Makalah Bajra Sandi
Makalah Bajra Sandi
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat rakhmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah “Penerapan
NIlai-Nilai ATB dan AMK pada Bangunan Monumen Bajra Sandi” tepat pada
waktunya dan meskipun banyak hambatan yang dialami dalam proses
pengerjaannya. Kami juga berterima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai Arsitektur Tradisional Bali dan
Arsitektur Masa Kini. Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh
dari sempurna. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik, saran dan usulan demi
perbaikan di masa yang akan datang.
Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata – kata yang
kurang berkenan dan semoga makalah mengenai Arsitektur Tradisional Bali dan
Arsitektur Masa Kini ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR .................................................................................... i
DAFTAR ISI…………………………………………………………………ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang…………………………………………………………...1
1.2.Rumusan Masalah………………………………………………………..2
1.3.Tujuan…………………………………………………………………….2
1.4.Manfaat…………………………………………………………………...3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Arsitektur Tradisional Bali………………………………..4
2.2. Konsep Arsitektur Tradisional Bali……………………………………5
2.3. Ciri-ciri Arsitektur Tradisional Bali…………………………………...9
2.4. Pengertian Arsitektur Masa Kini……………………………………...11
2.5. Teori Arsitektur Masa Kini………………………………………………12
2.5. Teori yang Mengaitkan ATB dan AMK………………………………13
BAB III TINJAUAN OBJEK
3.1. Bentuk Bangunan Bajra Sandi………………………………………...15
3.2. Keadaan Monumen Bajra Sandi………………………………………17
3.3. Sejarah Berdirinya Monumen Bajra Sandi…………………………..18
3.4. Koleksi Monumen Bajra Sandi………………………………………..19
BAB IV PEMBAHASAN
4.1. Penerapan ATB Pada Bangunan Monumen Bajra Sandi…………...22
4.2. Penerapan AMK Pada Monumen Bajra Sandi………………………25
BAB V PENUTUP
5.1. Kesimpulan……………………………………………………………..35
5.2. Saran……………………………………………………………………36
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………37
ii
DAFTAR GAMBAR
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
landasan atau pedoman dalam membangun sebuah hunian yang berfilosofi
tinggi. Aturan aturan atau tata cara itu diatur dalam lontar Asta Kosala – Kosali.
Arsitektur Tradisional Bali yang memiliki konsepsi-konsepsi yang dilandasi
agama Hindu merupakan perwujudan budaya, dimana karakter perumahan
tradisional Bali sangat ditentukan norma-norma agama Hindu, adat istiadat
serta rasa seni yang mencerminkan kebudayaan. Akan tetapi, di Bali saat ini
ditemukan berbagai corak arsitektur, mulai dari Arsitektur Tradisional Bali
Kuno, tradisional Bali yang dikembangkan, arsitektur masa kini yang bergaya
Bali bahkan arsitektur yang sama sekali tidak memiliki nuansa Bali. Untuk
mengetahui aspek-aspek arsitektur tadisional Bali dibutuhkan pengetahuan
yang mendalam, terutama pada aspek filosofi, religius dan sosial budaya. Jika
tidak demikian, arsitektur tradisioanal Bali akan berakhir secara perlahan –
lahan.
Monumen Bajra Sandhi yang terletak di daerah Renon Denpasar ini
merupakan monumen yang kental, kuat serta khas menampilkan arsitektur Bali,
meskipun terdapat beberapa unsur atau konsepnya yang terpengaruhi oleh
budaya modern (arsitektur masa kini). Monumen Perjuangan Rakyat Bali ini
merupakan salah satu wujud arsitektur yang dengan kuat menunjukkan ciri khas
Bali, sebab bangunan ini memiliki ciri khas karena berbentuk mirip dengan
sebuah Bajra. Selain itu, Bajra Sandhi tersebut juga dipengaruhi oleh Arsitektur
Masa Kini yang dapat dilihat dari pola massanya, material yang digunakan
maupun unsur lainnya. Untuk mengetahuinya lebih dalam mengenai Arsitektur
Tradisional Bali dan Arsitektur Masa Kini yang diterapkan pada Monumen
Bajra Sandhi, kami memilih Monumen Bajra Sandhi sebagai objek dari studi
kasus dalam meneliti dan menelaah pengaplikasian konsep teori Arsitektur
Tradisiobal Bali dan Arsitektur Masa Kini.
