Anda di halaman 1dari 40

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat rakhmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah “Penerapan
NIlai-Nilai ATB dan AMK pada Bangunan Monumen Bajra Sandi” tepat pada
waktunya dan meskipun banyak hambatan yang dialami dalam proses
pengerjaannya. Kami juga berterima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai Arsitektur Tradisional Bali dan
Arsitektur Masa Kini. Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh
dari sempurna. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik, saran dan usulan demi
perbaikan di masa yang akan datang.

Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata – kata yang
kurang berkenan dan semoga makalah mengenai Arsitektur Tradisional Bali dan
Arsitektur Masa Kini ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Denpasar, April 2018

Penyusun

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR .................................................................................... i
DAFTAR ISI…………………………………………………………………ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang…………………………………………………………...1
1.2.Rumusan Masalah………………………………………………………..2
1.3.Tujuan…………………………………………………………………….2
1.4.Manfaat…………………………………………………………………...3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Arsitektur Tradisional Bali………………………………..4
2.2. Konsep Arsitektur Tradisional Bali……………………………………5
2.3. Ciri-ciri Arsitektur Tradisional Bali…………………………………...9
2.4. Pengertian Arsitektur Masa Kini……………………………………...11
2.5. Teori Arsitektur Masa Kini………………………………………………12
2.5. Teori yang Mengaitkan ATB dan AMK………………………………13
BAB III TINJAUAN OBJEK
3.1. Bentuk Bangunan Bajra Sandi………………………………………...15
3.2. Keadaan Monumen Bajra Sandi………………………………………17
3.3. Sejarah Berdirinya Monumen Bajra Sandi…………………………..18
3.4. Koleksi Monumen Bajra Sandi………………………………………..19
BAB IV PEMBAHASAN
4.1. Penerapan ATB Pada Bangunan Monumen Bajra Sandi…………...22
4.2. Penerapan AMK Pada Monumen Bajra Sandi………………………25
BAB V PENUTUP
5.1. Kesimpulan……………………………………………………………..35
5.2. Saran……………………………………………………………………36
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………37

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1 Tampak depan Bajra Sandi ................................................................15


Gambar 3.2 Diorama pada Bajra Sandi..................................................................20
Gambar 4.1 Bajra Sandi Dengan Konsep Tri Hita Karana ....................................23
Gambar 4.2 Area Paling Atas Dari Bajra Sandi .....................................................24
Gambar 4.3 Ruang /Tempat Diorama ....................................................................24
Gambar 4.4 Puser Tasik Pada Bangunan Bajra Sandi ...........................................25
Gambar 4.5 Bentuk Umum Genta Atau Bajra .......................................................26
Gambar 4.6 Tampak Depan Monument Bajra Sandi .............................................27
Gambar 4.7 Ornamen Karang Gajah Dan Patung Raksasa
Pada Pintu Masuk Bajra Sandi ...............................................................................27
Gambar 4.8 Karang Tapel Dan Penyengker Monument Bajra Sandi ....................28
Gambar 4.9 Tembok Penyengker Dengan Pepatran Flora Dan
Kori Pada Bajra Sandi ............................................................................................30
Gambar 4.10 Ukiran Pada Pintu Masuk Monumen ...............................................32
Gambar 4.11 Penerapan Struktur Kolom Beton Pada Bajra Sandi ........................34

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Arsitektur tradisional merupakan salah satu bentuk kekayaan
kebudayaan bangsa Indonesia. Keberagaman Arsitektur tradisional yang
tersebar di bentang kawasan Nusantara menjadi sumber ilmu pengetahuan yang
tiada habis-habisnya. Arsitektur tradisional di setiap daerah menjadi lambang
kekhasan budaya masyarakat setempat. Sebagai suatu bentuk kebudayaan
arsitektur tradisional dihasilkan dari satu aturan atau kesepakatan yang tetap
dipegang dan dipelihara dari generasi ke generasi. Aturan tersebut akan tetap
ditaati selama masih dianggap dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan
masyarakat setempat.
Arsitektur berkembang dari masa ke masa seiring dengan
perkembangan aspek-aspek kehidupan manusia, yang tidak lepas dari ilmu
pengetahuan, teknologi, budaya, dan sebagainya. Arsitektur sebagaimana
dinyatakan oleh Vitruvius, disebut memenuhi syarat apabila telah memenuhi
aspek – aspek : fungsi, struktur, dan estetika (utilitas, firmitas, venustas). Dari
ketiga aspek tersebut, yang paling mudah dapat dipersepsi atau dirasakan oleh
kebanyakan orang adalah aspek estetika. Khususnya apabila dilihat dari luar.
Estetika atau keindahan sudah dapat dirasakan, meskipun orang belum masuk
ke dalam bangunan. Seperti ungkapan bahwa kekuatan karya arsitektur terletak
dalam substansi bentuk, wajah, sosok, tampak dan lainnya yang ditangkap oleh
pengamat dalam waktu yang sangat singkat itu (Salain, 2003 : 206). Pada masa
sekarang dimana modernisasi serta globalisasi maupun kebutuhan pribadi,
demikian kuat mempengaruhi peri kehidupan dan merubah kebudayaan
masyarakat, adalah suatu kondisi alamiah bahwa suatu kebudayaan pasti akan
mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Namun perubahan yang diinginkan
adalah perubahan yang tetap memelihara karakter inti dan menyesuaikannya
dengan kondisi saat ini, sehingga tetap terjaga benang merah masa lalu, masa
kini dan masa yang akan datang.
Pulau Bali merupakan pulau yang sangat terkenal di dalam maupun di
luar negeri. Bali terkenal akan budayanya, pemandangan alam yang indah dan
yang paling mencirikan Bali adalah Arsitektur Balinya. Arsitektur Tradisional
Bali telah ada sejak zaman dahulu yang turun menurun di wariskan sebagai

1
landasan atau pedoman dalam membangun sebuah hunian yang berfilosofi
tinggi. Aturan aturan atau tata cara itu diatur dalam lontar Asta Kosala – Kosali.
Arsitektur Tradisional Bali yang memiliki konsepsi-konsepsi yang dilandasi
agama Hindu merupakan perwujudan budaya, dimana karakter perumahan
tradisional Bali sangat ditentukan norma-norma agama Hindu, adat istiadat
serta rasa seni yang mencerminkan kebudayaan. Akan tetapi, di Bali saat ini
ditemukan berbagai corak arsitektur, mulai dari Arsitektur Tradisional Bali
Kuno, tradisional Bali yang dikembangkan, arsitektur masa kini yang bergaya
Bali bahkan arsitektur yang sama sekali tidak memiliki nuansa Bali. Untuk
mengetahui aspek-aspek arsitektur tadisional Bali dibutuhkan pengetahuan
yang mendalam, terutama pada aspek filosofi, religius dan sosial budaya. Jika
tidak demikian, arsitektur tradisioanal Bali akan berakhir secara perlahan –
lahan.
Monumen Bajra Sandhi yang terletak di daerah Renon Denpasar ini
merupakan monumen yang kental, kuat serta khas menampilkan arsitektur Bali,
meskipun terdapat beberapa unsur atau konsepnya yang terpengaruhi oleh
budaya modern (arsitektur masa kini). Monumen Perjuangan Rakyat Bali ini
merupakan salah satu wujud arsitektur yang dengan kuat menunjukkan ciri khas
Bali, sebab bangunan ini memiliki ciri khas karena berbentuk mirip dengan
sebuah Bajra. Selain itu, Bajra Sandhi tersebut juga dipengaruhi oleh Arsitektur
Masa Kini yang dapat dilihat dari pola massanya, material yang digunakan
maupun unsur lainnya. Untuk mengetahuinya lebih dalam mengenai Arsitektur
Tradisional Bali dan Arsitektur Masa Kini yang diterapkan pada Monumen
Bajra Sandhi, kami memilih Monumen Bajra Sandhi sebagai objek dari studi
kasus dalam meneliti dan menelaah pengaplikasian konsep teori Arsitektur
Tradisiobal Bali dan Arsitektur Masa Kini.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimana penerapan nilai ATB (Arsitektur Tradisional Bali) pada
bangunan monumen Bajra Sandi?
1.2.2 Bagaimana penerapan nilai AMK (Arsitektur Masa Kini) pada monumen
bangunan Bajra Sandi?

1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui penerapan nilai ATB (Arsitektur Tradisional Bali)
pada bangunan monumen Bajra Sandi

2
1.3.2 Untuk mengetahui penerapan nilai AMK (Arsitektur Masa Kini) pada
bangunan monumen Bajra Sandi

1.4 Manfaat
Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah, dan tujuan yang telah
dipaparkan diatas, maka dapat diuraikan manfaat dari pembuatan makalah ini
adalah :
a. Bagi Penulis
Dapat memperluas pengetahuan penulis mengenai penerapan nilai-nilai
ATB (Arsitektur Tradisional Bali) dan AMK (Arsitektur Masa Kini) pada
bangunan monument Bajra Sandi
b. Bagi Pembaca
Diharapkan bagi pembaca bisa memanfaatkan makalah ini sebagai referensi
mengenai penerapan nilai-nilai ATB (Arsitektur Tradisional Bali) dan
AMK (Arsitektur Masa Kini) pada bangunan monument Bajra Sandi

