Hadist Tarbawi
Dosen Pengampu:
Surahmat, M.Hum
Disusun oleh:
FAKULTAS TARBIYAH
Secara harfiah, evaluasi berasal dari bahasa Inggris evaluation, yang berarti
penilaian, penaksiran, atau evaluasi. Evaluasi juga berasal dari kata to evaluate yang
berarti menilai. Dalam bahasa Arab, evaluasi dikenal dengan istilah imtihan yang berarti
ujian dan khataman yang berarti cara menilai hasil akhir dari proses pendidikan. Evaluasi
dapat diartikan sebagai tindak lanjut yang dilakukan untuk mengetahui sejauh mana
pelajaran yang disampaikan oleh pendidik dapat dipahami oleh peserta didik. Evaluasi
dapat dilakukan setiap hari, setiap bulan, setiap semester, dan bahkan ada evaluasi tahap
akhir.1
Dalam Islam evaluasi pendidikan tidak tertulis secara tekstual, sehingga harus
memahami maksud dari evaluasi secara kontekstual dalam beberapa kata yang disebutkan
dalam al-Quran dan Hadist. Beberapa kata yang memiliki arti evaluasi adalah:
1
Fitriani Rahayu, “Substansi Evaluasi Pendidikan Dalam Perspektif Pendidikan Islam, Jurnal
Pendidikan Islam, Vol. 17, No. 2, (2019), h. 107.
6. Al- Imtihan, memiliki arti ujian
Beberapa kata tersebut merupakan kata- kata tertentu dalam al- Quran dan hadist
yang mengarah pada makna evaluasi. Selanjutnya, dalam evaluasi pembelajaran terdapat
tiga aspek sasaran, diantaranya ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotorik.
Ketiga aspek tersebut akan dibahas lebih lanjut pada poin materi selanjutnya.
Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental (otak). Menurut Bloom,
segala upaya yang menyangkut aktivitas otak termasuk ke dalam ranah ini. Sehubungan
dengan evaluasi ranah kognitif, ditemukan hadis berikut:
َض لَك
َ ع َر َ ضي إِذَا َ ث ُمعَاذًا إِلَى ْاليَ َم ِن قَا َل َكي
ِ ْف ت َ ْق َ َسلَّ َم لَ َّما أَ َرادَ أ َ ْن يَ ْبع
َ علَ ْي ِه َو َّ صلَّى
َ َُّللا ِ َّ سو َل
َ َّللا ُ ع ْن ُمعَا ِذ ب ِْن َجبَ ٍل أ َ َّن َر َ
سلَّ َم قَا َل فَإِ ْن لَ ْم ت َِجدْ فِي
َ علَ ْي ِه َو َّ صلَّى
َ َُّللا ِ َّ سو ِل
َ َّللا ُ سنَّ ِة َر
ُ َِّللا قَا َل فَب
ِ َّ ب ِ قَا َل فَإِ ْن لَ ْم ت َِجدْ فِي ِكت َا.َّللا
ِ َّ ب ِ ضي بِ ِكت َا ِ ضا ٌء قَا َل أ َ ْق
َ َق
سلَّ َم
َ علَ ْي ِه َو َّ صلَّى
َ َُّللا ِ َّ سو ُل
َ َّللا ُ ب َر َ َ ف.َّللا قَا َل أَ ْجت َ ِهدُ َرأْيِي َو ََل آلُو
َ ض َر ِ َّ ب ِ سلَّ َم َو ََل فِي ِكت َا
َ علَ ْي ِه َو َّ صلَّى
َ َُّللا َ َّللاِ َّ سو ِل ُ سنَّ ِة َر
ُ
ِ َّ سو َل
َّللا ُ ضي َر ِ َّ سو ِل
ِ َّللا ِل َما ي ُْر ُ سو َل َر ُ ّلِل الَّذِي َو َّفقَ َرِ َّ ِ ُصد َْرهُ َو َقا َل ْال َح ْمد
َ
Artinya: “Mu'adz bin Jabal meriwayatkan bahwa Rasulullah ketika akan mengutus
Mu'adz ke Yaman, beliau bertanya kepadanya "Bagaimana kamu mengadili perkara, jika
dihadapkan kepadamu suatu perkara pengadilan?" Mu'adz menjawab, "Saya mengadili
perkara itu dengan Kitab Allah(al-Quran)." Rasulullah bertanya lagi, "Bagaimana jika
kamu tidak menjumpai (petunjuk) dalam kitab Allah?" Mu'adz.menjawab, "Saya
mengadili dengan sunnah Rasulullah." Rasulullah bertanya lagi, "Bagaimana jika kamu
tidak menjumpai petunjuk dalam sunnah Rasulullah dan tidak menjumpainya dalam kitab
Allah?" Muad'z menjawab, "Saya berijtihad sekuat akal pikiran saya." Rasulullah
menepuk dada Mu'adz sambil bersabda, "Segala puji milik Allah yang telah memberi
peyunjuk kepada utusan Rasulullah terhadap apa yang Rasulullah berkenan
terhadapnya." (HR. Abu Dawud, At- Tirmidzi, Ahmad, dan Ad- Darimi)
Di antara informasi yang terkandung dalam hadis di atas adalah (1) Rasulullah
bermaksud mengutus Mu'adz ke Yaman (untuk memimpin umat); (2) beliau bertanya
kepada Mu'adz tentang dasar yang digunakan dalam memutusakan perkara peradilan; (3)
Mu'adz menjawab dengan urutan: pertama dengan kitab Allah, kedua dengan sunnah
Rasulullah, dan ketiga dengan ijtihad; serta (4) setelah jawaban Mu'adz selesai, beliau
menepuk dada Mu'adz karena senang lalu memuji Allah.
Ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Ranah afektif
mencakup watak perilaku seperti perasaan, karakter pribadi, sikap, dan emosi. Ciri- ciri
hasil belajar afektif akan tampak pada peserta didik dalam berbagai tingkah laku, seperti
perhatiannya terhadap pelajaran agama islam, kedisiplinannya dalam mengikuti pelajaran
agama di sekolah, motivasinya yang tinggi untuk tahu lebih banyak mengenai pelajaran
agama yang diterimanya, dan penghargaan atau rasa hormatnya terhadap guru.
Sehubungan dengan ranah afektif, terdapat hadis sebagaimana yang tertera sebagai berikut:
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu kelelahan, penyakit kronis,
kehawatiran, kesedihan, dan gangguan sampai terkena duri yang melukainya melainkan
Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya karenanya” (HR. Al-Bukhari no. 5642)
Materi ujian dalam hadist ini berada di ranah afektif, yaitu kesabaran. Dalam hadis
ini disebutkan bahwa manusia akan diuji oleh Allah dengan penyakit. Sasarannya adalah
kesabaran yang termasuk ranah afektif. Apabila seorang muslim mampu menerima ujian
tersebut dengan penuh kesabaran, maka Allah akan menghapuskan kesalahan- kesalahan
yang telah dilakukannya. Ini merupakan hadiah dari Allah untuk hamba-Nya yang tulus. 3
2
Bukhari Umar, Hadis Tarbawi (Pendidikan dalam perspekttif Hadis), Bumi Aksara: Jakarta, 2016, h.
194
3
Abdul Majid Khon, Hadis Tarbawi: Hadis-hadis Pendidikan, (Kencana: Jakarta, 2012)
belajar psikomotor ini tampak dalam bentuk keterampilan dan kemampuan bertindak
individu. Hasil belajar psikomotor ini sebenarnya merupakan kelanjutan dan hasil belajar
kognitif (memahami sesuatu) dan hasil belajar afektif (yang baru tampak dalam bentuk
kecenderungan – kecenderungan untuk berperilaku. sehubugan dengan ini ditemukan
hadis berikut:
علَ ْي ِه َّ صلَّى
َ َُّللا َ ِ ع َلى النَّ ِبيَ سلَّ َم
َ َص َّلى فَ َسلَّ َم دَ َخ َل ْال َمس ِْجدَ فَدَ َخ َل َر ُج ٌل ف َ ُصلَّى هللا
َ علَ ْي ِه َو َ ِسو َل هللا ُ ع ْن أ َ ِبي ه َُري َْرة َ أ َ َّن َر َ
س َّل َم فَقَا َل
َ علَ ْي ِه َو َّ صلَّى
َ َُّللا َ ِ علَى النَّ ِبي َ سلَّ َم
َ َصلَّى ث ُ َّم َجا َء ف
َ صلِي كَما َ ُص ِل فَ َر َج َع ي َ ُ ص ِل فَإِنَّكَ لَ ْم تَ َار ِج ْع ف ْ سلَّ َم فَ َردَّ َوقَا َل
َ َو
ص ََلةِ فَ َكبَ ُر ث ُ َّم ا ْق َرأْ َما
َّ غي َْرهُ فَعَ ْلنِي فَقَا َل إِذَا قُمْتَ إِلَى ال ِ ص ِل ث َ ََلثًا فَقَا َل َوالَّذِي بَعَثَكَ بِ ْال َح
َ ق َما أ َ ْح ِس ُن َ ُ ص ِل فَإِنَّكَ لَ ْم تَ َار ِج ْع فْ
ْ اجدًا ث ُ َّم
ارفَ ْع َحتَّى ِ سَ ارفَ َع َحتَّى تَ ْع ِد َل قَائِ َما ث ُ َّم ا ْس ُجدُ َحتَّى ت َْط َمئ َِّن
ْ ارك َْع َحتَّى ت َْط َمئ َِّن َرا ِكعًا ث ُ َّم ِ تَيَس ََّر َمعَكَ مِ نَ ْالقُ ْر
ْ آن ث ُ َّم
َ سا َوا ْفعَ ْل ذَلِكَ فِي
.صَلتِكَ ُك ِل َها ً ت َْط َمئ َِّن َجا ِل
Artinya: “Dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah SAW masuk masjid lalu masuk
pula seorang laki- laki yang kemudian sholat dan memberi salam kepada Nabi SAW.
