Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Dalam pendidikan Islam tentu diajarkan berbagai macam benda-benda dan
hal lainnya sehingga dengan itu semua menjadi jalan untuk memahami
keberadaan Allah SWT.1 Untuk menyiapkan generasi muda kedepannya tentu
dengan pengajaran Islam nantinya diharapkan akan memiliki kepribadian yang
spiritual.2 Pendidikan selama ini lebih diorientasikan pada tiga pilar pendidikan,
yaitu menambah pengetahuan, pembekalan keterampilan hidup (life skill), dan
menekankan cara menjadi “orang” sesuai dengan kerangka berfikir peserta
didik.3
Kehadiran dan munculnya pendidikan Islam di bumi Indonesia sangat erat
kaitannya dengan masuknya Islam di bumi pertiwi. 4 Membicarakan kedatangan
dan perkembangan Islam di Indonesia yang kejadiannya telah berlangsung lama
tentu bukanlah pekerjaan mudah. Karena penting membuktikan secara nyata atau
bisa dikatakan adanya temuan-temuan yang telah terukur oleh ahlinya sehingga
bisa disebutkan tempat dan tanggal/ bulan/ tahun kejadiannya berlangsung.
Namun tidak bisa dipungkiri banyak ahli yang ingin tahu tentang kedatangan dan
perkembangan Islam di Indoensia itu berlangsung. Sehingga memunculkan
temuan-temuan yang kadang berbeda atau bisa saja sama tentu memunculkan
teori-teori yang beragam yang dapat dijadikan referensi-referensi dalam
mengetahui kedatangan dan perkembangan Islam di Indoneisa bagi generasi saat
ini.

1
Rasyid Anwar Dalimunthe, “Hasil-hasil rumusan International Word Muslim Conference on Education tentang
Pendidikan dalam islam”.
2
Asep Muljawan & Saiful Ibad, “Pengembangan karakter spiritual keagamaan siswa dalam perspektif islam”.
3
Supriadi, “Islam dan relasi social pandangan Al-quran tentang multikulturalisme”.
4
Muslim, “Pertumbuhan institusi Pendidikan awal di Indonesia”.

1
Masuknya Islam ke Nusanatara ini tentu karena oleh para pedagang dan
penceramah dengan damai.5 Islam datang ke Timur Tengah dari rahim tempat
lahirnya, terutama Arab Saudi, kemudian menyebar ke seluruh penjuru dunia
termasuk Nusantara Asia Tenggara. Ini merupakan proses transformasi agama
dan peradaban yang mengesankan. Namun sebagai kajian sejarah, secara teoritis
penyebaran ini telah menimbulkan kompleksitas tersendiri, terutama di daerah-
daerah terpencil di luar pusat kelahirannya. Karena kompleksitas Islam,
misalnya, proses datangnya Islam ke nusantara menjadi pengkajian teoritis yang
baik dan menambah pengetahuan, misalnya, banyak sudut pandang di kalangan
sejarawan menunjukkan bukti-bukti yang berbeda. Alasan perbedaan ini adalah
fokus dari bukti yang diberikan berbeda. Beberapa menunjukkan asal waktu
kedatangan, pengangkut dan dampak yang ditunjukkan. Perbedaan yang
mencolok tentunya akan mempengaruhi kesimpulan.6
Proses Islamisasi di Indonesia berlangsung sangat rumit, kompleks dan
panjang, ini juga berdasarkan berbagai teori. Penerimaan Islam oleh masyarakat
adat secara bertahap telah mengintegrasikan Islam ke dalam tradisi, norma dan
tatanan kehidupan sehari-hari masyarakat setempat. Hal ini menunjukkan bahwa
orang Indonesia sangat mudah menerima nilai-nilai eksternal, dan ini juga
merupakan bukti keterbukaan mereka. Sikap ini juga dibarengi dengan
terbentuknya komunitas-komunitas muslim di wilayah pesisir yang semula
merupakan tempat warga lokal berinteraksi dengan manca negara.
Dari uraian di atas penulis memfokuskan pada masalah yang akan ditelaah
secara serius tentang kedatangan Islam di Indonesia dari segi kondisi politik dan
saluran-saluran Islamisasi. Selanjutnya tujuan dari pembahasan ini tentu ingin
mengetahui kedatangan dan perkembangan Islam di Indonesia serta analisa
penulis. Adapun yang menjadi implikasi dari pembahasan ini yaitu sebagai bahan

5
Juli Iswanto, “Pertumbuhan institusi politik Samudra pasai, malaka, banten, dan mataram”.
6
Moeflich Hasbullah, “Islam dan transformasi masyarakat nusantara”.