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Arsitektur Tradisional Bali


Arsitektur sebagai produk kebudayaan akan mencerminkan peradaban
masyarakat setempat. Pada kebudayaan yang bertahan karena nilai-nilainya
tetap dipegang dan diturunkan antar generasi, akan tercermin pada tampilan
arsitektur lingkungan binaannya. Wujud fisik kebudayaannya dikenal sebagai
arsitektur tadisional. Arsitektur tradisional kerap dipadankan dengan
Vernakular Architecture, Indigenous, Tribal (Oliver dalam Martana, 2006),
Arsitektur Rakyat, Anonymus, Primitive, Local atau Folk Architecture
(Papanek dalam Wiranto, 1999). Juga disebut sebagai Arsitektur Etnik
(Tjahjono,1991).
Istilah-istilah tersebut diatas saling terkait dan pada penggambarannya
sulit dipisahkan satu sama lain. Beberapa persamaannya adalah karakter
spesifik yang merujuk pada budaya masyarakat, keterkaitan yang dalam dengan
lingkungan alam setempat (lokalitas), serta bersumber dari adat yang
diturunkan antar generasi dengan perubahan kecil.
Menurut Oliver (2006) arsitektur vernakular (dalam bahasan ini akan
disebut sebagai arsitektur tradisional) dibangun oleh masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan khusus dalam pandangan hidup masing-masing
masyarakat. Kebutuhan khusus dari nilai-nilai yang bersifat lokal ini
menimbulkan keragaman bentuk antar daerah. Kekhasan dari masing-masing
daerah tergantung dari respon dan pemanfaatan lingkungan lokalnya yang
mencerminkan hubungan erat manusia dan lingkungannya (man &
enfironment).
Jadi keragaman arsitektur tradisional mencerminkan besarnya fariasi
budaya dalam luasnya spektrum hubungan masyarakat dan tempatnya. Karakter
kebudayaan dan konteks lingkungannya menjadi fokus bahasan arsitektur
tradisional. Nilai-nilai yang cocok dan dapat memenuhi kebutuhan
dipertahankan dan menjadi tradisi yang diturunkan dari ayah ke anak. Tradisi
ini akan tetap dipertahankan bila mempunyai makna, baik praktis maupun
simbolis.
Arsitektur Tradisional merupakan bagian dari kebudayaan dimana
kelahirannya dilatarbelakangi oleh norma-norma agama, adat kebiasaan dan
juga keadaan alam setempat. Arsitektur Tradisional adalah sebuah perwujudan

4
ruang yang berfungsi untuk menampung segaka aktivitas manusia yang
diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya dengan dan atau tanpa adanya
perubahan didalamnya. (Arsitektur Tradisional Daerah Bali; 10) Berdasarkan
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2005, Arsitektur Tradisional
Bali memiliki arti sebagai sebuah tata ruang dimana pembangunannya
didasarkan atas nilai dan norma-norma baik yang tertulis maupun tidak tertulis
yang akan diwariskan secara turun menurun. Sementara Arsitektur Non
Tradisional Bali adalah arsitektur yang tidak menerapkan norma-norma
arsitektur tradisional Bali secara utuh tetapi menampilkan gaya arsitektur
tradisional Bali. (Perda Prov. Bali Nomor 5 Tahun 2005 tentang Persyaratan
Arsitektur Bangunan Gedung).
2.1 Konsep Arsitektur Tradisional Bali
Arsitektur Tradisional Bali memiliki beberapa konsep-konsep dasar
yang mempengaruhi nilai tata ruangnya, antara lain :
1. Konsep Keseimbangan (keseimbangan unsur semesta, konsep Catur
Lokapala, konsep Dewata Nawa Sanga), konsep ini juga harus menjadi
panutan dalam membangun di berbagai tataran arsitektur termasuk
keseimbangan dalam berbagai fungsi bangunan. konsep Dewata Nawa
Sanga ialah aplikasi dari pura-pura utama yang berada di delapan penjuru
arah di Bali yang yang dibangun menyeimbangkan pulau Bali, pura-pura
utama itu untuk memuja manifestasi tuhan yang berada di delapan penjuru
mata angin dan di tengah. Aplikasi konsep ini menjadi pusat yang berwujud
natah (halaman tengah) dari sini menentukan nilai zona bangunan yang ada
di sekitarnya dan juga pemberian nama bangunan disekitarnya seperti Bale
Daje, Bale Dauh, Bale Delod, Bale Dangin, Jineng dan lain-lain.
2. Konsep Rwe Bhineda (hulu - teben, purusa - pradana). Hulu Teben
merupakan duakutub berkawan dimana hulu bernilai utama dan teben
bernilai nista/ kotor. Sedangkan purusa (jantan) dan pradana (betina)
merupakan embrio suatu kehidupan.
3. Konsep Tri Buana - Tri Angga dan Tri Loka. Susunan Tri Angga fisik
manusia dan struktur Tri Buana fisik alam semesta melandasi susunan atas
bagian kaki, badan, kepala yang masing-masing bernilai nista, madya dan
utama. Menurut Dwijendra (2008 : 4) Tri Angga berasal dari kata Tri yang
berarti tiga dan Angga yang berarti badan. Tri Angga terbagi menjadi :
a. Utama Angga (kepala).
b. Madya Angga (badan).
c. Nista Angga (kaki).

5
Tri Angga dalam Bhuana Agung sering disebut dengan Tri Loka atau
Tri Mandala. Dalam kaitannya dengan arsitektur tradisional bali maka:
a. Utama Angga merupakan bagian atap.
b. Madya Angga merupakan bagian dinding.
c. Nista Angga merupakan bagian bebatuan.
Konsep ini jika di dasarkan secara vertical, maka nilai Utama berada
pada posisi teratas, Madya pada posisi tengah, dan posisi terakhir Nista
pada posisi terendah/kotor.

Selain memberikan nilai secara vertical, Tri Angga juga memiliki tata
nilai Hulu Teben. Konsep Hulu Teben ini kemudian mempunyai beberapa
orientasi - orientasi antara lain :
 Orientasi dengan konsep sumbu ritual Kangin-Kauh.
 Orientasi dengan konsep sumbu bumi, Kaja – Kelod.
 Orientasi dengan konsep Akasa - Pertiwi, Atas Bawah.
4. Konsep keharmonisan dengan lingkungan, ini menyangkut pemanfaatan
sumber daya alam, pemanfaatan potensi sumber daya manusia setempat,
khususnya insan-insan ahli pembangunan tradisional setempat.
5. Tri Hita Karana
Menurut Dwijendra (2008 : 2) Tri Hita Karana berasal dari kata Tri
yaitu tiga. Hita yang berarti kemakmuran, baik, gembira, senang, dan
lestari. Karana yaitu sebab, sumber, atau penyebab. Jadi Tri Hita Karan
berarti tiga unsur penyebab kebaikan yang meliputi :
a. Atma (roh atau jiwa).
b. Prana (tenaga).
c. Angga (jasad atau fisik).
Konsepsi Tri Hita Karana dipakai dalam pola ruang dan pola
perumahan tradisional bali yang diidentifikasi :
a. Parahyangan, dalam arsitektur tradisional bali berupa tempat suci.
b. Pawongan, dalam arsitektur tradisional bali berupa manusia.
c. Palemahan, dalam arsitektur tradisional bali berupa pekarangan.

6
6. Orientasi
Menurut Dwijendra (2008 : 6) dalam tata nilai arsitektur tradisional
Bali untuk mencapai keselarasan antara bhuana agung dan bhuana alit
berdasarkan pada tata nilai hulu-teben. Konsep ini memiliki orientasi-
orientasi sebagai berikut :
a. Orientasi dengan konsep sumbu ritual kangin-kauh.
 Kangin (matahari terbit) - luan, nilai utama.
 Kauh (matahari terbenam) - teba, nilai nista.
b. Orientasi dengan konsep sumbu bumi atau natural kaja-kelod.
 Kaja (kearah gunung) - luan, nilai utama.
 Kelod (kearah laut) - teba, nilai nista.
c. Orientasi dengan konsep akasa-pertiwi, atas-bawah.
 Alam atas - Akasa, purusa.
 Alam bawah - Pertiwi, pradana.
 Konsep akasa-pertiwi yang diterapkan dalam pola ruang kosong
dalam perumahan atau lingkungan bali dikenal dengan natah.
7. Sanga Mandala
Konsep tata ruang Sanga Mandala juga merupakan konsep yang
lahir dari sembilan manifestasi Tuhan yaitu Dewata Nawa Sanga yang
menyebar di delapan arah mata angin ditambah satu ditengah untuk
menjaga keseimbangan alam semesta. Konsep Sanga Mandala digunakan
sebagai acuan untuk melakukan zonasi kegiatan dan tata letak bangunan
tradisional Bali.
Utamaning Utamaning Utamaning
Nista Madya utama
(III) (II) (I)
Madyaning Madyaning Madyaning
nista madya Utama
(VI) (V) (IV)

Nistaning Nistaning Nistaning


Nista madya Utama
(IX) (VIII) (VII)
Keterangan :

I : mrajan, sumur

II : mrajan, sumur, meten

7
III : mrajan, sumur, penunggun karang

IV : bale dangin

V : natah, pengijeng

VI : bale dauh, penunggung karang

VII : kebun

VIII : bale delod, dapur, jineng

IX : bada, dapur, jineng, sumur

8. Teori Ragam Hias


Menurut Dwijendra (2008 : 165) Ragam hias pada arsitektur
tradisional Bali merupakan benda-benda alam yang diterjemahkan dalam
bentuk ragam hias, tumbuh-tumbuhan, binatang, unsur alam, nilai-nilai
agama dan kepercayaan disarikan ke dalam suatu perwujudan keindahan
yang harmonis.
Bentuk, tata warna, cara membuat dan penempatannya mengandung
arti dan maksud-maksud tertentu. Estetika, etika dan logika adalah dasar-
dasar pertimbangan dalam mencari, mengolah dan menempatkan ragam
hias yang mengambil dikehidupan dibumi, manusia, binatang dan
tumbuh-tumbuhan. Dalam bentuk -bentuk hiasan manusia umumnya
ditampilkan dalam bentuk hasil pemikiran tentang agama, adat dan
kepercayaan.
Dalam ragam hias arsitektur tradisional bali dibagi menjadi :
A. Pepatran (flora)
Berbagai macam flora yang ditampilkan dalam bentuk simbolis
dipolakan dalam bentuk-bentuk pepatran dengan ungkapan masing-
masing. Arti dan maksud dari pepatran :
1. Ragam hias untuk keindahan.
2. Ragam hias untuk ungkapan simbolis.
3. Ragam hias sebagai alat komunikasi
B. Kekarangan
Ragam hias dari jenis-jenis fauna ditampilkan sebagai materi
hiasan dalam berbagai macam bentuk dengan namanya masing-
masing. Arti dan maksud dari kekarangan :
1. Ragam hias untuk keindahan
2. Ragam hias sebagai simbol ritual.

