Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH STUDI ISLAM

ISLAM DI INDONESIA : KONSEP, IMPLEMENTASI DAN SEJARAH


SOSIALNYA

Nama : Maulidiyah Marlen (11230950000013)


Dosen Pengampu Studi Islam : Dr. Saifudin, M.Pd,I

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang senantiasa melimpahkan

rahmat dan taufiknya Semoga Allah selalu mencurahkan shalawat dan salam selalu kepada

junjungan kita Nabi Muhammad SAW, suri tauladan dan cahaya petunjuk bagi umat islam

sedunia. Semoga syafa‘atnya mengiringi kita di hari akhir kita nanti aamiin, sehingga dengan

izin-Nya kami dapat menyusun sebuah tugas makalah mata kuliah Pengantar Studi Islam.

Makalah ini kami susun sebagai bukti pertanggung jawaban kami kepada bapak

pembimbing mata kuliah Pengantar Studi Islam. Makalah ini juga kami persembahkan

kepada beliau untuk dapat menjadikan salah satu acuan pembelajaran selanjutnya. Terima

kasih kepada pihak yang terkait dengan penyusunan makalah ini sehingga kritik dan

perbaikan serta penilaian terhadap makalah ini sangat kami butuhkan. Mohon maaf apabila

ditemukan beberapa kesalahan yang bersifat teknik maupun dalam bentuk tulisan dan ejaan.

Semoga bermanfaat.

Jakarta, 19 Desember 2023

Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar …………………………………………………………………………………… 2

BAB I Pendahuluan ………………...…………………………………………………………………. 4

1.1 Latar Belakang …...………………………………………………………………………………. 4


1.2 Rumusan Masalah...………………..………………………………………………………………..4
1.3 Tujuan Penulisan ……………...……………………………………………………………………..4
1.4 Metode Pembahasan….…………………...………………………………………………………..4

BAB II Pembahasan ……………………………………………………………………………………..5

2.1 Kedatangan Islam di Indonesia….…………………………..………………………………….5

2.2 Teori Masuknya Islam di Indonesia ………………...……………………………...………..6

2.3 Jalur Masuknya Islam di Indonesia.…………………………………………………………..7

2.4 Organisasi Islam di Indonesia….…………………………………………………………...…..8

2.5 Wali Songo………………………………………………………………………………………...…….9

2.6 Tokoh-Tokoh Islam di Indonesia……………………………………………………………..10

BAB III Penutup ……………………………………………………………………...…………….11

Daftar Pustaka ……………………………………………………………………………………12


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ada beberapa teori tentang kedatangan Islam di Indonesia. Keragaman teori
disebabkan oleh fenomena kompleksitas, yaitu Islam tidak berasal dari satu tempat/
negara, juga tidak dibawa oleh satu kelompok orang dan tidak pada saat yang sama.
Faktor lain yang memengaruhi keragaman teori adalah perbedaan bukti, unsur minat,
subyektivitas agama, dan ideologi sejarawan. Meskipun ada kesimpulan tentang awal
masuknya Islam ke Indonesia pada tahun 1963, proses kedatangan dan pengembangan
Islam di Indonesia adalah studi yang terus berubah. Jadi masih ada peluang untuk
memperbaiki atau memperkuat teori yang ada. Ulama adalah aktor sentral dalam
kedatangan awal dan perkembangan Islam ke Indonesia. Sarjana Arab yang berprofesi
sebagai pedagang adalah kelompok pertama yang membawa dan mengembangkan Islam
ke wilayah Indonesia, kemudian dilanjutkan oleh para dai dari kalangan sufi profesional.
Sosok ulama Sufi sangat melekat pada dua tokoh: pedagang yang menyebarkan Islam
melalui perdagangan serta detak jantung ekonomi rakyat, dan sultan yang menyebarkan
Islam melalui kekuatannya. Karakteristik penyebar Islam yang mengkristal ini membuat
Islam berkembang secara efektif. Islam dikembangkan oleh Ulama melalui tiga saluran
yaitu; budaya (dakwah, pendidikan, seni, budaya, dan perkawinan), struktural (politik dan
kekuasaan), ekonomi (jalur perdagangan). Dengan kata lain, proses islamisasi di
Indonesia dipengaruhi oleh kekuatan politik dan semangat dakwah.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun yang menjadi fokus permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini
dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Bagaimana proses masuknya Islam ke Indonesia terjadi?
b. Apa dampak masuknya Islam terhadap kehidupan sosial masyarakat Indonesia?
c. Apakah ada perlawanan atau penerimaan terhadap masuknya Islam di Indonesia?
d. Bagaimana perkembangan dan penyebaran Islam di berbagai wilayah di
Indonesia?