2
bacaan yang ilmiah bagi para akademisi-akademisi yang sedang belajar dalam
seputar kedatangan dan perkembangan islam di Indonesia.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan latar belakang masalah diatas, untuk memperoleh
gambaran jelas mengenai masalah penelitan yang akan di bahas, maka rumusan
masalah pada penelitian ini adalah :
1. Apakah kedatangan Islam di Indonesia mempengaruhi kondisi politik ?
2. Apakah kedatangan Islam di Indonesia dapat membuka saluran-saluran
Islamisasi ?
1.3. Tujuan Penelitian
Agar langkah yang ditempuh dapat terarah, maka perlu adanya suatu tujuan.
Adapun tujuan penelitian adalah :
1. Untuk mengetahui pengaruh atas kondisi politik di Indonesia.
2. Untuk mengetahui saluran-saluran Islamisasi di Indonesia.
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun temuan hasil penulisan dalam penelitian ini, diharapkan semoga
bermanfaat atau berguna dimasa akan datang. Merujuk pada tujuan penelitian
diatas, maka penelitian ini sekurang-kurangnya diharapkan dapat memberikan
kegunaan, yaitu :
1. Diharapkan akan memberikan wawasan ilmu pengetahuan akan kondisi
politik dan saluran-saluran Islamisasi disaat kedatangan Islam di
Indonesia.
2. Bagi penulis sendiri, dalam menulis penelitian ini agar dapat lebih
memahaminya dan dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan tentang
masalah yang diangkat.
3. Bagi pembaca umum dapat menjadikan karya ini sebagai tambahan
referensi bagi peneliti selanjutnya.
4. Memberi kontribusi wacana bagi perkembangan ilmu pengetahuan,
terutama di bidang sejarah Islam.

3
BABA II

PEMBAHASAN

3.1. Kedatangan Islam di Indonesia


Memahami perkembangan Islam di Indonesia, haruslah merunut dari awal
kedatangan Islam, melalui proses penyebaran yang mengakomodasi budaya-
budaya lokal sehingga membentuk tradisi Islam yang bercorak ke-indonesiaan.
Menurut Azyumardi Azra, para sejarawan berbeda pendapat mengenai masuknya
Islam ke Indonesia, karena berkaitan dengan tiga hal pokok yaitu tempat asal
kedatangan Islam, para pembawa Islam dan waktu kedatangannya. Walaupun ada
perdebatan mengenai mana yang datang terlebih dahulu atau teori yang lebih
tepat mengenai hadirnya Islam di Indonesia datang dari daerah mana. Tentu
penelusuran mengenai hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari rute-rute
perdagangan dan pelayaran di Indonesia yang dilakukan para pedagang dan sufi.
Dalam jangka waktu yang lama para saudagar tersebut bermukim, berbaur dan
melangsungkan perkawinan dengan masyarakat setempat. Dari hal ini terjadilah
hubungan lintas social-budaya yang terjadi antara kedua belah pihak. Beberapa
teori tentang masuknya masuknya Islam ke Indonesia, yaitu :
3.1.1. Teori India
Kebanyakan sarjana Belanda percaya bahwa kedatangan Islam datang
dari India, termasuk Pijnappel dari Leiden University, J.P Moquette dan
Snouck Hurgronje. Snouck Hurgronje meyakini bahwa abad ke-12 adalah
masa yang paling mungkin untuk penyebaran Islam di Nusantara. 7
Pijnappel mengatakan bahwa orang Arab Syafi'i berimigrasi dan menetap
di India, membawa Islam ke Nusantara. Dalam perkembangan selanjutnya,
teori tersebut dikemukakan oleh Snouck Hurgronje, yang percaya bahwa

