Anda di halaman 1dari 33

Jurnal…………..

, Vol AB No C (DEFG), HI–JK


ISSN 0853-3857 (print) - 2540-847X (online) DOI: http://dx.doi.org/10.21580/teo.ABCD.xx.a.EFGH

NILAI-NILAI ETIKA PEMIMPIN DALAM SERAT WULANG REH

Annas Akmalul Huda, Alip Alfiandi RM, Difla Maya Ilfana, Maulana Ilham Nugroho, Melin
Nurullah, M. Nasrudin Baihaqi

Fakultas Ushuluddin dan Humaniora


UIN Walisongo Semarang

Abstrak: Naskah Serat Wulang Reh hasil karya Paku Buwono X ini memiliki nilai-
nilai etika kepemimpinan yang dapat diadopsi sebagai bahan pedoman untuk
contoh menjadi seorang Pemimpin yang baik dan ideal. Nilai-nilai etika
kepemimpinan tersebut disajikan dalam sebuah pupuh atau tembang Jawa. Untuk
menunjukkan bahwa naskah ini memiliki Nilai-Nilai Etika Kepemimpinan maka
perlu dilakukan suatu analisis penelitian kepustakaan dengan pendekatan metode
hermeneutika Dhiltey. Oleh karena itu, penulis memilih Serat Wulang Reh ini
sebagai sumber data yang akan penulis kaji. Adapun tujuan dari penelitian ini
untuk menunjukkan bahwa dalam Serat Wulang Reh ini terdapat nilai-nilai etika
kepemimpinan yang baik dan ideal. Hasil dari penelitian ini meliputi deskripsi
singkat Serat Wulang Reh, nilai-nilai etika kepemimpinan yang terdiri dari etika
terhadap Tuhan, etika terhadap manusia atau bawahan, dan juga larangan
seorang pemimpin.

Keywords: Serat Wulang Reh, Nilai-Nilai Etika Kepemimpinan, Etika


Terhadap Tuhan, Etika Terhadap Manusia atau Bawahan,
Larangan Pemimpin

A. Pendahuluan

Pemimpin ideal merupakan pemimpin yang mengerti tentang


rakyatnya yang dipimpin. Pemimpin semestinya mengedepankan proses
olah pikir dan olah rasa dalam memperjuangkan suara kehidupan.
Keteladanan sikap dan kejujuran sang pemimpin, disatu sisi, adalah
penghormatan dan rasa syukur atas anugrah yang berupa bakat dan
talenta yang diberikan Tuhan kepadanya. Memimpin manusia, dengan
demikian, merupakan olah seni dan proses kreatif, yang disadari atau
tidak merupakan langkah untuk menempuu jalan syukur dan
menunaikan amanah.1

Pemimpin juga biasa diibaratkan kepala sekaligus otak manusia


yang memiliki peranan penting dalam segala hal, mungkin dalam satu

JURNAL THEOLOGIA — Volume AB, No.C, MonthDEFG 1


Jurnal………….., Vol AB No C (DEFG), HI–JK
ISSN 0853-3857 (print) - 2540-847X (online) DOI: http://dx.doi.org/10.21580/teo.ABCD.xx.a.EFGH

sisi kepala mendapatkan tugas yang tidak banyak jika dibadingkan


anggota tubuh lainnya namun kepala sangat berperan penting dalam
mengontrol kinerja anggota tubuh baik organ luar maupun organ dalam,
begitulah sedikit gambaran tentang pemimpin yang seakan tidak bayak
tugas yang harus dilakukan namun tanggungjawabnya mecagkup segala
yang dipimpin olehnya, dimana segala yang telah dilakukan harus
dipertaggungjawabkan kelak. Pemimpin bukan sekedar jabatan namun
merupakan sebuah amanah yang mana ia diharuskan menerima setiap
aspirasi, pendapat bahkan kritik dari rakyat untuk disampaikan kepada
yang berkewajiban menyelesaikan setiap aduan rakyat tersebut.

Namun, tidak sedikit pemimpin yang miskomunikasi sehingga apa


yang disampaikan oleh pemimpin dan yang diterima oleh rakyat tidak
searah, sehingga timbul kesalahpahaman antara pemimpin dan rakyat.
Selain itu, banyak pemimpin yang tidak adil dalam arti tidak
memberikan hak kepada yang berhak. Tidak sedikit pemimpin yang
terobsesi dengan jabatan dan harta yang tentu akan berakibat pada
kesejahteraan rakyat yang dipimpin. Fenomena yang terjadi adalah
pemimpin mengabaikan rakyatnya untuk kepentingan pribadinya
sehingga adanya krisis kepercayaan terhadap pemimpin dan
kepentingan umum sering kali diabaikan yang berakibat datangnya
masalah demi masalah baik untuk dirinya pribadi maupun bagi
masyarakat umum.

Kepercayaan kepada pemimpin dapat digambarkan sebagai


hubungan pemimpin-rakyat/bawahan berdasarkan saling menghormati,
kerja sama, komitmen, dan hasil. Pada dasarnya pemimpin dengan
rakyat/bawahan menciptakan hubungan timbal balik yang saling
menguntungkan. Ketika rakyat/bawahan mempercayai pemimpin,
mendukung tindakan pemimpin dan yakin bahwa hak dan kepentingan
mereka tidak akan disalahgunakan. Jika rakyat/bawahan tidak
memercayai pemimpin maka akan mendapatkan keputusan, sikap
apatis, dan pada akhirnya kegagalan. Ketika kepercayaan rusak, keadaan
ini dapat memiliki efek buruk yang serius pada kinerja tim ataupun
organisasi. Rakyatlah yang dirugikan atas pemimpin yang tidak adil dan
amanah. Tidak mengherankan jika pembangunan tertinggal, kualitas

J2URNAL THEOLOGIA — Volume AB, No.C, MonthDEFG


Jurnal………….., Vol AB No C (DEFG), HI–JK
ISSN 0853-3857 (print) - 2540-847X (online) DOI: http://dx.doi.org/10.21580/teo.ABCD.xx.a.EFGH

pendidikan rendah, lapangan kerja/usaha sulit diperoleh, kriminalitas


meningkat, lingkungan rusak, layanan kesehatan rumit, dan masih
banyak lagi akibat yang ditimbulkan karena pemimpin yang tidak adil
dan amanah.

Konflik kepentingan menjadi pemicu utama penyalahgunaan


jabatan dan wewenang dikarenakan adanya unsur kepentingan pribadi
dalam menjalankan profesionalitas tugasnya. Sebagai seorang manusia
yang selalu mendapat godaan hawa nafsu duniawi, siapapun wajar
tergoda dengan uang dan kesempatan untuk mendulang pundi-pundi ke
dalam kantong pribadi apabila tidak dilandasi dengan keimanan
terhadap Tuhan atau prinsip religius yang menjadi pengingat bagi
pemimpin.

Dalam menyikapi masalah kepemimpinan ini, salah satu triologi


yang populer dari Ki Hajar Dewantara yaitu, Ing Ngarso Sun Tuladha, Ing
Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handhayani. Maksud dari triologi
tersebut adalah Ki Hajar Dewantara mengajarkan untuk menjadi
seorang pemimpin yang pantas dan dapat ditiru oleh masyarakat atau
kelompok yang dipimpin, menjadi pemimpin yang seharusnya dapat
membangun semangat dan dapat memberi motivasi baik kepada
kelompoknya, selain itu pemimpin seharusnya memiliki rasa peduli
kepada setiap anggota kelompoknya.

Misalnya kita dapat menanggapi masalah ini dengan salah satu


teori kepemimpinan yaitu Teori Humanistik dapat diterapkan dalam
sebuah tatanan dimana dalam teori tersebut fungsi dari kepemimpinan
adalah memodifikasi organisasi agar individu bebas untuk
merealisasikan potensi motivasinya didalam memenuhi kebutuhannya
dan pada waktu yang sama sejalan dengan arah tujuan kelompok.
Apabila dicermati, didalam Teori Humanistik, terdapat tiga variabel
pokok, yaitu: (1) kepemimpinan yang sesuai dan memperhatikan hati
nurani anggota dengan segenap harapan, kebutuhan, dan
kemampuannya, (2) organisasi yang disusun dengan baik agar tetap
relevan dengan kepentingan anggota disamping kepentingan organisasi
secara keseluruhan, dan (3) interaksi yang akrab dan harmonis antara

JURNAL THEOLOGIA — Volume AB, No.C, MonthDEFG 3


Jurnal………….., Vol AB No C (DEFG), HI–JK
ISSN 0853-3857 (print) - 2540-847X (online) DOI: http://dx.doi.org/10.21580/teo.ABCD.xx.a.EFGH

pimpinan dengan anggota untuk menggalang persatuan dan kesatuan


serta hidup damai bersama-sama. Blanchard, Zigarmi, dan Drea bahkan
menyatakan, kepemimpinan bukan hanya sesuatu yang dilakukan untuk
orang lain, melainkan bagaimana melakukan sesuatu bersama-sama
dengan orang lain.2

Masyarakat Jawa Kuno biasanya memilih pemimpin ideal dengan


berbagai kriteria berikut: (1) pemimpin atau raja yang adil, (2) memiliki
pengetahuan tentang larangan dan perintah dalam agama, (3)
merupakan orang yang dihormati masyarakat dan pastinya bisa
dipercaya, (4) memiliki sifat yang rendah hati. Dengan begitu
masyarakat bisa mempercayakan kepemimpinan mereka kepada
seseorang yang memang memiliki kriteria berikut. Pembahasan
mengenai kriteria ideal ini misalnya terdapat dalam karya sastra Jawa
klasik seperti Serat Wulang Reh.

Serat Wulang Reh merupakan khazanah sastra Jawa yang cukup


populer di kalangan pengkaji budaya dan kearifan lokal. Serat ini
merupakan gubahan dari raja Surakarta, Sri Susuhunan Pakubuwana IV,
dan dibuat sekitar abad ke-18 masehi. Raja Pakubuwana IV memberikan
berbagai nasihat di dalamnya, baik ditujukan kepada dirinya sendiri,
keluarganya, dan masyarakat Jawa pada waktu itu berdasarkan ajaran-
ajaran agama Islam. Keberadaan serat Wulang Reh dalam sastra Jawa
menunjukkan bagaimana nilai keluhuran lokal dan agama disatukan
dalam sebuah Serat.