1.3 Tujuan Penulisan


Dalam pembuatan makalah ini ada beberapa tujuan diantaranya :
a) Untuk mengetahui proses masuknya isla ke Indonesia
b) Untuk mengetahui dampak masuknya islam bagi kehidupan sosial masyarakat
Indonesia
c) Untuk mengetahui respon masyarakat Indonesia terdahulu terhadap masuknya Islam
ke Indonesia
d) Untuk mengetahui perkembangan penyebaran islam di wilayah Indonesia
1.4 Metode Pembahasan
Pada pembuatan makalah ini metode yang digunakan adalah metode literatur, yaitu
mengumpulkan dan mengidentifikasi data dan referensi yang diperoleh dari jurnal, buku,
maupun artikel yang terkait dengan pembahasan utama makalah.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Kedatangan Islam di Indonesia; teori-teori masuknya Islam ke Indonesia.
Menurut Snouck Horgounje, orang Indialah yang pertama kali membawa Islam ke
Indonesia menjelang akhir abad ke-13 Masehi. Pendapat ini sekaligus menjawab dari daerah
mana Islam berasal. Pendapat ini didukung oleh Van Bonkel seorang Profesor asal Belanda
dengan menunjukkan adanya pengaruh bahasa Tamil dalam bahasa Indonesia yaitu adanya
istilah “lebai” yang berasal dari “labbai” atau “lappai” yang artinya pedagang dalam bahasa
Tamil.1 Meski sama-sama mendukung pendapat Snouck Horgrounje, O’Sullivan tidak
sepakat bahwa adanya istilah bahasa Tamil dalam bahasa Melayu menjadi alasan bahwa
orang Indialah yang membawa Islam ke Indonesia. Pendapat tentang orang Indialah yang
pertama kali membawa Islam ke Indonesia juga di dukung oleh G.E Marrison, namun
menurutnya bukan dari Gujarat melainkan dari India Selatan, pantai Koromandel.
Menurutnya keberadaan batu-batu nisan dari Gujarat tidak berarti Islam dari Gujarat.
Diantara alasan Masrrison adalah:
a. Jika diyakini Islam berasal dari Gujarat maka bagaimana dengan fakta bahwa Islam sudah
berada di Indonesia sebelum Malikul Saleh mangkat yaitu tahun 1297. Bilapun ada
kemungkinan Islam telah berada di Gujarat 1297 bagaimana pula dengan temuan Marcopolo
yang menyebutkan bahwa penduduk Cambay di tahun 1298 masih kafir.2
b. Catatan Ibn Batutah tentang indahnya bangunan masjid yang dibangun saudagar saudagar
pendatang di Cambay pada tahun 1325 Masehi.
c. Adanya jalur dagang di zaman lampau, saudagar-saudagar Arab telah giat lalu-lalang di
perairan Arab dan Indonesia dengan persinggahan di Srilangka. Oleh karenanya Islam sampai
ke India bersamaan dengan kedatangan saudara Arab ke India.
d. Temuan Ibn Batutah bahwa Indonesia, Asia Selatan, Asia Tenggara dan India Utara
penganut Mazhab Syafi’i, sedangkan orang Gujarat adalah Sunni atau Syi’ah.3
Sedangkan Husayn Nainar, sarjana India yang berpendapat bahwa orang-orang
Indialah pembawa Islam pertama ke Indonesia didasarkan pada pandangannya bahwa adanya
pengaruh India yang sudah meluas dan tertanam di Indonesia. Berbeda dengan Snock
menurutnya Islam sudah sampai ke Indonesia pada abad pertama Nabi dan bahkan mungkin
ketika Nabi Muhammad ‫لم‬F‫ه وس‬F‫لى هللا علي‬F‫ ص‬masih hidup.4 Tregonning dalam bukunya “World
History For Malaya, from Earliest time to 1551” berpendapat Saudara Arab dan India adalah
dua bangsa yang memegang peran penting dalam membawa Islam ke Indonesia tapi masih
belum terjawab, siapa yang memegang peranan utamanya? Dalam pembahasannya lebih jauh
Tregonning menunjukkan peranan Arab dalam pelayaran dan perdagangan. Menurutnya lama
sebelum Islam datang, pedagang Arab telah menguasai perdagangan hampir di semua
pelabuhan India, dan dari pelabuhan India inilah pedagang Arab menguasai perdagangan
1
Hadji Muhammad Said, Mentjari Kepastian Tentang Daerah, Mula dan Tjara Masuknja Agama Islam ke
Indonesia dalam Risalah Seminar: Sedjarah Masuknja Islam ke Indonesia (Medan: Panitia Seminar Sedjarah
Masuknja Islam ke Indonesia, 1963), p. 220.
2
Ibid., p., 222.
3
Mazhab Syafi’i telah berpengaruh sejak perkembangan Islam, menurut catatan Ibn Batutah, Sultan Djawa
(Samudera-Pasai) adalah seorang Alim, Ahli Fiqih Mazhab Syafi’i. Baca Hamka, Masuk dan berkembangnja
Agama Islam di daerah Pesisir Sumatera Utara, dalam Risalah Seminar: Sedjarah Masuknja Islam ke Indonesia
(Medan: Panitia Seminar Sedjarah Masuknja Islam ke Indonesia, 1963), pp. 82-7.
4
Hadji Muhammad Said, Mentjari Kepastian, p. 221.
rempah-rempah dan membawa Islam ke Asia Tenggara. 5 Menurut penulis dari uraian terakhir
ini dapat dipahami bahwa pedagang Arablah yang pertama kali membawa Islam ke
Indonesia, dimana dalam perjalanannya yang sangat jauh telah pula singgah di pelabuhan-
pelabuhan India karena beberapa sebab; baik karena faktor ekonomi maupun karena alasan
subsidi bahan bakar dan air bersih, baru kemudian melanjutkan perjalanan ke Indonesia.
Nusantara dan Beberapa Jalur Perdagangan
Dari daerah pantai selatan Cina kapal-kapal dagang melalui Laut cina Selatan, Selat
Malaka, Teluk Benggala, ke India. Darilndia dapat ditempuh dua jalan, yaitu melalui laut
atau darat. Jalan laut, yaitu laut Arab, Laut Merah, Terusan Suez (Mesir), Laut Tengah, Asia
Kecil (Turki). Ramainya jalan laut melalui Selat Malaka berarti juga melalui
perairanNusantara, terutama Sumatera, Kalimantan, Riau Kepulauan. Akibatnya, melalui
bentangan jalur-jalur laut tersebut, wilayah Nusantara terlibat perdagangan internasional.
Dalam kaitannya dengan penyebaran wilayah pengaruh Islam, umumnya mengikuti jalur dan
arus pelayaran perdagangan di sepanjang pantai. Dengan kata lain, Islam menyebar ke
wilayah Nusantara melalui jalan perdagangan laut dan komunitas-komunitas Muslim mulai
berkembang di kota-kota pelabuhan Maka tidak mengherankan kalua pusat-pusat kekuasaan
lslam juga bermua dibangun di kota-kota pelabuhan. Sehubungan dengan itu, pemakalah
akan mengutarakan:
A Perkembangan Wilayah Pengaruh Islam di Nusantara Proses perkembangan
wilayah pengaruh Islam Nusantara dapat dilakukan antara lain melalui beberapa jalur,
sebagai berikut:
1) Jalur perdagangan
Para pedagang Muslim dari Arab, Gujarat, Persia yang berdatangan di wilayah
Nusantara umumnya tinggal selama berbulan-bulan di pusat-pusat perdagangan. Sambil
menunggu angina musim yang baik untuk berlayar kembali ke Negara asal,kesempatan itu
dimanfaatkan untuk mengadakan. transaksi dengan para pedagang setempat.
Pusat perdagangan di pantai atau pelabuhan merupakan terminal dan tempat
penghubung dengan daerah-daerah pedalaman. Pelabuhan pada umumnya terletak di muara
sungai, karenanya hubungan dagang dengan daerah pedalaman lebih banyak dilakukan
melalui sungai. Mula-mula para pedagang hanya menyebarkan Islam pada masyarakat
pelabuhan, tetapi karena transaksi dagang masyarakat pedalaman dengan masyarakat pesisir
berlangsung terus menerus, maka lama kelamaan dakwah Islamiyah dapat disampaikan
hingga ke wilayah masyarakat pedalaman. Misalnya, terdapatnya pemukiman masyarakat
Muslim di lokasi berdirinya pusat pemerintahan Majapahit. Indikator adanya masyarakat
Muslim tersebut ditemukan komplek makam Muslim di Sentono Rejo, Trolovo, Kecamatan
Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Selain makam bertulisan Arab, terdapat batu-
batu nisan bertuliskan huruf Jawa berupa angka tahun (wafat) yang tertua 1203 Caka pada
batu nisan 1533Cakaatau 1611 M. Daa berupa angka tahun dan tulisan Arab tersebut dapat
disimpulkan bahwa kehadiran pemukiman masyarakat Muslim di pusat pemerintahan
Majapahit6 ini telah berlangsung sangat lama, selama lebih dari 300 tahun, yaki dari abad ke
14 hingga abad ke 17 M – suatu bentangan waktu dimulai awal munculnya kerajaan

5
Ibid.,p. 223.
6
Pendapat Th Pigeaud dan de Graaf, 1976, dalam karyanya Islamic States in Java 1500-1700, VKI, 70, antara
lain mengatakan bahwa kemunduran hingga hilangnya Majapahit dalam percaturan politik di Nusantara
dikaitkan dengan mnculnya kerajaan Islam Demaksebagai penguasa Islam pertama di Jawa yang berhasil
menyerang ibukota Majapahit - sebagai pandangan/ tafsiran sejarah yang menyesatkan.
Majapahit hingga masa kemundurannya, bahkan ketika kerajaan tersebut hilang sama sekali
dalam percaturan politik di Jawa, abad ke-17 M.
2). Jalur Dakwah
Kehadiran makam Muslim di Trowulan sebagaimana tersebut dalam angka- angka
tahun wafat di atas, telah menarik perhatian tentang kemungkinan adanya masyarakat Muslim
di dekat pusat kekuasaan Kerajaan Majapahit.Pusat-pusat perdagangan di pesisir Utara Jawa,
yakni Gresik, Jepara, Cirebon, Banten, sejak akhir abad ke-15 M dan permulaan abad ke 16
M telah menunjukkan kegiatan keagamaan oleh para wali di Jawa, hingga kemudian lahirnya
kerajaan Islam Demak. Sejak itu, erkembangan wilayah pengaruh Islam di Jawa telah dapat
berperan secara politik.
Sesuai dengan ajaran agama Islam, setiap Muslim adalah "dai". Para muballigh, guru
agama Islam mempunyai tugas khusus menyiarkan agama Islam Keberadaan mereka secara
khusus telah mempercepat rposes berkembangnya wilayah pengaruh Islam, antara lain
melalui strategi mendirikan pesantren Islam. Di Pulau Jawa, penyiaran agama Islam
dilakukan terutama oleh para wali yang dikenal dengan sebutan Walisongo. Strategi dakwah
yang mereka terapkan telah berhasil meluaskan wilayah pengaruh Islam ke Banjarmasin,
Hitu, Ternate, Tidore, serta Lombok.
Sultan Samudra atas bantuan Demak, sebagai raja pertama kerajaan Banjarmasin
masuk Islam. la kemudian memakai gelar Maharaja Suryanullah. Ketika Suryanullah naik
tahta, beberapa daerah sekitarnya sudah mengakui kekuasaannya, yaknidaerah Sambas,
Batanglawai, sukadana, Kotawaringin, Sampit,, Mendawi, /sambangan. Adapun Lombok,
meurut tradisi diislamkan oleh Sunan Prapen, dari giri, Gresik, Jawa Timur.
Kesultanan terbesar di Kepulauan Maluku abad ke 14-16 M adalah Kesultanan
Ternate. Sejak abad ke-10 M terkenal sebagai pusat perdagangan rempah-rempah.Kapal-
kapal dari Jawa, Malaka, dan Arab secara teratur berlayar ke sana. Pada awalnya, Kesultanan
itu menganut animisme. Namun setelah Sultan Zainal Abidin (1486-1500), raja Ternate ke-19
kembali dari Giri, Gresik dan menyandang gelar Sultan, agama Islam menjadi agama resmi
kerajaan.
Daerah yang agak terlambat menerima perkembangan Islam selain tempat-tempat
yang disebutkan di atas adalah Sulawesi kecuali beberapa tempat seperti Buton dan Selayar,
berdasarkan tradisi setempat telah menerima pengaruh Islam dari Ternate pada pertengan
abad ke-16 M. Sejak Gowa-Tallo" atau Makassar tampil sebagai pusat perdagagan laut,
kerajaan ini menjalin hubungan yang baik dengan Ternate, suatu kerajaan pusat cengkeh,
yang telah menerima Islam dari Gresik / Giri, di bawah kekuasaan Sultan Babullah, ternate
mengadakan perjanjian persahabatan dengan Gowa Tallo. Ketika ini raja Ternate berusaha
mengajak penguasa Gowa Tallo untuk iku menganut agama Islam, tetapi gagal.aru pada
waktu Dato' ri Bandang datang ke Gowa Tallo, agama Islam masuk ke kerajaan ini. Sultan
Alauddin (1591-1636) adalah sultan Gowa Tallo yang pertama menganut Islam pada tahun
1605.7 Dua tahun berikutnya, rakyat Gowa dan Tallo diislamka seperti terbukti dengan
dilakukannya smbahyang Jumat bersama di Tallo pada 19 Rajab 1068 H/ Nvember 1607 M.8
3) Jalur Perkawinan

