Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
1.   Latar Belakang Masalah
Tata tertib dan keteraturan itu sama dengan kebutuhan akan makanan dan
perlindungan yang sangat diperlukan oleh manusia. Bahkan binatang misalnya,
kawanan ikan, segerombolan burung dan sekumpulan gajah di hutan rimba,
mempertahankan kehidupannya secara menggerombol atau kooperatif; dan
mengikuti mengikuti pola tata tertib yang pasti, walaupun semuanya berlangsung
atas dasar instingnya. Tanpa pola tata tertib dan kooferatif  mereka tidak akan
mampu mempertahankan keberadaannya.
Juga terbit dan tenggelamnya matahari , bulan dan bintang- bintang,
pergantian hari menjadi malam, semua itu merupakan bentuk keteraturan dan
tertib alam. Demikian pula dengan keaadaan manusia : dari bayi, kanak-kanak
sampai usia dewasa,relasi pria dan wanita dan anak keturunannya yang paling
sederhana dalam bentuk relasi sosial yang serba rumit berwujud kompleks
industri, serikat-serikat perdagangan dan uni bangsa-bangsa;semuanya merupakan
gejala ketertiban dari budaya manusia yang terus-menerus bergerak secara
dinamis.
Dalam kekompleksan masyarakat demikian manusia harus hidup bersama-
sama dan bekerja sama dalam suasana yang tertib dan terbimbing oleh pemimpin;
dan tidak bisa hidup menyendiri. Maka demi efisiensi kerja  dalam upaya
mencapai tujuan bersama, dan untuk mempertahankan hidup bersama, diperlukan
bentuk kerja kooferatif. Dan semua kegiatan kooferatif dan karya budaya
(aktivitas membuat budaya) itu perlu diatur, perlu dipimpin.
Dalam kepemimpinan ini terdapat hubungan antar manusia, yaitu
hubungan mempengaruhi (dari pemimpin) dan hubungan kepatuhan-ketaatan para
pengikut /bawahan karena dipengaruhi  oleh kewibawaan  pemimpin. Para
pengikut  terkena pengaruh kekuatan dari pemimpinnya, dan bangkitlah secara
spontan rasa ketaatan pada pemimpin.[1]
Tampaknya ada kecenderungan di tanah  air sekarang ini untuk lebih
menyukai gaya kepemimpinan yang datang dari luar negeri- khususnya Negara
Eropa dan Amerika Serikat. Sedangkan ciri-ciri utama dari kepemimpinan yang
diwariskan oleh nenek moyang sendiri ( raja- raja, negarawan, pemimpin agama,

[1]
seniman, satrawan besar  dan tokoh pemimpin masyarakat lainnya cenderung
diabaikan atau dilupakan. Padahal syarat-syarat kepemimpinan yang diwariskan
oleh para leluhur itu bila dikaji kembali dan diterapkan, pasti akan memberikan
bobot moral, ajaran untuk membentuk watak dan kepribadian pemimpin, seta
dapat meningkatkan kualitas teknis sosialnya.
Kepemimpinan membawa arti adanya fenomena kompleks yang
melibatkan pemimpin, pengikut, dan situasi. Tiga elemen ini saling berinteraksi
dalam hubungan saling membutuhkan dengan kapasitasnya masing-masing:
pemimpin terkait dengan personalitas, posisi, kepakaran, dan sebagainya;
kemudian pengikut berhubungan dengan kepercayaan, kepatuhan, pemikiran
kritis, sedangkan situasi berkaitan dengan kerja, tekanan/stress, lingkungan, dan
sebagainya. Kita bisa memahami proses kepemimpinan dengan baik ketika kita
tidak hanya melihat pada sosok seorang pemimpin, tetapi juga pengikut,
bagaimana pemimpin dan pengikut saling mempengaruhi, dan juga bagaimana
situasi bisa mempengaruhi kemampuan dan tingkah laku pemimpin dan pengikut.
Karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang heterogen dilihat dari banyak
aspek, salah satunya adalah dari aspek suku bangsa yang membentuk bangsa
Indonesia. Untuk itu pemakalah mencoba memaparkan  teori kepemimpinan yang
diambil dari kearifan budaya nasional salah satu di antaranya adalah budaya jawa.
Realitas menunjukkan suku jawa adalah suku mayoritas.
Dalam masyarakat jawa terdapat tingkatan masyarakat yaitu priyai dan
masyarakat biasa. Ada lagi tingkatan berikutnya golongan santri dan golongan
abangan. Tetapi dengan masuknya budaya Islam sedikit demi sedikit mulai
menipis tingkatan social pada masyarakat jawa. Untuk itu pemakalah ingin
mengupas kepemimpinan teori kepemimpinan yang terdapat dalam budaya jawa. 
2.      Rumusan Masalah
a.   Apa yang dimaksud teori kepemimpinan?
b. Bagaimana prinsip-prinsip kepemimpinan yang berbasis budaya jawa?
c. Bagaimana konsep kepemimpinan jawa?
3. Tujuan Pembahasan 
a. Mengetahui teori Kepemimpinan
b. Mengetahui prinsip-prinsip kepemimpinan yang berbasis budaya jawa
c. Mengetahui konsep-konsep kepemimpinan jawa

