyarakat Suku Dayak misalnya, sangat menghargai perbedaan dan

itu cermin dalam kehidupan rumah betang dimana di dalam satu keluarga biasa

terdiri dari berbagai macam kepercayaan atau Agama. Seperti Islam, Kristen
dan Hindu Kaharingan. Mereka dapat hidup rukun dan saling menghargai

walaupun berbeda-beda kepercayaan dan agama. Kekeluargaan, kegotong-

royongan, persatuan dan kesatuan merupakan sikap dan prilaku kehidupan

sehari-hari masyarakat Dayak yang tercermin dalam falsafah hidup Huma

Betang.

Huma Betang memiliki filosofi kehidupan yang sangat dalam dan

mendasar bagi masyarakat Suku Dayak. Filosofis Huma Betang diantaranya

adalah :

1. Hidup rukun dan damai walaupun terdapat banyak perbedaan.

Huma Betang dihuni oleh 1 keluarga besar yang terdiri dari berbagai agama

dan kepercayaan, namun mereka selalu hidup rukun dan damai. Perbedaan

yang ada tidak dijadikan alat pemecah diantara mereka. Seiring dengan

berkembangnya zaman, masyarakat Dayak sudah mulai meninggalkan

rumah adatnya dan beralih kepada tempat tinggal yang lebih modern.

Walaupun demikian keharmonisan tidak hanya terjadi di Huma Betang.

Seluruh masyarakat Kalimantan Tengah  selalu menjaga keharmonisan itu

dengan cara saling hormat menghormati dan juga sikap toleransi tinggi.

2. Gotongg Royong

Perbedaan yang ada tidak membuat penghuni Huma Betang memikirkan

kelompoknya sendiri. Mereka slalu bahu-membahu dalam melakukan

sesuatu, misalnya apabila ada kerusakan di Huma Betang. mereka bersama-

sama memperbaikinya, tidak memandang agama ataupun  suku. Tidak hanya


di Huma Betang, Seluruh masyarakat Kalimantan Tengah diharapkan juga

bahu-membahu dalam membangun daerahnya tidak memandang suku

bahkan agama. Dalam gotong royong pada masyarakat Suku Dayak Ngaju

biasanya dinamakan (handep/hakadohop)

3. Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan kekeluargaan.

Pada dasarnya setiap penghuni rumah menginginkan kedamaian dan

kekeluargaan. Apabila ada perselisihan akan di cari pemecahnya dengan cara

damai dan kekeluargaan. Begitu pula di Huma Betang, masyarakat Dayak

cinta damai dan mempunyai rasa kekeluargaan yang tinggi. Peristiwa

kerusuhan Sampit tahun 2001 lalu adalah masa kelam provinsi ini , dalam

kerusuhan ini terjadi antara masyarakat suku Dayak dan Masyarakat suku

pendatang dari pulau Jawa yaitu suku Madura. Perselisihan yang ada sempat

membuat provinsi ini tidak aman, perkelahian dimana-mana, termasuk

peristiwa pembantaian.

4. Menghormati leluhur

Setelah masuknya agama-agama baru seperti Hindu, Kristen, dan Islam,

banyak masyarakat Dayak berganti kepercayaan. Walaupun demikian masih

ada sebagian dari mereka yang menganut agama nenek moyang yaitu

Kaharingan. Untuk menghormati leluhur mereka, masyarakat suku Dayak

melakukan upacara adat. Upacara adat tersebut terdiri dari ritual

membongkar makam leluhur dan membersihkan tulang belulangnya untuk

kemudian disimpan di dalam sandung yang telah dibuat bersama-sama.


Darifilosofis Huma Betang diatas maka dapat disimpulkan bahwa

Budaya Betang merupakan gambaran mengenai kebersamaan dalam kehidupan

sehari-hari orang Dayak. Di dalam Huma Betang ini setiap kehidupan individu

dalam rumah tangga dan masyarakat secara sistematis diatur melalui

kesepakatan bersama yang dituangkan dalam hukum adat suku dayak.

Keamanan bersama, baik dari gangguan kriminal atau berbagai makanan, suka-

duka maupun mobilisasi tenaga untuk mengerjakan ladang.

Nilai utama yang dimiliki dalam kehidupan di Huma Betang adalah

nilai kebersamaan di antara para warga yang menghuninya, terlepas dari

berbagai perbedaan yang mereka miliki. Dari sini kita mengetahui bahwa suku

Dayak adalah suku yang menghargai suatu perbedaan. Suku Dayak menghargai

perbedaan etnik, agama, ataupun latar belakang sosial.

3. Upaya Meravitalisasi Nilai-nilai Pancasila melalui Filosofi Huma Betang

Dalam Huma Betang terdapat empat pilar falsafah hidup utama yaitu :

Kejujuran, kesetaraan, kebersamaan dan menjunjung tinggi Hukum adat dan

Hukum nasional dengan menjunjung tinggi prinsip hidup “Belom Bahadat”

(artinya hidup bertata krama dan beradab) dan “Belom Penyang Hinje Simpe”

(hidup dalam kedamaian, kebersamaan, kesetaraan, keharmonisan, toleransi,

menjunjung tinggi hukum dan kerja sama untuk meraih kesejahteraan bersama).

Empat pilar tersebut muncullah semangat persatuan, etos kerja untuk

mengelola secara bersama-sama perbedaan itu berkompetensi secara jujur,

sehingga tidak akan terjadi jurang yang memisahkan sekaligus menghancurkan.


Hendaknya semangat Kalimantan Tengah itulah yang patut kita kelola bukan

hanya sekedar warisan sebagai teladan dan kita junjung tinggi sebagai tameng

proteksi diri dari gangguan budaya asing yang sifatnya negatif.

Tidak dipungkiri tentunya bahwa globalisasi dan modernisasi itu

sendiri mempunyai dampak positif maupun nagatif ibarat dua mata pisau.

Globalisasi itu sendiri memicu semangat untuk menjadi kreatif dan inovatif

dalam berbagai hal. Individu bebas menafsirkan nilai-nilai dan simbol

budayanya, mudah dalam mengakses semua informasi yang ada dan

berkembangnya nilai-nilai global seperti demokratisasi, transparansi, persamaan

derajat, dan sebagainya.

Disisi lain tidak mustahil tumbuh suatu pandangan kosmopolitan yang

tidak selalu sejalan dengan tumbuhnya paham kebangsaan. Mudahnya akses

berbagai macam informasi baik bentuk dan isinya tidak dapat selalu diawasi

atau dicegah begitu saja. Dalam keadaan itu bisa saja mempengaruhi kesesatan

berpikir yang bertentangan dengan nilai-nilai budaya bangsa atau ideologi

negara bahkan bisa merusak nilai-nilai moral bagi yang tidak siap

menghadapinya.

