2. Sumayyah 1910510024
FAKULTAS TARBIYAH
2020/2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan penulisan
PEMBAHASAN
Secara etimologi, ada dua pendapat mengenai asal-usul kata etika, yakni;
pertama, etika berasal dari bahasa Inggris yang disebut dengan ethic (singular) yang
berarti suatu sistem, prinsip moral, aturan atau cara berperilaku. Akan tetapi, terkadang
ethics (dengan tambahan huruf s) dapat berarti singular. Jika ini yang dimaksud maka
ethics berarti suatu cabang filsafat yang memberikan batasan prinsip-prinsip moral. Jika
ethics dengan maksud jamak berarti prinsip-prinsip moral yang dipengaruhi oleh perilaku
pribadi.1
Kedua, etika berasal dari bahasa Yunani, yang berarti ethikos yang mengandung
arti penggunaan, karakter, kebiasaan, kecenderungan, dan sikap yang mengandung
analisis konsep-konsep seperti harus, mesti benar-salah, mengandung pencarian ke
dalam watak moralitas atau tindakan-tindakan moral, serta mengandung pencarian
kehidupan yang baik secara moral. Sedangkan dalam bahasa Yunani kuno, etika berarti
ethos, yang apabila dalam bentuk tunggal mempunyai arti temapat tinggal yang biasa,
padang rumput, kandang, adat, akhlak, watak perasaan, sikap, cara berfikir. Dalam
bentuk jamak artinya adalah adat kebiasaan. Jadi, jika kita membatasi diri pada asal-usul
kata ini, maka "etika" berarti ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang
adat kebiasaan. Arti inilah yang menjadi latar belakang bagi terbentuknya etika yang oleh
Aristoteles (384-322 SM) sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat moral.2
Etika dalam Islam lebih dikenal dengan istilah akhlak. Secara etimologis, kata
akhlak adalah bentuk masdar dalam bahasa Arab dari kata akhlaqa-yukhliqu-ikhlaqan
yang berarti perangai, kelakuan, tabiat, atau watak dasar, kebiasaan atau kelaziman,
peradaban baik dan agama. Menurut Imam Al-Ghazali yang terkenal dengan sebutan
1
Ayi Sofyan, Kapita Selekta Filsafat, Pustaka Setia, Bandung, 2010, hlm 370-371
2
Mohammad Adib, Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2010, hlm. 205-206
Hujjatul Islam, "Akhlak ialah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan
kegiatan-kegiatan dengan ringan dan mudah tanpa memerlukan pertimbangan terlebih
dahulu".3
Pengertian Belajar
Beberapa pandangan para ahli tentang pengertian belajar antara lain sebagai berikut:
1. Moh. Surya (1997); "Belajar dapat diartikan sebagai suatu proses yang dilakukan oleh
individu untuk memperoleh perubahan perilaku baru secara keseluruhan, sebagai hasil
dari pengalaman individu itu sendiri dalam berinteraksi dengan lingkungannya".
4. Hilgard (1962); "Belajar adalah proses di mana suatu perilaku muncul atau berubah
karena adanya respons terhadap sesuatu situasi."
5. Di Vesta dan Thompson (1970); "Belajar adalah perubahan perilaku yang relatif
menetap sebagi hasil dari pengalaman."
6. Gae & Berliner; "Belajar adalah suatu proses perubahan perilaku yang muncul karena
pengalaman.4
Dari beberapa definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa belajar merupakan
suatu proses individu dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya sehingga
menimbulkan terjadinya perubahan tingkah laku, baik sikap, keterampilan, pengetahuan.