Serat Wulang Reh terdiri dari 13 bagian atau pupuh, yaitu:


Dhandanggula, Kinanthi, Gambuh, Pangkur, Maskumambang, Duduk
Wuluh, Durma, Wirangrong, Pucung, Mijil, Asmaradana, Sinom, dan
Girisa. Masing-masing pupuh membahas tema-tema tertentu, mulai dari
nasihat keagamaan, sopan santun kepada orang tua, kepatuhan kepada
pemimpin, mawas diri, dll., yang keseluruhannya mengajarkan suatu
moralitas yang luhur bagi semua kalangan. Penyajian pupuh dilakukan
dengan model syair atau tembang macapat. Penggunaan syair dipilih
karena praktis dan mudah dihafal oleh masyarakat Jawa daripada
nasihat dalam bentuk prosa atau narasi.

J4URNAL THEOLOGIA — Volume AB, No.C, MonthDEFG


NAME AUTHOR: Main Title of Article ... (don’t entry name author and main title of article).

B. Metode

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan dengan


objek material berupa naskah sastra Serat Wulangreh. Pendekatan
dalam penelitian ini adalah metode hermenutika Dilthey, yaitu sebuah
teknik memahami ekspresi tentang kehidupan yang tersusun dalam
bentuk tulisan
3
Pendekatan tersebut akan diaplikasikan pada serat Wulang Reh
dengan memfokuskan pada nilai-nilai etika kepemimpinan.

Penelitian tentang serat Wulang Reh sudah banyak dilakukan oleh


peneliti sebelumnya, di antaranya adalah penelitian Dwi Retnowati
(2020) berjudul “Nilai Luhur Serat Wulang Reh Pupuh Gambuh
Membangun Karakter Generasi Milenial” dalam jurnal Indonesian
Journal of Educational Science (IJES), Vol. 03, No. 01, Tahun 2020, hlm.
1-11. Penelitian tersebut berusaha untuk mengungkap nilai-nilai luhur
yang terkandung di dalam serat Wulang Reh Pupuh Gambuh sebagai
sumber pendidikan karakter bagi generasi milenial. Metode yang
digunakan dalam penelitian tersebut adalah deskriptif-kualitatif. Hasil
penelitiantersebutmenunjukkanbahwa ditemukan kandungan teks yang
layak dijadikan sumber pendidikan bagi generasi milenial meliputi
berbagai macam ajaran moral. Perbedaan penelitian ini dengan
penelitian tersebut adalah penelitian tersebut membahas dimensi
pendidikan dalam serat Wulang Reh, sedangkan penelitian ini lebih
menekankan pada dimensi etika kepemimpinan.

Penelitian tentang Serat Wulang Reh juga dilakukan oleh Sri Yulita
Pramulia Panani (2019) berjudul “Serat Wulang Reh: Ajaran Keutamaan
Moral Membangun Pribadi Yang Luhur”dalam Jurnal Filsafat Vol. 29, No
2, Tahun 2019, hlm. 275-299. Penelitian tersebut berusaha untuk
menjawab pertanyaan mengenai keutamaan moral yang terkandung
dalam Serat Wulang Reh dan menerapkan ajaran keutamaan moral
tersebut agar dapat membentuk manusia dengan kepribadian luhur.
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah kepustakaan (Library
Research) dan menggunakan metode interpretasi, idealisme, komparasi,

JURNAL THEOLOGIA — Volume AB, No.C, MonthDEFG 5


NAME AUTHOR: Main Title of Article ... (don’t entry name author and main title of article).

dan deskripsi dalam proses analisis data. Hasil penelitian tersebut


menunjukkan bahwa ajaran keutamaan moral dapat membentuk pribadi
yang luhur serta penguatan karakter yang bermoral, lahir maupun batin
pada generasi bangsa di tengah arus modernitas. Perbedaan penelitian
ini dengan penelitian tersebut adalah penelitian ini lebih berfokus pada
pembahasan mengenai nilai-nilai etika kepemimpinan dari serat
tersebut dibandingkan penelitian sebelumnya yang membahas nilai
moral secara luas.

C. Pembahasan

1. Profil Singkat Serat Wulang Reh

Salah satu sastra Jawa yang populer dalam mengajarkan moralitas


adalah serat Wulang Reh. Karya sastra ini ditulis oleh Pakubuwono IV
yang merupakan raja dari Kasunanan Surakarta. Serat Wulang Reh
menjadi media bagi sang raja untuk menyampaikan nasihat-nasihatnya
kepada para rakyat dan pemimpin. Pakubuwono IV sendiri dikenal
sebagai raja yang memegang teguh syariat serta berusaha agar
kekuasaannya dilandaskan dari norma-norma islami dengan
mengangkat para pejabat dan penasehat dari kalangan kiai dan santri.
Secara garis besar, serat Wulang Reh berisikan tentang pendidikan.
Ditinjau dari segi pemakaian judul, yang secara harfiah berasal dari tiga
kata, serat yang berarti tulisan, kata wulang yang berarti pengajaran
atau pendidikan; serta kata reh yang berarti perintah. Kombinasi ketiga
kata tersebut menunjukkan pengertian bahwa serat Wulang Reh adalah
“tulisan mengenai pendidikan yang berisi persan-pesan moral atau budi
pekerti yag menuntun ke arah sikap dan perilaku yang baik”.4
Secara geneaologi, serat Wulang Reh merupakan jenis sastra Jawa
modern. Serat tersebut sarat dengan nilai-nilai keislaman yang kuat
sebab pada saat itu sistem pendidikan yang ditempuh oleh keluarga-
keluarga istana Kasunanan Surakarta dan calon pujangga pembinan
kesusastraan Jawa Baru selalu melalui pesantren.5 Pengaruh syariat dan
tasawuf Jawa sangat kental mewarnai kehidupan bangsawan dan
pujangga. Maka tidak mengherankan jika Pakubuwono IV merupakan

J6URNAL THEOLOGIA — Volume AB, No.C, MonthDEFG


NAME AUTHOR: Main Title of Article ... (don’t entry name author and main title of article).

raja yang saleh yang ia ekspresikan dalam bentuk karya sastra dengan
nasihat islami dan beberapa bangunan keagamaan.

2. Nilai-Nilai Etika Pemimpin

a. Nilai-Nilai Etika Pemimpin Kepada Tuhan

Etika dipahami sebagai nilai-nilai dan norma-norma moral yang


menjadi pegangan bagi seorang atau suatu kelompok dalam mengatur
tingkah lakunya.6 Pembahasan dan diskursus mengenai etika sangat
digemari bahkan sejak masa awal filsafat Yunani Klasik. Sebab, etika
berusaha menimbang moralitas manusia agar dapat mencapai
kebahagiaan, kesenangan, manfaat praktis, atau pemenuhan diri.
Seorang pemimpin yang baik dan ideal pasti mempunyai etika yang
dianggap baik. Meskipun pendapat mengenai etika sendiri berbeda-
beda, tetapi manusia dengan hati nuraninya atau secara apriori
mengetahui bagaimana beretika dengan baik.7 Pemimpin ideal dalam
konteks masyarakat beragama tentu harus dekat dengan Tuhan. Apalagi
dalam pandangan Jawa, pemimpin (raja) adalah wadah bagi kekuatan
kosmis, numinus, atau tuhan yang mengharuskannya sejalan dengan
keselarasan kosmik atau kehendak tuhan.8
Dari pembacaan terhadap objek kajian berupa Serat Wulang Reh,
menunjukkan bahwa terdapat nilai-nilai etika kepemimpinan yang
diajarkannya dalam tembang/syair di dalamnya, menyangkut etika
terhadap Tuhan, etika terhadap sesama, dan larangan bagi pemimpin.
Berikut ini analisis mengenai etika pemimpin terhadap Tuhan dalam
serat Wulang Reh:

1. Saleh
Pemimpin yang ideal dalam pandangan agama Islam maupun Jawa
adalah orang yang saleh. Pemimpin yang saleh menandakan bahwa ia
dekat dengan Tuhan dan kedekatan itu termanifestasi dalam tingkah
lakunya yang baik. Kesalehan merupakan etika terpenting dalam

JURNAL THEOLOGIA — Volume AB, No.C, MonthDEFG 7


NAME AUTHOR: Main Title of Article ... (don’t entry name author and main title of article).

kepemimpinan sehingga yang dipimpin merasa aman dan tentram tanpa


takut hak-haknya dizalimi oleh pemimpin.
Sifat saleh merupakan sifat utama seorang pemimpin ideal. Kata
saleh dalam bahasa Arab merupakan antonim dari fasâd atau kerusakan.
Kesalehan adalah kombinasi antara keimanan kepada Tuhan dengan
amal atau perbuatan baik sebagai konsekuensi dari keimanan tersebut. 9
Para teoretikus muslim tidak pernah menyatakan sifat saleh sebagai
syarat kepemimpinan secara jelas. Meskipun demikian, terdapat teori
yang mengakomodasi sifat saleh seperti syarat kepemimpinan al-
Mawardi yang mencakupkan sifat saleh ke dalam sifat adil (al-‘adalah
‘ala syurûtiha al-jâmi’ah). Adil yang dimaksud al-Mawardi bukan dalam
arti berbuat secara proporsional, melainkan keteguhan seseorang dalam
jalan kebaikan dan menjauhi segala tindakan dan tingkah laku yang
mengarah pada kefasikan dan hal yang keji.10
Serat Wulang Reh menjelaskan bagaimana pemimpin yang saleh itu.
Dalam pupuh Asmaradana, bait ke-15 menjelaskan sifat pemimpin yang
saleh, yaitu:

Bagi anggapan orang mengabdi, harap syukur di dalam hati. Jangan


putus dalam memohon, kepada Yang Kuasa, di siang dan malamnya.
Agar tercipta ketertiban dan kesejahteraan negara. (Wulang Reh, P.
Asmaradana, bait ke-15, hlm. 341).