7
Haidar Putra Daulay, “Sejarah pertumbuhan dan pembaruan Islam di Indonesia”.

4
meskipun Islam memiliki pengaruh yang kuat di kota-kota India Selatan,
banyak Muslim Dhaka tinggal di sana dan bertindak sebagai perantara
perdagangan antara Timur Tengah dan pulau-pulau. Mereka menyebarkan
Islam ke Kepulauan Melayu pertama, dan kemudian orang-orang Arab.
Namun, Snouck Hurgronje tidak secara spesifik menyebut wilayah India
Selatan, karena menurutnya itu adalah asal mula Grand Slam Nusantara,
namun ia menyebutkan bahwa itu terjadi pada abad ke-12. Ini adalah
periode yang paling mungkin sejak Islam mulai menyebar di Nusantara.
Snouck Hurgronje jarang menggunakan fakta untuk menyebut peran orang
Arab dalam penyebaran Islam di Nusantara, sehingga ia menyimpulkan
bahwa Islam di Nusantara tidak berasal dari Arabia. Di sisi lain, ia
meyakini bahwa Islam berasal dari India karena hubungan perdagangan
yang terjalin lama antara Nusantara dan India.8
Sarjana Belanda lainnya, Moquette, menyimpulkan bahwa asal muasal
Islam di Nusantara adalah Gujarat. Mirip dengan nisan lain yang
ditemukan di makam Maulana Malik Ibrahim (wafat 822/1419) di Gresik,
Jawa Timur, sebenarnya bentuknya sama dengan nisan di Cambay, Gujarat.
Berdasarkan contoh batu nisan tersebut, ia menyimpulkan bahwa batu
nisan di Gujarat tidak hanya diproduksi untuk pasar lokal, tetapi juga
digunakan untuk impor ke daerah lain, termasuk Sumatera dan Jawa. Selain
itu dengan mendatangkan batu nisan dari Gujarat, masyarakat Nusantara
juga menganut agama Islam dari sana.
Teori Gujarat adalah asal muasal Islam di Nusantara dan terlihat
memiliki kekurangan-kekurangan khusus. Misalnya, Marison
membuktikan ini. Dia percaya bahwa meskipun Fatimi mengisyaratkan
bahwa batu nisan yang ditemukan di beberapa bagian nusantara mungkin
berasal dari Gujarat atau Bangladesh, ini tidak berarti bahwa Islam juga
diperkenalkan di sana. Marisson membantah teori ini dan menunjukkan
8
Sarkawi B. Husaini, “Sejarah Masyarakat Islam Indonesia”

5
bahwa selama Islamisasi Samudra Pasai (raja pertama meninggal pada
698/1297), Gujarat pada waktu itu masih kerajaan Hindu. Hanya setahun
kemudian (699/1298), Cambe di Gujarat diperintah oleh Muslim. Ia
mengatakan bahwa jika Gujarat adalah pusat Islam dan para penyebar
Islam telah masuk ke Nusantara sejak saat itu, maka Islam akan berdiri dan
berkembang di Gujarat sebelum kematian Malik Saleh. Itu didirikan dan
dikembangkan di Gujarat sebelum 698/1297.9
Analisis penulis terhadap teori ini, memang bisa saja ada benarnya
bahwa islam datang dari india bila mana kita meninjaunya dari segi
perdagangan dan lalu lintas laut. Karena pedagang india juga aktif dalam
hal mengunjungi nusantara sebagai objek perdagangan dan juga tempat
yang tidak begitu jauh dari nusantara.
3.1.2. Teori Arab
Pandangan ini didasarkan pada kesamaan antara mazhab di
Koromandel dan Malabar dengan mayoritas Muslim (yakni sekte Syafi’i)
di Nusantara. Menurut Arnold, sejak awal abad Hijriah atau abad ketujuh
dan kedelapan Masehi, pedagang Arab telah menduduki posisi dominan
dalam perdagangan Islam Timur-Barat. Fakta-fakta dari Cina semakin
menguatkan hipotesis ini bahwa pada akhir kuartal ketiga abad ke-7, para
saudagar Arab telah menjadi pemimpin pemukiman Muslim Arab di
sepanjang pantai Sumatra. Menurut laporan, beberapa dari mereka
menikahi gadis-gadis lokal, sehingga menjadikan inti kumpulan Muslim
yang terdiri dari imigran Arab dan penduduk lokal. Menurut Arnold,
anggota komunitas Muslim juga melaksanakan aktivitas untuk
menyebarkan Islam.10
Pada seminar-seminar yang diadakan pada tahun 1969 dan 1978
tentang masuknya Islam ke Indonesia, mereka menyimpulkan bahwa Islam

9
Azyumardi Azra, “Jaringan ulama Timur Tengah & Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII”.
10
Husaini, “Sejarah masyarakat islam Indonesia”