7
Mattulada, "Sulaesi di Sulawesi Selatan", dalam Taufik Abdullah, (ed.), Agama dan PerubahanSosial, (Jakarta:
Rajawali Press, 1985).
8
Noorduyn, Islamisasi Makassar, (terj.), (Jakarta: Bhratara, 1972).
Semakin berkembangnya perdagangan, semakin banyak pula para pedagang Islam
dari Persia, Arab, Gujarat yang datang ke Nusantara, bahkan banyak di antara mereka yang
kemudian menetap di berbagai wilayah Nusantara. Daerah pemukiman mereka disebut
Pekojan. Banyak di antara mereka kemudian menikah dengan anggota masyarakat setempat.
Jika wanita yang dinikahinya itu berasal dari golongan elite, setidaknya akan berpengaruh
dan mendukung bagi proses dakwah Islamiyah terhadap masyarakat.
4). Jalur Kesenian.
Penyebaran agama Islam dengan menggunakan sarana kesenian, disesuaikan denagan
kondisi pada masanya. Saat itu kebudayaan pra Islam (pra Sejarah, klasik) masih sangat kuat
dan menyebabkan para mubaligh memanfaatkan kesenian sebagai sarana syiar agama.
Misalnya, di Jawa menggunakan wayang kulit, gamelan, dan sebagainya.9
Melalui jalur-jalur di atas setidaknya proses perluasan wilayah Muslim di Nusantara
mengalami perkembagan, hingga kemudian Islam sebagai agama. sebagai mayoritas panutan
bagi masyarakat di wilayah budaya Nusantara.
2. Teori-teori Masuknya Islam ke Indonesia
Teori tentang masuknya Islam ke Indonesia merupakan pembahasan yang menarik
sekaligus menantang dan membuahkan variannya pendapat para sejarawan. Beragamnya
pendapat sejarawan lebih karena perbedaan penekanan bukti yang diangkat misalnya asal
tempat, waktu kedatangan, pembawanya, tempat pertama kali yang didatangi atau bahkan
pengaruh yang ditunjukkannya. Di sisi lain unsur kepentingan, subjektifitas agama dan
ideologi para sejarawan menambah ruwetnya permasalahan ini.10
Masa Orde Baru (ORBA) polemik tentang periode masuknya Islam ke Indonesia
menghangat antara sejarawan Islam dengan “sejarawan istana”. Back up ideologis kaum
abangan dalam rezim ORBA yang dinilai memusuhi Islam hingga pertengahan tahun 1980-an
dengan mereduksi peran Islam dalam sejarah Indonesia. Sikap ini diukur dari upaya
memelihara imajinasi kebesaran Hindu dengan propaganda kuno bahwa perkembangan Islam
abad sebelumnya disatukan oleh Sumpah Palapa. Konsep yang digadang-gadang adalah
masuknya Islam pada abad ke-13 dan menafikan perkembangan Islam abad-abad
sebelumnya. Gerakan Budi Utomo dikukuhkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional, setiap
tanggal 20 Mei. Padahal data sejarah menunjukkan bahwa hingga kongres di Solo tahun 1931
organisasi ini membatasi keanggotaanya hanya pada kalangan aristokrat jawa dan menolak
cita-cita persatuan Indonesia dan tetap mempertahankan jawanisme hingga akhirnya
membubarkan diri karena tidak sesuai dengan semangat zaman. Sementara Sarekat Islam
selain masif dan berskala nasional, beranggotakan jutaan orang di seluruh Indonesia, pada
kongres pertamanya di Bandung tanggal 17-24 Juni 1916 telah memasyarakatkan istilah
“nasional” dan mempelopori tuntutan Indonesia merdeka.11 Perseteruan ini membuat para
sejarawan menyerukan “pelurusan sejarah” yang telah banyak dibelokkan.
Pembahasan tentang awal Islam datang ke Indonesia, sebenarnya telah selesai pada
tahun 1963 dengan diselenggarakannya “Seminar Nasional Masuknya Islam ke Indonesia”,
dengan koordinator Mukti Ali dan dihadiri para ahli sejarah. Akan tetapi sebagaimana saya
katakan sebelumnya bahwa proses kedatangan dan perkembangan Islam di Indonesia
merupakan sebuah kajian yang Challengging, maka masih terbuka luas peluang untuk
mengoreksi atau menguatkan sebuah teori. Dalam konteks ini saya akan memaparkan teori-
9
Taufik Abdullah (ed), Sejarah Ummat Islam Indonesia, (Jakarta: MUI, 1991).
10
Moeflih Hasbullah, Sejarah Sosial Intelektual Islam Indonesia (Bandung; Pustaka, 2012), p.1.
11
Ibid., pp. 2-3.
teori datangnya Islam ke Indonesia, sebagai satu bahan kajian kita bersama. Pembahasan
tentang beberapa aspek yang berkaitan dengan kedatangan Islam di Indonesia telah
“melahirkan” beberapa teori yaitu:
a. Teori Arab.
Teori ini didukung oleh Krawfurl, Keijzer, Nieman, de Hollender, J. C. Van Leur,
Thomas W. Arnold, al-Attas, HAMKA, Djajadiningrat, Mukti Ali dan tokoh yang paling
gigih mempertahan teori ini adalah Naquib al-Attas. 12 Teori ini menyatakan bahwa Islam
datang ke Indonesia langsung dari Arab pada abad ke 7-8 Masehi. HAMKA secara tegas
menyatakan Islam datang ke Indonesia pada tahun 674 Masehi. dibawa oleh
pedagangpedagang Arab. Berkenaan dengan pertanyaan dimanakah tempat yang pertama kali
didatangi oleh saudagar-saudagar Arab ini? Juneid Parinduri menyatakan daerah Barus
Tapanuli (Barus-Sibolga kab. TAPTENG). Ini dibuktikan dengan adanya makam yang
bertulis HaMim yang diartikan tahun 670 Masehi. 13 Teori ini mendapat perhatian dan
pembenaran dalam seminar-seminar sejarah masuknya Agama Islam ke Indonesia (1963);
sejarah Islam di Minangkabau (1969); sejarah Islam Riau (1975); sejarah masuknya Islam ke
Kalimantan (1976), dan dibicarakan pula pada seminar pendahuluan sejarah Islam di
Indonesia. Teori ini menyatakan bahwa Islam datang langsung dari Arab, dibawa oleh
pedagang-pedagang Arab pada abad pertama hijriah.14
Teori yang menyatakan bahwa Barus adalah daerah pertama yang disinggahi
pedagang-pedagang muslim Arab ini dibuktikan dengan penemuan arkeolog akan sumber-
sumber epigrafi yang berbentuk batu nisan. Dari sekian banyak batu nisan hanya 38 buah
yang mempunyai tulisan. 36 buah tersebar di Kompleks Makam Ibrahim, Kompleks Makam
Ambar, Kompleks Makam Maqdum, Kompleks Makam Mahligai dan makam Papan Tinggi
sedangkan dua lagi ada di museum Medan.15
b. Teori Gujarat India.
Para sarjana dari Belanda memegang teori bahwa asal muasal Islam di nusantara
adalah anak benua India, Gujarat dan Malabar. Teori ini dikemukan oleh Pojnappel,
menurutnya orang-orang Arab yang bermazhab Syafi’i yang berimigrasi dan menetap diIndia
yang kemudian membawa Islam ke nusantara. Teori ini kemudian dikembangan oleh Snouck
Hurgronje, menurutnya ulama-ulama Gujaratlah penyebar Islam pertama di nusantara, baru
kemudian disusul orang-orang Arab. Meski tidak menyebutkan secara eksplisit daerah mana
yang pertama kali didatangi Islam tapi menurutnya abad ke-12 adalah periode paling
mungkin permulaan penyebaran Islam di nusantara. Alasan Snouck menyebutkan teori ini
adalah:
1) Kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran Islam
ke Indonesia;
2) Hubungan dagang India –Indonesia telah lama terjalin; dan
3) Inkripsi tertua tentang Islam terdapat di Sumatera menunjukkan hubungan antara
Sumatera dan Gujarat.16