Kebebasan individu dalam masyarakat sering melampaui batas dan

bila tidak ditangani dengan baik bisa merusak tatanan sosial masyarakat.

Pengaruh dan tantangan negatif yang tidak sesuai dengan pancasila perlu

diantisipasi dengan sikap yang kritis terutama terhadap gagasan-gagasan, ide-

ide yang datang dari luar. Oleh karena itu perlu adanya pemaknaan
(revitaslisasi) nilai-nilai pancasila sebagai ideologi terbuka. Pancasila selain

merupakan dasar negara, juga merupakan pandangan hidup, jiwa dan

kepribadian bangsa, cita-cita dan tujuan bangsa, falsafah hidup yang

mempersatukan bangsa yang perlu dimaknai secara arif dan bijak baik itu

pemerintah maupun seluruh komponen masyarakat. Pemaknaan kembali dan

revitalisasi nilai-nilai pancasila ini haruslah dimulai dari sosialiasasi dan

penanaman nilai-nilai pancasila kepada generasi muda penerus bangsa melalui

kearifan lokal dan pendidikan sehingga dapat membentengi generasi muda dari

ancaman dan tantangan yang dibawa arus globalisasi.

Kenapa pendidikan merupakan wadah penanaman ilmu pengetahuan,

internalisasi nilai-nilai serta membentuk karakter seseorang. Gubernur

Kalimantan Tengah Agustin Teras Narang menawarkan “5K” (Lima K) sebagai

isi kongkret Karakter atau Identitas Uluh Kalteng, yaitu :

(1). kritis, yang di kalangan LSM lebih dikenal dengan istilah budaya
kritis,
(2). Konstruktif, yakni didasarkan pada keinginan untuk membangun,
(3). Kebersamaan,yakni didasarkan pada keinginan untuk bergotong
royong.
(4). Konstitusional atau aturan atau tatakrama, atau adat-istiadat dan
saling menghormati. Dengan kata lain “di mana bumi dipijak di
situ langit dijunjung”,
(5). Kesantunan, (https://kalteng.antaranews.com)

Sekalipun perlu uraian lebih rinci lagi , tapi “5K” ini bisa disebut

sebagai isi kongkret Uluh Kalteng Beridentitas Kalteng. Untuk menjelaskannya,


Di sini seluruh masyarakat terlibat, lebih-lebih dunia pendidikan, baik formal

informal maupun nonformal dan media massa.

Masyarakat Kalimantan Tengah memiliki empat pilar landasan

kehidupan yaitu:

1.     Garing Hatungku Tungket Langit, (tiga pegangan hidup seseorang yang bisa

menjadi seorang pemimpin).

a.    Kayu Gamalang Nyahu, (umat manusia harus beragama percaya

kepada Tuhan), yang sesuai dengan Pancasila pada sila Ke-1.

b.    Kayu Erang Tingang, (harus punya adat istiadat atau sopan santun),

sesuai dengan Pancasila pada sila Ke-2.

c.    Kayu Pampang Seribu, (hidup pintar harati), sesuai dengan Pancasila

pada sila Ke-2.

2.      Isen Mulang

“ Ela buli manggetu hinting bunu panjang, Isen Mulang Manetes Rantai

Kamara Ambu”. Memiliki arti “ jangan pulang sebelum memenangkan

perjuangan yang panjang, pantang mundur sebelum memutuskan tali

kemiskinan, kebodohan dan kemelaratan. sesuai dengan sila ke-3 pada

Pancasila.

3.   Hupungkal Lingu Nalatai Hapangajan Karendem Malempang

Memiliki arti “Bersatu dalam menyelesaikan suatu masalah dengan cara

mufakat sehingga segala sesuatunya dapat mencapai kesepakatan bersama.

Sesuai dengan sila Ke-4 pada Pancasila.


4.    Belom Bahadat

Artinya hidup beradat. Ketentuan belom bahadat tersebut berlaku bagi setiap

warga masyarakat Kalimantan Tengah sesuai dengan Pancasila pada sila Ke-

2. Keempat pilar kehidupan yang dimiliki masyarakat kalimantan Tengah

ini berkaitan erat dan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila yang merupakan

ideologi bangsa Indonesia.

Revitalisasi budaya lokal adalah segala kegiatan yang memungkinkan

budaya lokal itu mampu menjawab tantangan zaman, tantangan hidup hari ini

dengan menjadikan gantang penakarnya memanusiawikan manusia, kehidupan

dan masyarakat. Langkah ini merupakan tindak lanjut yang  menyusul langkah

pelestarian alias pendaftaran dan pengenalan hasil budaya leluhur guna

melawan ”lupa” dan memulihkan “ingatan kolektif” suatu komunitas sehingga

generasi kini tidak menjadi generasi yang lepas akar atau generasi yang kosong

terhadap budayanya sendiri.

Jika hanya berhenti pada pelestarian dan menganggap budaya sebagai

buah karya generasi-generasi sebelumnya merupakan ukuran atau tolak ukur

yang statis. Akan tetapi revitalisasi tersebut dapat dilakukan melalui beberapa

hal sebagai berikut:

1.     Lingkungan pendidikan

a) Pendidikan informal

Dalam setiap masyarakat, upaya untuk melanggengkan nilai dan norma yang

berlaku pada para anggotanya dilakukan melalui proses sosialisasi.


Tanggung jawab pewarisan nilai serta norma tersebut diberikan kepada

orang tua sebagai wakil generasi sebelumnya kepada anak-anaknya yang

akan melanjutkan generasinya dan berlangsung dalam kehidupan keluarga.

Keluarga sebagai lingkungan pertama pembentukan watak dan pendidikan

mestilah diberdayakan kembali. Keluarga merupakan lapangan pendidikan

yang pertama, dan pendidiknya adalah kedua orang tua. Orang tua adalah

pendidik kodrati. Maka dari itu, keluarga merupakan basis dari bangsa,

karena sangat menentukan keadaan bangsa itu sendiri.

b) Pendidikan formal

Sejalan dengan fungsi dan peranannya, maka sekolah sebagai kelembagaan

pendidikan adalah pelanjut dari pendidikan keluarga. Sekolah pada

hakikatnya bukan sekedar tempat transfer knowledge, tetapi juga dapat

dipahami sebagai proses penanaman nilai dari satu generasi ke generasi

berikutnya. Dengan memberikan mata pelajaran berbasis karakter seperti

pendidikan pancasila, agama, sejarah, muatan lokal. Seperti yang terdapat

pada Per Gub No 22/2011 tentang tata cara pelaksanaan kurikulum muatan

lokal diharapkan guru muatan lokal mampu dan sungguh-sungguh untuk

menjaga dan melestarikan kearifan lokal atau budaya daerahnya masing-

masing melalui pendidikan yang diajarkan kepada murid-murid di sekolah.