6
datang langsung dari Arab, bukan India. Bukan pada abad ke-12 atau ke-
13, melainkan pada abad ke-1 Hijriah atau abad ke-7 Masehi. Tidak sulit
dipercaya bahwa Islam yang masuk ke Indonesia berasal dari Arab, atau
lebih tepatnya, dari Hanzhi sebagai jalan tengah. Hal ini didasarkan pada
latar belakang bahwa Rasulullah SAW lahir, besar, menerima wahyu dan
menjalankan tugas rasulnya di Hanzhi. Untuk teori-teori Islam yang berasal
dari Persia dan India, Hassan Asari tidak memungkiri keberadaan dan
kontribusi kedua wilayah ini ketika proses pembangunan Indonesia tiba.
Menurut dia, letak geografis Indonesia yang jauh di timur Arab. Proses
sejarah masuknya Islam ke Indonesia mau tidak mau akan melibatkan
dimensi spasial yang menghubungkan Indonesia dengan bangsa Arab.11
Analisis penulis dengan teori Arab yang mengatakan Islam datang dari
negeri Arab tersebut merupakan yang tidak bisa dibantahkan. Selain
penulis setuju dengan anggapan islam lahir dari negeri tersebut juga para
masyarakat arab juga begitu meminati perdagangan ke beberapa wilayah
termasuk indonesia. Dan beberapa penelitan yang menyimpulkan bahwa
islam di bawa oleh pedagang arab pada abad ke 7 Masehi menjadi kekuatan
tersendiri untuk meyakini dan menerima bahwa islam datangnya dari
negeri Arab tersebut.
3.1.3. Teori Persia
Teori yang dikemukakan oleh Otoritas Nasional Palestina percaya
bahwa Islam di Kepulauan Islam berasal dari Persia. Hoesein
Djajadiningrat percaya bahwa Islam masuk ke Nusantara pada abad ke-13,
dengan Samudra Pasai sebagai pusatnya. Argumentasinya didasarkan pada
kesamaan budaya antara masyarakat Islam di Nusantara dan budaya Persia.
Ahmad Mansyur Suryanegara mencontohkan empat kesamaan budaya
antara Persia dan Islam di Nusantara. Pertama dari peristiwa 10 Muharram
atau Asyura adalah untuk memperingati Syiah. Kedua, ada kesamaan
11
Hasan Asari, “Sejarah Pendidikan Islam”.

7
ajaran antara tokoh sufi Iran al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar. Muens juga
mendukung teori Persia ini. Mons mengatakan bahwa pada masa dinasti
Sasanian pada abad ke-5 M, banyak orang Persia yang berada di Aceh. Dia
mengatakan bahwa kata "Pasai" berasal dari kata "Persia". Selain itu, Muns
juga menyatakan bahwa ketika Ibnu Batutah datang ke Aceh, ada dua
ulama dari Persia, yaitu Tadjuddin al-Syirazi dan Shiraz Jerman (Sayyid
Syarif al-Ashbahani).12
Analisis penulis tentang teori ini sudah jelas tidak memungkinkan
untuk mengatakan Islam pertama kali di bawa oleh orang persia. Tetapi kita
tidak memungkiri beberapa hal yang menjadi aktivitas ibadah yang
dilakukan oleh masyarakat muslim indonesia ada kemiripan dengan
beberapa amalan yang dilakukan muslim persia. Karena abad ke 13 masehi
yang disampaikan tentu menjadi kesimpulan bahwa masih ada negara lain
(Arab pada abad ke 1 Masehi) yang lebih awal datang ke indonesia
membawa islam.
3.1.4. Teori Cina
Pendapat mengatakan Islam di Nusantara adalah “teori Tionghoa”
yang menyatakan karena saat abad ke-9 Masehi, beberapa Muslim
Tionghoa di Guangzhou dan bagian Tiongkok selatan lainnya berdatangan
ke Jawa, Kedah dan Sumatera. Evakuasi tersebut terjadi karena pada era
tersebut, penduduk Provinsi Guangdong dan bagian lain China Selatan
ditindas, dan mayoritas penduduk di daerah tersebut adalah Muslim.
Dengan munculnya bukti-bukti peninggalan budaya, peran orang Tionghoa
semakin terlihat jelas, yaitu adanya unsur Tionghoa pada bangunan
berbagai masjid Jawa Kuno, seperti bagian atas Masjid Vantaa Banten yang
berbentuk bulat.13

12
Ahmad Fakhri Hutauruk, “Sejaarah Indonesia: Masuknya Islam hingga Kolonialisme”.
13
Husaini, “Sejarah masyarakat islam Indonesia”

8
Namun, teori Cina tidak berbicara tentang awal masuknya Islam, tetapi
peran yang dimainkan dalam pemberitaan tentang keberadaan komunitas
Muslim di awal Nusantara, dan peran dalam Islamisasi pada abad ke-15
dan ke-16. Tiongkok memberikan banyak informasi sejarah bagi
keberadaan komunitas Islam. Selain berita Arab, berita tentang keberadaan
orang Arab dan Muslim di Nusantara di China pada abad ke-7 dan ke-8
juga pernah diberitakan. Ini menunjukkan bahwa Islam masih hidup di
Cina, kecuali lebih dulu dari sebelumnya. Jika Masjid Wajinzi (komunitas)
didirikan di Guangzhou pada abad ke-7, hanya makam (individu) atau
interaksi dengan perwakilan perdagangan yang akan ditemukan di
Nusantara baru. Bahasa Tionghoa yang unik juga meningkatkan
keberadaan dan fungsinya.
3.1.5. Teori Turki
Martin van Bruinessen mengajukan teori Islamisasi yang lain.
Bruinessen mengungkapkan dalam dua karyanya bahwa selain Arab dan
Tionghoa, Indonesia juga diislamkan oleh Kurdi Turki. Bruinessen melihat
banyak data. Pertama berapa banyak Ulama Kurdi yang berperan dalam
kursus Islam di pulau-pulau tersebut, dan buku-buku yang ditulis oleh para
sarjana Kurdi telah menjadi sumber informasi yang berpengaruh. Buku
Tanwir al-Qulub karya Muhammad Amin al-Kurdi sangat populer di
kalangan Tarekat Naqsyabandi di Indonesia. Muhammad Amin adalah
seorang ulama Kurdi. Kedua di antara para ulama di Madinah, Ibrahim al-
Kurani pernah mengajar Ulama Indonesia dari Tarikat Syattariyah dan
kemudian dibawa ke Nusantara. Ibrahim al-Kurani adalah seorang ulama
Kurdi dan banyak muridnya adalah orang Indonesia. Ketiga dalam Islam,
Syukuran dan tradisi lainnya, tradisi Barzanji yang populer di Indonesia
dibacakan oleh setiap Maulid Nabi pada 12 Rabiul Awal. Bruinessen
mengatakan bahwa Barzanji adalah seorang ulama yang berpengaruh di
Kurdistan dan nama keluarga dari para syekh tarekat. Keempat bruinessen