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui penerapan nilai ATB (Arsitektur Tradisional Bali)
pada bangunan monumen Bajra Sandi
2
1.3.2 Untuk mengetahui penerapan nilai AMK (Arsitektur Masa Kini) pada
bangunan monumen Bajra Sandi
1.4 Manfaat
Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah, dan tujuan yang telah
dipaparkan diatas, maka dapat diuraikan manfaat dari pembuatan makalah ini
adalah :
a. Bagi Penulis
Dapat memperluas pengetahuan penulis mengenai penerapan nilai-nilai
ATB (Arsitektur Tradisional Bali) dan AMK (Arsitektur Masa Kini) pada
bangunan monument Bajra Sandi
b. Bagi Pembaca
Diharapkan bagi pembaca bisa memanfaatkan makalah ini sebagai referensi
mengenai penerapan nilai-nilai ATB (Arsitektur Tradisional Bali) dan
AMK (Arsitektur Masa Kini) pada bangunan monument Bajra Sandi
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
ruang yang berfungsi untuk menampung segaka aktivitas manusia yang
diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya dengan dan atau tanpa adanya
perubahan didalamnya. (Arsitektur Tradisional Daerah Bali; 10) Berdasarkan
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2005, Arsitektur Tradisional
Bali memiliki arti sebagai sebuah tata ruang dimana pembangunannya
didasarkan atas nilai dan norma-norma baik yang tertulis maupun tidak tertulis
yang akan diwariskan secara turun menurun. Sementara Arsitektur Non
Tradisional Bali adalah arsitektur yang tidak menerapkan norma-norma
arsitektur tradisional Bali secara utuh tetapi menampilkan gaya arsitektur
tradisional Bali. (Perda Prov. Bali Nomor 5 Tahun 2005 tentang Persyaratan
Arsitektur Bangunan Gedung).
2.1 Konsep Arsitektur Tradisional Bali
Arsitektur Tradisional Bali memiliki beberapa konsep-konsep dasar
yang mempengaruhi nilai tata ruangnya, antara lain :
1. Konsep Keseimbangan (keseimbangan unsur semesta, konsep Catur
Lokapala, konsep Dewata Nawa Sanga), konsep ini juga harus menjadi
panutan dalam membangun di berbagai tataran arsitektur termasuk
keseimbangan dalam berbagai fungsi bangunan. konsep Dewata Nawa
Sanga ialah aplikasi dari pura-pura utama yang berada di delapan penjuru
arah di Bali yang yang dibangun menyeimbangkan pulau Bali, pura-pura
utama itu untuk memuja manifestasi tuhan yang berada di delapan penjuru
mata angin dan di tengah. Aplikasi konsep ini menjadi pusat yang berwujud
natah (halaman tengah) dari sini menentukan nilai zona bangunan yang ada
di sekitarnya dan juga pemberian nama bangunan disekitarnya seperti Bale
Daje, Bale Dauh, Bale Delod, Bale Dangin, Jineng dan lain-lain.
2. Konsep Rwe Bhineda (hulu - teben, purusa - pradana). Hulu Teben
merupakan duakutub berkawan dimana hulu bernilai utama dan teben
bernilai nista/ kotor. Sedangkan purusa (jantan) dan pradana (betina)
merupakan embrio suatu kehidupan.
3. Konsep Tri Buana - Tri Angga dan Tri Loka. Susunan Tri Angga fisik
manusia dan struktur Tri Buana fisik alam semesta melandasi susunan atas
bagian kaki, badan, kepala yang masing-masing bernilai nista, madya dan
utama. Menurut Dwijendra (2008 : 4) Tri Angga berasal dari kata Tri yang
berarti tiga dan Angga yang berarti badan. Tri Angga terbagi menjadi :
a. Utama Angga (kepala).
b. Madya Angga (badan).
c. Nista Angga (kaki).
5
Tri Angga dalam Bhuana Agung sering disebut dengan Tri Loka atau
Tri Mandala. Dalam kaitannya dengan arsitektur tradisional bali maka:
a. Utama Angga merupakan bagian atap.
b. Madya Angga merupakan bagian dinding.
c. Nista Angga merupakan bagian bebatuan.
Konsep ini jika di dasarkan secara vertical, maka nilai Utama berada
pada posisi teratas, Madya pada posisi tengah, dan posisi terakhir Nista
pada posisi terendah/kotor.
Selain memberikan nilai secara vertical, Tri Angga juga memiliki tata
nilai Hulu Teben. Konsep Hulu Teben ini kemudian mempunyai beberapa
orientasi - orientasi antara lain :
Orientasi dengan konsep sumbu ritual Kangin-Kauh.
Orientasi dengan konsep sumbu bumi, Kaja – Kelod.
Orientasi dengan konsep Akasa - Pertiwi, Atas Bawah.