Kearifan lokal seperti nilai, norma, kebiasaan merupakan salah satu unsur

penting yang harus ditanamkan sejak dini kepada generasi penerus guna

memperkuat dan melestarikan adat budaya betang yaitu belum bahadat


(hidup bertatakrama). Adanya 12 kearifan lokal seperti bahasa dan sastra

daerah, kesenian daerah, keterampilan dan kerajinan daerah, adat istiadat dan

hukum adat, sejarah lokal, teknologi lokal, lingkungan alam, obat-obatan

tradisional, masakan tradisional, olahraga tradisional serta nilai budaya lokal

dan perspektif global diharapkan menjadi bahan ajar yang menunjang

pendidikan Mulok. Pada Budaya Betang tertanam nilai-nilai sakral yang

mengatur hidup penghuninya, seperti tata hukum, toleransi, tata aturan,

gotong royong. Selain itu juga diajarkan bagaimana kita menjaga dan

melestarikan lingkungan alam dengan tidak merusak pohon

seenaknya,menjaga situs-situs, cagar budaya dan hutan keramat.

c) Pendidikan nonformal

Lingkungan masyarakat jelas lebih luas dan memiliki pengaruh besar

terhadap keberhasilan penanaman nilai-nilai estetika dan etika. Dalam artian

yang lebih luas dapat diartikan bahwa pembentukan karakter seseorang

tergantung dari pembentukan nilai-nilai, moral dan spiritual jika seseorang

berada dalam lingkungan yang menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut. Fungsi

dan peran masyarakat dalam pembentukan karakter akan sangat tergantung

dari seberapa jauh masyarakat tersebut menjunjung norma nilai-nilai, moral

dan spiritual itu sendiri.


2.    Memberikan kesempatan yang sama terhadap seluruh masyarakat

Kalimantan Tengah untuk berpartisipasi di bidang politik, sosial dan budaya.

3.     Di bidang sosial budaya, misalnya dengan mengadakan pertunjukan seni

dan budaya.

Pancasila merupakan ideologi pemersatu bangsa yang digali dari akar

budaya bangsa Indonesia yang mengandung nilai-nilai luhur yang dijunjung

tinggi hingga sekarang, baik nilai-nilai agama, adat istiadat, kebersamaan,

keseteraan, keadilan, maupun perjuangan untuk melepaskan diri dari segala

bentuk penjajahan.

Nilai-nilai luhur ini mengkristal dalam rumusan Pancasila sebagai

perwujudan filsafat kemanusiaan yang mencerminkan hubungan manusia

dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan lingkungan alam

sekitarnya. Rumusan Pancasila ini merupakan suatu pandangan hidup yang

telah diyakini bangsa Indonesia sebagai suatu kebenaran oleh karena itu

dijadikan falsafah hidup bangsa.

Ada beberapa nilai yang dapat diaktualisasikan dari nilai-nilai luhur

Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara yaitu:

1)   Ketuhanan Yang Maha Esa

Sila pertama menuntut masing-masing warga negara Indonesia untuk

mengakui Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta dan tujuan akhir baik

dalam hati maupun dalam perilaku sehari-hari. Konsekuensinya adalah

Pancasila menuntut masing-masing umat beragama dan berkepercayaan


untuk hidup rukun dan saling menghormati walaupun berbeda-berbeda

keyakinannya. Ini merupakan nilai ketuhanan dan kemasyarakatan yang

harus dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya:

a.   Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan

kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

b.   Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang

maha Esa. Sesuai dengan landasan hidup masyarakat Kalimantan Tengah

yaitu Kayu Gamalang Nyahu, (umat manusia harus beragama, percaya

kepada tuhan).

2)      Kemanusiaan yang adil dan beradab

Sila kedua mengajak masyarakat untuk mengakui dan memperlakukan

setiap orang sebagai sesama manusia, yang memiliki martabat mulia, dan

hak-hak serta kewajiban asasi. Dengan kata lain sikap untuk menjunjung

tinggi martabat dan hak-hak kemanusian dan nilai keseteraan yang

menunjukkan tidak adanya perlakuan diskriminatif walaupun dari suku,

agama, ras, dan golongan yang berbeda. Dalam hal ini manusia harus

dilihat dari sisi kemanusiaannya bukan dari simbol-simbol yang

dimilikinya. Seperti:

a.    Mengembangkan sikap tenggang rasa dan tepa selira.


b.    Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
c.    Berani membela kebenaran dan keadilan. Sesuai dengan landasan hidup

masyarakat Kalimantan Tengah yaitu Kayu Pampang Seribu (harus


pintar harati).

3)      Persatuan Indonesia

Sila ketiga, menumbuhkan sikap masyarakat untuk mencintai tanah air,

bangsa, dan negara Indonesia, ikut memperjuangkan kepentingan-

kepentingan nasional dan loyal terhadap sesama warga negara. Sila ini

mengandung nilai persatuan, nilai perjuangan, dan semangat nasionalisme

(ke-Indonesiaan). Contoh prilaku yang sesuai dengan sila ini seperti:

a. Sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa

apabila diperlukan.

b. Mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa.

c. Mengembangkan sikap persatuan atas dasar Bhinneka Tunggal Ika.

Sesuai dengan motto hidup masyarakat Kalimantan Tengah yaitu Isen

Mulang (pantang mundur).

4)    Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan/perwakilan.

Sila keempat mengajak masyarakat untuk bersikap peka dan ikut serta dalam

kehidupan politik serta pemerintahan negara, setidaknya secara tidak

langsung, bersama dengan sesama warga atas dasar persamaan tanggung

jawab sesuai dengan kedudukannya masing-masing. Sila ini mengandung

nilai-nilai kemasyarakatan, permusyawaratan, dan saling menghormati di

antara sesama untuk mengabdi kepada bangsa dan negara berdasarkan

kedudukannya dan profesinya masing-masing. Contohnya:


a. Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia

mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama.

b. Di dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di atas

kepentingan pribadi atau golongan.

c. Tidak boleh memaksakan kehendak orang lain.

Sesuai dengan laqndasan hidup masyarakat Kalimantan tengah yaitu

Hapungkal Lingu Nalatai Hapangajan Karendem malempang, (bersatu

dalam menyelesaikan suatu masalah dengan cara mufakat, sehingga segala

sesuatunya dapat mencapai kesepakatan bersama).

5)    Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sila kelima mengajak masyarakat untuk aktif dalam memberikan sumbangan

yang wajar sesuai dengan kemampuan dan kedudukannya masing-masing

kepada negara demi terwujudnya kesejahteraan umum, yaitu kesejahteraan

lahir dan batin yang dapat dirasakan oleh seluruh warga negara Indonesia.