9
juga dikejutkan dengan istilah dan nama Kurdi yang sangat populer di Haji
Kurdi, Jalan Kurdi, Gang Kurdi, di negara lain dan Indonesia.14
3.2. Kondisi Politik di Indonesia
Setelah bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada 17
Agustus 1945, maka persoalan yang dihadapi selanjutnya adalah masalah yang
sangat asasi, yaitu masalah dasar dan ideologi negara. Para wakil rakyat
Indonesia yang duduk di PPKI ketika itu terbagi atas dua kelompok, satu pihak
mereka yang mengajukan agar negara itu berdasarkan kebangsaan tanpa
berkaitan dengan ideologi keagamaan dan pada pihak lainnya mereka yang
mengajukan Islam sebagai dasar negara. BPUPKI yang dibentuk oleh Jepang
pada 29 April 1945 yang waktunya bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar
Jepang, Tenno Haika.15
Anggota BPUPKI terdiri dari atas 64 orang, dengan Radjiman Wedioningrat
sebagai ketua, anggota-anggotanya, Soekarno, Agus Salim, Abikusno
Tjokrosudjoso, Wahid Hasyim, Muhammad Yamin, dan lain-lain.16 Mereka
terdiri atas nasionalis, Islamis dan Jawa. Sidang BPUPKI (28 Maret s/d 1 Juni
1945) yang mendiskusikan UUD, diputuskan dua hal penting yang diperjuangkan
oleh kelompok Islam ideologis, yaitu: “Presiden ialah orang Indonesia asli yang
beragama Islam dan negara berdasar atas ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya.
Partai-partai Islam yang terdiri atas Masyumi, NU, PSII, dan Perti bersatu
dalam Konstituante untuk memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. 17
berhadapan partai-partai non-Islam yang dimotori oleh PNI dan PKI yang
mempertahankan Pancasila sebagai dasar Negara.
14
Husaini, “Sejarah masyarakat islam Indonesia”
15
A. G. Priggodogdo, Perubahan Kabinet Presidensil Menjadi Parlementer.
16
M. C. Ricklefs, A. History of Modern Indonesia (London: The MacMillan Press, 1983).
17
Perjuangan politik-ideologi untuk menjadikan Islam sebagai dasar dan ideology negara, pada awalnya
diperjuangkan oleh para pemimpin Islam seperti Ki Bagus Hadikusumo, K. H. Mas Mansyur, Abdul Kahar
Muzakkar, K. H. Wahid Hasyim, K. H. Masykur, Agus Salim, dan lain sebagainya. Di dalam periode konseituante,
perjuangan itu dilanjutkan oleh M. Natsir, Hamka, Isa Ansahani, dan Osman Ralibi. Lihat Fachry Ali dan Bahtiar
Efendy