Salah satu sifat pemimpin saleh menurut Wulang Reh adalah senantiasa
bersyukur, tidak hanya dengan lidah melainkan rasa syukur itu masuk
terserap ke dalam hati, serta tidak pernah berputus asa dari pertolongan
Tuhan.
Sebagaimana pendapat al-Mawardi, adil adalah merupakan
keteguhan seseorang dalam jalan kebaikan dan menghindari jalan
sebaliknya. Sifat saleh yang tercakup dalam keadilan bagi seorang
pemimpin dalam serat Wulang Reh dijelaskan dengan sikap syukur,
yaitu memanfaatkan segala pemberian Tuhan dengan semestinya. Rasa
syukur dari seorang pemimpin sangat penting ditinjau dari sisi agama
karena pada dasarnya bersyukur adalah untuk kelanggengan nikmat
yang telah diperoleh.11 Korelasinya dengan pemimpin adalah jika ia

J8URNAL THEOLOGIA — Volume AB, No.C, MonthDEFG


NAME AUTHOR: Main Title of Article ... (don’t entry name author and main title of article).

mampu mensyukuri nikmat kekuasaan dengan cara jujur dalam


berkuasa, maka kekuasaannya senantiasa berdiri dan langgeng.
Penempatan kata “putus asa” setelah perintah syukur dalam bait
tersebut menunjukkan bahwa rasa syukur dapat menghilangkan rasa
putus asa. Seseorang yang senantiasa bersyukur, tidak pernah
mengalami keterputusasaan karena putus asa timbul dari harapan yang
terlalu tinggi dan tidak menerima apa yang sudah diberikan kepadanya.
Hal ini sejalan dengan pandangan hidup masyarakat Jawa yang penuh
keselarasan dengan tuhan, sesama manusia, dan alam alih-alih
menciptakan konflik dengan harapan-harapan pribadi. 12
Dengan demikian, rasa syukur menjadi bagian penting dari sifat
saleh seorang pemimpin. Pemimpin yang baik pertama-tama harus
memperhatikan psikologi dirinya sendiri sebelum menghadapi
problematika rakyatnya. Jika ia mampu memahami hubungan dirinya
dengan Tuhan melalui rasa syukur dan menjauhi putus asa, maka ia
lebih mudah dalam menjalin hubungan baik dengan rakyatntya.
Selain perasaan penuh syukur dan selalu berharap kepada Tuhan
dengan tidak berputus asa, pemimpin ideal harus memiliki segenap
sifat-sifat orang saleh. Orang yang saleh adalah orang yang dekat serta
terus menerus menjaga hubungannya dengan Tuhan sebab asal-usul
kekuasaan datang dari Tuhan.
Pemimpin dalam pandangan Islam dan Jawa bukan sembarang
orang. Pemimpin tidak hanya mengandalkan segala dayanya seperti
harta, jabatan, dan militer untuk menjalankan kepemimpinannya.
Karena kekuasaan diperolehnya melalui Tuhan, maka ia harus
senantiasa terhubung dengannya dengan melakukan ibadah,
kontemplasi, semedi, dan berbagai latihan rohani dan pikiran agar ia
selalu terhubung dengan Tuhan. Pandangan semacam ini adalah teori
politik dari al-Farabi, di mana pemimpin utama yang memimpin negara
utama (al-madînah al-fâdhilah) hendaknya seorang filsuf atau nabi, atau
dalam tingkatan yang lebih rendah adalah orang bijak yang senantiasa
terhubung dengan Akal Aktif (al-aql al-fa’al) atau malaikat Jibril.13
Keterhubungan pemimpin dengan Tuhan tergambarkan dalam
serat Wulang Reh dengan simbol “wahyu”. Pakubuwana IV menjelaskan
bahwa hendaknya para pemimpin:

JURNAL THEOLOGIA — Volume AB, No.C, MonthDEFG 9


NAME AUTHOR: Main Title of Article ... (don’t entry name author and main title of article).

Para leluhur semua, dalam mereka memohon kepada Tuhan, agar


dapat mengelola negara, menjadi pedoman di tanah Jawa. Karena
ketekunan mereka, dalam mendapat wahyu di awal mulanya.
Perilakunya leluhur dahulu, rendah hati dalam menyamarkan laku.
(Wulang Reh, Sinom, bait 18, hlm. 400)

Serat ini mengajarkan kepada para pemimpin untuk meneladani


kebiasaan leluhur mereka, yaitu raja-raja Jawa, untuk selalu berdoa
kepada Tuhan dan tekun dalam menjalani latihan rohani (dalam tradisi
Jawa latihan rohani disebut semedi atau tapa).
Penyebutan kata “wahyu” dalam pupuh Sinom tersebut
menunjukkan kesamaan konsep kekuasaan antara tradisi Jawa dengan
konsep filsafat politik al-Farabi. Para pemimpin hendaknya mempunyai
sifat saleh, yaitu mempunyai hubungan baik dengan Tuhan. Tradisi Jawa
menyatakan bahwa untuk berhubungan dengan Tuhan, maka ia harus
memusatkan kehidupan batin untuk mencapai rasa sejati yang dicapai
melalui eneng (diam), ening (menjernihkan pikiran), enung
(merenung/tafakur), dan nir ing budi (kehampaan).14 Sementara dalam
pandangan filsafat politik al-Farabi, salah satu syarat terpenting
pemimpin utama adalah mempunyai malakah atau rasa sejati.15
Kesamaan ini menunjukkan pentingnya bagi pemimpin untuk
mempunyai sifat saleh agar ia selalu dibimbing dalam menjalankan
kekuasaan. Ketika pemimpin selalu terhubung dengan Tuhan, baik
dengan ketekunan bersemedi atau menyambung dengan Akal Aktif,
maka ia akan mendapat “wahyu”. Wahyu dalam hal ini adalah Wahyu
Kedhaton atau Wahyu Cokroningrat yang jika diterima seseorang, maka
ia akan menjadi raja yang baik.
Keterhubungan pemimpin dengan Tuhan tidak boleh terputus
akibat nafsu pribadi pemimpin yang menjadi penghalang. Kesalehan
pemimpin menjadi indikator baik-buruknya suatu kekuasaan atau
bahkan menjadi tanda langgeng tidaknya kekuasaan tersebut. Serat
Wulang Reh berusaha mengingatkan para pemimpin agar meniru raja-
raja terdahulu yang sering melakukan latihan rohani agar selalu
mendapat “wahyu”.

J10
URNAL THEOLOGIA — Volume AB, No.C, MonthDEFG
NAME AUTHOR: Main Title of Article ... (don’t entry name author and main title of article).

Pemimpin yang saleh berusaha agar dirinya terhindar dari segala


keburukan, baik buruk bagi jasamani, rohani, maupun pikirannya.
Sebagaimana yang dijelaskan dalam konsep adil al-Mawardi, sifat saleh
menjadi antonim dari sifat buruk (al-fisq wa al-fujûr)
Pelajaran mengenai apa yang buruk juga tidak ketinggalan dalam
penjelasan serat Wulang Reh. Sebagaimana sebelumnya disebutkan
bahwa kesalehan adalah jalan agar terhubung dengan Tuhan, bait
berikutnya menjelaskan apa saja yang menghalangi atau memutus
Wahyu Cokroningrat. Disebutkan:

Maksudnya agar jangan terlihat, ujub riya dan takabur, sikap


sombong yang disingkiri. Dan mana yang mendapatkan, wahyu
kerajaan Jawa, didukung dengan sikap pengabdian. (Wulang Reh,
Sinom, bait 19, hlm. 402)

Ujub, riya, takabbur atau sombong adalah penyakit hati yang bisa
menjangkiti siapa saja, terlebih lagi para pemimpin yang mempunyai
kekuasaan atas orang lain. Ujub dan riya mempunyai tingkah laku yang
sama, yaitu menampakkan kelebihan kepada orang lain dengan niat-niat
yang buruk. Sedangkan takabbur atau sombong adalah perasaan lebih
tinggi dari orang lain. Keduanya merupakan penghalang terbesar bagi
hubungan manusia dengan Tuhan dan sesama manusia. Dalam
pandangan Jawa, kekuasaan datang kepada seseorang ketika ia pantas
mendapatkannya, yaitu apabila ia telah menjalani latihan-latihan rohani
agar kekuasaan kosmik mengalir kepadanya. Hal itu mengharuskan agar
pemimpin menghilangkan ego atau nafsu-nafsu pribadinya agar
kekuasaan tidak lenyap dari dirinya.16
Salah satu pedoman yang disebutkan al-Ghazali kepada para
pemimpin adalah agar tidak mengikuti nafsu syahwat pribadi seperti
memakai pakaian yang mahal dan makan makanan enak dengan angkuh.
Menurut al-Ghazali, hal-hal demikian bertolak belakang dengan keadilan
atau kesalehan seorang pemimpin.17 Logikanya, pemimpin yang
menuruti nafsu syahwatnya tidak layak untuk memimpin rakyatnya,
sebab ia tidak bisa memimpin dirinya sendiri untuk tidak menuruti
nafsu syahwat.

JURNAL THEOLOGIA — Volume AB, No.C, MonthDEFG 11


NAME AUTHOR: Main Title of Article ... (don’t entry name author and main title of article).

Singkatnya, seorang pemimpin ideal harus mempunyai sifat saleh


agar terbentuk suatu optimisme dalam memerintah. Pada aspek yang
lebih luhur, kesalehan menjadi sumber inspirasi atau wahyu bagi
seorang pemimpin untuk memimpin rakyatnya dengan baik sesuai
bimbingan Ilahi. Kesalehan juga membendung kepentingan pribadi dari
pemimpin agar tidak menggerogoti kekuasaannya.
2. Sabar
Etika pemimpin ideal adalah pemimpin yang sabar. Kesabaran
merupakan indikator kekuatan batin dan pikiran seorang pemimpin.
Pemimpin yang tidak sabaran atau tergesa-gesa tidak menguntungkan
rakyat sebab suatu keputusan biasanya diambil dengan kesabaran dan
kehati-hatian. Kesabaran juga muaranya kepada Tuhan sebab dalam
pandangan Islam, Tuhan menganugrahi orang yang sabar dengan
ganjaran yang tidak terbatas (39:10)
Kesabaran merupakan etika yang harus dimiliki oleh seorang
pemimpin. Menurut al-Mawardi, terdapat 6 macam kesabaran yang
semuanya merupakan hal yang baik, antara lain: 1) sabar melaksanakan
perintah Tuhan, 2) sabar menghadapi nasib, 3) sabar atas hilangnya
kesenangan yang telah diharapkan, 4) sabar atas sesuatu yang ditakuti,
5) sabar mendapatkan kesenangan yang ditunggu-tunggu, 6) sabar atas
sesuatu yang tidak disukai. Al-Mawardi mengatakan bahwa sabar
merupakan tanda-tanda kebahagiaan dan bentuk pertolongan Tuhan
yang paling baik.18
Pelajaran mengenai sabar disebutkan dalam serat Wulang Reh.
Pemimpin yang ideal adalah sosok yang sabar, lemah lembut, alus, dan
cermat. Dalam pupuh Mijil disebutkan:

Dalam sembarang pekerjaan jangan tergesa-gesa, lakukanlah


dengan sabar tenang dan perlahan. (Wulang Reh, Mijil, bait 12, hlm.
297)

Kesabaran yang diajarkan dalam serat Wulang Reh pasti berguna bagi
seorang pemimpin dalam menjalankan kekuasaannya.

