Anda di halaman 1dari 9

TUGAS PRAKARYA

Violine Carita Aulia


IX B
Dewi Tanjung Sari Menyulap Limbah Menjadi Keuntungan
Miliaran Rupiah

Dalam dunia bisnis, memiliki modal kreativitas adalah sesuatu yang sangat
berharga. Bahkan itu bisa lebih berharga dari sekedar modal finansial. Terbukti ada
banyak sekali pengusaha sukses yang berawal dengan modal yang sangat minim,
namun dengan kreativitasnya, mereka berhasil menjadi seorang pengusaha yang
sukses.

Usaha kreatif tampaknya jauh lebih bisa bertahan dalam menghadapi segala bentuk
masalah yang ada. Dewi Tanjung Sari adalah satu dari sekian banyak pengusaha
sukses yang berangkat dari kreativitas meskipun hanya memiliki sedikit modal.

Latar belakang kehidupan keluarga yang sangat sederhana tidak membuatnya


berkecil hati untuk terus berjuang meraih cita-citanya untuk menjadi pengusaha
sukses. Keadaan semakin sulit bagi keluarga Dewi Tunjung Sari ketika sang Ayah
meninggal ketika Dewi masih bayi. Kebutuhan keluarga semakin tinggi sedangkan
sang Ayah sudah tidak ada, jadilah ibu Dewi yang bekerja. Ibu Dewi bekerja menjadi
pembantu rumah tangga demi mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.

Bisnis Berawal Dari Keinginan Membahagiakan Ibu

Dengan kondisi keuangan dan ekonomi keluarga yang begitu menyedihkan, Dewi
selalu memiliki keinginan yang tinggi untuk membahagiakan Ibunya kelak. Sebagai
seorang anak yatim sejak kecil, Dewi pun tumbuh menjadi pribadi yang tangguh dan
tidak mudah menyerah.

Ia setiap hari membantu Ibunya membuka warung dan berjualan kecil-kecilan untuk
menopang biaya kuliahnya. Saat itu, pada tahun 2003 Dewi Tanjung Sari mengambil
Diploma di Universitas Brawijaya. Meskipun keadaan yang terbilang sulit, namun Dewi
tetap berjuang dan berusaha untuk tetap kuliah.

Nah, saat kuliah tersebutlah Dewi mulai mempunyai inisiatif untuk berkreasi
menggunakan daun-daun kering. Ia mulai mengambil daun kering yang berjatuhan di
halaman kampus untuk ia jadikan bahan kerajinan. Dari daun yang ia punguti di
halaman kampusnya tersebut, lalu kemudian ia proses untuk dijadikan sebuah karya
kerajinan tangan yang bernilai.

Ia bisa membuat daun kering menjadi pigura foto, kotak pensil, undangan dan kreasi
kerajinan yang lain. Dengan modal Rp. 50.000 ia berhasil membuat beberapa kreasi
yang kemudian ia jual pada rekan sekampusnya. Bahkan suatu ketika produk buatan
Dewi habis terjual di ajang pameran kerajinan di kampusnya.

Usaha Bisnis Mulai Berkembang

Singkat cerita, pada tahun 2005 usaha Dewi berkembang begitu pesat. Ini berawal
dari pertemuannya dengan seorang exportir barang kerajinan yang berasal dari
limbah. Alhasil Dewi pun mendapaatkan pesanan yang cukup banyak yang
membuatnya tidak mampu menanganinya sendiri.

Dari sinilah kemudian ia merekrut 16 karyawan untuk membantunya yang sebagian


lepas adalah tetangganya sendiri. Dari sini Dewi mulai bisa mengembangkan
bisnisnya dan bahkan produknya bisa menembus pasar internasional. Australia,
Malaysia, Hongkong dan bahkan sampai Jerman juga pernah ia mengirim ke sana.
Omzet yang ia dapatkan dari menjalankan bisnis ini mencapai puluhan juta kala itu.

