Disusun oleh
Tim Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5)
SMP NEGERI 2 LEBAKSIU
A. Identitas Penulis Modul : Tim Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila SMP
Negeri 2 Lebaksiu
B. Sarana Prasarana : Ruang kelas atau halaman sekolah, Perpustakaan, Internet,
HP
C. Target Peserta Didik : Kelas 7 Semester Gasal Tahun Pelajaran 2022/2023
D. Relevansi Tema dan Topik :
1. Bagi Sekolah :
Sekolah sebagai komunitas dapat membangun kesadaran dari seluruh anggota komunitasnya
mengenai pentingnya demokrasi. Dengan adanya Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua OSIS,
peserta didik dapat melaksanakan proses demokrasi sebagai bekal hidup di tengah-tengah
masyarakat.
2. Bagi Guru Mata Pelajaran
Beberapa mata pelajaran memiliki keterkaiatan (Relevansi) dengan Proyek ini antara lain:
a. Pendidikan Pancasila
Melaksanakan demokrasi di tingkat sekolah
b. Bahasa Indonesia
Menyampaikan pidato dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
c. Informatika
Membuat brosur atau poster Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua OSIS
Komponen Inti :
A. Deskripsi Singkat Proyek
Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak
yang sama dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka baik secara
langsung atau melalui perwakilan.
Demokrasi Pancasila bertujuan untuk mengutamakan keselarasan, keseimbangan, dan
keselamatan bangsa di atas kepentingan pribadi maupun golongan.
Hak untuk mengeluarkan pendapat harus dilakukan dengan memperhatikan norma sosial
dan hukum yang berlaku. Hak berpendapat selalu diiringi dengan kewajiban menghargai
pendapat orang lain, karena pada dasarnya setiap kebebasan yang dimiliki selalu dibatasi oleh
hak dan kebebasan orang lain. Terdapat aturan atau etika yang harus dipatuhi saat kita
menjalankan hak berdemokrasi atau berpendapat baik secara virtual maupun di dunia nyata.
Contoh penerapan budaya demokrasi di sekolah, antara lain: Bermusyawarah dalam
penyusunan tata tertib di sekolah, khususnya tata tertib di dalam kelas.
Bermusyawarah dalam penyusunan kelompok piket sekolah, kelompok belajar
dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi pada suatu mata pelajaran, dan
kepengurusan kelas serta pemilihan Ketua dan Wakil Ketua OSIS.
Proyek ini mengikuti empat tahapan yaitu: Pengenalan, Kontekstualisasi, Aksi dan
Refleksi dan tindak lanjut.
Refleksi dan
Pengenalan Kontekstualisasi Aksi
Tindak Lanjut
Guru sebagai Dengan bimbingan dan arahan Peserta didik Tahapan ke empat
fasilitator guru, peserta didik merencanakan melakukan aksi adalah refleksi dan
mengenalkan Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua nyata berupa tindak lanjut. Dalam
pengertian dan OSIS (menjaring bakal calon ikut dalam kegiatan ini guru
tujuan demokasi Ketua dan Wakil Ketua OSIS, semua proses dan peserta didik
serta contoh Penetapan Calon Ketua dan Wakil pemilihan Ketua melakukan upacara
penerapan Ketua OSIS, menjadwalkan dan Wakil pelantikan Ketua
demokrasi di kegiatan kampanye, Debat Calon Ketua OSIS. dan Wakil ketua
sekolah. Ketua dan Wakil Ketua OSIS, serta pengurus
menjadwalkan masa tenang dan OSIS terpilih.
sampai pemilihan Ketua dan Wakil
Ketua OSIS)
Melalui proyek ini, peserta didik diharapkan dapat mencapai 2 dimensi Profil Pelajar
Pancasila, yaitu:
1. Berkebhinekaan Global dengan elemen Berkeadilan Sosial
2. Bernalar Kritis dengan elemen menganalisis dan mengevaluasi penalaran dan prosedurnya,
refleksi pemikiran dan proses berpikir.
Dari dua elemen ini kami mengangkat Sub-Tema Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua OSIS,
Ajang Pembelajaran Demokrasi di Sekolahku.
B. Dimensi, Elemen, Sub Elemen Profil Pelajar Pancasila Suara Demokrasi Fase D
Dimensi dan Elemen
Sub-elemen Profil Target Pencapaian di akhir Fase D (SMP VII
Profil Pelajar
Pelajar Pancasila - IX)
Pancasila Terkait
Berkebinekaan Berpartisipasi dalam Berpartisipasi dalam menentukan kriteria dan
Global proses pengambilan metode yang disepakati bersama untuk
Elemen: Berkeadilan keputusan bersama menentukan pilihan dan keputusan untuk
Sosial kepentingan bersama melalui proses bertukar
pikiran secara cermat dan terbuka dengan
panduan pendidik
Memahami peran Memahami konsep hak dan kewajiban serta
individu dalam implikasinya terhadap ekspresi dan perilakunya.
demokrasi Mulai aktif mengambil sikap dan langkah untuk
melindungi hak orang/kelompok lain.
Bernalar Kritis Elemen Menalar dengan berbagai argumen dalam
Elemen menganalisis menganalisis dan mengambil suatu simpulan atau keputusan.
dan mengevaluasi mengevaluasi
penalaran dan penalaran dan
prosedurnya prosedurnya
Bernalar Kritis Merefleksi dan Menjelaskan asumsi yang digunakan, menyadari
Elemen refleksi mengevaluasi kecenderungan dan konsekuensi bias pada
pemikiran dan proses pemikirannya sendiri pemikirannya, serta berusaha
berpikir mempertimbangkan perspektif yang berbeda.
2. Bernalar Kritis
Elemen : Menganalisis dan mengevaluasi penalaran dan prosedurnya, refleksi pemikiran
dan proses berpikir
Belum Mulai Berkembang
Sub Elemen Sangat berkembang
berkembang berkembang sesuai harapan
Elemen Menalar Kadang Menalar Terbiasa Menalar Terbiasa Menalar
menganalisis dengan dengan berbagai dengan berbagai dengan berbagai
dan berbagai argumen argumen argumen dalam
mengevaluasi argumen mengambil suatu
penalaran dan simpulan atau
prosedurnya keputusan.
Merefleksi dan Menjelaskan Menjelaskan Menjelaskan Menjelaskan asumsi
mengevaluasi asumsi yang asumsi yang asumsi yang yang digunakan,
pemikirannya digunakan digunakan, digunakan, menyadari
sendiri menyadari menyadari kecenderungan dan
kecenderungan kecenderungan konsekuensi bias pada
pada dan konsekuensi pemikirannya, serta
pemikirannya bias pada berusaha
pemikirannya mempertimbangkan
perspektif yang
berbeda.
D. Tahapan Proyek
1. Pengenalan
PERKENALAN “PERAN MEDIA SOSIAL DAN DEMOKRASI DI INDONESIA”
Objektif: Peserta didik mampu mengajukan pertanyaan untuk klarifikasi dan
interpretasi informasi, serta mencari tahu penyebab dan konsekuensi dari
informasi tersebut.
Kegiatan:
Persiapan
a. Guru menyiapkan 8 artikel yang membahas tentang hubungan antara media sosial dengan
proses demokrasi di Indonesia
- https://mediaindonesia.com/indonesia-2018/135752/media-sosial-dan-demokrasi-
harapan-atau-ancaman
- https://www.kompasiana.com/azkiyaazulfa2357/5fe4af0e8ede4815b44ccd22/
menyampaikan-aspirasi-masyarakat-melalui-media-sosial
- https://www.kompasiana.com/wilbrotkrado/58cca7982223bdee0e864961/media-
sosial-merupakan-corong-aspirasi-rakyat
- https://www.swarasenayan.com/salurkan-aspirasi-di-media-sosial-masyarakat-
jangan-terprovokasi-oleh-postingan-fake/
- https://news.detik.com/kolom/d-4569835/demokrasi-digital-era-media-sosial
- https://kagama.co/2019/05/08/peran-media-sosial-dalam-demokrasi-indonesia/
- https://yoursay.suara.com/news/2020/12/23/125525/etika-dalam-berpendapat-di-
media-sosial
- https://kumparan.com/andana-aristyo-prayogo/batasan-berpendapat-di-platform-
media-sosial-1vaZzdW8yG8/full
b. Peserta didik menyimak video singkat sebagai pengantar sebelum kegiatan P5
dilaksanakan..
https://www.youtube.com/watch?v=RBWY730rO9s
Pelaksanaan
a. Guru memulai proyek ini dengan menanyakan kepada peserta didik apa yang mereka tahu
mengenai demokrasi. Beberapa pertanyaan pemantik yang bisa dipakai:
1) Jelaskan makna demokrasi dalam pemahamanmu?
2) Sebutkan ciri demokrasi?
3) Bagaimana pendapatmu mengenai kebebasan berpendapat? Sampai batas mana dalam
sistem demokrasi?
4) Guru memperkenalkan tema proyek dan menegaskan relevansi penggunaan media
sosial saat ini untuk menyuarakan pendapat (demokrasi).
b. Peserta didik dibagi dalam kelompok (4 orang) dan menggunakan metode jigsaw
(berbagi bagian bacaan), guru membagikan 8 artikel kepada tiap kelompok untuk dibaca.
Agar membentuk kelompok yang lebih inklusif, guru dapat mempertimbangkan latar
belakang agama, etnis, jenis kelamin, juga tingkat kemampuan peserta didik dalam proses
pembentukan kelompok.
c. Peserta didik di masing-masing kelompok secara bergantian saling memberikan ringkasan
intisari artikel yang mereka baca.