Perubahan ini terjadi karena adanya respons dari individu terhadap rangsangan-
rangsangan atau stimulus yang diterimanya. Dengan demikian, aktivitas belajar manusia
terjadi secara sadar dan disengaja tidak secara kebetulan. Secara psikologis, belajar
3
Abu Hamid Al-Ghazali, t.t, Ihya' Ulumuddin, Jilid I
4
Hamzah B. Uno Dan Nurdin Mohamad, Belajar dengan Pendekatan PAILKEM; Pembelajaran Aktif, Inovatif,
Lingkungan, Kreatif, Efektif, Menarik, PT Bumi Aksara, Jakarta, 2014, hlm. 139
merupakan suatu proses perubahan, yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil interaksi
dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.5
السماو ِ
ات َو َما يِف ِ ِ
ت َعلَى َر ُسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم ﴿ :هلل َما يِف َّ َ َ َع ْن َأيِب ُهَر ْيَرةَ قَ َ
ال :لَ َّما نََزلَ ْ
ِ ِ ِ ِِ ِ
ض َوِإ ْن تُْب ُدوا َما يِف َأْن ُفس ُك ْم َْأو خُتْ ُفوهُ حُيَاسْب ُك ْم به اهلل َفيَغف ُر ل َم ْن يَ َشاءُ َويُ َع ِّذ ُ
ب َم ْن يَ َشاءُ َواهلل اَألر ِ
ْ
ول اللّ ِه صلى اهلل عليه وسلم فََأَت ْوا َر ُس َ
ول اب رس ِ
ك َعلَى ْ ِ
َأص َح َ ُ
ِ َعلَى ُك ِّل َش ْي ٍء قَ ِد ٌير ﴾ قَ َ
ال فَا ْشتَ َّد ذل َ
يق. ِ ول اللّ ِه ُكلِّ ْفنَا ِمن ْ ِ للَّ ِه صلى اللّه عليه وسلم مُثَّ َبَر ُكوا َعلَى ُّ
الر َك ِ
اَألع َمال َما نُط ُ َ َأي َر ُس َ
بَ .ف َقالُواْ :
ول اللّ ِه صلى اهلل
ال َر ُس ُ الص َدقَةُ .وقَ ْد ُأنْ ِزلَت علَيك ِ
هذ ِه اآليَةَُ .والَ نُ ِطي ُق َها .قَ َ ِ
ْ َْ َ اد َو َّ َ الصيَ ُام َواجْل َه ُ
الصالَةُ َو ِّ
َّ
5
Hamdani, Strategi Belajar Mengajar, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), hlm. 20
ِ ِ ِ ِ
َ ص ْرنَا َعلَى الْ َق ْوم الْ َكاف ِر
ين ﴾ قَ َال ُ َن َع ْم) ﴿ َو ْاع:بِه ﴾ (قَ َال
َ ْف َعنَّا َوا ْغف ْر لَنا َو ْارمَح ْنَا َأن
ُ ْت َم ْوالَنَا فَان
)َن َع ْم (مسلم
B. ِ الر َك
ب ُّ = َبَر ُكوا َعلَيBerdiri, duduk atau berdiam diatas lutut
E. ِ = َْأهل الْ ِكتَا َبنْيDua ahli kitab yaitu Yahudi dan Nasrani
ُ
F. = قرأ = ا ْقَتَر ََأهاMembaca
2. Terjemahan
Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Ketika turun kepada Rasulullah SAW ayat Al-
Qur’an (al-Baqarah (2) : 284): Kepunyaan Allah lah segala apa yang ada di langit dan apa
yang ada di Bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu
menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang
perbuatanmu itu. Para sahabat merasa sangat cemas karenanya. Maka mereka pergi
menghadap kepada Rasulullah SAW kemudian berlutut di hadapan Beliau seraya berkata:
“Ya Rasulullah kami telah dibebani tugas-tugas yang kami mampu melaksanakannya,
yaitu shalat, puasa, jihad, dan sedekah (zakat). Lalu ayat ini diturunkan kepada engkau,
sedangkan kami tidak mampu melaksanakannya”. Rasulullah SAW bersabda:
“Apakah kamu ingin berkata seperti yang dikatakan dua ahli kitab sebelum kamu
(Yahudi dan Nasrani) yaitu perkataan: “Kami mendengar dan kami durhaka (tidak taat)?
Akan tetapi katakanlah: “Kami mendengar dan kami taat, ampunilah dosa kami wahai
Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali kami”.
Mereka menjawab: “Kami mendengar dan kami taat, ampunilah dosa kami wahai Tuhan
kami dan kepada Engkaulah tempat kembali kami”.Setelah mereka membacanya, mulut
mereka tidak berbicara apa-apa lagi. Lalu Allah menurunkan ayat berikutnya al-Baqarah
(2): 285: Rasul telah beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari
Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman..., “Ampunilah kami ya Tuhan kami
dan kepada Engkaulah tempat kembali”.