12
Moeflih Hasbullah, Sejarah Sosial, p.9. lihat juga Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan
Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia (Bandung: Ciptapustaka Media, 2018), p. 12.
13
Ibid., pp. 4-5.
14
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII dan XVIII (Bandung:
Mizan, 1994), p. 28
15
Guillot, Claude, Barus Seribu Tahun yang Lalu, cetakan. ke-2 (Jakarta: Gramedia, 2017), p. 297.
Pendapat Snouck ini didukung oleh Moqutte yang menyimpulkan tempat asal Islam
adalah Gujarat. Kesimpulan ini didasarkan pada pengamatannya akan batu nisan di Pasai, dan
di Gresik Jawa Timur yang sama bentuknya dengan batu nisan di Cambay Gujarat. 17
Pendapat Moquette ini didukung oleh Kern, Winstedt, Bosquet, Vlekke, Gonda, Schrieke dan
Hall.18 Sementara Pijnapel mengemukakan tiga argumen untuk teori ini; Pertama, alasan
Mazhab fiqh. Menurutnya dua wilayah India; Gujarat dan Malabar adalah yang pertama kali
menganut Mazhab Syafi’iyah sebelum dibawa dan berkembang di Asia Tenggara. Kedua,
alasan politik, dengan keruntuhan kekuasaan Baghdad, banyak para Sufi yang kemudian
melakukan perjalanan ke wilayah Asia Tenggara melalui India. Ketiga, alasan arkeologi
berupa batu nisan yang ditemukan memiliki kesamaan dengan batu nisan dari India. 19
Sebaliknya Fatimi menentang pendapat Moquette. Menurutnya tidak ada kesamaan batu
nisan di Pasai dengan batu nisan di Gujarat, sebaliknya batu nisan tersebut justru mirip
dengan batu nisan di Bengal. Ini menjadi alasannya untuk menyatakan bahwa tempat asal
Islam ke Nusantara adalah Bengal. Teori ini kemudian dinilai lemah karena adanya
perbedaan mazhab muslim nusantara (Syafi’iyah) dengan muslim Bengal (Hanafiyah). 20
Selain Fatimi, teori Gujarat juga dibantah oleh Marison. Menurutnya boleh jadi batu nisan
yang ditemukan di nusantara berasal dari Gujarat atau bahkan dari Bengal, namun tidak
lantas Islam berasal dari daerah ini. Berdasarkan data sejarah raja Pasai pertama wafat pada
tahun 698 H/1298 Masehi sedangkan Gujarat masih merupakan kerajaan Hindu, setahun
kemudian barulah kerajaan ini menjadi kerajaan Islam.21
Penentang keras teori Gujarat lainnya adalah Naguib al-Attas, menurutnya batu nisan
yang di nusantara berasal dari Gujarat, karena jarak tempuhnya yang lebih dekat dibanding
dengan Arabia. Menurutnya bukti paling penting untuk membahas daerah asal Islam di
Nusantara adalah karakteristik internal Islam di dunia Melayu-Indonesia. Oleh karena ia
berpendapat bahwa Islam di Nusantara berasal langsung dari Arab. Kelemahan teori ini selain
data-data yang ditampilkan lemah, terkesan juga tidak menjelaskan antara masuknya Islam
dengan perkembangan penyebaran Islam di Indonesia.
c. Teori Persia
Bukti yang diajukan teori ini adalah ditemukan pengaruh Persia dalam kehidupan
masyarakat pada abad ke-11. Bukti-bukti tersebut mengacu pada pengaruh bahasa, Ini dapat
dilihat dari bahasa Arab yang digunakan masyarakat Indoenesia. Kata-kata yangberakhiran
huruf “ta” pada kata marbuthah ketika berhenti dibaca “h”. Menurut
Nurkholis ini menunjukkan bahwa bahasa Arab tidak langsung dari Arab, tapi dari
Persia. Salah seorang tokoh teori ini adalah P. A. Hoesein Djajadiningrat. Teori ini
menitikberatkan tinjauannya kepada budaya yang hidup di kalangan msyarakat Islam
Indonesia memiliki kesamaan dengan India/Gujarat diantaranya:
1) Adanya peringatan 10 Muharram sebagai hari Asyura, yang dikenal sebagai hari
peringatan orang syi’ah atas terbunuhnya Husein bin Ali bin Abi Muthalib.
2) Adanya kesamaan ajaran antara Syekh Siti Jenar dengan ajaran Sufi Iran al-Hallaj.

16
Thomas W. Arnold, The Preaching of Islam, edisi Indonesia Sejarah Dakwah Islam, terj. A. Nawawi Rambe
(Jakarta: Widjaja, 1982), p. 319.
17
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah, p. 24.
18
Ibid.
19
Moeflih Hasbullah, Sejarah Sosial, p. 9
20
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah, pp. 24-5
21
Ibid., p. 26.
3) Penggunaan istilah bahasa Iran dalam pengajian quran tingkat awal dalam system
mengeja huruf Arab, untuk tanda-tanda huruf harakah.
4) Nisan pada makam Malikul Saleh (1297) dan makam Malik Ibrahim (1419 di
Gersik).
5) Pengakuan umat Islam Indonesia terhadap Mazhab Syafi’I sebagai mazhab yang
paling utama di daerah Malabar.22
d. Teori Cina.
Menurut teori ini Islam datang ke Indonesia dibawa oleh pedagang-pedagang muslim
Cina, melalui jalur perdagangan pada abad ke 7-8 Masehi. Adapun tempat yang pertama
didatangi adalah daerah Sumatera. Perlu dipahami bahwa teori ini tidak berbicara tentang
awal datangnya Islam ke Indonesia, melainkan tentang peran muslim Cina dalam
menyumbangkan data informasi tentang adanya komunitas muslim di Indonesia serta dan
perannya dalam perkembangan pada abad ke 15/16 Masehi. Kondisi ini dapat dipahami,
karena selain Islam di Cina datang lebih awal tak hanya itu juga lebih berkembang. Ini
dibuktikan dengan data sejarah yang menyebutkan abad ke-7 Guangzhou sudah memiliki
masjid Wha-Zhin-Zi, sementara di Indonesia baru ditemukan makam-makam individu dan
atau interaksi utusan dagang.23 Teori ini menjadi lemah, karena tidak ditemukan satu pun
tanda tentang kehadiran masyarakat Cina di zaman Lobu Tua, Barus, meski banyak
ditemukan keramik Cina. Menurut Guillotberdasarkan observasi lapangan dan kajian
terhadap sumber-sumber tertulis bahwa keramik mencapai Barus melalui perantara non-
Cina.24
e. Teori Turki.
Teori perkembangan ini diajukan oleh Martin van Bruinessan, menurutnya selain
orang Arab dan Cina, orang Indonesia juga menerima Islam dari orang-orang Kurdi dari
Turki. Alasan yang diajukannya adalah:
1) Banyak Ulama Kurdi yang berperan aktif dalam dakwah Islam di Indonesia;
2) Kitab karangan Ulama Kurdi menjadikan rujukan yang berpengaruh luas,
diantaranya;
3) Pengaruh Ulama Ibrahim al-Kuarani, seorang Ulama Turki di Indonesia melalui
tarekat Syatariyah.;
4) Tradisi Barzanji popular di Indonesia.25
Pada hakikatnya teori-teori tentang masuknya Islam ke Indonesia memiliki
keunggulan dan keterbatasan. Tidak ada teori yang baku dan pasti. Pendapat ini disandarkan
pada pendapat Azyumardi Azra “Sesungguhnya kedatangan Islam ke Indonesia datang dalam
kompleksitas, yaitu tidak berasal dari satu tempat, peran kelompok tunggal, dan tidak dalam
waktu yang sama”.26 Argumen ini menjadi dasar bagi semua orang untuk menerima semua
teori-teori di atas, tapi bukan tanpa “sikap”. Idealnya kehadiran teori-teori tersebut tidak
membuat stagnannya penelitian dan diskusi tentang masuknya Islam, karena masih ada ruang
22
Ahmad Mansur Surya Negara, Memahami Sejarah, Wacana Pergerakan Islam di Indonesia (Bandung: Mizan,
1996), pp. 90-1.
23
Moeflih, Sejarah Sosial, pp. 6-7.
24
Claude Guillot, Barus, p. 59.
25
Ibid., p.10.
26
Moeflih, Sejarah Sosial, pp. 10-1
yang sangat luas untuk mengoreksi atau menguatkan teori-teori yang ada.