Alat dan Bahan: video youtube, artikel dari berbagai media elektronik
Peran Guru: Fasilitator
Durasi:2,5 jam
Tugas :
Peserta didik diminta untuk melakukan riset mandiri mengenai penggunaan media
sosial untuk menyuarakan pendapat baik secara lokal dan nasional
Produk : Hasil riset dalam bentuk peta pikiran yang menggunakan lebih dari 3
sumber informasi
2. Kontekstualisasi
PILKETOS DAN WAKETOS, AJANG PEMBELAJARAN DEMOKRASI DI
SEKOLAHKU
Objektif :
Peserta didik menjelaskan asumsi yang digunakan, menyadari kecenderungan, dan
berusaha mempertimbangkan perspektif yang berbeda.
Kegiatan:
Rapat OSIS membicarakan rencana pemilihan kandidat ketua dan wakil ketua OSIS di
awal tahun pelajaran sekolah, diskusi dipandu oleh guru Pembina OSIS. Mereka
mendiskusikan cara mencari kandidat ketua dan wakil ketua OSIS melalui proses seleksi
yang salah satunya memiliki kemampuan untuk menyampaikan pendapat,
berargumentasi, dan berpikir kritis yang akan terlihat saat melakukan debat.
Berdasarkan paparan data yang telah disajikan, guru meminta membagi peserta didik
menjadi 4 kelompok. Kelompok pertama membahas tentang syarat-syarat yang harus
dipenuhi oleh bakal calon ketua dan wakil ketua OSIS yang berasal dari peserta didik
kelas 8 dan kelas 7 serta aturan kampanye, kelompok kedua membahas tentang tahapan-
tahapan pemilihan ketua dan wakil ketua OSIS, Kelompok ketiga mempersiapkan semua
peralatan dan media yang akan digunakan dalam pemilihan ketua dan wakil ketua OSIS
(seperti surat suara, kotak suara dan bilik suara, Kelompok keempat membuat poster
yang akan digunakan sebagai media sosialisasi tahapan pemilihan calon ketua dan wakil
ketua OSIS.
Kandidat ketua dan wakil ketua OSIS yang berasal dari peserta didik kelas 8 dan kelas 7
di seleksi dengan cara melakukan debat terbuka untuk melihat kemampuan mereka dalam
berargumentasi, bernalar, berpikir kritis dan terstruktur selain mampu untuk
mendengarakan pendapat dari lawan bicara dengan bijaksana.
Alat dan Bahan : Kertas, karton, Paku besar, Styrofoam (gabus) dan Alat Tulis
Peran Guru : Narasumber dan Fasilitator
Durasi : 2,5 Jam
Tugas :
Kelompok pertama untuk menuliskan draft syarat-syarat mendaftarkan diri menjadibakal
calon, Kelompok kedua menuliskan draft tahapan atau prosedur proses pemilihan ketua
dan wakil ketua OSIS termasuk agenda kegiatan. Di kelompok ke tiga, Membuat bilik
suara dan alat untuk digunakan sebagai media pemilihan suara, kotak suara yang akan
digunakan sebagai wadah surat suara dan
3. Aksi
PENGORGANISASIAN DATA SECARA MANDIRI
Objektif:
Peserta didik mengidentifikasi dan menyampaikan isu-isu tentang penghargaan terhadap
keragaman dan kesetaraan budaya.
Kegiatan:
Setelah guru memberikan tugas dan bimbingan di Aktivitas 6 dan 7, peserta didik
diberikan waktu untuk secara mandiri melakukan proses penulisan yang berbasis
penggunaan data yang akurat.
a. Di kelompok pertama, peserta didik berkonsultasi pada guru mengenai konten dan
format visi dan misi yang akan dipaparkan sebagai bagian proses kampanye. Pidato
ini akan dibacakan di depan seluruh peserta didik SMP untuk mempersuasi mereka
dalam menentukan pilihan kandidat ketua dan calon ketua OSIS.
b. Di kelompok ke-dua, peserta didik berkonsultasi pada guru mengenai agenda
kegiatan proses pemilihan ketua dan wakil ketua OSIS beserta “The DO ( yang
boleh dilakukan) and DON’TS ( yang tidak boleh dilakukan).
c. Di kelompok ke-tiga, peserta didik berkonsultasi pada guru mengenai tata cara,
bentuk dan konten ragam kampanye yang akan dilakukan baik secara virtual
(langsung) ataupun non virtual.
d. Peserta didik mengelola data dan mengkaji data yang ada dan disajikan dalam
bentuk presentasi, yang akan dilakukan secara berkelompok di kelas di Aktivitas 9.
Guru dapat memberikan panduan teknis untuk presentasi ini, misalnya elemen
utama dalam presentasi, lama presentasi dan sesi tanya jawab per kelompok, format
presentasi yang diinginkan, juga urutan presentasi.
Objektif: Peserta didik memahami konsep hak dan kewajiban serta implikasinya
terhadap ekspresi dan perilakunya. Mulai aktif mengambil sikap dan langkah untuk
melindungi hak orang/kelompok lain.
Kegiatan:
a. Guru meminta peserta didik untuk berbagi hasil refleksi kegiatan di pertemuan
sebelumnya.
b. Guru lalu meminta peserta didik untuk brainstorming (curah pendapat) mendiskusikan
setidaknya empat hal berikut:
1. contoh aksi/kampanye yang mungkin untuk diimplementasikan di sekolah mereka
untuk membantu peserta didik berdemokrasi dengan santun
2. tantangan/apa yang menghalangi implementasi aksi/kampanye tersebut di sekolah
mereka.
3. hal-hal yang perlu dimodifikasi agar aksi/kampanye tersebut dapat dilakukan di
sekolah mereka.
c. Hasil brainstorming (curah pendapat) dapat dirangkum di tabel hasil curah pendapat
Alat dan Bahan : Laptop, Buku dan Alat Tulis
Peran Guru : Fasilitator
Durasi :1 Jam
Tugas :
Kelompok 1 dan 2 memodifikasi teknik kampanye yang dapat dijadikan contoh atau
“role-model” bagi peserta didik lainnya,baik berkampanye di dunia maya (media sosial),
maupun di dunia maya. Kelompok 3 merevisi aturan yang perlu diperbaiki, dikurangi,
ditambahkan atau dimodifikasi agar proses berdemokrasi dapat berjalan dengan santun,
bermakna dan bermutu
Produk : Peta pikiran yang bersi teknik kampanye dan aturan main dalam berdemokrasi
di pemilihan kandidat ketua dan wakil ketua OSIS
Alat dan Bahan : bilik suara, kotak suara, stamp-pad/bak stempel, meja, bangku/tikar,
microphone, sound-system, surat suara, dan papan penghitungan suara
Peran Guru : Fasilitator
Durasi : 2 Jam
Tugas:
Seluruh panitia penyelenggara pemilihan calon ketua dan wakil ketua OSIS diminta untuk
memfinalisasi aturan pelaksanaan, bilik suara, surat suara,kotak suara, serta memastikan
semua peserta didik kelas 7,8 dan 9 memiliki hak untuk memilih serta alasan mengapa
hak ini harus dilakukan.
Produk : Poster aturan pelaksanaan proses demokrasi di sekolah, refleksi pentingnya
berpartisipasi dalam proses berdemokrasi dengan cara yang santun dan bermartabat
Alat dan Bahan : Surat suara, bilik suara,papan suara, kotak suara, papan tulis, bak
stempel,marker
Peran Guru : Pengawas jalannya pemilihan agar berlangsung jujur dan adil
Durasi : 3 Jam
Produk : Peserta didik boleh memilih salah satu dari pilihan berikut, yaitu : video,
refleksi,jurnal refleksi atau laporan hasil pengamatan atas berjalannya proses demokrasi
yang santun dan bermartabat di sekolah
Tips untuk guru : Untuk memudahkan pemahaman peserta didik saat melakukan
kegiatan ini, peserta didik dapat menyaksikan video singkat mengenai tata cara
pemunguta suara PEMILU 2019 sebagai bahan referensi berjalannya proses demokrasi
yang santun dan bermartabat. Link : https://www.youtube.com/results?
search_query=proses+pemilu
4. Refleksi dan Tindak Lanjut (30 JP)
ASESMEN SUMATIF EVALUASI SOLUSI YANG DITAWARKAN AGAR DAPAT
BERDEMOKRASI DENGAN SANTUN DAN BERKUALITAS DI MEDIA SOSIAL
Objektif:
Peserta didik mengidentifikasi, mengklarifikasi, dan menganalisis informasi yang
relevan serta memprioritaskan beberapa gagasan tertentu.
Kegiatan:
“Bagaimana cara mencari solusi yang efektif untuk membuat program kerja OSIS yang
berorientasi pada membangun semangat demokrasi yang bermartabat,santun dan
berkualitas dengan menggunakan media sosial maupun nyata?”
1. Ketua dan wakil ketua OSIS yang baru saja terpilih mengevaluasi aksi yang ditawarkan
dengan memperhatikan umpan balik konstruktif yang mereka terima selama masa
kampanye.
2. Peserta didik dan guru bekerja sama melakukan perencanaan dan persiapan lanjutan untuk
melakukan aksi membangun etika berkomunikasi /menyuarakan pendapat dengan santun
melalui media sosial di sekolah.
3. Peserta didik membimbing peserta didik untuk melakukan persiapan rapat dengan
pemangku kepentingan di sekolah, yakni pimpinan sekolah (pihak Yayasan dan/atau
Kepala Sekolah) untuk perizinan dan persetujuan aksi kampanye dan edukasi penggunaan
media sosial dengan cara yang santun, bermartabat dan berkualitas terutama untuk
menyuarakan pendapat (demokrasi).
