Definisi
Craniopharyngioma secara histologis merupakan tumor neuroepitel jinak yang
muncul dari epitel sel skuamosa yang tersisa sepanjang jalur duktus craniopharyngeal
primitif dan adenohipofisis. Meskipun dianggap tergolong tumor jinak (WHO grade I)
di daerah sellar, tetapi craniopharyngioma memiliki kecenderungan untuk melekat pada
struktur yang berdekatan seperti hipotalamus dan kiasma optik.1
Epidemiologi
Etiopatologi
Ada dua teori mengenai asal tumor ini. Teori embriogenetik menunjukkan
bahwa subtipe adamantinomatous muncul dari sisa-sisa kantong Rathke. Pada
pertengahan minggu ke-4 kehamilan, kantong Rathke menonjol ke atas dari atap
2
stomodeum (rongga mulut) dan tumbuh ke arah infundibulum, yang merupakan
pertumbuhan diensefalon ke bawah. Selama minggu ke-6 kehamilan, hubungan antara
kantong Rathke dan rongga mulut (tangkai pharyngohypophyseal) menghilang.
Kantong Rathke kemudian berkembang menjadi pars distalis, pars intermedia, dan pars
tuberalis yang membentuk adenohipofisis. Berdasarkan teori metaplastik,
craniopharyngioma subtype papiler berasal dari metaplasia sel skuamosa yang
seharusnya berkembang menjadi bagian mukosa bukal.1
Manifestasi Klinis
Manifestasi craniopharyngioma lainnya meliputi gangguan penglihatan (62-
84%) dan gangguan endokrin (52-87%; Gambar 2).8 Craniopharyngioma yang
melibatkan sumbu hipotalamus-hipofisis dapat mempengaruhi sekresi hormon
pertumbuhan (75%), gonadotropin (40%), hormon adrenokortikotropik (ACTH; 25%),
dan thyroid stimulating hormone (TSH; 25%). Pubertas dini dan/atau kenaikan berat
badan yang tidak terkendali sering menjadi temuan yang menyebabkan penegakan
diagnosis pada anak. Anak yang lebih kecil menunjukkan gejala penurunan tingkat
pertumbuhan, anak-anak yang lebih tua menunjukkan gejala pubertas dini dan/atau
penambahan berat badan yang tidak terkendali. Pasien (dewasa atau anak-anak) dengan
gejala sakit kepala, gangguan penglihatan, dan/atau penambahan berat badan yang tidak
terkendali, dan/atau polidipsia/poliuria harus menimbulkan kecurigaan ke arah
craniopharyngioma. Relevansi prognostik dari gejala spesifik dan durasi riwayat pada
presentasi klinis pada waktu diagnosis craniopharyngioma awal dan hasil jangka
panjang belum dianalisis.7,9
3
Terdapat dua jenis craniopharyngioma dengan gambaran histopatologi dan
pencitraan yang berbeda. Tipe adamantinomatous dapat terjadi pada semua usia,
meskipun tipe ini terlihat pada hampir semua pasien anak. Tipe papiler terjadi sebagian
besar pada orang dewasa. Dengan demikian, umur pasien adalah informasi penting saat
menganalisis lesi sella/suprasella.12
Pencitraan CT scan memegang peranan penting dalam perencanaan bedah
reseksi transsphenoidal atau reseksi transfrontal dari massa sella atau suprasella. Hal ini
dikarenakan keunggulannya dibandingkan MRI dalam mendeteksi kalsifikasi dan erosi
atau remodeling tulang. pencitraan CT dapat berperan aktif dalam menentukan
diagnosis pra operatif yang benar. Hal ini terutama berlaku untuk
craniopharnygiomaadamantinomatous, yang mengalami kalsifikasi hingga 90% kasus.
Misalnya, identifikasi pelebaran sella dengan massa intra sellar dengan kalsifikasi pada
CT scan menunjukkan suatu craniopharyngioma intrasella dan menyingkirkan adenoma
hipofisis. Kalsifikasi belum tentu terlihat pada pencitraan MR.13 Lokasi
craniopharyngioma adalah 75% di sisterna suprasella, 20% di intrasella dan suprasella,
dan sekitar 5% murni di intrasella.
