Azyumardi Azra Islamisasi 2015
Azyumardi Azra Islamisasi 2015
BAB 1
Islamisasi Nusantara;
Penjelasan Teoritis
Dan Konseptual
P
roses pengenalan dan penyebaran Islam atau Islamisasi di Nusantara
Islam disebarkan para
merupakan salah satu tema pokok dalam kajian sejarah sosial dan
penyiarnya dalam
intelektual Islam. Subyek ini bahkan menjadi perdebatan panjang, yang dakwah damai dengan
dalam batas tertentu masih berlanjut sampai sekarang ini. Hal ini karena pendekatan inklusif
masih adanya perbedaan teori, interpretasi dan perspektif berbagai ahli dalam dan akomodatif
menjelaskan proses Islamisasi tersebut. Tetapi satu hal sudah pasti; Islam terhadap kepercayaan
dan budaya lokal.
disebarkan para penyiarnya dalam dakwah damai dengan pendekatan inklusif
dan akomodatif terhadap kepercayaan dan budaya lokal.
41
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 1
42
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 1
Pedagang dari Gujarat yang datang ke Nusantara. Batu Nisan Makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik,
Sumber: Ensiklopedi Jakarta, 2005 Jawa Timur.
Sumber: Atlas Sejarah Indonesia Masa Islam, 2010
43
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 1
dihasilkan bukan hanya untuk pasar lokal, tetapi juga untuk diimpor ke kawasan
lain, termasuk Sumatera dan Jawa. Selanjutnya, dengan mengimpor batu nisan
dari Gujarat, orang-orang Nusantara juga mengambil Islam dari sana.
Teori bahwa Islam di Nusantara berasal dari Bengal tentu saja bisa dipersoalkan
lebih lanjut termasuk, misalnya, berkenaan dengan adanya perbedaan mazhab
yang dianut kaum Muslim Nusantara (Syafi’i) dan mazhab yang dipegang
kaum Muslim Bengal (Hanafi). Tetapi, terlepas dari masalah ini, teori Fatimi
yang dikemukakannya dengan begitu bersemangat gagal meruntuhkan teori
Moquette, karena sejumlah sarjana lain telah mengambil-alih kesimpulannya;
dan yang paling terkenal di antara mereka ini adalah Kern,5 Winstedt,6 Bousquet,7
Vlekke,8 Gonda,9 Schrike,10 dan Hall.11 Sebagian mereka memberikan argumen
tambahan untuk mendukung kesimpulan Moquette. Wintedt, misalnya,
44
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 1
Gujarat ditaklukkan kekuasaan Muslim. Jika Gujarat adalah pusat Islam, yang
dari tempat itu para penyebar Islam datang ke Nusantara, maka Islam pastilah
telah mapan dan berkembang di Gujarat sebelum kematian Mâlik Al-Shâlih,
tegasnya sebelum 698/1297. Marrison selanjutnya mencatat, meski laskar Teori tentang Gujarat
Muslim menyerang Gujarat beberapa kali, masing-masing 415/1024, 574/1178 sebagai tempat asal
dan 595/1197, raja Hindu di sana mampu mempertahankan kekuasaannya Islam di Nusantara
hingga 698/1297. Mempertimbangkan semua ini, Marrison mengemukakan terbukti mempunyai
teorinya bahwa Islam di Nusantara bukan berasal dari Gujarat, melainkan kelemahan-kelemahan
tertentu. Ini dibuktikan,
dibawa para penyebar Muslim dari pantai Coromandel pada akhir abad ke-13.14 misalnya, oleh
Marrison.
Teori yang dikemukakan Marrison kelihatan mendukung pendapat yang
dipegang Arnold. Menulis jauh sebelum Marrison, Arnold berpendapat bahwa
Islam dibawa ke Nusantara antara lain juga dari Coromandel dan Malabar. Ia
Arnold berpendapat
menyokong teori ini dengan menunjuk kepada persamaan mazhab fikih di
bahwa Islam dibawa ke
antara kedua wilayah tersebut. Mayoritas Muslim di Nusantara adalah pengikut Nusantara antara lain
mazhab Syafi’i, yang juga cukup dominan di wilayah Coromandel dan Malabar, juga dari Coromandel
seperti disaksikan oleh para ‘Ibn Bathûthah ketika ia mengunjungi kawasan ini. dan Malabar.