Alat dan Bahan : Lembar Evaluasi
Peran Guru : Pembimbing & Monitoring program Aksi
Durasi :2 Jam
Produk : Hasil lembar evaluasi
1. Peserta didik dalam kelompok kecil atau per kelas/level menjalankan aksi nyata yang
terdapat dalam program kerja OSIS. Aksi ini dijalankan dengan melibatkan seluruh
anggota sekolah. Salah satu contoh nyata yang dapat dilakukan adalah menciptakan
suasana yang nyaman dan beretika saat berkonunikasi atau mengeluarkan pendapat
melalui media sosial. Misalnya, peserta didik dapat mengajak teman-teman
seangkatannya untuk mengkampanyekan hal tersebut dengan menggunakan media poster,
slogan,gambar,puisi,mural, lagu dan sebagainya. Ada 5 pesan penting yang akan
disampaikan yaitu :
a. Berhati-hati saat berkomentar dan menghindari kata kata yang akan menyinggung
persaan orang lain.
b. Hindari penyebaran konten yang berbau SARA, pornografi dan kekerasan
c. Cross check kebenaran berita
d. Menghargai hasil karya orang lain
e. Berhati-hati saat menyampaikan informasi pribadi
2. Selama proses aksi ini, peserta didik diajak untuk terus melakukan refleksi terhadap
efektivitas dan dampak aksi yang dijalankan terhadap etika berkomunikasi/mengeluarkan
pendapat (demokrasi) melalui media sosial pada khususnya dan di dunia nyata pada
umumnya.
• Alat dan Bahan : Lembar Refleksi
• Peran Guru : Fasilitator
• Durasi :3 Jam
• Produk : peserta didik dapat memilih salah satu dari pilihan ini : media poster,
slogan,gambar,puisi,mural, lagu, lembar refleksi
LAMPIRAN
1. GLOSARIUM
No. Kata/Terminologi Makna/Arti
1. Media Sosial Media untuk bersosialisasi satu sama lain dan dilakukan
secara online yang memungkinkan manusia untuk saling
berinteraksi tanpa dibatasi ruang dan waktu.
2. Demokrasi Bentuk atau sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya
turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya yang
terpilih.
3. Berita bohong Fakta yang diplintir atau direkayasa untuk tujuan lelucon
hingga serius
4. Perundungan dunia maya Perbuatan fitnah, penghinaan,diskriminasi, pengungkapan
informasi atau konten yang bersifat privacy dengan maksud
mempermalukan.
Komentar yang menghina,menyinggung secara terang-
terangan
5. Tim sukses Sekelompok orang yang bertugas untuk memperjuangkan
calon yang diusungnya (Capres, Cagub, Cabup/ Cawakot)
agar berhasil meraih kemenangan dalam suatu pemilihan.
6. Komisi Pemilihan Umum Lembaga atau badan yang dibentuk oleh presiden yang
terdiri atas wakil pemerintah dan partai politik untuk
melaksanakan pemilihan umum, dipimpin oleh seorang
ketua dari salah satu wakil tsb.
7. Kampanye Adalah kegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi politik
atau calon yang bersaing memperebutkan kedudukan dalam
parlemen dan sebagainya untuk mendapat
dukungan massa pemilih dalam suatu pemungutan suara
8. Visi dan Misi Kemampuan melihat gambaran/wawasan masa depan yang
diinginkan berdasarkan penglihatan, pengamatan,
perbandingan kondisi yang ada keadaan sekarang.
9. Organisasi peserta didik Intra Suatu organisasi yang berada di
Sekolah (OSIS) tingkat sekolah di Indonesia yang dimulai dari Sekolah
Menengah yaitu Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan
Sekolah Menengah Atas (SMA). OSIS diurus dan dikelola
oleh murid-murid yang terpilih untuk menjadi
pengurus OSIS. Biasanya organisasi ini memiliki seorang
pembimbing dari guru yang dipilih oleh pihak sekolah.
10. Surat suara Surat pemilih.
11. Bilik suara Tempat memberikan suara yang umumnya berupa bilik
suara, di mana pemilih bisa memilih calon atau partai
pilihannya secara rahasia.
12. Kotak suara Kotak dalam pemilihan calon anggota dpr (lurah dan
sebagainya) kotak tempat memasukkan lembaran
yang sudah diisi oleh pemilih.
No Kegiatan/Proyek : Y Tidak
. a
1. Apakah kegiatan ini mudah/sulit dilakukan ? Jelaskan !
2. Apakah ada bagian dari kegiatan yang paling saya suka? Jelaskan !
3. Apakah saya sudah melakukan kegiatan ini dengan baik? Jelaskan !
4. Adakah strategi yang sudah saya lakukan berhasil dengan baik?
Jelaskan !
Saya merasa senang sudah menyelesaikan kegiatan ini? Jelaskan !
6. Saya berhak mendapatkan nilai yang sangat baik/baik/cukup/kurang (pilih
salah satu) dalam melaksanakan proyek/kegiatan ini? Jelaskan!
Nama:
Sebagian
Kriteria (dengan Belum Sesekali Selalu
besar
narasi penjelasan) terlihat terlihat terlihat
terlihat
1. Saya bersedia mendengarkan pendapat teman
4. RUBRIK/REFLEKSI GURU
PERTEMUAN I
Demokrasi dan Media Sosial
b. Motivasi
Guru Pendamping (GP) dengan suara lantang dan penuh semangat menyapa peserta
didik (PD).
GP: Selamat Pagi
PD: Pagi, Pagi, Selamat Pagi
GP: Apa Kabar Hari Ini?
PD: Baik, Luar Biasa Tetap Semangat.
GP: Indonesia
PD:Selalu Di Hati (sambil menyilangkan jari telunjuk dan ibu jari)
Guru Pendamping membimbing peserta didik untuk menyanyikan lagu Indonesia
Raya
c. Apersepsi
Guru Pendamping mengkonfirmasi apakah peserta didik sudah menyimak video
tentang demokrasi dan sudah membuat catatan tentang isi video tersebut.
Guru Pendamping mengajukan beberapa pertanyaan pemantik yang bisa dipakai:
1) Ada yang tahu apa itu demokrasi?
2) Coba apa saja ciri-ciri demokrasi?
3) Bagaimana pendapat kalian mengenai kebebasan berpendapat? Apakah kebebasan
berpendapat boleh dibatasi atau tidak? Apa alasannya?
Guru Pendamping menyampaikan tema P5 dan menegaskan relevansi penggunaan
media sosial saat ini untuk menyuarakan pendapat (demokrasi).
Sudah sejak dua pemilihan umum nasional terakhir (2009 dan 2014) media sosial menjadi suatu ranah
baru yang perlu diperhitungkan. Silakan dicermati, dalam dua pemilu terakhir itu kita melihat
penggalangan massa kampanye dalam bentuk pawai, pertemuan besar di lapangan terbuka, dan
sebagainya, mendapat saingan berat dengan adanya media sosial, yang telah menghasilkan lapangan baru
untuk berkompetisi, saling cari simpati, serta mencerca para pesaing.
Pertanyaannya kemudian adalah, ketika media sosial makin berkembang dan mulai mengungguli
pertemuan massal yang bersifat fisik, apakah kompetisi atau kontestasi politik ini menjadi berjalan lebih
baik atau menjadi lebih anarkis? Atau dalam bahasa lain, apakah media sosial betul memberikan suatu
sumbangan bagi situasi demokrasi deliberatif (musyawarah), di saat berbagai pihak yang berkontestasi
mendapat ruang untuk didengar dan akhirnya, mereka yang terbaiklah yang kemudian menjadi pilihan
masyarakat?
Jika kita bicara dari konteks yang negatif, mana yang lebih merugikan, pengerahan massa lewat pawai
yang rentan berbenturan dengan kelompok massa lainnya atau pengerahan opini, misinformasi, fabrikasi
yang dihasilkan dalam bentuk informasi lewat media online atau media sosial, yang bisa menghasilkan
kecurigaan lebih dalam, antipati pada kelompok lain, dan ketidakmauan mendengar pandangan yang
berbeda?
Sebelum menjawab itu dalam konteks Indonesia, kita mungkin perlu mencermati mengapa majalah asal
Inggris, The Economist, dalam edisi 4-10 November 2017 sampai menulis headline ‘Social media’s threat
to democracy?’ Apakah sedemikian parahnya situasi media sosial yang ada saat ini sehingga The
Economist tak ragu menyebutnya sebagai ‘ancaman bagi demokrasi’. Dalam konteks apa, The Economist
sampai pada kesimpulan demikian?
Editorial yang diajukan The Economist menyebutkan ‘media sosial pernah tampil dengan suatu harapan
bahwa mereka akan memberikan pencerahan pada dunia politik, penyampaian informasi yang akurat, dan
komunikasi yang tak henti-hentinya ditujukan untuk membantu orang-orang baik untuk memberantas
korupsi, memerangi kebodohan, serta mengungkap kebohongan’. Akan tetapi, melihat kenyataannya,
harapan tadi tinggallah harapan yang menjadi niatan baik, tetapi sulit terwujud sebagai kenyataan.
Berkaca pada pemilihan umum di Amerika pada 2015, data yang dikutip The Economist menunjuk pada
kenyataannya banyak sekali warga Amerika yang mengakses misinformasi yang dilakukan Rusia dalam
platform seperti Facebook dan kanal Youtube.
The Economist menambahkan fenomena politik menjadi makin buruk tidak hanya terjadi di Amerika,
tetapi juga di Spanyol dan Afrika Selatan. The Economist menyimpulkan ‘penggunaan media sosial tidak
hanya menyebabkan keterbelahan dalam masyarakat, tetapi juga penyebarluasan keterbelahan itu’.
Majalah ini berharap media sosial, walaupun telah disalahgunakan sejumlah pihak, dengan suatu
keinginan kuat, masyarakat dapat meredamnya dan mimpi tentang pencerahan dalam masyarakat masih
akan bisa terwujud.