10
Tentang Islam sebagai dasar Negara misalnya, M. Natsir menegaskan
pendiriannya bahwa Islam harus dijadikan dasar Negara Indonesia, mengingat
mayoritas penduduknya beragama Islam. Menurutnya, Indonesia hanya
mempunyai dua pilihan, yaitu sekulerisme (la-diniyah) atau faham keagamaan
(dini). Pancasila sebagai falsafah dan dasar bagi kami adalah kabur dan tak bisa
berkata apa-apa kepada jiwa umat Islam yang sudah mempunyai satu ideologi
yang jelas, lengkap, dan hidup dalam kalbu rakyat Indonesia sebagai tuntunan
hidup dan sumber kekuatan lahir batin, yaitu Islam.18
Bagi umat Islam yang selama ini tertekan, bangkit bersama tentara untuk
mengamankan Negara RI dengan menumpas kaum penghianat itu. Karena
merasa berjasa dalam gerakan penumpasan G 30 S/PKI, dan sekaligus
menegakkan Orde Baru, umat Islam melihat ada peluang untuk kembali
memainkan peranan dalam pemerintahan.19
Awalnya, kalangan umat Islam muncul harapan baru berupa akan lahirnya
partai Islam baru yang dapat menampung aspirasi politiknya atau harapan adanya
rehabilitasi Masyumi yang dalam era demokrasi liberal pernah mendominasi
salah satu partai politik Islam terkuat. Sayang, ternyata harapan tetap tinggal
harapan, karena pemerintah belum memandang perlu adanya partai Islam seperti
yang didambakan itu. Di lain pihak, rekayasa sosial politik makin mendorong
pemerintah untuk mengefektifkan kebijakan stabilitas politik. Apa yang terjadi
adalah campur tangan pemerintah dalam berbagai segi kehidupan, termasuk
politik makin kuat. Prakondisi pembangunan yang sangat terfokus pada
pertumbuhan ekonomi tersebut sangat dihantui oleh ketakutan terjadinya chaos
atau trauma politik seperti yang pernah terjadi sebelumnya.

18
Mohammad Natsir, Islam sebagai Dasar Negara.
19
Sejarah telah mencatat bahwa konstribusi terbesar dalam menciptakan prakondisi kelahiran Orde Baru justru
ditangan umat Islam. Betapa tidak, satu-satunya isu terbesar dalam bergairah menyumbangkan Orde Lama bukan
karena motif haus kekuasaan, melainkan untuk menegakkan kebenaran yang bersandar pada tatanan moral
universal, yang berasal dari sesuatu yang transcendental. Karena itulah tokoh-tokoh Muhammadiyah dan NU
mengeluarkan fatwa tentang perlawanan terhadap komunis termasuk jihadun fi sabilillah, hukumnya wajib bagi
orang setiap muslim. Lihat M. Shaleh A. Putuhena

11
Kegigihan umat Islam dalam memperjuangkan lahirnya partai Islam baru,
membuahkan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Namun dari sejarah lahirnya
partai ini sudah tercium adanya gejala yang tidak sehat sekaligus mencerminkan
tidak adanya kemandirian umat Islam.20 Pada 5 Pebruari 1968 Jenderal Soeharto
mengumumkan bahwa tidak seorang pun pemimpin bekas Masyumi diizinkan
memegang peranan pimpinan dalam Parmusi baru itu. Keputusan ini merupakan
suatu kekecewaan yang amat besar bagi pengikat Masyumi. Mungkinlah partai
baru ini akan memiliki kesempatan memperoleh simpati kaum muslimin, tanpa
melibatkan para pemimpin bekas Masyumi, seperti Natsir dan Prawoto dalam
kegiatan-kegiatannya.21
3.3. Saluran-saluran Islamisasi
Islam datang ke Indonesia melalui proses perjalanan yang cukup jauh dari
Timur Tengah sampai ke Asia Tenggara. Sulit diketahui waktu yang pasti
kedatangan Islam ke Indonesia, tetapi kemungkinan Islam telah di bawah ke
Indonesia sejak abad I Hijriah.22 Namun suatu kenyataan yang pasti bahwa
kedatangan Islam ke Indonesia dilakukan secara damai. 23 Islam di Indonesia baik
secara historis, sosiologis maupun politis sangat kompleks, sehingga terdapat
banyak masalah, misalnya tentang sejarah dan perkembangan awal Islam. Karena
itu, para sarjana sering berbeda pendapat. Demikian pula tentang babakan sejarah
politik Islam Indonesia, dapat dilihat secara priodik, yaitu masa kesultanan, masa
penjajahan, masa kemerdekaan yang meliputi masa orde lama, orde baru dan
masa reformasi.
Cikal bakal kekuasaan Islam telah dirintis pada periode abad ke 7-8 M, tetapi
semuanya tenggelam dalam hegemoni maritim Sriwijaya yang berpusat di
Palembang dan Kerajaan Majapahit di Jawa. Pada periode ini, baru dalam proses

20
M. Rusli Karim, Islam dan Konflik Politik Era Orde Baru
21
B. J. Baland.
22
Lihat T. W. Arnold, “The preaching of Islam”.
23
Azyumardi Azra, “Renaisans Islam Asia Tenggara, Sejarah Wacana dan Kekuasaan”