Sila ini mengandung nilai keadilan dan kebersamaan yang mencerminkan

keluhuran budaya bangsa.

D. Suku Dayak dan Kebudayan Dayak Ngaju

1. Suku Dayak Ngaju

Dayak atau Daya adalah nama yang oleh penduduk pesisir pulau

Borneo diberi kepada penghuni pedalaman yang mendiami Pulau Kalimantan

yang meliputi Brunei, Malaysia yang terdiri dari Sabah dan Sarawak, serta
Indonesia yang terdiri dari Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan

Tengah, dan Kalimantan Selatan . Budaya masyarakat Dayak adalah Budaya

Maritim atau bahari. Hampir semua nama sebutan orang Dayak mempunyai

arti sebagai sesuatu yang berhubungan dengan “perhuluan” atau sungai,

terutama pada nama-nama rumpun dan nama kekeluargaannya.

Kata Dayak berarti Daya, dalam bahasa ngaju menunjukan kata sifat

yang menunjukan pula sesuatu perkasa, dan tidak kenal menyerah. Dayak atau

daya adalah Suku-suku asli yang mendiami Pulau Kalimantan, lebih tepat lagi

adalah yang memiliki Budaya terestrial (daratan, bukan budaya maritim).

Sebutan ini adalah sebutan umum karena Orang Dayak terdiri dari beragam

Budaya dan bahasa. Dalam arti sempit, Dayak hanya mengacu pada Suku

Ngaju (Rumpun Ot Danum) di Kalimantan Tengah, sedangkan arti yang luas

Suku Dayak terdiri atas Enam Rumpun Suku. Suku bukit di Kalimantan Selatan

dan Rumpun Iban diperkirakan merupakan Suku Dayak yang menyebrang dari

Pulau Sumatera. Sedangkan Suku Maloh di Kalimantan Barat diperkirakan

merupakan Suku Dayak yang datang dari Pulau Sulawesi. Penduduk

Madagaskar menggunakan bahasa yang mirip dengan bahasa Maanyan, salah

satu Bahasa Dayak (Rumpun Barito).

Suku Dayak Ngaju dulunya memiliki kepercayaan lokal-genius

(kearifan lokal) dan merupakan kepercayaan yang paling awal bagi masyarakat

dayak Kalimantan Tengah khususnya di Katingan Hulu Desa Tumbang Kuai

yaitu Kaharingan atau kepercayaan “helo” Kaharingan berasal dari kata Haring
artinya hidup Tjilik dalam Nila Riwut (2003:478). Kaharingan telah ada sejak

awal penciptaan, yang diyakini oleh penganutnya yang memberikan tuntutan

kehidupan yang sempurna. Kalimat suci yang menyatakan hal tersebut yaitu

indu lambung panunjang tarung , mina timpung payun rawey, artinya

Kaharingan sebagai pegangan yang sabar dan penuh kebijaksanaan.

Pada zaman dulu disebut Kaharingan karena merupakan sebuah

kepercayaan dari nenek moyang yang tinggal di hulu-hulu sungai sebelum

masuknya agama Hindu di hulu sungai di Kalimantan Tengah yang sekarang

merupakan agama bagi masyarakat dayak di Kecamatan Mantangai Kabupaten

Kapuas.

Kaharingan lebih dikenal sebagai Keyakinan Orang Dayak zaman

dahulu, demikian lekatnya Kepercayaan ini dibuat mereka sehingga seolah-olah

sebagai Agama asli mereka. Sebenarnya tidak semua masyarakat dayak

menanamkan kepercayaan kaharingan, ada yang menyebut kepercayaan

semacam itu dengan istilah agama helu yang artinya agama zaman dahulu, dan

ada juga yang menyebutkan kepercayaan yang mereka lakukan sebagai Agama

dusun, dan biasa disebut Agama Orang Dayak.

Demikian dari sekian banyak istilah tentang Kepercayaan Suku Dayak

Ngaju sebelum masuknya Agama Hindu dan sekarang kepercayaan tersebut

diubah sesuai perkembangan zaman sehingga menjadi sebuah Agama yang

disebut dengan Agama Hindu Kaharingan. Suku Dayak Ngaju memiliki filosofi

seperti halnya dalam filosofis yang ada di Kalimantan Tengah dinamakan


Rumah Betang, Bentuk rumahnya panjang, bawah kolongnya digunakan untuk

pertenun dan menumbuk padi dan dihuni oleh lebih kurang 20 kepala keluarga.

Rumah terdiri dari 6 kamar antara lain untuk penyimpanan alat-alat perang,

kamar untuk pendidikan gadis, tempat sesajian, tempat upacara adat dan agama,

tempat penginapan dan ruang tamu. Pada kiri-kanan ujung atap dihiasi tombak

sebagai penolak mara bahaya.

Secara umum ada tokoh yang menyatakan bahawa orang Dayak ialah

salah satu kelompok asli terbesar dan tertua yang mendiami pulau Kalimantan

Tjilik Riwut (1993:231) Gagasan tentang penduduk asli ini didasarkan pada

teori migrasi penduduk ke Kalimantan Bertolak dari pendapat itu adalah

dipercayai bahawa nenek moyang orang Dayak berasal dari China Selatan,

2. Ciri Dan Kebudayaan Masyarakat Suku Dayak Ngaju

Karakter, watak, ciri unik, identitas menjadi pembicaraan dan

perhatian berbagai pihak,  ketika penurunan kualitas manusia dari atas hingga

bawah di negeri ini semakin merajalela dan mengancam keberadaan hidup

berbangsa dan negara adapun ciri dan kebudayaan masyarakat suku dayak

ngaju sebagai berikut:

1. Berburu

Suku Dayak yang hidupnya merambah di hutan-hutan mempunyai cara unik

dalam berburu binatang. Salah satunya adalah kebisaaan berburu, Suku


Dayak tidak hanya diam menunggu binatang buruanya mendekati mereka

akan tetapi mereka memanggil binatang yang diinginkannya untuk datang

mendekati mereka, caranya tergantung dari binatang apa yang mereka

buru.Misalnya, untuk binatang rusa mereka akan menirukan suara anak rusa

dengan menggunakan sejenis daun serai yang dilipat melintang dan ditiup.

Hasil tiupannya akan muncul suara seperti suara anak rusa. Karena Rusa

selalu melindungi anaknya, dengan mendengar suara ini dia merasa anaknya

membutuhkan pertolongan. Dari uraian tersebut maka dapat dikatakan di

kecamatan katingan hulu desa tumbang kuai berburu adalah suatu hal yang

biasa dilakukan untuk mendapatkan binatang buas. Berburu dapat dikatakan

( mandup, mengan dan hamburung).

