Anda di halaman 1dari 6

Membaca “Si Tukang Dobrak dan Pintu Keropos.

Tulisan Melayu Pramoedya Ananta Toer”


karya Henk Maier
Oleh Baban Banita

1. Pengantar

Judul “Si Tukang Dobrak dan Pintu Keropos. Tulisan Melayu Pramoedya Ananta Toer”
adalah esai Henk Maier yang terhimpun dalam “ Clearing A Space. Kritik Pascakolonial tentang
Sastra Modern”. Terbitnya buku ini merupakan sebuah usaha yang berawal dari lokakarya
“Postcoloniality and the Question of Modern Indonesian Literature” di University of Sydney
yang dihadiri oleh puluhan sarjana dari berbagai negara termasuk di dalamnya sarjana dari
Indonesia.
Buku ini dieditori oleh Keith Foulcher seorang pengajar bahasa dan sastra Indonesia di
Universitas Sydney dan Tony Day seorang penulis Fluid Iron: State Formation in Southeast
Asia, dari Amerika Serikat. Secara umum kedua praktisi pascakolonial ini membuat kesepakatan
secara longgar tentang pengertian pascakolonial itu sendiri sebagai suatu kajian tentang
bagaimana sastra mengungkapkan “jejak-jejak” kolonialisme dalam konfrontasi “ras–ras,
bangsa-bangsa, dan kebudayaan-kebudayaan” yang terjadi dalam lingkup “hubungan kekuasaan
yang tak setara” sebagai dampak kolonialisme Eropa atas bangsa-bangsa di dunia ketiga.
Foulcher dan Day juga menegaskan bahwa kolonialisme adalah “strategi membaca” sastra yang
mempertimbangkan kolonialisme dan dampaknya dalam teks-teks satra, serta posisi atau suara
pengamat berkaitan dengan isu-isu tersebut.
Ada 13 tulisan dari 13 penulis yang terhimpun dalam buku ini. Mereka adalah Doris
Jedamski yang menulis tentang buku terjemahan Robinson Crusoe, Count dari Monte Cristo, dan
Sherlock Holmes dalam situasi Indonesia di zaman kolonial, Paul Tickel menulis kisah cinta, ras
dan roman dalam sebuah novel awal dalam kesasatraan Indonesia yang kemudian difokuskan
pada kepenulisan Pramoedya Ananta Toer, Keith Foulcher yang membahas novel Siti Nurbaya
dengan penekanan pada mimikri dan ambivalensi, Thomas Hunter membahas Salah Asuhan
dengan fokus kajian pada identitas, kecemasan, dan ambiguita, Barbara Hatley menulis feminin
dalam sastra Indonesia modern, Goenawan Mohamad menulis tentang perkembangan puisi
setelah tahun 1945 yang dihubungkan denagn situasi politik Indonesia, Tony Day menulis karya-
karya awal Pramoedya Ananta Toer, Melani Budianta menulis Si Doel Anak Sekolahan dan
Tjerita Boedjang Bingoeng serta cerita lainnya dalam hubungannya dengan persinggungan antara
perkembangan kota besar dengan daerah pinggirannya, Marshall Clark menulis tentang
postmodernisme dalam penulisan ulang Mahabharata oleh Emha Ainun Najib, Michael Bodden
menulis demokrasi, posmodernisme, pascakolonial dalam situasi kesenian Indonesia yang dalam
hubungannya dengan akhir Orde Baru, Will Derks menulis tentang perbincangan sastra
pedalaman yang “memberontak” terhadap tatanan sastra pusat (Jakarta) yang mapan, Ward
Keeler menulisntentang novel Durga Umayi karya Mangunwijaya.

