Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

REFLEKSI ISLAM ULIL ALBAB

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Islam Ulil Albab

Dosen Pengampu :

Dr. Moch Taufiq Ridho, M.Pd.

Disusun Oleh :

Hafiz Rafly Ghani (23513092)

Najmah Shafa Nurkamila (23513103)

M. Rifandy Zuhair (23513112)

Leila Andini Damayanti (23513120)

JURUSAN TEKNIK LINGKUNGAN

FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Dengan menyebut asma Allah SWT. yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami

panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmat dan

hidayah-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyusun dan menyelesaikan makalah

kami yang berjudul “Refleksi Islam Ulil Albab”.

Tujuan makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Islam Ulil Albab.

Selain itu, tujuan penyusunan makalah ini dibuat untuk menambah wawasan bagi

para pembaca maupun kami para penulis untuk dapat kami praktikan dalam kehidupan

sehari-hari. Kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Moch Taufiq Ridho, M.Pd.

selaku dosen pengampu mata kuliah sehingga dengan diberikannya tugas ini dapat

menambah wawasan kami selaku penulis berkaitan dengan topik yang diberikan.

Kami selaku penulis menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan

makalah ini masih banyak kekurangan karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman

kami. Oleh karena itu kami selaku penulis memohon maaf atas kesalahan dan

ketidaksempurnaan jika pembaca temukan dalam makalah ini. Kami juga mengharapkan

kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Kami harap makalah ini dapat

bermanfaat dan menambah wawasan pembaca.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Yogyakarta, 06-09-2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………..i

DAFTAR ISI………………………………………………………………………….....ii

BAB I : PENDAHULUAN……………………………………………………………..1

A. Latar Belakang………………………………………………………………………1
B. Rumusan Masalah……………………………………………………………………1
C. Tujuan………………………………………………………………………………...2
D. Manfaat……………………………………………………………………………….2

BAB II : PEMBAHASAN……………………………………………………………….3

A. Pengertian……………………………………………………………………………...3
B. Ciri-ciri Ulil Albab………………………………………………….............................3
C. Merefleksikan Islam Ulil Albab dalam kehidupan sehari-hari………………………...4
D. Intelektual Profetik……………………………………………………………………..8

BAB III : PENUTUP……………………………………………………………………13


A. Kesimpulan…………………………………………………………………………….13

B. Saran…………………………………………………………………………………...13

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………….....14

ii
iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di dalam Al-Qur’an telah disebutkan bahwa manusia adalah makhluk Allah
SWT. yang paling sempurna yang disebutkan dalam Q.S. At-Tin/95 ayat 4 dimana
Allah SWT. menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Manusia juga
dianugerahi potensi akal dan budi dari Allah SWT. yang tidak dimiliki oleh makhuk
Allah SWT. yang lain. Maka dari itu manusia juga ditetapkan untuk menjadi khalifah
di muka bumi ini, karena kelebihan manusia yang memiliki wawasan, intelektual, dan
keterampilan yang tidak dimiliki makhluk ciptaan Allah SWT. yang lain. Arti khalifah
sendiri adalah seseorang yang diberi mandat untuk bertindak sebagai pengatur atau
wakil Allah SWT. di muka bumi ini.
Karena manusia dianugerahi akal dan budi maka kita sebagai seorang
muslim harus mengoptimalkan atau memanfaatkan kelebihan ini dengan menjadi insan
yang selalu mengedepankan akal kita untuk berfikir tentunya dengan ilmu
pengetahuan yang bermanfaat bagi diri sendiri dan umat manusia. Namun tidak hanya
mengedepankan akal tetapi agama sebagai pondasi hidup kita juga perlu berjalan
sejalan dengan ilmu pengetahuan agar ilmu yang kita dapatkan dapat bermanfaat dan
sejalan dengan pedoman hidup kita yaitu Al-Qur’an. Untuk itu dalam makalah ini akan
dibahas bagaimana merefleksikan diri menjadi seorang islam ulil albab yaitu seorang
muslim yang mengedepankan akal fikirnya dengan zikir. Sebagai seorang mahasiswa
kita juga harus menjadi seorang ulil albab dan bagaimana menerapkan intelektual
profetik dalam kehidupan sebagai mahasiswa.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud ulil albab dan merefeleksikan ulil albab?
2. Bagaimana ciri-ciri ulil albab yang dapat dijadikan landasan untuk menjadi
seorang insan ulil albab?
3. Apa saja sikap dalam merefleksikan ulil albab dalam kehidupan sehari-hari?
4. Apa yang dimaksud intelektual profetik?
5. Apa saja nilai-nilai dalam intelektual profetik?