J12
URNAL THEOLOGIA — Volume AB, No.C, MonthDEFG
NAME AUTHOR: Main Title of Article ... (don’t entry name author and main title of article).

Kesabaran adalah hal yang dituntut kepada setiap orang, terlebih


bagi seorang pemimpin. Nasihat serat Wulang Reh adalah agar
seseorang tidak tergesa-gesa dalam melakukan pekerjaannya; pemimpin
tidak boleh gegabah dan tergesa-gesa dalam menjalankan
kepemimpinan, tidak boleh memutuskan perkara rakyatnya dan
mengatasi masalah kenegaraan dengan tanpa perhitungan yang matang
dan pemikiran yang mendalam. Sabar bagi orang Jawa merupakan salah
satu tanda kematangan moral. Sabar adalah tanda pemimpin yang baik.
Sifat sabar menunjukkan bahwa pada saatnya nasib yang baik akan tiba
sehingga seseorang tidak perlu tergesa-gesa melakukan sesuatu. 19 Apa
yang disebutkan dalam serat Wulang Reh mengenai sabar dapat
dimasukkan ke dalam kategori “sabar melaksanakan perintah Tuhan”
sebagaimana pembagian al-Mawardi. Sering disinggung sebelumnya
bahwa kekuasaan bagi Jawa maupun Islam adalah berasal dari Tuhan
sehingga secara otomatis menjalankan kekuasaan dengan baik, yakni
dengan sabar, merupakan realisasi atas amanat Tuhan berupa
kekuasaan atau kepemimpinan atas orang lain. Meskipun demikian,
klasifikasi sabar di atas sebenarnya saling berhubungan sehingga sabar
dalam bentuk manapun sebenarnya berlaku juga sabar atas yang lain.
Maka dari itu, kesabaran sangat ditekankan oleh pengarang kepada
para pemimpin sehingga jalannya pemerintahan tidak terganggu oleh
ketidaksabaran pemimpin dalam menjalankannya. Pemimpin yang sabar
adalah pemimpin yang disukai rakyat, juga sesuai dengan tuntunan
agama dan tradisi sehingga sifat sabar adalah hal yang penting dalam
etika kepemimpinan.
3. Zuhud
Zuhud merupakan bagian dari sikap terpuji yang harus ditanamkan
dalam setiap pribadi manusia, termasuk di dalamnya pemimpin. Sifat
tersebut dapat menjadi tameng bagi pemimpin dalam menjalankan
amanah yang diemban. Maksudnya, orang yang memiliki sifat zuhud
dapat mengendalikan hawa nafsu duniawi dalam menjalankan amanah
kepemimpinan. Selain itu, zuhud juga berguna sebagai kontrol bagi
pemimpin agar terhindar dari perilaku yang buruk, seperti korupsi,
nepotisme, dan perilaku negatif lain yang bertolak belakang dengan sifat
pemimpin ideal.

JURNAL THEOLOGIA — Volume AB, No.C, MonthDEFG 13


NAME AUTHOR: Main Title of Article ... (don’t entry name author and main title of article).

Seorang zuhud adalah dia yang tidak berharap terhadap dunia.


Zuhud bukan berarti bahwa seseorang menjauhkan diri dari sesuatu
yang bersifat duniawi, melainkan menghilangkan rasa kecintaan dalam
hati seseorang dari hal tersebut, serta tidak menyibukkan diri dengan
hal-hal yang membuatnya lupa dari tujuan diciptakannya manusia oleh
Tuhan. Menurut Abu al-Wafa al-Taftazani, zuhud bukan kehidupan
kependetaan atau terputus dengan dunia sama sekali, melainkan suatu
hikmah pemahaman yang membuat seseorang memiliki pandangan

1
Nasruddin Anshoriy, Neo Patriotisme: Etika Kekuasaan dalam Kebudayaan
Jawa, (Yogyakarta: LkiS, 2008), hlm. 8.
2
Ken Blanchard, Hati Seorang Pemimpin, (Jakarta: Erlangga, 2005), hlm.
138.
3
Elok Noor Farida & Kusrini, Studi Islam Pendekatan Hermeneutik, dalam
Jurnal Penelitian, vol. 7, no. 2, Agustus (2013), hlm. 388.
4
Soedjipto Abimanyu, Kitab Terlengkao Sejarah Mataram. (Yogyakarta:
Saufa, 2015), hlm. 338.
5
Simuh, Sufisme Jawa, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2019), hlm.
152.
6
K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), hlm. 6.
7
Pandangan Deontologi Kant bahwa etika murni adalah apriori tanpa
didasarkan atas pengalaman empiris. Manusia dengan sendirinya
mengetahui apa yang baik dan buruk. Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan
Intelektual, (Yogyakarta: Kanisius, 2020), hlm. 286.
8
Franz Magnis-Suseno, Etika Jawa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1984), hlm. 100.
9
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin Dan Peradaban, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2020), hlm. 71.
10
Abu Hasan al-Mawardi, Ahkam as-Sulthaniyyah, ed. Ahmad Jad, (Kairo: Dar
al-Hadits, 2006), hlm. 19.
11
Abu Hasan al-Mawardi, Adab ad-Din wa ad-Dunya, (Beirut: Dar al-Minhaj,
2013), hlm. 331.
12
Franz Magnis-Suseno, Op. Cit., hlm. 39.
13
Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), hlm.
51.
14
Suwardi Endaswara, Mistik Kejawen, (Yogyakarta: Narasi, 2022), hlm. 142.
15
Ahmad Daudy, Loc. Cit., hlm. 51.
16
Franz Magnis-Suseno, Op. Cit., hlm. 106.
17
Al-Ghazali, At-Tibr al-Masbuk fi Nasihah al-Muluk, (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1988), hlm. 27.
18
Abu Hasan al-Mawardi, Op.Cit., hlm. 361-367.

J14
URNAL THEOLOGIA — Volume AB, No.C, MonthDEFG
NAME AUTHOR: Main Title of Article ... (don’t entry name author and main title of article).

khusus terhadap kehidupan duniawi tersebut.20 Gambaran mengenai


sifat zuhud sendiri dijelaskan oleh Syekh Muhammad Nawawi bin Umar
dalam Nasaihul Ibad, yang dikutip oleh Ali Saban. Beliau menyampaikan
bahwa, seorang ulama shaleh perpendapat: “Bahagialah orang yang
keadaan akalnya jadi raja, sedangkan nafsunya menjadi tawanan. Dan
celakalah orang yang keadaan nafsunya jadi raja sedang akalnya menjadi
tawanan”.21
Dari penjelasan tersebut dapat diambil sebuah pengertian bahwa
zuhud adalah sifat yang membatasi antara manusia sebagi makhluk yang
mempunyai akal dan nafsu dengan hal-hal yang bersifat duniawi. Maka,
pemimpin sebagai sosok yang berkuasa atas sesuatu yang bersifat
duniawi sudah sepatutnya memiliki sifat zuhud. Hal ini senada dengan
apa yang terdapat dalam Serat Wulangreh.
Serat Wulangreh mengisyaratkan mengenai bahwa seorang
pemimpin harus memiliki sifat zuhud terdapat, salah-satunya, dalam
pupuh Asmarandana bait ke-6, yaitu:

“Dan jangan mempunyai kegemaran, terhadap gelebyar dunia. Siang


malam diingat, orang hidup akan menemui mati.” (Wulang Reh,
Pupuh Asmaradana, bait ke-6, hlm. 329)

Dalam bait syair tersebut diterangkan bahwa seorang pemimpin


harus memalingkan diri dari sifat cinta dunia, karena hidup manusia di
dunia tidak-lah abadi. Pemimpin yang zuhud tentunya mempunyai
prinsip hidup sederhana, sehingga ia tidak merampas sesuatu yang
bukan hak-nya. Untuk itu kematian adalah suatu hal yang perlu diingat
agar tidak terus-terusan menumpuk harta dunia. Menurut Ibnu al-
Mubarak, setidaknya terdapat tiga rinsip zuhud yang dapat dipraktikkan
dalam etika kepemimpinan, sebagaimana diuraikan Ali Saban di atas22,
di antaranya adalah; pola hidup sederhana, integritas tinggi, dan
19
Franz Magnis-Suseno, Op. Cit., hlm. 142.
20
Amin Syukur, Zuhud Di Era Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004),
hlm. 3.
21
Ali Saban, “Zuhud in Tasawuf as Ethical Bureaucracy to Create Non
Corrupted Behavior in Indonesia,” Mawa’Izh: Jurnal Dakwah Dan
Pengembangan Sosial Kemanusiaan, vol. 11, no. 2 (2020)., hlm. 204.