4. Konsep keharmonisan dengan lingkungan, ini menyangkut pemanfaatan
sumber daya alam, pemanfaatan potensi sumber daya manusia setempat,
khususnya insan-insan ahli pembangunan tradisional setempat.
5. Tri Hita Karana
Menurut Dwijendra (2008 : 2) Tri Hita Karana berasal dari kata Tri
yaitu tiga. Hita yang berarti kemakmuran, baik, gembira, senang, dan
lestari. Karana yaitu sebab, sumber, atau penyebab. Jadi Tri Hita Karan
berarti tiga unsur penyebab kebaikan yang meliputi :
a. Atma (roh atau jiwa).
b. Prana (tenaga).
c. Angga (jasad atau fisik).
Konsepsi Tri Hita Karana dipakai dalam pola ruang dan pola
perumahan tradisional bali yang diidentifikasi :
a. Parahyangan, dalam arsitektur tradisional bali berupa tempat suci.
b. Pawongan, dalam arsitektur tradisional bali berupa manusia.
c. Palemahan, dalam arsitektur tradisional bali berupa pekarangan.
6
6. Orientasi
Menurut Dwijendra (2008 : 6) dalam tata nilai arsitektur tradisional
Bali untuk mencapai keselarasan antara bhuana agung dan bhuana alit
berdasarkan pada tata nilai hulu-teben. Konsep ini memiliki orientasi-
orientasi sebagai berikut :
a. Orientasi dengan konsep sumbu ritual kangin-kauh.
Kangin (matahari terbit) - luan, nilai utama.
Kauh (matahari terbenam) - teba, nilai nista.
b. Orientasi dengan konsep sumbu bumi atau natural kaja-kelod.
Kaja (kearah gunung) - luan, nilai utama.
Kelod (kearah laut) - teba, nilai nista.
c. Orientasi dengan konsep akasa-pertiwi, atas-bawah.
Alam atas - Akasa, purusa.
Alam bawah - Pertiwi, pradana.
Konsep akasa-pertiwi yang diterapkan dalam pola ruang kosong
dalam perumahan atau lingkungan bali dikenal dengan natah.
7. Sanga Mandala
Konsep tata ruang Sanga Mandala juga merupakan konsep yang
lahir dari sembilan manifestasi Tuhan yaitu Dewata Nawa Sanga yang
menyebar di delapan arah mata angin ditambah satu ditengah untuk
menjaga keseimbangan alam semesta. Konsep Sanga Mandala digunakan
sebagai acuan untuk melakukan zonasi kegiatan dan tata letak bangunan
tradisional Bali.
Utamaning Utamaning Utamaning
Nista Madya utama
(III) (II) (I)
Madyaning Madyaning Madyaning
nista madya Utama
(VI) (V) (IV)
I : mrajan, sumur
7
III : mrajan, sumur, penunggun karang
IV : bale dangin
V : natah, pengijeng
VII : kebun
8
3. Ragam hias sebagai media edukasi.
4. Ragam hias sebagai alat komunikasi.
C. Alam
Ragam hias yang mengungkapkan alam dan menampilkan
unsur-unsur alam sebagai materi hiasan. Alam sebagai ragam hias
dalam pengertian alam sebagai materi hiasan menampilkan jenis
fauna dan flora sebagaimana adanya di alam raya.
9
3. Struktur ruang yang rapi
Gaya arsitektur Bali dibuat dengan konsep Tri Angga yang
merupakan konsep keseimbangan. Tri Angga merupakan pembagian
zona atau area dalam perencanaan arsitektur tradisional Bali, yang
memperlihatkan tiga tingkatan yaitu: Utama atau kepala. Bagian ini
diposisikan paling tinggi yang diwujudkan dalam bentuk atap pada
arsitektur tradisional bagian ini menggunakan atap ijuk atau alang-
alang. Namun seiring perkembangan jaman, bagian atap mulai
menggunakan bahan modern seperti genteng. Madya atau badan.
Bagian tengah dari bangunan ini diwujudkan dalam bentuk bangunan
dinding, jendela dan pintu. Nista atau kaki merupakan bagian yang
terletak di bawah dari sebuah bangunan. Bagian ini diwujudkan dengan
pondasi rumah atau bawah rumah yang digunakan sebagai penyangga.
Biasanya bagian ini terbuat dari batu bata atau batu gunung.
