Anda di halaman 1dari 9

Craniopharyngioma

Definisi
Craniopharyngioma secara histologis merupakan tumor neuroepitel jinak yang
muncul dari epitel sel skuamosa yang tersisa sepanjang jalur duktus craniopharyngeal
primitif dan adenohipofisis. Meskipun dianggap tergolong tumor jinak (WHO grade I)
di daerah sellar, tetapi craniopharyngioma memiliki kecenderungan untuk melekat pada
struktur yang berdekatan seperti hipotalamus dan kiasma optik.1

Epidemiologi

Untuk anak-anak dan remaja, kejadian craniopharyngioma diperkirakan 0,19


per 100.000 orang per tahun menurut data yang diperoleh dari Central Brain Tumor
Registry of the United States. Ada distribusi yang berbeda dengan puncaknya pada usia
5-14 tahun dan kemudian pada usia dewasa (65-74 tahun). Tidak ada data definitif
mengenai kecenderungan jenis kelamin atau ras, angka kejadian craniopharyngioma
pada laki-laki dan perempuan sama. Sebanyak 3-6% dari semua tumor otak primer pada
anak-anak adalah craniopharyngioma, dan tumor ini merupakan tumor non-glial yang
paling banyak pada anak-anak.1,2
Tingkat kelangsungan hidup (1980-2007) adalah 97% pada 3 tahun, 96% pada
5 tahun, dan 93% pada 10 tahun setelah diagnosis. Pasien yang terdiagnosis dan diobati
pada tahun 1980- an memiliki tingkat kelangsungan hidup yang lebih rendah daripada
yang didiagnosis pada tahun 1990-an. Tingkat kelangsungan hidup pada 5 tahun adalah
91% untuk pasien yang didiagnosis pada tahun 1980-an versus 98% untuk mereka yang
didiagnosis di tahun 1990-an. Secara umum angka kematian pasien craniopharyngioma
lebih tinggi dibandingkan populasi anak sehat.5

Etiopatologi

Ada dua teori mengenai asal tumor ini. Teori embriogenetik menunjukkan
bahwa subtipe adamantinomatous muncul dari sisa-sisa kantong Rathke. Pada
pertengahan minggu ke-4 kehamilan, kantong Rathke menonjol ke atas dari atap

2
stomodeum (rongga mulut) dan tumbuh ke arah infundibulum, yang merupakan
pertumbuhan diensefalon ke bawah. Selama minggu ke-6 kehamilan, hubungan antara
kantong Rathke dan rongga mulut (tangkai pharyngohypophyseal) menghilang.
Kantong Rathke kemudian berkembang menjadi pars distalis, pars intermedia, dan pars
tuberalis yang membentuk adenohipofisis. Berdasarkan teori metaplastik,
craniopharyngioma subtype papiler berasal dari metaplasia sel skuamosa yang
seharusnya berkembang menjadi bagian mukosa bukal.1

Manifestasi Klinis
Manifestasi craniopharyngioma lainnya meliputi gangguan penglihatan (62-
84%) dan gangguan endokrin (52-87%; Gambar 2).8 Craniopharyngioma yang
melibatkan sumbu hipotalamus-hipofisis dapat mempengaruhi sekresi hormon
pertumbuhan (75%), gonadotropin (40%), hormon adrenokortikotropik (ACTH; 25%),
dan thyroid stimulating hormone (TSH; 25%). Pubertas dini dan/atau kenaikan berat
badan yang tidak terkendali sering menjadi temuan yang menyebabkan penegakan
diagnosis pada anak. Anak yang lebih kecil menunjukkan gejala penurunan tingkat
pertumbuhan, anak-anak yang lebih tua menunjukkan gejala pubertas dini dan/atau
penambahan berat badan yang tidak terkendali. Pasien (dewasa atau anak-anak) dengan
gejala sakit kepala, gangguan penglihatan, dan/atau penambahan berat badan yang tidak
terkendali, dan/atau polidipsia/poliuria harus menimbulkan kecurigaan ke arah
craniopharyngioma. Relevansi prognostik dari gejala spesifik dan durasi riwayat pada
presentasi klinis pada waktu diagnosis craniopharyngioma awal dan hasil jangka
panjang belum dianalisis.7,9