2. Rumah Tradisional

Rumah tradisional yang dimiliki oleh Suku Dayak Ngaju di Kecamatan

Mantangai Kabupaten Kapuas adalah rumah panggung yaitu merupakan

rumah khas dari Kalimantan yang terdapat di berbagai penjuru Kalimantan,

terutama di daerah hulu sungai yang biasanya menjadi pusat pemukiman

Suku Dayak. Umumnya rumah Tradisional dibangun dalam bentuk

panggung dengan rentang ketinggian tiga hingga lima meter dari tanah.

Tingginya bangunan Huma Betang ini untuk menghindari datangnya banjir

pada musim penghujan yang mengancam daerah-daerah di hulu sungai di

Kalimantan.

3. Hukum adat
Hukum adat di Kecamatan Mantangai Kabupaten Kapuas memiliki hukum

Adat yang mengikat kehidupan sosial biasanya diambil secara umum baik

dalam hukum adat perkawinan, sengketa tanah dan sebagainya.

4. Agama

Agama yang dianut oleh masyarakat suku dayak di Kecamatan Mantangai

Kabupaten Kapuas adalah : Hindu kaharingan,Islam, dan Kristen.

5. Bahasa

Bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat Suku Dayak Ngaju di

Kecamatan Mantangai Kabupaten Kapuas adalah :Bahasa Dayak Ngaju

yaitu Bahasa dohoi dan Bahasa Kapuas. Contohnya dalam bahasa Dayak

Kapuas“Bara kueh asal muh” artinya dari manakah asalmu/tempatmu

tinggal. Sedangkan dalam bahasa dayak ngaju contohnya “bara kueh lewum

ikau nah” artinya dari manakah asalmu/tempatmu tinggal.

6. Mata pencaharian hidup

Mata pencaharian yang ada di Kecamatan Mantangai Kabupaten Kapuas

adalah sebagai berikut : Mandulang Emas, Berdagang Sembako, Nyadap

Karet, Berladang, Menganyam (Kerajinan Tangan), Merotan. Itulah berbagai

macam mata Pencaharian Masyarakat Suku Dayak Ngaju di Kecamatan

Mantangai Kabupaten Kapuas

E. Hasil Penelitian Yang Relevan


Berikut beberapa penelitian yang relevan yang dilakukan oleh peneliti

terdahulu:

Jurnal Gita Anggraini “Internalisasi Nilai-Nilai Pendidikan Karakter pada

Masyarakat Adat Dayak Ngaju” STKIP Muhammadiyah Sampit Kalimantan

Tengah 2016.

Indonesia mempunyai banyak nilai-nilai asli (local genuine) yang

bersumber dari kearifan lokal yang dapat dikembangkan dalam pendidikan

karakter. Salah satu kearifan lokal yang dapat dikembangkan adalah nilai-nilai

yang dianut oleh masyarakat suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah. Nilai-

nilai tersebut tecermin dalam filosofi Huma Betang yang mengajarkan nilai

toleransi dan kebersamaan, habaring hurung mengandung makna gotong

royong dan kekeluargaan, Hatamuei lingu nalatai hapangkaja karende

malempang mengandung makna saling menjaga, menghargai, menghormati dan

tidak mengecewakan/menyakiti. Serta kecintaan yang besar terhadap alam

sebagai sumber kehidupan. Proses internalisasi nilai kepada generasi berikutnya

dilakukan melalui pentauladan kaum tetua dan pemangku adat yang langsung

dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu internalisasi nilai juga

dilakukan melalui acara-acara adat dan pemberlakuan hukum adat.

Dari penelitian terdahulu ada memilki kesamaan yankni tentang suku

dayak ngaju yang dikaji dari teori kewarganagaraan dan karakter bangsa

Indonesia dalam penelitian saya mengungkapkan tentang Nilai Bhinneka


Tunggal Ika Dalam Konsep Filosofis Huma Betang Bagi Masyarakat Suku

Dayak Ngaju di Kecamatan Mantangai Kabupaten Kapuas.

F. Kerangka Berpikir

Berdasarkan tinjauan landasan teori dan penelitian terdahulu, maka dapat

dijelaskan kerangka pemikiran dalam penelitan ini, Alur pikir ini merupakan

anggapan dasar yang perlu dikaji lebih dalam dilapangan dalam sebuah penelitian.

Dalam kerangka pikir peneliti beranggapan jika semua masyarakat

memandang nilai bhinneka tunggal ika dalam konsep filosofis Huma Betang bagi

masyarakat Suku Dayak Ngaju di Kecamatan Mantangai Kabupaten Kapuas.

Maka masyarakat yang hidup di Kecamatan Mantangai Kabupaten Kapuas d

hidup aman dan harmonis ditengan – tengah perbedaan suku dan adat istiadat yang

dating dari masyarakat luar suku dayak ngaju.

Berikut ilustrasi kerangka pikir. Dapat dilihat sebagai berikut:

NILAI BHINNEKA FILOSOFIS HUMA


TUNGGAL IKA BETANG

MASYARAKAT DAYAK
NGAJU
Dari gambar diatas terlihat yang paling utama adalah menjunjung tinggi

nilai – nilai budaya dalam stiap masyarakat yang kemudian budaya itu akan

helahirkan nilai – nilai yang terkandung di dalam budaya tersebut seperti nilai –

nilai filosofis Huma Betang bagi masyarakat dayak ngaju.

Dari nilai filosofis itu melahirkan sebuah nilai budaya yang sangat mahal

harganya terutama bagi masyarakat dayak ngaju yang selalu menjunjung tinggi

kebersamaan dan persaudaraan antar penduduk yang memiliki perbedaan budaya

rasa hormat dan toleransi ini bagi masyarakat dayak ngaju adalah cerminan nilai

Bhinneka Tunggal Ika.


56

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode kualitatif yang

digunakan untuk mengetahui hasil data yang berupa kata - kata tertulis

maupun lisan dari orang-orang atau perilaku yang diamati, baik secara

observasi, wawancara maupun dokumentasi.

Berdasarkan uraian diatas, ada lima ciri utama penelitian kualitatif

(Burhan, Bungin 2001: 51), yakni:

1. Bersifat deskriptif
2. Mempunyai setting alami
3. Cenderung menggunakan pendekatan induktif
4. Lebih menekankan proses kerja
5. Memberi titik tekan pada makna, yaitu fokus langsung dengan
masalah kehidupan manusia.

Adapun tujuan penelitian dengan menggunakan data kualitatif ini

adalah untuk mengetahui hasil data deskriptif baik yang berupa kata-kata

tertulis maupun lisan dari orang-orang yang menjadi subjek penelitian.