8
3. Ragam hias sebagai media edukasi.
4. Ragam hias sebagai alat komunikasi.
C. Alam
Ragam hias yang mengungkapkan alam dan menampilkan
unsur-unsur alam sebagai materi hiasan. Alam sebagai ragam hias
dalam pengertian alam sebagai materi hiasan menampilkan jenis
fauna dan flora sebagaimana adanya di alam raya.

2.3 Ciri – ciri Arsitektur Tradisional Bali


Melihat keunikan arsitektur khas pulau Bali, berikut penjelasan mengenai
ciri khas dari bangunan arsitektur Bali.
1. Harmoni dengan alam
Salah satu unsur yang kental dari arsitektur di Bali dan
merupakan karakter sebagai watak dasar arsitektur Bali. Dengan konsep
Tri Hita Karana, arsitektur Bali biasanya terdiri dari 3 unsur
penghubung keharmonisan yaitu jiwa, raga dan tenaga. Tiga unsur ini
akan menciptakan keharmonisan hubungan antara lingkungan alam,
antar manusia serta manusia dengan Tuhan. Biasanya bangunan tersebut
ditandai dengan material yang kental akan nuansa alam seperti batu-
batuan alam ataupun bambu.
2. Adanya Pura atau kuil umat Hindu
Sejak kedatangan kerajaan Majapahit sekitar abad 15, arsitektur
Bali secara umum mendapat pengaruh dari Hindu. Kedatangan
Majapahit meninggalkan kebudayaan di Bali berupa tehnik pahatan di
batu. Karya-karya pahatan diletakkan di depan rumah dan digunakan
sebagai pura atau tempat ibadah orang Hindu. Seiring perkembangan
jaman, selain kehadiran pura kecil di depan rumah, patung juga menjadi
salah satu gaya arsitektur yang identic dengan Bali. Pada agama Hindu
sendiri terdapat konsep “Tri Loka”, yakni pemisahan eksistensi antara
alam para Dewa, alam manusia dan alam iblis/roh jahat. Konsep ini
kemudian direfleksikan dari bentuk Pura Balinya dan menjadikan Pura
ini sedikit berbeda dengan Pura yang ada di India. Mayoritas Pura di
Bali didesain dengan tiga tingkatan, dimana tingkat tertinggi
merepresentasiikan tingkat kesakralan dan pemujaan untuk Dewa-
Dewa atau Sang Hyang Widi.

9
3. Struktur ruang yang rapi
Gaya arsitektur Bali dibuat dengan konsep Tri Angga yang
merupakan konsep keseimbangan. Tri Angga merupakan pembagian
zona atau area dalam perencanaan arsitektur tradisional Bali, yang
memperlihatkan tiga tingkatan yaitu: Utama atau kepala. Bagian ini
diposisikan paling tinggi yang diwujudkan dalam bentuk atap pada
arsitektur tradisional bagian ini menggunakan atap ijuk atau alang-
alang. Namun seiring perkembangan jaman, bagian atap mulai
menggunakan bahan modern seperti genteng. Madya atau badan.
Bagian tengah dari bangunan ini diwujudkan dalam bentuk bangunan
dinding, jendela dan pintu. Nista atau kaki merupakan bagian yang
terletak di bawah dari sebuah bangunan. Bagian ini diwujudkan dengan
pondasi rumah atau bawah rumah yang digunakan sebagai penyangga.
Biasanya bagian ini terbuat dari batu bata atau batu gunung.
4. Mendapat pengaruh dari unsur-unsur kebudayaan polinesia
Polinesia atau pemujaan kepada banyak Dewa merupakan
kebudayaan awal yang eksis di pulau Bali sebelum kedatanga
kebudayaan Hindu. Maka di beberapa gaya arsitekturnya masih dapat
ditemui unsur-unsur kebudayaan ini. Orang-orang Bali kerap
membangun Pura atau rumah mereka dengan konsep terbuka, terutama
untuk hal-hal yang bersifat pemujaan kepada Dewa-Dewa. Bahkan,
dalam satu kompleks Pura terdapat lebih dari satu dimana masing-
masing digunakan untuk memuja Dewa yang berbeda. Bangunan yang
tidak didesain untuk pemujaan, bangunan tersebut kebanyakan terbuat
dari bambu dan material lain yang kental dengan nuansa alaminya
seperti batu-batuan alam.
5. Berorientasi pada hal-hal yang bernuansa sacral
Gaya arsitektur Bali yang asli tidak dibuat dengan sembarangan,
melainkan dengan konsep dan perhitungan yang matang dan
merepresentasikan kesakralan. Tak hanya dengan bangunan Pura atau
rumah-rumah pribadi, bangunan-bangunan kecil juga kerap didesain
dengan mempertimbangkan konsep ini. Bahkan terdapat salah satu
manuskrip Hindu yang dijadikan pedoman dalam membangun rumah.
Manuskrip itu berjudul Asta Kosala Kosali, terdapat gambaran
mengenai orientasi dan layout dari sebuah bangunan yang ideal.
Arsitektur Bali berfokus pada 4 aspek yaitu:

10
 Sistem ventilasi yang baik. Pada bagunan-bangunan Bali, jendela
besar selalu digunakan untuk sirkulasi udara dan sering dibuat
diantara atap dan dinding bangunan.
 Pondasi yang kokoh. Berdasarkan pada filosofi Tri Loka, tubuh
manusia mirip dengan rumah, maka dibuat pondasi dengan dasar
yang kuat seperti kaki bagi manusia, pondasi yang kuat
memberikan kekuatan pada sebuah bangunan.
 Sebuah halaman yang besar. Berdasarkan konsep yang selaras
dengan alam, rumah khas Bali harus memiliki halaman yang luas
untuk berkomunikasi dengan alam sekitarnya.
 Tembok penjaga. Tembok tinggi yang melindungi rumah dari
pandangan orang luar, memberikan privasi dan perlindungan dari
orang lain, serta untuk menangkal ilmu hitam dan roh-roh jahat
agar tidak masuk ke dalam rumah.
6. Seperti yang sering kita lihat di beberapa media, rumah-rumah di Bali
cenderung memiliki struktur yang kompleks namun tertata rapi. Rumah-
rumah beraksitektur tradisional Bali tak hanya terdiri atas satu unit
stuktur, tapi lebih mengarah ke sekumpulan bangunan-bangunan
dimana setiap bangunan dihuni satu kepala keluarga. Biasanya, mereka
yang tinggal di kompleks ini merupakan keluarga besar dan berasal dari
keturunan yang sama. Di sekeliling kompleks bangunan ini dibangun
tembok yang tak terlalu tinggi, namun cukup memisahkannya dengan
dunia luar.
7. Struktur Rumah Tradisional Bali
Seperti yang sering kita lihat di beberapa media, rumah-rumah di Bali
cenderung memiliki struktur yang kompleks namun tertata rapi. Rumah-
rumah beraksitektur tradisional Bali tak hanya terdiri atas satu unit
stuktur, tapi lebih mengarah ke sekumpulan bangunan-bangunan
dimana setiap bangunan dihuni satu kepala keluarga. Biasanya, mereka
yang tinggal di kompleks ini merupakan keluarga besar dan berasal dari
keturunan yang sama. Di sekeliling kompleks bangunan ini dibangun
tembok yang tak terlalu tinggi, namun cukup memisahkannya dengan
dunia luar.

2.4 Pengertian Arsitektur Masa Kini


Kata modern dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang memiliki
kaitan dengan setiap hal yang berkembang pada masa kini atau yang

11
menunjukkan karakter kekinian. Untuk suatu hunian, hunian yang modern
berarti hunian yang memiliki dan menunjukkan adanya ciri Arsitektur Modern.
Hunian yang memiliki gaya Arsitektur Modern harus mampu menghadirkan
gaya hidup masa kini di dalam bangunan.
Arsitektur Masa Kini dapat diartikan sebagai pernyataan jiwa dari suatu
massa, yang dapat menyesuaikan diri dengan perubahan sosial dan ekonomi
yang ditimbulkan pada zamannya, yaitu dengan mencari keharmonisan dari
elemen modern serta mengembalikan arsitektur pada bidang yang sebenarnya
(ekonomis, sosiologis, dan kemasyarakatan). (Congreas Interationaux d’
Architecture Moderne/CIAM, 1928). Dengan kata lain maka dapat disebutkan
Arsitektur Masa Kini adalah arsitektur yang dilandasi oleh komposisi massa
dinamis, non aksial dan yang paling penting didasarkan atas pembentukan
ruang-ruang, baik didalam maupun diantara bangunan (Ir. Sidharta, Arsitektur
Indonesia).
Arsitektur Masa Kini adalah hasil dari pemikiran baru mengenai
pandangan hidup yang lebih manusiawi, seperti moralis, nasionalis, materialis,
standarisasi serta jujur, yang diterapkan dalam bentuk fisik bangunan.
Arsitektur modern atau Masa Kini dapat diartikan sebagai berikut:
1. Hasil pemikiran baru mengenai pandangan hidup yang lebih ‘manusiawi’
yang diterapkan pada bangunan.
2. Upaya dan karya dalam bidang arsitektur yang dapat dihasilkan dari alam
pemikiran modern yang dicirikan sikap mental yang selalu menyisipkan hal-
hal baru, hebat dan kontemporer sebagai pengganti dari tradisi dan segala
bentuk pranatanya.

