Anda di halaman 1dari 22

Makalah

KEPEMIMPINAN ISLAM VS SEKULER

DOSEN PENGAMPUH:
Prof. Dr. H. BASRI MODDING, SE., M.Si

Di Susun Oleh:
NAMA

: MUHAMMAD IHSAN ANSARI

NIM

: 0005-04-19-2015

KELAS

: MAKSI II

MAGISTER AKUNTANSI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2015

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, saya selaku penulis memanjatkan puja dan puji syukur atas kehadiratNya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada saya,
sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ilmiah tentang Kepemimpinan Islam
Vs Sekuler
Selama ini ada kerancuan pemahaman di kalangan Ummat Islam. Sebagian
orang memandang, bahwa setiap pemimpin yang beragama Islam, KTP-nya tertulis
Islam, atau ia dikenal publik sebagai Muslim; dia diposisikan sebagai ulil amri yang
ditaati setelah Allah dan Rasul-Nya. Adab-adab perlakuan terhadap Khalifah Islam
wajib diterapkan kepada pemimpin seperti itu. Meskipun yang bersangkutan jelasjelas menganut idelogi sekularisme. Atas dasar inilah saya sebagai penulis ingin
menjelaskan lebih lanjut mengenai kepemimpinan islam vs sekuler. Sehingga
nantinya pembaca dapat mengetahui bagaimana kepemimpinan islam dan
bagaimana pula kepemimpinan sekuler.
Terlepas dari semua itu, Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu
dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar
kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhir kata penulis berharap semoga makalah Kepemimpinan Islam vs Sekuler
ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.

Parepare, 1 Juni 2016

Penyusun

ii

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .........................................................................................

KATA PENGANTAR.......................................................................................

ii

DAFTAR ISI ...................................................................................................

iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..............................................................................

B. Rumusan Masalah ........................................................................

BAB II PEMBAHASAN
A. Pandangan Umum Mengenai Kepemimpinan ..............................

1. Pengertian Pemimpin ...............................................................

2. Peranan Kepemimpinan ...........................................................

3. Teori Lahirnya pemimpin ..........................................................

B. Kepemimpinan Dalam Islam .........................................................

1. Khalifah ....................................................................................

2. Imamah ....................................................................................

3. Ulu Al-Amr ...............................................................................

C. Sifat Sifat Pemimpin Yang Ideal ................................................

D. Kepemimpinan Islam vs Sekuler ..................................................

11

BAB III PENUTUP


Kesimpulan ...................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA

iii

17

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.
Manusia adalah makhluk social yang tidak dapat hidup sendiri. Dalam hidup,
manusia selalau berinteraksi dengan sesama serta dengan lingkungan. Manusia
hidup berkelompok baik dalam kelompok besar maupun dalam kelompok kecil.
Hidup dalam kelompok tentulah tidak mudah. Untuk menciptakan kondisi
kehidupan yang harmonis anggota kelompok haruslah saling menghormati &
menghargai. Keteraturan hidup perlu selalu dijaga. Hidup yang teratur adalah
impian setiap insan. Menciptakan & menjaga kehidupan yang harmonis adalah
tugas manusia
Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling tinggi dibanding makhluk Tuhan
lainnya. Manusia di anugerahi kemampuan untuk berpikir, kemampuan untuk
memilah & memilih mana yang baik & mana yang buruk. Dengan kelebihan
itulah manusia seharusnya mampu mengelola lingkungan dengan baik. Tidak
hanya lingkungan yang perlu dikelola dengan baik, kehidupan sosial manusia
pun perlu dikelola dengan baik. Untuk itulah dibutuhkan sumber daya manusia
yang berkualitas. Sumber daya yang berjiwa pemimpin, paling tidak untuk
memimpin dirinya sendiri.
Dengan berjiwa pemimpin manusia akan dapat mengelola diri, kelompok &
lingkungan dengan baik. Khususnya dalam penanggulangan masalah yang
relatif pelik & sulit. Disinilah dituntut kearifan seorang pemimpin dalam
mengambil keputusan agar masalah dapat terselesaikan dengan baik. Oleh
karena itu makalah ini membahas mengenai perbandingan kepemimpinan islami
dengan kepemimpinan sekuler, dimana dalam makalah ini akan membahas
bagaimana kepemimpinan islam dan bagaimana islam menyikapi kepemimpinan
sekuler.

B. Rumusan Masalah.
1. Apa yang dimaksud dengan Pemimpin?
2. Apa saja peranan pemimpin?
3. Apa saja term pemimpin dalam islam?
4. Apa saja kriteria pemimpin yang ideal dalam islam?
5. Bagaimana perbandingan kepemimpinan islam dengan kepemimpinan
sekuler?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pandangan Umum Mengenai Kepemimpinan.


1. Pengertian Pemimpin
Pemimpin berasal dari kata pimpin (dalam bahasa Inggris lead) berarti
bimbing dan tuntun. Dengan demikian di dalamnya ada dua pihak yang
terlibat yaitu yang "dipimpin" dan yang "memimpin". Setelah ditambah
awalan pe menjadi pemimpin (dalam bahasa Inggris leader) berarti orang
yang menuntun atau yang membimbing. Secara etimologi pemimpin adalah
orang yang mampu mempengaruhi serta membujuk pihak lain agar
melakukan tindakan pencapaian tujuan bersama, sehingga dengan demikian
yang bersangkutan menjadi awal struktur dan pusat proses kelompok.
Kemudian secara terminologis banyak ditemukan definisi tentang pemimpin.
Para pakar manajemen biasanya mendefinisikan pemimpin menurut
pandangan pribadi mereka, dan aspek-aspek fenomena dari kepentingan
yang paling baik bagi pakar yang bersangkutan. Sehingga Stogdil membuat
kesimpulan bahwa there are almost as many definitions of leadership as
there are persons who have attemptted to define the concept.