Menurut Arnold, para pedagang dari Coromandel dan Malabar mempunyai
45
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 1
Dalam kaitan ini, saya menemukan dalam kitab ‘Ajâib Al-Hind, salah satu
sumber Timur Tengah (aslinya berbahasa Persia) paling awal tentang Nusantara,
isyarat tentang eksistensi komunitas Muslim lokal di wilayah kerajaan Hindu-
Budha Zabaj (Sriwijaya). Kitab yang ditulis Buzurg b. Shahriyar Al-Ramhurmuzi
sekitar tahun 390/1000 ini meriwayatkan tentang kunjungan para pedagang
Muslim ke kerajaan Zabaj. Para pedagang Muslim ini menyaksikan kebiasaan di
kerajaan itu, bahwa setiap orang Muslim—baik pendatang maupun penduduk
lokal—yang ingin menghadap raja harus “bersila”. Kata “bersila” yang
Keijzer memandang digunakan kitab ‘Ajâ’ib Al-Hind pastilah salah satu di antara sedikit kata Melayu
Islam di Nusantara
berasal dari Mesir atas
yang pernah digunakan dalam teks Timur Tengah. Terlepas dari soal bahasa
dasar pertimbangan ini, kewajiban bersila yang disebutkan juga berlaku bagi penduduk Muslim
kesamaan kepemelukan lokal, mengisyaratkan telah terdapatnya sejumlah penganut Islam dari kalangan
penduduk Muslim penduduk asli kerajaan Zabaj.17 Sayang teks ini tidak memberi informasi tentang
di kedua wilayah apakah penduduk asli ini diislamkan para pedagang Arab tersebut. Yang jelas,
kepada mazhab Syafi’i.
“Teori Arab” ini juga
kebiasaan bersila tersebut kemudian dihapuskan oleh raja Sriwijaya setelah
dipegang oleh Niemann pedagang Oman memprotes bahwa tradisi itu tidak sesuai dengan ajaran Islam.
dan de Hollander
dengan sedikit revisi; Teori bahwa Islam juga dibawa langsung dari Arabia dipegang pula oleh Crawfurd,
mereka memandang
walaupun ia menyarankan bahwa interaksi penduduk Nusantara dengan kaum
bukan Mesir sebagai
sumber Islam di Muslim yang berasal dari pantai timur India juga merupakan faktor penting
Nusantara, melainkan dalam penyebaran Islam di Nusantara. Sementara itu, Keijzer memandang
Hadhramawt. Islam di Nusantara berasal dari Mesir atas dasar pertimbangan kesamaan
kepemelukan penduduk Muslim di kedua wilayah kepada mazhab Syafi’i. “Teori
46
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 1
Arab” ini juga dipegang oleh Niemann dan de Hollander dengan sedikit revisi;
mereka memandang bukan Mesir sebagai sumber Islam di Nusantara, melainkan Al-Attas menyimpulkan,
sebelum abad ke-
Hadhramawt.18 Sebagian ahli Indonesia setuju dengan “teori Arab” ini. Dalam 17 seluruh literatur
seminar yang diselenggarakan pada 1969 dan 1978 tentang kedatangan Islam keagamaan Islam yang
ke Indonesia mereka menyimpulkan, Islam datang langsung dari Arabia, tidak relevan tidak mencatat
dari India; tidak pada abad ke-12 atau ke-13 melainkan dalan abad pertama satu pengarang
Hijri atau abad ke-7 Masehi.19 Muslim India, atau
karya yang berasal
dari India. Pengarang-
Di antara pembela tergigih “teori Arab” atau, sebaliknya, penentang terkeras pengarang yang
“teori India” adalah Naguib Al-Attas. Seperti Marrison, ia juga tidak bisa menerima dipandang kebanyakan
penemuan epigrafis yang disodorkan Moquette sebagai bukti langsung bahwa sarjana Barat sebagai
berasal dari Arab atau
Islam dibawa dari Gujarat ke Pasai dan Gresik oleh Muslim India. Ia berpendapat,
Persia, dan bahkan
batu-batu nisan itu dibawa dari India semata-mata karena jaraknya yang lebih apa yang disebut
dekat dibandingkan dengan Arabia. Ia memandang, bukti paling penting yang sebagai berasal dari
perlu dikaji ketika membahas kedatangan Islam ke Nusantara adalah karakteristik Persia pada akhirnya