Setelah mereka melakukannya, Allah menasakh (menghapus hukum) ayat
tersebut dengan menurunkan ayat (al-Baqarah (2): 286): “Allah tidak membebani
seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan)
yang diusahakannya dan mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka
berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami
bersalah. Allah menjawab: “Ya”. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada
kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum
kami”. Allah menjawab: “Ya”: “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada
kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan
rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang
kafir.” Allah menjawab: “Ya”. (HR. Muslim)
3. Penjelasan (Syarah Hadis)
Para sahabat adalah generasi yang paling patuh kepada Rasul diantara sekian
banyak generasi yang ada. Apa pun perintah dan larangan yang datang dari Allah dan
Rasul-Nya mereka siap melaksanakan. Suatu contoh ketika datang ayat Al-Qur’an al-
Maaidah (5) : 90 tentang keharaman minuman keras (al-Khamr) dalam banyak riwayat
Imam Ahmad yang disebutkan dalam tafsir Ibn Katsîr. Di antara sahabat ada yang sedang
berjualan minuman keras begitu sampai informasi tentang keharaman khamr, langsung
khamr dituang dan dibuang. Di antara mereka ada yang sedang minum khamr begitu
sampai informasi tentang keharamannya lansung dimuntahkan dari mulutnya dan
seterusnya. Begitu kepatuhan para sahabat terhadap segala wahyu yang datang dari Allah
dan Rasul-Nya. Begitu kepatuhan mereka sangat tinggi kepada Allah dan Rasul-Nya.
Para sahabat merasa keberatan ketika turun ayat 284 surat alBaqarah. Mereka
menghadap Nabi duduk berlutut untuk menyampaikan isi hatinya bahwa mereka tidak
kuat atau keberatan mengamalkan ayat tersebut. Mereka mampu melaksanakan perintah-
perintah lain seperti shalat, puasa, jihad dan sedekah, tetapi yang satu itu mereka tidak
mampu yakni perhitungan (hisab) kata hati atau yang terlintas dalam hati dan belum
dilakukan. Duduk berlutut ini menurut Abu Abdillah al-Mazari, dimaksudkan untuk
mencari kasih sayang. Dalam kondisi sulit dan menghadapi persoalan yang memberatkan
ini tentunya hanya Rasul yang bisa memecahkan persoalan. Sikap sahabat ini tentunya
sikap yang terbaik, karena ketika menghadapi suatu persoalan atau kesulitan selalu
berkomunikasi dengan Nabi SAW dan mengatakan apa adanya secara transparan.
Sikap para sahabat yang merasa keberatan turunnya ayat 284 surat al-Baqarah
ditanggapi Nabi dengan sabdanya: “Apakah kalian akan berkata seperti apa yang
dikatakan dua ahli kitab sebelum kalian yakni Yahudi dan Nasrani?” Orang-orang
Yahudi dan Nasrani ketika datang perintah dari Tuhannya mereka berkata: “Kami
mendengar dan kami tidak patuh”. Akan tetapi katakanlah: “Kami mendengar dan kami
taat”. Lantas mereka segera mengatakannya. Demikianlah petunjuk Rasulullah dalam
menyelesaikan permasalahan yang dihadapi para sahabat yang menekankan kepada
kepatuhan terlebih dahulu yakni mendengar dan patuh. Kalau seseorang itu dasarnya mau
mendengar dan patuh apa pun yang disampaikan kepadanya kiranya dapat diterima dan
dilaksanakan. Berbeda dengan orang yang tidak patuh jika toh mendengar hanya
mendengar belaka dan tidak mematuhinya.
Inilah di antara ciri-ciri orang beriman sebagaimana imannya para sahabat begitu
mendengar perintah atau larangan dari Allah atau dari Nabi-Nya segera mendengar,
memerhatikan dan mematuhinya tidak seperti yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi
dan Nasrani. Sesuai juga dengan QS. An-Nuur (24): 51 Allah berfirman:
“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan
Rasul-Nya agar Rasul mengadili di antara mereka ialah ucapan. “Kami mendengar dan
kami patuh”. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.