Definisi

kepemimpinan sesuai dan sebanyak dengan pandangan masing-masing


yang mendefinisikannya.
Kemudian pemimpin yang dikemukakan oleh Edwin A. Locke, adalah
orang berproses membujuk (inducing) orang lain untuk mengambil langkahlangkah menuju suatu sasaran bersama. Pengertian ini mengandung tiga
elemen penting yaitu:
a) Pemimpin adalah orang yang membuat suatu konsep relasi (relation
concept). Disebut sebagai pemimpin apabila ada relasi dengan orang
lain. Jika tidak ada relasi atau pengikut, maka hal itu tidak dapat disebut
pemimpin. Tersirat dalam pengertian tersebut, bahwa para pemimpin
efektif harus mengetahui bagaimana membangkitkan inspirasi dan
berelasi dengan para pengikut mereka;
b) Pemimpin merupakan suatu proses. Agar bisa memimpin, pemimpin
mesti melakukan sesuatu. Kepemimpinan lebih dari sekedar menduduki
posisi otoritas. Kendati posisi otoritas yang diformalkan mungkin sangat

mendorong proses kepemimpinan, tapi sekedar menduduki posisi itu


tidak memadai untuk membuat seseorang menjadi pemimpin;
c) Pemimpin harus membujuk orang-orang untuk mengambil tindakan.
Pemimpin

membujuk

pengikut

dengan

berbagai

cara,

seperti

menggunakan otoritas yang terlegitimasi, menciptakan model (teladan),


penerapan sasaran, memberi imbalan dan hukuman, restrukturisasi
organisasi, dan mengkomunikasikan sebuah visi.

2. Peranan Kepemimpinan
Tiap organisasi yang memerlukan kerjasama antar manusia dan
menyadari

bahwa

masalah

manusia

yang

utama

adalah

masalah

kepemimpinan. Kita melihat perkembangan dari kepemimpinan pra ilmiah


kepada kepemimpinan yang ilmiah. Dalam tingkatan ilmiah kepemimpinan
itu disandarkan kepada pengalaman intuisi, dan kecakapan praktis.
Kepemimpinan itu dipandang sebagai pembawaan seseorang sebagai
anugerah Tuhan. Karena itu dicarilah orang yang mempunyai sifat-sifat
istimewa yang dipandang sebagai syarat suksesnya seorang pemimpin.
Dalam tingkatan ilmiah kepemimpinan dipandang sebagai suatu fungsi,
bukan sebagai kedudukan atau pembawaan pribadi seseorang. Maka
diadakanlah suatu analisa tentang unsur-unsur dan fungsi yang dapat
menjelaskan kepada kita, syarat-syarat apa yang diperlukan agar pemimpin
dapat bekerja secara efektif dalam situasi yang berbeda-beda. Pandangan
baru ini membawa pembahasan besar. Cara bekerja dan sikap seorang
pemimpin yang dipelajari. Konsepsi baru tentang kepemimpinan melahirkan
peranan baru yang harus dimainkan oleh seorang pemimpin. Titik berat
beralihkan dari pemimpin sebagai orang yang membuat rencana, berfikir
dan mengambil tanggung jawab untuk kelompok serta memberikan arah
kepada orang-orang lain. Kepada anggapan, bahwa pemimpin itu pada
tingkatan pertama adalah pelatih dan koordinator bagi kelompoknya. Fungsi
yang utama adalah membantu kelompok untuk belajar memutuskan dan
bekerja secara lebih efisien dalam peranannya sebagai pelatih seorang
pemimpin dapat memberikan bantuan-bantuan yang khas. Yaitu :
a) Pemimpin membantu akan terciptanya suatu iklim sosial yang baik.

b) Pemimpin membantu kelompok dalam menetapkan prosedur-prosedur


kerja.
c) Pemimpim membantu kelompok untuk mengorganisasi diri.
d) Pemimpin bertanggung jawab dalam mengambil keputusan sama
dengan kelompok.
e) Pemimpin memberi kesempatan kepada kelompok untuk belajar dari
pengalaman.

3. Teori Lahirnya Pemimpin


Para ahli teori kepemimpinan telah mengemukakan beberapa teori
tentang timbulnya Seorang Pemimpin. Dalam hal ini terdapat 3 tiga teori
yang menonjol yaitu:
a) Teori Genetik.
Penganut teori ini berpendapat bahwa, pemimpin itu dilahirkan dan
bukan dibentuk (Leaders are born and not made). Pandangan terori ini
bahwa, seseorang akan menjadi pemimpin karena keturunan atau ia
telah dilahirkan dengan membawa bakat kepemimpinan. Teori
keturunan ini, dapat saja terjadi, karena seseorang dilahirkan telah
memiliki potensi termasuk memiliki potensi atau bakat untuk
memimpin dan inilah yang disebut dengan faktor dasar. Dalam realitas,
teori keturunan ini biasanya dapat terjadi di kalangan bangsawan atau
keturunan raja-raja, karena orang tuanya menjadi raja maka seorang
anak yang lahir dalam keturunan tersebut akan diangkan menjadi raja
b) Teori Sosial
Penganut teori ini berpendapat bahwa, seseorang yang menjadi
pemimpin dibentuk dan bukan dilahirkan (Leaders are made and not
born). Penganut teori berkeyakinan bahwa semua orang itu sama dan
mempunyai potensi untuk menjadi pemimpin. Tiap orang mempunyai
potensi atau bakat untuk menjadi pemimpin, hanya saja paktor
lingkungan atau faktor pendukung yang mengakibatkan potensi tersebut
teraktualkan atau tersalurkan dengan baik dan inilah yang disebut
dengan faktor ajar atau latihan.
Pandangan penganut teori ini bahwa, setiap orang dapat dididik,
diajar, dan dlatih untuk menjadi pemimpin. Intinya, bahwa setiap orang
5