internal Islam di Dunia Melayu-Indonesia itu sendiri.20 Ia mengajukan apa yang berasal dari Arab, baik
secara etnis maupun
disebutnya “teori umum tentang Islamisasi Nusantara”, yang harus didasarkan
kultural. Nama-nama
terutama pada sejarah literatur Islam Melayu-Indonesia dan sejarah pandangan- dan gelar-gelar para
dunia Melayu seperti terlihat dalam perubahan konsep-konsep dan istilah-istilah pembawa pertama
kunci dalam literatur Melayu-Indonesia pada abad ke-10-11/16-17.21 Islam ke Nusantara
menunjukkan bahwa
mereka adalah orang-
Demikianlah, setelah mempertimbangkan perubahan-perubahan utama dalam orang Arab atau Arab-
pandangan dunia rakyat di Nusantara yang disebabkan kedatangan Islam, Al- Persia.
Attas menyimpulkan, sebelum abad ke-17 seluruh literatur keagamaan Islam
yang relevan tidak mencatat satu pengarang Muslim India, atau karya yang
berasal dari India. Pengarang-pengarang yang dipandang kebanyakan sarjana
Barat sebagai berasal dari Arab atau Persia, dan bahkan apa yang disebut
sebagai berasal dari Persia pada akhirnya berasal dari Arab, baik secara etnis
maupun kultural. Nama-nama dan gelar-gelar para pembawa pertama Islam ke
Nusantara menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang Arab atau Arab-
Persia. Al-Attas selanjutnya menandaskan:
47
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 1
Historiografi Lokal
Terlepas dari masalah-masalah yang terdapat dalam argumen Al-Attas ini, yang
jelas, ia sangat menekankan bahwa Islam di Nusantara berasal langsung dari
Arab. Argumennya ini selaras dengan apa yang diceritakan oleh historiografi
lokal tentang Islamisasi di dunia mereka. Meski historiografi lokal ini sering
bercampur dengan mitos dan legenda,23 tetapi ada baiknya kita mendengarkan
apa yang mereka ceritakan.
Menurut Hikayat Raja-raja Pasai (ditulis setelah 1350),24 seorang Syaikh ‘Ismâ’îl
datang dengan kapal dari Makkah via Malabar ke Pasai—di sini ia membuat
Merah Silau, penguasa setempat, masuk Islam. Merah Silau kemudian
mengambil gelar Mâlik Al-Shâlih yang, seperti dicatat terdahulu, wafat pada
698/1297. Seabad kemudian, sekitar 817/1414, menurut Sejarah Melayu (ditulis
setelah 1500), penguasa Malaka juga diislamkan oleh Sayyid ‘Abd Al-‘Azîz,
seorang Arab dari Jeddah.25 Begitu masuk Islam, penguasa itu, Parameswara,
mengambil nama dan gelar Sultan Muhammad Syah. Historiografi Melayu
lainnya, Hikayat Merong Mahawangsa, (ditulis setelah 1630),26 meriwayatkan
bahwa seorang Syaikh ‘Abd Allâh Al-Yamânî datang dari Makkah (atau
Baghdad?) ke Nusantara dan mengislamkan penguasa setempat (Phra Ong
Mahawangsa), para menterinya dan penduduk Keddah. Penguasa ini setelah
masuk Islam menggunakan gelar dan nama Sultan Muzhaffar Syah. Sementara
itu, sebuah historiografi dari Aceh memberikan informasi bahwa nenek moyang
para sultan Aceh adalah seorang Arab bernama Syaikh Jamâl Al-‘Alam, yang
dikirim Sultan Utsmani untuk mengislamkan penduduk Aceh.27 Sebuah riwayat
Aceh lainnya menyatakan, bahwa Islam diperkenalkan ke kawasan Aceh oleh
seorang Arab bernama Syaikh ‘Abd Allâh ‘Ârif sekitar 506/1111.28
48
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 1
49
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 1
50
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 1
teorinya ini dengan melihat apa yang dipandangnya sebagai konfrontasi antara
Islam dan Kristen di Timur Tengah dan Semenanjung Iberia. Menurut dia,
penyebaran Islam secara besar-besaran di Nusantara terjadi ketika pertarungan