Kita sama-sama tahu bahwa fenomena hoaks telah mencemari atau menebar racun dalam demokrasi yang
kita jalani saat ini. Filsuf Jerman, Jurgen Habermas, percaya bahwa masyarakat perlu menerapkan apa
yang ia sebut sebagai demokrasi deliberatif, yaitu kesempatan kepada banyak pihak untuk menyampaikan
pendapat mereka, yang paling berbeda sekalipun, dan kemudian membiarkan masyarakat mengambil
keputusan atas informasi yang beragam tersebut.
Hoaks di sini bukanlah merupakan bagian dari demokrasi karena jika diteropong lewat pendekatan
kebebasan memperoleh informasi (freedom of information), masyarakat perlu memiliki informasi yang
lengkap dan terbuka untuk mengambil keputusan dalam pelbagai aspek kehidupannya.
Apa yang akan terjadi jika informasi yang ingin dijadikan pegangan ialah informasi yang tak akurat,
sengaja dipelintir ataupun difabrikasi? Hoaks ini racun bagi suatu kebebasan memperoleh informasi,
sementara kita sering mendengar bahwa kebebasan memperoleh informasi adalah oksigen bagi
demokrasi.
Sumber: https://mediaindonesia.com/indonesia-2018/135752/media-sosial-dan-demokrasi-harapan-atau-
ancaman
Media Sosial dan Demokrasi Harapan atau Ancaman? (Part 2)
Ignatius Haryanto, Dosen Jurnalistik di Universitas Multimedia Nusantara, Serpong, Tangerang
Media sosial di Indonesia yang terkait dengan politik berkembang atas tiga motif dasar menurut saya.
Pertama ialah sebagai bagian dari perluasan pengaruh politik dari kandidat tertentu kepada para
konstituennya ataupun kepada mereka yang belum punya pilihan. Kedua, sebagai bagian dari strategi
kampanye sekaligus strategi menyerang yang ditujukan pada pihak lawan. Ketiga, sebagai bagian dari
kegiatan ekonomi yang bisa bertumpang tindih dengan motif lainnya. Atas dasar itulah, kita akan melihat
media sosial bakal semakin masif dipergunakan politisi, para pendukung, dan elemen lainnya untuk
memenangi pertarungan politik.
Pembuatan konten tertentu untuk menjatuhkan lawan, mempromosikan kandidat sendiri, pastilah akan
marak dalam tahun mendatang dan hal ini tak mengherankan. Kelihatannya problem soal hoaks tidak
akan berhenti sampai di sini, malah ia menemukan momentum untuk terus berkembang dan dimanfaatkan
kelompok mana pun. Apakah di sini lalu kita bisa menilai, apakah media sosial memberikan kontribusi
positif pada pembentukan jembatan untuk memperkecil rasa curiga, memperbesar apresiasi, dan mencari
titik-titik temu di antara dua atau tiga kubu yang bertarung?
Rasanya kita harus jujur untuk mengatakan media sosial cenderung memperluas jurang perbedaan
antarkelompok yang ada dan media sosial tak lebih dari suatu ekstensi (perpanjangan) dari politik elite
yang dilakukan para kandidat dan menyebarluaskan kepada para pendukung mereka. Dengan logika
algoritma yang ada dalam media sosial, kita akan cenderung mengonsumsi apa yang ‘sejalan dengan
pikiran kita’ dan kita cenderung ‘menghindar atau tak mau mengonsumsi apa yang datang dari seberang’.
Jika bicara politik dalam arti elite, kita mungkin akan jatuh pada pesimisme karena lalu kita akan terjebak
pada politik ‘zero sum game’. Dia menang atau kita menang. Tak ada ruang dialog, tak ada ruang
bargaining, tak ada ruang dialog argumentatif yang memberi ruang-ruang untuk saling mendengar dan
menerima pandangan pihak lain. Media sosial menjadi tempat semua kekesalan itu ditumpahkan. Digital
media literacy Dalam kondisi semacam ini, lalu apa yang perlu kita lakukan?
Jika media sosialnya sendiri lewat hukumnya yang berlaku memang sulit melakukan perubahan, yang
perlu diintervensi adalah para penggunanya. Ya, kita sendiri. Jika kita menjuluki perangkat gadget yang
kita pegang itu sebagai ‘smartphone’, apakah penggunanya (ya, kita sendiri) sudah lebih pandai daripada
gadget itu sendiri? Jangan-jangan kita malah tertinggal jauh. W James Potter menulis Media Literacy
(2013, 6th Ed) dan ia mengatakan literacy awalnya merujuk pada kemampuan seseorang untuk membaca
bahan yang tertulis.
Dalam perkembangannya literacy berkembang menjadi visual literacy, story literacy, computer literacy,
dan kini digital media literacy. Jadi digital media literacy berarti kemampuan seseorang untuk bisa
memproses informasi yang datang dari aneka jenis platform (mulai yang mainstream hingga yang digital).
Satu hal yang ditekankan Potter--walau ia mengambil sisi yang lebih seimbang--konsep media literacy
berangkat dari asumsi ‘media itu bisa merusak’. Namun, Potter mencoba ingin menyeimbangkan
pendapat bahwa media bisa merusak, tapi media juga bisa membantu, bisa mencerahkan, bisa berguna,
dan lain-lain.
Dalam konteks ini media sosial yang sama, yang bisa dipergunakan untuk menyerang lawan, merusak
reputasi dan lain-lain, juga bisa dipergunakan untuk membangun kebersamaan, menjembatani disharmoni,
serta menyebarluaskan pencerahan bagi masyarakat. Butuh pihak yang memikirkan dan bekerja untuk hal
ini karena percepatan kepemilikan dan penggunaan media sosial sedemikian masif di Indonesia dan
secepat itu pula kita membutuhkan pendidikan digital media literacy bagi para pengguna gadget di sekitar
kita. Dengan pengetahuan serta ketrampilan digital media literacy, kita akan diajak untuk menggunakan
media secara bijak, tidak jatuh dalam perangkap menyebarluaskan ungkapan kebencian (hate speech),
tidak jadi konsumen dan distributor hoaks. Sebaliknya, bisa menjadi peredam efek negatif media sosial
dan bahkan bisa menghasilkan sesuatu yang lebih produktif dan bermanfaat dari media sosial yang kita
miliki, dan kita pergunakan sehari-hari itu.
Lewat pendekatan nonelite seperti ini, mungkin kita bisa kembali menaruh harapan pada media sosial
sebagai sesuatu yang mencerahkan, punya kekuatan dan daya jangkau yang luar biasa mengagumkan.
Niatan-niatan baik akan bisa disokong siapa pun walaupun kita memiliki pilihan politik yang berbeda.
Media sosial perlu dikembalikan pada fungsi mencerahkan seperti ini, setelah sekian lama diperalat untuk
pengabdian pada kepentingan politik kekuasaan semata. Untuk itu, mari kita bersiap untuk turut
berpartisipasi memanfaatkan media sosial yang lebih mencerahkan itu.
Sumber: https://mediaindonesia.com/indonesia-2018/135752/media-sosial-dan-demokrasi-harapan-atau-
ancaman
Menyampaikan Aspirasi Masyarakat Melalui Media Sosial
Semakin terbukanya informasi dan lebarnya ruang kebebasan dalam mengeluarkan pendapat
merupakan salah satu hal positif yang dapat dirasakan oleh masyarakat Indonesia pascareformasi.
Masa reformasi bisa disimbolkan sebagai sebuah keran baru, di mana aliran aspirasi masyarakat bisa
secara deras mengalir menuju kepada pihak-pihak yang diinginkan. Kebekuan penyampaian
pendapat pada masa lalu juga tidak lepas dari terbatasnya saluran yang dipakai untuk
menyampaikan pendapat.
Hadirnya teknologi komunikasi telah mengubah kehidupan manusia. Media sosial menjadi alternatif
bagi manusia untuk tidak hanya berinteraksi, tetapi juga mengekspresikan pikiran, gagasan, maksud,
perasaan, dan sebagainya. Sebagai alat penyebaran informasi yang menekankan kecepatan
informasi, media sosial dapat mengatasi hambatan jarak dan waktu.
Berbagai jenis informasi tersaji dalam genggaman manusia sesuai kehendaknya dalam hitungan
menit. Media sosial dengan beragam platformnya menjadi alternatif bagi masyarakat untuk
menyampaikan pendapat dengan berbagai bentuknya.
Ada beberapa dasar hukum yang mengatur kebebasan berpendapat, Undang-Undang Nomor 9
Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, Pasal 23 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, berbunyi "Setiap orang bebas
untuk mempunyai, mengeluarkan, dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara
lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai
agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa", Undang-Undang Dasar
1945 dalam Pasal 28, berbunyi "Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran
dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang".
Meskipun demikian, masyarakat dalam mengeluarkan pendapatnya harus menghargai hak orang
lain, bertanggung jawab dengan apa yang dibuatnya, serta tunduk pada hukum yang berlaku.
Menyampaikan aspirasi menggunakan media sosial seharusnya bisa menjadi langkah efektif karena
persebaran informasi yang sangat cepat bahkan dalam hitungan menit pun bisa menjadi ramai dan
banyak diperbincangkan, yang menjadi masalah di sini adalah 'mereka' akan mendengar atau tidak.
Selain itu, ada UU ITE yang ironisnya justru mengancam kebebasan berekspresi yang telah
diperjuangkan pada era reformasi. UU ITE dikeluarkan pada pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono dengan niat untuk melindungi konsumen dalam melakukan transaksi elektronik di
tengah meluasnya penggunaan internet dalam perekonomian nasional.
Namun, dalam pelaksanaannya, UU ITE disalahgunakan pemerintah dan aparat untuk
membungkam para pihak yang mengkritik negara. Hal ini tentu saja mencederai kebebasan
berekspresi masyarakat yang terus merosot, yang bisa dilakukan adalah mendorong penghapusan
pasal-pasal UU ITE yang rentan disalahgunakan untuk membatasi kebebasan berpendapat.