memiliki potensi untuk menjadi pemimpin, meskipun dia bukan


merupakan atau berasal dari keturunan dari seorang pemimpin atau
seorang raja, asalkan dapat dididik, diajar dan dilatih untuk menjadi
pemimpin.
c) Teori Ekologik
Penganut teori ini berpendapat bahwa, seseorang akan menjadi
pemimpin yang baik manakala dilahirkan telah memiliki bakat
kepemimpinan.

Kemudian

bakat

tersebut

dikembangkan

melalui

pendidikan, latihan, dan pengalaman-pengalaman yang memungkinkan


untuk mengembangkan lebih lanjut bakat-bakat yang telah dimiliki. Jadi,
inti dari teori ini yaitu seseorang yang akan menjadi pemimpin
merupakan perpaduan antara faktor keturunan, bakat dan lungkungan
yaitu faktor pendidikan, latihan dan pengalaman-pengalaman yang
memungkinkan bakat tersebut dapat teraktualisasikan dengan baik.

Selain ketiga teori tersebut, muncul pula teori keempat yaitu Teori
Kontigensi atau Teori Tiga Dimensi. Penganut teori ini berpendapat bahwa,
ada tiga faktor yang turut berperan dalam proses perkembangan seseorang
menjadi pemimpin atau tidak, yaitu: (1) Bakat kepemimpinan yang
dimilikinya. (2) Pengalaman pendidikan, latihan kepemimpinan yang pernah
diperolehnya, dan (3) Kegiatan sendiri untuk mengembangkan bakat
kepemimpinan tersebut. Teori ini disebut dengan teori serba kemungkinan
dan bukan sesuatu yang pasti, artinya seseorang dapat menjadi pemimpin
jika memiliki bakat, lingkungan yang membentuknya, kesempatan dan
kepribadian, motivasi dan minat yang memungkinkan untuk menjadi
pemimpin.
Menurut Ordway Tead, bahwa timbulnya seorang pemimpin, karana : (1)
Membentuk diri sendiri (self constituded leader, self mademan, born leader),
(2) Dipilih oleh golongan, artinya ia menjadi pemimpin karena jasa-jasanya,
karena kecakapannya, keberaniannya dan sebagainya terhadap organisasi.
(3) Ditunjuk dari atas, artinya ia menjadi pemimpin karena dipercaya dan
disetujui oleh pihak atasannya (Imam Mujiono, 2002: 18).

B. Kepemimpinan Dalam Islam


Didalam islam ada 3 term pemimipin, yaitu: Khalifah, Imamah, Ulu al-amr.
1. Khalifah
Term khalfah diungkapkan antara lain dalam QS. al-Baqarah (2): 30
sebagai penegasan Allah swt tentang penciptaan manusia untuk menjadi
pemimpin. Bentuk plural (jamak) term khalfah tersebut adalah khalif
sebagaimana dalam QS. Fthir (35): 39.
Secara etimologis, kata khalfah berakar kata dengan huruf-huruf kh,
lm, dan f', mempunyai tiga makna pokok, yaitu mengganti, belakang, dan
perubahan. Dengan makna seperti ini, maka kata kerja khalafa-yakhlufukhalfah dipergunakan dalam arti bahwa khalifah adalah yang mengganti
kedudukan Nabi saw sebagai pemimpin, khalifah adalah pemimpin di
belakang (sesudah) Nabi saw, khalifah adalah orang mampu mengadakan
perubahan

untuk

lebih

maju

dan

mensejahterahkan

orang

yang

dipimpinnya.
Menurut Abu al-A'la al-Maududi, khalifah adalah bentuk pemerintahan
manusia yang benar, menurut pandangan al-Quran, adalah pengakuan
negara akan kepemimpinan dan kekuasaan Allah dan Rasul-Nya di bidang
perundang-undangan,

menyerahkan

segala

kekuasaan

legislatif

dan

kedaulatan hukum tertinggi kepada keduanya dan menyakini bahwa


khilafahnya itu mewakili Sang Hakim yang sebenarnya, yaitu Allah swt.
Pengertian lain dalam konteks terminologis, khalifah adalah pemimpin
tertinggi di dunia Islam yang menggantikan kedudukan Nabi saw dalam
mengurus agama dan pemerintahan Islam. Empat khalifah pertama, Ab
Bakar al-Shiddiq, 'Umar bin al-Hattab, Umn bin al-Affan, dan 'Ali bin Abi
Thalib, masing-masing berperan dalam menyelesaikan berbagai persoalan
agama di masanya, dan berperan memperluas wilayah pemerintahan Islam.
Mereka juga memiliki peranan spiritual yang tinggi, dan hal itu teridentifikasi
dari karya mereka ketika menjabat khalifah. Karenanya mereka menerima
gelar penghormatan khalfah al-rsyidn (pemimpin yang lurus). Bahkan
pemimpin umat Islam sesudah mereka, tetap menggunakan gelar khalfah,
dan berpengaruh sampai sekarang.

