Anda di halaman 1dari 4

Nama: Agdelia ibda binafsik

NIM:221330001142
KELAS: 2SDA5
PERWUJUDAN SIKAP WARGA DESA KELING TERADAP PRINSIP
“MABADI KHAIRA UMMAH”

Istilah mabadi khaira ummah sangat populer bahkan telah melekat dalam dialektika
masyarakat Islam. Hanya saja pemahaman makna dan penafsirannya masih dititikberatkan pada
nahi munkar. Karena itu, pelaksanaannya cenderung diterjemahkan secara operasional sebagai
perjuangan pemberantasan, pembasmian, pemberangusan kemungkaran. Berdasarkan alasan
tersebut, kajian mengenai term amar ma‟ruf nahi munkar perlu dilakukan. Kajian ini kemudian
diberi judul: “Rekonstruksi Makna dan Metode Penerapan mabadi khaira ummah Berdasarkan
al-Qur‟an”. Sumber data berasal dari al-Qur‟an, kitab-kitab tafsir, pendapat para ulama masa
lampau, dan buku-buku karangan para intelektual muslim. Hasil penelusuran menunjukkan
bahwa ma‟ruf ialah segala perilaku, sifat dan perbuatan yang bernilai baik dalam pandangan
agama maupun penilaian akal sehat, serta baik pula dalam pandangan masyarakat umum.
Sedangkan munkar adalah segala perilaku, sifat dan perbuatan yang jelek atau jahat menurut
syara‟ (agama), jelek menurut akal sehat serta jelek menurut budaya dan adat masyarakat
setempat. Sistem penerapannya harus mendahulukan amar ma‟ruf selanjutnya menerapkan nahi
munkar dengan menggunakan metode al-hikmah (bijaksana), mau‟izhah al-hasanah (pengajaran
yang baik) dan mujadalah (berdiskusi) yang santun, disamping beberapa metode lainnya sesuai
dengan kondisi mad‟u dengan memanfaatkan pendekatan kultural dalam aktivitas dakwah
yad‟uwna ila al-khair, dan pendekatan struktural dalam implementasi mabadi khaira ummah.
Pendekatan struktural sama halnya dengan pendekatan politik atau pendekatan kekuasaan. Dan
dalam kaitan ini yang memiliki kekuasaan dan kekuatan adalah pemerintah maka pemerintah
berkewajiban dan bertanggungjawab untuk menjalankan amar ma‟ruf nahi munkar, tentunya
dengan menggunakan strategi yang tepat, metode yang sesuai, sistem yang relevan dan teknik
pelaksanaan yang efektif.
Prinsip NU (Nahdlatul Ulama) dalam melakukan mabadi khaira ummah adalah sebagai
berikut :

1. Selalu memiliki kepekaan dalam mendorong perbuatan yang baik.


2. Menolak dan mencegah semua hal yang dapat menjauhkan yang dapat menjerumuskan
dan merendahkan nilai-nilai kehidupan dalam masyarakat.

Hal ini berarti NU selalu turut serta aktif dalam kegiatan masyarakat yang bermanfaat seperti
berdakwah sebagai bentuk kepedulian akan pendidikan, melakukan pelatihan kaderisasi
sebagai bentuk kepedulian dalam hidup berbangsa dan bernegara, dan menolak segala bentuk
hasutan atau diskusi-diskusi yang mampu memecah belah tatanan nilai kehidupan berbangsa dan
bernegara. Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini (QS. Ali Imran: 104): “Maksudnya, hendaklah ada
sebagian umat ini yang menegakkan mabadi khaira ummah”.
Tetapi dalam mewujudkan konsep mabadi khaira ummah dalam masyarakat
jepara selain sudah terwujud seperti pelaksanaan pelayanan oleh pemerintah pada saat pandemic
sudah tercapai contohnya saja meskipun pandemi covid-19 masih membayangi semua lini
kehidupan termasuk di wilayah Jepara Namun, pelayanan Dinas Kependudukan dan Pencatatan
Sipil (Disdukcapil) Jepara, secara umum tidak terpengaruh secara signifikan. Hal ini karena
hampir semua jenis pelayanannya menerapkan sistim daring yang sudah dikembangkan
Disdukcapil Kabupaten Jepara sejak 2019 dan terbukti, semua target nasional bisa tercapai.
Walaupun dalam keadaan yang tidak memungkinkan karena pandemic tetapi bentuk dari sikap
Al-amanah wa al-wafa bil ‘ahd tetap di usahakan bagi pemerintah kesehata di Jepara. Dengan
demikian di Jepara sudah dapat mewujudkan psinsip NU yakni Mabadi Khaira Ummah pada
anggota pemerintahan Jepara.