1
C. Tujuan
Tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk menambah wawasan pembaca
dan kami para penulis terkait topik makalah yaitu merefleksikan konsep islam ulil
albab dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam makalah ini akan menjelaskan
pengertian dari ulil albab, merefleksikan islam ulil albab, dan intelektual profetik yang
menjadi inti materi pada makalah ini. Selain itu akan dipaparkan juga ciri-ciri insan
ulil albab yang nantinya dapat menjadi dasar bagaimana cara atau sikap untuk diri
sendiri agar dapat mempraktikan atau merefleksikan menjadi insan islam ulil albab
dalam kehidupan sehari-hari.

D. Manfaat
1. Mengerti arti dari ulil albab, merfleksikan islam ulil albab, dan intelektual profetik
2. Menambah wawasan tentang ulil albab, refleksi islam ulil albab, dan intelektual
profetik
3. Dapat mrefleksikan sikap insan ulil albab dalam kehidupan sehari-hari

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian
Istilah Ulil Albab berasal dari istilah Bahasa Arab : Ulu al-Alba b. Dalam
terjemahan al-Qur’a n bahasa Indonesia, istilah ini sering kali diterjemahkan
sebagai ‘orang-orang yang berakal’. Secara etimologis istilah Ulu al-Alba b terdiri
dari kata uludan alba b. Ulumerupakan kata jamak yang tidak ada bentuk
tunggalnya yang bermakna ‘yang memiliki’ ataupun ‘pemilik’. Sedangkan istilah
alba b merupakan bentuk jamak dari kata lubb. Bentuk jamak ini mengindikasikan
bahwa ulul albab adalah orang yang memiliki otak berlapis-lapis alias otak yang
tajam.dan yang memiliki makna dasar ‘intipati’, ‘hakikat’, ‘kemurnian’, dan
‘bagian terdalam dari jiwa manusia’. Sehingga ulual-alba b, sebagaimana
dikatakan dalam Tafsir Jalalain, bermakna dzu al-‘aql ‘yang berakal’ atau ‘yang
memiliki akal’.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan pengertian dari refleksi
yang dimana memiliki arti gerakan, pantulan di luar kemauan (kesadaran) sebagai
jawaban suatu hal atau kegiatan yang datang dari luar ; gerakan otot (bagian badan)
yang terjadi karena suatu hal dari luar dan di luar kemauan atau cerminan;
gambaran. Sedangkan arti dari merefleksikan sendiri memiliki arti
mencerminkan kata atau ucapan seseorang, biasanya isi hatinya.
Jadi, dapat disimpulkan merefleksikan konsep Islam ulil albab dalam
kehidupan sehari-hari adalah suatu cara atau aktivitas untuk melakukan cerminan
baik kata, ucapan, atau tindakan pada diri sendiri untuk menjadi insan ulil albab
atau insan yang berakal.