Namun sayang, dikala usaha mulai berkembang begitu pesat, badai krisis global
menerjang pada tahun 2009. Perusahan ekspor yang menjalin kerjasama dengan
Dewi pun juga turut terkena imbasnya. Perusahaan tersebut mengalami kebangkrutan
sehingga menghentikan kegiatan ekspor mereka. Keadaan ini sempat membuat Dewi
goyah dalam mengembangkan usaha souvenirnya. Namun dengan sisa-sisa tekad
yang kuat, Dewi pun berusaha tetap menjalankan bisnis nya namun dengan menata
ulang dan membuat strategi baru.
Strategi Mengangkat Bisnis Dari Keterpurukan

Dengan keadaan yang serba sulit kala itu, Dewi berusaha mengubah strategi bisnis
untuk bisa menghadapi krisis. Ia berpandangan bahwa bisnis yang ia jalankan masih
memiliki potensi yang luar biasa untuk terus dikembangkan. Akhirnya, ia pun
memutuskan untuk menjadikan bisnis souvenir yang ia jalankan menjadi sebuah
franchise.

Dengan model bisnis kemitraan seperti ini, bisnis tetap mampu berjalan dan bahkan
semakin mengalami perkembangan yang signifikan. Untuk mendapatkan lisensi
kemitraan ini, harga lisensi yang harus dibayarkan oleh calon mitra saat itu adalah Rp
60 juta dan Rp 90 juta. Nilai itu para mitra mendapatkan kontrak selama tiga tahun
dan juga akan memperoleh desain-desain baru dari ipernik-pernik pernikahan yang
dijual.

Nah, sistem franchise ini ternyata begitu menarik dan membuat masyarakat melirik
usaha souvenir ini. Sebagian mitranya adalah dulunya sebagai pelanggan tetap dari
Dewi sendiri. Saat ini mitra dari De Tanjung, nama usaha yang dibangun Dewi sendiri
tersebar di berbagai daerah. Mulai dari Malang, Bontang, Palu, Bekasi, Cirebon dan
bahkan sampai dai Papua pun juga ada.

Omzet yang bisa didapatkan Dewi juga mengalami kenaikan yang sangat luar biasa.
Pada tahun 2008 tercatat ia berhasil meraih omzet Rp. 650 juta, kemudian tahun
berikutnya meningkat menjadi Rp. 935 juta. Bahkan pada tahun 2010 ia berhasil
meraup omzet sebesar Rp. 1,1 miliar yang mampu mendatangkan keuntungan bersih
sebesar Rp. 273 juta rupiah.
Valkrisda Caresti Botha Hasilkan Jutaan Rupiah
Dari Kreasi Limbah Kain

Berawal dari Sebuah Kesenangan Valkrisda Caresti Botha


Valkrisda Caresti Botha yang saat itu sekitar tahun 2012 masih duduk di bangku SMA,
sudah mulai merintis bisnis scrapbook ini. Tentu ia memulainya dengan skala yang
masih kecil, karena memang ia bisa mengerjakannya untuk mengisi waktu setelah
aktifitas sekolah selesai.

Awal mula ia membuat kerajinan dari bahan kain atau kertas ini adalah bermula ketika
ia mempunyai hobi memberikan kado sesuatu yang unik kepada temannya, entah
ketika ulang tahun maupun hari spesial yang lain. Ia memiliki keyakinan bahwa
pemberian dari buatan tangan sendiri tentu akan lebih memiliki kesan spesial bagi
yang diberinya.

“Menurut saya, itu lebih berharga dan bernilai karena itu adalah jerih payah tangan
saya sendiri. Setelah saya membuatkan kado handmade untuk sahabat, banyak
teman yang lihat dan suka. Terus, mereka mau pesan,” kenang Valkrisda.

Nah, dari sini kemudian banyak dari teman-temannya yang menyukai perhiasan yang
dibuat oleh nya. Seiring dengan berjalannya waktu, ternyata semakin banyak yang
menyukai produk buatannya tersebut. Meskipun banyak permintaan, namun Valkrisda
Caresti pada mulanya tidak mau menjadikan kesukaannya ini sebagai bisnis. Karena
ia beranggapan bahwa kerajinan yang ia buat semata-mata hanyalah hobi. Ia takut
kalau nantinya jika hobinya tersebut di bisnis kan menjadikannya terlalu tergiur
dengan uang.