2. Imamah
Term immah berasal dari kata imm. Dalam Maqyis al-Lughah
dijelaskan bahwa term imm pada mulanya berarti pemimpin shalat. Imm
juga berarti orang yang diikuti jejaknya dan didahulukan urusannya,
demikian juga khalifah sebagai imam rakyat, dan al-Qur'an menjadi imam
kaum muslimin. Imam juga berarti benang untuk meluruskan bangunan.
Batasan yang sama, dikemukakan juga oleh al-As fah ni bahwa (al-imm
adalah yang diikuti jejaknya, yakni orang yang didahulukan urusannya, atau
perkataan-nya atau perbuatannya, imam juga berarti kitab atau semisalnya.
Jamak kata al-imm tersebut adalah aimmah).
Term immah dalam konteks Sunni dan Syah berbeda pengertiannya.
Dalam dunia Sunn, immah tidak dapat dibedakan dengan khilfah.
Sedangkan dalam dunia Sy, imamah bukan saja dalam konotasi lembaga
pemerintahan, tetapi mencakup segala aspek. Hal ini disebabkan predikat
imam bagi kaum Syah tidak saja terkait dengan aspek politik, tetapi juga
mencakup aspek agama secara keseluruhan: akidah, syariah, mistik, dan
yang disepakati oleh kaum Syah ialah bahwa imam harus berasal dari ahl
al-bayt dengan garis keturunan Ali bin Abi Thalib. Dengan demikian kaum
Syah memahami bahwa konotasi imam erat sekali dengan dimensi
keagamaan dan menjadi kurang tepat bila dikaitkan dengan aspek politik
saja. Dari sinilah sehingga konotasi imam harus tetap mengacu pada
pengertian pemimpin spiritual atau keagamaan.
Dengan

analisis

seperti

ini

di

atas,

maka

konsep

imamah

(kepemimpinan) secara terminologis dalam Syah tidak dapat dilepaskan


dari peranan dan misi keagamaan. Sebab umat selalu membutuhkan
bimbingan, dan karenanya Tuhan menaruh perhatian utama guna
memberikan bimbingan yang tidak terputus-putus buat umat manusia, di
antaranya dengan menugaskan nabi memilih penerusnya (imm), dan setiap
penerus menentukan penggantinya, demikian seterusnya. Dengan konsep
immah sebagai yang terungkap di sini, praktis bahwa jiwa dan missi
keagamaan (Islam) dapat dipertahankan sepanjang masa.
3. Ulu Al-Amr
Ulu al-Amr merupakan ungkapan frase nominal yang terdiri atas dua
suku kata, ulu dan al-amr. Yang pertama bermakna pemilik, dan yang kedua
8

bermakna "perintah, tuntunan melakukan sesuatu, dan keadaan atau


urusan". Memperhatikan pola kata kedua, kata tersebut adalah bentuk
mashdar dari kata kerja amara-ya'muru (memerintahkan atau menuntut agar
sesuatu dikerjakan). Dari sini, maka kata ulu al-Amr diterjemahnkan "pemilik
urusan" dan "pemilik kekuasaan" atau "hak memberi perintah". Kedua
makna ini sejalan, karena siapa yang berhak memberi perintah berarti ia
juga

mempunyai

kekuasaan

mengatur

sesuatu

urusan

dalam

mengendalikan keadaan. Pengertian seperti inilah, maka ulu al-Amr


disepadankan dengan arti "pemimpin".
Pengertian pemimpin dengan term ulu al-mar di atas, lebih luas karena
mencakup setiap pribadi yang memegang kendali urusan kehidupan, besar
ataupun kecil, seperti pemimpin negara, atau pemimpin keluarga, bahkan
pemimpin diri sendiri juga termasuk di dalamnya.

C. Sifat-sifat Pemimpin Yang Ideal Dalam Islam


Tidak diragukan lagi bahwa Muhammad Rasululloh Saw adalah sosok
manusia yang paling ideal, sempurna dalam segala hal. Beliau bukan hanya
seorang nabi dan rasul pilihan, juga sebagai kepala rumah tangga yang
harmonis bagi keluarga-keluarganya, sahabat yang baik bagi sesamanya, guru
yang berhasil bagi murid-muridnya, teladan bagi ummatnya, panglima yang
berwibawa bagi prajuritnya dan pemimpin yang besar bagi kaumnya.
Segala akhlak mulia ada padanya, sehingga Allah sebagai Pencipta pun
memujinya,Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.
Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
kiamat dan dia banyak menyebut Allah. Keberhasilan beliau sebagai Pemimpin,
dilandasi sifat-sifat / kriteria-kriteria pemimpin yang ideal:
1. Bertaqwa kepada Allah Swt.
Sebagai syarat muthlak sebagai pemimpin. yang telah menjadi karakter
kepribadiannya.
2. Amanah
Artinya jujur, tidak pernah berdusta, menepati janji, berani mengatakan yang
haq, bertindak adil dan profesional. Sifat ini harus menetap pada seseorang
jauh sebelum dia menjadi pemimpin.
9