B. Ciri-Ciri Ulil Albab


Adapun ciri-ciri dari insan ulil albab sudah tertulis dalam Al-Qur’a n
QS.Ali-Imran : 190-191 yang berbunyi sebagai berikut.
١٩٠ ‫ب‬ ِ ‫ت اِّل ُولِى ااۡل َ ۡلبَا‬ ِ ‫ض َو ۡاختِاَل‬
ٍ ‫ف الَّ ۡي ِل َوالنَّ َها ِر اَل ٰ ٰي‬ ِ ‫ت َوااۡل َ ۡر‬ ۡ
ِ ‫اِنَّ ِف ۡى َخل‬
ِ ‫ق السَّمٰ ٰو‬
ۡ ‫هّٰللا‬ ۡ
‫ضۚ َربَّنَا َما َخلَ ۡقتَ ٰه َذا بَا ِطاًل‬
ِ ‫ت َوااۡل َ ۡر‬
ِ ‫ق السَّمٰ ٰو‬ ِ ‫الَّ ِذ ۡينَ يَذ ُك ُر ۡونَ َ قِيَا ًما َّوقُ ُع ۡودًا َّوع َٰلى ُجنُ ۡوبِ ِهمۡ َويَتَفَ َّك ُر ۡونَ فِ ۡى َخل‬
َ ‫س ۡب ٰحنَ َك فَقِنَا َع َذ‬
١٩١ ‫اب النَّا ِر‬ ُ ۚ

3
Artinya : “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam
dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal, (yaitu)
orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan
berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya
berkata), "Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia;
Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.”
Di dalam ayat tersebut telah dijelaskan bagaimana itu ciri-ciri seorang ulil
albab, yaitu seseorang yang selalu mengingat Allah SWT. dalam keadaan apapun
baik dalam keadaan berdiri, duduk, atau keadaan berbaring. Selain itu disebutkan
pula ciri seorang ulil albab ialah yang selalu memikirkan tentang penciptaan langit
dan bumi yang di dalamnya terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah SWT.).
Seorang ulil albab senantiasa memahami tanda-tanda kebesaran Allah SWT.
serta merenungkan keindahan ciptaan-Nya yang tidak ada satupun yang sia-sia,
seraya berdzikir kepada Allah SWT. dalam keadaan apappun. Mereka yang
memadukan antara zikir dengan fikir (tafakkur). Mereka mengisi waktunya dengan
dua kegiatan tersebut yaitu berzikir dan brfikir yang berjalan siring sejalan.
Kesadaran seorang muslim terhadap tanda-tanda kebesaran Allah SWT. dan
keindahan ciptaan-Nya menjadikan seorang muslim senantiasa meningkatkan
keimanannya dan semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Selain dalam ayat tersebut, di dalam sebuah buku yang berjudul “Islam dan
Generasi Ulil” Albab karya Firdaus, Ph.D dan Yogi Theo Rinaldi, S.Hum
disebutkan ciri-ciri lain seorang ulil albab, antara lain, golongan yang
menggunakan akalnya (lubb) untuk mereungi ayat-ayat Allah dalam al-Qur’an dan
juga tanda-tanda kebesaran-Nya di alam semesta dan mereka mengambil Pelajaran
darinya, golongan yang mengetahui perbedaan antara yang baik dan yang buruk,
golongan yang mereka banyak mngambil Pelajaran atau hikmah dari segala
kejadian serta banyak mengingat Allah SWT., golongan yang dianugerahi
kemampuan mengambil ibrah (pelajaran) dari kisah-kisah orang terdahulu terutama
dari kalangan Para Nabi juga Rasul, dan lain sebagainya.

C. Merefleksikan Konsep Islam Ulil Albab dalam Kehidupan Sehari-hari


1) Refleksi Ulil Albab Sesuai Ayat dalam Al-Qur’an
Dalam kehidupan sehari-hari kita dapat merefleksikan konsep Islan ulil
albab, di dalam Al-Qur’an sudah disebutkan dalam beberapa ayat yang

4
menyebutkan ciri atau sikap yang dapat dijadikan teladan kita untuk
direfleksikan di dalam kehidupan sehari-hari, sikap dan ayat-ayat tersebu
adalah berzikir, atau mengingat Allah, dalam situasi apapun : dalam posisi
berdiri, duduk, maupun berbaring (Q.S. Ali Imran/3:191), memenuhi janji
(Q.S. Ar-Ra’d/13: 20), menyambung yang perlu disambung dan takut dengan
hisab yang buruk (Q.S. Ar-Ra’d/13: 21), sabar dan mengharap keridaan
Allah SWT., melaksanakan salat, membayar infak dan menolak kejahatan
dengan kebaikan (Q.S. Ar-Ra’d 13/: 22). Sikap yang dilakukan di sini yaitu,
dengan membangun hubungan vertikal transendental (seperti mendirikan salat)
dan hubungan horisontal sosial (seperti membayar infak dan menyambung
persaudaraan).
Dalam berpikir, ulul albab melibatkan beragam obyek: fenomena alam,
seperti pergantian malam dan siang serta penciptaan langit dan bumi (Q.S. Ali
Imran 3:190-191) dan siklus kehidupan tumbuhan yang tumbuh karena air
hujan dan akhirnya mati (Q.S. Az-Zumar 39: 21), fenomena sosial, seperti
sejarah atau kisah masa lampau (Q.S. Yusuf 12:111).

