Anda di halaman 1dari 6

Waktu : 6 Agustus 2021

Oleh : Okky Husain


Kepada : dr. Afiati, Sp.PA(K), MMkes

KRANIOFARINGIOMA, SUBTIPE PAPILER

I. PENDAHULUAN

Kraniofaringioma merupakan lesi jinak regio sella tursika di basicranium dari


tengkorak. Walaupun sella tursika secara anatomis didominasi oleh sistem syaraf pusat,
kraniofaringioma sendiri merupakan entitas epitelial. Lesi ini terkait dengan sisa dari proses
embriologis pembentukan adenohipófisis dari kelenjar pitutitary. Karena lokasinya yang unik,
kraniofaringioma memberikan gejala khas terkait dengan kompresi kiasma optika dari syaraf
kranial kedua yang terhubung ke mata.
Secara subtipe, kraniofaringioma terdari subtipe adamantinomatous dan subtipe
papillary. Jika kraniofaringioma adamantinomatous lebih serupa dengan amelobastoma yang
merupakan lesi prekursor gigi, kraniofaringioma papiler lebih menyerupai papiloma skuamosa.
Kedua subtipe ini memeliki prekursor yang sama, namun perubahan genetik yang mendasari
keduanya berbeda.1
Pada karya tulis ini, akan dibahas lebih mendalam kraniofaringioma subtipe papiler.
Pembahasan meliputi anatomi dan histologi terkait, definisi, klasifikasi, epidemiologi, etiologi,
patogénesis, gambaran makroskopis dan mikroskopis, gejala klinis, diagnosa, diagnosa
banding, terapi, dan prognosa.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Histologi

Sella Tursika merupakan daerah bebentuk pelana pada tulang sphenoid di


basicranium. Pada sella tursika, ditemukan kelenjar pituitari. Pada anterior dari sella tursika
berbatas dengan chiasmatic groove dari syaraf kranial pertama. Superior dari sella tursika,
akan ditemukan hipotalamus. Inferior dari sella tursika, berbetas degan sinus sphenoid di
dalam tulang sphenoid. Posterior dari sel tursika, ditemukan ventrikel ketiga.

1
Kelenjar pituitari di dalam sella tursika terbagi menjadi dua lobus yaitu anterior lobus
dan posterior lobus. Kedua lobus ini secara embriologi berasal dari origin yang berbeda.
Lobus posterior berasal dari diensefalon pada sistem saraf pusat. Lobus anterior merupakan
migrasi dari komponen epitel nasofaring ke arah superior dan membentuk lobus anterior dari
kelenjar pituitari. Nama lain dari lobus anterior adalah adenohipofisis sedangkan nama lain
dari lobus posterior adalah neurohipofisis.2

Lobus anterior dari kelenjar pituitari terdiri dari sel epitel yang terusun memadat.
Karena bukan kelenjar jenis eksokrin, kelenjar pitutari tidak memiliki lumen. Sekresi dari
kelenjar langsung terbawa secara sistemik ke seluruh tubuh dari stroma di sekitar kelenjar
yang kaya akan pembuluh darah. Sel dari lobus anterior percampuran dari sel epitel dengan
sitoplasma yang memiliki afinitas berbeda terhadap pewarnaan. Pembagian tersebut terdiri
dari asidofil, basofil, dan kromofob. Sel asidofil mensekresi hormon somatotropin atau
prolaktin. Sel basofil mensekresi hormon adrenokortikotropin, thyroid-stimulating hormone
(TSH), luteinizing hormone (LH), dan follicle-stimulating hormone (FSH). Sel kromofob
merupakan sel punca, sel progenitor yang belum mengalami diferensiasi, atau sel yang telah
mengalami degranulasi.3

Lobus posterior lebih menyerupai struktur syaraf pusat. Pada lobus ini ditemukan sel
pitiusit / pituicyte yang merupakan sel astrosit yang mengalami spesialiasi. Diantaranya
banyak akson tidak bermielin dengan granul sekretori di dalamnya. Granul sekretori
mengandung Anti Diuretic Hormone (ADH) dan oksitosin.3

2.2 Definisi

Kraniofaringioma merupakan lesi epitelial jinak yang berasak dari wilayah Sellar.
Lesi ini diduga berasal sisa proses embrional yang disebut Rathke cleft. Kraniofaringioma
papiler ditandai dengan proliferasi epitel gepeng berlapis non keratinisasi terusun papiler
dengan fibrovascular core.1

2.3 Klasifikasi1

1. Adamantinomatous Craniopharyngioma 9351/1


2. Papillary Craniopharyngioma 9352/1

2
2.4 Epidemologi

Kraniofaringioma mewakili 1,2 – 4,6 persen dari seluruh tumor intrakranial.