JURNAL THEOLOGIA — Volume AB, No.C, MonthDEFG 15


NAME AUTHOR: Main Title of Article ... (don’t entry name author and main title of article).

bersikap bijaksana. Ketiga prinsip itu yang perlu diterapkan untuk


mencerminkan pemimpin yang memiliki sifat zuhud. Lawan dari sifat
zuhud adalah kecintaan terhadap dunia. Terdapat bait lain dalam Serat
Wulangreh yang melarang pemimpin untuk menjauhi sifat cinta dunia,
yaitu:
“Apa yang dipakai suap ketika menjadi pejabat, di siang malam itu
angan-angannya.
Bagaimana bisa, membalas belas kasih majikan, kedudukannya saja
(diperoleh)
dengan dibeli, tak urung akan merusak Desa. Yang diinginkan hanya
cepat untung,
walau besok dipecatpun, kekayaanku sudah kembali. Bagaimana bisa
menata,
kelakuannya saja menunjang-nunjang. Sama seperti orang
merampas, tak
memperhitungkan duga-duga dan pertimbangan yang lebih baik.”
(Wulang Reh, Pupuh Asmaradana, bait 20-21, hlm. 350).

Bait tersebut merupakan sindiran bagi pemimpin yang ingin


menjabat dengan cara “membeli jabatan”. Praktik politik uang (money
politic) menjadi salah satu faktor yang melatarbelakangi adanya
tindakan korupsi. Terrence Gomez menerangkan bahwa penggunaan
uang dan keuntungan material adalah bagian dari pengaruh politik. 23
Tindakan negatif tersebut dilakukan untuk membeli suara atau
menyogok para pemilih atau anggotaanggota partai politik supaya
memenangkan si pemberi uang. Akibatnya, setelah ia memperoleh
jabatan yang diinginkan, pelaku money politic akan melegalkan segala
cara untuk dapat mengembalikan modal yang telah ia “investasikan” di
awal. Jika dirinya sendiri dirasa kurang cukup mampu dalam
mengembalikan modal tersebut, lantas atas kekuasaan yangdimiliki
akhirnya ia mengangkat orang terdekat (kerabat) menjadi staff atau
bagian penting lainnya dalam pemerintahan, begitu seterusnya
ekosistem politik berjalan. Melalui bait pupuh tersebut, Sri Susushunan
Pakubuwana IV mengisyaratkan pemimpin harus dapat mengendalikan

22
Ibid., hlm. 205-206.

J16
URNAL THEOLOGIA — Volume AB, No.C, MonthDEFG
NAME AUTHOR: Main Title of Article ... (don’t entry name author and main title of article).

diri agar tidak terjebak dalam “lingkaran setan”. Menurutnya pemimpin


ideal adalah orang yang memiliki perilaku zuhud, yaitu tidak
terpengaruh oleh apapun yang bersifat duniawi sehingga lebih
mengutamakan kemaslahatan yang dipimpinnya.
b. Etika Terhadap Manusia Atau Bawahan
Kepemimpinan (leadership) bisa diartikan sebagai sifat dan watak
dari sosok pemimpin dalam melaksanakan tugas, tanggung jawab, dan
wewenangnya dalam suatu organisasi. Sebagaimana dikatakan
Amundsen and de Andrade (2009), etika kepemimpinan berkaitan
dengan interaksi dan tanggungjawab pemimpin publik terhadap
masyarakat luas, sektor bisnis, luar negeri, atau terhadap instansi publik
itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin perlu
menjalin hubungan baik dengan siapa saja berdasarkan standar etika
tertentu yang dianggap baik.24

Pemimpin hendaknya tidak membatasi hubungan pertemanan


kepada hanya beberapa orang (eksklusif). Bergaulah seluas mungkin,
dengan bawahan, atasan, laki-laki atau perempuan, sejawat atau lintas
sektoral. Jangan pula mengkultuskan seseorang. Di organisasi
budaya/tradisionil, kultus individu terjadi seiring tumbuhnya budaya
feodal. Di organisasi pemerintah, kampus atau corporate seyogyanya
tidak ada kultus individu.

1. Tegas

Seseorang tidak dapat menjadi seorang pemimpin yang baik bila


tidak tegas dalam mengambil keputusan tepat di saat yang tepat.
Menjadi pemimpin wajib bertindak tegas kepada bawahan agar dapat
lebih efektif dalam melaksanakan tugas yang di berikan dan agar
bawahan lebih bertanggungjawab. Kesalahan dan penyimpangan yang
dilakukan oleh bawahan perlu mendapat sanksi, baik berupa teguran
atau hukuman jika diperlukan.
Eko Handoyo, Pendidikan Antikorupsi, (Yogyakarta: Penerbit Ombak,
23

2013)., hlm. 80.


24

https://widyagama.ac.id/iwan-nugroho/wp-content/uploads/2012/01/MC
W-Etika-Kepemimpinan-jabatan-publik-feb-2013.pdf.

JURNAL THEOLOGIA — Volume AB, No.C, MonthDEFG 17


NAME AUTHOR: Main Title of Article ... (don’t entry name author and main title of article).

Pemimpin memiliki wewenang penuh dalam memberi perintah,


larangan, dan penugasan kepada para bawahannya. Instruksi yang
diberikan harus tegas dan jelas. Menurut Ibnu Taimiyah, kepala negara
atau pemimpin haruslah mempunyai kewibawaan atau kekuatan (al-
quwwah). Dengan kekuatannya seorang pemimpin mampu
melaksanakan tugasnya, membagi tugas-tugas kepada bawahannya
dengan proporsional, serta memberi hukuman tanpa pandang bulu.
Bahkan, Ibnu Taimiyah mendahulukan pemimpin yang kuat atau
berwibawa daripada pemimpin yang jujur dengan alasan pemimpin
yang saleh tapi lemah, maka kebaikannya hanya untuk dirinya sendiri
bukan untuk rakyatnya.25

Serat Wulang Reh menjelaskan pemimpin yang bersikap tegas


kepada manusia/bawahan. Terdapat pada pupuh Pocung, bait ke-10,
yaitu:

Kalau tak berhenti ketika dimarahi dari sifat malas, segera jatuhkan
tindakan. Sepantasnya dengan kesalahannya. Yang kuat (dalam
mendidik) agar menjadi teladan. (Wulang Reh, Pocung, bait ke-10,
hlm. 269).

Pemimpin harus tegas dalam menjalankan kekuasaannya. Tentu


tegas berbeda dengan kejam atau pemaksaan. Sikap tegas dapat
membentuk kewibawaan dan kekuatan pemimpin sehingga ia dapat
memimpin dengan efisien. Serat Wulang Reh menjelaskan bahwa sikap
tegas adalah dengan menindak bawahan atau rakyat yang sulit untuk
diajak bekerja sama. Satu-satunya cara mengatasi hal itu menurut
Wulang Reh adalah dengan menghukumnya dengan cara yang pantas
atau tidak berlebih-lebihan. Penyebutan kata ini barangkali diilhami
oleh fakta bahwa seringkali pemimpin kelewat batas dalam memberik
hukuman. Isi dari petikan bait tersebut jelas bahwa hukuman tersebut
adalah untuk mendidik bawahan atau rakyat. Hal ini sejalan dengan

25
Muhammad Iqbal & Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam,
(Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP, 2015), hlm. 37.

J18
URNAL THEOLOGIA — Volume AB, No.C, MonthDEFG
NAME AUTHOR: Main Title of Article ... (don’t entry name author and main title of article).

penjelasan Ibnu Taimiyah di atas mengenai pentingnya wibawa atau


kekuatan dalam memerintah, yaitu perintah-perintah pemimpin
dilaksanakan sehingga tidak perlu lagi ada yang “dididik”.

Sikap tegas memang perlu tetapi harus telah dipertimbangkan


terlebih dahulu dengan sangat matang. Sebab, tugas yang paling berat
bagi seorang pemimpin adalah mengambil keputusan yang baik, tepat
dan normatif. Keputusan yang tegas bukanlah sikap keras, ngotot dan
kaku.

2. Tenang

Pemimpin dalam setiap berpikir dan berbuat, dalam diam dan


berbicara, dalam memberi dan menerima, dalam segala tindak tanduk
dan perilaku. Harus bisa bersikap tenang dan halus dalam berfikir, tidak
tergesa-gesa memutuskan sesuatu tanpa pertimbangan. Sabar, hati-hati,
perlahan-lahan serta pintar, tanggap, cekatan, dalam semua perbuatan.

Pemimpin juga menjadi cerminan untuk setiap anggota dalam


organisasi. Karenanya seorang pemimpin mesti mampu bersikap tenang
dalam menghadapi segala situasi dan kondisi. Sikap tenang dalam
pandangan politik Jawa ada hubungannya dengan doktrin kekuasaan.
Bagi orang Jawa, pemimpin atau raja adalah wadah bagi kekuatan
kosmis yang terkumpul dalam dirinya. Apabila ia pemimpin sejati, pasti
mampu menguasai apa yang dikehendakinya, baik yang tampak maupun
yang batini. Sikap tenang berhubungan dengan penguasaan kekuatan
batin dan inti dari kemanusiaan. Konsekuensinya pemimpin harus
bersikap halus (alus).26

Pada Serat Wulang Reh menjelaskan tentang pemimpin yang


bersikap tenang dalam menghadapi segala sesuatu. Terdapat pada
pupuh Mijil bait ke-1 yaitu:

Perhatikan anakku, harap semua ingat nasihatku, engkau juga


seorang satria. Harus tenang dan halus dalam berpikir, sareh serta

26
Franz Magnis-Suseno, Op. Cit., hlm. 102.

JURNAL THEOLOGIA — Volume AB, No.C, MonthDEFG 19


NAME AUTHOR: Main Title of Article ... (don’t entry name author and main title of article).

pintar dalam semua perbuatan. ( Wulang Reh, Mijil, bait ke-1, hlm.
284)

Seorang pemimpin seperti yang diisyaratkan oleh Wulang Reh juga


merupakan seorang satria. Etika yang paling penting yang harus dimiliki
pemimpin adalah sikap tenang. Sikap tenang dalam pandangan
masyarakat Jawa menghasilkan banyak sikap positif lain. Ketenangan
juga menandakan tingginya pemahaman rohani seseorang sehingga
tidak ada yang perlu ia bingungkan dan risaukan. Manfaat dari sikap
tenang disebutkan dengan jelas di dalam serat, yaitu kehalusan dalam
berpikir dan bertindak, hatinya dipenuh rasa tentram, dan kecerdasan
khususnya kecerdasan emosional. Dengan sikap tenang yang tergambar
dari pikiran yang terkendali, kekuatan iman, dan rasa pasrah yang tinggi,
seorang pemimpin terhindar dari moha atau kebingungan.27

Pemimpin juga menjadi cerminan untuk setiap anggota dalam


organisasi. Karenanya seorang pemimpin mesti mampu bersikap tenang
dalam menghadapi segala situasi dan kondisi. Sikap tenang cukup
membantu seorang pemimpin terlebih dalam pengambilan keputusan
secara bijak dan tepat sehingga alur tetap berjalan sesuai rencana
pencapaian tujuan. Dalam situasi krisis khususnya, pantang untuk
seorang pemimpin kehilangan ketenangannya. Kemampuan seorang
pemimpin untuk menggerakkan juga penting, dimana seorang
pemimpin mesti mampu menggerakkan para pengikutnya untuk
mencapai tujuan dan tidak menjadi rapuh pada situasi krisis yang
terjadi.