2) Strategi Refleksi Ulil Albab Sesuai Ayat Al-Qur’an


Sikap ulil albab yang telah disampaikan dalam ayat-ayat Al-Qur’an
tersebut perlu dipraktikkan atau direfleksikan dalam kehidupan sehari-hari agar
kitta dapat menjadi seorang muslim yang dapat menjunjung tinggi agama dan
ilmu pengetahuan sehingga dapat bersaing dan tentunya dapat bermanfaat di
era sekarang, tentunya hal tersebut tidak terlepas dari strategi agar sikap-sikap
tersebut dapat dipraktikkan dan direfleksikan dalam kehidupan sehari-hari.
Beberapa strategi tersebut, yaitu: (a) meningkatkan integrasi, (b) mengasah
sensitivitas, (c) memastikan relevansi, (d) mengembangkan imajinasi, dan (e)
menjaga independensi.
a) Meningkatkan Integrasi
Ulul albab menjaga integrasi antara berpikir dan berzikir, antara ilmu dan
iman. Integrasi aspek zikir dan pikir ulul albab diikhtiarkan untuk
diimplementasikan ke dalam tiga level islamisasi: (a) islamisasi diri, yang
ditujukan untuk menjadi manusia yang saleh, termasuk saleh sosial; (b)
islamisasi institusi, dengan menyuntikkan nilai ke dalam pengambilan
keputusan dan desain proses bisnis; dan (c) “islamisasi” ilmu, yang
5
sekarang lebih sering disebut dengan integrasi ilmu pengetahuan dengan
nilai-nilai Islam.

b) Mengasah Sensitivitas
Berpikir membutuhkan sensitifitas (Q.S. Yusuf 12: 105-106). Fenomena
yang sama dapat memberikan beragam makna jika didekati dengan tingkat
sensitivitas yang berbeda. Sensitivitas bisa diasah dengan perulangan, yang
sejalan dengan pesan Q.S. Al-Alaq ayat 1-5, bahwa membaca kritis
dilakukan berulang (dalam ayat 1 dan 3). Pembacaan ini pun tetap
dibarengi dengan zikir: didasari dengan ‘nama Allah’ (ayat 1) dan dengan
tetap ‘memuliakan Allah’ (ayat 3).

c) Memastikan Relevansi
Proses berpikir harus menghasilkan manfaat. Di sini, isu relevansi menjadi
penting. Bisa jadi, kemampuan berpikir manusia belum sanggup membuka
tabir dan memahaminya dengan baik alias berpikir fungsional. Tapi bagi
ulul albab, semuanya dikembalikan pada kepercayaan bahwa Allah
menciptakan semuanya dengan tujuan, tidak sia-sia (Q.S. Ali Imran 3:192).
Sejarah mencatat bahwa ilmu pengetahuan terus berkembang. Apa yang
dituliskan dalam Alquran tidak semuanya dapat dipahami dengan mudah
pada masa turunnya. Sebagai contoh, ilmu pengetahuan modern
menemukan bahwa matahari bersinar (dliya’an) dan bulan bercahaya
(nuuran). Pemahaman awam sebelumnya menganggap bahwa bulan pun
bersinar. Bulan tidak bersinar tetapi bercahaya karena memantulkan sinar
dari matahari (lihat Q.S. Yunus 10:5). Klorofil, atau zat hijau daun, yang
diungkap oleh Q.S. Al-An’anm 6: 99 baru diketahui oleh pengetahuan
modern jauh setelah ayat ini turun.