tengah berlangsung antara Portugis melawan para pedagang dan penguasa-
penguasa Muslim di Arabia, Persia, India, dan Nusantara. Ia menyimpulkan,
penyebaran Islam dipandang sebagai kekuatan tandingan terhadap gospel
Kristen yang agresif.35 Tetapi argumen Schrieke ini sulit diterima. Karena apa
yang disebutnya “pertarungan antara Islam dan Kristen” di Nusantara paling
mungkin terjadi hanya setelah tahun 1500 ketika orang-orang Eropa mulai
datang ke Nusantara, tidak pada abad ke-12 atau ke-13, ketika berlangsungnya
Islamisasi besar-besaran di Nusantara.
Teori yang lebih masuk akal dengan tingkat aplikabilitas lebih luas dibandingkan Faktor utama
semua teori di atas disajikan oleh A.H. Johns. Dengan mempertimbangkan keberhasilan konversi
kecilnya kemungkinan bahwa para pedagang memainkan peran terpenting adalah kemampuan
para sufi menyajikan
dalam penyebaran Islam, ia mengajukan bahwa adalah para sufi pengembara
Islam dalam kemasan
yang terutama melakukan penyiaran Islam di kawasan ini. Para sufi ini berhasil atraktif, khususnya
mengislamkan sejumlah besar penduduk Nusantara setidaknya sejak abad ke- dengan menekankan
13. Faktor utama keberhasilan konversi adalah kemampuan para sufi menyajikan kesesuaian dengan
Islam dalam kemasan atraktif, khususnya dengan menekankan kesesuaian Islam atau kontunuitas,
ketimbang perubahan
dengan Islam atau kontunuitas, ketimbang perubahan dalam kepercayaan
dalam kepercayaan
dan praktik keagamaan lokal. Dengan menggunakan tasawuf sebagai sebuah dan praktik keagamaan
kategori dalam literatur dan sejarah Melayu-Indonesia, Johns memeriksa lokal.
sejumlah sejarah lokal untuk memperkuat hujahnya.36
51
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 1
Jadi, berkat otoritas karismatik dan kekuatan magis mereka, sebagian guru sufi
dapat mengawini putri-putri bangsawan dan, karena itu, memberikan kepada
anak-anak mereka gengsi darah bangsawan dan sekaligus aura keilahian atau
karisma keagamaan. Hasilnya, kesimpulan Johns, Islam tidak dapat dan tidak
menancapkan akarnya di kalangan penduduk negara-negara Nusantara atau
mengislamkan para penguasa mereka sampai Islam disiarkan para sufi, dan ini
tidak merupakan gambaran dominan perkembangan Islam di Nusantara sampai
abad ke-13.38 Teori sufi ini disokong oleh Fatimi, misalnya, yang memberikan
argumen tambahan. Ia, antara lain, menunjuk kepada sukses yang sama dari
kaum sufi dalam mengislamkan jumlah besar penduduk Anak Benua India pada
periode yang sama.39
Afiliasi ini memungkinkan para guru dan murid sufi memperoleh sarana
pendukung untuk melakukan perjalanan dari pusat-pusat Dunia Muslim ke
52
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 1
53
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 1
di banyak wilayah Dunia Muslim. Migrasi dalam jumlah besar ini turut
mempercepat konversi orang-orang dalam jumlah besar kepada Islam di Anak
Benua India, Eropa Timur dan Tenggara, dan Nusantara pada periode antara
paruh kedua abad ke-10 dan akhir abad ke-13. Seluruh proses mempunyai andil
terhadap kebangkitan yang oleh Hodgson disebut sebagai “internasionalisasi”
(“universalisasi”) Islam Sunni.43
Penutup
Memandang dari perspektif lebih luas ini, orang akan lebih memahami proses
konversi dan Islamisasi Nusantara. Jelas, terdapat sejumlah faktor yang berkaitan
satu sama lain, yang mempengaruhi seluruh proses yang ada. Tetapi, terlepas
dari kompleksitas proses konversi dan Islamisasi Nusantara itu, wilayah ini
merupakan contoh yang cukup unik dari transformasi besar keagamaan antara
mayoritas penduduknya.