Setelah ayat di atas sudah dibaca dengan lancar sudah tidak dirasa berat maka
turunlah ayat berikutnya QS. al-Baqarah (2) : 285 yang menjelaskan keadaan orang-orang
yang beriman adalah yang mengimani kepada Allah, malaikat, para rasul, dan kitab-kitab
suci. Mereka berkata: “Kami mendengar dan kami taat”. Demikian tahapan-tahapan
Allah dalam memperkuat keimanan mereka. Orang yang beriman pasti berkata: Kami
mendengar dan kami taat, ketika datang wahyu dari Allah SWT. Setelah mereka telah
melaksanakannya datanglah ayat berikutnya 286 yang menasakh (menghapus) apa yang
mereka rasakan berat, bahwa Allah tidak membebani seseorang di luar kemampuan
sebagai manusia, Allah juga tidak mengambil tindakan perbuatan karena lupa atau
bersalah, mereka tidak dibebani yang berat seperti umat dahulu dan tidak dibebani suatu
beban yang tidak ada kemampuan melaksanakannya. Allah yang menciptakan manusia
tentunya lebih mengetahui kapasitas kemampuannya dalam melaksanakan tugas-tugas
dan beban yang diberikannya. Demikian juga, Allah Maha Mengetahui esensi dan segala
hikmah yang terkandung dalam tugas-tugas tersebut. Karena keimanan mereka yang
mendorong ungkapan “kami mendengar dan kami patuh”, inilah kemudian Allah dengan
kasih sayang-Nya menghapuskannya dengan ayat berikutnya tersebut yakni meringankan
beban yang dirasa berat semula. Ayat di atas sekalipun bentuknya berdoa tetapi
maknanya adalah menghapus tuntutan kata hati yang belum direalisasikan dalam bentuk
kerja nyata.
1. Kepatuhan kepada Allah dan Rasul-Nya secara absolut tak ada batas tertentu berbeda
dengan kepatuhan selainnya.
2. Kepatuhan dan ketaatan hanya didasarkan kepada keimanan seseorang kepada Allah dan
Rasulnya. Jika ada iman pasti ada kepatuhan dan jika tidak ada iman maka tidak ada pula
kepatuhan.
3. Allah memuliakan umat Muhammad SAW dengan memberikan keringanan beban yang
tidak seperti umat sebelumnya.
4. Kondisi para sahabat sangat mematuhi hukum syara’ yang diturunkan kepada mereka.
5. Kata hati yang belum direalisasikan dalam bentuk perbuatan atau perkataan tidak ada
tuntutan, tetapi dalam kebaikan sudah dihargai pahala sebagai kemurahan Allah kepada
umat Muhammad SAW
أن َيحترز الخائض فى العلم فى مبدااْالمرعن اَالصغاء اَلى اختَالف الناس: الوظيفة أالرابعة
ُ
Kewajiban keempat adalah berusaha dengan segenap kemampuan yang dimiliki untuk tidak
mencari-cari perselisihan di antara sesama manusia. karena, hal itu dapat menimbulkan
kegelisahan dan penderitaan bagi jiwa
semua cabang ilmu pada suatu waktu secara bersamaan. Dia harus mempelajari lebih dahulu
ilmu yang terpenting bagi kehidupannya, karena hidup tidak cukup untuk menguasai
semua cabang ilmu. Dalam hal ini, seorang murid harus memfokuskan perhatian terhadap
ilmu yang paling penting di antara ilmu-ilmu yang ada, yakni mengenai ilmu akhirat
. أن َال يخوض فى فن َّحتى يستوفى الفن الذى قبله: الوظيفة السابعة
ُ
Kewajiban ketujuh adalah murid tidak boleh mendalami cabang ilmu baru,
hingga dia menguasai dengan baik cabang ilmu sebelumnya. Sebab, biasanya itu
merupakan persyaratan utama bagi pengetahuan yang baru tersebut. suatu cabang ilmu
. أن يكون قصد المتعلم فى اْلحال تحلية باطنه وتجميله بلفضيلة: الوظيفة التاسعة
ُ
Kewajiban kesembilan adalah murid harus mempercantik jiwa dan tindakan dengan
kebajikan. Semua itu untuk tujuan menggapai kedekatan dengan Allah Swt dan para
malaikat-Nya, serta bersahabat dengan orang-orang yang dekat dengan Allah Swt. Tujuan
hidup seorang murid seharusnya bukan untuk memperoleh kemilaunya urusan dunia,
menumpuk harta dan kekayaan, berdebat dengan mereka yang jahil, serta memamerkan
keangkuhan dan kesombongan. Seorang murid yang berusaha untuk memperoleh
kedekatan dengan Allah Swt seharusnya mencari ilmu yang dapat menolong dirinya dari
tujuan yang dimaksud yaitu, ilmu tentang akhirat dan ilmu-ilmu yang menjadi
penunjangnya.