[2]
BAB II
   PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Teori Kepemimpinan


            Secara etimologi, kepemimpinan berasal dari kata dasar pemimpin. Dalam
bahasa Inggris, leadership yang berarti kepemimpinan, dari kata dasar leader
berarti pemimpin dan akar katanya to lead yang terkandung beberapa arti yang
saling erat berhubungan : bergerak lebih lebih awal, mengambil langkah lebih
awal, berbuat paling dulu, mempelopori, mengarahkan pikiran-pikiran pendapat-
pendapat orang lain, membimbing, menuntun, dan menggerakkan orang lain
melalui pengaruhnya.[2]
            Kebudayaan erat hubungannya dengan masyarakat. Menurut Koentjaraningrat
sebagaimana di kutip yusasatra, kebudayaan dengan kata dasar budaya berasal dari
bahasa sangsakerta ”buddhayah”, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi”
atau “akal”. Jadi Koentjaraningrat, mendefinisikan budaya sebagai “daya budi” yang
berupa cipta, karsa dan rasa, sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa dan
rasa itu.
            Banyak studi ilmiah dilakukan orang mengenai kepemimpinan, dan
hasilnya berupa teori-teori tentang kepemimpinan. Teori–teori yang di munculkan
menunjukkan perbedaan dalam : pendapat dan uraiannya, metodologinya,
interpretasi yang diberikan dan kesimpulan yang di tarik.
            G. R Terry mengemukakan sejumlah teori kepemimpinan, yaitu teori-teori
sendiri ditambah dengan teori penulis lain, sebagai berikut:
1. Teori Otokrasi
            Kepemimpinan menurut teori ini didsarkan atas perintah-perintah,
paksaan, dan tindakan-tindakan arbitrer(sebagainwasit). Ia mealkukan
pengawasan yang ketat, agar semua pekerjaan berlangsung secara efisien.
Kepemimpinannya berorientasi pada struktur organisasi dan tugas-tugas.
2.   Teori Psikologis
            Teori ini menyatakan, bahwa fungsi seorang pemimpin adalah
memunculkan dan mengembangkan system motivasi terbaik, untuk merangsang
kesediaan bekerja dari para pengikut dan anak buah. Pemimpin merangsang