2. Henk Maier: Pemakaian Bahasa Melayu Pada Karya Pramoedya


Pada kesempatan ini saya akan menuliskan hasil pembacaan saya terhadap tulisan Henk
Maier yang membincangkan perkembangan pemakaian bahasa Melayu dalam kesusastraan
Indonesia khususnya pada karya-karya Pramoedya Ananta Toer.
Esai Henk Maier tentang penggunaan bahasa Melayu dalam sastra Modern Indonesia
diilhami oleh tulisan Keith Foulcher tentang Pramoedya, gagasan Will Derk tentang sastra
Indonesia, dan gagasan Tony Day tentang Asia Tenggara. Dan yang paling banyak terasa adalah
gagasan Tony Day terutama atas pembahasannya mengenai bahasa dan kebahasaan karya-karya
Pramoedya. Secara langsung Henk Maier dan Tony Day tampak berbeda, tetapi sesungguhnya
dalam perbedaan itu terkandung kesamaan gagasan terutama dalam membahas ‘kemenduaan’
bahasa yang digunakan Pramoedya.
Ada enam hal setidaknya yang diungkapkan oleh Henk Maier dalam kaitannya dengan
penggunaan bahasa Melayu dalam Kesusastraan Indonesia Modern ini. Pertama, dia membahas
bagaimana kata pascakolonialisme dianggap sebagai kata kuat sebagai jaringan yang terus
tumbuh besar tetapi kehilangan dayanya ketika dipertemukan dengan situasi konkret. Hal ini
menurut Maier disebabkan oleh bervariasinya interpretasi-interpretasi tentang sastra dan
kesalingbertentangannya. Kekritisan ini seolah tidak percaya pada keilmiahan
pascakolonialisme. Pembacaan Maier sangat hati-hati seoalh sedang berjalan dalam perangkap-
perangkap yang penuh jebakan subjektivitas, meski kehati-hatian dalam ketakutan subjektivitas
ini memperosokkan dirinya untuk tidak lepas dari subjektivitas itu.
Pada pembicaraan yang kedua, yaitu mengenai penerbitan-penerbitan Melayu, Maier
menyebutkan bahwa bahasa Melayu sebagai membingungkan karena terbentuk dari pelbagai
wacana. Sebagai bahasa, Melayu cukup populer dan mempunyai daya tarik besar bagi para
penutur bahasa lain di Batavia, tetapi bahasa ini dinilainya lemah karena tidak memiliki gaya
tarik yang jelas untuk dapat menjadi sebuah standar atau kanon. Maier menyatakan bahwa
mereka yang menulis dan menerbitkan dalam bahasa Melayu sebagai bahasa kedua, dalam
prosesnya mengalami ketidakyakinan yang bersumber dari tiga persoalan: 1) keyakinan tentang
pemahaman pembaca atas bahasa Melayu yang digunakan, 2) cara menyembunyikan atau
mengatasi perasaan tidak yakin itu sendiri, dan 3) apa yang akan terjadi dengan bahasa ibu
mereka sebagai akibat pemilihan bahasa Melayu sebagai bahasa ungkap.
Pemilihan kata “membingungkan” yang digunakan Maier sesungguhnya perlu
dipertanyakan. Apanya yang membingungkan? Bagi siapa bahasa Melayu itu membingungkan?
Hal ini tidak diterangkan oleh Maier. Begitu juga kata “ketidakyakinan” tadi, untuk kasus
penggunaan bahasa Melayu sama tidak jelasnya dengan kata “membingungkan”. Ketidakyakinan
siapa? Para penulis, para pembaca, atau Maier sendiri?
Lebih lanjut, dalam hal percetakan dan penerbitan terutama tentang kebudayaan, pihak
kolonial lebih percaya pada bahasa Arab sebagai akar dan dasar kebudayaan Melayu yang
heterogen. Dengan demikian bahasa Melayu diatur dalam hal tata bahasanya, kosa kata, dan
ejaan. Hal ini merupakan alat kontrol kolonial dengan menciptakan homogenitas dengan
melibatkan para cendikia barat untuk mendiskusikan kemungkinan-kemungkinan bahasa
Melayu.
Menurut Maier kebanyakan penerbitan setelah tahun 1880 berbicara berani dan mengolok-
olok. Kata-kata seakan-akan berloncatan dari halaman koran memasuki dunia sehari-hari.
Terjemahan dan bentuk kreativitas lainnya mengalami gairah dan kegelisahan yang disertai
wacana baru. Para penulis menalarkan pengalaman-pengalaman barun dan mengulurkan tangan