Sejatinya undang-undang kebebasan berpendapat melindungi kita yang bertujuan menyuarakan
pemikiran kita, tetapi jangan lupa bahwa undang-undang juga melindungi kedamaian negara dari
perpecahan atas perbedaan dengan maksud ujaran kebencian.
Sumber : https://www.kompasiana.com/azkiyaazulfa2357/5fe4af0e8ede4815b44ccd22/
menyampaikan-aspirasi-masyarakat-melalui-media-sosial
Kreator: Azkiya A Zulfa
Media Sosial Merupakan Corong Aspirasi Rakyat
Demokrasi digital menuntut masyarakat untuk berpartisipasi dalam hal instrumen untuk berekspresi dan
beraspirasi secara bebas dan bertanggungjawab. Dalam teori Politik menegaskan bahwa ketika tingkat
partisipasi politik rendah maka untuk mengatasi masalah ini ada dua yaitu moderenisasi dan meningkatkan
komunikasi massa.
Demokrasi juga membuka ruang seluasnya gerbang transparansi sehingga ini berbanding lurus dengan
persamaan dari media internet yaitu kebebasan dan transparansi. Teknologi digital memberikan dampak
positif yang menonjol sehingga rakyat tidak lagi kaku untuk menyalurkan aspirasi yang diinginkan dan harus
dikerjakan oleh pemangku kebijakan publik.
Pada zaman sebelum adanya media sosial rakyat dihadapkan pada situasi yang serba terbatas dalam
meningkatkan partisipasi politik terutamanya terutama menyampaikan aspirasi misalnya dahulu rakyat hanya
menyampai aspirasi manakalah diadakan musyawarah rencana pembangunan disetiap tingkatan atau datang
menemui pejabat secara langsung namun saat ini semua sudah berbanding terbalik kran demokrasi semakin
terbuka bagi siapapun dari manapun untuk turut serta berpartisipasi menyampaikan aspirasi sehingga dibaca
oleh pejabat atau politikus-politikus, aparatur daerah, aparatur desa untuk ditindaklanjuti secara bijak melalui
tanggungjawab yang diamanatkan oleh rakyat dan kesempatan itu terbuka lebar baik melalui akun pribadi
atau grup-grup media sosial seperti facebook (ada grup Forum Peduli Rakyat Indonesia, Grup Save Ahok,
grup Forum Peduli Rakyat Sikka, Grup Forum Rakyat Pencari Keadilan, Grup Margasiwa, Grup Kelompok
Cipayung dan lain-lain ) ada juga berbagai grup baik di WA,Line, BBM, Twiter, Blog, Website.
Sampai saat ini dalam teori yang diungkapkan berbagai ahli tentang sejarah Komunikasi Politik dunia
mencatat setidaknya ada tiga generasi berbeda dalam ruang untuk menyalurkan aspirasi diantara rakyat dan
pemangku kebijakan
Di era ini, pesan komunikasi politik diarahkan oleh kemampuan seni berbicara (art of speech). Era ini
muncul sejak zaman romawi dan yunani, ketika politikus tersebut berpidato maka rakyat akan berbondong-
bondong untuk datang mendengarkan apa yang ingin disampaikan oleh politikus contoh paling dekat dan
nyata sejarah politik di Indonesia yaitu Presiden pertama Indonesia Bapak Ir. Soekarno yang biasa disapa
Bung karno.
Generasi media massa, di era ini kemampuan bicara saja dianggap tidak cukup, perlu sarana untuk
menyebarluaskan pesan politik yang ingin disampaikan sehingga terjawab dengan munculnya media massa
seperti koran dan lain-lain. Konon siapa yang menguasai media massa, ia akan berpeluang besar terpilih
dalam panggung politik.
Generasi Media sosial. Ini generasi internet akan berbeda dengan media konvensional. Jika sebelumnya
media ada ditangan pemilik modal maka diera ini media sudah ada ditangan setiap rakyat. Yang dahsyat
dalam era ini adalah kekuatan jaringan jika setiap penguna akun media sosial bersatu untuk mewujudkan misi
tertentu maka proses untuk mewujudkan misi tertentu itu akan berhasil ambil contoh negara tertutup seperti
mesir saja bisa ditembus kekuatan media sosial sehingga kekuatan pemimpin otoriter Husni mubarak
memilih mundur dari kursi Presiden dan terpilihnya Barack obama menjadi Presiden As serta Pa Joko
Widodo menjadi Presiden Indonesia beberapa tahun lalu juga berkat kekuatan yang dibangun melalui
jaringan facebook dan twiter kemudian ada juga kekuatan netizen seperti penolakan kenaikan BBM,
penolakan kepala daerah dipilih oleh DPRD, save KPK,Kasus korupsi, kasus dugaan penistaan agama dll.
Derasnya arus media sosial langsung diantisipasi oleh pemerintah indonesia dengan membuat regulasi
sebagai langkah meminimaliasir hal-hal yang menyimpang dari kultur budaya Indonesia yaitu membuat
Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau Undang Undang nomor 11 tahun 2008 atau UU ITE
adalah UU yang mengatur tentang informasi serta transaksi elektronik, atau teknologi informasi secara
umum. UU ini memiliki yurisdiksi yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar
wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan atau di luar wilayah
hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia
Pemerintah juga saat ini kerepotan dengan membanjirnya berita-berita bohong di internet. Malah, Presiden
Joko Widodo telah memerintahkan pembentukan Badan Cyber Nasional (BCN) Namun, juru bicara
presiden, Johan Budi ketika dikonfirmasi BeritaBenar, Jumat, 6 Januari 2016, menjelaskan bahwa rencana
pembentukan BCN tak ada hubungan dengan banyaknya beredar hoax. “Tujuan direalisasikan Badan Cyber
Nasional untuk mengamankan fasilitas jaringan di sistem internet pemerintah dari serangan hacker. Jadi
sebenarnya untuk membangun sistem yang aman, melindungi dari cyber crime.
Media sosial bisa dikatakan secara terang benderang sebagai corong aspirasi rakyat Indonesia sejalan dengan
semangat demokrasi dan HAM yang dijelaskan dalam UUD 1945. Untuk itu demokrasi digital melalui media
sosial harus senantiasa disikapi secara kritis dan profesional. Jika ada hal positif mari kita tampung dan
menyebarluaskan kepublik dan Jika ada hal Negatif dieliminiasi sehingga tidak menjadi konsumsi publik.
Sumber : https://www.kompasiana.com/wilbrotkrado/58cca7982223bdee0e864961/media-sosial-merupakan-
corong-aspirasi-rakyat
Kreator: Higinus Wilbrot
Salurkan Aspirasi di Media Sosial, Masyarakat Jangan Terprovokasi oleh Postingan Fake
16/05/2022 webmaster 156 Views literasi digital aptika
Pada era digital saat ini, informasi sangat mudah untuk ditemukan dan ruang digital dapat diimplementasikan sebagai
sarana untuk berdemokrasi bagi setiap masyarakat. Di sejumlah media sosial (medsos) peristiwa yang terjadi bisa
langsung disiarkan.
Hesty Deasy Sondakh selaku Jurnalis Media Kosultan mengatakan bahwa suatu informasi dapat kita percaya apabila
berita tersebut memiliki informasi yang akurat. Berita yang akurat terlihat dari pembuat beritanya yang sudah dibekali
dengan kaidah-kaidah jurnalis. Tentu saja yang harus jurnalis sampaikan adalah fakta dari informasi yang diberikan.
“Kekurangannya, masyarakat butuh waktu lebih lama untuk bisa mendapatkan informasi tersebut,” kata Hesty selaku
narasumber pada Webinar Literasi Digital yang digelar oleh Direktorat Jenderal APTIKA Kominfo RI dengan tema
“Pemanfaatan Ruang Digital sebagai Wadah Penyaluran Aspirasi” secara virtual, Jakarta (16/05/2022).
Menurutnya, peristiwa yang terjadi saat ini hanya dalam waktu 60 detik langsung terposting dan tersiar ke pengguna
medsos lainnya. Tentu saja dengan informasi apa adanya atau ala kadarnya saja. Kekurangannya adalah informasi yang
keluar di medsos tidak sesuai kaidah jurnalis. Atau informasinya tidak lengkap dan menimbulkan persepsi yang
berbeda-beda bagi para pembacanya.
“Saat ini, akses pengguna internet sudah sekitar 70% di Indonesia atau 279 juta orang yang mengakses internet,”
sebutnya. Berdasarkan riset dari Katadata Insight Center (KIC) dan Kominfo pada tahun 2021 masyarakat masih lebih
percaya medsos sebagai sumber informasi. Sebanyak 73% responden mengatakan, media sosial merupakan sumber
yang biasanya diandalkan untuk mendapatkan informasi. Disusul televisi (59,7%), berita online (26,7%), dan situs resmi
pemerintahan (13,9%).
“Semua yang viral dalam hal ini aspirasi yang viral lebih cepat ditanggapi oleh para pemangku kebijakan,” ungkap
Hesty. Dalam menyampaikan aspirasinya Hesty berharap agar masyarakat tetap dilakukan secara beretika, sopan, dan
bijaksana.
Sementara itu, narasumber berikutnya Wakil Bendahara DPD Persikindo Riau, Ema Susilawati mengatakan bahwa saat
ini teknologi informasi dan komunikasi telah terbukti sebagai sarana komunikasi dan sumber informasi yang sangat
handal. Teknologi tersebut telah dimanfaatkan hampir di setiap aspek kehidupan manusia, baik dari pekerjaan,
pendidikan, maupun dalam pemerintahan.
Media komunikasi telah menjadi salah satu kebutuhan utama bagi setiap orang. Hal ini seiring dengan ditemukannya
perangkat-perangkat media yang berbasis internet, seperti media sosial (instagram, facebook, WA dan sebagainya).
“Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) merupakan suatu program, untuk alat bantu, manipulasi dan
menyampaikan informasi. TIK adalah payung besar terminologi yang mencakup seluruh peralatan teknis untuk
memproses dan menyampaikan informasi,” kata Ema.
Menurutnya, meski pada awalnya peran komunikasi kewargaan masih dipegang oleh media massa konvensional. Akan
tetapi media massa konvesional dinilai belum mampu membangun sistem politik yang lebih demokratis. Hal itu
diakibatkan masih tingginya komersialisme pasar media massa yang membuat adanya pengabaian peran komunikasi
untuk tampil lebih demokratis bagi warga negara.
“Dengan demikian kehadiran media baru telah menghilangkan batasan maupun perantara antara publik dengan
pengambil kebijakan yang dapat menciptakan komunikasi dua arah,” ungkap Wakil Bendahara DPD Persikindo Riau.
Dengan kata lain media baru sangat ideal untuk dapat menempati ruang publik bagi masyarakat sipil di antara ranah
pribadi dan otoritas negara. Dengan begitu media sosial dapat dikatakan sebagai ruang publik baru yang lebih terbuka
untuk saluran interaksi, pertukaran gagasan hingga membangun komunikasi dua arah lainnya yang memungkinkan
warga negara mengekspresikan aspirasinya.
Narasumber terakhir, Hillary Brigitta Lasut, S.H., LL.M selaku Anggota Komisi I DPR RI mengatakan bahwa kemajuan
teknologi saat ini telah mengubah cara masyarakat untuk berinteraksi, khususnya dalam proses penyaluran aspirasi.
Jika di jaman sebelumnya proses penyaluran aspirasi dilakukan secara manual, (door to door) atau juga secara person to
person menyebabkan terjadinya banyak keluhan yang seakan-akan aspirasi masyarakat tidak banyak didengar, bahkan
sampai terjadi krisis kepercayaan kepada pemerintah.
Dengan hadirnya ruang digital ini memudahkan masyarakat untuk memviralkan suatu postingan untuk mendapatkan
dukungan aspirasinya dan cepatnya tindak lanjut yang dilakukan pemerintahan.
“Sayangnya seringkali postingan tersebut membuat keburaman dalam proses demokrasi, ada banyak oknum yang tidak
bertanggung jawab untuk memviralkan berita fake yang membuat banyak masyarakat terprovokasi,” ujar Hillary.
Fenomena tersebut harus menjadi momentum oleh pemerintah atau wakil rakyat agar lebih selektif dan objektif dalam
menentukan aspirasi mana yang benar dari masyarakat. Dan masyarakat juga harus memperhatikan akun-akun hack
yang isi postingannya adalah postingan fake yang ditujukan untuk merubah kebijakan tanpa memperdulikan aturan atau
undang-undang yang berlaku, sehingga membuat demokrasi kita menjadi kebablasan dan salah arah.
Demokrasi Digital Era Media Sosial
Tak dapat dipungkiri, perkembangan media sosial akhir-akhir ini telah turut andil dalam menentukan
kebijakan di negeri kita. Banyak kebijakan yang "terpengaruh" dengan iklim dan tren di media sosial.
Pengaruh media sosial yang begitu masif ini tentu menarik untuk dikaji lebih dalam mengingat begitu
besarnya kekuatan yang dimiliki dan banyaknya kelompok kepentingan yang memainkan peran signifikan
dalam wadah media sosial di dunia maya.
Istilah facebookers, twitterland, IG-ers adalah salah satu ungkapan yang kerap muncul dalam memonitor
pelaku yang aktif bermedia sosial mewakili Facebook, Twitter, dan Instagram. Perilaku ini setidaknya
melibatkan berbagai pihak dan tanpa mengenal kategori (bercampur), baik berupa batasan umur, gender,
agama, suku, asal daerah dan sebagainya. Kadang, informasi yang disuguhkan di media sosial ini juga sangat
rentan keabsahannya, mengingat sumber yang tidak jelas (sumir), referensi tidak akurat, bahkan anonim.
Sehingga banyaknya informasi di dunia maya tidak boleh serta merta kita telan secara bulat, namun mesti
kita pilah dan pilih serta "klarifikasi" agar mendapatkan gambaran yang utuh atas suatu peristiwa atau
kejadian, serta tidak mengambil kesimpulan secara instan.
Bias informasi inilah yang sesungguhnya sangat berbahaya bagi para pengambil kebijakan. Apabila
informasi yang di-input adalah informasi yang tidak bernilai (sampah/hoax), maka sangat mungkin
menghasilkan kebijakan yang tidak memuaskan publik secara luas. Namun, kenyataan ini membuat posisi
tawar medsos hampir sama dengan partai politik. Mengapa demikian? Fungsi sosialisasi politik, kaderisasi
sampai kepada akselerasi komunikasi politik juga dilaksanakannya.
Dalam sosialisasi politik, kerapkali medsos digunakan sebagai alat propaganda politik, sedangkan dalam hal
kaderisasi politik terbentuk grup-grup yang tertarik dengan masalah politik serta mengangkat isu-isu politik.
Mengenai akselerasi komunikasi politik, sudah sangat jelas bahwa media sosial "sangat diperhitungkan"
untuk saat ini. Namun jika ditelaah lebih jauh, mungkin medsos ini lebih berafiliasi kepada kelompok
penekan (pressure group) yang turut andil dalam menyumbang lahirnya pandangan atau opini dalam
masyarakat. Opini yang terbelah antara yang pro dan kontra biasanya lebih mudah disalurkan melalui media
sosial ini.
Fenomena Medsos
Media sosial yang kita kenal sekarang ini, tidak terlepas dari semakin meluasnya jaringan internet.
Setidaknya dalam dua dasawarsa pengguna internet naik sangat signifikan di seluruh dunia. Dalam data
setidaknya dapat kita lihat betapa pertumbuhan internet hampir berkejaran dengan pertumbuhan populasi
penduduk dunia. Sampai akhir 2018, populasi dunia mencapai 7,6 miliar, sedangkan pengguna internet sudah
mencapai 4,1 miliar orang, dan yang aktif dalam bermedia sosial mencapai angka 1,8 miliar orang
(www.worldometers.info).
Situs tersebut juga mempublikasikan bahwa setidaknya dalam setiap menit sebanyak 200 ribu konten
Facebook di bagikan, 100 ribu tweet, 48 jam video di-upload, 2 miliar pencarian (melalui Google), dan
kurang lebih 220 ribu konten foto dibagikan melalui Instagram. Data ini menunjukkan bahwa pertumbuhan
penetrasi internet turut andil dalam meluasnya penggunaan jejaring media sosial dalam masyarakat.
Di Indonesia hal serupa juga terjadi. Laporan Essential Insight Into Internet, Social Media, Mobile, and E-
Commerce Use Around The World yang diterbitkan 30 Januari 2018 dikutip Harian Kompas (1/3/2018)
mencatat bahwa jumlah populasi Indonesia yang mencapai 265,4 juta jiwa, pengguna media sosialnya
sebanyak 130 juta dengan penetrasi 49 persen. Sebanyak 120 juta orang Indonesia menggunakan perangkat
mobile, seperti smartphone atau tablet untuk mengakses media sosial.
Dalam sepekan, aktivitas online di media sosial melalui smartphone di Indonesia mencapai 37 persen.
Berdasarkan aplikasi media sosial yang diunduh, Whatsapp, Facebook, Instagram, dan Line adalah 4 (empat)
besar favorit yang paling sering diakses. Perkembangan penggunaan media sosial yang semakin pesat ini
memungkinkan daya tekan medsos semakin besar, khususnya bagi para pengambil kebijakan. Kondisi ini
tentu akan menjadi ruang yang semakin terbuka bagi komunitas medsos untuk semakin eksis dan
menggalang diri dalam suatu perkumpulan yang pada akhirnya menjelma menjadi kelompok penekan
(pressure group).
Dalam teori sistem politik David Easton disebutkan bahwa kelompok penekan ini sesungguhnya memiliki
kedudukan penting dalam mengartikulasi dan mengagregasi kepentingan untuk penguasa (Budiarjo, 1996).
Artinya, mereka yang tergabung dalam komunitas media sosial memiliki posisi tawar yang semakin menguat
seiring dengan semakin bertambahnya pengguna. Salah satu contoh kasus terbaru adalah pembatalan remisi
Susrama, terpidana pembunuh wartawan di Bali, karena tekanan pengguna medsos.
Dari keadaan yang ada dan pentingnya media sosial dalam dasawarsa ini, tak salah juga kiranya media social
menjadi entitas "partai maya". Sebutan dengan menggunakan istilah "partai maya" hanyalah ungkapan bahwa
telah terjadi mis-kanalisasi artikulasi dan agregasi kepentingan yang ada dalam masyarakat, khususnya
menyangkut fungsi yang dimiliki oleh partai politik dan juga pemerintah. Pada akhirnya kondisi ini memaksa
publik mencari jalan untuk dapat menyalurkan aspirasinya. Tersumbatnya kanal aspirasi ini akhirnya
menyebabkan pilihan jatuh pada media sosial.
Adanya kebuntuan aspirasi ini menyebabkan semakin intensnya pengguna media sosial. Melihat kenyataan
ini, para penyelenggara negara pun akhirnya banyak yang menjadikan media sosial sebagai jembatan untuk
menyerap aspirasi publik di samping juga menjadi media sosialisasi program atau kebijakan yang telah
dilakukannya. Sebut saja Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil,
Gubernur Kepulauan Bangka Belitung Erzaldi Rosman Djohan, dan juga Presiden Joko Widodo aktif dalam
media sosial.
Fenomena media sosial yang semakin masif ditambah juga dengan kemudahan akses baik melalui komputer
maupun gadget (smartphone) serta media portabel lainnya menambah semarak permedsosan di Tanah Air.