d) Mengembangkan Imajinasi
Paduan aktivitas pikir dan zikir seharusnya menghasilkan imajinasi
masyarakat dan umat Islam yang lebih maju (Q.S. Al-Hashr 59:18; An-Nisa
4:9). Untuk bergerak dan maju, kita perlu mempunyai imajinasi masa depan
dan tidak terjebak dalam sikap reaktif yang menyita energi. Karenanya,
ulul albab harus mengikhtiarkan pikiran yang kritis, kreatif, dan

6
kontemplatif untuk menguji, merenung, mempertanyakan, meneorisasi,
mengkritik, dan mengimajinasi. Ciri kritis karakter zikir muncul ketika
berhadapan dengan masalah konkret. Berzikir berarti mengingat atau
mendapat peringatan. Karenanya, watak orang yang berzikir adalah
mengingatkan. Di sini, bisa ditambahkan bahwa obyek berpikir juga
termasuk fenomena sosial yang terhubung dengan berbagai kisah rasul
(Q.S. Yusuf 12:111) juga menegaskan pentingnya aspek kritis ini karena
salah satu tugas rasul adalah memberi peringatan (Q.S. Al-Baqarah 2: 119).

e) Menjaga Independensi
Ulul albab juga seharusnya terbiasa berpikir independen. Tidak dilandasi
kepentingan saat ini dan konteks kini. Landasan berpikirnya adalah nilai-
nilai perenial atau abadi. Kita diminta mandiri dalam berpendapat (Q.S.
Ash-Shaffat 31:102), hanya akan diminta pertanggunjawaban atas apa yang
dilakukannya (Q.S. Al-An’am 6:164), dan diminta hati-hati dalam menilai
(Q.S. Al-Hujurat 49:6). Independensi ini menjadi sangat penting di era
pascakebenaran ketika emosi lebih mengemuka dibandingkan akal sehat. Di
sini kemandirian dalam berpikir menjadi saringan narasi publik yang
seringkali sulit diverifikasi kebenaraannya.

3) Merefleksikan Islam Ulil Albab dalam Kehidupan Sehari-hari


Berdasarkan buku “Agar Layar Tetap Terkembang: Upaya Menyelamatkan
Umat” oleh Prof. Dr. K.H. Didin Hafidhuddin (2006: 80-81), beberapa sifat
yang menjadi contoh ulil albab antara lain sebagai berikut:
a) Bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu: Sifat ini dapat kita terapkan
dalam kehidupan sehari-hari dengan rajin belajar dan membaca buku-buku
pengetahuan. Belajar bukan hanya bertujuan untuk mencapai hasil
akademik yang baik, namun supaya kita dapat memahami alam semesta dan
mengaplikasikan ilmu tersebut dalam kehidupan.
b) Mampu memisahkan yang baik dan yang buruk: Dengan ilmu kita dapat
mengetahui mana yang baik mana yang buruk sebelum membuat
keputusan. Dengan ilmu seseorang dapat membuat keputusan yang
bermanfaat dan tidak merugikan.

7
c) Kritis dalam mendengarkan pembicaraan, pandai menimbang-nimbang
ucapan, teori, proposisi, dalil, atau argumentasi: Dengan ilmu yang kita
miliki, kita dapat memberikan pandangan kita terhadap suatu opini atau
teori dengan dasar yang jelas.
d) Bersedia mendakwahkan ilmu yang dimilikinya kepada masyarakat:
Seseorang yang berilmu harus menyebarkan kembali ilmu yang dimilikinya
untuk masyarakat, supaya ilmu itu dapat terasa manfaatnya. Selain itu ilmu
juga termasuk sebagai salah satu amal jariyah.