3. Shiddiq
Membenarkan dan meyakini apa saja yang diwahyukan Allah kepada RasulNya sekalipun tidak dapat difahami oleh akal. Tokoh pemimpin berkarakter
ini, adalah Abu Bakar Ashiddiq. Seorang Shidiq sanggup berkata jujur,
berani menyampaikan al-haq dengan segala resikonya
4. Fathonah
Artinya

pintar,

cerdas,

cermat,

cepat

mengambil

keputusan,

tepat

menentukan tindakan, mampu membaca keadaan, dan memahami segala


permasalahan.
5. Tabligh
Artinya menyampaikan, Pemimpin sebagai informan tentang segala sesuatu
yang penting diketahui oleh umat. Khususnya mengenai pesan-pesan
agama
6. Tegas dan Teguh Pendirian
Dalam urusan tauhid dan al-Haq dari Allah seorang pemimpin tidak boleh
lemah dan ragu. Rasulullah selalu tegas dalam membela agama Islam, tidak
tergoda dengan rayuan dan sogokan
7. Lemah Lembut
Rasululloh Saw terkenal dengan sifatnya yang peramah, bukan pemarah,
halus tutur katanya, tidak menyinggung perasaan orang lain. Allah
mengabadikannya dalam Q.S Al-Fath: Muhammad itu adalah utusan Allah
dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orangorang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.
8. Pemaaf
Manusia tidak terlepas dari kesalahan dan dosa, apalagi prajurit, staf atau
rakyat

biasa,

Rasulullah

karena

sangat

keterbatasan

pemaaf

walaupun

pengetahuan
kesalahan

dan

kemampuan.

sebagian

sahabat-

sahabatnya sangat fatal yang mengakibatkan kaum Muslimin kalah perang


di Uhud, dengan besar hati beliau memaafkan sahabatnya dan memohon
ampunan bagi mereka.
9. Senang bermusyawarah
Musyawarah bukan untuk memaksakan kehendak, menolak usulan, otoriter
dan merasa benar sendiri.

10

10. Bertawakal kepada Allah


Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal
kepada-Nya.

D. Kepemimpinan Islam Vs Sekuler


Definisi dan penerapan dari sekularisme, khususnya masalah keagamaan
dalam masyarakat, sangat berbeda antara negara muslim dengan negaranegara di Eropa dan Amerika Serikat. Istilah sekularisme sering digunakan untuk
menjelaskan pemisahan antara kehidupan bermasyarakat dan segala yang
berhubungan dengan pemerintahan dari masalah keagamaan, atau secara
sederhana

sekularisme

adalah

pemisahan

antara

agama

dan

politik.

Sekularisme dalam Islam sering diperbandingkan dengan Islamisme, dan para


sekularis cenderung untuk mengambil sikap berlawanan dengan Islam dalam hal
politik dan nilai sosial. Di antara sarjana barat dan intelektual muslim, ada
beberaapa perdebatan mengenai sekularisme termasuk di dalamnya mengenai
pemahaman dalam kehidupan politik dan dan campur tangan agama dalam
pemerintahan yang sah.
Konsep sekularisme memiliki pengertian yang berbeda di antara para
sekularis muslim. Reaksi para intelektual muslim terhadap sekularisasi juga
berbeda. Di sisi lain, sekularisme dianggap suatu keburukan oleh para
intelektual muslim yang merasa bahwa keagamaan tidak bisa dihilangkan dalam
kehidupan bermasyarakat. Di sisi lain, sekularisme dianggap cocok dengan
ajaran Islam. Sebagai contoh, penyelidikan sekularisme telah menginspirasi
beberapa sarjana Muslim yang memperdebatkan bahwa bentuk pemerintahan
sekular adalah jalan terbaik untuk menjalankan syariat Islam. Ditambah lagi,
Beberapa sarjana berpendapat bahwa bentuk pemerintahan sekular telah ada di
dunia Islam sejak abad pertengahan
Namun, sebagian negara dengan mayoritas penduduknya adalah muslim
menyatakan negaranya sebagai negara sekuler, Dan sebagian lainnya memiliki
dualisme sistem pemerintahan dimana umat muslim dapat melakukan kegiatan
bermasyarakat di bawah undang-undang syariah. Bentuknya bisa berbeda-beda
di tiap negara, tetapi biasanya mencakup masalah pernikahan, perceraian,
warisan dan perwalian anak.
11

Selama ini ada kerancuan pemahaman di kalangan Ummat Islam. Sebagian


orang memandang, bahwa setiap pemimpin yang beragama Islam, KTP-nya
tertulis Islam, atau ia dikenal publik sebagai Muslim; dia diposisikan sebagai ulil
amri yang ditaati setelah Allah dan Rasul-Nya. Adab-adab perlakuan terhadap
Khalifah Islam wajib diterapkan kepada pemimpin seperti itu. Meskipun yang
bersangkutan jelas-jelas menganut idelogi sekularisme.
Jika ada pihak-pihak yang mengkritik pemimpin seperti itu, seketika akan
disemprot dengan tuduhan seperti: Keluar dari manhaj Ahlus Sunnah,
memberontak kepada penguasa, memecah-belah masyarakat, menyebarkan
fitnah, terjerumus fitnah Khawarij, disebut takfiri, dan sebagainya. Padahal kalau
kita melihat dari gaya kepemimpinannya sangat jauh dari criteria yang pemimpin
dalam islam. Oleh karena itu pemimpin yang menganut ajaran sekuler sangat
berbahaya karena dia memisahkan atau menetralisir semua bidang kehidupan
seperti politik dan kenegaraan, ekonomi, hukum dan ilmu pengetahuan dari
agama dan hal-hal gaib. Sekularisme disini dimaksudkan bahwa kehidupan
temporal sama sekali tidak ada kaitannya dengan kehidupan spiritual.
Menurut Kamus Oxford, seculer artinya: (1) Tidak terhubung dengan spiritual
atau urusan keagamaan; (2) Hidup di tengah masyarakat biasa daripada dalam
sebuah komunitas keagamaan. Adapun kata secularism, artinya: Suatu
keyakinan, bahwa agama tidak boleh ikut campur dalam urusan organisasi
kemasyarakatan. Sebagai istilah politik, sekularisme bisa didefinisikan sebagai:
sistem pemerintahan yang tidak berdasarkan nilai-nilai agama tertentu. Dalam
sejarah Eropa, sekularisme muncul dalam bentuk pemisahan tegas antara
kekuasaan Kaisar dengan kekuasaan Gereja. Slogannya, Berikan untuk Kaisar
hak Kaisar, dan berikan untuk Tuhan hak Tuhan. Di dunia Islam, sekularisme
terwujud dalam bentuk penghapusan pemerintahan Islam, Kekhalifahan Islam,
dan mengganti dengan pemerintahan nasionalis, berdasarkan UU hasil buatan
manusia.
adalah salah besar anggapan banyak orang, bahwa masalah sekularisme ini
sesuatu yang kabur, samar, atau meragukan kedudukannya. Anggapan seperti
ini adalah pelecehan besar terhadap ajaran Islam. Mereka menganggap, ajaran
Islam tidak memiliki sikap tegas terhadap fenomena sekularisme. Padahal Nabi
Saw dalam salah satu sabdanya pernah mengatakan, Aku tinggalkan untuk

