Anda di halaman 1dari 11

DAKWAH ISLAM DI NUSANTARA DAN ASAL-USUL

MUHAMMADIYAH
Tugas ini disusun untuk memenuhi mata kuliah Al-Islam 3

Disusun oleh :
Kelompok 2

Nama

Ananda Yulia Astanti

(1488293225)

Ligar Mawarni Pugisda

(1488203228)

Semester

A2/ 3

DosenPembimbing

Sarli Amri Tp, S.Pd.I, MA

Mata Kuliah

Al-Islam 3

Nama Fakultas

FKIP

Nama Prodi

Bahasa Inggris A2

I.

Dakwah Islam di Nusantara


Seiring perkembangan zaman dakwah islam pun mulai merambah
berbagai media dan metode, tidak seperti dulu yang hanya penyebaran melalui
mulut ke mulut sambil berdagang. Agama Islam memang agama yang sangat
menghargai ilmu pengetahuan, karena wahyu yang pertama turun merupakan
perintah untuk membaca, bukan hanya terbatas pada membaca tulisan saja
tetapi membaca tanda tanda kebesaran Allah swt. di dunia. Pada hakikatnya
aktivitas dakwah merupakan hal yang fleksibel dan dapat dilakukan dengan
berbagai cara atau metode dan direncanakan dengan tujuan mencari
kebahagiaan hidup dengan dasar keridhaan Allah swt.
Dakwah adalah usaha peningkatan pemahaman keagamaan untuk
mengubah pandangan hidup, sikap batin dan perilaku umat yang tidak sesuai
menjadi sesuai dengan tuntunan syariat untuk memperoleh kebahagiaan hidup
di dunia dan akhirat. Dai harus mempunyai pemahaman yang mendalam
bukan saja menganggap bahwa dakwah dalam frame Amar maruf nahi
mungkar, sekedar menyampaikan saja melainkan harus memenuhi beberapa
syarat, yakni mencari materi yang cocok, mengetahui psikologis objek
dakwah, memilih metode yang representatif, menggunakan bahasa yang
bijaksana dan sebagainya.
Secara konvensional, subjek dakwah terdiri dari dai (mubaligh) dan
pengelola dakwah. Padahal jika kita melihat sejarah perkembangan islam pada
masa awal struktur masyarakat Islam di Nusantara pada abad 16/17
merupakan kesatuan dari tiga kekuatan, yaitu ekonomi yang berbasis pada
perdagangan di pelabuhan, politik yang termanifestasi pada keraton atau
kerajaan, dan agama sebagaimana teraktualisasi dalam pesantren di Jawa,
dayah di aceh atau surau di Sumatera Barat dan pusat agama lainnya.
Pada awal perkembangannya saja agama Islam tidak hanya mengandalkan
peran seorang dai saja, tetapi di bidang lain pun bisa turut mempengaruhi
perkembangan Islam, sebagaimana yang kita lihat sekarang bahwa banyak
lembaga yang mengajarkan agama Islam, dan juga banyak majalah majalah

yang bertemakan Islam, film religi, dan hal hal lain yang baru muncul di masa
sekarang.
Di jaman dulu juga banyak para sufi yang menyebarkan agama islam,
yang mempunyai ciri khusus yaitu mereka menyebarkan islam dengan dua
cara. Pertama, dengan membentuk kader, guru dan mubaligh, agar mampu
mengajarkan islam dan menyebarkan islamdi daerah asalnya serta
meneruskan jejak gurunya. Kedua, melalui karya karya tulis yang tersebar dan
dibaca diberbagai tempat yang jauh diluar tempat tinggal mereka.
Sebagaimana karya Hamzah Fansuri yang berisi uraian singkat tentang sifat
sifat dan inti ilmu kalam menurut teologi islam.

A.