Adapun yang dimaksud dengan penelitian kualitatif yaitu penelitian


yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang
dialami oleh subjek penelitian secara holistik, dan dengan cara
deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks
khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode
ilmiah (Moleong, 2009:6)

“Penelitian kualitatif menurut Eddy Lion dan Helmuth 2013:17

berusaha mengungkapkan berbagai masalah yang terdapat dalam indikator,

56
57

kelompok, masyarakat atau gagasan dalam kehidupan sehari-hari secara

menyeluruh, atau juga kalimat”

Berdasarkan kutipan di atas, metode kualitatif digunakan untuk

melihat dan menjelaskan fakta-fakta yang terjadi pada saat ini.

Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang


berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti
pada kondisi objek yang alamiah, (sebagai awalnya adalah
ekseprimen) dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci,
pengambilan sample sumber data dilakukan secara porposive dan
snuwboal, teknik pengumpulan dengan terianggulasi (Gabungan),
analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif
lebih menekankan makana dari pada generalisasi. (Sugiyono 2012 :
15)

Pada penelitian kualitatif data yang didapat dan dihasilkan dari

wawancara dipergunakan peneliti sebagai data dan peneliti menjadi instrumen

penting didalamnya. Dengan demikian diharapkan penelitian ini mampu

mencapai tujuan umum yaitu Nilai Bhinneka Tunggal Ika Dalam Konsep

Filosofis Huma Betang Bagi Masyarakat Suku Dayak Ngaju di Kecamatan

Mantangai Kabupaten Kapuas.

B. Kehadiran Peneliti

Kehadiran peneliti tentu akan mencari data, pada dasarnya merupakan

bahan mentah yang berhasil dikumpulkan oleh peneliti oleh dunia yang

ditentukan oleh peneliti, misalnya buku harian, foto, dokumen resmi ataupun

juga artikel dalam majalah atau surat kabar.


58

Ada beberapa ciri umum, yang membuktikan bahwa manusia sebagai

instrument yaitu sebagai berikut :

- Responsif : Manusia sebagai responsif terhadap lingkungan dan terhadap

pribadi- pribadi yang menciptakan lingkungan.

- Dapat menyesuaikan diri.

- Menekankan keutuhan : Manusia sebagai instrument memanfaatkan

imajinasi dan kretifitasnya dan memandang dunia ini sebagai suatu

keutuhan.

- Mendasarkan diri atas perluasan pengetahuan, sewaktu bekerja di lapangan

penelitian, dasar-dasar pengetahuannya, secara didasari ataupun tidak,

membimbingnya melakukan kegiatan lapangan tersebut.

- Memproses data secepatnya, dengan cara mengumpulkan semua data

menjadi lengkap dan dapat menunjukkan bahwa hasil data itu sudah

lengkap.

- Memanfaatkan kesempatan untuk mencari respons yang tidak lazim dan

idiosinkratik. Artinya menggali informasi yang lain dan lebih dalam untuk

melengkapi informasi yang ada.

Seperti bertanya kepada tokoh masyarakat tentang bagaimana

sebenarnya atau berjalan sejauh manakah Nilai Bhinneka Tunggal Ika Dalam

Konsep Filosofis Huma Betang Bagi Masyarakat Suku Dayak Ngaju di

Kecamatan Mantangai Kabupaten Kapuas.

Pada waktu penelitian berjalan, peneliti harus berusaha sendiri untuk

mengetahui apakah kenyataan yang sebenarnya sesuai dengan apa yang


59

telah diutarakan oleh subyek atau sampel. Seperti pendapat Oleh karena

itu,validitas dan relibilitas data kualitatif banyak bergantung pada

keterampilan metodologi,kepekaan,dan integritas penelitian sendiri. (Dede

Oetomo,2007:186).

Dari pendapat diatas menyatakan bahwa catatan yang dibuat

dilapangan sangat berbeda dengan catatan lapangan. Catatan itu berupa

coretan seperlunya yang sangat dipersingkat dan hanya sebagai alat perantara

antara yang dilihat, didengar dan di catatan sebenarnya dalam bentuk catatan

lapangan. Catatan itu baru diubah kedalam catatan yang lengkap dan

dinamakan catatan lapangan setelah peneliti tiba di rumah.

Hal ini sejalan dengan salah satu pendapat (Moleong, 2009: 153)

menyatakan “Catatan lapangan adalah catatan tertulis tentang apa yang

didengar, dilihat, dialami dan difikirkan dalam rangka pengumpulan data dan

refleksi terhadap data dalam penelitian kualitatif”,

C. Lokasi penelitian

Yang menjadi lokasi penelitian ini adalah di Kecamatan Mantangai

Kabupaten Kapuas. Yang menjadi alasan pemilihan lokasi penelitian ini yaitu

di Kecamatan Mantangai Kabupaten Kapuas yakni sebagain besar masyarakat

Mantangai pada umumnya terlibat dalam kerusuhan etnis beberapa tahun

yang lalu dan apakah nilai – nilai Nilai Bhinneka Tunggal Ika ini masih

dijunjung tinggi sampai saat ini atau sebaliknya oleh kerna itu peneliti

membuktikan dalam sebuah penelitian.


60

D. Sumber Data

Dalam penelitian ini data tidak dipandang sekedar apa yang diberikan

alam, melainkan merupakan hasil interaksi antara peneliti dengan sumber

data. Tahap-tahap yang dilakukan dalam penelitian berupa penempatan

subjek penelitian informasi yang dilakukan. pengumpulan data yang

digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: observasi, wawancara,

studi kepustakaan dan dokumentasi. Adupaun jumlah informan dalam

penelitian ini yakni 7 orang. Dengan rincian sebagai berikut: 1 orang Kepala

Desa, 1 Demang Kepala Adat Dayak Ngaju, 1 Orang Mantir adat. 1 orang

Tokoh Masyarakat. 1 Orang Tokoh Agama 1 orang Tokoh Pemuda dan 1

orang Tokoh Pendidik.

E. Prosedur Pengumpulan Data

pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut: observasi, wawancara, studi kepustakaan dan dokumentasi.

Sedangkan teknik penggunaannya dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Observasi

Observasi menurut Sugiyono (2012: 145) yaitu “observasi sebagai

teknik pengumpulan data yang mempunyai ciri spesifik berkenaan dengan

perilaku manusia, proses kerja, gejala-gejala alam, dan responden yang

diamati tidak terlalu besar”.Proses observasi ini, peneliti dapat mengamati

situasi-situasi yang ada di lapangan dengan mencatat apa-apa yang

dianggap penting guna menunjang terhadap tujuan penelitian. Observasi


61

ini memberikan kemudahan terutama dalam hal memperoleh data di

lapangan.