[3]
bawahan, agar mereka mau bekerja, guna mencapai sasaran-sasaran organisatoris
maupun untuk memenuhi tujuan-tujuan pribadi.
3.Teori Sosiologis
            Kepemimpinan dianggap sebagai usaha-usaha untuk melancarkan antar-
relasi dalam organisasi; dan sebagai usaha untuk menyelesaikan setiap konflik
organisatoris antara para pengikutnya, agar tercapai kerja sama yang
baik.pemimpin menetapkan tujuan-tujuan, dengan menyertakan para pengikut
dalam pengambilan keputusan.
4.Teori Suportif
            Menurut teori ini, para pengikut harus berusaha sekuat mungkin, dan
bekerja dengan penuh gairah, sedang pemimpin akan membimbing dengan
sebaik-baiknya melalui policy tertentu. Untuk maksud ini pemimpin perlu
mencipkatan suatu lingkungan kerja yang menyenangkan, dan bisa membantu
mempertebal keinginan setiap pengikutnya untuk melaksanakan pekerjaan sebaik
mungkin, sanggup bekerja sama dengan pihak lain, mau mengembangkan bakat
dan keterampilan, dan menyadari benar keinginan sendiri untuk maju.
5. Teori Laissez Faire
            Kepemimpinan laissez faire ditampilkan oleh seorang tokoh yang kurang
becus mengurus dan selalu memberikan tanggung jawab serta pekerjaan kepada
bawahan. Kepemimpinan seperti ini akan menyebabkan anggota kelompok
menjadi santai dan tidak terkontrol.
6. Teori Kelakuan Pribadi
            Kepemimpinana jenis ini muncul berdasarkan kualitas-kualitas pribadi
atau pola-pola kelakuan para pemimpinnya. Teori ini menyatakan, bahwa seorang
pemimpin itu selalu berkelakuan kurang lebih sama, yaitu  tidak melakukan
tindakan-tindakan yang identik sama dalam setiap situasi yang dihadapi., dengan
kata lain dia harus mampu mengambil langkah-langkah yang paling tepat untuk
sesuatu masalah.
7. Teori Sifat
            Teori ini menyatakan seorang pemimpin harus memilki cirri-ciri unggul
yaitu memiliki intelengensi tinggi, banyak inisiatif, energik, punya kedewasaan
emosional, memiliki daya persuasive dan keterampilan komunikatif, memiliki
kepercayaan diri, peka dan kreatif.

[4]
8. Teori Situasi
            Teori ini menjelaskan, bahwa harus terdapat daya lenting yang
tinggi/luwes pada pemimpin untuk menyesuaikan diri terhadap situasi, lingkungan
dan zamannya. Faktor lingkungn itu harus dijadikan tantangan untuk diatasi.
9. Teori Humanistik
            Fungsi  kepemimpinan menurut teori ini ialah merealisir kebebasan
manusia dan memenuhi segenap kebutuhan insane, yang dicapai melalui interaksi
pemimpin dengan rakyat. Untuk melakukan hal ini perlu adanya organisasi yang
baik dan pemimpin yang baik, yang mau memperhatikan kepentingan dan
kebutuhan rakyat. [3]    
            Selain teori-teori di atas dikenal juga teori Jawanisasi oleh Tomi Pires,
yang menyatakan awalnya masyarakat jawa sangat dipengaruhi oleh budaya
hindu, yang kemudian masuknya agama Isam yang melalui perdagangan dan pada
akhirnya disebarkan oleh para wali melalui budaya yang ada. Islam diperkenalkan
melalui seni yaitu pewayangan atau pun tembang-tembang jawa. Jadi nilai
kepemimpinan yang dimasukkan melalui kesenian juga dipengaruhi budaya hindu
dari kisah-kisah mahabarata dan ramayana sekaligus disisipkan nilai-nilai
keIslaman. [4] 

2.2 Prinsip-Prinsip Kepemimpinan Jawa

Prinsip – prinsip kepemimpinan Jawa menurut Parokusuma yang ideal


adalah sebagi berikut:
a. Orang-orang yang suci dan ikhlas memberikan ajaran dan bimbingan hidup
sejahtera lahir dan batin kepada rakyatnya, seperti para pendeta dan pembantu-
pembantunya serta seperti kyai dan santri-santrinya;
b. Orang-orang dari keturunan baik-baik, berkedudukan pantas, yang ahli, yang rajin
menambah pengetahuan, yang hidup berkecukupan dan jujur. Itulah persyaratan
guru yang baik;
c. Orang-orang yang paham akan hukum-hukum agama, yang beribadah dan tidak
ragu-ragu akan kebenaran Tuhan, yang suka bertapa, yang tekun mengabdi
masyarakat dan yang tidak mengharapkan pemberian orang lain. Itulah
persyaratan bagi orang yang pantas dijadikan guru.[5]