12

kalian al baidha (cahaya terang benderang), malamnya bagaikan siangnya,


tidaklah seseorang meninggalkan cahaya itu, melainkan pasti binasa.
Sebagaimana yang di tulis Dr. Salman Al Audah, dalam bukunya Islam and
Secularism,

beliau

menyamakan

sekularisme

sebagai:

Jahiliyah

dan

kemusyrikan. Beliau mengatakan, Perbedaan antara Islam dan sekularisme


adalah substansial. Isu ini tak lain dari perbedaan antara tauhid dengan
kemusyrikan. Oleh karena itu, sekularisme adalah kemusyrikan. Ia menegaskan
bahwa masjid adalah untuk Allah, sementara urusan selainnya adalah untuk
selain Allah; atau menurut istilah orang Kristen: untuk Kaisar. Saya pun
meyakini dengan pasti, sekularisme adalah kekafiran yang nyata. Disini manusia
mengamputasi hak-hak penghambaan kepada Allah hanya dalam batasan ritual
yang bersifat pribadi. Sementara dalam urusan selain ritual pribadi, sepenuhnya
untuk selain Allah (atau diri manusia itu sendiri). Padahal Al Quran telah
menjelaskan: Wahai orang-orang beriman, masuklah kalian ke dalam agama ini
secara kaffah, dan janganlah mengikuti langkah-langkah syaitan, sesungguhnya
ia adalah musuh yang nyata bagimu. (Al Baqarah: 208).
Prinsip sekularisme sangat bertentangan dengan tujuan Allah menciptakan
manusia di muka bumi, yaitu untuk ibadah kepada-Nya (Adz Dzariyaat: 56).
Manusia sekuler jelas tidak mengibadahi Allah seperti yang diperintahkan.
Mereka malah mengibadahi perkara-perkara lain, termasuk hawa nafsunya
sendiri. Jumhur kaum Muslimin, sejak jaman Nabi Saw. sampai hari ini, mereka
sepakat tentang wajibnya menegakkan negara berdasarkan UU Islami (Al
Quran dan As Sunnah). Tidak ada manusia yang mengingkari kedaulatan
hukum Allah dan Rasul-Nya, selain orang kafir atau orang yang sesat
pemikirannya. Dr. Shalih Fauzan dalam Mulakhas Fiqhi, bagian Kitab Hudud wa
Tazirat, bab Fi Ahkamir Riddah, beliau mengatakan: Siapa yang berhukum
dengan undang-undang yang hina sebagai ganti Syariat Islam, dia memandang
hukum itu lebih baik bagi manusia daripada Syariat Islam, atau siapa yang
memeluk pemikiran Syiah atau nasionalisme Arab, sebagai ganti ajaran Islam,
maka tidak diragukan lagi akan kemurtadannya.
Titik tolak yang dilihat dari kepemimpinan sekuler bukanlah agama formal
yang dianut oleh seorang pemimpin. Tetapi ukurannya adalah sikap pemimpin
itu terhadap kedaulatan hukum Al Quran dan As Sunnah. Kalau mereka tidak
mau menerima, menolak, atau bersikap anti, jelas dirinya adalah sekuler,
13