4. Mendapat pengaruh dari unsur-unsur kebudayaan polinesia
Polinesia atau pemujaan kepada banyak Dewa merupakan
kebudayaan awal yang eksis di pulau Bali sebelum kedatanga
kebudayaan Hindu. Maka di beberapa gaya arsitekturnya masih dapat
ditemui unsur-unsur kebudayaan ini. Orang-orang Bali kerap
membangun Pura atau rumah mereka dengan konsep terbuka, terutama
untuk hal-hal yang bersifat pemujaan kepada Dewa-Dewa. Bahkan,
dalam satu kompleks Pura terdapat lebih dari satu dimana masing-
masing digunakan untuk memuja Dewa yang berbeda. Bangunan yang
tidak didesain untuk pemujaan, bangunan tersebut kebanyakan terbuat
dari bambu dan material lain yang kental dengan nuansa alaminya
seperti batu-batuan alam.
5. Berorientasi pada hal-hal yang bernuansa sacral
Gaya arsitektur Bali yang asli tidak dibuat dengan sembarangan,
melainkan dengan konsep dan perhitungan yang matang dan
merepresentasikan kesakralan. Tak hanya dengan bangunan Pura atau
rumah-rumah pribadi, bangunan-bangunan kecil juga kerap didesain
dengan mempertimbangkan konsep ini. Bahkan terdapat salah satu
manuskrip Hindu yang dijadikan pedoman dalam membangun rumah.
Manuskrip itu berjudul Asta Kosala Kosali, terdapat gambaran
mengenai orientasi dan layout dari sebuah bangunan yang ideal.
Arsitektur Bali berfokus pada 4 aspek yaitu:
10
Sistem ventilasi yang baik. Pada bagunan-bangunan Bali, jendela
besar selalu digunakan untuk sirkulasi udara dan sering dibuat
diantara atap dan dinding bangunan.
Pondasi yang kokoh. Berdasarkan pada filosofi Tri Loka, tubuh
manusia mirip dengan rumah, maka dibuat pondasi dengan dasar
yang kuat seperti kaki bagi manusia, pondasi yang kuat
memberikan kekuatan pada sebuah bangunan.
Sebuah halaman yang besar. Berdasarkan konsep yang selaras
dengan alam, rumah khas Bali harus memiliki halaman yang luas
untuk berkomunikasi dengan alam sekitarnya.
Tembok penjaga. Tembok tinggi yang melindungi rumah dari
pandangan orang luar, memberikan privasi dan perlindungan dari
orang lain, serta untuk menangkal ilmu hitam dan roh-roh jahat
agar tidak masuk ke dalam rumah.
6. Seperti yang sering kita lihat di beberapa media, rumah-rumah di Bali
cenderung memiliki struktur yang kompleks namun tertata rapi. Rumah-
rumah beraksitektur tradisional Bali tak hanya terdiri atas satu unit
stuktur, tapi lebih mengarah ke sekumpulan bangunan-bangunan
dimana setiap bangunan dihuni satu kepala keluarga. Biasanya, mereka
yang tinggal di kompleks ini merupakan keluarga besar dan berasal dari
keturunan yang sama. Di sekeliling kompleks bangunan ini dibangun
tembok yang tak terlalu tinggi, namun cukup memisahkannya dengan
dunia luar.
7. Struktur Rumah Tradisional Bali
Seperti yang sering kita lihat di beberapa media, rumah-rumah di Bali
cenderung memiliki struktur yang kompleks namun tertata rapi. Rumah-
rumah beraksitektur tradisional Bali tak hanya terdiri atas satu unit
stuktur, tapi lebih mengarah ke sekumpulan bangunan-bangunan
dimana setiap bangunan dihuni satu kepala keluarga. Biasanya, mereka
yang tinggal di kompleks ini merupakan keluarga besar dan berasal dari
keturunan yang sama. Di sekeliling kompleks bangunan ini dibangun
tembok yang tak terlalu tinggi, namun cukup memisahkannya dengan
dunia luar.
11
menunjukkan karakter kekinian. Untuk suatu hunian, hunian yang modern
berarti hunian yang memiliki dan menunjukkan adanya ciri Arsitektur Modern.
Hunian yang memiliki gaya Arsitektur Modern harus mampu menghadirkan
gaya hidup masa kini di dalam bangunan.
Arsitektur Masa Kini dapat diartikan sebagai pernyataan jiwa dari suatu
massa, yang dapat menyesuaikan diri dengan perubahan sosial dan ekonomi
yang ditimbulkan pada zamannya, yaitu dengan mencari keharmonisan dari
elemen modern serta mengembalikan arsitektur pada bidang yang sebenarnya
(ekonomis, sosiologis, dan kemasyarakatan). (Congreas Interationaux d’
Architecture Moderne/CIAM, 1928). Dengan kata lain maka dapat disebutkan
Arsitektur Masa Kini adalah arsitektur yang dilandasi oleh komposisi massa
dinamis, non aksial dan yang paling penting didasarkan atas pembentukan
ruang-ruang, baik didalam maupun diantara bangunan (Ir. Sidharta, Arsitektur
Indonesia).