Teori Masuknya Islam di Nusantara


Islam merupakan salah satu agama yang masuk dan berkembang di
Indonesia. Hal ini tentu bukanlah sesuatu yang asing bagi Anda, karena di
mass media mungkin Anda sudah sering mendengar atau membaca bahwa
Indonesia adalah negara yang memiliki penganut agama Islam terbesar di
dunia.Agama Islam masuk ke Indonesia dimulai dari daerah pesisir pantai,
kemudian diteruskan ke daerah pedalaman oleh para ulama atau penyebar
ajaran Islam. Mengenai kapan Islam masuk ke Indonesia dan siapa
pembawanya terdapat beberapa teori yang mendukungnya.
Proses masuk dan berkembangnya agama Islam di Indonesia menurut
Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya yang berjudul Menemukan
Sejarah, terdapat 3 teori yaitu teori Gujarat, teori Makkah dan teori
Persia.Ketiga teori tersebut di atas memberikan jawaban tentang permasalah
waktu masuknya Islam ke Indonesia, asal negara dan tentang pelaku penyebar
atau pembawa agama Islam ke Nusantara. Untuk mengetahui lebih jauh dari
teori-teori tersebut, silahkan Anda simak uraian materi berikut ini.
1. Teori Gujarat

Teori ini dinamakan Teori Gujarat bertolak dari pandangan teori


ini yang menyatakan asal Negara yang membawa agama Islam ke
Nusantara adalah dari Gujarat. Adapun peletak dasar teori ini menurut
dugaan penulis besar kemungkinannya adalah Snouck Hurgronje,
dalam bukunys LArabie et les Indes Neerlandaises, atau Reveu de
lHistoire des Religious, jilid Ivil. Snouck Hurgronje lebuh
menitikberatkan pandangannya ke Gujarat berdasarkan:
1. Kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam
penyebaran agama Islam ke Nusantara.
2. Hubungan dagang Indonesia-India telah lama terjalin.
3. Inskripsi tertua tentang Islam yang terdapat di Sumatara
memberikan gambaran hubungan antara Sumatra dengan Gujarat.
J.C. van Leur dalam bukunya Indonesia: Trade and Society,
menyatakan bahwa pada 674 di pantai Barat Sumatra telah dapat
perkampungan (koloni) Arab Islam. Dengan pertimbangan bangsa
Arab telah mendirikan perkampungan perdagangannya di Kanton pada
abad

ke-4. Tahun-tahun berikutnya perkembangan perkampungan

perdagangan ini mulai mempraktikan ajaran agama Islam.


Dari keterangan J.C. van Leur ini masuknya agama Islam ke
Nusantara tidaklah terjadi pada abad ke-13 merupakan saat
perkembangan agama Islam. Perluasan lebih lanjut terjadi pada abad
ke-16, sebagai akibat adanya perubahan politik yang terjadi di India.

2. Teori Makkah
Teori lama, teori Gujarat, sejak 1958 mendapatkan koreksi dan
kritik dari Hamka yang melahirkan teori baru yakni Teori Makkah.
Koreksinya ni disampaikan dalam pidatonya pada

Dies Natalis

Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) ke-8 di Yogyakarta,


pada 158.Sejak dari pidatonya di atas, kemudian dikuatkan dalam
sanggahannya dalam seminar Sejarah Masuknya Agama Islam ke
Indonesia, di Medan, 17-20 Maret 1963, Hamka menolak pandangan
yang menyatakan bahwa agama Islam masuk ke Nusantara pada abad
ke-13 dan berasal dari Gujarat. Hamka lebih mendasarkan
pandangannya pada peranan bangsa Arab sebagai pembawa agama
Islam ke Indonesia Gujarat dinyatakan sebagai tempat singgah semata,
dan Makkah sebagai pusat, atau Mesir sebagai tempat pengambilan
ajaran Islam.
Selain itu Hamka menolak pendapat yang menyatakan bahwa
agama Islam baru masuk ke Nusantara sejak abad ke-13, karena di
Nusantara abad ke-13 teah beridiri kekuasaan politik Islam. Jadi
masuknya agama Islam ke Nusantara terjadi jauh sebelumnya yakni
abad ke-7.
3. Teori Persia
Membangun teori Persia ini di Indonesia adalah P.A. Hoesein
Djajadiningrat. Fokus pandangan teori ini tentang masuknya agama
Islam ke Nusantara berbeda dengan teori Gijarat dan Makkah,
sebkalipun mempunyai kesamaan masalah Gujaratnya, serta Mazhab
Syafii-nya. Teori Persia lebih menitik beratkan tinjauannya kepada
kebudayaan yang hidup di kalangan masyarakat Islam Indonesia yang
dirasakan

mempunyai

persamaan

dengan

Persia.