kepemimpinan yang dijalaninya adalah sekuler. Tetapi jika dia mau menerima
kedaulatan Kitabullah dan Sunnah, berarti dia adalah pemimpin Islami. Dalilnya
jelas, bahwa Nabi Saw tidak mengakui kepemimpinan Abdullah bin Ubay di
Madinah, padahal dia adalah seseorang yang mengaku Muslim dan hendak
diangkat menjadi raja rakyat Madinah. Nabi juga tidak tunduk kepada Saad bin
Muadz Ra. dan Saad bin Ubadah Ra., yang keduanya adalah pemimpin kabilah
terbesar di Madinah, Aus dan Khazraj. Padahal keduanya Muslim, para pemuka
kaum Anshar. Kalau menyebut setiap pemimpin yang beragama Islam sebagai
ulil amri, meskipun ideologinya sekuler, nasionalis, demokrasi, kapitalisme, dan
sebagainya; akan timbul fitnah yang luas. Konsekuensinya, kita akan mengakui
Mustafa Kemal At Taturk sebagai ulil amri; begitu pula dengan Jamal Abdun
Nashir di Mesir, Ben Bella di Aljazair, Hafezh Assad di Syria sebagai ulil amri,
dan lain-lain. Secara formal mereka beragama Islam, tetapi sikap politiknya anti
Islam. Nanti kita juga akan mengakui para bupati, wedana, dan lainnya di jaman
penjajahan Belanda yang diangkat dari orang Muslim lokal, sebagai ulil amri.
Para antek penjajah, selama Muslim dan menjadi pejabat, mereka bisa disebut
ulil amri. Naudzubillah wa naudzubillah min dzalik.
Secara umum, sekularisme bertingkat-tingkat. Ada yang ekstrem seperti di
Turki dan negara-negara Komunis. Ada juga yang lunak seperti di Indonesia.
Sekularisme lunak tidak otomatis dianggap sepi dari masalah. Justru ada sisi
bahayanya, yaitu ketika masyarakat merasa kepemimpinan itu telah mengadopsi
nilai-nilai Islam, lalu mereka menganggap hal itu sudah cukup, dan mereka pun
melupakan akar kesesatan ajaran sekularisme itu sendiri. Padahal dalam Fatwa
MUI tentang Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme, ketiganya adalah
HARAM.
Menyikapi pemimpin sekuler, jelas berbeda dengan menyikapi Khalifah
Islami. Kewajiban kita atas pemimpin sekuler adalah: meluruskan mereka,
memperbaiki pemikiran dan ideologi mereka, mendakwahkan konsep Islam
kepada mereka, mengajak mereka rujuk kepada Kitabullah dan Sunnah, serta
mencegah mereka dari kemungkaran sekuat kemampuan. Adapun adab-adab
yang banyak disebut dalam hadits terhadap Khalifah atau Sulthan Islami jelas
tidak tepat dialamatkan kepada para penguasa sekuler. Para Khalifah Islami
diangkat, memerintah, dan diberhentikan berdasarkan Kitabullah dan Sunnah.
Jelas sangat berbeda dengan pemimpin sekuler yang diangkat, memerintah,
14

dan diberhentikan berdasarkan UU nasionalisme, demokrasi, kapitalisme, dan


sebagainya.
Islam memberikan banyak perlindungan kepada kepemimpinan Islami,
sebab ia sangat bermanfaat menjaga kehidupan Ummat dari sisi jiwa, agama,
harta-benda, akal, keturunan, dan lainnya. Singkat kata, kepemimpinan Islami itu
melindungi akidah dan kehidupan Ummat. Tidak salah jika dalam riwayat ia
disebut Zhillullah fil ardhi (naungan Allah di muka bumi). Sedangkan
kepemimpinan sekuler tidak memiliki komitmen melindungi kepentingan Ummat
Islam; mereka memandang sama kedudukan kaum Muslimin dengan orang
kafir; mereka membiarkan kekafiran dan kemusyrikan merajalela; bahkan
seringkali mereka menghalang-halangi kebangkitan dakwah Islam. Bagaimana
mungkin kepemimpinan sekuler itu diperlakukan dengan adab-adab mulia?
Bukankah hal itu sama saja dengan ikut membiarkan, mempertahankan, atau
memperkuat sistem sekuler tersebut? Laa haula wa laa quwwata illa billah.
Hukum bagi kepemimpinan sekuler setidaknya terbagi dalam dua kondisi.
Pertama,

kepemimpinan

sekuler

yang

muncul

setelah

menghapuskan

kepemimpinan Islami, seperti terjadi di Turki dan negara-negara Muslim lain;


hukumnya, kepemimpinan itu harus dikembalikan kepada kepemimpinan Islami.
Kaidahnya sederhana, sesuatu yang hilang dari milik kaum Muslimin ya
dikembalikan seperti semula. Kedua, kepemimpinan sekuler yang sejak awal
memang

sudah

sekuler;

hukumnya,

ia

perlu

diperbaiki

agar

menjadi

kepemimpinan Islami dengan dakwah Islam, tarbiyah, nashihat, amar makruf


nahi munkar, siyasah Islamiyyah, dll. yang memungkinkan. Namun dalam dua
kondisi itu, sebaiknya kita mencari cara-cara yang damai, tidak melalui
kekerasan. Peristiwa DI/TII di masa lalu di Indonesia, cukup menjadi pelajaran
berharga bagi kita semua.
Sebagian orang memberi toleransi bagi kepemimpinan sekuler dengan dalih
tafsir Ibnu Abbas Ra. terhadap Surat Al Maaidah ayat 44, tentang kufrun duna
kufrin. Kata mereka, berhukum dengan selain hukum Islam itu hanya kufur
kecil, bukan kufur yang menggugurkan keimanan. Begitu semangatnya mereka
dalam memegang tafsir ini, sampai kita menyangka, mereka bersyukur atas
tidak berlakunya Syariat Islam di muka bumi. Laa haula wa laa quwwata illa
billah.

15

Tabiat kepemimpinan sekuler itu sendiri bermacam-macam. Ada yang


sangat menindas, seperti di negara-negara Komunis; ada juga yang lunak,
menghormati HAM, dan demokratis. Dalam menyikapi mereka, kita sesuaikan
kondisinya. Kalau sekularis itu sangat kejam, kita menghindari menyampaikan
kritik-kritik yang bisa membuat mereka marah. Tetapi kalau mereka lunak dan
tidak menindas para pengeritik, ya kita manfaatkan kesempatan yang ada
dengan baik.
Dari sisi pertimbangan maslahat-madharat, kedudukan pemimpin sekuler
juga berbeda-beda. Ada yang cenderung dengan nilai-nilai Islam; ada yang pro
rakyat kecil; ada yang penuh korupsi; ada yang militeristik; ada yang kapitalistik;
ada yang pro kepentingan asing; ada yang pro Yahudi, dan lain-lain. Jika harus
memilih satu dari sekian pilihan pemimpin sekuler, kita perlu memilih yang paling
besar peluang maslahatnya, dan paling kecil resiko madharatnya.
dalam menyikapi kepemimpinan atau pemerintahan apapun, patokannya
bukan pada dzat kekuasaan itu sendiri. Tetapi lihatlah bagaimana sikap
kekuasaan itu terhadap hukum Allah dan Rasul-Nya. Dalam Al Quran banyak
diceritakan