Arsitektur Masa Kini adalah hasil dari pemikiran baru mengenai
pandangan hidup yang lebih manusiawi, seperti moralis, nasionalis, materialis,
standarisasi serta jujur, yang diterapkan dalam bentuk fisik bangunan.
Arsitektur modern atau Masa Kini dapat diartikan sebagai berikut:
1. Hasil pemikiran baru mengenai pandangan hidup yang lebih ‘manusiawi’
yang diterapkan pada bangunan.
2. Upaya dan karya dalam bidang arsitektur yang dapat dihasilkan dari alam
pemikiran modern yang dicirikan sikap mental yang selalu menyisipkan hal-
hal baru, hebat dan kontemporer sebagai pengganti dari tradisi dan segala
bentuk pranatanya.
12
2. Teori Kubisme
13
2. Teori Ornamen dan Dekorasi sebagai ragam hias arsitektur
Menurut dinas tata kota dan bangunan kota Denpasar (2008 : 19)
Ornamen dan dekorasi sebagai ragam hias arsitektur menjadi isu yang
sangat penting dalam arsitektur modern khususnya aliran
fungsionalisme dan rasionalisme sebagai bagian arsitektur
kontemporer, sedangkan dalam ATB sangat sarat dengan ornamen dan
dekorasi sebagai ungkapan makna/ simbol dan jati diri. Berbagai hal
ikhwal kehadiran dan pandangan yang oposisi biner terhadap kehadiran
ornamen dan dekorasi ini perlu diketahui untuk menentukan suatu
formulasi yang berimbang antara rasionalitas dan rasa dalam melakukan
reformasi. Termasuk didalmanya membahas bagaimana menyikapi dan
memperlakukann ornamen dan dekorasi secar aproporsinal, sehingga
makna atau simbol dan jati diri ATB masih tetap tampil didalam era
kesejagatan. Teori ini dapat dilihat penerapannya pada hukum yang ada
berdasarkan pada peraturan daerah provinsi bali nomor 5 tahun 2005
bab III pasal 7 ayat 1 dan ayat 2 yang berbunyi.
(1) Arsitektur bangunan gedung harus memenuhi persyaratan :
a. penampilan luar dan penampilan ruang dalam;
b. keseimbangan, keselarana, dan keterpaduan bangunan
gedung dengan lingkungan dan ;
c. nilai-nilai luhur dan identitas budaya setempat.
(2) Persyaratan penampilan bangunan gedung sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus menerapkan norma-norma
pembangunan tradisional Bali dan/atau memperhatikan bentuk
dan karakteristik Arsitektur Tradisional Bali yang berlaku umum
atau arsitektur dan lingkungan setempat yang khas dimasing-
masing kabupaten/Kota
14
BAB III
TINJAUAN OBJEK
15
3. Sebagai Nista Mandala adalah pelataran yang paling luar yang mengitari
Madya Mandala
Secara vertikal, Bajra Sandi terbagi menjadi tiga bagian yaitu mengacu
pada konsep Tri Angga. Konsep Tri Angga adalah:
1. Utama atau kepala, yaitu tidak berisi apapun atau kosong yang merupakan
simbul keabadian.
Selain Tri Angga dan Tri Mandala terdapat juga nilai filosofis, yaitu
pemutaran Gunung Mandara Giri oleh para dewa dan raksasa yang bekerja
sama guna memperoleh Tirta Amertha. Bangunan utama yang tinggi
merupakan lingga dan dasar bangunannya adalah yoni. Lingga Yoni merupakan
simbol dari pertemuan pria (purusa) dengan wanita (pradana), yaitu pertemuan
antara kekuatan positif dan kekuatan negatif yang menurut kepercayaan purba
merupakan pertemuan antara langit dengan bumi dipandang sebagai lambang
kesuburan. Lingga menurut bentuknya terbagi dalam empat bagian yaitu bagian
puncak yang berbentuk bulat yang disebut Siwaghaga, merupakan simbol
linggih dewa Siwa. Bagian tengah yang berbentuk segi delapan disebut
Wisnubhaga yang merupakan simbol linggih dewa Wisnu. Bagian bawah
lingga yang berbentuk segi empat disebut Brahmabhaga adalah simbol linggih
16
dewa Brahma. Pada bagian bawah paling dasar di mana lingga tersebut berdiri
tegak, umumnya berbentuk segi empat yang memiliki mulut sebagai saluran air
suci disebut yoni. Dengan demikian lingga merupakan linggih dewa Siwa
dalam manifestasinya sebagai sumber kesuburan.