Pencitraan Craniopharyngioma dan Differensial Diagnosis Radiologis


Craniopharyngioma merupakan tumor suprasellar yang memiliki gambaran
radiologis paling heterogen. Craniopharyngioma bisa berupa kistik, padat, atau
campuran kistik-padat. Baik bagian kistik maupun bagian padat dapat menunjukkan
densitas dan karakteristik sinyal yang bervariasi pada CT scan atau MRI.10 Tumor kistik
juga bisa menunjukkan level cairan-cairan. Craniopharyngioma dapat mengandung
kalsifikasi ataupun tanpa kalsifikasi. Walaupun lokasi suprasella merupakan lokasi yang
paling sering, neoplasma ini juga bisa muncul secara primer di sella, dan kadang-kadang
muncul di lokasi yang tidak biasa seperti di ventrikel ketiga, sinus sphenoid, atau
nasofaring.11

3
Terdapat dua jenis craniopharyngioma dengan gambaran histopatologi dan
pencitraan yang berbeda. Tipe adamantinomatous dapat terjadi pada semua usia,
meskipun tipe ini terlihat pada hampir semua pasien anak. Tipe papiler terjadi sebagian
besar pada orang dewasa. Dengan demikian, umur pasien adalah informasi penting saat
menganalisis lesi sella/suprasella.12
Pencitraan CT scan memegang peranan penting dalam perencanaan bedah
reseksi transsphenoidal atau reseksi transfrontal dari massa sella atau suprasella. Hal ini
dikarenakan keunggulannya dibandingkan MRI dalam mendeteksi kalsifikasi dan erosi
atau remodeling tulang. pencitraan CT dapat berperan aktif dalam menentukan
diagnosis pra operatif yang benar. Hal ini terutama berlaku untuk
craniopharnygiomaadamantinomatous, yang mengalami kalsifikasi hingga 90% kasus.
Misalnya, identifikasi pelebaran sella dengan massa intra sellar dengan kalsifikasi pada
CT scan menunjukkan suatu craniopharyngioma intrasella dan menyingkirkan adenoma
hipofisis. Kalsifikasi belum tentu terlihat pada pencitraan MR.13 Lokasi
craniopharyngioma adalah 75% di sisterna suprasella, 20% di intrasella dan suprasella,
dan sekitar 5% murni di intrasella.
Tabel 1. Karakteristik pencitraan craniopharyngioma dan lesi daerah sella lainnya13

Secara radiologis, craniopharyngioma dapat dibedakan dengan massa


sellar/suprasellar lain meliputi adenoma hipofisis, glioma dan hamartoma chismatic/
4
hipotalamik, dan meningioma. Adenoma hipofisis sangat jarang pada anak-anak,
memiliki sifat kistik dan kandungan protein atau darah. Bagian kistik adenoma hipofisis
terletak di dalam massa tumor dan gambarannya lebih homogen dibandingkan
craniopharyngioma dan jarang terdapat kalsifikasi. Berbeda dengan
craniopharyngioma, adenoma hipofisis dapat mengenai arteri cavernosa dan carotis
internal supraclinoid.13

Gambar 8. Seorang wanita 59 tahun dengan makroadenoma hipofisis hemoragik. A. Gambaran MRI
T-1 weighted sagittal menunjukkan massa kistik dan padat, intrasellar, dan suprasellar dengan level
cairan- cairan (panah). B. Gambaran MRI T-2 weighted aksial menunjukkan level cairan-cairan
(panah) dalam
massa. C. Gambaran MRI T-1 weighted coronal menunjukkan bagian padat tumor dengan invasi sinus
kavernosa kanan (panah).13

Tata Laksana
Gangguan aliran cairan serebrospinal sering menyebabkan hidrosefalus, yang
apabila parah harus ditatalaksana secara pembedahan. Reseksi tumor adalah pengobatan
pilihan pertama untuk memulihkan aliran cairan serebrospinal normal, tetapi mungkin
dibutuhkan pemasangan VP-shunt sebelum tumor dapat diangkat. Untuk
craniopharyngioma dengan komponen kistik besar, dapat dilakukan pemasangan kateter
intrakistik secara stereotactic ataupun terbuka. Pemasangan kateter intrakistik ini
terbukti dapat menurunkan tekanan intrakranial dan pada beberapa kasus dapat
dipergunakan untuk memasukkan bahan yang bersifat sklerotik (seperti bleomisin).
Kateter intrakistik dengan reservoir subkutan dapat efektif untuk mengurangi volume
kista dan terutama sesuai untuk bayi dan balita untuk menunda radioterapi dan reseksi
bedah. Untuk pasien yang mengalami gangguan penglihatan pra operasi karena kista
besar memberikan tekanan pada saraf optik, sebaiknya dilakukan dua tahap
pembedahan, pertama dengan drainase kista terlebih dahulu untuk mengurangi tekanan
dan memperbaiki penglihatan, diikuti dengan reseksi.5