untuk menarik publik baru. Kesimpulannya, kebanyakan penerbitan Melayu berbicara ngeden
dan gagap. Mereka berusaha menceritakan dongeng-dongeng dan seringkali lupa diri di tengah-
tangah permainan verbal itu dan over reaksi. Mereka mengucurkan kecemasan, kegelisahan yang
sangat kentara. Bahkan hal ini menurut Maier ada pada karya awal Pramoedya sekitar tahun
1950.
Yang menarik, Maier membandingkan karya Pramoedya dengan Titie Said, Eddy Iskandar,
Marga T, dan Mariane Katopo. Jika pada zamannya Pramoedya dipinggirkan oleh kolonial,
maka nama yang disebut belakangan dipinggirkan oleh Orde Baru dengan alasan karena
dianggap komersial dan murahan. Betulkah demikian? Bagaimana sebetulnya peran pembaca
atau kritikus itu sendiri dalam memilih karya yang bagus, mengingat karya-karya popular
memang tidak masuk dalam hitungan karya yang bermutu. Kenyataannya karya-karya keempat
pengarang yang disebut Maier adalah sastra popular, jenis sastra ini memang kurang mendapat
perhatian pengkritik karena bersangkutan dengan kualitas karya itu sendiri. Dan pembaca dari
kalangan akademis memang mempunyai alasan yang logis tentang ini. Di pembaca umum karya
ini sebetulnya mendapat sambutan yang meriah dan cukup laris, bahkan jika dibandingkan
dengan karya-karya serius di tahun ini. Maier tampaknya harus meninjau kembali tentang
pengaruh pemerintah orde baru terhadap karya keempat pengarang tersebut, apalagi
membandingkannya dengan kasus Pramoedya di zamannya.
Ketiga, Maier berbicara mengenai penerbitan tahun 1900-an di Batavia. Di sini dia menulis
bagaimana pengaruh tulisan terhadap pembacanya, bagaimana ide-ide untuk mengubah dunia
lokal. Penulisan Melayu senantiasa bersifat politis.m di sini Maier menyebut beberapa penulis
pascakolonial awal seperti Tirto Adhisoeryo dan Li Kim Hok. Para penulis itu dikatakan
stammer (digambarkan sebagai mengatakan sesuatu dengan cara terbata-bata dan
membingungkan). Hal ini terlihat dari pemilihan katanya yang longgar dan inkonsisten, tetapi
juga dalam plot-plot yang dibangun sebagai untaian peristiwa, fragmen, tindakan yang kebetulan
dan irasional. Ciri lain karya Melayu awal menurut Maier adalah bahwa mereka dibangun
dengan peristiwa-peristiwa yang dihubungkan melalui pergeseran yang membingungkan,
penghentian-penghentian mendadak, dan gerakan-gerakan kebetulan seperti pembunuhan, surat-
surat antonim, impian-impian, penampakan hantu-hantu, dan tabrakan-tabrakan mobil,
kedalaman psikologis atau naratif tidak ada, segala tindakan protagonis memaksa pembaca untuk
memimpikan dan membayangkannya sendiri dalam dunia yang asing. Maier juga menyebutkan
beberapa ciri fisik buku, yakni jumlah halaman harus enambelas kali sekian, adanya iklan-iklan,
teguran, pengumuman-pengumuman. Dalam kesempatan ini memunculkan hak cipta sebagai
sesuatu yang berhubungan dengan uang dan undang-undang. Artinya mulai memunculkan sifat-
sifat kapitalisme dalam benak pengarang dan yang berhubungan dengannya.
Maier juga mencatat bahwa kolonial masuk mendalam melalui pendidikan, intimidasi,
penyensoran, ancaman dan pembuangan. Tirto Adhisurjo adalah korban pembungkaman itu.
Karya-karyanya lenyap ntah kemana, dan susah untuk dilacak pembungkaman itu terasa hampir
lima pulluh tahun, yang kemudian pembungkaman itu dibangunkan oleh Pramoedya tahun 1960
dalam esainya di Lentera dan tahun 1980 dalam novel-novel Buru-nya.
Dalam komentarnya tentang novelis pascakolonial setelah Torto Adhisurjo seperti H.
Kommer, Mas Marco, Kwewe Tek Hoay, Monsier d’Amour, Hamka, Joesoef Souyb, dikatakan
bahwa dongeng-dongeng itu tak mantap dan tokoh-tokohnya tunggang langgang menuju