Sebagaimana diyakini bahwa Islam adalah agama universal yang mengatur semua
aspek kehidupan manusia, sehingga lahirlah beberapa organisasi Islam di Indonesia seperti SI
(Syarikat Islam) yang berorientasi politik dengan cikal bakal dari syarikat Dagang Islam yang
berorientasi bisnis yang tidak lepas dari motivasi kuat untuk mengimplementasikan ajaran-
ajaran Islam dalam berbagai aspeknya, kemudian Muhammadiyah yang bergerak pada sosial
keagamaan dan dakwah, dan Nahdhatul Ulama (NU) yang sering dikatakan sebagai
organisasi masa Islam tradisional yang mengembangkan ajaran empat mazhab. Dari beberapa
ormas Islam yang ada di Indonesia, penulis mengambil ormas Islam yang sangat kuat
pengaruhnya yaitu : Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah serta pengaruhnya dalam
pengembangan Hukum Islam di Indonesia. Dari latar belakang masalah yang disebutkan di
atas penulis mencoba merumuskan pokok masalah mengenai sejarah berdirinya Ormas Islam
NU dan Muhammadiyah serta Pengaruhnya dalam Pengembangan Hukum Islam di
Indonesia.
Latar belakang berdirinya Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah
Nahdatul Ulama di dirikan pada tanggal 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926) 27 di
Surabaya. Pendirinya adalah alım ulama dari tiap-tiap daerah di Jawa Timur salah satunya
adalah KH. Hasyim Asy'art. Didirikan organisasi tersebut di latarbelakangi oleh dua tujuan:
1. Untuk mengimbangi Komite Khilafat yang secara berangsur-angsur jatuh ke tangan
golongan pembaharuan.
2. Untuk berseru kepada Ibnu Suud, penguasa baru di tanah Arab agar kebiasaan
beragama secara tradisi dapat diteruskan.28
Dilihat dari sejak berdirinya sampai sekarang cukup memberikan suatu pemahaman
kepada kita bahwa NU sebagai organisasi keagamaan ini benar-benar sangat menginginkan
adanya satu gerak kebersamaan dalam komunitas masyarakat Muslim dengan berada pada
satu gerak komando untuk mewujudkan tujuan bersama. Dan pada masa itu juga NU
merupakan sebuah organisasi yang diatur oleh sejumlah ulama dan aktivis yang mempunyai
kharisma, kekuatannya tampak lebih tertumpu pada pengaruhnya terhadap ummat dan ulama
di tingkat yang lebih rendah ketimbang pada pengorganisasian yang rapi. Sekalipun NU
mempertahankan ortodoksi scholastic abad pertengahan namun dalam konteks
membangkitkan semangat umat Islam, gerakan ini berhasil memelihara semangat ahlus
Sunnah wal jamaah, NU berhasil menggalang persatuan dan kekuatan umat Islam.29
Sedangkan lahirnya Muhammadiyah, pada tanggal 8 Zulhijjah 1330 (18 Nopember
1912) di Yogyakarta30, dan sejarah hidup pendiri awalnya yakni KH. Ahmad Dahlan, karma

27
Prof. Dr. Faisal Ismail, A., Dileman NU. Ditengah Budu Pragmatisme Politik, (Cet. 1, MA.. Jakarta: Proyek
Peningkatan Kehidupan Beragama Badan Lithang Agama dan Diklat Keagamaan.
Depag RI, 2004), h. 10-11
28
M. Din Syamsudin, Muhammadiyah Kiri dan Dan Esok, (Jakarta: pustaka Panjimas, 1990), h. 42
29
H. Alamsyah Ratu Perwiranegara, Islam dan Pembangunan Politik di Indonesia, (Jakarta, ev. Haji Mas Agung,
1987), h. 186-187.
30
Ensiklopedi Islam, Jilid III (Cet III; Jakarta PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), h. 275.
dari pemikiran dan usaha beliaulah lahirnya embrio organisasi yang kemudian setelah
mengalami perputaran waktu berubah menjadi seperti dan sebesar sekarang ini.
KH. Ahmad Dahlan dilahirkan di Yogyakarta pada tahun 1869 dengan nama kecilnya
adalah Muhammad Darwis anak dari KH Abubakar bin Kiyai Sulaiman, khatib di Masjid
sultan di kota itu, ibunya adalah anak dari Haji Ibrahim penghulu. Seteleh ia menyelesaikan
pendidikan dasarnya dalam ilmu nahu, fiqhi dan tafsir di Yogya dan sekitarnya, ia pergi ke
Mekkah ( tahun 1890) dan belajar kepada Syaikh Ahmad Khatib yang merupakan salah
saorang dari guru-guru beliau selama di kota Mekkah, dan sekitar tahun 1903 ia kembali
mengunjungi Indonesia.
Dalam tahun 1909 Ahmad Dahlan masuk organisasi Budi Utomo dengan maksud
memberikan pelajaran agama kepada anggota-anggotanya, dengan jalan. ini ia berharap dapat
memberikan pelajaran agama di sekolah-sekolah pemerintah, karena anggota-anggota budi
Utomo pada umumnya bekerja di sekolah-sekolah. Pemerintah.31
Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh kalangan Muhammadiyah yang menjadi
faktor didirikannya organisasi ini Oleh KH. Ahmad Dahlan antara lain:32
1. la melihat bahwa umat Islam tidak memegang teguh al-Qur'an dan Sunnah dalam
beramal sehingga takhayul dan syirik merajalela, ahlak masyarakat runtuh. Akibatnya,
amalan-amalan mereka merupakan. campuran antara yang benar dan salah. Sebagaimana
diketahui, orang-orang Indonesia sudah beragama Hindu sebelum datangnya Islam. Menurut
catatan sejarah, agama Hindu dibawah pertama kali masuk Indonesia oleh pedagang-
pedagang India sehingga pengaruhnya tidak terlepas dari umat Islam.
2. Lembaga-lembaga pendidikan agama yang ada pada waktu itu tidak efisien.
Pesantren, yang menjadi lembaga pendidikan kalangan bawah, pada masa itu dinilai tidak
sesuai lagi dengan perkembangan. kebutuhan masyarakat. Pada waktu itu pendidikan di
Indonesia telah terpecah dua, yaitu pendidikan secular yang dikembangkan oleh Belanda dan
pedidikan pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan agama.
Akibatnya terjadi jurang pemisah. yang sangat dalam antara golongan yang mendapat
pendidikan secular dan golongan yang mendapatkan pendidikan di pesantren. Ini juga
mengakibatkan terpecah rasa persaudaraan (Ukhuwah Islamiyah) di kalangan umat Islam dan
semakin melemahnya kekuatan umat Islam.
3. Kemiskinan menimpa rakyat Indonesia, terutama umat Islam, yang sebagian besar
adalah petani dana buruh. Orang kaya hanya mementingkan dirinya sendiri, dan bahkan
banyak ulama lupa. mengingatkan umatnya bahwa Islam mewajibkan zakat bagi si kaya,
sehingga hak-hak orang miskin terabaikan
4. Aktivitas misi Katolik dan Protestan sudah giat beroperasi sejak awal abad ke-19
dan bahkan sekolah-sekolah misi mendapat subsidi dari pemerintah Hindia Belanda.
5. Kebanyakan umat Islam hidup dalam alam fanatisme yang sempit, bertaklid buta,
serta berpikir secara dogmatis. Kehidupan umat Islam masih diwarnai konservatisme,
formalisme, dan tradisionalisme.
Mulanya daerah operasional Muhammadiyah sangat terbatas, hanya diKauman
Yogyakarta saja. Setelah kongres Budi Utomo (1917) dimana Ahmad Dahlan menyampaikan
pidatonya yang sangat memukau peserta kongres, sehingga pengurus Muhammadiyah
menerima permintaan dari berbagai tempat untuk mendirikan cabang-cabangnya, untuk
31
"Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (LP3ES; Jakarta), h. 86
32
Ensiklopedi Islam, Jilid III, foc. cit.
maksud tersebut anggaran dasamya yang membatasi pada kegiatan-kegiatan di Yogyakarta
saja, haruslah terlebih dahulu dirobah, maka pada tahun 1920 daerah kegiatan
Muhammadiyah diluaskan meliputi seluruh pulau Jawa dan pada tahun 1921 ke seluruh
Indonesia.33
Organisasi wanitanya bernama Aisyiyah, semula merupakan suatu organisasi yang
terdiri dari kaum wanita di Yogyakarta yang berdiri pada tahun 1918 dengan nama
Sopotrisno, kemudian tahun 1922 organisasi ini resmi menjadibagian dari Muhammadiyah,
kemudian disusul dengan berdirinya Hizbul Wathan dan majelis lainnya.34
Organisasi Muhammadiyah senantiasa terpanggil untuk berkiprah dalam.kehidupan
berbangsa dan bernegara dengan berlandaskan pada 9 khittah perjuangan diantaranya adalah
Muhammadiyah meminta kepada segenap anggotanya yang aktif dalam politik untuk benar-
benar melaksanakan tugas dan kegiatan politik secara bersungguh-sungguh dengan
mengedepankan tanggung jawab (al-Amanah), akhlak mulia (al-Akhlak al-Karimah),
keteladanan (al- Uswah al-Hasanah), dan perdamaian (al-Islah). Dan segala aktifitasnya harus
sejalan dengan upaya memperjuangkan amar ma'ruf nahi mungkar.35
Penyebaran Islam Melalui Wali Songo
Istilah wali berasal dari bahasa Arab, artinya tercinta, pembantu, penolong dan
pemimpin. Bentuk pluralnya adalah auliya’. Al-Qur’an menyifati para wali Allah sebagai
orang-orang yang beriman dan bertaqwa kepada Allah. Tidak adak kekhawatiran pada
mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Wali Songo disini diartikan sekumpulan orang
(semacam dewan dakwah) yang dianggap memiliki hak untuk mengajarkan Islam kepada
masyarakat Islam di bumi Nusantara pada zamannya.36
Kata “wali” menurut istilah, ialah sebutan bagi orang-orang Islam yang dianggap
keramat, penyebar agama Islam, mereka dianggap “kekasih Allah”, orang-orang yang dekat
dengan Allah, dikaruniai tenaga gaib, mempunyai kekuatan-kekuatan batin yang sangat
berlebih, mempunyai ilmu yang sangat tinggi, dan sakti berjaya-kewijayaan (Effendy
Zarkasi, 1977: 52).
Sebagian penulis berpendapat bahwa istilah Wali Songo berasal dari bahasa Arab ,
yaitu wali dan tsana’(mulia), sehingga berarti para wali yang mulia. Sebagian lagi
berpendapat istilah Wali Songo berasal dari bahasa Jawa, yaitu wali dan sana (baca: sono),
yaitu tempat. Ada pula yang menyebut dengan Wali Songo berarti sembilan wali atau bahkan
ada yang menyatakan Wali Sangha.37
Dari berbagai pendapat tersebut, yang paling kuat adalah berdasarkan istilah dan fakta
sejarah, yaitu bahwa Wali Songo adalah sebuah dewan dakwah, dewan mubaligh , organisasi
ulama dalam bentuk lembaga dakwah para wali yang berjumlah sembilan. Setiap ada yang
wafat atau meninggalkan Jawa maka diangkat wali lain sebagai penggantinya sehingga tetap
berjumlah sembilan. Para Wali Songo adalah pembaharu masyarakat pada masanya.
Pengaruh mereka terasa dalam beragam bentuk manifestasi peradaban baru masyarakat jawa