أن يعلم نسبة العلوم َإلى المقصد كما يؤثرالرفيع القريب على البعي والمهم على: الوظيفة العاشرة
ُ
غًيره
Kewajiban kesepuluh adalah murid harus tetap memusatkan perhatian pada tujuan utama
menuntut ilmu. Bukan demi kekuasaan dan wewenang semata. Di samping untuk tujuan
menikmati anugerah kehidupan di alam dunia ini, yang terpenting di atas kesemuanya itu
untuk tujuan kebahagiaan negeri akhirat yang lebih kekal dan abadi.7
7
Sholikah,Ni’matus, Etika Pendidikan Islam (etheses.iain kediri,2017) 31.
http://etheses.iainkediri.ac.id/217/
Jadi bisa ditarik kesimpulan bahwa Teori pendidikan merupakan landasan dalam
perkembangan praktik Pendidikan. Teori pendidikan berkontribusi besar bagi kualitas
pendidikan sebuah negara. Dengan berkembangnya teori pendidikan maka pola
mengasuh dan pola mendidik anak akan berbeda.
Pada dasarnya etika belajar masing-masing memiliki pokok pemahaman yang
berbeda,yaitu etika berkaitan dengan kebiasaan atau perilaku baik buruk seseorang.
Sedangkan belajar merupakan suatu proses individu dalam berinteraksi dengan
lingkungan sekitarnya sehingga menimbulkan terjadinya perubahan tingkah laku, baik
sikap, keterampilan, pengetahuan. Teori pendidikan,dan etika belajar saling terkait
seseorang yang belajar akan dilihat dari cara pemikirannya/pengetahuannya dalam
menghadapi masalah tertentu sementara sikap nya dalam berbicara sopan dan santun hal
ini bisa terbentuk karena landasan etika. Dalam proses belajar membutuhkan teori
pendidikan yang akan membantu murid dalam menumbuhkan rasa keingintahuannya
dalam belajar serta kepekaan terhadap manusia disekitarnya, serta membutuhkan etika
agar proses belajar bisa berhasil dengan baik jika pendidik memahami dan menerapkan
konsep keteladanan yang baik berdasarkan etika/moral yang baik juga.
Teori pendidikan dalam islam menggunakan landasan Al-Qur’an dan Hadist
sebagai sebagai sumber pendidikan, AlQur’an memiliki prinsip-prinsip yang menjadi
acuan. Prinsip tersebut adalah tauhid dan risalah Ilahiyah.
Berikut adalah etika/adab murid ketika belajar menurut perspektif Al-Ghazali:
1. Kewajiban tetap menjaga diri dari kebiasaan yang merendahkan akhlaq serta
perilaku tercela lainnya. Usaha untuk memperoleh ilmu dan pengetahuan lainnya
adalah melaui amalan jiwa, yaitu mengutamakan kesucian dari akhlaq yang
tercela.
2. Kewajiban mengurangi keterpautannya dengan urusan duniawi dan berusaha
mencari tempat yang berbeda dari lingkungan keluarga serta kerabat dekatnya.
3. Kewajiban bersikap tawadhu’ atau tidak meninggikan diri dihadapan gurunya.
Dalam hal ini seorang murid seharusnya mempercayakan segala urusan
keilmuannya kepada sang guru dan tunduk kepada segala aturan yang telah
diberikan.
4. Kewajiban berusaha dengan segenap kemampuan yang dimiliki untuk tidak mencari-
cari perselisihan di antara sesama manusia. Karena hal itu dapat menimbulkan
kegelisahan dan penderitaan bagi jiwa
5. Kewajiban seorang murid tidak boleh meninggalkan satu cabang ilmu pun. Dia
harus berusaha menjadi ahli dalam berbagai cabang ilmu. Sebab, setiap cabang
ilmu saling membantu dan sebagian cabang ilmu itu saling berhubungan erat
6. Kewajiban murid tidak boleh mempelajari atau mendalami beberapa atau semua
cabang ilmu pada suatu waktu secara bersamaan. Dia harus mempelajari lebih
dahulu ilmu yang terpenting bagi kehidupannya, karena hidup tidak cukup untuk
menguasai semua cabang ilmu. Dalam hal ini, seorang murid harus memfokuskan
perhatian terhadap ilmu yang paling penting di antara ilmu-ilmu yang ada, yakni
mengenai ilmu akhirat.