Kesamaan

kebudayaan ini dapat dilihat pada masyarakat Islam Indonesia antara


lain :
Pertama, peringatan 10 muharram atau Asyura sebagai hari
peringatan Syiah atas kematian syahidnya Husain.
Kedua, adanya kesamaan ajaran antara ajaran Syaikh Siti Jenar
dengan ajaran Sufi Iran AL-Hallaj, sekalipun Al-Hallaj telah
meninggal pada 310 H/992 M, tetapi ajarannya berkembang terus

dalam bentuk puisi, sehingga memungkinkan Syaikh Siti Jenar yang


hidup pada abad ke-16 dapat mempelajarinya.
Ketiga, penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja
huruf Arab, untuk tanda-tanda bunyi harakat dalam pengajian AlQuran tingkat awal :
Bahasa Iran
jabar-zabar
jer-ze er
pes- pyes
Keempat, nisan

pada makam Malikus Saleh (1297) dan

makam Malik Ibrahim (1419) di Gresik dipesan dari Gujarat. Dalam


hal ini, teori Persia mempunyai kesamaan mutlak dengan teori Gujarat.
Tetpi sangat berbeda jauh dengan pandangan G.E. Morrison.
Kelima, pengakuan umat Islam Indonesia terhadap Mazhab
Syafii sebagai mazhab yang paling utama di daerah Malabar.
B. Proses Perkembangan Islam di Nusantara
Proses penyebaran Islam di Indonesia atau proses Islamisasi tidak
terlepas dari peranan para pedagang, mubaliqh/ulama, raja, bangsawan
atau para adipati. Di pulau Jawa, peranan mubaliqh dan ulama tergabung
dalam kelompok para wali yang dikenal dengan sebutan Walisongo atau
wali sembilan yang terdiri dari:
1. Maulana Malik Ibrahim dikenal dengan nama Syeikh Maghribh
menyebarkan Islam di Jawa Timur.
2. Sunan Ampel dengan nama asli Raden Rahmat menyebarkan Islam di
daerah Ampel Surabaya.
3. Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel memiliki nama asli Maulana
Makdum Ibrahim, menyebarkan Islam di Bonang (Tuban).
4. Sunan Drajat juga putra dari Sunan Ampel nama aslinya adalah
Syarifuddin, menyebarkan Islam di daerah Gresik/Sedayu.
5. Sunan Giri nama aslinya Raden Paku menyebarkan Islam di daerah Bukit
Giri (Gresik)

6. Sunan Kudus nama aslinya Syeikh Jafar Shodik menyebarkan ajaran


Islam di daerah Kudus.
7. Sunan Kalijaga nama aslinya Raden Mas Syahid atau R. Setya
menyebarkan ajaran Islam di daerah Demak.
8. Sunan Muria adalah putra Sunan Kalijaga nama aslinya Raden Umar
Syaid menyebarkan islamnya di daerah Gunung Muria.
9. Sunan Gunung Jati nama aslinya Syarif Hidayatullah, menyebarkan Islam
di Jawa Barat (Cirebon) Demikian sembilan wali yang sangat terkenal di
pulau Jawa, Masyarakat Jawa sebagian memandang para wali memiliki
kesempurnaan hidup dan selalu dekat dengan Allah, sehingga dikenal
dengan sebutan Waliullah yang artinya orang yang dikasihi Allah.
C. Corak Islam di Nusantara
Kemunculan dan perkembangan Islam di kawasan Nusantara
menimbulkan transformasi kebudayaan (peradaban) lokal. Tranformasi
melalui pergantian agama dimungkinkan karena Islam selain menekankan
keimanan yang benar, juga mementingkan tingkah laku dan pengamalan
yang baik, yang diwujudkan dalam berbagai aspek kehidupan.
Terjadinya transformasi kebudayaan (peradaban) dari sistem
keagamaan lokal kepada sistem keagamaan Islam bisa disebut revolusi
agama. Transformasi masyarakat kepada Islam terjadi berbarengan dengan
masa perdagangan, masa ketika Asia Tenggara mengalami peningkatan
posisi dalam perdagangan Timur-Barat. Kota-kota wilayah pesisir muncul
dan berkembang menjadi pusat-pusat perdagangan, kekayaan dan
kekuasaan. Masa ini mengantarkan wilayah Nusantara ke dalam
internasionalisasi perdagangan dan kosmopolitanisme kebudayaan yang
tidak pernah dialami masyarakat di kawasan ini pada masa-masa
sebelumnya. Adapun corak awal Islam dipengaruhi oleh tasawuf, antara
lain terlihat dalam berbagai aspek berikut:
a) Aspek Politik
Dengan cara perlahan dan bertahap, tanpa menolak dengan
keras