5
Sebelum operasi dilakukan CT scan untuk melihat kalsifikasi tumor. Tumor
yang letaknya memungkinkan, sebaiknya dilakukan reseksi total dengan
mempertahankan fungsi penglihatan, hipotalamus, dan hipofisis. Namun, reseksi radikal
terutama pada bayi dan anak kecil membawa risiko gangguan akibat operasi (terutama
gangguan hipotalamus). Selain itu, pada anak-anak lebih sering terjadi rekurensi (23%)
meski reseksi nampak telah dilakukan secara komplit. Untuk meminimalisir komplikasi-
komplikasi tersebut, berdasarkan pertimbangan anatomis dan topografis, pembedahan
transphenoidal terbukti efektif. Setelah reseksi total, sebaiknya dilakukan konfirmasi
menggunakan MRI dan CT scan pada daerah sellar suprasellar.5
Untuk tumor-tumor yang lokasinya tidak memungkinkan reseksi total
(misalnya terdapat keterlibatan saraf optik dan/ atau hipotalamus) dilakukan reseksi
diikuti radiasi lokal. Secara statistik operasi tanpa diikuti radiasi memberikan risiko
perkembangan tumor sebesar 71-90%, dengan radiasi paska operasi risikonya menurun
menjadi 21%. Data dari penelitian oleh Puget, dkk menunjukkan hanya 23% pasien
yang dapat dilakukan reseksi total.5

Komplikasi Obesitas dan Gangguan Makan


Derajat obesitas sering meningkat awal-awal setelah pengobatan, dan
penambahan berat badan yang cepat seering terjadi selama 6-12 bulan pertama setelah
pengobatan. Setelah pengobatan, prevalensi obesitas lebih tinggi, mencapai hingga 55%.
Obesitas dan gangguan makan mengakibatkan risiko terjadinya sindroma metabolic dan
penyakit kardiovaskular, termasuk kematian mendadak, meningkatnya morbiditas multi
system, dan meningkatnya kematian.17
Meskipun hubungan obesitas berat dengan lesi hipotalamus terlihat jelas pada
pasien craniopharyngioma, mekanisme kardiometabolik yang sebenarnya masih belum
jelas. Kemungkinan besar pada kasus yang meluas hingga suprasella, fungsi
hipotalamus akan terganggu dan akan terkompensasi sampai batas tertentu ketika
dilakukan pembedahan atau dengan iradiasi. Walaupun secara relative strukturnya kecil
hanya 4 ml volume, hipotalamus mengandung beberapa kelompok badan sel saraf yang
membentuk inti yang berbeda, dan memiliki molekul yang sangat beragam secara
fungsional dan struktural.17
Hipotalamus berperan utama dalam menjaga lingkungan internal agar tetap
stabil dengan sinkronisasi mekanisme jam biologis dan ritme sirkadian. Data terbaru
menunjukkan bahwa keseimbangan yang memadai dari sistem saraf otonom sangat
6
penting untuk metabolisme. Diketahui bahwa jaringan adiposa kaya akan inervasi dari
saraf simpatis yang mengontrol lipolisis. Sehingga lipogenesis juga dikendalikan oleh
saraf parasimpatis.17

Prognosis
Tingkat kelangsungan hidup 10 tahun setelah presentasi adalah 90%, dalam
penelitian lain, angka kejadian 10 tahun bebas kekambuhan adalah 48% dan tingkat
kelangsungan hidup 10 tahun sebesar 80%.2 Meskipun demikian, angka kematian tetap
lebih tinggi meski tumor tidak progresif, hal

ini mungkin terkait dengan komplikasi pengobatan, terutama pada craniopharyngioma


masa anak-anak. Sebagai contoh, dalam suatu penelitian dengan 41 pasien yang diikuti
selama 37 tahun, ada 9 kematian (22%) secara keseluruhan, 3 di antaranya terjadi lebih
dari 20 tahun setelah presentasi, dan 1 terjadi antara 10-20 tahun. Tak satu pun dari
empat ini secara langsung berhubungan dengan perkembangan tumor. Penyebab
kematian yang dilaporkan dalam empat kasus ini adalah diabetes insipidus yang tidak
terkontrol, infark pontine, panhipopituitarisme, dan gagal hati.18