17
pengunjung sudah bisa masuk ke gedung monumen. Pelataran paling luar
disebut Nista Mandala. Kemudian terdapat tangga naik 9 menuju bangunan
utama dan 17 anak tangga menuju bangunan utama melambangkan tanggal
proklamasi kemerdekaan.
18
strategis karena terletak di depan Kantor Gubernur Bali yang juga di depan
Gedung DPRD Provinsi Bali tepatnya di Lapangan Niti Mandala Renon.
Tempat ini merupakan tempat pertempuran jaman kemerdekaan antara rakyat
Bali melawan pasukan penjajah. Perang ini terkenal dengan sebutan “Perang
Puputan”yang berarti perang habis-habisan. Monumen ini didirikan untuk
memberi penghormatan pada para pahlawan serta merupakan lambang
penghormatan atas perjuangan rakyat Bali.
2. Guci Amertha dilambangkan dalam bentuk Kumba (periuk) tepat bagian atas
museum
19
dalam perang puputan tahun 1906. Tegasnya, MPRB diharapkan mampu
menjadi lambang yang mengabadikan jiwa-jiwa perjuangan rakyat Bali dari
zaman ke zaman. Diorama itu sendiri diharapkan selesai akhir tahun ini.
Menurut rancangan, diorama akan diletakkan di lantai dua berisi 33 unit
pajangan miniatur perjuangan rakyat Bali dari masa ke masa.
Urutan unit 1 sampai dengan 33 dimulai dari arah mata angin timur
memutar ke kanan searah jarum jam. Deretan putaran luar sampai dengan unit
21, deretan putaran tengah mulai unit 22 sampai dengan unit 33. Diorama itu
menceritakan pertama, kebudayaan Bali pada masa berburu dan
mengumpulkan makanan. Kedua, kebudayaan Bali pada masa bercocok tanam.
Ketiga, kegiatan membuat aneka perunggu. Keempat, tradisi penguburan
dengan memakai sarkofagus. Semua unit tersebut menggambarkan perjuangan
Bali pada masa prasejarah. Unit berikutnya mencerminkan perjuangan rakyat
Bali pada masa Bali Kuno, meliputi prasasti Sukawana (unit 5), Rsi
Markandeya (unit 6), Sri Ksari Warmadewa tahun 914 M (unit 7), Gunapriya
Dharma Patni dan suaminya Dharmodayana Warmadewa, tahun 989-1001 M
(unit (8), Mpu Kuturan, tahun 1007 (unit 9), Sri Aji Anak Wungsu tahun 1050
- 1078 M (unit 10), Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten (unit 11), Sri Kresna
Kepakisan tahun 1347 - 1350 M (unit 12), Dalem Ketut Ngelusir tahun 1380 -
1460 M (unit 13), dan Dalem Watu Renggong tahun 1460 - 1550 M (unit 14).
Diorama berikutnya memajang Perjuangan Rakyat Bali periode 1845-1950,
yakni (15) perang Buleleng, (16) Patih Jelantik merobek surat Gubernur
20
Jenderal di hadapan Raja Klungkung, (17) Perang Jagaraga, (18) Perang
Kusamba, (19) Puputan Badung, (20) Puputan Klungkung, (21) Bangkitnya
Organisasi Pemuda di Bali, (22) Kehidupan masyarakat pada masa Jepang, (23)
Gerakan Bawah Tanah menentang Fasisme Jepang, (24) Proklamasi
Kemerdekaan sampai di Bali, (25) Menyebarluaskan berita Proklamasi, (26)
Pusat Komando PRI (Pemuda Republik Indonesia), (27) Peristiwa Bendera di
Pelabuhan Buleleng, (28) Pertempuran Laut di Selat Bali, (29) Serangan Umum
terhadap Tangsi NICA di Denpasar, (30) Pembentukan Dewan Perjuangan
Rakyat Sunda Kecil (DPRI SK), (31) Pertempuran Tanah Aron, (32)
Pertempuran Marga dan (33) Bali dalam mengisi kemerdekaan.
21
BAB IV
PEMBAHASAN
Tri Hita Karana yang secara etimologi terbentuk dari kata : tri
yang berarti tiga, hita berarti kebahagiaan, dan karana yang berarti sebab
atau yang menyebabkan, dapat dimaknai sebagai tiga hubungan yang
harmonis yang menyebabkan kebahagian. Ketiga hubungan tersebut
meliputi :
22
Sedangkan, dalam konsep palemahan sangat terlihat dengan
jelas, dimana area bajra sandhi ini memiliki landscape yang ditata
dengan baik dan dirawat setiap harinya. Selanjutnya ketiga hubungan
yang harmonis itu diyakini akan membawa kebahagiaan dalam
kehidupan ini, di mana dalam terminalogi masyarakat Bali diwujudkan
dalam 3 unsur, yaitu : parahyangan, pawongan, dan palemahan.