3. Adil

Dalam bahasa Arab, adil bermakna keseimbangan dalam berbuat


dan berperilaku. Keseimbangan meliputi keseimbangan antara hak dan
kewajiban dan keserasian dengan sesama makhluk. Keadilan pada
hakikatnya adalah memperlakukan seseorang atau orang lain sesuai
haknya atas kewajiban yang telah di lakukan.
27
Nasruddin Anshory, Op. Cit., hlm. 51.

J20
URNAL THEOLOGIA — Volume AB, No.C, MonthDEFG
NAME AUTHOR: Main Title of Article ... (don’t entry name author and main title of article).

Adil merupakan sifat yang harus ada di dalam diri seorang


pemimpin. Pemimpin yang adil didambakan oleh semua orang dan
dituntut dalam semua ajaran dan tradisi. Hampir semua teoretikus
muslim menjadikan adil sebagai ukuran seorang pemimpin;
kepemimpinan hanya berhak dipegang oleh orang yang adil. Asghar Ali
Engineer mempunyai pandangan tersendiri mengenai adil. Menurutnya,
kata ‘adl dalam bahasa Arab bukan berarti keadilan, tetapi lebih condong
kepada pengertian yang identik dengan kata sawwiyat atau persamaan
dan penyamarataan (equalizing).28

Dalam serat Wulang Reh dijelaskan tentang pemimpin yang adil,


dalam pupuh Asmaradana bait ke 13-14, yang berbunyi:

Serta ajarkanlah dalam hal-hal baik, gantungilah dengan tindakan


(sangsi), supaya bersungguh-sungguh pekerjaannya, agar tidak
sembarangan. Dalam melaksanakan pekerjaan, jangan karena
engkau sukai, kalau tidak serius berilah tindakan. Walau kepada
saudara-saudara juga, kalau tidak serius diberi tindakan, sesuai
dengan kesalahannya. Supaya semua segan, di kemudian hari tidak
sembarangan dalam bekerja. Dalam pengaturan uang, jangan
sampai putus, upayakan merata. (Serat Wulang Reh, Pupuh
Asmaradana, Bait ke-13 & 14, hlm. 340-341)

Bersyukurlah dan rela, menerima ketetapan baginya. Dan jangan


menggarap suap, dari bawahan yang sedang melaksanakan
pekerjaan. Dan berusahalah untuk, kesejahteraan desa-desa. (Serat
Wulang Reh, Pupuh Asmaradana, Bait ke-22, hlm. 353)

Pemimpin harus memiliki sikap adil dan keadilan, dua kata yang
berasal dari kata yang sama namun memiliki perbedaan dalam
penafsiran termasuk dalam masalah kepemimpinan. Keadilan bukan
hanya berarti menempatkan sesuatu secara proporsional. Adil juga
mencakup penyamarataan perlakuan, atau dalam konteks pemimpin

Asghar Ali Engineer, Islam Dan Teologi Pembebasan, (Yogyakarta: Pustaka


28

Pelajar, 2021), hlm. 59.

JURNAL THEOLOGIA — Volume AB, No.C, MonthDEFG 21


NAME AUTHOR: Main Title of Article ... (don’t entry name author and main title of article).

adalah tidak pandang bulu dalam memberi ganjaran maupun hukuman.


Orang yang adil, menurut Wulang Reh, tidak berbuat sesuatu kepada
orang lain berdasarkan selera subjektif atau ikatan emosional.
Pemimpin harus adil dalam bertindak bahkan kepada saudara-
saudaranya sendiri. Serat tersebut juga melangkah lebih jauh dari hanya
sekedar adil dalam menjalin relasi. Keadilan juga dilakukan dalam
perekonomian. Menurut pandangan Asghar Ali, keadilan tidak hanya
berarti norma hukum, namun juga berarti keadila distributif. Serat
Wulang Reh menyatakan bahwa perputaran uang harus merata dan
tidak terputus pada golongan kaya saja.29

Sebagai seorang pemimpin, memiliki sifat adil sekaligus


memberikan keadilan kepada para pejabatnya hingga rakyatnya
memang tidak mudah, memang sebenarnya keadilan yang mutlak hanya
milik Allah, manusia hanya berusaha membrikan keadilan sebagaimana
yang dipahaminya dan berusaha menjadi seorang yang adil. Maka tidak
salah jika seorang pemimpin berusaha bersikap adil dan memberikan
keadilan secara bersamaan namun hasilnya tidak sesuai dengan konsep
adil dan keadilan itu sendiri, yang dibutuhkan setelah itu adalah
introspeksi diri, evaluasi diri hingga muhasabah diri, sebab memimpin
rakyat bukan jabatan namun amanah.

c. Larangan Pemimpin

Menjadi pemimpin tentu saja merupakan tanggung jawab yang


besar, selain bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya juga
harus memberi contoh yang baik terhadap yang dipimpin. Pemimpin
yang baik hendaknya memiliki etika yang dapat memberi teladan
kepada para pengikutnya. Dilain sisi pemimpin juga harus menghindari
segala perilaku tercela agar tidak ditiru oleh pengikut serta tidak hilang
wibawanya.

Seorang pemimpin yang baik hendaknya menghindari segala


perilaku tecela yang dapat mencoreng nama baiknya. Sebuah larangan
ataupun sebagai bentuk kewaspadaan pemimpin inilah yang menjadikan

29
Ibid., hlm. 60.

J22
URNAL THEOLOGIA — Volume AB, No.C, MonthDEFG
NAME AUTHOR: Main Title of Article ... (don’t entry name author and main title of article).

seorang pemimpin menjadi disegani dan dihormati oleh para


pengikutnya.

1. Membiarkan Sikap Tidak Jujur


Sikap tidak jujur merupakan suatu hal yang wajib dihindari oleh
seorang pemimpin. sikap tidak jujur inilah yang kerapkali disepelekan
hingga akhirnya menjadi sebuah masalah yang serius bagi akhlak
seorang pemimpin. Pemimpin yang selalu bersikap tidak jujur akan
terlihat dalam bagaimana ia mengatur pengikutnya.
Seorang pemimpin juga harus dapat tegas menindak terhadap
siapapun yang berbohong/tidak jujur, karena jikalau hal itu tidak
dilakukan maka akan menjadi sebuah kebiasaan dan akan
memperburuk keadaan suatu wilayah tatkala pemimpin maupun
pengikutnya bersikap tidak jujur. Jujur adalah menginformasikan
sesuatu sesuai dengan kenyataan, mengarah kepada cara berpikir positif
(‘aql mujib). Kebalikannya adalah dusta yang menurut al-Mawardi
adalah puncak dari segala keburukan dan asal dari berbagai celaan (al-
zamm) dengan segala konsekuensi yang buruk. 30 Dalam ungkapan lain,
seseorang yang jujur tidak akan sedikitpun merahasiakan setiap
informasi yang bersifat benar. Justru ia akan senanag hati
menyampaikan informasi yang berkaitan dengan kebenaran kepada
setiap orang yang membutuhkan informasi tersebut.
Serat Wulang Reh menjelaskan larangan sikap tidak jujur ini dalam
pupuh Gambuh bait kedua, yaitu:

Jangan sampai kau terlanjur dengan tingkah polah yang tidak jujur,
jika sudah terlanjur akan mencelakakan, dan hal itu tidak baik.
(Wulang Reh, Pupuh Gambuh, bait ke-2, hlm. 67)

Salah satu larangan pemimpin adalah brsikap tidak jujur karena hal
itu akan membawa manusia ke dalam hal merugikan. Bukan hanya
untuk dirinya sendiri tetapi juga kepada orang lain.
Kejujuran bagi seseorang membawa banyak manfaat. Sebaliknya
kedustaan membawa banyak petaka dan hal buruk lain. Premis ini lebih
30
Suparman Syukur, Etika Religius, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004),
hlm. 274

JURNAL THEOLOGIA — Volume AB, No.C, MonthDEFG 23


NAME AUTHOR: Main Title of Article ... (don’t entry name author and main title of article).

ditekankan kepada pemimpin sebab ia adalah kepala dari suatu struktur


masyarakat. Pemimpin yang jujur selalu menyampaikan kebenaran, atau
dalam konteks kekinian misalnya transparan dalam membelanjakan
anggaran dan tidak melakukan korupsi. Serat Wulang Reh
menginformasikan bahwa ketidakjujuran membawa kepada celaka.
Memang, jika seseorang tidak jujur, maka dampaknya hanya untuk
dirinya. Tetapi jika seorang pemimpin yang tidak jujur, maka dampak
negatifnya akan dirasakan semua rakyatnya.
Dengan demikian kejujuran merupakan hal pokok yang harus
dimiliki oleh pemimpin. pemimpin yang baik harus bersikap jujur dan
memberi teladan kepada bawahannya. Dengan kejujuran yang ia miliki
mak ia akan lebih mudah untuk bersosialisasi dan dapat dipercaya oleh
rakyatnya.
2. Tidak Membanggakan Diri
Membanggakan diri atau takabur merupakan sikap tercela yang
juga wajib dihindari oleh seorang pemimpin. sikap takabur inilah yang
seringkali tidak terasa ketika dilakukan. Sikap membanggakan diri
sendiri dan memandang orang lain lemah merupakan suatu sikap yang
tidak pantas dimiliki oleh seorang pemimpin.
Imam Al Ghazali pernah mengatakan bahwa: “kesombongan adalah
penyakit akut yang sangat ganas, yang bisa membinasakan orang-orang
yang terkemuka dari kalangan para makhluk. Dan sedikit sekali yang
dapat selamat darinya, baik kalangan ahli ibadah, zuhud maupun para
ulama, bahkan orang awam”. Yang perlu dicatat bahwasannya sombong
itu mencakup membanggakan diri dan meremehkan orang lain, bangga
dengan nasab, ilmu, harta, dan sebagainya. Padahal kemuliaan seseorang
tidak dilihat dari itu semua, melainkan dari ketaqwaannya kepada Allah
SWT.
Serat Wulang Reh menjelaskan larangan bersikap takabur dalam
pupuh Pangkur bait ke 12 dan 13, yaitu:

Dalam semua tingkah polah. Dalam perkataan dan juga ketika


duduk, wtaknya tak mau kalah (oleh orang lain), dan juga tak mau
ada yang melebihi. Diantara orang-orang dia merasa dirinya tidak
ada yang menyamai, merasa paling tinggi. Jangan sampai terjangkiti

J24
URNAL THEOLOGIA — Volume AB, No.C, MonthDEFG
NAME AUTHOR: Main Title of Article ... (don’t entry name author and main title of article).

oleh watak yang tak pantas bagi (orang) yng berbudi. Watak kotor
yang tak dibenarkan, jika bersatu dengan diri manusia. (Wulang Reh,
Pupuh Pangkur, bait ke 12-13, hlm. 124-126)

Dari bait di atas dapat kita ketahui bersikap takabur merupakan


suatu hal yang nista apabila dimiliki oleh seorang pemimpin.
Jika kita kaitkan dengan apa yang disampaikan oleh Al Ghazali tentu
sangat bersinggungan dimana sikap takabur atau membanggakan diri
merupakan sikap tercela yang harus dihindari oleh seorang manusia
dalam menjabat sebagai pemimpin. karena hal itu dapat membuat citra
seorang pemimpin menjadi buruk dimata para rakyatnya. Semua rakyat
tentunya menginginkan pemimpin yang bijaksan dan tidak memandang
jabatan sebagai sebuah hal yang dapat dibanggakan. Nantinya sikap
takabur ini malah membuat pemimpin dijauhi oleh rakyatnya sendiri.

3. Memiliki Sikap Tak Pantas


Menjadi seorang pemimpin tentu harus menjaga citranya sebagai
pemimpin. seorang pemimpin harus bersikap tegas dan berwibawa
ketika berjumpa dengan orang rakyatnya. Seorang pemimpin yang tidak
memiliki wibawa tentu akan menjadi cemoohan rakyat.
Rakyat memandang dan akan meniru apa yang dicontohkan oleh
pemimpinnya. Hal ini yang wajib dilakukan oleh pemimpin adalah
menjaga wibawanya. Serat Wulang Reh menjelaskan sifat yang tak
pantas dimiliki oleh seorang pemimpin dalam pupuh Pangkur bait ke 14
hingga 16, yaitu:

Jangan lonyo, lemer, genjah, angrong pasanakan, nyumur gumulung


dan mbuntut arit, itu semua yang tidak membawa pada keselamatan.
Akan halnya orang yang lonyo itu tidaklah pantas untuk diikuti,
karena selalu berubah arah, tak ada kemantapan. Adapun sifat lemer
yaitu mudah tergiur dengan berbagai keinginan. Genjah itu ingin
kerja cepat dalam sembarang pekerjaan. Angrong pasanak artinya
suka berulah menyukai (menggoda) istri saudara, serta pada
pembantu, kepada saudara atau yang dianggap saudara, apabila
sudah suka sering kali memperkosa. Nyumur gumuling artinya,

JURNAL THEOLOGIA — Volume AB, No.C, MonthDEFG 25


NAME AUTHOR: Main Title of Article ... (don’t entry name author and main title of article).

terlihat jelas, tidak punya rahasia, tidak bisa sedikitsaja ada


keramaian tanpamengumbar rahasianya. Mbuntut arit adalah
kelakuan yang kelihatan membenarkan (mendukung) di depan,
tetapi menggores di belakang. (Wulang Reh, Pupuh Pangkur, bait ke-
14-16, hlm. 128)

Dari bait diatas telah dijelaskan beberapa sikap yang tidak boleh
dimiliki oleh para pemimpin. Jikalau seorang pemimpin memiliki sikap
yang disebutkan diatas maka rakyat yang dipimpinnya tidak akan
pernah bisa merasa makmur. Hal ini disebabkan karena sikap yang
dimiliki pemimpin tersebut melenceng jauh dari ciri seorang pemimpin
yang ideal.
4. Jangan Bersikap Sombong
Kebanyakan dari beberapa orang yang sukses menjadi pemimpin
biasanya lupa dengan masa lalu yang menjadikannya seperti sekarang.
Kesalahan saat menjadi pemimpin adalah memiliki sikap sombong,
dimana sikap sombong dalam Islam maupun Jawa ini sangat tidak
disukai. Dengan ini, salah satu larangan bagi pemimpin adalah tidak
boleh memiliki sikap sombong, baik dengan bawahan ataupun dengan
masyarakatnya.

Menjadi pemimpin yang baik adalah tidak memiliki salah satu sikap
jelek, yaitu sombong. Sikap sombong merupakan penyakit hati yang
berbahaya, sebenarnya orang yang memiliki sikap sombong ini akan
dikutuk di sisi Allah. Bahaya yang disebabkan dari kesombongan kepada
orang yang bersifat dengannya ada empat hal, yaitu: Pertama,
terhalangnya kebenaran dan buta hati akan paham dari ayat-ayat suci
Al-Qur,an. Kedua, mendapat murka dari Allah. Ketiga, kehinaan di dunia
dan akhirat. Keempat, mendapat neraka dan azab di akhirat kelak. Maka
alangkah baikya manusia yang memiliki akal tidak bersikap sombong
dan perlu memperbaiki dirinya serta selalu berlindung kepada Allah
SWT.31

Muhammad Ab, Penyakit Hati & Pengobatannya, (Banda Aceh: PeNa,


31

2014), hal. 114-115.

J26
URNAL THEOLOGIA — Volume AB, No.C, MonthDEFG
NAME AUTHOR: Main Title of Article ... (don’t entry name author and main title of article).

Dalam serat Wulang Reh pada Pupuh Kinanti menjelaskan tentang


larangan seorang pemimpin untuk bersikap sombong. Dalam penjelasan
sebagai berikut:

Jika kau sudah ditakdirkan menjadi pembesar, janganlah


menyombongkan diri. Jangan kau dekati orang yang memiliki tabiat
buruk yang bertingkah laku buruk. Tak urung akan mengajak pada
keburukan, sehingga menularkan perbuatan buruknya. (Wulang Reh,
P. Kinanti, bait-3, hlm.34)

Menjadi seorang pemimpin adalah siap menjadi orang yang selalu


dipandnag. Dimana akan selalu dianggap menjadi orang besar (penting)
maka dari itu jangan bersikap sombong. Selain itu, sikap sombong ini
bisa menyebabkan orang enggan mengakui akan kelemahannya, justru
malah ingin selalu dipandang hebat, merasa dirinya selalu benar, selalu
memiliki rasa untuk menuju keburukdan dan merasa dirinya lebih
pintar dari pada orang lain. Maka dari itu penjelasan mengenai bait di
atas terlihat jelas dilarang bagi seorang pemimpin memiliki sikap
sombong dan selalu mengajak ke keburukan. Hal ini merupakan salah
satu sikap yang perlu diperhatikan saat hendak memilih seorang
pemimpin.

Selain memiliki rasa besar hati kepada orang lain atau


masyarakatnya, seorang pemimpin tidak boleh memiliki sikap angkuh
terhadap dirinya sendiri. Selalu ingin menjudge seseorang yang merasa
kurang lebih dari dirinya bahkan sampai menjatuhkan orang lain.

Kesombongan harus dijauhi oleh setiap manusia. Menurut sebagai


filsuf, orang yang menyombongkan diri sendiri secara tidak langsung
menunjukkan kedengkian dan kedangkalan akalnya. Selain tidak
menyadari bahwa kesombongannya membuat orang lain terganggu, ia
juga tidak menyadari bahwa kebodohannya itu telah mencapai titik
tertentu. Konsekuensinya ia selalu menolak setiap kebenaran, kebaikan,
dan keutamaan, baik yang datang dari orang lain maupun yang sudah
menjadi norma sebagai pandangan hidup masyarakat.32

JURNAL THEOLOGIA — Volume AB, No.C, MonthDEFG 27


NAME AUTHOR: Main Title of Article ... (don’t entry name author and main title of article).

Dalam Serat Wulang Reh dijelaskan pada bait ke 6-7. Pada Pupuh
Durma yang berbunyi:

Hanya perbuatan sendiri yang tidak dinyinyiri, merasa perbuatan


sendiri sudah benar. Walaupun benar pun, kalau perbuatan orang
lain, pasti dianggap salah. Itu orang berkelakuan buruk, memakai
ukuran kebenaran sendiri. Tidak ada pekerjaan yang lebih mudah,
seperti orang menyinyiri. Engkau ingat-ingatlah, jangan suka banyak
nyinyir, harap semua memuliakan budi pekerti, yang sepantasnya,
siapapun yang lupa. (Wulang Reh, Pupuh Durma, bait ke 6-7, hlm.
207)

Pada bait ini dijelaskan bahwa perbuatan seseorang yang memiliki


sikap sombong tidak akan dikomentari oleh dirinya sendiri dan selalu
merendahkan perbuatan orang lain. Kebiasaan orang sombong adalah
selalu berbuat semena-mena dan tidak mau introspeksi akan dirinya
sendiri. Maka dari itu, perlu menjadi pelajaran bahwasannya seorang
pemimpin tidak boleh memiliki sikap sombong yang justru
merendahkan dirinya sendiri. Sebagaimana pandangan sebagian filsuf,
kesombongan hanya menunjukkan kebodohan si sombong dengan
hanya melihat kebenaran yang ada pada dirinya. Serat Wulang Reh
mengafirmasi sikap sombong sebagaimana yang telah dijelaskan. Untuk
menutup pintu kesombongan, pengarang menasihatkan agar jangan
suka menyiyir orang lain. Sikap orang rendah hati adalah ia menyadari
kekuarangan dirinya dan kelebihan orang lain sehingga ia mampu
menghormati orang lain.