Keling merupakan bentuk teritorial terkecil dari susunan pemerintahan di daerah Jepara,
yang terdiri atas beberapa kelompok rumah tangga dan memiliki sebuah tempat kegiatan
bersama, bermusyawarah, mabadi khaira ummah sudah menjadi arah dan fungsi pembangunan
masyarakat Kecamatan Keling. Pelaksanaan amar makruf nahi mungka mabadi khaira ummah
dapat dilakukan melalui berbagai kegiatan komunikasi atau dakwah di dalamnya, di samping itu
perangkat juga harus terampil juga dalam mengajak masyarakat mengikuti berbagai perintah dan
menjahui larangan Allah SWT. Bila tidak mampu membangkitkan semangat mabadi khaira
ummah, maka kehidupan masyarakat yang aman, damai dan sejahtera sulit terwujud
sebagaiamana diharapkan. Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan di keling Kabupaten
Jepara menunjukkan bahwa, semangat masyarakat dalam melaksanakan dan memantapkan
mabadi khaira ummah semakin kurang mendapat respon, banyak masyarakat yang sudah
disibukkan dengan tugas-tugas lainnya. Pelaksanaan mabadi khaira ummah sudah semakin
rendah semangatnya, hal ini apalagi dipengaruhi oleh rendahnya peran para perangkat kecamatan
keling dalam melaksanakannya melalui pesan-pesan dakwah dalam masyarakat setempat.

Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan ada beberapa alasan pentingnya mabadi
khaira ummah untuk diterapkan dalam masyarakat Keling dan sekitarnya, yaitu:
1. Pertama, komunikasi atau tutur yang tidak sesuai atau tidak sepantasnya
diucapkan sering kali ditemukan dan didengar dalam percakapan sehari-hari, terutama
kalangan remaja putra/pemuda saat mengalami kekecewaan atau kesesalannya pada
seseorang. Tutur kata dimaksudkan terkadang menyerap kata kasar seperti, kata
”kowe”,”cok”, ”let”dan kata-kata kasar lainnya yang sejenis dengan itu. Memang dalam
bahasa jawa ,, kata kasar itu bukan untuk memaki atau sejenisnya namun digunakan
sebagai perumpamaan, misalnya dalam kata “cok” adalah kata untuk memnggil teman
sebaya, dan kata “kowe’’ yang berarti kamu.
2. Kedua, dalam hal pelaksanaan ibadah shalat Jum’at, beberapa kali
observasi yang dilakukan ditemukan perilaku yang suka menunda-menunda waktu untuk
ke masjid, perilaku ini lebih cenderung dilakukan oleh pemuda namun juga ada dari
kalangan orangtua. Menunda waktu yaitu sebagai sikap lalai dalam melakukan ibadah,
sehingga hilang kesadarannya untuk menyegerakan ke Masjid saat hari Jum’at.
Sebagaimana diketahui, pada hari Jum’at itu diminta untuk segera ke Masjid sambil
ber’itikaf menunggu tibanya waktu pelaksanaan shalat Jum’at dan inilah perilaku yang
baik dan dianggap sunnah. Namun, perilaku menunda waktu, atau mengakhirkan waktu
untuk ke Masjid sudah menjadi kebiasaan masyarakat setempat, hal ini sudah dianggap
biasa saja bahkan nampak sekali motivasi untuk beribadah seperti sudah memudar.
Adapun waktu yang dipilih untuk ke Masjid ratarata ketika khatib sudah berada di atas
mimbar membaca rukun khutbah, saat inilah jumlah jamaah berdatangan semakin
banyak, sikap demikian seolah tidak mau berlama-lama berada dalam Masjid.
3. Ketiga, di sisi lain tata cara berbusana atau berpakaian baik itu bagi laki-
laki maupun perempuan, sebenarnya ada batas aurat tertentu yang merupakan sebuah
nilai kefitrahan bagi manusia, namun akan menjadi suatu kemungkaran jika batasan aurat
itu dilanggar. Kebiasaan masyarakat Jepara khususnya Keling menggunakan celana jeans
pendek dan baju pendek hampir setiap sudut ditemukan, terutama kalangan remaja dan
pemuda. Begitupun bagi perempuan, tidak saja kalangan remaja putri namun kaum ibu
juga demikian, begitu sering ditemukan baik saat duduk di depan rumah, berbelanja di
kios seputar kampung dengan menggunakan sehelai baju daster tanpa berjilbab, atau
memakai baju kaos lengan pendek dengan sarung tanpa berjilbab. Pelanggaran
sebagaimana disebutkan di atas adalah mencitrakan suatu wilayah, keadaan ini rasanya
cukup melemah dari nilai struktural formal Syariat Islam. Perilaku demikian seperti tidak
ada kepentingan untuk memperbaikinya, perhatian serius untuk mengontrol dan
mensosialisasi perkembangan perilaku masyarakat sangat tidak tepat jika semuanya
dibebankan pada keluarga masing-masing namun juga harus terlibat dengan pemerintah
Jepara

Anda mungkin juga menyukai