[5]
Pemimpin masyarakat yang memiliki watak dan iktikad seperti tersebut
niscaya memiliki wibawa atau kharisma yang tinggi. Kepemimpinannya
berpengaruh besar dan mendatangkan kebahagiaan lahir dan batin kepada rakyat.
Namun bilamana watak sang pemimpin bertentangan dengan masyarakat luas dan
sedikitpun tidak mendekati persyaratan seperti tersebut di atas, niscaya akan
mendatangkan malapetaka kepada Negara dan anak keturunannya.
Oleh karena itu menjadi penting untuk menyimak uraian mengenai
prinsip-prinsip kepemimpinan yang diungkap Sri Sultan Hamengku Buwana (HB)
X, menurut Sultan HB X, dalam sebuah seminar tentang kepemimpinandi  di
Milenium III, yang tertuang dalam serat sastra gending, yang memuat tujuh
Amanah.
Butir pertama, Swadana Maharjeng-tursita, seorang pemimpin haruslah
sosok intelektual, berilmu, jujur, dan pandai menjaga nama, mampu menjalin
komunikasi atas dasar prinsip kemandirian.
Kedua, Bahni-bahna Amurbeng-jurit, selalu berada didepan dengan
memberikan keteladanan dalam membela keadilan dan kebenaran.
Ketiga, Rukti-setya Garba-rukmi, bertekad bulat menghimpun segala daya
dan potensi guna kemakmuran dan ketinggian martabat bangsa.
Keempat, Sripandayasih-Krani, bertekad menjaga sumber-sumber
kesucian agama dan kebudayaan, agar berdaya manfaat bagi masyarakat luas.
Kelima, Gaugana-Hasta, mengembangkan seni sastra, seni suara dan seni
tari guna mengisi peradaban bangsa.
Keenam, Stiranggana-Cita, sebagai lestari dan pengembangan budaya,
pencetus sinar pencerahan ilmu, dan pembawa obor kebahagiaan umat manusia.
Ketujuh, Smarabhumi Adi-manggala, tekad juang lestari untuk menjadi
pelopor pemersatu dari berbagai kepentingan yang berbeda-beda dari waktu ke
waktu, serta berperan dalam perdamaian di mayapada.[6]
Kemudian ada lagi prinsip kepemimpinan Jawa yang tertuang dalam Serat
Witaradya karya pujangga besar sastra klasik Jawa, Raden Ngabehi
Ranggawarsita III, didalamnya memuat tentang kepemimpinan negara dan
kewajiban para pegawai-yang diterjemahkan oleh Karkono sebagai berikut:

[6]
a) Sri Begawan Ajipamasa memberi amanat kepada putra yang menggantikanya
sebagai raja berupa lima amanat yang disebut Pancapratama (lima yang terbaik),
yakni:
1) Mulat (awas, hati-hati) agar memerinci tugas punggawa atau pegawai. Yang
senang kepada pekerjaan halus, jangan diberi pekerjaan kasar atau demikian pula
sebaliknya. Waspadalah terhadap punggawa yang baik dan yang buruk.
2) Amilala (memelihara, memanjakan) agar mengajar dan manaikkan pangkat
punggawa yang baik dan tepat pekerjaannya.
3) Amiluta (membujuk, membelai), agar suka mendekatkan punggawa dengan kata-
kata yang menyenangkan, membengkitkan kecintaan kepada raja (negara) dengan
kesaktianya.
4) Miladarma, (menghendaki kebajikan), agar mengerjakan hal-hal yang menuju
keselamatan dilingkungan masing-masing menuju kesejahteraan batin.
5) Parimarma (belas kasihan), agar bersifat serba memaafkan. Dengan demikian
terjagalah negaranya.

b) Amanat Sri Begawan Ajipamasa kepada Patih Sukarta disebut Pancaguna (lima


manfaat), yakni:

1) Rumeksa (menjaga), agar menjaga negara seisinya sebagai milik sendiri, terutama


bila terjadi bahaya di wilayahnya. Janganlah menunggu perintah dan supaya
bertindak sehingga terjaga keselamatan negara.
2) Agar memperhaikan hal-hal sebagai berikut:
a) Ilat (lidah), berkatakah dengan sopan santun, menuju hati, itu menjadikan selamat
pengabdianya.
b) Ulat (raut wajah), agar dapat menyesuaikan dengan tempat dan waktu. Hal itu
mendatangkan kebahagiaan.
c) Ulah (tingkah laku), agar dapat membawa diri hingga memperoleh kasih sayang
raja. Tingkah lakumu jangan ragu-ragu.
3) Rumasuk (meresap), agar penjagaan kepada negara dilakukan dengan seia-sekata.
4) Rumesep (menyenangkan), agar mantab berbakti kepada raja tidak renggang
serambutpun. Dan jangan berhenti mengasuh punggawa yang pangkatnya lebih
rendah atau pegawai bawahan.