Mulai Fokus Berbisnis Handicraft


Yang pada awalnya Valkrisda Caresti menolak menjadikan hobinya sebagai sebuah
bisnis, lama kelamaan ia menyadari bahwa ketika hobinya dijadikan sebuah bisnis
maka ia akan memiliki kesempatan lebih luas untuk membantu orang lain melalui
karyanya. Dengan karya yang ia buat, tentu secara tidak langsung ia bisa membuat
orang lain senang. Dari kesadaran ini, kemudian ia memutuskan untuk mulai
menekuni scrapbook sebagai sebuah bisnis.

Setelah memutuskan untuk fokus pada bisnis handicraft, kemudian ia membawa


brand yang bernama Syawnscrap. Nama Syawnscrap menurutnya mempunyai
sebuah filosofi tersendiri. Menurut Valkrisda, Syawnscrap itu dari kata Syawnlight,
dimana syawn memiliki arti suara perempuan terbang, dan light adalah sinar.

Dari beberapa arti kata tersebut, jika dirangkaikan maka Syawnlight memiliki arti
perempuan yang bersinar terbang untuk mencapai cita-citanya. Nah, karena bisnis
Valkrisda ini mempunyai beberapa jenis, salah satunya di bidang scrap, jadi suku kata
belakangnya diganti Syawnscrap.

Pengalaman Mengesankan Dalam Bisnis Scrap


Perbedaan bisnis scrap yang ditekuni Valkrisda Caresti dengan bisnis sejenis lainnya
adalah scrap buatan Valkrisda ini bisa menyesuaikan dengan tema dari konsumen.
Jadi bagaimana konsep yang diinginkan oleh konsumen bisa diterjemahkan ke dalam
sebuah perhiasan sesuai dengan keinginan mereka. Selain itu, Valkrisda juga sering
membantu merancang konsep ketika klien nya belum menemukan tema yang jelas.

Banyak pengalaman berkesan yang dialami Valkrisda Caresti selama menjalani bisnis
scrap ini, misalnya seperti ada beberapa pelanggan yang membayar pesanannya
dengan menyicil sampai dua bulan. Bahkan ada juga seorang dari kliennya yang
memesan scrapbook dengan harga yang sangat mahal untuk memikat seorang
cewek, namun sayang ceweknya malah jadian sama cowok lain. Hal-hal lucu
semacam ini sering ditemui Valkrisda yang membuatnya semakin tertarik untuk
menekuni bisnis handicraft ini.

Menurut Valkrisda Caresti, diantara banyak pengalaman yang mengesankan tersebut,


yang paling mengesankan adalah hasil yang ia dapat. Bukan pada uang nya,
melainkan ia merasa bangga karena mampu membeli kebutuhan nya sendiri seperti
buku dan seragam sekolah dan kebutuhan yang lain, tanpa memberatkan orang tua.
Naomi Susilowati, Eks Buruh Rokok yang Sekarang
Jadi Juragan Batik Lasem