12
penyebaran Islam melalui para pedagang sekaligus mubalig.24 Menjelang abad ke
13 M, di pesisir Aceh sudah ada pemukiman muslim sebagai pengaruh
persentuhan antara penduduk pribumi dengan pedagang muslim dari Arab,
Persia, dan India, yang sudah berlangsung lama. Akhirnya, di wilayah ini berdiri
kerajaan Islam yang pertama pada pertengahan abad ke-13, yaitu kerajaan
Samudra Pasai.25
Berdirinya kerajaan Samudra Pasai merupakan awal terbentuknya kultur
politik Islam di Nusantara dengan mengadopsi simbol-simbol tradisi Islam di
Timur Tengah. Penggunaan gelar sultan,26 mengikuti tradisi politik Islam yang
digunakan oleh penguasa non-Arab yang sangat dominan setelah runtuhnya
khalifah Abbasiyah pada 1258. Tradisi lain dapat pula dilihat berupa pemakaian
aksara Arab-Melayu untuk membuat dokumen resmi negara, penggunaan tahun
Hijriyah untuk kalender resmi negara, dan adanya mesjid kerajaan tempat Sultan
shalat Jum’at yang dalam setiap khutbah namanya disebut dan dido’akan.27
Dalam tradisi kultur politik Islam, Sultan menjalankan dua fungsi utama,
yaitu sebagai penguasa dan sebagai pelindung agama Islam. Seorang Sultan
ketika dilantik ia diberi julukan yang menggambarkan visinya. Misalnya, di
Yogyakarta Sultan diberi julukan panata gama (pengatur/ penjaga agama). Dalam
kedudukan seperti itu, Sultan berkewajiban untuk menyebarkan dan
mempertahankan agama Islam dan seluruh warga kerajaan harus beragama
Islam.28

24
Masuknya Islam ke Nusantara melalui proses yang dumulai dengan kedatangan Islam, yang disusul dengan
penerimaan Islam, dan selanjutnya dengan pelembagaan Islam. Kedatangan Islam adalah satu tahap di mana
orang-
25
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam.
26
Gelar Sultan untuk pertama kalinya digunakan oleh Tughril (1037-1063) pendiri kerajaan Saljuk, atas
persetujuan Khalifa Al-Qaim (1031-1075) dari Daulah Abbasiyah. Sejak saat itu, gelar khalifah digunakan oleh
penguasa non-Arab sebagai vassal dan pemegang otoritas sesungguhnya dari Bani Abbasiyah di wilayahnya.
Gelar tersebut kemudian digunakan pula oleh penguasa Islam Nusantara. Lihat catatan kaki M. Shaleh A.
Putuhena, Historiografi.
27
Ibid.
28
M. Shaleh A. Putuhena.

13
Sementara itu, Islamisasi di Jawa memasuki tahap pelembagaan berlangsung
pada awal abad ke 16 M, yang ditandai dengan berdirinya kerajaan Islam
pertama di Jawa, Demak.29 Menurut historiografi tradisional Jawa bahwa
kerajaan Demak itu didirikan oleh Raden Fatah, seorang putra raja Majapahit
yang beristrikan seorang gadis dari Campa.30 Tome Pires menyatakan bahwa
kakek raja Demak yang memerintah pada 1513 adalah seorang hamba dari
Gresik. Namun karena keberaniannya dalam perang maka ia diangkat menjadi
capitan dan diberi gelar pate.31
Demak menjadi negara Islam pada tahun 1524 M, dengan dilantiknya
Trenggana alias Ki Mas Palembang sebagai Sultan dengan nama baru Sultan
Ahmad Abdul Arifin. Ia tercatat sebagai raja Jawa pertama yang menyandang
gelar Sultan.32 Untuk menggambarkan identitasnya sebagai suatu kerajaan Islam,
dibangun mesjid Demak. Adapun yang menjadi imam sekaligus penasehat
spiritual sultan adalah para wali, dan salah satu yang terkenal adalah Sunan
Kalijaga. Dari Demak, Islamisasi dilancarkan ke pedalaman Jawa Tengah dan
Jawa Barat melalui sarana politik, yaitu penaklukan penguasa setempat. Di
samping Islamisasi melalui dakwah tetap dijalankan oleh Wali Songo.33
Perkembangan Islam di Pulau Jawa bersamaan waktunya dengan
melemahnya posisi raja Majapahit. Hal itu memberi peluang kepada raja-raja
Islam pesisir untuk membangun pusat-pusat kekuasaan yang independen. Demak
akhirnya berhasil menggantikan Majapahit sebagai Kraton Pusat. 34
Perkembangan selanjutnya, berdiri beberapa kerajaan Islam yang lain di Jawa,
yaitu Pajang, Mataram, Cirebon, dan Banten.