Azyumardi Azra
54
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 1
Endnotes
1 Lihat, G.W.J Drewes, “New Light on the Coming Islam to Indonesia?” BKI, 124 (1968),
439-440.
2 Lihat, C.S. Hurgronje, Verspreide Geschriften, Den Haag: Nijhoff, 1924, VI, 7.
3 J.P. Moquette, “De Grafsteenen te Pase en Grisse vergeleken met dergelijke monumenten
uit Hindoestan”, TBG, 54 (1912), 536-48.
4 Lihat S.Q. Fatimi, Islam Comes to Malaysia, Singapura: Malaysian Sociological Institute,
1963, 31-32.
5 Baca artikel pendahuluan R.A. Kern dalam F.W. Stepel, Geschiedenis van Nederlandsch
Indie, I, Amsterdam: Joos van de Vondel, 1938; dan bukunya, De Islam in Indonesia, Den
Haag: 1974, 79.
6 R.O. Winstedt, “A History of Malaysia”, JMBRAS, 13, I (1935), 29.
7 G.H. Bousquet, “Intruduction a l ‘etude de l ‘Islam Indonesien”, Revue des Etudes
Islamiques, Cahier, II-III (1938), 160.
8 Lihat B.H.M. Vlekke, Nusantara: History of the East Indian Archipelago, Cambridge, Mass:
Harvard University Press, 1943, 38-9, 52, 70-1.
9 J. Gonda, Sanskrit in Indonesia, Nagpur: Internasional Academy of Indian Culture, 1952, 5.
10 Lihat B.J.O. Schrieke, Indonesian Sociological Studies, I, Den Haag dan Bandung: Van
Hoeve, 1955, khususnya Bab I.
11 D.G.E. Hall, A History of South-East Asia, London: Macmillan, 1964, 190-191.
12 Baca, R.O. Winstedt, “The Advent of Muhammadanism in the Malay Paninsula and
Archipelago”, JMBRAS, 77 (1917), 171-3.
13 Baca, Schrieke, Indonesian Sociological Studies, I, 12-5, 17.
14 Lihat G.E. Marrison, “The Coming of Islam to the East Indies”, JMBRAS, 24, I (1951), 31-7.
15 Lihat T.W. Arnold, The Preaching of Islam: A History of the Propagation of the Muslim
Faith, London: Constable, 1913, 364-5.
16 Arnold, ibid. Untuk menyokong argumennya, ia mengutip “New History of the Tang
Dynasty (608-908)”, yang melaporkan kehadiran pemimpin Arab itu pada tahun 674 M.
Bandingkan, W.P. Groeneveldt, “Notes on the Malay Archipelago and Malacca Compiled
from Chinese Sources”, VBG, 39 (1880), 13-4.
17 Untuk teks lengkap berbahasa Arab, lihat P.A. van der Lith, Kitab ‘Ajayib Al-Hind: Livre des
Marveilles de l ‘Inde, terj. Prancis L. Marcel Devic, Leiden: Brill, 1883-6, 154. Lihat glosari,
25 dan ekskursi B, “L ‘Archipel Indien”, khususnya 231-3. Untuk terj. Bahasa Inggris teks
ini, lihat P. Quennel, The Books of the Marvels of Indie, London: Routledge, 1928; G.S.P.