[7]
5) Rumasa (merasa), agar merasa sebagai abdi raja(negara), janganlah sesekali
sombong dan tak mau kalah. [7]

Kearifan dari prinsip prinsip kepemimpinan jawa tersebut, hendaknya


diterapkan dalam kehidupan, sehingga masyarakat yang dipimpin menjadi lebih
tenteram apabila para pemimpin telah menerapkan prinsip-prinsip tersebut dalam
kehidupan.

2.3    Konsep Kepemimpinan Jawa


Konsep kepemimpinan jawa banyak dikenal dengan tembang yang memiliki
makna yang dalam sebagai motivasi bagi kehidupan kita umumnya, khususnya jawa.
Berikut ini tembang yang dikutip dari kitab serat wedhatama  yang memiliki nasehat-
nasehat :
”Nulada laku utama, tumrap wong tanah jawi, Wong Agung ing Ngeksiganda,
Panembahan Senapati, Kapati amarsudi, sudane hawa napsu, pinepsu tapa brata,
tanapi ing siyang ratri, Amamangun krya-nak tyasing sasami”
(Teladanilah pola hidup yang utama, untuk orang Jawa, yakni: Orang besar di
Mataram, Panembahan Senapati, yang memiliki kesungguhan hati menekan
gejolak hawa nafsu, diusahaakan dengan bertapa brata, diwaktu siang dan malam,
tujuanya adalah untuk memberikan kebahagiaan, kesejahteraan kepada sesama).
[8]
Konsep kepemimpinan jawa di antaranya :
a.      Manunggaling Kawula-Gusti Dalam Konsep Kepemimpinan Jawa =
Kepemimpinan yang Berorientasi Kerakyatan.
            Kupasan mengenai keberadaan pemimpin atau raja di Jawa adalah sesuatu
yang agung dan keramat menurut Kartohadikoesoemo yang di kutip Yasasusastra,
raja adalah bapa-babu rakyat; raja adalah lebih dari kepala, pemimpin, pemuka,
dan panutan. Seorang raja dianggap memiliki kekuatan mistik. Antara raja dan
rakyatnya terjalinlah ikatan mistik.
            Di zaman dahulu bila rakyat menderita misalnya diserang wabah penyakit
menular, maka raja melakukan tapa brata untuk menanges kersaning
pangeran (memohon petunjuk dan pertolongan Tuhan), untuk mencegah dan

[8]
melawan malapetaka tersebut. Menghadapi malapetaka yang melampaui batas
kemampuan manusia, tidaklah cukup kiranya hanya dengan ikhtiar lahir, maka
perlulah dilengkapi ikhtiar batin. Menurut alur nalar orang Jawa, timbulnya
malapetaka antara lain disebabkan dosa manusia terhadap Tuhan. Berkaitan dengan
hal itu maka raja sebagai bapa-baboning praja (bapak-ibu bagi negara beserta
segenap rakyatnya) yang pertama-tama harus bertanggungjawab. Atas keinsyafan
bertanggungjawab terhadap keselamatan dan kesejahteraan segenap rakyatnya, maka
raja lalu banyak berdoa dan memohon petunjuk serta pertolongan atau perlindungan
dari penguasa alam semesta, agar segenap rakyatnya selalu terhindar dari segala
penderitaan yang menimpanya. Tidak layaklah raja hidup berfoya-foya dan bersuka
ria, sementara rakyatnya hidup dalam cekaman bencana dan penderitaan. Keterkaitan
antara seorang pemimpin dengan Yang Maha Kuasa inilah yang menjadikan pola
kepemimpinan dalam budaya Jawa bersifat agung dan sakral. Oleh karena itu, dalam
mainstream kepemimpinan Jawa muncul istilah Manunggaling Kawula- Gusti.
b.       Memayu Hayuning Bawana
Pola kekuasaan pemerintahan original Jawa bersentral pada raja dan
kraton. Pemimpin yang bijaksana berarti telah memayu hayuning bawana. Ayu-
hayu dan rahayu menunjuk makna keselamatan. Memayu berarti membuat
selamat. Sedangkan bawana adalah istilah lain untuk buana, dunia atau
jagat. [9]Di kutip dalam buku yusasusastra tahun 2011, Sumodiningrat
menyatakan kepemimpinan dan keraton merupakan suatu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan. Serat Centhini-sebanyak 12 jilid- karya Kanjeng Gusti Pangeran
Anom Amangkurat III yang kemudian disebut Paku Buwana V, menggambarkan
kehidupan dan perkembangan keraton. Riwayat kehidupan dan perkembangan
keraton diuraikan dalam Tembang Raras, dapat dipahami antara lain
bahwa: ratu adalah manusia. Manusia adalah pelaku kehidupan. Pelaku kehidupan
adalah pemimpin. Pemimpin adalah yang menciptakan, mempersiapkan, dan
menjaga hukum alam. Hukum alam adalah terciptanya dunia yang damai. Keraton
dari kata ke-ratuan, adalah tempat pemimpin, pemimpin, tempat
menyelenggarakan kepemimpinan. Ratu dari kata rat (jagad atau dunia),
yang hayu (damai). Kraton merupakan ”pusat jagad raya”, adalah tempat
kepemimpinan yang "mempercantik dunia", to make the world peace, hamemayu
hayuning bawono, baldatun toyibatun warrabun ghafur. Masih menurut