Selain sebagai penyuara aspirasi, media sosial juga berfungsi sebagai kontrol sosial. Artinya jika ada
kebijakan yang dirasakan merugikan kepentingan publik dan cenderung tidak populer, maka publik akan
meresponsnya dengan cepat. Opini publik yang tergalang melalui media sosial juga menjadi amunisi untuk
dapat menekan para pembuat kebijakan terkait dengan isu publik tersebut.
Jika memang posisi media sosial begitu penting saat ini, kiranya kita tidak berlebihan mengatakan bahwa
media sosial menjadi "partai" baru yang turut memainkan peran partai yang sesungguhnya. Akhir kata, media
komunikasi dalam wadah media sosial selayaknya memang mendapat perhatian serius dari para pengambil
kebijakan, karena secara de facto opini yang berasal dari media sosial ternyata sangat diperhitungkan. Ke
depan, kita semua berharap selayaknya media sosial bisa semakin sehat, informatif dan komunikatif, jauh
dari isu SARA yang memecah belah dan fitnah. Untuk mewujudkan semua iu diperlukan peningkatan
literasi, kebijaksanaan, kedewasaan dan akal sehat dari para penggunanya.
Baca artikel detiknews, "Demokrasi Digital Era Media Sosial" selengkapnya https://news.detik.com/kolom/d-
4569835/demokrasi-digital-era-media-sosial.
Etika dalam Berpendapat di Media Sosial (part 1)
Berdasarkan laporan pada awal tahun 2020, pengguna internet di Indonesia saat ini sudah mencapai angka 64
persen dari 272,1 juta populasi (Pertiwi, 2020). Angka ini tentu terus bertambah seiring waktu karena adanya
perkembangan zaman dan tuntutan untuk penggunaan internet. Salah satu faktornya juga termasuk pandemi
Covid-19. Pandemi ini menuntut banyak pekerja dan siswa-siswi untuk beraktivitas di rumah saja. Hal ini
juga menjadi cara baru dalam bekerja dan belajar, hanya melewati aplikasi dengan fitur video call ataupun
conference.
Perkembangan pengguna internet juga meningkatkan pengguna aktif media sosial. Sebagian besar pengguna
internet di Indonesia, kenyataannya menggunakan internet untuk mengakses media sosial. Pernyataan ini
didukung dengan jumlah pengguna aktif media sosial di Indonesia yang mencapai 59% total populasi, atau
sekitar 160 juta pengguna.
Selain itu, Indonesia juga menempati urutan tinggi pada peringkat mengenai rata-rata waktu penggunaan
media sosial per hari. Dilansir dari BBC, Indonesia menempati peringkat ke-2 di Asia dengan rata-rata waktu
penggunaan media sosial sebanyak 3-4 jam per harinya.
Perkembangan ini tentu berkaitan erat dengan perkembangan tuntutan akan kebebasan berpendapat di
media sosial. Kebebasan berpendapat di media sosial awalnya memang merupakan hal yang wajar,
mengingat adanya Pasal 28 Ayat 3 UUD 1945 yang menjadi payung hukum mengenai kebebasan dalam
berpendapat.
Hak Asasi Manusia yang tercantum pada UU No. 39 Tahun 1999 Pasal 14-32 melindungi kebebasan untuk
mengemukakan pendapatnya, baik bentuknya lisan, tulisan, dan lain-lain. Tentu kebebasan berpendapat baik
lisan maupun tulisan juga dilindungi oleh Hak Asasi Manusia tersebut. Namun, pemanfaatan hak yang salah
tentunya akan menimbulkan permasalahan.
Kemudahan untuk mengemukakan pendapat di media sosial, bahkan dengan fitur anonim, membuat
masyarakat dapat merespon dan mengemukakan pendapatnya pada isu-isu di berbagai bidang, baik sosial,
politik, maupun ekonomi.
Penyalahgunaan kemudahan yang disediakan media sosial tentu akan mendatangkan dampak negatif, seperti
hoax, ujaran kebencian, perdebatan pro-kontra, hanya sebagian kecil dari banyaknya dampak-dampak
negatif yang dapat ditimbulkan dari penyalahgunaan kebebasan berpendapat di media sosial. Oleh karena itu,
untuk mengatur kebebasan berpendapat di media sosial, pemerintah Indonesia memberlakukan UU Nomor
19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang mengatur bagaimana pengguna internet
harusnya mengambil, menggunakan, dan memberikan informasi di dunia internet. Sehingga, menjadi penting
untuk memahami perspektif etika dalam kebebasan berpendapat di media sosial.
Dengan maraknya perkembangan media sosial, dilema dalam etika semakin meningkat termasuk dalam hal
pelanggaran privasi dan penindasan. Pada konteks ini, etika berguna untuk membimbing manusia dalam
bertindak, dalam konteks berpendapat di media sosial maka etika berlaku harus sesuai dengan norma-norma
yang berlaku.
Salah satunya ialah etika teleologi di mana membahas mengenai baik atau buruknya suatu tindakan yang
berdasarkan tujuan yang akan kita capai. Dalam etika teleologi berbeda dengan etika deontologi karena etika
ini membahas mengenai bagaimana kita bertindak dalam situasi tertentu dengan melihat akibat yang akan
ditimbulkannya.
Dalam penerapannya, etika teleologi dibagi menjadi dua aspek yaitu, egoisme etis dan utilitarianisme. Pada
implementasinya dalam kebebasan berpendapat di media sosial kedua hal tersebut dapat menjadi batasan
bagi penggunaannya.
Pertama, egoisme etis merupakan etika yang menilai suatu tindakan sebagai hal baik karena dapat
memberikan kebaikan bagi pelakunya. Sebagai contoh dalam penggunaan media sosial, tentunya kita
memiliki kebebasan untuk melakukan apa saja. Namun dengan adanya hal ini tidak dapat kita artikan bebas
semaunya kita tanpa beretika, sehingga kita perlu mengetahui etika yang harus kita perhatikan dalam
mengekspresikan pendapat kita dalam media sosial.
Sering kali terjadi permasalahan dalam media sosial akibat kurangnya kesadaran manusia dalam beretika,
pada saat kita mengeluarkan pendapat dalam memanfaatkan media sosial kita perlu memperhatikan etika
dalam berkomunikasi.
Hal ini dapat dilihat banyak sekali hate speech yang sering muncul melalui media sosial baik yang disengaja
dan tidak sengaja. Dengan demikian, kita harus menggunakan bahasa yang sopan dalam berinteraksi melalui
media sosial agar tidak merugikan siapapun.
Kedua, utilitarianisme adalah etika yang menilai baik atau buruknya suatu tindakan yang berdasarkan akibat
yang akan didapatkan bagi banyak orang. Pada prinsipnya, etika utilitarianisme menganut bahwa segala
tindakan yang kita lakukan dapat memberikan kebermanfaatan bagi banyak orang, sehingga yang perlu
dilakukan hanyalah memikirkan tindakan yang kita lakukan apakah merugikan orang lain atau tidak.
Etika dalam Berpendapat di Media Sosial (part 2)
Dalam praktik kebebasan berpendapat dalam media sosial, kita harus mempertimbangkan dampak yang akan
diberikan bagi banyak orang sebelum berkomentar di media sosial. Pastinya manusia sebagai makhluk sosial
akan berinteraksi satu sama lain dan setiap manusia memiliki pandangan yang berbeda. Biasanya dengan
adanya perbedaan pandangan atau pendapat ini akan memudahkan timbulnya masalah.
Dalam bermedia sosial, pengguna juga harus memperhatikan berbagai macam etika termasuk virtue ethics
atau etika keutamaan. Etika keutamaan atau virtue ethics biasa disebut juga etika kebajikan yang berfokus
pada sumber-sumber moralitas dalam kehidupan dan karakter batin (Baron, Petit, & Slote, 2001). Etika ini
ingin menjawab pertanyaan dasar yaitu saya harus menjadi orang yang bagaimana (Bertens, 2013).
Kebebasan mengeluarkan pendapat di Indonesia diatur dalam Pasal 28 Ayat (3) UUD 1945, apabila ditinjau
dari sudut pandang etika kebajikan maka tidak sepenuhnya sempurna dalam menjamin kebebasan termasuk
di media sosial. Pasal yang mengatur tentang kebebasan berpendapat di Indonesia tersebut juga sering
bertabrakan dengan UU ITE khususnya Pasal 27 ayat (3).
Salah satu contoh kasus dari polemik tersebut adalah penetapan vonis 1 tahun penjara yang diterima oleh
musisi tanah air, Ahmad Dhani, yang dinyatakan bersalah usai melakukan cuitan di akun Twitter. Dalam hal
ini, pemerintah melalui pejabat publik ketika memutuskan tindakan atau kebijakan dalam situasi tertentu
memanfaatkan pendekatan etika ini. Oleh sebab itu, institusi publik atau anggotanya harus menumbuhkan
sifat-sifat karakter yang berbudi luhur dan melakukannya dalam perilaku sehari-hari (Deverette, 2002).
Implementasi kebebasan berpendapat di media sosial juga selaras kaitannya dengan ketiga cakupan dari
virtue ethics atau etika kebajikan yaitu eudaimonism, agent-based, dan ethic of care. Cakupan yang pertama
adalah eudaimonism yaitu kebajikan yang berbasis pada kemampuan menalar. Sedangkan agent-based yaitu
kebajikan adalah bertindak sebagaimana kita ingin orang lain bertindak kepada kita. Selain itu ada ethic of
care yaitu nilai-nilai yang berbasis feminitas seperti kepedulian, perawatan, dan kasih sayang.