tentang

penguasa-penguasa

zhalim

seperti

Firaun,

Qarun,

Namrudz, Abrahah, kaum Jabbarin di Palestina, Abu Jahal, Abu Lahab, Abdullah
bin Ubay, dan lainnya. Andai faktor dzat kekuasaan yang dijadikan patokan,
untuk apa Allah mengutus Nabi-nabi agar mengingatkan para penguasa itu?
Sudah saja para penguasa itu didaulat menjadi ulim amri, sebab mereka
memiliki kekuasaan? Hingga dalam Al Quran ada istilah khusus untuk para
penguasa zhalim itu, yaitu jabbarin anid (para penguasa keras kepala,
sewenang-wenang dan menolak kebenaran).
Begitu pula, untuk melihat apakah kepemimpinan itu Islami atau tidak,
patokannya bukan agama formal di KTP. Tetapi ideologi, pemikiran, kebijakan,
serta garis politik pemimpin tersebut. Identitas agama di KTP tidak menjadi
penentu sifat kepemimpinan yang ditegakkannya. Misalnya, Jamal Abdun Nashir
di Mesir. Secara formal dia Muslim, tetapi akidahnya adalah nasionalisme Arab.
Toh, kalau mau jujur, di jaman Nabi Saw dan Salafus Shalih, manusia dihukumi
berdasarkan amalannya, bukan berdasarkan KTP-nya. (Waktu itu belum ada
KTP lagi)

16

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Secara etimologi pemimpin adalah orang yang mampu mempengaruhi serta
membujuk pihak lain agar melakukan tindakan pencapaian tujuan bersama,
sehingga dengan demikian yang bersangkutan menjadi awal struktur dan pusat
proses kelompok. Peranan Pemimpin dalam suatu kelompok sebagai orang yang
membuat rencana, berfikir, dan mengambil tanggung jawab untuk kelompok serta
memberikan arah kepada orang lain, adapun seorang pemimpin dapat memberikan
bantuan seperti: (a) Pemimpin membantu akan terciptanya iklim social yang baik,
(b) Pemimpin membantu kelompok dalam menetapkan prosedur-prosedur kerja,
(c) Pemimpin membantu kelompok untuk mengorganisasi diri, (d) Pemimpin
bertanggung jawab dalam mengambil keputusan sama dengan kelompok,
(e) Pemimpin memberi kesempatan kepada kelompok untuk belajar dari
pengalaman.
Kepemimpin dalam islam, merujuk pada 3 term yaitu khalfah, immah dan lu
amr. Istilah khalifah dikenal dalam dunia Sunn, dan imamah dikenal dalam dunia
Sy'ah, yakni sebuah bentuk kepemimpinan yang mengurus masalah keagamaan
agama dan pemerintahan. Sedangkan istilah ulul amr adalah, bentuk kepemimpinan
dalam pemerintahan bangsa, negara, dan masyarakat. Adapun sifat-sifat pemimpin
yang ideal dalam islam yaitu: bertaqwa kepada Allah SWT, amanah, Shiddiq,
fathonah, tabligh, tegas dan teguh pendirian, lemah lembut, pemaaf, senang
bermusyawarah, dan bertawakal kepada Allah.
Definisi dan penerapan dari sekularisme, khususnya masalah keagamaan dalam
masyarakat, sangat berbeda antara negara dengan muslim dan negara-negara di
Eropa dan Amerika Serikat. Istilah sekularisme sering digunakan untuk menjelaskan
pemisahan antara kehidupan bermasyarakat dan segala yang berhubungan dengan
pemerintahan dari masalah keagamaan, atau secara sederhana sekularisme adalah
pemisahan

antara

agama

dan

politik.

Sekularisme

dalam

Islam

sering

diperbandingkan dengan Islamisme, dan para sekularis cenderung untuk mengambil


sikap berlawanan dengan Islam dalam hal politik dan nilai sosial.
Selama ini ada kerancuan pemahaman di kalangan ummat islam. Sebagian
orang memandang, bahwa setiap pemimpin yang beragama islam, KTP-nya tertulis
islam atau ia dikenal public sebagai muslim, dia diposisikan sebagai ulil amri yang
ditaati setelah Allah dan Rasul-nya. Tetapi dalam sikap dan gaya kepemimpinannya
sangat jauh dari criteria pemimpin dalam islam. Oleh karena itu pemimpin yang
menganut ajaran sekuler sangat berbahaya karena dia memisahkan semua bidang
kehidupan seperti politik dan kenegaraan, ekonomi dan ilmu pengetahuan dari
agama dan hal-hal gaib. Jadi sekularisme disini dimaksudkan bahwa kehidupan
temporal sama sekali tidak ada kaitannya dengan kehidupan spiritual.

18

DAFTAR PUSTAKA

http://kuliahnyata.blogspot.co.id/2013/05/kepemimpinan-dalam-perspektif-islam.html
https://emperordeva.wordpress.com/about/makalah-tentang-kepemimpinan/
https://id.wikipedia.org/wiki/Islam_dan_Sekularisme
http://shalehsuratmin.blogspot.co.id/2013/05/pemimpin-perspektif-al-quran.html
https://abisyakir.wordpress.com/2009/06/25/menyikapi-kepemimpinan-sekuler/

Anda mungkin juga menyukai