2.5 Teori Arsitektur Masa Kini


1. Teori Fungsionalis

Bangunan terbentuk dari bagian-bagiannya berupa dinding, jendela,


atap, pintu, struktur dan lain-lain yang tersusun dalam komposisi dari
unsur-unsur yang semuanya mempunyai fungsi. Keindahan yang timbul
dari bangunan tersebut berasal dari adanya fungsi dari elemen-elemen
bangunan tersebut. Jadi bangunan yang fungsionalis merupakan
bangunan yang setiap elemennya memiliki fungsinya tersendiri dan
tidak ada bagian yang tidak memiliki fungsi.

12
2. Teori Kubisme

Teori kubisme terlahir dari konsep pada teori fungsionalis yang


kemudian dimodofikasi menjadi bangunan yang bersih, murni, tanpa
hiasan, sederhana berupa komposisi bidang, kotak, balok, dan kubus.

2.6 Teori yang Mengkaitkan ATB dan AMK


1. Teori Analogi
Menurut dinas tata kota dan bangunan kota Denpasar (2008 : 19)
teori ini akan dipakai dalam pembahasan atau kajian atas segala hal
ikhwal kesamaan prinsip-prinsip dasar dari nilai-nilai wujud fisik/rupa
ATB dan AMK yang telah teridentifikasi untuk dapat dipadukan atau
disetarakan atau diadaptasikan, memilah nilai-nilai yang tidak setara
dan nilai lebih yang dimiliki ATB dan AMK. Teori ini dapat dilihat
penerapannya pada hukum yang ada berdasarkan pada peraturan daerah
provinsi bali nomor 5 tahun 2005 bab III pasal 13 yang berbunyi.
Pasal 13
(1) Arsitektur bangunan gedung non tradisional Bali harus dapat
menampilkan gaya arsitektur tradisioal Bali dengan menetapkan
prinsip-prinsip arsitektur tradisional Bali yang selaras, seimbang
dan terpadu dengan lingkungan setempat.
(2) Prinsip-prinsip arsitektur tradisional Bali sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tercantum pada Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
(3) Pembangunan bangunan gedung dengan fungsi khusus yang
karena kekhususannya tidak mungkin menerapkan prinsip-
prinsip arsitektur tradisional Bali, dapat menampilkan gaya
arsitektur lain dengan persetujuan Gubernur setelah mendapat
rekomendasi DPRD.
Berdasarkan penerapan teori ini akan memberikan cara untuk
mengadopsi teori filosofi arsitektur tradisional bali yang telah
digunakan pada masa lalu, filosofi arsitektur tradisional bali dapat
digunakan sebagai acuan utama dalam pelaksanaan pembangunan pada
arsitektur masa kini yang kemudian dapat dilakukan pemngembangan
dan modifikasi namun tetap memiliki prinsip utama yang berdasarkan
pada filosofi arsitektur tradisional Bali.

13
2. Teori Ornamen dan Dekorasi sebagai ragam hias arsitektur
Menurut dinas tata kota dan bangunan kota Denpasar (2008 : 19)
Ornamen dan dekorasi sebagai ragam hias arsitektur menjadi isu yang
sangat penting dalam arsitektur modern khususnya aliran
fungsionalisme dan rasionalisme sebagai bagian arsitektur
kontemporer, sedangkan dalam ATB sangat sarat dengan ornamen dan
dekorasi sebagai ungkapan makna/ simbol dan jati diri. Berbagai hal
ikhwal kehadiran dan pandangan yang oposisi biner terhadap kehadiran
ornamen dan dekorasi ini perlu diketahui untuk menentukan suatu
formulasi yang berimbang antara rasionalitas dan rasa dalam melakukan
reformasi. Termasuk didalmanya membahas bagaimana menyikapi dan
memperlakukann ornamen dan dekorasi secar aproporsinal, sehingga
makna atau simbol dan jati diri ATB masih tetap tampil didalam era
kesejagatan. Teori ini dapat dilihat penerapannya pada hukum yang ada
berdasarkan pada peraturan daerah provinsi bali nomor 5 tahun 2005
bab III pasal 7 ayat 1 dan ayat 2 yang berbunyi.
(1) Arsitektur bangunan gedung harus memenuhi persyaratan :
a. penampilan luar dan penampilan ruang dalam;
b. keseimbangan, keselarana, dan keterpaduan bangunan
gedung dengan lingkungan dan ;
c. nilai-nilai luhur dan identitas budaya setempat.
(2) Persyaratan penampilan bangunan gedung sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus menerapkan norma-norma
pembangunan tradisional Bali dan/atau memperhatikan bentuk
dan karakteristik Arsitektur Tradisional Bali yang berlaku umum
atau arsitektur dan lingkungan setempat yang khas dimasing-
masing kabupaten/Kota

Adanya teori ini akan memberikan pengaruh kepada arsitektur masa


kini untuk tetap menggunakan dekorasi berupa ragam hias pada bangunan-
bangunan arsitektur masa kini dengan tujuan untuk tetap melestarikan budaya
yang telah ada dan tetap menunjukkan jati diri, keberadaan teori ini akan
memberikan kelangsungan kepada kebudayaan arsitektur tradisional Bali.

14
BAB III
TINJAUAN OBJEK

3.1 Bentuk Bangunan Monumen Bajra Sandi

Gambar 3.1 Tampak depan bajra sandi


Sumber : plasainformasi.com (16 April 2018)

Museum ini menjadi simbol masyarakat Bali untuk menghormati para


pahlawan serta merupakan lambang persemaian pelestarian jiwa perjuangan
rakyat Bali dari generasi ke generasi dan dari zaman ke zaman, serta lambang
semangat untuk mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari 17 anak tangga yang ada di pintu utama, 8
buah tiang agung di dalam gedung monumen, dan monumen yang menjulang
setinggi 45 meter. Letak monumen tersebut sangat strategis sebab berada persis
di depan Kantor Gubernur Bali, atau tepatnya di Lapangan Niti Mandala Renon
Denpasar. Luas bangunan monumen itu adalah 4.900 m2 (70 m x 70 m) dan
luas tanah 138.830 m2 .

Monumen ini dapat dibagi menjadi beberapa bagian, baik secara


horizontal maupun vertical. Secara horizontal adalah susunan bangunannya
berbentuk segi empat bujur sangkar, simetris dan mengacu pada konsep Tri
Mandala, yaitu:

1. Sebagai Utama Mandala adalah pelataran/gedung yang paling di tengah


2. Sebagai Madya Mandala adalah pelataran yang mengitari Utama Mandala

15
3. Sebagai Nista Mandala adalah pelataran yang paling luar yang mengitari
Madya Mandala

Bangunan gedung monumen pada Utama Mandala tersusun menjadi 3


lantai yaitu:

1. Utamaning Utama Mandala adalah lantai 3 yang berposisi paling atas


berfungsi sebagai ruang ketenangan, tempat hening-hening menikmati
suasana kejauhan di sekeliling monumen

2. Madyaning Utama Mandala adalah lantai 2 berfungsi sebagai tempat diaroma


yang berjumlah 33 unit. Lantai 2 ini sebagai tempat pajangan miniatur
perjuangan rakyat Bali dari masa ke masa. Di bagian luar sekeliling ruangan
ini terdapat serambi atau teras terbuka untuk menikmati suasana sekeliling

3. Nistaning Utama Mandala adalah lantai dasar gedung monumen, yang


terdapat ruang informasi, ruang perpustakaan, ruang pameran, ruang
pertemuan, ruang administrasi, gedung dan toilet. Di tengah-tengah ruangan
terdapat telaga yang diberi nama sebagai Puser Tasik, delapan tiang agung
dan juga tangga naik berbentuk tapak dara.

Secara vertikal, Bajra Sandi terbagi menjadi tiga bagian yaitu mengacu
pada konsep Tri Angga. Konsep Tri Angga adalah:

1. Utama atau kepala, yaitu tidak berisi apapun atau kosong yang merupakan
simbul keabadian.

2. Madya atau badan yaitu terdapat pajangan diorama

3. Nista atau kaki, yaitu terdapat taman-taman

Selain Tri Angga dan Tri Mandala terdapat juga nilai filosofis, yaitu
pemutaran Gunung Mandara Giri oleh para dewa dan raksasa yang bekerja
sama guna memperoleh Tirta Amertha. Bangunan utama yang tinggi
merupakan lingga dan dasar bangunannya adalah yoni. Lingga Yoni merupakan
simbol dari pertemuan pria (purusa) dengan wanita (pradana), yaitu pertemuan
antara kekuatan positif dan kekuatan negatif yang menurut kepercayaan purba
merupakan pertemuan antara langit dengan bumi dipandang sebagai lambang
kesuburan. Lingga menurut bentuknya terbagi dalam empat bagian yaitu bagian
puncak yang berbentuk bulat yang disebut Siwaghaga, merupakan simbol
linggih dewa Siwa. Bagian tengah yang berbentuk segi delapan disebut
Wisnubhaga yang merupakan simbol linggih dewa Wisnu. Bagian bawah
lingga yang berbentuk segi empat disebut Brahmabhaga adalah simbol linggih

16
dewa Brahma. Pada bagian bawah paling dasar di mana lingga tersebut berdiri
tegak, umumnya berbentuk segi empat yang memiliki mulut sebagai saluran air
suci disebut yoni. Dengan demikian lingga merupakan linggih dewa Siwa
dalam manifestasinya sebagai sumber kesuburan.