Tabel 1. Karakteristik pencitraan craniopharyngioma dan lesi daerah sella lainnya13
Gambar 8. Seorang wanita 59 tahun dengan makroadenoma hipofisis hemoragik. A. Gambaran MRI
T-1 weighted sagittal menunjukkan massa kistik dan padat, intrasellar, dan suprasellar dengan level
cairan- cairan (panah). B. Gambaran MRI T-2 weighted aksial menunjukkan level cairan-cairan
(panah) dalam
massa. C. Gambaran MRI T-1 weighted coronal menunjukkan bagian padat tumor dengan invasi sinus
kavernosa kanan (panah).13
Tata Laksana
Gangguan aliran cairan serebrospinal sering menyebabkan hidrosefalus, yang
apabila parah harus ditatalaksana secara pembedahan. Reseksi tumor adalah pengobatan
pilihan pertama untuk memulihkan aliran cairan serebrospinal normal, tetapi mungkin
dibutuhkan pemasangan VP-shunt sebelum tumor dapat diangkat. Untuk
craniopharyngioma dengan komponen kistik besar, dapat dilakukan pemasangan kateter
intrakistik secara stereotactic ataupun terbuka. Pemasangan kateter intrakistik ini
terbukti dapat menurunkan tekanan intrakranial dan pada beberapa kasus dapat
dipergunakan untuk memasukkan bahan yang bersifat sklerotik (seperti bleomisin).
Kateter intrakistik dengan reservoir subkutan dapat efektif untuk mengurangi volume
kista dan terutama sesuai untuk bayi dan balita untuk menunda radioterapi dan reseksi
bedah. Untuk pasien yang mengalami gangguan penglihatan pra operasi karena kista
besar memberikan tekanan pada saraf optik, sebaiknya dilakukan dua tahap
pembedahan, pertama dengan drainase kista terlebih dahulu untuk mengurangi tekanan
dan memperbaiki penglihatan, diikuti dengan reseksi.5
5
Sebelum operasi dilakukan CT scan untuk melihat kalsifikasi tumor. Tumor
yang letaknya memungkinkan, sebaiknya dilakukan reseksi total dengan
mempertahankan fungsi penglihatan, hipotalamus, dan hipofisis. Namun, reseksi radikal
terutama pada bayi dan anak kecil membawa risiko gangguan akibat operasi (terutama
gangguan hipotalamus). Selain itu, pada anak-anak lebih sering terjadi rekurensi (23%)
meski reseksi nampak telah dilakukan secara komplit. Untuk meminimalisir komplikasi-
komplikasi tersebut, berdasarkan pertimbangan anatomis dan topografis, pembedahan
transphenoidal terbukti efektif. Setelah reseksi total, sebaiknya dilakukan konfirmasi
menggunakan MRI dan CT scan pada daerah sellar suprasellar.5
Untuk tumor-tumor yang lokasinya tidak memungkinkan reseksi total
(misalnya terdapat keterlibatan saraf optik dan/ atau hipotalamus) dilakukan reseksi
diikuti radiasi lokal. Secara statistik operasi tanpa diikuti radiasi memberikan risiko
perkembangan tumor sebesar 71-90%, dengan radiasi paska operasi risikonya menurun
menjadi 21%. Data dari penelitian oleh Puget, dkk menunjukkan hanya 23% pasien
yang dapat dilakukan reseksi total.5
Prognosis
Tingkat kelangsungan hidup 10 tahun setelah presentasi adalah 90%, dalam
penelitian lain, angka kejadian 10 tahun bebas kekambuhan adalah 48% dan tingkat
kelangsungan hidup 10 tahun sebesar 80%.2 Meskipun demikian, angka kematian tetap
lebih tinggi meski tumor tidak progresif, hal
7
DAFTAR PUSTAKA
8
12. Tavangar S., Larijani B, Mahta A, Hosseini SM., Mehrazine M, Bandarian F.
Craniopharyngioma: a clinicopathological study of 141 cases. Endocr Pathol.
2004;15(4):339–44.
13. Friedman DP, Gandhe AR. Imaging of craniopharyngiomas and radiologic
differential diagnosis. Dalam: Evans JJ, Kenning TJ, penyunting.
Craniopharyngiomas: Comprehensive diagnosis, treatment and outcome.Edisi
pertama. Philadelphia:Elsevier;2015.h.59-94.
14. Donovan JL, Nesbit GM. Distinction of masses involving the sella and
suprasellar space: specificity of imaging features. Am J Roentgenol.
1996;167:597–603.
15. Saleem SN, Said AH, Lee DH. Lesions of the hypothalamus : MR Imaging
diagnostic features. RadioGraphics.2007;27(4):1087–109.
16. Kinjo T, Al-Mefty O, Ciric I. Diaphragma sellae meningiomas: Clinical study.
Neurosurgery. 1995;36(6):1082–92.
17. Müller HL. Craniopharyngioma. Endocr Rev. 2014;35(3):513–43.
18. Visser J, Hukin J, Sargent M, Steinbok P, Goddard K, Fryer C. Late mortality in
pediatric patients with craniopharyngioma. J Neurooncol. 2010;100(1):105–11.