[9]
Sumodiningrat, dalam kepemimpinan Jawa terdiri dari kepemimpinan dalam diri
pribadi, kepemimpinan dalam bermasyarakat, dan kepemimpinan dalam
hubunganya dengan Tuhan Yang Mahakuasa. Seperti halnya dalam pengertian
modern yang dikenal dengan lingkup makro, mikro dan global (globalisasi),
tingkatan ini merupakan "hierarki"yang menjadikan sifat-sifat kepemimpinan
yang memimpin dengan arif dan bijaksana. Selain itu hasil penelitian dari tim
peneliti lembaga studi Jawa memberikan bukti bahwa konsep kepemimpinan Jawa
erat kaitanya dengan unsur kosmologi yaitu suatu bukti bahwa diantara kata-kata
gelar yang disandang para raja zaman Islam dan masih tetap memelihara tradisi
dari zaman sebelumnya dapat diketahui dari rangkaian kata gelar Paku Buwana,
Hamengku Buwana, Mangku Negara, Paku Alam, Amangkurat. Kata-
kata buwana, rat,(jagad), negara, alam merupakan gambaran alam raya yang
dipangku, dipaku sehingga keseimbanganya tetap terjaga terhindar dari
kegoyahan. Nama-nama gelar tersebut juga mengandung nilai religius magis bagi
pemerintahan atau kekuasaan yang diembannya. Raja mempunyai tugas untuk
selalu mengupayakan memayu-hayuning bawana, sehingga dapat dikatakan
merupakan simbolisme sebuah misi seorang raja dalam melestarikan dunia.
Perlu kiranya digaris bawahi pada kalimat memayu-hayuning bawana.
Istilah tersebut menurut Karkono Kamajaya semula berasal dari ujaran
dalam Serat Wiwaha karya raja Kraton Kasunanan Surakarta, Paku Buwana III
(1749-1788), yakni: memayu jagad puniki, angrekasa kang parahita, hanya saja
ada juga yang berpendapat bahwa kalimat memayu-hayuning bawana merupkan
pengucapan lain dari mangayu hayuning bawana. Meskipun ada kata yang
berbeda , yakni memayu dan mangayu namun memiliki makna yang sama.
Koentjaraningrat menyinggung pula tentang kalimat memayu hayuning
bawana pada bagian Hubungan antara Manusia dengan Alam sebagai berikut:
"Namun orang Jawa merasa berkewajiban untuk memayu ayuning bawana atau
memperindah keindahan dunia; hanya inilah yang memberi arti pada hidup".
Sehingga dari penjelasan oleh para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa konsep
memayu hayuning bawana merupakan salah satu konsep ajaran kepemimpinan
Jawa yang mengajarkan bahwa seorang pemimpin harus mampu menjaga
keseimbangan hidup antara manusia dan alam, dan yang paling utama adalah
harus dapat menjaga alam serta keselamatan dan kesejahteraan masyarakatnya.