Dalam konsep filsafat Pemutaran Gunung Mandara Giri di lautan susu,


dari bentuk bangunan monumen dapat diuraikan antara lain bangunan utama
yang kelihatan sebagai bajra atau genta merupakan simbol dari Gunung
Mandara Giri. Kolam yang mengelilingi bangunan utama sebagai wujud dari
lautan susu atau ksirarnawa dan bentuk yang seperti guci yang terdapat di ujung
monument merupakan simbol dari akumba sebagai tempat tirtha amertha.
Sedangkan bedawangnala atau akupa merupakan dasar dari Mandara Giri dan
naga basuki yang melilit bedawangnala yang kedua-duanya terlihat di Kuri
Agung. Dari konsep Tri Mandala secara vertical dapat dikatakan bahwa areal
monumennya adalah utamaning mandala, areal segi delapannya adalah
madyaning mandala dan pada areal segi empatnya adalah nistaning mandala.
Di lantai dua bangunan, terdapat tangga melingkar untuk menuju lantai tiga dan
terasa sedikit pusing saat menaikinya. Di lantai tiga bangunan monumen,
terdapat ruangan yang cukup luas dan dikelilingi oleh jendela kaca. Dari
bangunan di lantai tiga ini, anda dapat melihat 360 derajat pemandangan kota
Denpasar dan sekitarnya.

3.2 Keadaan Monumen Bajra Sandi

Monumen yang terletak di tengah-tengah lapangan puputan Niti


Mandala Renon ini telah menarik banyak wisatawan. Kawasan yang ditata
dengan baik serta arsitektural yang hebat mencerminkan kekuatan dan juga sisi
artistik yang dimiliki rakyat Bali. Monumen ini juga memiliki letak yang
strategis karena ditempatkan di depan Gedung Gubernur Bali dan Gedung
DPRD. Area ini dulunya adalah lokasi perang kemerdekaan antara Pejuang
Kemerdekaan Bali melawan Pasukan Belanda. Perang ini terkenal dengan
perang puputan yang berarti perang habis-habisan hingga tetes darah terakhir.
Monumen ini dibangun sebagai tanda jasa untuk menghormati pahlawan perang
kemerdekaan yang berjuang demi kemerdekaan Indonesia. Monumen ini
berdiri di atas lahan seluas 138.830 meter persegi dengan luas bangunan utama
sekitar 4.900 meter persegi. Merupakan monumen bersejarah yang dapat
menambah wawasan, Monumen Barja Sandhi yang terletak di tengah lapangan
Renon ini memiliki arsitektural bangunan yang hebat untuk dijadikan tempat
dan objek yang bagus untuk mengambil foto. Dengan membayar Rp 2.000,-

17
pengunjung sudah bisa masuk ke gedung monumen. Pelataran paling luar
disebut Nista Mandala. Kemudian terdapat tangga naik 9 menuju bangunan
utama dan 17 anak tangga menuju bangunan utama melambangkan tanggal
proklamasi kemerdekaan.

Pada bangunan Utama Mandala di lantai dasar terdapat ruang informasi,


administrasi, perpustakaan, rapat, dan ruang pameran yang menampilkan foto-
foto pahlawan dan peristiwa bersejarah di Bali. Di dekat ruang Utama Mandala
di lantai dasar, terdapat kolam ikan yang dikelilingi oleh delapan pilar. Pilar-
pilar melambangkan bulan Agustus 1945. Dari lantai dasar terdapat tangga
menuju ruang Madya Mandala. Di ruang Madya Mandala dipamerkan keris-
keris yang pernah dipakai zaman perjuangan dan ditampilkan 33 mini diorama
sejarah Bali mulai dari zaman prasejarah sampai masa kemerdekaan. Sangat
menarik menyaksikan potongan sejarah yang ditampilkan dalam diorama.
Selepas melihat-lihat diorama, berjalan melewati tangga melingkar menuju ke
puncak menara. Tinggi menara 45 meter melambangkan tahun kemerdekaan
Indonesia 1945. Dari ketinggian nampak pemandangan lapangan Renon 360
derajat dan pemandangan sebagian kota Denpasar.

3.3 Sejarah Berdirinya Monumen Bajra Sandi

Museum Perjuangan Rakyat Bali (Bajra Sandhi) tercetus pada tahun


1980 yang berawal dari ide Prof. Dr. Ida Bagus Mantra yang saat itu adalah
Gubernur Bali. Ia mencetuskan ide awalnya tentang museum dan monumen
untuk perjuangan rakyat Bali. Lalu pada tahun 1981, diadakan sayembara
desain monumen, yang dimenangkan oleh Ida Bagus Yadnya, dia adalah
seorang mahasiswa jurusan arsitektur Fakultas Teknik Universitas Udayana.
Lalu pada tahun 1988 dilakukan peletakan batu pertama dan selama kurang
lebih 13 tahun pembangunan monumen selesai. Tahun 2001, bangunan fisik
monumen selesai. Setahun kemudian, pengisian diorama dan penataan
lingkungan monumen dilakukan. Pada bulan September 2002, SK Gubernur
Bali tentang penunjukan Kepala UPTD Monumen dilaksanakan. Dan akhirnya,
pada tanggal 1 Agustus 2004, pelayanan kepada masyarakat dibuka secara
umum, setelah sebelumnya pada bulan Juni 2003 peresmian monumen
dilakukan oleh Presiden RI pada saat itu, yakni Ibu Megawati Soekarnoputri.
Monumen ini terletak di kawasan Lapangan Renon yang tentunya sangat
menarik perhatian bagi semua orang karena tempatnya yang terawat dengan
baik dan bersih dan lengkap dengan menara yang menjulang ke angkasa yang
mempunyai arsitektur khas Bali yang indah. Lokasi monumen ini juga sangat

18
strategis karena terletak di depan Kantor Gubernur Bali yang juga di depan
Gedung DPRD Provinsi Bali tepatnya di Lapangan Niti Mandala Renon.
Tempat ini merupakan tempat pertempuran jaman kemerdekaan antara rakyat
Bali melawan pasukan penjajah. Perang ini terkenal dengan sebutan “Perang
Puputan”yang berarti perang habis-habisan. Monumen ini didirikan untuk
memberi penghormatan pada para pahlawan serta merupakan lambang
penghormatan atas perjuangan rakyat Bali.

Museum ini lambang semangat untuk mempertahankan keutuhan


Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari 17 anak tangga
yang ada di pintu utama, 8 buah tiang agung di dalam gedung monumen, dan
monumen yang menjulang setinggi 45 meter. Bentuk museum ini diambil
berdasarkan cerita Hindu pada saat Pemutaran Gunung Mandara Giri oleh Para
Dewa dan Raksasa guna mendapatkan Tirta Amertha atau Air Suci Kehidupan.
Dinamakan Museum Bajra Sandi karena bentuk museum ini seperti Bajra atau
Genta yang dipakai oleh para pemimpin Agama Hindu dalam mengiringi
pengucapan japa mantra pada saat melakukan upacara Agama Hindu. Adapun
bagian-bagian yang penting dalam museum ini adalah sebagai berikut :

1. Bangunan Museum yang menjulang melambangkan Gunung Mandara Giri

2. Guci Amertha dilambangkan dalam bentuk Kumba (periuk) tepat bagian atas
museum

3. Naga yang melilit museum melambangkan Naga Basuki yang digunakan


sebagai tali dalm pemutaran Mandara Giri.

4. Kura-kura yang terdapat di bagian bawah museum merupakan simbul dari


Bedawang Akupa yang digunakan sebagai alas pemutaran Mandara Giri.

5. Kolam yang terdapat disekeliling museum merupakan simbul dari Lautan


Susu yang mengelilingi Mandara Giri tempat beradanya Air Suci Kehidupan
atau Tirtha Amertha.

3.4 Koleksi Monumen Bajra Sandi

Koleksi Monumen Bajra Sandhi antara lain foto-foto kekejaman perang


rakyat Bali melawan Belanda. Nilai kepahlawanan tercermin dari 33 diorama
yang ada di dalamnya. Gagasan dan inspirasi membangun MPRB adalah
keinginan untuk memiliki sebuah lambang yang mewakili semangat juang
orang Bali. Diorama itu memberikan gambaran kepada generasi penerus
bagaimana jejak perjuangan rakyat Bali. Salah satunya heroik rakyat Badung

19
dalam perang puputan tahun 1906. Tegasnya, MPRB diharapkan mampu
menjadi lambang yang mengabadikan jiwa-jiwa perjuangan rakyat Bali dari
zaman ke zaman. Diorama itu sendiri diharapkan selesai akhir tahun ini.
Menurut rancangan, diorama akan diletakkan di lantai dua berisi 33 unit
pajangan miniatur perjuangan rakyat Bali dari masa ke masa.

Gambar 3.2 Diorama pada bajra sandi


Sumber : arahjalan.com (16 April 2018)

Urutan unit 1 sampai dengan 33 dimulai dari arah mata angin timur
memutar ke kanan searah jarum jam. Deretan putaran luar sampai dengan unit
21, deretan putaran tengah mulai unit 22 sampai dengan unit 33. Diorama itu
menceritakan pertama, kebudayaan Bali pada masa berburu dan
mengumpulkan makanan. Kedua, kebudayaan Bali pada masa bercocok tanam.
Ketiga, kegiatan membuat aneka perunggu. Keempat, tradisi penguburan
dengan memakai sarkofagus. Semua unit tersebut menggambarkan perjuangan
Bali pada masa prasejarah. Unit berikutnya mencerminkan perjuangan rakyat
Bali pada masa Bali Kuno, meliputi prasasti Sukawana (unit 5), Rsi
Markandeya (unit 6), Sri Ksari Warmadewa tahun 914 M (unit 7), Gunapriya
Dharma Patni dan suaminya Dharmodayana Warmadewa, tahun 989-1001 M
(unit (8), Mpu Kuturan, tahun 1007 (unit 9), Sri Aji Anak Wungsu tahun 1050
- 1078 M (unit 10), Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten (unit 11), Sri Kresna
Kepakisan tahun 1347 - 1350 M (unit 12), Dalem Ketut Ngelusir tahun 1380 -
1460 M (unit 13), dan Dalem Watu Renggong tahun 1460 - 1550 M (unit 14).
Diorama berikutnya memajang Perjuangan Rakyat Bali periode 1845-1950,
yakni (15) perang Buleleng, (16) Patih Jelantik merobek surat Gubernur

20
Jenderal di hadapan Raja Klungkung, (17) Perang Jagaraga, (18) Perang
Kusamba, (19) Puputan Badung, (20) Puputan Klungkung, (21) Bangkitnya
Organisasi Pemuda di Bali, (22) Kehidupan masyarakat pada masa Jepang, (23)
Gerakan Bawah Tanah menentang Fasisme Jepang, (24) Proklamasi
Kemerdekaan sampai di Bali, (25) Menyebarluaskan berita Proklamasi, (26)
Pusat Komando PRI (Pemuda Republik Indonesia), (27) Peristiwa Bendera di
Pelabuhan Buleleng, (28) Pertempuran Laut di Selat Bali, (29) Serangan Umum
terhadap Tangsi NICA di Denpasar, (30) Pembentukan Dewan Perjuangan
Rakyat Sunda Kecil (DPRI SK), (31) Pertempuran Tanah Aron, (32)
Pertempuran Marga dan (33) Bali dalam mengisi kemerdekaan.