7
DAFTAR PUSTAKA

1. Ostling L, Haas-Kogan DA, Lustig RH, Gupta N. Craniopharyngioma. Dalam:


Gupta N, Banerjee A, Haas-Kogan DA, penyunting. Pediatric CNS tumors. Edisi
ketiga. Philadelphia:Springer;2017.h.145–70.
2. Harsh GR, Recht LD, Marcus KJ. Craniopharyngioma. UpToDate. September
2021. Diakses 1 Oktober 2021. Tersedia pada: www.uptodate.comm/contents/
craniopharyngioma
3. Muller HL. Childhood craniopharyngioma: current controversies on management
in diagnostics, treatment and follow-up. Expert Rev Neurother 2010;10(4):515-
24.
4. Matthew R Garnett, Puget S, Grill J, Sainte-Rose C. Craniopharyngioma.
Orphanet J Rare Dis. 2007;2(18):doi: 10.1186/1750-1172-2-18
5. Muller HL. Diagnostics, treatment, and follow up in craniopharyngioma. Front.
Endocrinol. 2011;2(70):doi:10.3389/fendo.2011.00070
6. Zhang S, Wang C. Histology and embriology of craniopharyngiomas. Dalam: Qi
S, penyunting. Atlas of craniopharyngioma. Edisi pertama. Singapore: Springer
Nature; 2020.h.3-6.
7. Muller HL. Childhood craniopharyngioma—current concepts in diagnosis,
therapy and follow-up. Nat Rev Endocrinol. 2010;6:609–18.
8. Muller H, Kaatsch P, Warmuth-Metz M, Flentje M, Sörensen N. Childhood
craniopharyngioma-diagnostic and therapy strategies. Monatsschr Kinderheilkd.
2003;151:1056–63.
9. Hoffmann A, Boekhoff S, Gebhardt U, Sterkenburg AS, Daubenbüchel AMM,
Eveslage M, Müller HL. History before diagnosis in childhood
craniopharyngioma: Associations with initial presentation and long-term
prognosis. Eur J Endocrinol. 2015;173(6):853–62.
10. Wolfe SQ, Heroes RC. Rathke cleft cyst to craniophatyngioma: is there a
spectrum? J Neurosurg. 2010;112:1322–3.
11. Behari S, Madeira L., Mishra A, Sharma S, Chhabra DK, Jain V. Intrinsic third
ventricular craniopharyngiomas: report on six cases and review of the literature.
Surg Neurol. 2003;60(3):245–52.

8
12. Tavangar S., Larijani B, Mahta A, Hosseini SM., Mehrazine M, Bandarian F.
Craniopharyngioma: a clinicopathological study of 141 cases. Endocr Pathol.
2004;15(4):339–44.
13. Friedman DP, Gandhe AR. Imaging of craniopharyngiomas and radiologic
differential diagnosis. Dalam: Evans JJ, Kenning TJ, penyunting.
Craniopharyngiomas: Comprehensive diagnosis, treatment and outcome.Edisi
pertama. Philadelphia:Elsevier;2015.h.59-94.
14. Donovan JL, Nesbit GM. Distinction of masses involving the sella and
suprasellar space: specificity of imaging features. Am J Roentgenol.
1996;167:597–603.
15. Saleem SN, Said AH, Lee DH. Lesions of the hypothalamus : MR Imaging
diagnostic features. RadioGraphics.2007;27(4):1087–109.
16. Kinjo T, Al-Mefty O, Ciric I. Diaphragma sellae meningiomas: Clinical study.
Neurosurgery. 1995;36(6):1082–92.
17. Müller HL. Craniopharyngioma. Endocr Rev. 2014;35(3):513–43.
18. Visser J, Hukin J, Sargent M, Steinbok P, Goddard K, Fryer C. Late mortality in
pediatric patients with craniopharyngioma. J Neurooncol. 2010;100(1):105–11.

Anda mungkin juga menyukai