Diperkirakan terdapat 0,5-2,5 kasus baru setiap 1 juta populasi setiap tahunnya.
Kraniofaringioma tipe papiler terjadi hanya pada dewasa dengan rata-rata umur 40-55 tahun.
Tidak tampak predileksi jenis kelamin. Kraniofaringioma umumnya ditemukan pada
suprasellar dan intrasellar. Pada beberapa kasus, terutama jenis papiler, bisa ditemukan di
dalam ventrikel ketiga.1

2.5 Etiologi dan Patogenesis


Kraniofaringioma pada kedua morfologi berasal dari transformasi neoplastic sel epitel
pada sisa Rathke cleft dan ductus kraniofaringeal. Migrasi epitel ini berasal dari langit-langit
faring ke dasar dari ventrikel ketiga, anterior terhadap infundibulum dan permukan
anterosuperior dari adenohypofisis. Pada kasus kraniofaringioma papiler, terhadap metaplasia
menjad epitel skuamosa. Proses neoplastik ini dikaitkan dengan mutasi BRAF V600E. Latar
belakang proses genetik ini berbeda dengan kraniofaringioma adamantinomatous yang terkait
dengan CTNNB1.1

2.6 Makroskopis

Kraniofaringioma papiler umumnya solid dan jarang bersifat kistik. Tidak ditemukan
cairan gelap coklat-kehijauan seperti minyak mesin pada kraniofaringioma
adamantinomatous.1

2.7 Mikroskopis

Secara mikroskopis ditandai dengan epitel gepeng berlapis yang tumbuh hiperplastis,
tersusun papilifer. Inti monomorf tanpa disertai atypia. kraniofaringioma papiler umumnya
tidak disertai kalsifikasi, palisading pada tepi lesi, ataupun keratin basah. Stroma
fibrovaskuler bersebukan sel radang limfosit T, makrofag, dan neutrofil. Pada kasus yang
jarang, epitel mengandung silia atau sel goblet yang positif terhadap perwarnaan PAS.1

2.8 Grading

WHO classification of tumours of the Central Nervous System tahun 2016 menempatkan
kraniofaringioma sebagai lesi WHO derajat I / WHO grade I.1

3
2.9 Gejala Klinis

Gangguan penglihatan terjadi pada 62-84% pasien. Gangguan endokrin ditemukan pada
52-87%. Variasi gangguan endokrin diantaranya defisit dari somatotropin, luteinizing hormone
(LH), follicle stimulating hormone (FSH), hormon adrenokortikotropik, dan thyroid-stimulating
hormone (TSH), dan diabetes insipidus. Pada setengah pasien ditemukan gangguan kognitif dan
gangguan personalitas. 1

2.10 Immunohistokimia

Pewarnaan histokimia yang dilakukan antara lain BRAF V600E untuk mengkonfirmasi
etiologi lesi ini. 1

2.11 Diagnosis

Diagnosis lesi pada daerah sellar melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang
yaitu CT-scan dengan gambaran solid homogen. Diagnosis pasti diperoleh dari pemeriksaan
histopatologi. Pemeriksaan imunohistokimia digunakan untuk mengkonfirmasi mutase BRAF
V600E.1

2.12 Diagnosis Banding

Diagnosa banding lesi ini secara klinis adalah lesi dari kelenjar pituitari seperti pituitari
adenoma atau pituicytoma, kista ratkhe cleft dan proses reaktif berupa xanthogranuloma.1

2.13 Terapi

Terapi utama pembedahan adalah ekstirpasi dengan reseksi tumor hingga 100%. Pada
beberapa kasus tidak dilakukan ekstirpasi secara lengkap untuk mencegah cidera hipotalamus.
Lesi yang tidak dilakukan reseksi lengkap kemudian dilakukan radioterapi.1

2.14 Prognosis

Pada studi yang melakukan pemantauan hingga 10 tahun, 60-93% tidak mengalami
rekurensi dengan 64-96% pasien hidup. Beberapa studi menunjukan varian papiler memiliki
prognosis lebih baik dibanding varian adamantinomatous namun studi lain menunjukan tidak ada
perbedaan. Lesi dengan ukuran diameter lebih dari 5cm memiliki prognosis yang lebih buruk.
Lesi yang tidak direseksi secara lengkap memiliki resiko rekurensi lebih tinggi. Transformasi

4
keganasan menjadi Squamous cell Carcinoma setelah reseksi multipel dan radioterapi sangat
jarang terjadi.1

III. PEMBAHASAN1

Kraniofaringioma merupakan lesi epithelial jinak pada daerah sella tursika


basikranium tengkorak. Lesi ini berasal dari ratkhe cleft yang merupakan proses
embriologis dari adenohipofisis dari kelenjar pituitari.