33
Ibid, b. 87
34
Ibid
35
Hajriyanto Y Thohari, Muhammadiyah dan pergulatan Politik Islam Modernis, (Cet. 1; Jakarta: PSAP
Muhammadiyah, 2005), h. xvi.
36
Mas’udi, “DAKWAH NUSANTARA (Kerangka Harmonis Dakwah Walisongo dalam Diseminasi Ajaran Islam di
Nusantara)”, dalam kearsipan STAIN Kudus, STAIN, 2015, hlm. 286.
37
Rachmad Abdullah, Wali Songo Glora Dakwah Dan Jihad Ditanah Jawa (1404-1482 M)(Solo: Al-Wafi, 2015),
hal. 68
mulai dari perniagaan, pelayaran dan perikanan, bercocok tanam dan persawahan,
pengobatan, kebudayaan, kesenian, pendidikan, kemasyarakatan, hingga kedalam masalah
aqidah, politik, militer, hukum, dan pemerintahan dikerajaan-kerajaan Islam. Ada pun nama-
nama sembilan orang Wali Songo yang umumnya dikenal adalah Sunan Maulana Malik
Ibrahim atau Sunan Gresik (wafat Tahun 1419), Sunan Ampel (lahir tahun 1401), Sunan Giri
atau dikenal pula sebagai Raden Paku, Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah atau juga
dikenal dengan Fatahillah (wafat tahun 1570), Suan Muria atau Raden Said, Sunan Kudus
atau dikenal pula sebagai Syekh Ja’far Shadiq, Sunan Drajat atau Raden Qasim, Sunan Kali
Jaga yang juga digelari sebagai Raden Mas Syahid, Sunan Bonang atau Raden Ibrahim
(1449-1525).
Strategi Dakwah Wali Songo
Strategi dapat diartikan sebagai tata cara dan usaha-usaha untuk menguasai dan
mendayagunakan segala sumber daya untuk mencapai tujuan (Ali Motofo, 1971: 7). Dengan
demikian, strategi dakwah yang dilakukan oleh Wali Songo itu bisa diartikan menjadi segala
cara yang ditempuh oleh para wali untuk mengajak manusia ke jalan Allah dengan
memanfaatkan segala sumber daya yang dimiliki. Beberapa strategi Wali Songo dalam
pelaksanaan dakwah dapat dikemukakan antara lain sebagai berikut:
Pertama, Pembagian Wilayah Dakwah. Para Walisongo dalam melakukan aktivitas
dakwahnya antara lain sangat memperhitungkan wilayah strategis. Beranjak dari sinilah, para
Walisongo yang dikenal jumlahnya ada sembilan orang tersebut melakukan pemilihan
wilayah dakwahnya tidak sembarangan. Penentuan tempat dakwahnya dipertimbangkan pula
dengan faktor geostrategis yang sesuai dengan kondisi zamannya. Kalau kita perhatikan dari
kesembilan wali dalam pembagian wilayah kerjanya ternyata mempunyai dasar pertimbangan
geostrategis yang mapan sekali. Kesembilan wali tersebut membagi kerja dengan rasio 5:3:1
(Suryanegara, 1995: 104). Para wali melihat realiatas masyarakat yang masih dipengaruhi
oleh budaya yang bersumber dari ajaran Hindu dan Budha. Saat itu para Wali mengakui seni
sebagai media komunikasi yang mempunyai pengaruh besar terhadap pola pikir masyarakat.
Oleh kerana itu, seni dan budaya yang sudah berakar di tengah-tengah masyarakat menurut
mereka perlu dimodifikasi, dan akhirnya bisa dimanfaatkan untuk kepentingan dakwah.
Kedua, sistem dakwah dilakukan dengan pengenalan ajaran Islam melalui
pendekatan persuasif yang berorientasi pada penanaman aqidah Islam yan disesuaikan
dengan situasi dan kondisi yang ada. Rangkaian penggunaan sistem dakwah ini, misalnya kita
dapati ketika Raden Rahmat atau Sunan Ampel dan kawan-kawan berdakwah kepada Adipati
Aria Damar dari Palembang. Berkat keramahan dan kebijaksanaan Raden Rahmat, akhirnya
Raden Aria Damar sudi masuk Islam bersama istrinya, yang diikuti pula oleh hampir seluruh
anak negerinya (Ali Murtopo, 1971:88).
Ketiga, melakukan perang ideologi untuk memberantas etos dan nilai-nilai dogmatis
yang bertentangan dengan aqidah Islam, di mana para ulama harus menciptakan mitos dan
nilai-nilai tandingan baru yang sesuai dengan Islam. Salah satu tugas utama dari para ulama
yang telah dikader oleh Raden Rahmat adalah menyebarkan ajaran Islam.
Keempat, melakukan pendekatan terhadap para tokoh yang dianggap mempunyai
pengaruh di suatu tempat dan berusaha menghindari konflik. Salah satu azas dakwah yang
dicanangkan oleh Walisongo adalah menghindari konflik-konflik dengan cara melakukan
pendekatan kepada para tokoh setempat, diilhami oleh cara dakwah yang dilakukan oleh para
Nabi Muhammad saw, apa yang pernah dirintis oleh para Rasulullah untuk memperkuat
kedudukan Islam di tengah peradaban Jahiliyah dewasa itu, yang kenyataannya relevan juga
untuk diterapkan di Jawa oleh para Wali, meski dengan taktik yang disesuaikan. (Ridin
Sofwan, dkk, 2000: 262)38
Kelima, berusaha mengguasai kebutuhan-kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan
oleh masyarakat, baik kebutuhan yang bersifat materil maupun spiritual. Faktor kebutuhan
pokok amat vital bagi masyarakat dewasa itu adalah menyangkut masalah air, baik air
sebagai kebutuhan keluarga sehari-hari maupun sebagai irigasi pertanian. (Ridin Sofwan,
dkk, 2000: 262)
Metode Dakwah Wali Songo
Keberhasilan dakwah para Wali Songo tentu juga tidak terlepas dari metode yang
mereka aplikasikan dalam pelaksanaan di lapangan. Secara umum, dapat dikatakan bahwa
metode dakwah para Walisongo tidak terlepas dari metode ini digunakan oleh mereka dalam
tokoh-tokoh khusus seperti pemimpin, orang terpandang dan terkemuka dalam dalam
masyarakat, seperti para bupati, adipati, raja-raja ataupun menghadapi para bangsaan
lainnya.39
Metode al-hikmah sebagai sistem dan cara-cara berdakwah para wali merupakan
jalan kebijaksanaan yang diselenggarakan secara popular, atraktif, dan sensational. Cara ini
mereka pergunakan dalam menghadapi masyarakat awam. Dengan tata cara yang amat
bijaksana, masyarakat awam itu mereka hadapi secara massal. Kadang-kadang terlihat
sensasional bahkan ganjil dan unik sehingga menarik perhatian umum. Dalam rangkaian
metode ini kita dapati misalnya, Sunan Kalijaga dengan gamelan Sekatennya. Beberapa
metode penting lainnya yang diterapkan oleh para walisongo sebagaimana dikemukakan oleh
Ridin Sofwan dkk (2000: 271-284) yaitu:
Pertama, metode pembentukan dan penanaman kader, serta penyebaran juru dakwah
ke berbagai daerah. Tempat yang dituju ialah daerah- daerah yang sama sekali kosong dari
penghuni atau kosong dari pengaruh Islam.
Kedua, dakwah melalui jalur keluarga/perkawinan. Sunan Ampel misalnya, putri
beliau yang bernama Dewi Murthosiyah misalnya, dikawinkan dengan Raden Patah (Bupati
Demak), Putri Sunan Ampel yang bernama ‘Alawiyah’ dikawinkan dengan Syarif
Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Sedangkan Putri beliau yang bernama Siti Sariyah
dikawinkan dengan Usman haji dar Ngudung.
Ketiga, mengembangkan pendidikan pesantren yang mula-mula dirintis oleh Syekh
Maulana Malik Ibrahim adalah suatu model pendidikan Islam yang mengambil bentuk
pendidikan biara dan asrama yang dipakai oleh pendeta dan biksu dalam mengajar dan
belajar. Oleh sebab itu, pesantren di masa itu pengaruhnya masih terlihat sampai saat ini.
Keempat, dengan mengembangkan kebudayaan Jawa. Dalam kebudayaan Jawa
Walisongo memberikan andil yang sangat besar. Bukan hanya pada pendidikan dan
pengajaran, tetapi juga meluas pada bidangbidang hiburan, tata sibuk (perintang waktu
luang), kesenian dan aspek-aspek lain dibidang kebudayaan pada umumnya.
Kelima, metode dakwah melalui sarana dan prasarana yang berkait dengan masalah
perekonomian rakyat. Misalnya untuk efisiensi dalam perekonomian para wali berijtihad
tentang kesempurnaan alat-alat pertania, perabotan dapur, dan barang pecah belah. Dalaam
pada itu, Sunan Kaslijaga menyumbangkan karya- karya yang berkenaan dengan pertanian
seperti filsafat bajak dan cangkul. Dengan membuat jasa dalam bidang kemamuran rakyat
38
Ibid, hlm.92
39
Ibid, hlm.80
melalui penyempurnaan sarana dan prasara menjadi lebih sempurna, beliau berharap dapat
menarik perhatian dan ketaatan masyarakat agar menuruti ajakan Sunan Kalijaga serta wali-
walinya.
Keenam, dalam mengembangkan dakwa Islamiyah di tanah Jawa para wali
menggunakan sarana politik untuk mencapai tujuannya. Berangkat dari pemikiran ini, maka
kehadiran keraton Demak tidak mungkin diabaikan begitu saja peranannya dalam sejarah
penyebaran Isalam pada masa itu. Pentingnya kekuasan politik bagi kelangsungan dakwah ini
tentunya didasari oleh para Walisongo, sehingga tidaklah mengherankan kalau mereka juga
banyak terlibat dalam percaturan politik ini. Kebanyakan para wali adalah panglima perang,
penasehat saja, atau juga penguasa itu sendiri. Pada saat Demak menyerang Majapahit,
misalnya, yang menjadi penglima perang adalah Sunan Ngudung , yang kemudain digantikan
oleh Sunan Kudus, dan dibantu oleh wali yang lain. Dimanfaatkannya jalur kekuasaan dalam
dakwah dapat dilihat juga pada proses pendirian masjid Demak. Masjid ini adalah masjid
yang didirikan bersama oleh para wali sebagai pusat dakwah mereka. Namun tidak seperti
pada umumnya, masjid ini tidak dikelola oleh seorang wali.
Masjid Demak adalah masjid keraton yang pengelolaannya langsung dibawah
penguasaan sultan bertahta dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pusat dakwah walisanga
tidak di tempat salah seorang wali atau pun masing–masing wali, tetapi di pusat kekuasaan
politik di keraton. Selain itu, pada jaman Demak ini pula dikenal adanya semacam lembaga
dakwah yang beranggotakan para wali dan dipimpin langsung oleh sultan.
Tokoh-Tokoh Pembaharuan Islam di Indonesia
Riwayat Hidup dan pendidikan Nurcholish Madjid
Nurcholish Madjid sangat akrab disapa Cak Nur.Panggilan Cak kepada Nurcholish
Madjid sudah menjadi identitas khas yang tidak dapat dipisahkan dari sosok personalitasnya
yang santun, arif, biijak, dan ramah.Sapaan Cak Nur itu sudah melekatpada diri Nurcholish,
walaupun rekan, teman, sahabat dan kenalan yang memanggilnya berusia lebih tua daripada
Nurcholish sendiri.Itu menggambarkan jalinan rasa simpati, tanda kedekatan, dan tanda
keakraban mereka dengan Nurcholish.Begitu sebaliknya, Nurcholish juga merasa akrab dan
dekat dengan mereka. Nurcholish Madjid lahir pada tanggal 17 Maret 1939 bertepatan
dengan 26 Muharram 1358 H di Jombang, Jawa Timur, dari keluarga kalangan pesantren
yang taat menjalankan agama.Ayahnya bernama KH.Abdul Madjid dikenal sebagai
pendukung Masyumi.40 Mempunyai hubungan yang baik dan akrab dengan KH Hasyim
Asy‟ari, pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Ketika partai
Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) di bentuk pada November 1945 dan jabatan
ketua umumnya dipercayakan kepada KH Hasyim Asy‟ari, Abdul Madjid bergabung dan
menyertai Masyumi.Bahkan ketika KH Hasyim Asy‟ari sudah tidak aktif lagi di Masyumi
karena NU keluar dari Masyumi dan mendaklarasikan diri sebagai partai tersendiri pada
tahun 1952.Abdul Madjid tetap konsisten menjadi anggota Masyumi. Bersama keluarganya,
Nurcholish menjalani dan menikmati masa kanakkanaknya di Jombang.Masa muda Cak Nur
banyak dihabiskan di Pesantren tempat Cak Nur menimba dan menuntut ilmu.
Cak Nur menikahi Omo Komariah dan dikaruniai dua orang anak, yaitu Nadia Madjid
dan Ahmad Mikail. Tinggal di Jakarta, keluarga ini hidup berbahagia, rukun dan harmonis
menjalani kehidupan rumah tangganya. Jombang, tempat kelahiran Nurcholish adalah kota
kabupaten yang masyarakatnya taat beragama dan banyak mempunyai pondok pesantren,