[10]
c.       Hasta Brata
            Secara etimologis kata Hasta Brata berasal dari bahasa Sansekerta, asta
artinya delapan dan brata artinya laku atau pedoman.[10] Ajaran Hasta Brata
diberikan oleh Rama kepada wibisana pada saat wibisana akan diangkat menjadi
Raja di kerajaan Alengka menggantikan kakaknya yaitu prabu Rahwana. Disitu
wibisana diperintahkan melindung rakyat dan memulihkan kerajaan yang telah
hancur karena perbuatan Rahwana.[11]
            Konsep kepemimpinan Hasta brata merupakan salah satu konsep yang
cukup luas diapresiasi dan berasal dari naskah kuna Mahabarata. Menurut
konsepsi ini maka seorang pemimpin harus meniru 8 sifat alam yang merupakan
sifat inti seirang pemimpin dalam tradisi Jawa, yaitu:
 1)  Bumi (tegas, konsisten, dan menawarkan kesejahteraan);
 2) Matahari (sumber pengetahuan dan sebagai sumber motivasi
bagi    masyarakat);
3) Bulan (mampu memberikan solusi bagi setiap permasalahan yang datang
dengan baik);
4) Bintang (sebagai suri tauladan yang baik bagi masyarakat);
5) Api (mampu menumpas seluruh pengahalang yang dapat merusak keamanan
dan kententraman);
6) Angin (bersifat mandiri, netral dan selalu mengawasi kinerja anak buah); 7)
Laut atau samudra (Air) (tidak sombong dan menyerahkan segala hal kepada
Tuhan Semesta Alam;
8) Langit (mampu mengayomi masyarakat).[12]
 Konsep kepemimpinan hasta brata adalah salah satu referensi penting
sebab di dalamnya mengandung Leadership power yang memiliki kelebihan sifat
yaitu kemanusiaan yang manusiawi dari seorang pemimpin. Jika diteaalah  lebih
mendalam , kajian tentang hasta brata di atas sebenarnya menyangkut dua
hal. Pertama, kteladanan seorang pemimpin- prabu rama wijaya dan prabu sri
bathara kresna yang mampu memimpin Negara dengn adil dan bijaksana sehingga
namanya harum di mata rakyat. Kedua, dengan meneladani perwatakan delapan
alam di atas membuat sang pelaku ( pemimpin) secara otomatis masuk ke
pendalaman wilayah spiritual-religius.

[11]
d.                  Konsep Kepemimpinan Ki Hajar Dewantara
Konsep kepemimpinan Jawa lainnya yang juga cukup banyak diapresiasi
adalah konsep kepemimpinan yang disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara yang
terdiri dari 3 aspek kepemimpinan yaitu
a.       ing ngarsa sung tuladha, menekankan peran seorang pemimpin sebagai tokoh
yang harus bisa diteladani, yang harus bisa membimbing dan memberi arah ke
mana organisasi hendak di bawa. Kalau dikaitkan dengan hasta brata maka konsep
ini sama sengan sifat bintang dimana seorang peminpin harus bisa menjadi
petujuk arah yang jelas
b.      ing madya mangun karsa, berarti bahwa seorang pemimpin harus bisa
membangkitkan semangat orang-orang yang dia pimpin. Harus bisa
membangkitkan gairah untuk mewujudkan kepentingan bersama. Seorang
pemimpin adalah seorang motivator, seperti matahari yang mampu memberikan
energi kepada semua mahluk hidup di bumi
c.       tut wuri handayani, yaitu seorang pemimpin harus mampu menyediakan
kesempatan untuk berkembang bagi yang dipimpinnya.[13]
Konteks “ing ngarso sung tulada” mengarah pada peranan sang pemimpin
yang diharapkan mampu memberikan keteladanan yang baik kepada rakyat kecil.
Misalnya, dalam kondisi krisis seperti sekarang ini, hendaknya para pejabat tidak
menghambur-hamburkan uang Negara maupun pribadi, sebab akibatnya kurang
positif. Sedangkan, “ing madya mangun karsa “ identik dengan pejabat di level
menengah yang diharapkan mampu menuangkan gagasan dan ide-ide baru sesuai
dengan aspirasin masyarakat untuk dijadikan program yang positif. Dan, dalam
“tut wuri handayani” merupakan sikap dari rakyat kebanyakan. Rakyat itu bisa
bermakna bawahan sekaligus sebagai atasan pejabat. Dalam konteks ini yang
dimaksud adalah rakyat sebagai bawahan yang diharapkan tunduk patuh dalam
mendukung dan melaksanakan kebijaksanaan yang telah dikeluarkan pemerintah. 