21
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Penerapan ATB Pada Bangunan Monumen Bajra Sandi

Arsitektur tradisional merupakan salah satu bentuk kekayaan


kebudayaan bangsa Indonesia. Keberagaman Arsitektur tradisional yang
tersebar di bentang kawasan Nusantara menjadi sumber ilmu pengetahuan yang
tiada habis-habisnya. Setiap daerah memiliki ciri khas arsitekturnya masing-
masing, seperti halnya arsitektur tradisional bali yang memiliki konsep yang
sangat selaras dengan keadaan alam sekitarnya (tri hita karana). Adapun konsep
lain yang diterapkan dari masa lalu hingga sekarang yang masih diterapkan
pada bangunan tradisional bali masa kini yaitu :

4.1.1 Konsep Tri Hita Karana pada Bajra Sandhi

Tri Hita Karana yang secara etimologi terbentuk dari kata : tri
yang berarti tiga, hita berarti kebahagiaan, dan karana yang berarti sebab
atau yang menyebabkan, dapat dimaknai sebagai tiga hubungan yang
harmonis yang menyebabkan kebahagian. Ketiga hubungan tersebut
meliputi :

1. Parahyangan : Hubungan yang harmonis antara manusia dengan Ida


Sang Hyang Widhi Wasa,

2. Pawongan : Hubungan yang harmonis antara manusia dengan


sesamanya, dan

3. Palemahan : Hubungan yang harmonis antara manusia dengan


lingkungannya.

Dalam kaitannya dengan parahyangan, area bajra sandhi


terdapat tempat suci pada sisi timur laut yang berfungsi sebagai tempat
melakukan persembahyangan dan upacara keagamaan sehingga
hubungan harmonis antara manusia dengan tuhan tetap terjaga dengan
baik.

Dalam kaitannya dengan pawongan, fungsi dari bajra sandhi itu


sendiri adalah sebagai tempat umum berupa museum. Dimana museum
merupakan suatu wadah interaksi antara sesama manusia sehingga akan
terjadi hubungan yang baik.

22
Sedangkan, dalam konsep palemahan sangat terlihat dengan
jelas, dimana area bajra sandhi ini memiliki landscape yang ditata
dengan baik dan dirawat setiap harinya. Selanjutnya ketiga hubungan
yang harmonis itu diyakini akan membawa kebahagiaan dalam
kehidupan ini, di mana dalam terminalogi masyarakat Bali diwujudkan
dalam 3 unsur, yaitu : parahyangan, pawongan, dan palemahan.

Dalam arsitektur Bali, hal ini sangat di utamakan dan selalu


menjadi landasan pokok dalam membangun. Konsep Tri Hita Karana
menjelaskan bagaimana suatu tatanan ruang arsitektur yang harmonis di
antara ketiga unsur tersebut sehingga terjadilah penataan ruang yang
seimbang.

Gambar 4.1 bajra sandi dengan konsep tri hita karana


Sumber : ksmtour.com (16 April 2018)
4.1.2 Konsep Tri Mandala pada Bangunan Bajra Sandhi

Selanjutnya bentuk dan susunan Monumen Bajra Sandi menurut


buku Panduan Monumen Perjuangan Rakyat Bali menguraikan bahwa
bentuk dasar bangunanya adalah persegi empat benar dengan zona
horizontal “mandala” sebagai berikut :

1. Utama Mandala merupakan lokasi gedung yang paling di tengah,


merupakan inti bangunan
2. Madya Mandala berupa pelataran yang mengitari Utama Mandala
lengkap dengan pagar dan candi bentar di ke-empat sisi.
3. Nista Mandala merupakan pelataran yang paling luar yang
mengitari Madya Mandala berupa jalan setapak, taman, dan
lainnya.

23
4.1.3 Konsep Tri Angga Pada Bangunan Bajra Sandhi

Selanjutnya bentuk dan susunan Monumen Bajra Sandi menurut


buku Panduan Monumen Perjuangan Rakyat Bali menguraikan bahwa
bentuk dasar bangunanya adalah persegi empat benar dengan zona
vertical yang merupakan analogi Tri Angga sebagai berikut

1. Kepala disebut Utamaning Utama Mandala posisi paling atas,


terletak di lantai 3 berfungsi sebagai ruang ketenangan, tempat
hening-hening menikmati suasana kejauhan di sekeliling
monumen.

Gambar 4.2 Area paling atas dari bajra sandi


Sumber : kompasiana.com (16 April 2018)
2. Badan dinamakan Madyaning Utama Mandala terletak di lantai 2,
berfungsi sebagai tempat diorama yang berjumlah 33 unit.
Dibagian luar sekeliling ruangan ini terdapat serambi atau teras
terbuka untuk menikmati suasana sekeliling.

Gambar 4.3 Ruang /tempat diorama


Sumber : kompasiana.com (16 April 2017)

3. Kaki disebut Nistaning Utama Mandala berada pada lantai dasar


Gedung Monumen, yang terdapat ruang informasi, ruang

24
perpustakaan, ruang rapat, ruang pameran, ruang administrasi,
toilet. Ditengah – tengah ruangan terdapat telaga yang diberi nama
sebagai Puser Tasik, delapan tiang agung dan juga tangga naik
berbentuk tapak dara.

Gambar 4.4 Puser tasik pada bangunan bajra sandi

Sumber : kompasiana.com (16 April 2018)

4.1.4 Konsep Bahan Bangunan Bajra Sandi


Pada arsitektur tradisional bali bahan-bahan yang digunakan
dalam pembuatan bangunan cenderung memiliki kejujuran, artinya
bahan-bahan yang diperoleh dari alam langsung digunakan.
Penggunaan bahan alami pada bangunan bajra sandhi dapat dilihat dari
penggunaan batu alam sebagai hiasan ornament pada bangunan serta
penggunaan kayu pada bagian interior.

4.2 Penerapan Arsitektur Masa Kini (AMK) Pada Monumen Bajra Sandi

Arsitektur tradisional merupakan salah satu bentuk kekayaan


kebudayaan bangsa Indonesia. Keberagaman Arsitektur tradisional yang
tersebar di bentang kawasan Nusantara menjadi sumber ilmu pengetahuan yang
tiada habis-habisnya. Arsitektur tradisional di setiap daerah menjadi lambang
kekhasan budaya masyarakat setempat. Perkembangan arsitektur pada setiap
daerah tidak dapat dihindari karena adanya perkembangan teknologi yang
pesat, termasuk juga pada arsitektur tradisional Bali yang mengalami beberapa
perkembangan yang kini lebih dikenal dengan arsitektur masa kini. Adapun
beberapa perkembangan yang terjadi :

4.2.1 Konsep Bentuk dan Ornamen Bangunan Bajra Sandi

a. Berdasarkan Filosofi Keagamaan

25
Bajra Sandi sebagai sebutan wujud karya arsitektur tampaknya
sangat akrab dengan tampilan atau sosok bangunannya yang secara
imaji menampilkan bentuk sebuah bajra. Bajra di Bali dikenal sebagai
alat/ perlengkapan untuk pelaksanaan upakara oleh pemangku ataupun
sulinggih seperti misalnya upakara yadnya dan nyurya sewana
(Salain,2007;67). Bajra juga digunakan untuk menggambarkan simbul
senjata dan dewa-nya bagi masyarakat Hindu Dharma.

Bajra dalam keseharian dapat pula dianggap memiliki kemiripan


dengan klenengan, genta, atau juga disebut dengan lonceng ataupun bel.
Perbedaanya terletak pada fungsi, bahan, proses pembuatannya. Genta
lebih dekat di-sandi-kan dengan bendanya, sedangkan bajra lebih dekat
di-sandi-kan dengan wijaksara (mantram)-nya. Menurut Yasa
(Salain,2007;67) menyatakan bahwa yang umum dikenal sebagai bajra
atau genta tersebut umum disebut dengan keleneng yang memiliki
struktur batang tubuh sebagai berikut :

-Bagian atas disebut dengan bajra,

-Bagian tengah dinamakan meru, dan

-Bagian bawah yang mengeluarkan bunyi disebut genta.

Gambar 4.5 Bentuk umum genta atau bajra

Sumber : puragunungsalak.com (16 April 2018)

26
Bangunan museum yang berbentuk tinggi menjulang
mengandung makna Gunung Mandara Giri. Dapat dilihat bahwa
substance dan form dari bentuk monumen ini sangat berkaitan dengan
simbul dan budaya yang ingin ditonjolkan. Guci Amertha dalam bentuk
Kumba (periuk) tepat pada bagian atas museum merupakan tempat
Tirtha Amertha yaitu air keabadian diletakkan pada tempat teratas
mempunyai makna bahwa sumber kehidupan dan keabadian adalah
sang pencipta.