40
Syariah, Kebangkitan Umat Islam Versi Nurcholish Madjid (Jurnal An-Nida), Lembaga penelitian dan
Pengembangan UIN Sultan Syarif Kasim Riau : Pekanbaru, (2008), 240
Madrasah dan lembaga-lembaga pendidikan Islam. Salah satu pondok pesantren yang
terkenal sejak berdirinya hingga sekarang ini adalah Pesantren Tebuireng yang didirikan oleh
Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy‟ari, yang kemudian menjadi ulama besar dan sekaligus
sebagai salah seorang tokoh pendiri dan pemimpin terkemuka Nahdatul Ulama, organisasi
sosial keagamaan terbesar di Indonesia. Semasa menjadi mahasiswa, Nurcholish Madjid
banyak melakukan kegiatan di berbagai organisasi. Ia pernah menjadi Ketua Umum
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat pada tahun 60-an, kemudian menjadi
Ketua Umum Pengurus Besar HMI selama periode 1966-1969 dan 1969-1971. Selain itu ia
juga pernah menjadi Presiden pertama Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara (PEMIAT)
tahun 1967-1969, sebagai wakil Sekretaris Jenderal Internasional Islamic Federation of
Student Organization (IIFSO) pada 1969-1971. Setelah menyelesaikan kuliah di IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Nurcholish Madjid bekerja sebagai dosen di almamaternya, mulai tahun
1972-1976. Setelah berhasil meraih gelar Doktor pada tahun 1985, ia ditugaskan memberikan
kuliah tentang filsafat di Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain itu,
sejak tahun 1978 ia bekerja sebagai peneliti pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI).
Karya-Karya Nurcholish Madjid
Selain sebagai orang yang banyak berkecimpung di organisasi dan memangku
jabatan, Nurcholish Madjid juga sebagai seorang penulis yang produktif. Diantara karya
tulisnya adalah :
1. Islam Kemoderenan dan Ke Indonesiaan (Bandung, Mizan, 1987)
2. Khazanah Intelekual Islam (Jakarta, Bulan Bintang, 1984)
3. Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan,
Kemanusiaan dan Kemodernan (Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina, 1992)
4. Islam Kerakyatan dan KeIndonesiaan (Bandung : Mizan, 1993)
5. Pintu-Pintu Menuju Tuhan (Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina, 1997)
6. Islam Agama Kemanuisaan, Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia
(Jakarta : Paramadina, 1995)
Riwayat hidup dan pendidikan Muhammad Rasyidi
Prof. Dr. H. Muhammad Rasyidi lahir di Kotagede, Yogyakarta 20 Mei 1915 atau 4
Rajab 1333 H, dan meninggal pada tanggal 30 Januari 200141 pada umur 85 tahun. Nama
kecilnya adalah Saridi, namun setelah menjadi murid Ahmad Syurkati pimpinan Al-Irsyad,
diberi nama baru sebagai “Muhammad Rasyidi”. Namun nama baru tersebut secara resmi
baru dipakai oleh Saridi pasca menunaikan ibadah Haj. Beberapa tahun kemudian, nama kecil
Saridi demikian menjadi nama besar H.M. Rasyidi. Rasyidi lahir dalam sebuah lingkungan
Jawa yang kental dengan nuansa keislaman dan berasal dari keluarga abangan, yaitu
penganut agama Islam namun tidak melakukan ibadah Islam dalam kesehariannya
sebagaimana mestinya.Dikatakan bahwa keluarga beliau bernaung di rumah Joglo tempat
beliau dibesarkan yang pada hari-hari tertentu tidak melewatkan adanya pemasangan sesaji.
Sebagaimana halnya anak-anak yang sebaya dengannya, Rasyidi masuk sekolah di
Kotagede yaitu sekolah Ongko Loro yaitu sekolah dasar yang bahasa daerah dan kelas
tertinggi adalah kelas lima. Sementara itu pada tanggal 15 November 1912 didirikan
41
Mohammad Herry, Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, Jakarta : Gema Insani, (2006), 79
perkumpulan Muhammadiyah oleh K.H.Ahmad Dahlan, yang menerobos sampai
keperbatasan Yogyakarta. Rasyidi pun tertarik dengan sekolah tersebut hingga akhirnya dia
pindah ke sekolah yang baru berdiri tersebut. Kemudian beliau meneruskan pendidikan di
perguruan al-Irsyad.