kematian dan kesengsaraan dalam kecelakaan dan kebetulan, merupakan rakitan dari tindak
kekerasan, kesalahpahaman yang disajikan intens meledak-ledak, fragmentaris, sentrifugalitas,
yang dibangun dari elemen-elemen yang disajikan secara tergesa-gesa sehingga menghindari
tatanan dan kontrol. Mereka adalah penulisan disjunktive yang mewakili dunia dalam bentuk
yang teratur dengan baik, berusaha membangkitkan dunia dengan fragmentaris yang diilhami
kemarahan dan gelisah.
Henk Maier yang menyebut sastra Modern Indonesia dimulai tahun 1880 membagi tiga
periode sampai tahun 1942. Pertama, kelompok penulis sekitar Balai Poestaka dan belakangan
Poejangga Baroe. Kedua, penulis yang beroperasi di luar Batavia. Ketiga, penulis sinyo Melayu
atau Cina. Pada penulis yang kedua tidak pernah mencapai kanon karena tidak digubris Batavia.
Sesungguhnya agak mengejutkan jika penamaan sastra Indonesia dimulai sejak 1880, sebab
dalam perkembangan yang disusun oleh bangsa Indonesia dimulai dari zaman Balai Poestaka,
setidaknya dari bebrapa penyusun yang kerap digunakan di bangku-bangku formal sekolah.
Penulis di Batavia bertindak seakan-akan mereka adalah penulis-penulis colonial, yang
mengikuti para penguasa colonial dalam mengkategorisasikan populasi sastra. Yang menarik,
Maier memberi penjelasan bahwa pada penulis Batavia menggemakan suara-suara Marx, Renan,
Ronald Holst sedangkan suara Torto, Haji Moekti, Lie Kim Hok, Monsier d’Amour dibungkam.
Maier juga memberi pertanyaan tentang mengapa peranan penulis Cina tidak memberikan
sumbangan kepada bangsa Indonesia, padahal karya-karya mereka banyak. Alasannya adalah
bahwa sastra yang berada di bawah colonial adalah kanon, karena itu para penulis Balai Poestaka
mempunyai kekuasaan untuk meminggirkan yang non-Balai Poestaka. Sayang sekali pertanyaan
tentang Cina ini tidak dilanjutkan ke situasi politik menjelang Orde Baru ketika semua yang
berbau Cina di zaman colonial, di zaman kemerdekaan tahap awal sampai ke Orde Baru. Cina
meski banyak menelurkan karya tapi seolah dianggap seperti tidak ada.
Tentang Pramoedya, atau gaya penulisannya, pendapat Maier tampaknya berawal dari
narasi sebauh cerpen yang di dalamnya berisi uraian tokoh tentang ketidakmahiran dalam
berbahasa Indonesia juga ketidakkenalan terhadap bahasa sendiri. Dalam konteks ini Maier
melakukan pendekatan ekspresif yang melibatkan pengarang lebih dekat dalam kasus, dia
menyebut bahasa Indonesia adalah bahas mimpi-mimpi dan keinginan besar. Ia adalah bahasa
yang harus dikonkretkan di masa mendatang. Dalam hubungannya dengan dongeng awal
Pramoedya, Maier menyebutnya sebagai gagap. Dia memeriksanya lewat bahasa, misalnya
ditelusuri batas-batas aturan dari bahasa yang belum sepenuhnya diketahui. Apa yang bisa
diaktakan dalam bahasa itu? Bagaimana bahasa itu harus digunakan? Lebih jauh lagi Maier
mengatakan bahwa tokoh-tokoh berbicara dengan gagap, menjerit-jerit dan menggumam,
berteriak dan menangis, tanda-tanda seru dan titik dimana kata-kata tercetak sering dimasukkan
adalah salah satu ekspresi lain dari ketegangan-ketegangan dan intensitas yang dibangkitkan
penulis. Dengan demikian menurut Maier, Pramoedya telah melestarikan semangat penulisan
pascakolonial Melayu yang telah bangkit sebelumnya di zaman Tirto, Mas Marco, Hamka,
Monsier.
Tentang gagap, sebetulnya merupakan interpretasi Maier atas dongeng Pramoedys yang
seringkali mencampurkan kenyataan dengan sesuatu yang tidak bisa disentuh. Kata-kata Pram itu
tidak begitu jelas; hubungannya dengan dunia tetap kabur dan tegang, persis suara gagap. Maier
mengutip Siegel (1977), bahwa sepintas lalu kata-kata Pram tidak mempunyai acuan atau bahkan