7. Kewajiban murid tidak boleh mendalami cabang ilmu baru, hingga dia menguasai
dengan baik cabang ilmu sebelumnya. Sebab, biasanya itu merupakan persyaratan
utama bagi pengetahuan yang baru tersebut. suatu cabang ilmu umumnya menjadi
8. kewajiban mengetahui sebab-sebab mengapa ilmu itu disebut sesuatu yang sangat
mulia. Suatu ilmu dapat dikenali dari dua sisi, kemuliaan atau buah hasilnya, dan
keontentikannya serta kekuatan prinsip yang dimilikinya.
9. Kewajiban murid harus mempercantik jiwa dan tindakan dengan kebajikan.
Semua itu untuk tujuan menggapai kedekatan dengan Allah Swt dan para
malaikat-Nya, serta bersahabat dengan orang-orang yang dekat dengan Allah Swt.
10. Kewajiban murid harus tetap memusatkan perhatian pada tujuan utama menuntut
ilmu. Bukan demi kekuasaan dan wewenang semata. Di samping untuk tujuan
menikmati anugerah kehidupan di alam dunia ini, yang terpenting di atas
kesemuanya itu untuk tujuan kebahagiaan negeri akhirat yang lebih kekal dan
abadi.
4. Relevansi hadist etika belajar dengan teori pendidikan etika belajar
Etika/akhlak ialah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa seseorang yang
menimbulkan kegiatan-kegiatan dengan ringan dan mudah tanpa memerlukan
pertimbangan terlebih dahulu. Seperti yang kita ketahui dalam kehidupan etika
lebih penting dari pendidikan, percuma jika seseorang itu pandai namun tidak bisa
menjaga etika/adab nya. Dalam hadist etika belajar tersebut bisa disimpulkan
bahwa sahabat yang menuntut ilmu kepada nabi senantiasa menjunjung tinggi
etika/adab nya ketika belajar. Salah satu imam besar kita, imam Al-Ghazali juga
menyebutkan adab/etika dalam belajar sangat penting. Agar seimbang dalam
memperoleh pendidikan dan tertata nya etika/adab nya dalam belajar.
Hadist etika belajar bisa kita jadikan sebuah contoh/rujukan kita dalam
melakukan etika dalam belajar. Supaya dalam mengenyam pendidikan kita tidak
berperilaku buruk dan sembarangan dalam belajar.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Etika berasal dari bahasa Yunani, yang berarti ethikos yang mengandung arti
penggunaan, karakter, kebiasaan, kecenderungan, dan sikap yang mengandung
analisis konsep-konsep seperti harus, mesti benar-salah, mengandung pencarian ke
dalam watak moralitas atau tindakan-tindakan moral, serta mengandung pencarian
kehidupan yang baik secara moral.
2. Belajar merupakan suatu proses individu dalam berinteraksi dengan lingkungan
sekitarnya sehingga menimbulkan terjadinya perubahan tingkah laku, baik sikap,
keterampilan, pengetahuan. Perubahan ini terjadi karena adanya respons dari individu
terhadap rangsangan-rangsangan atau stimulus yang diterimanya.
3. Hadist etika belajar
ِ الس ماو
ات َو َم ا يِف ِ ِ
َ َ َّ ﴿ هلل َم ا يِف:ت َعلَى َر ُس ول اهلل ص لى اهلل علي ه وس لم
ْ َ لَ َّما َن َزل:َع ْن َأيِب ُهَر ْي َر َة قَ َال
ِ بِه اهلل َفيغف
ِ اس ب ُكم
ِ ِ اَألر ِ ِإ
ُ ِر ل َم ْن يَ َش اءُ َويُ َع ِّذ
ب َم ْن يَ َش اءُ َواهلل ُ َ ْ ْ َض َو ْن ُتْب ُدوا َم ا يِف َأْن ُفس ُك ْم َْأو خُتْ ُف وهُ حُي ْ
َ ول اللّ ِه ص لى اهلل علي ه وس لم فََأَت ْوا َر ُس
ول ِ اب رس
ِ ْ ِك َعلَى
ُ َ َأص َح ْ ََعلَى ُك ِّل َش ْي ٍء قَ ِد ٌير ﴾ قَ َال ف
َ اش تَ َّد ذل
DAFTAR PUSTAKA
Adib, Mohammad, 2010, Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar
Hamzah B.Uno dan Nurdin Mohammad, 2014, Belajar dengan Pendekatan PAILKEM;
Pembelaran Aktif, Inovatif, Lingkungan, Kreatif, Efektif, Menarik, Jakarta, Bumi Aksara