Secara anatomi, wilayah sella tursika dekat dengan kiasma optika dari saraf
kranial kedua yang bertanggung jawab menghantar impuls informasi visual ke otak. Jika
massa tumor mengkompresi kompenen ini, dapat menyebabkan gangguan visual. Karena
kiasma optika mendapat persarafan dari retina sisi median dari kedua belah mata, secara
klinis mata tidak bisa melihat pada sisi temporal. Kondisi ini disebut hemitemporal
anopsia.

Selain itu pada sella tursika terdapat kelenjar pituitary. Kelenjar ini mensekresikan
berbagai macam hormon. Gejala klinis akan mengikuti hormon yang terganggung.
Gangguan ini bisa terjadi akibat perubahan sekresi prolaktin, somatotropin, LH, FSH,
TSH, ADH, dan oksitosin. Gangguan dari ADH disebut dengan diabetes insipidus. Hal
ini terjadi karena ginjal tidak bisa melakukan reabsorbsi air akibat deplesi ADH serum.

Etiologi pada kraniofaringioma tipe papiler berbeda dengan kraniofaringioma tipe


adamantinomatous. Pada kranifaringioma tipe papiler terjadi mutase BRAFV600E yang
terjadi pada lebih dari 90% kasus. Sedangkan pada kraniofaringioma tipe
adamantinomatous, mutasi terjadi pada gen CTNNB1.

Secara makroskopis, kraniofaringioma tipe papiler memberikan gambaran solid,


sedangkan kraniofaringioma tipe adamantinomatous cenderung kistik. Gambaran cairan
kehitaman seperti minyak mesin yang umumnya ditemukan pada tipe adamantinomatous
tidak ditemukan pada tipe papiler.

Secara mikroskopis, kraniofaringioma tipe papiler terdiri dari sel skuamosa tidak
berkeratin yang hiperplastis, tersusun papiler. Tidak ditemukan atipia inti. Stroma
membentuk fibrovascular core dengan sebukan radang limfosit, histiosit, dan neutrofil.
Tidak ditemukan keratin basah yang umumnya ditemukan pada gambaran
adamantinomatous.

5
Tidak terlalu banyak perbedaan secara gejala klinis dan terapi. Tindakan utama
adalah operatif dengan tujuan mengangkat seluruh sel neoplastic yang ada. Pengangkatan
lesi neoplastic tidak sempurna bisa dipertimbangkan untuk mencegah cidera pada
hipotalamus dan kelenjar pituitari. Pada lesi yang tidak terangkat sempurna, radioterapi
bisa menjadi modalitas tambahan dalam menangani kasus. Prognosis diantara kedua
subtipe masih belum konklusif dengan sebagian menyebutkan lesi papiler memiliki
prognosis lebih baik sedangkan studi lain tidak dapat menunjukan perbedaaan prognosis.

IV. SIMPULAN

Kraniofaringioma tipe papiler merupakan lesi sela tursika dengan gejala khas
berdasarkan anatomis. Lesi tipe ini lebih jarang dibandingkan dengan kraniofaringioma
tipe adamantinomatous. Secara makroskopis, mikroskopis, dan perubahan genetik yang
mendasari lesi, kraniofaringioma tipe papiler memiliki gambaran berbeda dengan tipe
adamantinomatous. Namun secara gejala klinik dan terapi tidak ada perbedaan. Penting
bagi patologis untuk mengenali gambaran lesi ini.

V. DAFTAR PUSTAKA

1. Buslei R, Ruhing E, Giangaspero F, Paulus W, Burger P, Santagata S.


Craniopharyngioma. In: David N Louis, Ohgaki H, Otmar D Wiestler, Cavenee WK,
eds. WHO Classification of Tumours of the Central Nervous System. Revised $t.
International Agency for Research on Cancer (IARC); 2016:324-328.
2. Kleinschmidt-DeMasters B, Perry A. Pituitary Gland. In: Goldblum JR, Lamps LW,
McKenney JK, Myers JL, eds. Rosai and Ackerman’s Surgical Pathology. Eleventh.
Elsevier; 2009:2086-2111.
3. Mescher AL. Endocrine Glands. In: Mescher AL, ed. Junqueira’s Basic Histology
Text and Atlas. fourteenth. McGraw Hill; 2016:413-438.

Anda mungkin juga menyukai