23
4.1.3 Konsep Tri Angga Pada Bangunan Bajra Sandhi
24
perpustakaan, ruang rapat, ruang pameran, ruang administrasi,
toilet. Ditengah – tengah ruangan terdapat telaga yang diberi nama
sebagai Puser Tasik, delapan tiang agung dan juga tangga naik
berbentuk tapak dara.
4.2 Penerapan Arsitektur Masa Kini (AMK) Pada Monumen Bajra Sandi
25
Bajra Sandi sebagai sebutan wujud karya arsitektur tampaknya
sangat akrab dengan tampilan atau sosok bangunannya yang secara
imaji menampilkan bentuk sebuah bajra. Bajra di Bali dikenal sebagai
alat/ perlengkapan untuk pelaksanaan upakara oleh pemangku ataupun
sulinggih seperti misalnya upakara yadnya dan nyurya sewana
(Salain,2007;67). Bajra juga digunakan untuk menggambarkan simbul
senjata dan dewa-nya bagi masyarakat Hindu Dharma.
26
Bangunan museum yang berbentuk tinggi menjulang
mengandung makna Gunung Mandara Giri. Dapat dilihat bahwa
substance dan form dari bentuk monumen ini sangat berkaitan dengan
simbul dan budaya yang ingin ditonjolkan. Guci Amertha dalam bentuk
Kumba (periuk) tepat pada bagian atas museum merupakan tempat
Tirtha Amertha yaitu air keabadian diletakkan pada tempat teratas
mempunyai makna bahwa sumber kehidupan dan keabadian adalah
sang pencipta.
Dua patung utama pada pintu masuk dengan ukuran besar dan
dua patung dibelakang pada pintu pejalan kaki dengan ukuran lebih
Gambar 4.7 Ornamen karang gajah dan patung raksasa pada pintu
masuk bajra sandi
kecil dalam bentuk patung raksasa dengan bentuk badan kekar sikap
duduk kaki tegak bertaring dan mata bulat lengkap dengan senjata di
tangan adalah sarwakala ditempatkan pada bagian nista mandala sesuai
dengan tingkat kehidupannya merupakan ragam hias mempunyai makna
sebagai penjaga monumen atau sebagai penjaga kehidupan manusia.
27
Dua pintu utama menghadap ke depan terletak pada tembok
penyengker batas area museum yang berfungsi sebagai pintu masuk atau
keluar pekarangan museum disebut juga pemesuan pada tempat yang
disucikan dengan ukuran besar disebut Candi Bentar. Candi Bentar ini
memiliki makna tanda peralihan dari area nista mandala ke area madya
mandala. Candi bentar memiliki makna filosofis gunung retak yang siap
menjepit setiap maksud jahat yang melaluinya. Makna dalam ragam hias
tersebut bermaksud memberikan arahan dan penertiban terhadap
pembentukan sikap hidup sesuai ajaran agama. Kaki candi bentar dihiasi
ragam hias fauna berupa Karang Asti atau karang gajah, mengambil
bentuk gajah dengan ekspresi kekarangan. Karang Asti berbentuk
kepala gajah dengan belalai dan taring gadingnya, bermata bulat dihiasi
flora patra punggel kearah sisi pipi. Karang Asti ditempatkan pada sudut
bebaturan candi bentar sesuai dengan kehidupan gajah di tanah yang
mengandung makna kekuatan
28
Dua Candi Bentar pada area depannya terdapat dua patung
sebagai penunggu area monumen yaitu yang disebelah kiri I Ratu
Wayan Tebeng dan yang disebelah kanan Sang Kala Katungkul. Kedua
patung tersebut diletakkan pada pintu masuk area Madya Mandala
mempunyai makna sebagai penjaga dengan rupa Bhuta memegang
senjata dengan mata bulat yang mengandung makna waspada. Pada
ujung tembok penyengker sebelah kiri dan kanan Candi Bentar terdapat
bentuk Karang Tapel yang mempunyai makna perkuatan penjagaan
terhadap Bangunan. Penyengker Area Madya Mandala berupa pagar
dengan bahan beton menyerupai arsitektur tradisional gaya Bali Timur
berbentuk pepatran dasar Pae yang memiliki dimensi besar sehingga
menyerupai Bajra senjata Dewa Iswara pelindung dan penguasa arah
Timur. Bentuk Pepatran senjata Bajra yang diletakkan pada Tembok
penyengker area Madya mandala mengandung makna penguasaan dan
perlindungan terhadap area bangunan dimana letak monumen tersebut
berada di sebelah timur pulau Bali.