Beliau menjawab salam dan berkata.” Ulangi sholatmu karena sesungguhnya kamu
belum sholat”. Laki-laki itu mengulangi sholatnya seperti sholatnya tadi. kemudian ia
datang dan mengucapkan salam kepada Nabi SAW. Beliau berkata lagi “ulangi sholatmu
karna sesungguhnya kamu belum sholat’’. Laki-laki itu kembali sholat sperti sholatnya
tadi. Setelah itu, ia kembali dan mengucapkan salam kepada Nabi. Kemudian Nabi
berkata lagi. ‘’ Ulangi sholatmu karna sesungguhnya kamu belum sholat’’. Begitulah
sampai tiga kali. Lalu laki-laki tesebut berkata.’’Demi dzat yang telah mengutusmu
dengan benar, sungguh aku tidak dapat berbuat yang lebih baik lagi daripada itu. Oleh
karena itu, ajarilah aku.’’ Lalu Nabi bersabda, Apabila kamu berdiri untuk sholat, maka
takbirlah. Lalu bacalah ayat yang mudah bagimu, kemudian ruku’ lah hingga tuma’ninah.
kemudian bangkitlah sehingga I’tidal dalam keadaan berdiri, kemudian sujudlah hingga
tuma’ninah dalam keadaan sujud, kemudian bangkitlah hingga tuma’ninah dalam
keadaan duduk, kemudian sujudlah sehingga tuma’ninah dalam keadaan sujud kemudian
berbuatlah yang demikian itu dalam semua sholatmu’’. (HR- AL-Bukhari)4
Dalam hadis ini, Rasulullah SAW menguji sahabat dalam mendirikan sholat. Ini
berada di psikomtor. Teknik yang digunakan observasi. Beliau mengamati sholat yang
dilakukan oleh sahabat. Setelah melihat adanya kekeliruan, beliau langsung menyuruhnya
untuk mengulangi. Jadi segera ada perbaikan setelah terjadinya kesalahan.
Dari hadis di atas juga dapat diambil pelajaran bahwa Rasulullah SAW telah
menggunakan observasi sebgai teknik tes kemampuan ranah psikomotor dalam bentuk
yang sederhana, kendatipun belum menggunakan perencanaan tertulis dan pencatatan
langsung.
4
Hadits ini ditakhij oleh Imam Bukhori no. 631, lihat Muhammad bin Ismail al-Bukhori, Shohih
Bukhori, Bab Fadhli al-Ta’anni fi al-Salah, (Beirut: Daar al-Fikr, 2008)
Observasi dapat mengukur atau menilai hasil dan proses belajar, misalnya tingkah
laku peserta didik ketika guru agama menyampaikan pelajaran dikelas, tingkah laku
peserta didik ketika istirahat atau pada saat terjadinya kekosongan pelajaran, dan perilaku
peserta didik pada saat sholat jama’ah dimushola sekolah, ceramah-ceramah keagamaan,
upacara bendera, serta ibadah sholat tarawih.
Dalam Tuhfah Al- Ahwazi dijelaskan bahwa manusia yang paling banyak dan sulit
ujian dan cobaannya adalah para Nabi. Mereka banyak diuji karena senang dengan ujian
itu sebagaimana orang lain senang dengan nikmat. Apabila tidak diuji, mereka meragukan
kecintaan Tuhan dan kesabarannya lemah dalam menghadapi umat. Semakin kuat
ujiannya, mereka semakin tawadhu’ dan berharap kepada Allah.
Al- amtsal adalah orang-orang paling utama, paling tinggi kedudukan dan
posisinya. Mereka paling dekat dengan Allah dan diberi ujian yang berat supaya mendapat
pahala yang banyak. Seseorang diuji sesuai dengan tingkat ukuran agamanya. Artinya
sesuai dengan kelemahan, kekuatan, kekurangan dan kesempurnaan agamanya. Jika ia
kuat dalam beragama, maka ujianya kuat pula. Sebaliknya jika agamanya lemah maka
ujianya lemah pula. Ujian itu senantiasa diberikan kepada manusia sampai ia tidak berbuat
kkesalahan lagi.6
Ditakhrij oleh Tirmidzi, lihat Abi ‘Isa Muhammad bin ‘isa bin Saurah al-Tirmidzi, Sunan al-
5
Al-Bukhori, Muhammad bin Ismail, Shohih Bukhori, Bab Fadhli al-Ta’anni fi al-Salah,
(Beirut: Daar al-Fikr, 2008)
Al-Tirmidzi, Abi ‘Isa Muhammad bin ‘isa bin Saurah al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, al-
Jami’ al-Shahih, (Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiah, 2008).
Umar, B. Hadis Tarbawi (Pendidikan dalam perspekttif Hadis), Bumi Aksara: Jakarta,
(2016).