D. Intelektual Profetik
1) Pengertian
Kita sebagai seorang mahasiswa harus memiliki intelektual profetik
dimana seorang intelektual tidak hanya mengedepankan nalar pikir saja,
namun sama halnya dengan nalar wahyu dan keimanan. Menurut Abdul Halim
Sani dalam bukunya “Manifesto Gerakan Intelektual Profetik” menjelaskan
bahwa seorang intelektual profetik harus memiliki kesadaran akan diri, alam,
dan Tuhan dengan menisbatkan semua potensi yang dimiliki sebagai
pengabdian untuk kemanusiaan dan dijiwai dalam segala dimensi kehidupan
sebagai upaya beribadah kepada Allah SWT. Artinya menjadi mahasiswa
adalah menjadi manusia yang sesuai dengan fitrahnya dan mengedepankan
akal. Maka dari itu, dalam istilah intelektual profetik, menjadi mahasiswa ideal
adalah menjadi manusia yang utuh dalam akal, budi dan pikirannya serta
seimbang antara iman dan nalarnya.
Jika secara epistimologis, intelektual profetik terdiri dari kata intelektual
artinya seorang pembebas yang didasarkan pada kesadaran dengan
menggunakan semua potensi dalam dirinya untuk kebermanfaatan diluar
dirinya. Sementara profetik artinya kenabian, wahyu dan keimanan. Jadi
paradigma gerakan intelektual profetik adalah upaya dalam meletakkan
keimanan sebagai ruh atas nalar akal dimana kita mempertemukan nalar akal
dengan nalar wahyu yang disatukan menjadi semangat gerakan.
Kita sebagai seorang mahasiswa harus memiliki intelektual profetik
dimana seorang intelektual tidak hanya mengedepankan nalar pikir saja,
namun hal nya dengan nalar wahyu dan keimanan. Menurut Abdul Halim Sani
dalam bukunya “Manifesto Gerakan Intelektual Profetik” menjelaskan bahwa

8
seorang intelektual profetik harus memiliki kesadaran akan diri, alam, dan
Tuhan dengan menisbatkan semua potensi yang dimiliki sebagai pengabdian
untuk kemanusiaan dan dijiwai dalam segala dimensi kehidupan sebagai upaya
beribadah kepada Allah SWT. Artinya menjadi mahasiswa adalah menjadi
manusia yang sesuai dengan fitrahnya dan mengedepankan akal. Maka dari
itu, dalam istilah intelektual profetik, menjadi mahasiswa ideal adalah menjadi
manusia yang utuh dalam akal, budi dan pikirannya serta seimbang antara
iman dan nalarnya.

2) Nilai-Nilai Profetik
a) Humanisasi (Nilai Kemanusiaan)
Dalam bahasa agama, konsep humanisasi adalah terjemahan kreatif dari
amar ma’ruf yang makna asalnya menganjurkan menegakkan kebajikan.
Dalam bahasa ilmu, secara etimologi, humanisasi berasal dari bahasa latin
humanitas yang artinya makhluk manusia, kondisi menjadi manusia. Secara
terminology, humanisasi berarti memanusiakan manusia, menghilangkan
kebendaan, ketergantungan, kekerasan dan kebencian dari manusia.
Menurut Kuntowijoyo didalam bukunya yang berjudul “Islam Sebagai
Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika” konsep humanisasi ini berakar
kepada humanisme-teosentris. Maka dari itu, makna humanisme-teosentris
adalah manusia harus memusatkan diri kepada Tuhan, tetapi tujuannya
adalah untuk kepentingan manusia sendiri. Maksudnya, keyakinan religius
yang berakar pada pandangan teosentris, selalu dikaitkan dengan amal atau
perbuatan manusia, keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan.

b) Liberasi (Nilai Kebebasan)


Liberasi, menurut Kuntowijoyo, adalah bahasa ilmu dari nahi munkar. Jika
dalam bahasa agama nahi munkar artinya mencegah dari segala tindak
kejahatan yang merusak, memberantas judi, lintah darat, korupsi dan
lainnya, maka dalam bahasa ilmu, nahi munkar artinya pembebasan dari
kebodohan, kemiskinan dan penindasan. Secara etimologi, liberasi berasal
dari bahasa latin liberare yang artinya memerdekakan. Secara istilah,
liberasi dapat diartikan dengan pembebasan, semuanya dengan konotasi