Batik Lasem merupakan kebudayaan turun temurun yang terkenal hingga ke


mancanegara. Dana yang perlu Anda siapkan untuk memiliki Batik Lasem yang
merupakan batik tulis ini sekitar Rp 200.000 hingga Rp 6 juta.
Batik Lasem ini sempat mengalami redup dalam sejarahnya, hingga hadirlah sosok
berjasa yang mampu menghidupkan kembali pesona Batik Lasem ini. Sosok tersebut
kini merupakan seorang wirausahawan bernama Naomi Susilowati Setiono.
Naomi Susilowati Setiono merupakan wirausahawan sukses di bidang kerajinan Batik
Lasem. Wanita keturunan Tionghoa yang lahir dan besar di kota kecil Lasem, Kabupaten
Rembang, Jawa Tengah.
Ia adalah salah seorang yang berhasil menghidupkan kembali gairah industri batik
Lasem, setelah bertahun-tahun redup.
Suka maupun duka dalam mengembangkan batik Lasem atau Laseman sudah dirasakan
oleh Naomi.
Naomi dibesarkan dari keluarga yang terpandang, meski begitu Naomi sama sekali
tidak tinggi hati. Justru sebaliknya, Naomi begitu membumi selalu berlaku baik kepada
semua orang.
Tak disangka, di balik kesuksesan kehidupan Naomi saat ini sebagai wirausahawan
sukses di bidang kerajinan batik, nyatanya tersirat kesedihan serta perjuangan yang tak
ternilai harganya.
Semasa hidupnya, Naomi adalah seorang pekerja keras. Bahkan, demi menyambung
hidup, ia pernah melalui masa mudanya sebagai pekerja kasar seperti tukang cuci,
bahkan pernah menjadi kernet bus antar kota.
Pada tahun 1980, ia dihadapkan dengan masalah sehingga dikucilkan dan diusir dari
keluarga yang saat itu terpandang di wilayahnya.
Penolakan dari keluarga yang telah mengasuhnya 21 tahun itu mau tak mau harus
diterimanya. Ia merasa sedih dan sakit hati tetapi tidak menyerah pada hidup. Ia pun
pindah ke Kabupaten Kudus untuk memulai kehidupan baru.
Keadaan saat itu cukup sulit untuk gadis seusia 21 tahun. Pada saat itu, Naomi rela
untuk menyambung hidup. Naomi pun menekuni berbagai pekerjaan bahkan pekerjaan
kasar.
Seorang Naomi Susilowati Setiono, pada saat itu rela menyingsingkan lengan baju dan
bekerja sebagai pencuci pakaian atau buruh cuci.
Karena kebutuhan yang mendesak dan tergiur penghasilan yang lebih tinggi, Naomi
juga sempat beralih sebagai buruh pemotong batang rokok di Pabrik Djarum Kudus.
Karena kurang cekatan, ia hanya mendapatkan penghasilan yang sedikit, Rp 375 per
hari. Padahal teman-teman dapat memotong rokok berkarung-karung, bisa mendapat
uang Rp 2.000-an.
Ia pun hengkang dan berpindah sebagai kernet bus Semarang-Lasem. Kerasnya
perjalanan hidup mengantarkan Naomi menemukan pekerjaan yang sesuai dengan kata
hatinya.
Waktu berlalu, roda kehidupan kemudian membawa Naomi kembali ke tanah
kelahirannya Lasem, dan bekerja sebagai buruh perajin batik.
Pada saat itu, rupanya orang tua Naomi meminta Naomi untuk kembali ke Lasem. Alih-
alih disambut hangat, ternyata kembalinya Naomi bukan disambut baik melainkan
disambut dengan berbagai cemooh. Bukan tanpa alasan orang tua Naomi meminta
Naomi kembali.
Kedatangan Naomi menciptakan luka baru buatnya, namun Naomi tetap berlapang
dada meski pilu.
“Saya ditempatkan di bawah pembantu. Mau minta air dan makan ke pembantu. Saya
juga tidak boleh memasuki rumah besar.” ujar Naomi.
Orang tua Naomi pada tahun 1990 memutuskan untuk pindah ke ibu kota dan hidup
bersama adik- adiknya di sana.
Naomi dipanggil karena usaha batik orang tuanya redup, tidak ada yang meneruskan.
Di sinilah kesempatan itu muncul dan jiwa wirausahawan Naomi juga mulai nampak.
Naomi terus menerus mempelajari tentang Batik Lasem dengan tekun mulai dari desain,
menggoreskan pola dan corak dengan canting, melapisi kain dengan malam yang
panas, hingga memberi pewarnaan dengan sangat teliti hingga akhirnya ia belajar
mendesain motif batik.
Naomi memanggil dan mengumpulkan kembali para perajin dengan kinerja yang baik
dan andal yang dulu sempat pernah bekerja pada pabrik keluarganya.
Meski masih menggunakan peralatan tradisional, Batik Lasem Naomi memiliki kualitas
yang unggul yang menjadikannya terkenal diantara produksi Batik Lasem yang ada.
Naomi yang memimpin Batik Tulis Tradisional Laseman Maranatha Lasem, Rembang, ini
memiliki 30 orang perajin guna membantu dan mendukung usahanya.
Salah satu bukti produktivitas Naomi sebagai wirausahawan sukses di bidang kerajinan
yakni setiap bulan Naomi dan rekan-rekan pekerja di tempatnya terus mengerjakan
batik tulisnya hingga menghasilkan rata-rata 150 potong batik tulis.
Batik-batik ini selalu dikirim ke berbagai daerah seperti Banten, Medan serta Surabaya.
Atas kecintaan dan dedikasinya yang mendalam terhadap membatik, membuat Naomi
Susilowati Setiono sadar akan pentingnya kebudayaan bangsa yang harus dijaga dan
dilestarikan.

Anda mungkin juga menyukai