Maka dari itu, kesombongan tidak boleh dimiliki oleh setiap orang,
lebih-lebih seorang pemimpin. Pemimpin yang sombong sangat
menyengsarakan rakyatnya. Sejarah mencatat bagaimana akhir cerita
dari pemimpin-pemimpin yang sombong.

5. Jangan Mengumpat dan Berkata Semena-mena kepada Orang Lain.

32
Suparman Syukur, Op. Cit., hlm. 270.

J28
URNAL THEOLOGIA — Volume AB, No.C, MonthDEFG
NAME AUTHOR: Main Title of Article ... (don’t entry name author and main title of article).

Biasanya seseorang kerap melakukan kesalahan entah kepada


sanak saudara, tetangga ataupun bawahannya. Tetapi saat menjadi
seorang pemimpin ia harus berkata dan bersikap baik. Misalnya cara
berbicara dengan masyrakat ataupun dengan bawahannya.

Syariat Islam diturunkan sebagai perlindungan harkat dan


martabat manusia. Setiap perilaku yang merendahkan manusia, baik
secara pribadi maupun sebagai pemimpin ataupun bawahn itu tetap
dilarang oleh Allah SWT. Islam sebagai Rahmatan Lil ‘Alamiin, pada
prinsipnya ingin menjaga kehormatan setiap manusia dengan begitu
setiap orang yang telah melakukan kesalahan yaitu merendahkan orang
lain patut diberi sanksi.33

Larangan mengenai dilarangnya merendahkan dan bersikap


semena-mena terhadap orang lain disebutkan di dalam Serat Wulang
Reh bait ke 6 yang berbunyi:

Harap hemat dengan lidah, jangan banyak mengumpat, semena-mena,


galak, mengungkit-ungkit. Kalau memarahi, agar jelas diingat
kesalahannya, oleh pesuruh yang kena marah. (Wulang Reh, Pupuh
Wirangrong, bait ke 6, hlm. 227)

Maksud dari bait di atas adalah siapapun itu, baik muda atau tua
perlu menjaga perkataannya, tidak boleh berkata kasar seperti
mengumpat dan mencela. Kalaupun orang lain melakukan kesalahan
maka cukup untuk menegur dan membenarkan saja tanpa harus
menjatuhkan harga diri orang gtersebut.

Penjelasan di atas sangat relate dengan salah satu kriteria


pemimpin yang ideal, dimanaseorang pemimpin hanya perlu
membenarkan kesalahan dan menasehati bawahannya sat melakukan
kesalahan.

Selain dari pada itu, seorang pemimpin harus memiliki sikap yang
tegas dan tidak mudah tersinggung, tidak boleh menyia-nyiakan waktu

Amir Syarifudin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2003), hlm.


33

287.

JURNAL THEOLOGIA — Volume AB, No.C, MonthDEFG 29


NAME AUTHOR: Main Title of Article ... (don’t entry name author and main title of article).

dan menjadi seorang pemimpin haruslah bersikap bijak dalam segala


tingkah dan ucapannya agar disegani oleh masyarakat dan bawahannya.

Seorang pemimpin dalam Islam pada dasarnya harus memotivasi,


membimbing dan mengarahkan agar manusia beriman kepada Allah dan
selalu berbuat baik kepada sesama manusia. 34 Selain itu Sandang P.
Siagian menjelaskan bahwa pemimpin perlu kemampuan dan terampil
untuk berfikir atau bertindak sehingga bisa memberikan sumbangsih
kepada suatu organisasi.35

Mengenai hal yang berkaitan tentang pemimpin di atas dalam Serat


Wulang Reh disebutkan pada Pupuh Asmaradana bait ke 7, yaitu:
Dan jangan angkuh, bengis, mudah tersinggung, berangasan,
mendahului perkataan, mendahuli perintah, galak, sombong,
mendahului bertindak. Jangan menginjak, jangan meremehkan, dan
jangan menyia-nyiakan, jangan usil, suka bertengkar, dan jangan
suka mengadu. (Wulang Reh, Pupuh Asmaradana, bait ke-7, hlm.
331)
Makna dari bait di atas adalah seorang pemimpin dilarang bersikap
dingin, mudah tersinggung atau sakit hati dengan perkataan orang lain
ataupun bawahannya. Serta menjadi seorang pemimpin harus bisa
memanfaatkan waktu sebaik mungkin, tidak bertingkah laku jahil dan
banyak mengeluh. Dengan begitu, saat menjadi pemimpin tidak boleh
terlalu bersantai-santai dalam perihal pekerjaannya, tidak boleh
semena-mena asal menyuruh bawahan dan memberatkan pekerjaan
orang lain sementara dirinya sendiri tidak melakukan hal lain.
D. Kesimpulan

34
Hadari Nawawi, Kepemimpinan Menurut Islam, (Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 1993), hal. 27
35
Sondang P. Siagian, Organisasi, Kepemimpinan dan Perilaku Adsministrasi,
(Jakarta: Haji Masa Agung, 1991), hal. 24.

J30
URNAL THEOLOGIA — Volume AB, No.C, MonthDEFG
NAME AUTHOR: Main Title of Article ... (don’t entry name author and main title of article).

Pemimpin adalah orang-orang yang diberi anugrah untuk menjalankan


kekuuasaan atas orang lain demi kemaslahatan bersama. Ia harus menjadi
teladan, guru, orang bijak, dan figur-figur yang sosoknya diutamakan.
Pemimpin dalam pandangan Islam dan Jawa bahkan merupakan “bayangan
Tuhan di bumi” atau “manifestasi dari Tuhan”. Maka dari itu, perlu mencari
format ideal kepemimpinan untuk meraih tujuan bersama yang diharapkan.
Serat Wulang Reh merupakan khazanah sastra Jawa yang berisikan
pendidikan moral dan ditulis oleh raja Surakarta, Pakubuwana IV. Terdapat
banyak uraian mengenai pemimpin ideal yang ditempatkan dalam bait-bait
dalam serat Wulang Reh. Secara garis besar, pemimpin yang ideal adalah
yang beretika, yaitu etika terhadap Tuhan, etika terhadap sesama/bawahan,
dan menjauhi larangan-larangan bagi seorang pemimpin.
Pemimpin yang ideal sebagaimana dalam serat Wulang Reh sebenarnya
merupakan diri pengarang sendiri, yaitu Pakubuwana IV. Gabungan dari
moral luhur Jawa dan syariat Islam yang mulia menjadi satu etika yang
mapan dan ideal bagi pemimpin. Keunikan serat Wulang Reh adalah ia
menyebutkan suatu nilai etika berikut akibat yang ditimbulkan. Dengan
menjadi pemimpin yang ideal sebagaimana yang dikehendaki dalam serat,
harapannya adalah agar rakyat menjadi sejahtera dan makmur; sedangkan
bagi pemimpin dapat memimpin rakyat dengan bijaksana, tentram, dan
tenang.

DAFTAR PUSTAKA

JURNAL THEOLOGIA — Volume AB, No.C, MonthDEFG 31


NAME AUTHOR: Main Title of Article ... (don’t entry name author and main title of article).

Buku:
Ab, Muhammad. 2014. Penyakit Hati & Pengobatannya. Banda Aceh: PeNa.
Abimanyu, Soedjipto. 2015. Kitab Terlengkap Sejarah Mataram. Yogyakarta:
Saufa.
Al-Ghazali. 1998. At-Tibr al-Masbuk fi Nasihah al-Muluk. Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah.
Al-Mawardi, Abu Hasan. 2006. Ahkam as-Sulthaniyyah. Kairo: Dar al-Hadits.
Al-Mawardi, Abu Hasan. 2013. Adab ad-Din wa ad-Dunya. Beirut: Dar al-
Minhaj, 2013.
Anshoriy, Nasruddin. 2008. Neo Patriotisme: Etika Kekuasaan dalam
Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: LkiS.
Blanchard, Ken. 2005. Hati Seorang Pemimpin. Jakarta: Erlangga.
Bertens, Kees. 1997. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Daudy, Ahmad. 1989. Kuliah Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Endaswara, Suwardi. 2022. Mistik Kejawen. Yogyakarta: Narasi.
Engineer, Asghar Ali. 2021. Islam Dan Teologi Pembebasan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Handoyo, Eko. 2013. Pendidikan Antikorupsi. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Iqbal, Muhammad & Amin Husein Nasution. 2015. Pemikiran Politik Islam,
Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP.
Madjid, Nurcholish. 2020. Islam Doktrin Dan Peradaban. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Nawawi, Hadari. 1993. Kepemimpinan Menurut Islam. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Siagian, Sondang P. 1991. Organisasi, Kepemimpinan dan Perilaku Adsministrasi,
Jakarta: Haji Masa Agung.
Simuh. 2019. Sufisme Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Suseno, Franz Magnis. 1984. Etika Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Syarifuddin, Amir. 2003. Garis-Garis Besar Fiqh. Jakarta: Kencana.
Syukur, Amin. 2004. Zuhud Di Abad Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

J32
URNAL THEOLOGIA — Volume AB, No.C, MonthDEFG
NAME AUTHOR: Main Title of Article ... (don’t entry name author and main title of article).

Syukur, Suparman. 2004. Etika Religius. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


Tjahjadi, Simon Petrus Lili. 2020. Petualangan Intelektual. Yogyakarta: Kanisius.

Jurnal & Internet:


Farida, Elok Noor & Kusrini. (2013). Studi Islam Pendekatan Hermeneutik. Studi
Islam Pendekatan Hermeneutik, 7 (2), 381-403.
Saban, Ali. (2020). Zuhud in Tasawuf as Ethical Bureaucracy to Create Non
Corrupted Behavior in Indonesia. Mawa’Izh: Jurnal Dakwah Dan
Pengembangan Sosial Kemanusiaan. 11 (2), hlm. 188-216.
https://widyagama.ac.id/iwan-nugroho/wp-content/uploads/2012/01/MCW-
Etika-Kepemimpinan-jabatan-publik-feb-2013.pdf.

JURNAL THEOLOGIA — Volume AB, No.C, MonthDEFG 33

Anda mungkin juga menyukai