Dalam kebebasan berpendapat di media sosial, aspek yang paling berkorelasi adalah agent-based. Hal
tersebut dikarenakan kebebasan berpendapat di media sosial merupakan hal yang diatur dalam etika terutama
virtue ethics atau etika kebajikan. Apabila kita ingin diperlakukan baik di media sosial, maka kita harus
berbuat baik pula. Konsep tersebut merupakan implikasi dari agent-based yang merupakan cakupan dari
virtue ethics atau etika kebajikan.
Media sosial menjadi media yang penting untuk menyampaikan pendapat, bertukar opini, diskusi, dan sarana
berinteraksi. Namun, perkembangan proses berkomunikasi kadangkala menciptakan kegaduhan publik.
Seringkali pendapat disampaikan tanpa memikirkan perasaan orang lain, dipenuhi caci maki, celaan, bahkan
menimbulkan cyberbullying. Dari hal ini terjadi krisis etika dalam berkomunikasi di media sosial.
Tidak sedikit permasalahan sosial yang terjadi akibat kurangnya kesadaran masyarakat dalam beretika dalam
media sosial. Justru para pengguna terkadang dibutakan oleh berita yang tidak benar akibat dari hasutan yang
beredar pada media sosial. Berikut beberapa hal penting mengenai etika dalam menggunakan media sosial.
Media sosial sebaiknya dapat menjadi wahana untuk mendudukkan proses dialog yang sehat dalam
berkomunikasi agar terwujud harmonisasi.
Komunikasi harus dijalani dengan etika karena jika tidak disertai etika maka akan mengarah pada kekacauan
yang akan merugikan masyarakat. Media yang semestinya membantu masyarakat memahami persoalan
sosial politik secara jernih dan obyektif, justru jadi ajang persitegangan dan perseteruan tak berujung
(Sudibyo, 2016).
Etika dalam berkomunikasi, tidak hanya berkaitan dengan tutur kata yang baik namun diwujudkan dari niat
tulus yang diekspresikan dari ketenangan, kesabaran, dan empati kita dalam berkomunikasi. Bentuk
komunikasi yang menggunakan etika akan menghasilkan komunikasi dua arah yang bercirikan penghargaan,
perhatian, serta dukungan secara timbal balik dari pihak-pihak yang berkomunikasi.
Penyampaian aspirasi dan pendapat dalam media sosial memerlukan komunikasi yang beretika. Realitanya,
penggunaan etika dalam berkomunikasi di media sosial masih seringkali kurang santun dan dipinggirkan.
Disamping itu, sebagai pengguna yang cerdas, kita perlu bijak dalam menanggapi berita-berita hoax yang
tersebar di internet. Sebelum menyebarkan suatu informasi, baiknya diperiksa terlebih dahulu kebenaran
berita atau informasi agar tidak menyesatkan ataupun merugikan pihak lain.
Cara yang dapat dilakukan untuk melatih etika dalam berkomunikasi di media sosial adalah dengan
membiasakan diri untuk memakai bahasa Indonesia yang baik dan benar saat kita berinteraksi, siapapun
lawan bicara kita. Pengguna media sosial juga sebaiknya cermat dan menghindari penyebaran tulisan-tulisan
ataupun hal-hal yang berkaitan dengan isu SARA, pornografi, dan aksi kekerasan.
Sebagai pengguna media sosial yang cerdas, kita dapat menyebarkan hal-hal yang berguna di media sosial
agar manfaatnya dapat dirasakan oleh banyak pihak serta membuat media sosial menjadi lingkungan yang
aman serta nyaman untuk setiap penggunanya.
Peran Media Sosial dalam Demokrasi Indonesia
Lulusan S2 Politik dan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM ini menyebutkan bahwa jumlah pengguna
Facebook sebanyak 47 juta dan Twitter 19,7 juta.
Menurutnya, kondisi ini memberikan gambaran betapa besarnya potensi media sosial dalam
mempengaruhi partisipasi politik masyarakat.
Meskipun tahun 2014 bukan menjadi tahun pertama penggunaan media sosial dalam kampanye
Pilpres, namun media sosial bisa dibilang menguat dan sangat berperan besar sebagai sarana
partisipasi politik saat memasuki kampanye Pilpres 2014.
Gloria mengemukakan beberapa fakta menarik terkait penggunaan media sosial (medsos) dalam
pemilu 2014.
Pertama, media sosial menyediakan ruang komunikasi, interaksi dan informasi antara penggunanya
sehingga membuat tim kampanye masing-masing kandidat capres dapat memanfaatkannya untuk
menggalang dukungan dengan lebih mudah.
Hal ini berbeda, karena biasanya partisipasi politik masyarakat sulit masuk dalam ruang publik
karena tekanan dari pemilik modal.
Sementara hari ini, berbagai strategi komunikasi dan interaksi dapat membentuk opini publik
sekaligus memberikan pengaruh dan keuntungan yang cukup kuat kepada kandidat.
Kedua, kini dengan adanya medsos dan semakin banyaknya alternatif saluran partisipasi politik,
maka semakin memperkuat demokrasi dan berpotensi meningkatkan kualitasnya.
“Hal ini karena peluang masyarakat untuk mengawasi, mengontrol dan mengkritisi jalannya
pemerintahan semakin besar.”
“Artinya, kekuasaan bisa terus di jaga agar berada di jalur demokratisnya,” tulisnya dalamtesis
berjudul Partisipasi Politik dan Demokrasi di Media Sosial: Analisis wacana pada Facebook dan
Twitter dalam Pemilu Presiden 2014 tahun 2017.
Di sisi lain, Gloria juga mengungkapkan bahwa keberadaan medsos tidak selamanya berarti positif
dalam demokrasi.
Ada beberapa kondisi tertentu yang menjadikan medsos justru menyesatkan jika tidak digunakan
dengan tepat.
Menurutnya, medsos bisa menjadi pisau bermata dua, digunakan sebagai kekuatan demokrasi dan di
sisi lain menjadi kelemahan demokrasi.
“Efek negatif anonimitas misalnya, seseorang bisa menyembunyikan identitas aslinya dan
menggunakan identitas palsu untuk melakukan tindakan yang kontraproduktif yakni melakukan
kampanye hi tam atau menyebarkan isu negatif di media sosial,” ungkapnya. (Thovan)
Batasan Berpendapat di Platform Media Sosial
Sama sekali tidak ada keraguan bahwa ucapan dan pendapat di dalam platform media sosial dapat
menyebabkan kerugian yang tak terbatas serta kebaikan yang tak terbatas pula. Alasan mengapa
menyampaikan pendapat bisa saja memiliki dampak berbahaya adalah karena pendapat itu sangatlah
kuat dampaknya.
Dampak tersebut bisa menghasilkan Topologi efek media atau efek media yang disengaja dengan
tujuan menggiring persepsi atau opini untuk mendukung agenda dari penyuara pendapat tersebut.
Dan dengan kekuatan itu, kita, manusia bisa mengerahkannya, entah untuk kebaikan besar atau
kerugian besar.
Apa yang telah kita lihat sepanjang sejarah di Indonesia dan di seluruh dunia, tidak mengherankan,
adalah siapa pun yang menjalankan kekuatan pendapatnya bisa dimanfaatkan dengan cara
menggerakkan kekuatan massa dengan pendapat mereka sendiri dan secara tidak proporsional
membungkam lawan maupun mendukung suatu agenda.
Di lain sisi kebebasan berbicara benar-benar merupakan landasan dari setiap hak lainnya dan
sungguh hampir segala sesuatu yang positif dalam masyarakat kita tidak dapat dicapai tanpa
landasan dasar yang penting itu.
Jika Disebut Sebagai Kebebasan Berpendapat, Mengapa Masih Terdapat Batasan ?
Berdasarkan aturan dari dari Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia yang menyatakan:
Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati
nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan
memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan negara.
Jika dilihat dari pernyataan isi peraturan UU tersebut, kebebasan berpendapat setiap orang tetap
harus adanya pembatasan yang dibatasi oleh ketentuan hukum dalam undang-undang dengan tujuan
menghormati hak dan kebebasan orang lain dan memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat di
negara kita yang menganut sistem demokratis.
Dapat disimpulkan bahwa kebebasan berpendapat di Indonesia, meskipun berpendapat merupakan
hak dasar yang dilindungi, namun tetap mempunyai batasan, yaitu nilai-nilai agama, kesusilaan,
ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan negara.
Solusi Berpendapat dengan Baik
Tentu saja kita sebagai warga negara ingin menyampaikan sebuah pendapat yang dapat mewakili
diri kita, namun sebuah pendapat/pernyataan adalah hal yang sangat sensitif, kita tidak tahu apa
yang kita sampaikan belum tentu bisa di terima semua kalangan, sebagai contoh pendapat yang
dapat memicu kegaduhan adalah, membahas isu permasalahan politik tanpa mengetahui kredibilitas
bahasan tersebut.
Cara yang paling mudah sebelum berpendapat adalah dengan melakukan riset seperti berita di
halaman internet atau media sosial yang tentunya punya kredibilitas yang akurat dan tepercaya.
Nah, dari hal itu kita dapat mengetahui valid atau tidak nya, benar atau salah keberadaan dari
pendapat kita itu.
Cara selanjutnya adalah memikirkan bagaimana penyampaian pendapat dengan cara yang sopan dan
beretika. Suatu pendapat tidak dianjurkan untuk menyampaikan pendapat dengan cara yang tidak
baik dan penuh ujaran kebencian dan kata-kata kotor agar tidak memicu konflik.
Dan tentunya yang tidak kalah penting adalah mengikuti aturan yang berlaku, karena seperti yang
telah kita ketahui bahwa pada saat ini di Indonesia telah diberlakukannya Undang-undang Informasi
dan Transaksi Elektronik (disingkat UU ITE) atau Undang-undang nomor 11 tahun 2008 yang
merupakan UU yang mengatur tentang informasi serta transaksi pada media online secara umum.