Yang diobservasi dalam suatu penelitian kualitatif lazimnya suatu

situasi sosial tertentu. Setiap situasi sosial setidak-tidaknya mempunyai

tiga elemen utama yaitu :

a) Lokasi / fisik tempat sesuatu itu berlangsung.

b) Manusia-manusia pelaku dan aktor yang mendukung status / posisi

tertentu dan memainkan peran-peran tertentu.

c) Kegiatan atau aktifitas para pelaku pada lokasi/tempat berlangsungnya

suatu situasi sosial.

2. Wawancara

Wawancara, adalah Sebuah dialog yang dilakukan oleh

pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara. Dalam

menggunakan tekhnik wawancara ini, keberhasilan dalam mendapatkan

data atau informasi dari obyek yang diteliti sangat bergantung pada

kemampuan peneliti dalam melakukan wawancara.

Yang dilakukan oleh pewawancara agar proses wawancaranya

berhasil ialah kemauan mendengar dengan sabar, dapat melakukan

interaksi dengan orang lain secara baik, dapat mengemas pertanyaan

dengan baik, dan mampu mengalaborasi secara halus apa yang sedang

ditanyakan jika dirasa yang diwawancarai belum cukup memberikan

informasi yang di harapkan tentu saja wawancara yang dilakukan oleh

penulis adalah wawancara yang mendalam.


62

Penulis mengadakan tatap muka dan wawancara langsung dengan

masyarakat yaitu: Kepala Desa, Demang Kepala Adat, Mantir Adat,

Tokoh Masyarakat. Tokoh Agama, Tokoh Pemuda dan Tokoh

Pendidikan. di Kecamatan Mantangai Kabupaten Kapuas. Hal ini di

lakukan agar dapat diperoleh informasi yang akurat dari informen tesebut.

3. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan ini penulis menggunakan dan mempelajari

buku-buku dan bahan lainnya yang mempunyai hubungan dengan masalah

yang diteliti baik menggunakan buku yang didapatkan di ruang kuliah, di

perpustakaan Universitas Palangka Raya.

4. Dokumentasi

Dokumentasi adalah alat untuk mencari data yang bersifat tertulis,

seperti buku – buku laporan, profil dari Kepala Desa. Data-data yang

dicari melalui dokumentasi, seperti data-data adat dayak, proses

administrasi dan lain-lain, yang didapat dari hasil wawancara atau

pembicaraan tatap muka secara langsung dengan pihak masyarakat di

Kecamatan Mantangai Kabupaten Kapuas. Metode pencarian data ini

sangat bermanfaat karena dapat dilakukan dengan tanpa mengganggu

obyek atau suasana penelitian.

F. Analisis Data

Sebagaimana pendapat (Lexy Moleong .2009: 103) Mendefenisikan

bahwa analisa data peneliti adalah: “Sebagai proses mengorganisasikan dan


63

mengurutkan data kedalam pola, kategori, dan suatu uraian dasar sehingga

dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang

disarankan oleh data”

Berdasarkan semua itu maka peneliti mengolah data kualitatif

sehingga dapat diambil suatu kesimpulan atau makna yang valid serta

metode yang sebaiknya untuk menganalisis data kualitatif agar dapat

memehuhi syarat ilmiah dalam penelitian.

Penelitian ini menggunakan teknik analisa data kualitatif, data di

olah sehingga dapat di ambil kesimpulan atau makna yang valit, serta

metode yang sebaiknya untuk menganalisis data kualitatif agar dapat

memenuhi syarat ilmiah dalam penelitian.

Untuk menganalisis data kulalitatif yang diperoleh dari lapangan,

peneliti menggunakan proses analisa interaktif sebagaimana analisis

menurut Miles Huberman1984 dalam Sugiyuno 2012:183

Pengumpulan
data Penyajian
Data
(Display data)

Reduksi
data
Kesimpulan-kesimpulan
Penarikan/Verifikasi

Sumber Sugiyono 2012:183

Dalam pengolahan data, penulis berpedoman pada langkah-langkah

pengambilan data yang bersifat umum, yakni:


64

1. Reduksi Data

Data yang diperoleh di lapangan baik ditulis / diketik dalam

bentuk uraian atau laporan yang terinci. Dari laporan yang ada perlu

direduksi, dirangkum. Dipilih hal-hal yang penting, dicari tema atau

polanya, jadi laporan lapangan sebagai bahan “mentah” disingkatkan,

direduksi, disusun lebih sistematis, ditonjolkan pokok yang penting,

diberi susunan lebih sistematis sehingga lebih mudah dikendalikan.

Hal ini sejalan dengan pendapat Sugiyono (2018:247) Reduksi

data adalah merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan

pada hal-hal yang penting yang sesuai dengan topik penelitian, mencari

tema dan polanya, pada akhirnya memberikan gambaran yang lebih jelas

dan mempermudah untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya

2. Penyajian data (Display Data)

Menurut Sugiyono (2018:249) Reduksi data adalah merangkum,


memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang
penting yang sesuai dengan topik penelitian, mencari tema dan
polanya, pada akhirnya memberikan gambaran yang lebih jelas
dan mempermudah untuk melakukan pengumpulan data
selanjutnya. Dalam mereduksi data akan dipandu oleh tujuan yang
akan dicapai dan telah ditentukan sebelumnya. Reduksi data juga
merupakan suatu proses berfikir kritis yang memerlukan
kecerdasan dan kedalaman wawasan yang tinggi.
Setelah mereduksi data, maka langkah selanjutnya adalah

menyajikan data. Dalam penelitian kualitatif, penyajian data dapat

dilakukan dalam bentuk table, grafik, flowchart, pictogram dan

sejenisnya. Melalui penyajian data tersebut, maka data dapat

terorganisasikan, tersusun dalam pola hubungan, sehingga akan mudah

dipahami. Melalui penyajian data tersebut, maka data terorganisasikan,


65

dan tersusun sehingga akan semakin mudah dipahami (Sugiyono,

2018:249)

3. Kesimpulan dan verifikasi

Sejak semula peneliti berusaha mencari makna dari data yang

diperolehnya. Untuk itu peneliti mencoba mencari pola model, tema,

hubungan, persamaan, hal-hal yang sering muncul dan sebagainya. Jadi

dari data yang diperoleh tersebut dapat peneliti mencoba mengambil

kesimpulan, permulaan kesimpulan itu kabur, tetapi lama kelamaan

semakin jelas,karena data yang diperoleh semakin mendukung dan

verifikasi dapat dilakukan dengan singkat yaitu dengan mengumpulkan

data baru.