9
yang memiliki signifikansi sosial. Liberasi yang dimaksud adalah yang
didasari nilai-nilai luhur transendental. Nilai-nilai liberatif dipahami dan
didudukkan dalam konteks ilmu sosial yang memiliki tanggung jawab
profetik. Tujuan liberasi dalam pandangan Kuntowijoyo adalah
pembebasan manusia dari kekejaman pemiskinan struktural, keangkuhan
teknologi, pemerasan kelimpahan, dominasi struktur yang menindas dan
hegemoni kesadaran palsu. Semangat liberatif ini dicari pada nilai-nilai
profetik transendental dari agama yang telah ditransformasikan menjadi
ilmu yang obyektif faktual.

c) Transendensi (Nilai Keimanan)


Kata transendensi berasal dari kata transcendere adalah bahasa Latin yang
artinya naik ke atas. Dalam bahasa Inggris berarti to transcend yang artinya
menembus, melewati dan melampaui. Menurut istilah, libersi berarti
perjalanan di atas atau di luar. Yang dimaksud Kuntowijoyo adalah
transendensi dalam istilah teologis, yaitu bermakna ketuhanan, makhluk-
makhluk gaib.33 Tujuan transendensi adalah untuk menambahkan dimensi
transendental dalam kebudayaan, membersihkan diri dari arus hedonisme,
materialisme dan budaya yang dekaden. Dimensi transendental adalah
bagian sah dari fitrah kemanusiaan sebagai bentuk persentuhan dengan
kebesaran Tuhan. Bagi orang Islam, urusan dunia, eksistensi selama hidup
di dunia akan mempengaruhi kehidupan akhirat kelak. Amal di dunia bukan
hal yang sia-sia yang tidak akan pernah diperhitungkan, tetapi akan
memperoleh balasan di kehidupan akhirat. Oleh karena itu, menurut
Kuntowijoyo, sudah selayaknya jika umat Islam meletakkan Allah SWT
sebagai pemegang otoritas yang mutlak dengan 99 Nama Indah itu.
Berdasarkan paparan di atas, nilai-nilai humanisasi dan liberasi harus
bertitik pangkal dari nilai-nilai transendensi. Kerja kemanusiaan dan kerja
pembebasan harus didasarkan kepada nilai-nilai keimanan kepada Allah
SWT.
3) Intelektual Profetik Dan Ilmu Pengetahuan
Islam di Indonesia mencatat sejarah intelektual yang dinamis pada
sekitar dekade tahun 1970-an. Jika kata intelektual selalu dihubungkan dengan
produksi ide, maka pemikiran Islam dalam berbagai tema mengalir dengan

10
cepat pada tahun-tahun tersebut, menyerupai perkembangan pembaruan Islam
di beberapa negara Islam lainnya. Produksi pemikiran keagamaan di negeri ini
juga tidak pernah terlepas dari pertautan secara dialektis antara Islam sebagai
fenomena agama dengan realitas yang berkembang di luar. Salah satu tema
yang banyak diperbincangkan komunitas intelektual Muslim pada 1980-an
adalah Islam dan ilmu pengetahuan. Keduanya merupakan tema klasik dalam
setiap momentum terjadinya pembaruan pemikiran keagamaan, baik secara
normatif-teologis maupun historis.
Tidak sedikit peneliti Barat yang mengungkap adanya kaitan organik
antara Islam dengan kemajuan sains. Ilmuwan Muslim yang hidup pada abad
kejayaan Islam berkontribusi besar terhadap kemajuan di Barat sebagai peletak
dasar teori berbagai ilmu pengetahuan, termasuk sains, ilmu sosial dan filsafat.
Sayangnya, kemajuan ilmu pengetahuan pada periode klasik Islam meredup
pada periode pertengahan (1250-1800). Sementara di wilayah luar Islam, yaitu
Barat terutama Eropa, memasuki era pencerahan (1300-1600) yang berlanjut
pada tahapan eksplorasi (1400-1700) dan puncaknya adalah revolusi ilmu
pengetahuan (1500-1800).
Ada banyak faktor yang menyebabkan tradisi pengembangan ilmu
pengetahuan mengalami kemunduran di dunia Islam, yaitu karena munculnya
ortodoksi dan semangat intoleransi pada diri masyarakat Muslim. Dua faktor
tersebut yang bertanggung jawab atas matinya etos pengembangan keilmuan
Islam. Perbincangan tentang Islam dan modernitas juga mengemuka di
Indonesia. Wacana mengenai keduanya mengerucut ke dalam berbagai tema, di
antaranya ilmu pengetahuan sebagai salah satu ikon pada fase modern.