29
M. Shaleh A. Putuhena.
30
Sartono Kartodirdjo dkk, Pengantar Sejarah Indonesia Baru, jilid 1.
31
H. J. De Graaf dan Th. G. Th., Pigeand, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa.
32
M. Shaleh A. Putuhena, Historiograf.
33
Ibid.
34
Taufik Abdullah, Islam dan Pembentukan Tradisi di Asia Tenggara dalam Taufik Abdullah dan Sharon Siddique
(cd)., Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara

14
Islamisasi di Kalimantan, memasuki tahap pelembagaan sekitar tahun 1526
M, ketika Pangeran Samudra memeluk Islam beserta seluruh kerabat Kraton dan
penduduk Banjar. Pangeran Samudra, setelah masuk Islam, diberi nama Sultan
Suryanullah atau Suriansyah, dan dinobatkan sebagai raja pertama dalam
kerajaan Islam Banjar. Ketika Suryanullah naik tahta, beberapa daerah sekitarnya
sudah mengakui kekuasaannya, yaitu Sambas, Batanglawai, Sukadana, Kota
Waringin, Sampit, Medawi, dan Sambangan.35
Kawasan Timur Nusantara, Maluku dan sekitarnya, Islamisasi berlangsung
sejak pertengahan abad ke-13 M. namun pelembagaan Islam terjadi ketika
kerajaan Ternate berubah menjadi kesultanan Ternate dengan penobatan Zainal
Abidin (1486- 1500 M) sebagai sultan pertama. Konversi Ternate ini diikuti oleh
tiga kerajaan lainnya, yaitu Tidore, Jailolo dan Bacan. Ibu kota kesultanan
menjadi pusat penyiaran Islam, dan atas pengaruh Ternate dan Tidore, kerajaan-
kerajaan kecil di Maluku yang mengakui hegemoni kedua kesultanan itu,
menerima Islam. Bahkan kesultanan Tidore sangat berperan dalam proses
pengislaman sebagian masyarakat yang mendiami kepulauan Raja Ampat dan
pesisir kepala burung di Irian Jaya.36
Di Sulawesi Selatan, tahap awal Islamisasi berlangsung pada pertengahan
abad ke-16, dengan berdomisilinya sebagian pedagang muslim Melayu dan Jawa
di Somba Opu, pusat pelabuhan kerajaan Gowa.37 Sesuai catatan resmi
kesultanan Gowa dan Tallo, Islam diterima di kerajaan kembar ini pada 22
September 1605, bertepatan dengan 9 Jumadil Awwal 1014 H. Selanjutnya, tahap
pelembagaan Islam di daerah ini dimulai pada 9 Nopember 1607 atau 19 Rajab
1016 H., ketika diadakan shalat Jum’at pertama dan dinyatakan Islam sebagai
agama resmi kerajaan, dan seluruh rakyat kedua kerajaan tersebut dinyatakan

35
Taufik Abdullah (ed)., Sejarah Umat Islam Indonesia.
36
M. Shaleh A. Putuhena, Historiografi.
37
Mattulada, Agama Islam di Sulawesi Selatan dalam Taufik Abdullah (ed)., Islam dan Perubahan
Sosial.

15
telah memeluk Islam. Kesultanan Gowa kemudian menyebarkan Islam ke
daerah-daerah lain Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Nusa Tenggara.38
Konstruksi masuk dan tersebarnya Islam di bebarapa daerah nusantara, dapat
dipahami bahwa proses Islamisasi berlangsung secara parsial dan bertahap, yang
dimulai dengan kedatangan Islam, penerimaan Islam, dan pelembagaan Islam.
Pada tahap ketiga ini Islam sudah mulai bersentuhan dengan politik, dengan
terbentuknya kultur politik Islam dengan penggunaan simbol-simbol Islam dalam
kerajaan. Namun, hubungan Islam dan politik pada masa kesultanan ini, berada
pada tataran Islam sebagai kultur politik.

38
M. Shaleh A. Putuhena.

16
BABA III

PENUTUP

6.1. Kesimpulan
Dari uraian pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa Kedatangan Islam
di Indonesia Memahami perkembangan Islam di Indonesia, haruslah merunut
dari awal kedatangan Islam, melalui proses penyebaran yang mengakomodasi
budaya-budaya lokal sehingga membentuk tradisi Islam yang bercorak ke-
indonesiaan. Selain itu di dalam kodisi politik Pancasila sebagai falsafah dan
dasar bagi kami adalah kabur dan tak bisa berkata apa-apa kepada jiwa umat
Islam yang sudah mempunyai satu ideologi yang jelas, lengkap, dan hidup dalam
kalbu rakyat Indonesia sebagai tuntunan hidup dan sumber kekuatan lahir batin,
yaitu Islam. Dalam hal saluran-saluran islamisasi, Konstruksi masuk dan
tersebarnya Islam di bebarapa daerah nusantara, dapat dipahami bahwa proses
Islamisasi berlangsung secara parsial dan bertahap, yang dimulai dengan
kedatangan Islam, penerimaan Islam, dan pelembagaan Islam.

17
18

Anda mungkin juga menyukai