Sejak semula peneliti berusaha mencari makna dari data yang

diperolehnya. Untuk itu peneliti mencoba mencari pola model, tema,

hubungan, persamaan, hal-hal yang sering muncul dan sebagainya. Jadi

dari data yang diperoleh tersebut dapat peneliti mencoba mengambil

kesimpulan, permulaan kesimpulan itu kabur, tetapi lama kelamaan

semakin jelas,karena data yang diperoleh semakin mendukung dan

verifikasi dapat dilakukan dengan singkat yaitu dengan mengumpulkan

data baru

G. Pengecekan Keabsahan Data

Pelaksanaan teknik pemeriksaan didasarkan atas sejumlah kriteria

tertentu. Adapun keempat kriteria yang digunakan sesuai ( Lexy Moleong

2009: 173) adalah sebagai berikut :


66

(1) Derajat kepercayaan, yakni mencakup konsep validitas internal


dari non kualitatif. Kriteria ini berfungsi melaksanakan pikiran
sedemikian rupa sehingga tingkat penemuan dapat dicapai.
(2) Keteralihan, yakni berbeda dari validitas eksternal dari non
kualitatif. Konsep validitas itu menyatakan generalisasi suatu
penemuan dapat berlaku atau diterapkan pada semua konteks atau
populasi yang sama atas dasar penemuan yang diperoleh oleh
sampel yang secara referensi mewakili informan.
(3) Kebergantungan, merupakan subtitusi istilah realibilitas dalam
penelitian yang non kualitatif. Pada cara nonkualitatif, realibilitas
ditujukan dengan jalan mengadakan replikasi studi.
(4) Kepastian, yakni berskala dari konsep “objektivitas” menurut non
kualitatif. Non kualitatif menetapkan objektivitas dari segi
kesepakatan antar objek.

H. Tahap – Tahap Penelitian

Adapun yang dimaksud dengan tahap - tahap penelitian adalah

sebagai berikut :

a. Pengajuan judul proposal

b. Penyusunan proposal

c. Seminar proposal

d. Revisi proposal

e. Ujian skripsi

f. Waktu Penelitian

Secara umum tahapa – tahap penelitian dilakukan secara terperinci

tentang kegiatan dalam melakukan penelitian di lapangan oleh karena itu

peneliti membuat jadwal penelitian berikut ini:

Penelitian dilaksanakan selama 4 (Empat) bulan yaitu dari bulan

Maret sampai Mei Tahun 2023


67

Tabel 1
Jadwal Penelitian
No Jenis Kegiatan Bulan/Minggu Ket
Maret April Mei Juni
    2023 2023 2023 2023
    1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4  1 2 3 4
1 Persiapan Penelitian                          
a. Menyusun
Proposal
  b. Ujian Proposal                 
  c. Revisi Proposal                        
d. Menyusun
  Instrumen                          
  e. Pengumpulan data                          
f. Mempersiapkan
  Adminstrasi                          
  g. Penelitian                        
2 Pengumpulan data                          
3 Pegolahan data                          
4 Laporan Penelitian                          
5 Ujian Skripsi
6 Revisi
Catatan : Data Dapat Berubah Menyesuai dengan keadaan
68

DAFTAR PUSTAKA

Bagong Suyanto & M. Khusna Amal. (2010). Anatomi dan Perkembangan Teori
sosial (Malang: Aditya Media)

Bakrie, Masyukri. (2002) Metode Penelitian Kualitatif. Lembaga Penelitian


Universitas Palangka Raya

Bungin, Burhan. (2001) Metode Penelitian Kualitatif, Aktualisasi Metode Logis


Kearah Ragam Varia Kontemporer. Jakarta Raja Grafindo Persada.

Dede Oetomo Dalam Bagong Suyanto.Metode Penelitian Sosial. Jakarta:


kencana, 2009.

Eddy Lion dan Helmud 2013, Metode Penelitian Kuantitatif. Yogyakarta, Pusaka
antara Surabaya.

Junaidi SS (2005) Pendidikan Budaya Dan Komunikasi Antar Budaya UI-Press,


Jakarta
Lexy Moleong. (2009) Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja
Resdakarya.

Mubiyarto, (2012) Perekonomian Rakyat Kalimantan, Yogyakarta: Adytia


Medya.

Muhammad Yusri FM (2008) “Prinsip Pendidikan Multikulturalisme Ajaran


Agama-Agamadi Indonesia”, Jurnal Kependidikan Islam, Vol 3 No.2,

Riwut Nila. (2003). Maneser Panatau Tatu Hyang Menyelami Kekayaan


Leluhur. Palangka Raya : Pustaka Lima.

Riwut, Tjilik. (1993). Kalimantan Membangun : Alam dan Kebudayaan.


Yogyakarta : PT. Tiara Wacana,

Suparlan. (2016). Pendidikan Kewarganegaraan dalam Konteks. Indonesia.


Malang:

Sugiyono, (2018). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,


Kualitatif dan R & D. Bandung : PT. Alfabeta
69

Sugiyono, (2012). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,


Kualitatif dan R & D. Bandung : PT. Alfabeta

Saufius Seko (2006) Sosial Budaya Masyarakat Di Indonesia, Yogyakarta:


Gadjah Mada Universiyy Press

Sjairin, (2006). Kearifan Lokal Masyarakat di Indonesia. Jakarata Perdana


Media Group 68

Suparlan, (1999), “Kebudayaan dan Pembangunan”. Media IKA, Vol. 14, No. 2, ,
Hal. -135.Jurusan Antropologi, U.I. 2005.Suku bangsa dan Hubungan
Antar Suku bangsa,Edisi Revisi. Cetakan Kedua, Jakarta: YPKIK.

Sudarto. (2002). Metode Penelitiam Filsafat. Jakarta : Pt. Raja Grafindo

Skretariat Jendral MPR RI, 4 Pilar Kehidupan Berbangsa, 70 4 Tempo, “


Lambang Garuda Pancasila Dirancang Oleh Sultan”,
Http//m.tempo.co/rad/news/2010/01/27/063221646/lambang-garuda-
pancasila-dirancang-seorang-sultan, (Rabu, 13 Desember 2015, 7.43
WIB)

Petter L. Berger & Thomas Lucman, (2010). Tafsir Sosial Atas Kenyataan
(Jakarta; LP3S,)

Poerwadarminta, W.J.S. (2016) Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,


Jakarta.

Putra, Alhimsa (2008) Strategi Pembangunan Kebutuhan Budaya Lokal


Yogyakarta: Gadjah Mada Universiyy Press

Wahyu (2005) kearifan lokal dan Budaya Masyarakat Indonesia. Jakarata


Perdana Media Group

http://oase.kompas.com/read/2009/11/02/22075437/
Nilai.Budaya.di.Masyarakat.Kian.Luntu

https:// agussetiaman.wordpress.com.11.07.2008

https://kalteng.antaranews.com/berita/270057/teras-narang-minta-calon-emimpin-
di-kalteng-kuasai-5k

---------- 2002. UUD 1945 dan amandemen lengkap Jakarta

Anda mungkin juga menyukai