Dalam dunia bisnis, memiliki modal kreativitas adalah sesuatu yang sangat
berharga. Bahkan itu bisa lebih berharga dari sekedar modal finansial. Terbukti ada
banyak sekali pengusaha sukses yang berawal dengan modal yang sangat minim,
namun dengan kreativitasnya, mereka berhasil menjadi seorang pengusaha yang
sukses.
Usaha kreatif tampaknya jauh lebih bisa bertahan dalam menghadapi segala bentuk
masalah yang ada. Dewi Tanjung Sari adalah satu dari sekian banyak pengusaha
sukses yang berangkat dari kreativitas meskipun hanya memiliki sedikit modal.
Dengan kondisi keuangan dan ekonomi keluarga yang begitu menyedihkan, Dewi
selalu memiliki keinginan yang tinggi untuk membahagiakan Ibunya kelak. Sebagai
seorang anak yatim sejak kecil, Dewi pun tumbuh menjadi pribadi yang tangguh dan
tidak mudah menyerah.
Ia setiap hari membantu Ibunya membuka warung dan berjualan kecil-kecilan untuk
menopang biaya kuliahnya. Saat itu, pada tahun 2003 Dewi Tanjung Sari mengambil
Diploma di Universitas Brawijaya. Meskipun keadaan yang terbilang sulit, namun Dewi
tetap berjuang dan berusaha untuk tetap kuliah.
Nah, saat kuliah tersebutlah Dewi mulai mempunyai inisiatif untuk berkreasi
menggunakan daun-daun kering. Ia mulai mengambil daun kering yang berjatuhan di
halaman kampus untuk ia jadikan bahan kerajinan. Dari daun yang ia punguti di
halaman kampusnya tersebut, lalu kemudian ia proses untuk dijadikan sebuah karya
kerajinan tangan yang bernilai.
Ia bisa membuat daun kering menjadi pigura foto, kotak pensil, undangan dan kreasi
kerajinan yang lain. Dengan modal Rp. 50.000 ia berhasil membuat beberapa kreasi
yang kemudian ia jual pada rekan sekampusnya. Bahkan suatu ketika produk buatan
Dewi habis terjual di ajang pameran kerajinan di kampusnya.
Singkat cerita, pada tahun 2005 usaha Dewi berkembang begitu pesat. Ini berawal
dari pertemuannya dengan seorang exportir barang kerajinan yang berasal dari
limbah. Alhasil Dewi pun mendapaatkan pesanan yang cukup banyak yang
membuatnya tidak mampu menanganinya sendiri.
Namun sayang, dikala usaha mulai berkembang begitu pesat, badai krisis global
menerjang pada tahun 2009. Perusahan ekspor yang menjalin kerjasama dengan
Dewi pun juga turut terkena imbasnya. Perusahaan tersebut mengalami kebangkrutan
sehingga menghentikan kegiatan ekspor mereka. Keadaan ini sempat membuat Dewi
goyah dalam mengembangkan usaha souvenirnya. Namun dengan sisa-sisa tekad
yang kuat, Dewi pun berusaha tetap menjalankan bisnis nya namun dengan menata
ulang dan membuat strategi baru.
Strategi Mengangkat Bisnis Dari Keterpurukan
Dengan keadaan yang serba sulit kala itu, Dewi berusaha mengubah strategi bisnis
untuk bisa menghadapi krisis. Ia berpandangan bahwa bisnis yang ia jalankan masih
memiliki potensi yang luar biasa untuk terus dikembangkan. Akhirnya, ia pun
memutuskan untuk menjadikan bisnis souvenir yang ia jalankan menjadi sebuah
franchise.
Dengan model bisnis kemitraan seperti ini, bisnis tetap mampu berjalan dan bahkan
semakin mengalami perkembangan yang signifikan. Untuk mendapatkan lisensi
kemitraan ini, harga lisensi yang harus dibayarkan oleh calon mitra saat itu adalah Rp
60 juta dan Rp 90 juta. Nilai itu para mitra mendapatkan kontrak selama tiga tahun
dan juga akan memperoleh desain-desain baru dari ipernik-pernik pernikahan yang
dijual.
Nah, sistem franchise ini ternyata begitu menarik dan membuat masyarakat melirik
usaha souvenir ini. Sebagian mitranya adalah dulunya sebagai pelanggan tetap dari
Dewi sendiri. Saat ini mitra dari De Tanjung, nama usaha yang dibangun Dewi sendiri
tersebar di berbagai daerah. Mulai dari Malang, Bontang, Palu, Bekasi, Cirebon dan
bahkan sampai dai Papua pun juga ada.
Omzet yang bisa didapatkan Dewi juga mengalami kenaikan yang sangat luar biasa.
Pada tahun 2008 tercatat ia berhasil meraih omzet Rp. 650 juta, kemudian tahun
berikutnya meningkat menjadi Rp. 935 juta. Bahkan pada tahun 2010 ia berhasil
meraup omzet sebesar Rp. 1,1 miliar yang mampu mendatangkan keuntungan bersih
sebesar Rp. 273 juta rupiah.
Valkrisda Caresti Botha Hasilkan Jutaan Rupiah
Dari Kreasi Limbah Kain
Awal mula ia membuat kerajinan dari bahan kain atau kertas ini adalah bermula ketika
ia mempunyai hobi memberikan kado sesuatu yang unik kepada temannya, entah
ketika ulang tahun maupun hari spesial yang lain. Ia memiliki keyakinan bahwa
pemberian dari buatan tangan sendiri tentu akan lebih memiliki kesan spesial bagi
yang diberinya.
“Menurut saya, itu lebih berharga dan bernilai karena itu adalah jerih payah tangan
saya sendiri. Setelah saya membuatkan kado handmade untuk sahabat, banyak
teman yang lihat dan suka. Terus, mereka mau pesan,” kenang Valkrisda.
Nah, dari sini kemudian banyak dari teman-temannya yang menyukai perhiasan yang
dibuat oleh nya. Seiring dengan berjalannya waktu, ternyata semakin banyak yang
menyukai produk buatannya tersebut. Meskipun banyak permintaan, namun Valkrisda
Caresti pada mulanya tidak mau menjadikan kesukaannya ini sebagai bisnis. Karena
ia beranggapan bahwa kerajinan yang ia buat semata-mata hanyalah hobi. Ia takut
kalau nantinya jika hobinya tersebut di bisnis kan menjadikannya terlalu tergiur
dengan uang.
Dari beberapa arti kata tersebut, jika dirangkaikan maka Syawnlight memiliki arti
perempuan yang bersinar terbang untuk mencapai cita-citanya. Nah, karena bisnis
Valkrisda ini mempunyai beberapa jenis, salah satunya di bidang scrap, jadi suku kata
belakangnya diganti Syawnscrap.
Banyak pengalaman berkesan yang dialami Valkrisda Caresti selama menjalani bisnis
scrap ini, misalnya seperti ada beberapa pelanggan yang membayar pesanannya
dengan menyicil sampai dua bulan. Bahkan ada juga seorang dari kliennya yang
memesan scrapbook dengan harga yang sangat mahal untuk memikat seorang
cewek, namun sayang ceweknya malah jadian sama cowok lain. Hal-hal lucu
semacam ini sering ditemui Valkrisda yang membuatnya semakin tertarik untuk
menekuni bisnis handicraft ini.