Freeman-Grenville, The Books of the Wonders of India, Mainland, Sea, and Island, London
J.S. Trimingham, The Sufi Orders in Islam, London: Oxford University Press, 1973, 1589
55
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 1
tentang ru’yah. Terdapat pembahasan menarik tentang pentingnya dongeng dan mitos
historis sebagai sumber informasi tentang sejarah wilayah tertentu. Lihat, Jan Vansina,
Oral Tradition: A Study in Historical Methodology, Chicago: Aldine, 1965, khususnya h.
154-7. Ia menegaskan, seluruh dongeng dan mitos merupakan tradisi resmi masyarakat-
masyarakat tertentu untuk merekam sejarah mereka. Cerita-cerita ini disampaikan oleh
para spesialis pada kesempatan resmi dan mentransmisikannya di dalam kelompok
sosial tertentu. Menurut dia, setiap jenis dongeng dan mitos mempunyai nilainya sendiri.
Dongeng historis berguna sebagai sumber informasi tentang sejarah militer, politik,
kelembagaan, dan hukum. Sedangkan dongeng didaktik memberi informasi tentang nilai-
nilai kultural, sementara mitos didaktik merupakan sumber nyang amat berguna untuk
sejarah agama.
24 Lihat, A.H. Hill (peny.), “Hikayat Raja-Raja Pasai”, JMBRAS, 33 (1960), 58-60. Lihat
pula, Russel Jones, “Ten Conversion Myths From Indonesia”, dalam N. Levtzion (peny.),
Conversion to Islam,
25 C.C. Brown (penerj.), Sejarah Melayu or Malay Annals, Kuala Lumpur: Oxford University
Press, 1970, 43-4. Bandingkan Jones, “Ten Conversion Myths”, 136-7.
26 Siti Hawa Saleh, Hikayat Merong Mahawangsa, Kuala Lumpur: University of Malaya Press,
1970, khususnya Bab 4, 5, 85-127. Bandingkan Jones, “Ten Conversion Myths”, 138-42.
27 R.H. Djajadiningrat, Kesultanan Aceh
1982/3, 12.
28 Ibid.
29 Informasi tentang proses Islamisasi di Filipina ini didasarkan pada C.A. Majul, Muslims in
the Philippines, edisi kedua, Quezon City: The University of the Philippines Press, 1979,
khususnya h. 51-72.
30 J. Hunt Esq., “Some Particulars Relating to Sulu in the Archipelago of Felicia”, dalam J.H.
Moors, Notices of the Indian Archipelago and Adjacent Contries, Singapura: 1837, 33.
31 Winstedt, “The Advent”, 175. Bandingkan Al-Attas, Preliminary, 12-3
32 Winstedt, “The Advent”, 175; Al-Attas, Preliminary, 13.
33 Lihat, J.C. van Leur, Indonesian Trade and Society, Den Haag: Van Hoeve, 1955, 72, 110-6.
34 A.H. Johns, “Muslim Mystics and Historical Writings”, dalam D.G.E. Hall (peny.), Historians
of South East Asia, London: Oxford University Press, 1961, 40-1. Bandingkan Fatimi, Islam
Comes, 90-1.
35 Schrieke, Indonesian Sociological Studies, II, 232-7.
36 A.H. Johns, “Sufism as a Category in Indonesian Literature and History”, JSEAH, 2, II
(1961), 10-23.
37 Ibid., 15.
38 Ibid., 14.
39 Lihat, Fatimi, Islam Comes, 94-8.
40 Johns, “Sufism as a Category”, 15. Lihat pula, H.A.R. Gibb, “An Interpretation of Islamic
History II”, MW, 45, II (1955), 130.
41 Lihat, R.W. Bulliet, “Conversion to Islam and the Emergence of a Muslim Society in Iran”,
dalam Levtzion (peny.), Conversion to Islam, 36.
42 Lihat, Azyumardi Azra, “The Study of the ‘Ulama’: A Preliminary Research”, thesis M.A.,
Columbia University, 1989.
43 Lihat M.G.S. Hodgson, The Venture of Islam, II Chicago: University of Chicago Press, 1974,
1-368.
56
Sejarah
Kebudayaan Islam
Indonesia