Karya-Karya Muhammad Rasyidi


Adapun karya-karya H.M.Rasyidi berupa karangan-karangan dan juga hasil
terjemahan-terjemahan, yaitu sebagai berikut:
1. Koreksi terhadap Drs. Nurcholish Madjid Tentang sekularisasi
2. Filsafat Agama
3. Islam di Indonesia di Zaman Modern
4. Keutamaan Hukum Islam
5. Islam dan Kebatinan Islam Menentang Komunsime
Riwayat Hidup Budhy Munawar Rachman
Budhy Munawar-Rachman adalah penulis dan pendiri Nurcholish Madjid Society
(NCMS).Mendapat pendidikan dalam bidang Filsafat pada STF Driyakara. Selama 12 tahun
(1992-2004) menjadi Direktur Pusat Studi Islam Paramadina, yang antara lain
mengkoordinasi seminar bulanan Klub Kajian Agama (KKA), yang telah berlangsung sampai
KKA kke-200. Pernah menjadi Direktur Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF, 1992-
1995), dan pada 2004 mendirikan dan menjadi Direktur Project On Pluralism and Religious
Tolerance, Center for Spirituality and Leadership (CSL), yang diantara misinya adalah
menyebarluaskan gagasan pluralism Nurcholish Madjid.
Mengajar Islamic Studies pada Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara dan
Universitas Paramadina.Menulis karangan dalam lebih dari 50 buku diantaranya adalah Islam
Pluralis, Fiqih Lintas Agama (co-author) dan Membaca Nurcholish Madjid (2008). Juga
mempunyai pengalaman menyunting ensiklopedi, seperti Ensiklopedi al-Qur’an (karya Prof.
Dr. M. Dawam Raharjo), Ensiklopedi Islam untuk Pelajar, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam,
Ensiklopedi Umum untuk Pelajar dan Ensiklopedi Nurcholish Madjid.42

42
Budhy Munawar-Rachman, Membaca Nurcholish Madjid, Jakarta : Lembaga Studi Agama dan Filsafat, (2008)
BAB III PENUTUP
Kesimpulan
Ada tiga teori masuknya Islam ke Indonesia: a) Teori Gujarat oleh Snouck Hurgronje,
menyatakan masuknya Islam berasal dari Gujarat. Snouck Hurgronje menitikberatkan
pandangannya ke Gujarat berdasarkan: 1) kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa
Arab dalam menyebarkan agama Islam ke Nusantara. 2) hubungan dagang Indonesia-India
telah terjalin lama. 3) inkripsi tertua tentang Islam terdapat di Sumatera memberikan
gambaran antara hubungan antara Sumatera dengan Gujarat. Senada dengan pendapat W.F.
Stutterheim, menyatakan masuknya Iskam ke Indonesia berasal dari Gujarat, abad ke-13.
Dibuktikan batu nisan Sultan pertama dari Kerajaan Samudra, yakni Malik AlSaleh wafat
tahun 1297 M. b) Teori Makkah, Hamka menyatakan masuknya Islam ke Indonesia abad
1H/7 M, dan peranan bangsa Arab sebagai pembawa agama Islam ke Indonesia. Gujarat. c)
Teori Persia menyatakan kebudayaan masyarakat Islam Indonesia mempunyai persamaan
dengan Persia, antara lain: a)Peringatan 10 Muharram atau Assyura sebagai hari peringatan
Syiah atas kematian syahidnya Husain. b) adanya kesamaan ajaran antara Syaikh Siti Jenar
dengan ajaran Sufi Iran Al-Hallaj. c) penggunaan istilah bahasa Iran dalam system mengeja
huruf Arab. d) nisan pada makam Malikus Saleh (1297) dan makamMalik Ibrahim (1419) di
Gresik dipesan dari Gujarat. Teori Persia mempunyai kesamaan mutlak dengan teori Gujarat.
Proses islamisasi di Indonesia ada enam, yaitu: a) saluran perdagangan. Kesibukan
lalu lintas perdagangan abad ke-7. Membuat pedagang-pedagang muslim (Arab, Persia, dan
India) turut ambil bagian dalam perdagangan dari negeri-negeri bagian Barat, Tenggara dan
Timur benua Asia. b) saluran perkawinan. Jalur perkawinan ini lebih menguntungkan apabila
terjadi antara saudagar muslim dengan anak bangsawan atau anak raja dan anak adipati,
karena raja, adipati atau bangsawan itu kemudian turut mempercepat proses islamisasi. c)
saluran tasawuf. Dengan tasawuf “bentuk” Islam yang diajarkan kepada penduduk pribumi
mempunyai persamaan dengan alam pikiran mereka yang sebelumnya menganut agama
Hindu, sehingga agama baru itu mudah dimengerti dan diterima. d) saluran pendidikan.
Islamisasi juga dilakukan melalui pendidikan, baik pesantren maupun pondok yang
diselenggarakan oleh-oleh guru-guru agama, kyai-kyai, dan ulama-ulama. e) saluran
kesenian. Saluran islamisasi melalui kesenian yang paling terkenal adalah pertunjukan
wayang. Dikatakan, Sunan Kalijaga adalah tokoh yang paling mahir dalam mementaskan
wayang. f) saluran politik. Pengaruh politik raja sangat membantu tersebarnya Islam di
daerah. Teori masuknya Islam ke Indonesia yaitu teori Gujarat, Makkah dan Persia. Namun
perlu disarankan adanya teori lain untuk memperkuat teori yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Arnold, Thomas W. The Preaching of Islam, edisi Indonesia Sejarah Dakwah Islam, terj. A.
Nawawi Rambe, Jakarta: Widjaja, 1982.
Asari, Hasan. “Sejarah Pendidikan Islam”, Medan: Perdana Publishing, 2018.
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII dan
XVIII, Bandung: Mizan, 1994.
Daulay, Haidar Putra. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di
Indonesia,
Bandung: Ciptapustaka Media, 2018.
Guillot, Claude. Barus Seribu Tahun yang Lalu, cet. ke-2, Jakarta: Gramedia, 2017.
Hasjmy, A. Sejarah Masuk dan Berkembanganya Islam di Indonesia, Bandung: Al-MA’arif,
1989.
Hasbullah, Moeflih. Sejarah Sosial Intelektual Islam Indonesia, Bandung; Pustaka, 2012.
Nasution, Fauziah. Praktek Kejawen Masyarakat Muslim Jawa di Koata Padangsidimpuan,
penelitian individual DIPA IAIN Padangsidimpuan, 2016.
Panitia Seminar Sedjarah Masuknja Islam ke Indonesia, Risalah Seminar: Sedjarah
Masuknja
Islam ke Indonesia, Medan: Panitia Seminar Sedjarah Masuknja Islam ke
Indonesia, 1963.
Saksono, Widji. Mengislamkan Tanah Jawa, Bandung: Mizan, 1995.
Suryanegara, Ahmad Mansur. Memahami Sejarah, Wacana Pergerakan Islam di Indonesia
Bandung: Mizan, 1996.
Tjandrasasmita, Uka. “Kedatangan dan Penyebaran Islam,” dalam Taufik Abdullah, et. al.
(ed.) Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Asia Tenggara, Jakarta: Ichtiar baru
Van Hoeve, 2003.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia jilid
III, Jakarta: Balai Pustaka, 1993
Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, penerjemah: Tim Penerjemah
Serambi, PT. Ikrar andiriabadi, Jakarta, 2008
Sunanto, Musrifah, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2004
Suryanegara, Ahmad Mansur, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia,
Bandung: Mizan, tt
Thohir, Ajid, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2009

Anda mungkin juga menyukai