makna; mereka lebih baik diuraikan sebagai sensasi. Mereka adalah undangan untuk
menciptakan makna, bukannya menemukan makna. Boleh dikatakan bahwa kata-kata Pram
seperti sungai yang mendorong ke suatu masa depan yang tak dikenal.
Dalam analisis ini Maier seperti mengabaikan sifat sastra yang ambigu dan suara-suara
campur aduk, juga mengabaikan metafor justru kekuatan yang penting dalam karya sastra. Maier
menyeut ketidakjelasan atau gagap ini yaitu ketika Pramoedya tidak secara tuntas menarasikan
dunia yang jelas, tetapi dibelokkanke dalam penggambaran yang situasional yang lebih
mementingkan sugesti kata yang membawa kepada pembayangan yang lebih terbuka.
Perkembangan Pram selanjutnya adalah pada Keluarga Gerilya. Menurut Maier novel ini
adalah usaha serius yang masih berupa latihan dalam suara gagap; pembunuhan-pembunuhan,
pertemuan-pertemuan kebetulan, serta pencarian pencarisn diselang-seling dengan jeritan dan
biisikan-bisikan. Kadang Maier tidak jelas mengenai kegagapan itu. Apakah seperti yang ditulis
Pram tentang kesukarannya dalam menguasai bahasa Indonesia atau kegagapan dalam
penggarapan bentuk dan isi karya itu di luar bahasa yang digunakan.
Dan perkembangan yang paling penting Pramoedya menurut Maier adalah awal tahun
1960-an untuk menciptakan novel sejati. Di sini Pram melakukan pengkajian yang lebih
mendalam tentang masa penjajahan, misalnya dengan mengkliping Koran, mempelajari sejarah,
dll. baru pada tahun 1980 proyek itu menghasilkan Bumi Manusia: Sebuah Roman. Novel ini dan
beserta ketiga sekuelnya berusaha memadukan kedua kekuatan yang dirangkaikan pada satu
sama lainjnya sebagai kalimat, tetapi hanya mampu menciptakan fragmen dan totalitas,
sentrifugalitas dan sentripetalis. Pendapat Maier ini seolah-olah beranggapan bahwa karya Pram
atau karya pengarang Indonesia tetap lemah di matanya.
Dalam hubungannya dengan novel itu, Pram menulis esai yang intinya adalah bahwa
realitas sastra bisa mempunyai pengaruh ke dalam realitas hulu kehidupan sehari-hari. Juga, jika
realitas tak bisa dicapai maka sastra adalah alat pencapaiannya. Dalam hal ini Maier memberi
komentar atau semacam pertanyaan, mengapa harus tenggelam dalam sastra dan kenyataan hulu
harus ditinggalkan. Bagaimana mengubah hulu jika tenggelam dalam laut sastra.
Sekarang, menurut Maier, Pram telah menulis dalam bahasa Indonesia standar. Ia
menyandarkan diri pada ingatan dan kebenaran untuk mengedepankan pengalaman dan
kecemasan bukan sebaliknya. Akhirnya kekuatan-kekuatan sentripetal menang atas kekuatan
sentrifugal, dan gagasan tentang koherensi dan kedalaman sekarang mengungguli fragmen dan
disjunksi. Suara gagap telahdigantikan dengan eufoni. Pada akhirnya para penulis Pudjangga
Baru yang menyuarakan kebenaran dan keabadian. Bahkan Pram menata penulisan Melayu ke
dalam tiga kelompok: sastra eskapis, sastra yang mendukung status quo politik, dan sastra sejati
yang ia sendiri coba tuliskan. Ini sejalan dengan esai Pram tentang pengelompokan penulis:
mereka yang duduk di pangkuan penguasa, penulis popular, dan mereka yang memberi ide-ide
untuk direnungkan, yang menunjukan jalan ke masa depan.
Sekarang novel Pramoedya menurut Maier telah mengatasi keliaran diskursif dengan
kesahajaan linguitas, sentrifugal dengan sentripetal, gagasan-gagasan kompositoris tentang
rekayasa, sebab akibat, dan sirkularitas menenggelamkan kerisihan, kecepatan, dan linearitas.
Pendeknya, bagi Maier, Pramoedya telah menulis novel sejati tentang kebenaran dan tatanan.
Kegagapan Tjerita dari Blora belum diperhalus, tapi bisa dikatakan bahwa penulisan
pascakolonial Melayu telah mentransendensikan semua ketegangan dan konflik dikursif yang
mungkin ada,