terhadap

sosial

kultural

masyarakat

sekitar,

Islam

memperkenalkan toleransi dan persamaan derajat. Ditambah lagi


kalangan

pedagang

yang

mempunyai

orientasi

kosmopolitan,

panggilan Islam ini kemudian menjadi dorongan untuk mengambil alih


kekuasaan politik dari tangan penguasa yang masih kafir.
b) Adanya sebuah kerajaan, akan melahirkan undang-undang untuk
mengatur jalannya kehidupan di sebuah kerajaan.
Karena dengan undang-undang inilah masyarakat akan diatur.
Sebelum masuknya Nusantara, telah ada sistem hukum yang
bersumber dari hukum Hindu dan tradisi lokal (hukum adat). Berbagai
perkara dalam masyarakat diselesaikan dengan kedua hukum tersebut.
Setelah agama Islam masuk, terjadi perubahan tata hukum.
Hukum Islam berhasil menggantikan hukum Hindu di samping
berusaha memasukkan pengaruh ke dalam masyarakat dengan
mendesak hukum adat, meskipun dalam batas-batas tertentu hukum
adat masih tetap bertahan.
Pengaruh hukum Islam tampak jelas dalam beberapa segi
kehidupan dan berhasil mengambil kedudukan yang tetap bagi
penganutnya.
Berbagai kitab undang-undang yang ditulis pada masa-masa awal
Islam di Nusantara yang menjadi panduan hukum bagi negara dan
masyarakat, memang bersumber dari kitab-kitab karya ulama Sunni di
berbagai pusat keilmuan dan kekuasaan Islam di Timur Tengah. Kitab
undang-undang Melayu menunjukkan ajaran-ajaran syariah sebagai
bagian integral dalam pembinaan tradisi politik di kawasan ini.
Sebagai contoh, yaitu kitab Undang-Undang Melaka. Kitab undangundang ini menunjukkan kuatnya pengaruh unsur-unsur hukum Islam,
khususnya yang berasal dari Mazhab Syafii. Undang-Undang Melaka
pada intinya meletakkan beberapa prinsip pertemuan antara hukum
Islam dan adat setempat. Pertama, gagasan tentang kekuasaan dan dan
sifat daulat ditentukan berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Kedua,

pemeliharaan ketertiban umum dan penyelesaian perkara hukum


didasarkan pada ketentuan-ketentuan Islam dan adat.
Ketiga, hukum kekeluargaan pada umumnya didasarkan pada
ketentuan-ketentuan fiqh Islam. Keempat, hukum dagang dirumuskan
berdasarkan praktek perdagangan kaum Muslimin. Kelima, hukum
yang berkaitan dengan kepemilikan tanah umumnya berdasarkan adat.
Dengan demikian, dalam perkembangan tradisi politik Melayu di
Nusantara, pembinaan hukum dilakukan dengan mengambil prinsipprinsip hukum Islam, dan mempertahankan ketentuan-ketentuan adat
yang dipandang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
c) Aspek Bahasa
Kedalaman pengaruh bahasa Arab dalam politik Islam di Asia
Tenggara (nusantara) tidak diragukan lagi banyak berkaitan dengan
sifat penyebaran Islam di kawasan, khususnya pada masa-masa awal.
Hal ini berbeda dengan Islamisasi di wilayah Persia dan Turki yang
melibatkan penggunaan militer, Islamisasi di Nusantara pada
umumnya berlangsung damai. Konsekuensi dari sifat proses
penyebaran itu sudah jelas. Wilayah Muslim Asia Tenggara
(Nusantara) menerima Islam secara berangsur-angsur. Dengan
demikian, Muslim Melayu tidak mengadopsi budaya Arab secara
keseluruhan , bahkan warna lokal cukup menonjol dalam perjalanan
Islam di kawasan ini. Walaupun kurang terarabisasi, bahasa Arab
memainkan peran penting dalam kehidupan sosial keagamaan kaum
Muslim. Berbagai suku bangsa Melayu tidak hanya mengadopsi
peristilahan Arab, tetapi juga aksara Arab yang kemudian sedikit
banyak disesuaikan dengan kebutuhan lidah lokal. Dari aspek tersebut,
kemunculan Islam dan penerimaan aksara Arab merupakan langkah
signifikan bagi sebagian penduduk di Nusantara untuk masuk ke
dalam kebudayaan tulisan. Selanjutnya, hal tersebut melahirkan tulisan
yang dikenal dengan akasara Arab Melayu atau aksara Arab Jawi.