[12]
BAB III
PENUTUP

C.          KESIMPULAN
Dalam kepemimpinan yang berbasis budaya jawa kita memahami prinsip
dan konsep kepemimpinan jawa dipengaruhi budaya hindu yang terdapat dalam
kitab dan cerita pewayangan Mahabrata dan Ramayana yang melekat kuat sebagai
akar budaya masyarakat jawa. Adapun konsep kepemimpinan tersebut antara
lain :
1. Manunggaling Kawula-Gusti Dalam Konsep Kepemimpinan Jawa =
Kepemimpinan yang Berorientasi Kerakyatan.
2.  Memayu hayuning Bawana kawula manunggal gusti dimana pemimpin   harus
selalu menjaga keselamatan dan ketentraman negara.
3. Dalam konsep kepemimpian Jawa kita mengenal Ki hajar Dewantoro, juga
mengajarkan konsep kepemimpinan, yaitu ” Ing ngarso sung tuladha, Ing Madya
mangun karsa, Tut wuri handayani ”atau terjemahan dalam bahasa Indonesia :
”Di depan memberi teladan, di tengah membangkitkan semangat, di belakang
memberi dorongan kekuatan”
4. Konsep kepemimpinan yang diangkat dari budaya jawa , ditegaskan dalam 8
sifat teladan dari figur pemimpin dalam melaksanakan fungsi kepemimpinannya
sebagaimana ajaran ”Hasta Brata” . Ajaran ini mengangkat sifat positif dari
simbol – simbol alam yang berupa:  Surya, Candra, Kartika, Angkasa, Maruta,
Samudra, Dahana dan Bhumi.
            Selain itu kita mengenal konsep diharapkan para pemimpin negara ini
dengan latar belakang  budaya jawa dapat menjaga konsistensi prinsip dan konsep
budaya Nusantara sebagai bagian kekayaan nusantara yang harus dilestarikan dan
dilaksanakan dengan baik untuk mendapat negara yang tenteram, damai gemah
ripah loh jinawi.

[13]
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

[1] Kartini Kartono, pemimpin dan kepemimpinan,( Jakarta: RajaGrafindo


Persada, 2014), hlm. 2
[2] Baharuddin & umiarso,  kepemimpinan  pendidikan Islam antara teori dan
praktik, (Yogyakarta: Arruz media, 2012), hlm. 47
[3] Kartini Kartono, pemimpin dan kepemimpinan , (Jakarta: Grafindo Persada,
2014, hlm. 71
[4] http://digilib.uinsby.ac.id/72/2/Bab%201.pdf, akses tgl  12 desember 2015
[5] J.Syahban Yasasusastra, Mengenal tokoh pewayangan,(Yogyakarta: Pustaka
Mahardika, 2011), hlm. 41
[6] http / core.ac. Desy utami prajayanti, sebuah kontruksi kepemimpinan
Jokowidodo, hlm. 49, diakses 5  Nopember 2015
[7] http / core.ac. Desy utami prajayanti,  sebuah kontruksi kepemimpinan
Jokowidodo, hlm.50, diakses 5  Nopember 2015
[8] Ki Sabdacakrakatama, Serat Wedhatama , (Yogyakarta:Penerbit Narasi ,2010),
hlm 28
[9] Mulyono, el Harakah jurnal Budaya Islam, vol 11 no 1 januari-april 2009
[10] M As’ad, anggoro,& virdanianty, Jurnal psikologi,Studi Eksplorasi Kepemimpinan
model Jawa: Asta Brata,volume 38,no.2, Desember 2011: 228-239
[11] Suyami, Konsep Kepemimpinan jawa,( Jogyakarta; Kepel  pres, 2008) hlm.
144
[12] M As’ad, anggoro,& virdanianty, Jurnal psikologi,Studi Eksplorasi Kepemimpinan
model Jawa: Asta Brata,volume 38,no.2, Desember 2011: 228-239
[13] Wawan Susetya, Kepemimpinan Jawa, (Yogyakarta : PT. Narasi, 2007),
hlm 56-63

[14]

Anda mungkin juga menyukai