Pada area Madya Mandala terlihat bentuk bangunan utama
museum sebagai bentuk genta dengan tinggi menjulang sebagai
lambang Gunung Giri Mandara mengandung makna keagungan dan
kehidupan abadi. Dari area Madya Mandala menuju bangunan utama
terdapat pemesuan atau pamedalan Kori Agung dengan bentuk
bangunan pasangan masif berupa material batu Karangasem dengan
lubang masuk beratap. Atap kori merupakan rangkaian pasangan batu
lanjutan dari bagian badan dilengkapi dengan tangga naik dan tangga
turun. Didepan Kori Agung terdapat dua patung yang mengapit tangga
masuk yang berwujud kemanusiaan selain sebagai hiasan juga
mengandung makna penambahan nilai kesakralan. Patung di depan Kori
Agung Utama disebelah kiri adalah Sutasoma adalah putra Raja
Mahaketu dari Hastina yang merupakan perwujudan Budha sang
Bodhisatta yang mengajarkan Dharma (Bakti, 2010). Di sebelah kanan
Kori Agung adalah Resi Kesawa seorang pemimpin pertapaan di
Gunung Semeru yang menjadi penasehat dan pendamping Sutasoma
dalam perjalanannya menuju Budha. Patung kedua tokoh tersebut
mengandung makna Kebaikan, kebijaksanaan dan pengetahuan
(Darmosoetopo, 2010). Dikedua sisi Kori Agung terdapat dua patung
disebelah kiri berupa patung Naga dengan mahkota dan hiasan gelung
kepala, bebadong leher, anting – anting telinga, rahang terbuka, taring
29
gigi runcing dengan lidah api bercabang. Patung naga sikap tegak
bertumpu pada dada. Patung naga pengapit tangga menghadap ke depan
biasanya dipakai untuk tangga – tangga bangunan parahyangan sebagai
tempat pemujaan. Railling tangga pada bangunan ini membentuk badan
Naga sampai ekor. Pada sisi kanan Kori Agung terdapat patung Gajah
Waktra raja besar dari Bedahulu yang bergelar Bhatara Sri Astasura
Ratna Bumi Banten dan terkenal sangat sakti, cerdas, bijaksana dan adil
yang didampingi patih Kebo Iwa yang sangat sakti dan kuat (Suyasa,
2014). Diatas pintu Kori Agung terdapat Karang Boma berbentuk
kepala raksasa dengan hiasan mahkota lengkap dengan tangan dari arah
pergelangan ke arah jari yang mekar.
Gambar 4.9 tembok penyengker dengan pepatran flora dan kori pada
bajra sandi
30
pekarangan bangunan utama memiliki bangunan sakepat bertiang empat
dengan denah segi empat terbuat dari material yang sama dengan
material lain yaitu batu lahar karang asem. Keempat sisi sendinya
berupa Karang Lembusora. Atap berbentuk limasan dengan murda
berbentuk busur anak panah senjata Nagapasa dari dewa Mahadewa
penguasa dan pelindung arah Barat serta senjata Angkus Dewa
Sangkara penguasa dan pelindung arah Barat Laut. Pada bagian Pemade
terdapat lambang Padma sebagai lambang Dewa Siwa manifestasi dari
Sang Maha Pencipta. Bangunan tersebut berfungsi untuk tempat duduk
dan menikmati pemandangan taman, ke arah luar dari bangunan ini
dapat menikmati pemandangan taman disekitar monumen dan lapangan
Niti Mandala.
31
Gambar 4.10 Ukiran pada pintu masuk monumen
32
b. Berdasarkan Filosofi Arsitektural
33
Sedangkan pada bangunan monument bajra sandi menggunakan
bahan beton sebagai bahan penutup atap.
34
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
35
5.2. Saran
36
DAFTAR PUSTAKA
Sulistyawati. Dkk. 2007. Apresiasi Karya Arsitektur Ida Bagus Tugur. Denpasar:
Pelawa Sari
Kusumowati, Sri Indah Retno. 2017. Bentuk dan Makna Arsitektur dan Ornamen
Monumen Bajra Sandi. [PDF]. https://samartaarsitektur.unud.ac.id/wp-
content/uploads/2017/11/2008-75-Sri-Indah-Retno-Kusumowati.pdf (15 April
2018)
37