Gambar 4.6 tampak depan monument bajra sandi

Sumber : samartaarsitektur.unud.ac.id (16 April 2018)

Dua patung utama pada pintu masuk dengan ukuran besar dan
dua patung dibelakang pada pintu pejalan kaki dengan ukuran lebih

Gambar 4.7 Ornamen karang gajah dan patung raksasa pada pintu
masuk bajra sandi

Sumber : samartaarsitektur.unud.ac.id (16 April 2018)

kecil dalam bentuk patung raksasa dengan bentuk badan kekar sikap
duduk kaki tegak bertaring dan mata bulat lengkap dengan senjata di
tangan adalah sarwakala ditempatkan pada bagian nista mandala sesuai
dengan tingkat kehidupannya merupakan ragam hias mempunyai makna
sebagai penjaga monumen atau sebagai penjaga kehidupan manusia.

27
Dua pintu utama menghadap ke depan terletak pada tembok
penyengker batas area museum yang berfungsi sebagai pintu masuk atau
keluar pekarangan museum disebut juga pemesuan pada tempat yang
disucikan dengan ukuran besar disebut Candi Bentar. Candi Bentar ini
memiliki makna tanda peralihan dari area nista mandala ke area madya
mandala. Candi bentar memiliki makna filosofis gunung retak yang siap
menjepit setiap maksud jahat yang melaluinya. Makna dalam ragam hias
tersebut bermaksud memberikan arahan dan penertiban terhadap
pembentukan sikap hidup sesuai ajaran agama. Kaki candi bentar dihiasi
ragam hias fauna berupa Karang Asti atau karang gajah, mengambil
bentuk gajah dengan ekspresi kekarangan. Karang Asti berbentuk
kepala gajah dengan belalai dan taring gadingnya, bermata bulat dihiasi
flora patra punggel kearah sisi pipi. Karang Asti ditempatkan pada sudut
bebaturan candi bentar sesuai dengan kehidupan gajah di tanah yang
mengandung makna kekuatan

Gambar 4.8 karang tapel dan penyengker monument Bajra Sandi

Sumber : samartaarsitektur.unud.ac.id (16 April 2018)

Diatas Karang Asti terdapat Karang Tapel berbentuk kepala


raksasa tanpa tangan terdapat patra bun – bunan pada kepala dan patra
punggel searah pipi dalam wujud kecil hanya dengan bibir atas dengan
gigi datar dan taring runcing mata bulat dan hidung ke depan. Tapel
adalah topeng yang diambil dari muka – muka galak ditempatkan pada
peralihan area bawah ke area tengah Candi Bentar mengandung makna
penjagaan terhadap area suci. Bentuk candi bentar serta ornamen yang
terdapat pada candi ini menunjukkan sebuah simbol-simbol dalam
kepercayaan umat Hindu yang ingin ditunjukkan serta adanya imajinasi
kreatif dalam mewujudkannya. Bentuk arsitektur serta makna yang
terkandung di dalamnya sejalan dengan teori pertama dan kedua
Gelernter.

28
Dua Candi Bentar pada area depannya terdapat dua patung
sebagai penunggu area monumen yaitu yang disebelah kiri I Ratu
Wayan Tebeng dan yang disebelah kanan Sang Kala Katungkul. Kedua
patung tersebut diletakkan pada pintu masuk area Madya Mandala
mempunyai makna sebagai penjaga dengan rupa Bhuta memegang
senjata dengan mata bulat yang mengandung makna waspada. Pada
ujung tembok penyengker sebelah kiri dan kanan Candi Bentar terdapat
bentuk Karang Tapel yang mempunyai makna perkuatan penjagaan
terhadap Bangunan. Penyengker Area Madya Mandala berupa pagar
dengan bahan beton menyerupai arsitektur tradisional gaya Bali Timur
berbentuk pepatran dasar Pae yang memiliki dimensi besar sehingga
menyerupai Bajra senjata Dewa Iswara pelindung dan penguasa arah
Timur. Bentuk Pepatran senjata Bajra yang diletakkan pada Tembok
penyengker area Madya mandala mengandung makna penguasaan dan
perlindungan terhadap area bangunan dimana letak monumen tersebut
berada di sebelah timur pulau Bali.
Pada area Madya Mandala terlihat bentuk bangunan utama
museum sebagai bentuk genta dengan tinggi menjulang sebagai
lambang Gunung Giri Mandara mengandung makna keagungan dan
kehidupan abadi. Dari area Madya Mandala menuju bangunan utama
terdapat pemesuan atau pamedalan Kori Agung dengan bentuk
bangunan pasangan masif berupa material batu Karangasem dengan
lubang masuk beratap. Atap kori merupakan rangkaian pasangan batu
lanjutan dari bagian badan dilengkapi dengan tangga naik dan tangga
turun. Didepan Kori Agung terdapat dua patung yang mengapit tangga
masuk yang berwujud kemanusiaan selain sebagai hiasan juga
mengandung makna penambahan nilai kesakralan. Patung di depan Kori
Agung Utama disebelah kiri adalah Sutasoma adalah putra Raja
Mahaketu dari Hastina yang merupakan perwujudan Budha sang
Bodhisatta yang mengajarkan Dharma (Bakti, 2010). Di sebelah kanan
Kori Agung adalah Resi Kesawa seorang pemimpin pertapaan di
Gunung Semeru yang menjadi penasehat dan pendamping Sutasoma
dalam perjalanannya menuju Budha. Patung kedua tokoh tersebut
mengandung makna Kebaikan, kebijaksanaan dan pengetahuan
(Darmosoetopo, 2010). Dikedua sisi Kori Agung terdapat dua patung
disebelah kiri berupa patung Naga dengan mahkota dan hiasan gelung
kepala, bebadong leher, anting – anting telinga, rahang terbuka, taring

29
gigi runcing dengan lidah api bercabang. Patung naga sikap tegak
bertumpu pada dada. Patung naga pengapit tangga menghadap ke depan
biasanya dipakai untuk tangga – tangga bangunan parahyangan sebagai
tempat pemujaan. Railling tangga pada bangunan ini membentuk badan
Naga sampai ekor. Pada sisi kanan Kori Agung terdapat patung Gajah
Waktra raja besar dari Bedahulu yang bergelar Bhatara Sri Astasura
Ratna Bumi Banten dan terkenal sangat sakti, cerdas, bijaksana dan adil
yang didampingi patih Kebo Iwa yang sangat sakti dan kuat (Suyasa,
2014). Diatas pintu Kori Agung terdapat Karang Boma berbentuk
kepala raksasa dengan hiasan mahkota lengkap dengan tangan dari arah
pergelangan ke arah jari yang mekar.

Dilengkapi dengan patra bun – bunan dan patra punggel


memberikan ekspresi penjagaan dan enertiban mengandung makna
peringatan kepada orang yang melaluinya agar menanggalkan niat jahat.
Dari bagian dalam kori disisi kanan dan kiri terdapat patung, dikiri pintu
terdapat patung Jembawan adalah seekor beruang yang mengelilingi
dunia selama tujuh kali pada mitologi pengadukan kolam susu dan sakti
serta bersama Hanoman membantu Rama menemukan Sita (Soebandi,
2003). Di kanan Kori terdapat patung Trijata putri sulung Arya
Wibisana dari Alengka seorang putri setia, murah hati, baik budi, sabar
dan sopan. Berturut turut pada Kori – kori yang lain terdapat patung Sata
Bali, Wresaba, Nala, Nila, Sampati dan Mendha.

Gambar 4.9 tembok penyengker dengan pepatran flora dan kori pada
bajra sandi

Sumber : samartaarsitektur.unud.ac.id (16 April 2018)

Tembok penyengker yang berujung pada Kori Agung


menggunakan pepatran flora dengan pengabungan antara patra mote –
motean, patra mas – masan dan patra mesir. Pada setiap sudut

30
pekarangan bangunan utama memiliki bangunan sakepat bertiang empat
dengan denah segi empat terbuat dari material yang sama dengan
material lain yaitu batu lahar karang asem. Keempat sisi sendinya
berupa Karang Lembusora. Atap berbentuk limasan dengan murda
berbentuk busur anak panah senjata Nagapasa dari dewa Mahadewa
penguasa dan pelindung arah Barat serta senjata Angkus Dewa
Sangkara penguasa dan pelindung arah Barat Laut. Pada bagian Pemade
terdapat lambang Padma sebagai lambang Dewa Siwa manifestasi dari
Sang Maha Pencipta. Bangunan tersebut berfungsi untuk tempat duduk
dan menikmati pemandangan taman, ke arah luar dari bangunan ini
dapat menikmati pemandangan taman disekitar monumen dan lapangan
Niti Mandala.

Bangunan Utama berada pada Utama Mandala adalah bangunan


Museum dikelilingi kolam merupakan simbol dari Lautan Susu yang
mengelilingi Mandara Giri tempat air suci kehidupan atau Tirtha
Amertha yang diperebutkan kaum Dewa dengan kaum Asura (raksasa).
Menuju bangunan utama pada Utama Mandala berupa bangunan
museum terdapat Kori Agung. Didepan Kori Agung terdapat sepasang
patung Rama merupakan awatara Dewa Wisnu yang ke tujuh yang
diceritakan dalam kitab Ramayana putra Raja Dasarata dengan Kosalya
dan disebut sebagai Maryada Purushottama atau manusia yang
sempurna dan Dewi Sita inkarnasi dari Dewi Laksmi yang diculik oleh
Rahwana raja dari kerajaan Alengka.