3. Simpulan
Tulisan Maier ini, adalah tulisan dari seseorang yang berdiri di kutub kolonial yang
memandang segala kreativitas terjajah sebagai yang penuh kelemahan dan jauh dari kualitas
yang mungkin dibandingkannya dengan karya yang beredar sebagai hasil karya pengarang
kolonial. Dia memendang pengarang Indonesia sebagai yang lemah dan perlu diperkuat lagi,
diberi pelajaran lagi agar karya itu menjadi kian baik. Agak disayangkan penilaian atau analisis
kritik Maier ini tidak disertai contoh-contoh yang menguatkan. Misalnya tentang perkembangan
estetika Pramoedya dari sejak awal sampai terciptanya Bumi Manusia. Bagaimana pergeseran-
pergeseran itu terasa dan diungkapkan dengan contoh konkret dengan kutipan dari karya yang
bersangkutan. Bagaimana suara gagap itu, bagaimana yang mulai belajar tidak gagap itu, dan
bagaimana yang tidak gagap atau eufoni itu? Rentetan pertanyaan itu menurut saya penting
sebab Maier tidak memberi penjelasan yang disertai data-data yang akurat dan bisa
dipertanggungjawabkan. Tulisan Maier justru menjadi bias ke dalam kecurigaan atau control
seorang koloni, tapi koloni yang tidak takut kehilangan tanah jajahannya. Ini berbeda dengan
tulisan Tony Day yang lebih jelas dan argumentasinya disertai data-data akurat sehingga bukan
saja semakin menjelaskan persoalan tetapi juga pembaca telah digiring ke dalam pembatasan
yang lebih terang.

DAFTAR PUSTAKA

Fulcher, Keith dan Day, Tony (ed). 2006. Clearing A Space. Sydney: Syney University.

Anda mungkin juga menyukai