a. Kedatangan Penjajah Bangsa Barat di Nusantara


Pada abad ke-16 mulai terdapat suasana baru di perairan
Indonesia. Selama berabad-abad perairan Nusantara hanya di layari
oleh kapal-kapal dari Indonesia dan Asia, seperti Cina, Peru, Gujarat,
Benggala, Persia, dan Arab. Tetapi sejak abad ke-16 di perairan
Nusantara muncul pelaut-pelaut dari Eropa. Kemajuan ilmu dan teknik
pelayaran, menyebabkan pelaut-pelaut Eropa itu mampu berlayar
dengan menggunakan kapal sampai perairan Indonesia. Perkembangan
dan pertumbuhan Islam di Indonesia menyebabkan berdirinya kerajaan
Islam. Kemudian karena Indonesia kaya raya, maka datanglah bangsabangsa Barat, di antaranya Portugis di tahun 1512, kemudian di susul
Spanyol di tahun 1521, lalu Prancis pada tahun 1529, dan Belanda
pada tahun 1596, baru Inggris datang kemudian.
Orang Portugislah yang mula-mula muncul di Indonesia.
Kedatangan mereka disebabkan beberapa faktor yaitu dorongan
ekonomi, mereka ingin dapat keuntungan besar dengan berniaga.
Mereka ingin membeli rempah-rempah di Maluku dengan harga
rendah dan menjualnya di Eropa dengan harga tinggi.
Selain itu hasrat berpetualang yang timbul karena sikap
hidup yang dinamis. Pelaut-pelaut Portugis itu ingin melihat dunia di
luar tanah airnya. Kemudian perairan Indonesia kedatangan orang
Eropa lainnya yaitu orang Belanda, Inggris, Denmark, dan Prancis.
Pelaut-pelaut Belanda dan Inggris secara bergantian tiba di Indonesia.
Maksud kedatangan orang Belanda dan Inggris ke Indonesia tidak
berbeda dengan Portugis dan Spanyol, yaitu ingin memperoleh
rempah-rempah dengan murah.
Kedatangan bangsa Portugis di Nusantara dipermudah oleh
kondisi waktu itu terutama adanya kevakuman kekuasaan di Nusantara
dan pertentangan di antara kerajaan-kerajaan kecil yang saling berebut
hegemoni. Pertentangan inilah yang dimanfaatkan Spanyol dan

Portugis dengan dalih bersekutu mereka mengadu domba di antara


kerajaan-kerajaan kecil tersebut untuk saling bermusuhan.
Pada masa Belanda, setelah kompeni dikepalai oleh Gubernur
Jendral J.P. Coen, maka tujuan mereka semakin jelas, yakni mengusai
perdagangan rempah-rempah di Indonesia, secara sendirian maupun
monopoli. Dalam upaya melaksanakan monopoli, mereka tidak segansegan menggunakan kekerasan. Kompeni mulai menguasai beberapa
wilayah. Praktek sedemikian itu merugikan kerajaan-kerajaan di
Indonesia, sehingga di mana-mana timbul perlawanan terhadap
kompeni.
Referensi :
-

Weinata Sairin, Mth. 1995. Gerakan Pembaruan Muhammadiyah.

Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.


Mansur Suryanegara, Ahmad. 1995. Menemukan Sejarah Wacana
Pergerakan Islam di Indonesia. Jakarta: MIZAN.

Anda mungkin juga menyukai