Diatas pintu Kori Agung terdapat karang berbentuk kepala kura


– kura raksasa (bedawang) berambut api dengan hidung mancung dan
mata bulat, wajah angker memandang keatas depan mempunyai makna
kehidupan yang abadi ditunggangi oleh Naga dengan kepala bedawang
sejajar dengan kepala Naga. Untuk melengkapi mithologi Hindu yang
membawakan filosofi kehidupan ritual pada karang tersebut terdapat
sayap garuda sebagai simbol bahwa Bedawang yang dibelit Naga
merupakan pijakan Garuda sebagai kendaraan Dewa Wisnu.

31
Gambar 4.10 Ukiran pada pintu masuk monumen

Sumber : samartaarsitektur.unud.ac.id (16 April 2018)

Pintu masuk Museum merupakan pintu dengan ukiran khas Bali


dengan pepatran Naga dan kehidupan air mengandung makna
penegasan terhadap Mitologi Hindu Kolam Susu. Dikiri dan kanan pintu
masuk Museum terdapat Karang Asti dan Karang Bentulu yang
merupakan bentuk karang tapel yang lebih kecil dan sederhana
menghiasi sudut – sudut dinding sehingga memperkuat kesan tampilan
pilar pada frame pintu. Bentuk Naga yang melilit Bedawan pada
Entrance museum melambangkan Naga Basuki yang digunakan sebagai
tali dalam pemutaran Mandara Giri. Kura – kura yang terdapat di bagian
bawah museum merupakan simbol dari Bedawang Akupa yang
digunakan sebagai alas pemutaran Mandara Giri (Prayitno, 2015).

Pada badan dalam konsep Tri Angga terdapat Museum Diorama


perjuangan rakyat Bali yang berbentuk segi delapan dengan empat pintu
menuju teras. Pada Teras di sisi timur laut terdapat Padmasana sebagai
simbol Dewa Wisnu yang mengendarai Garuda yang berpijak pada
Bedawang yang dililit Naga. Konsep Tri Angga pada monumen ini
terdapat pada puncak bangunan ruang dalam yang terdapat bentuk
senjata para Dewa pada hiasan langit – langitnya. Keseluruhan
kekarangan yang terdapat pada puncak bangunan merupakan
penggabungan dari pepatran floral yang dibentuk sedemikian hingga
menyerupai bentuk abstrak dari kekarangan. Bentuk – bentuk keindahan
pada bangunan tersebut dibuat melalui patra – patra flora yang terlihat
lebih ringan dan harmonis.

32
b. Berdasarkan Filosofi Arsitektural

Dalam arsitektur tradisional bali bangunan bangunan pada


umumnya berbentuk segi empat panjang dengan saka-saka sebagai
penopang utama dengan luas bangunan yang cenderung kecil, dengan
mengaplikasikan perhitungan arsitektur tradisional bali yaitu dengan
menggunakan ukuran tubuh manusia. Sedangkan jika kita meninjau
bangunan bajra sandhi itu sendiri sangat berbeda dengan fakta tersebut.
Monumen Bajra Sandhi memiliki ukuran yang lebih luas, berbentuk segi
banyak (mendekati lingkaran) serta memiliki kolom–kolom yang
berukuran besar dengan bahan yang digunakan lebih modern. Jadi dapat
disimpulkan bahwa proses pembangunan monument Bajra Sandi ini
sudah mengalami perkembangan kearah yang lebih modern.

4.2.2 Perubahan bahan

Mendirikan bangunan tradisional bali adalah mewujudkan suatu


kehidupan. Nilai logika, etika, dan estetika terkandung dalam persiapan,
proses membangun dan pemakaian bangunan. Tata cara membangun
berdialog dengan kayu bahan yang akan ditebang dengan pekarangan
yang akan diukur dan dengan bahan-bahan yang akan dikerjakan
merupakan etika pelaksanaan dan sopan santun. Bangunan tradisional
bali merupakan bangunan yang menggunakan bahan-bahan yang
berasal dari alam. Secara umum bangunan tradisional bali menggunakan
bahan-bahan seperti :

- Untuk bagian pondasi, yang dulunya menggunakan pondasi


jongkok asu, dimana dari bahan batu kali kemudian diurug
menggunakan tanah. Namun kenyataannya pada bangunan bajra
sandi pondasi yang digunakan yaitu pondasi telapak. Pondasi
telapak merupakan pondasi yang tersusun dari penulangan besi dan
cor beton untuk mengantisipasi beban yang lebih besar pada
bangunan.
- Untuk bagian tengah, pada bajra sandi menerapkan struktur kolom
beton bertulang dengan dimensi yang cukup besar. Sedangkan dulu
struktur kolom yang digunakan yaitu saka.
- Untuk bagian atas, dulunya didominasi menggunakan rangka
bamboo dengan penutup atap menggunakan bahan alang-alang.

33
Sedangkan pada bangunan monument bajra sandi menggunakan
bahan beton sebagai bahan penutup atap.

Gambar 4.11 Penerapan struktur kolom beton pada bajra sandi


Sumber : upwstpsahidsolo.blogspot.co.id (16 April 2018)

4.2.3 Perubahan fungsi

Fungsi dari bangunan bali secara global terdapat 3 fungsi utama


yaitu : sebagai tempat suci, tempat tinggal (hunian), dan sebagai tempat
umum (berkumpulnya masyarakat). Bajra sandi merupakan bangunan
dengan fungsi yang sangat komplek yaitu sebagai tempat berkumpulnya
masyarakat, sebagai tempat berinteraksi, sebagai tempat rekreasi,
tempat berolahraga, dan sebagai museum. Hal ini dapat dikaitkan
dengan fungsi dari sebuah wantilan yang lebih sederhana dibandingkan
fungsi dari bajra sandi itu sendiri. Jadi terdapat perubahan mengenai
fungsi bangunan menjadi lebih komplek dari sebelumnya.

34
BAB V

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Pada monumen bajra sandi, penerapan ATB meliputi :

1. Konsep Tri Hita karana yang meliputi Parahyangan, pawongan,


palemahan. Dalam kaitannya dengan parahyangan terdapatnya area bajra
sandhi terdapat tempat suci, dalam pawongan terdapatnya tempat umum
berupa museum sedangkan pada palemahan area bajra sandi ini memiliki
landscape yang ditata dengan baik dan dirawat setiap harinya.
2. Konsep Tri Mandala diantaranya utama mandala yang mencakup lokasi
gedung yang paling di tengah, madya mandala yang meliputi pelataran
yang mengitari utama mandala, dan nista mandala yang terdiri dari
pelataran yang paling luar yang mengitari madya mandala.
3. Konsep Tri Angga terdiri atas utamaning utama mandala yang terletak
paling atas di lantai 3, madyaning utama mandala terletak di lantai 2,
berfungsi sebagai tempat diorama yang berjumlah 33 unit, dan nistaning
utama mandala berada pada lantai dasar Gedung Monumen.
4. Konsep bahan pada bajra sandi yaitu memiliki kejujuran yang artinya
bahan-bahan yang diperoleh dari alam langsung digunakan, contohnya
penggunaan bahan kayu.
Dalam kasus bajra sandi konsep AMK yang diterapkan meliputi :

1. Konsep Bentuk dan Ornamen, bajra sandi menampilkan bentuk sebuah


bajra, penerapan ornament pepatran dan kekarangan. Ditinjau dari filosofi
arsitektural, bajra sandi memiliki ukuran yang lebih luas dari bangunan
umum biasanya, berbentuk segi banyak (mendekati lingkaran) serta
memiliki kolom–kolom yang berukuran besar dengan bahan yang
digunakan lebih modern.
2. Konsep Perubahan Bahan, contohnya adalah dari pondasi menerapkan
struktur pondasi telapak yang tersusun dari penulangan besi dan cor beton.
3. Konsep Perubahan fungsi, Bajra sandi merupakan bangunan dengan
fungsi yang sangat komplek yaitu sebagai tempat berkumpulnya
masyarakat, sebagai tempat berinteraksi, sebagai tempat rekreasi, tempat
berolahraga, dan sebagai museum.

35
5.2. Saran

Arsitektur memiliki fleksibilitas yang sangat tinggi. Arsitektur mampu


mengadopsi gaya-gaya baru sesuai perkembangan jaman dan kebutuhannya.
Namun dalam hal ini, Arsitektur Tradisional Bali adalah arsitektur yang tumbuh
dan berkembang di Bali, maka dari itu kita sebagai generasi penerus khususnya
sebagai masyarakat Bali harus tetap menjaga dan memegang teguh konsep
Arsitektur Tradisional Bali seiring berjalannya waktu serta berkembangnya
ilmu pengetahuan dan teknologi dan pengaruh globalisasi. Hal ini disebabkan
karena di dalam Arsitektur Tradisional Bali tercermin karakteristik masyarakat
Bali.

36
DAFTAR PUSTAKA

Dwijendra, N. K. Acwin. 2008. Arsitektur Rumah Tradisional Bali. Denpasar: Jurusan


Arsitektur, Universitas Udayana.

Sulistyawati. Dkk. 2007. Apresiasi Karya Arsitektur Ida Bagus Tugur. Denpasar:
Pelawa Sari

Kusumowati, Sri Indah Retno. 2017. Bentuk dan Makna Arsitektur dan Ornamen
Monumen Bajra Sandi. [PDF]. https://samartaarsitektur.unud.ac.id/wp-
content/uploads/2017/11/2008-75-Sri-Indah-Retno-Kusumowati.pdf (15 April
2018)

Prayitno, S H .2015. Museum Bajra Sandhi. [PDF].


https://karyatulisilmiah.com/laporan-karya-wisata-museum-bajra-
sandhi/?upm_export=pdf (15 April 2018)

Sudiatmika, Wayan Adi. 2014. Monumen Perjuangan Rakyat Bali. [Online].


https://panbelog.wordpress.com/2014/05/28/monumen-perjuangan-rakyat-bali-
bajra-sandhi/ (15 April 2018)

37

Anda mungkin juga menyukai