Kita sebagai seorang mahasiswa harus memiliki intelektual profetik


dimana seorang intelektual tidak hanya mengedepankan nalar pikir saja, namun
hal nya dengan nalar wahyu dan keimanan. Menurut Abdul Halim Sani dalam
bukunya “Manifesto Gerakan Intelektual Profetik” menjelaskan bahwa seorang
intelektual profetik harus memiliki kesadaran akan diri, alam, dan Tuhan
dengan menisbatkan semua potensi yang dimiliki sebagai pengabdian untuk
kemanusiaan dan dijiwai dalam segala dimensi kehidupan sebagai upaya
beribadah kepada Allah SWT.

11
Artinya menjadi mahasiswa adalah menjadi manusia yang sesuai dengan
fitrahnya dan mengedepankan akal. Maka dari itu, dalam istilah intelektual
profetik, menjadi mahasiswa ideal adalah menjadi manusia yang utuh dalam
akal, budi dan pikirannya serta seimbang antara iman dan nalarnya.
Dan yang terakhir apa itu intelektual profetik, jadi intelektual profetik
adalah upaya dalam meletakkan keimanan sebagai ruh atas nalar akal dimana
kita mempertemukan nalar akal dengan nalar wahyu yang disatukan menjadi
semangat gerakan.

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dapat disimpulkan dari pembahasan materi ini yaitu arti ulil albab ulual-
alba b, sebagaimana dikatakan dalam Tafsir Jalalain, bermakna dzu al-‘aql ‘yang
berakal’ atau ‘yang memiliki akal’dan arti merefleksikan konsep Islam ulil albab
dalam kehidupan sehari-hari adalah suatu cara atau aktivitas untuk melakukan
cerminan baik kata, ucapan, atau tindakan pada diri sendiri untuk menjadi insan
ulil albab atau insan yang berakal.
Sedangkan ciri-ciri ulil albab telah disebutkan dalam Q.S. Al-Imran ayat
190-191 yaitu seseorang yang selalu mengingat Allah SWT. dalam keadaan apapun
baik dalam keadaan berdiri, duduk, atau keadaan berbaring. Selain itu disebutkan
pula ciri seorang ulil albab ialah yang selalu memikirkan tentang penciptaan langit
dan bumi yang di dalamnya terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah SWT.).
Sikap-sikap dalam merfleksikan islam ulil albab antara lain bersungguh
sungguh dalam menuntut ilmu, mampu memisahkan yang baik dan yang buruk,
kritis dalam mendengarkan pembicaraan, pandai menimbang-nimbang ucapan,
teori, proposisi, dalil, atau argumentasi, bersedia mendakwahkan ilmu yang
dimilikinya kepada masyarakat. Dengan nilai-nilai profetik humanisasi (nilai
kemanusiaan), liberasi (nilai kebebasan) dan transendensi (nilai keimanan).

B. Saran
Bagi mahasiswa, merefleksikan konsep Islam ulil albab dalam kehidupan sehari-
hari adalah suatu cara atau aktivitas untuk melakukan cerminan baik kata, ucapan,
atau tindakan pada diri sendiri untuk menjadi insan ulil albab atau insan yang
berakal. Dan berintelektual profetik agar dapat menyatukan diri dengan karakter
Ulil Albab yang dimiliki. Diharapkan makalah ini dapat membantu para mahasiswa
untuk dapat semakin memperdalam ilmu dan menambah wawasan pengetahuan.

13
DAFTAR PUSTAKA

Firdaus, Ph.D, Yogi Theo Rinaldi, S.Hum. Islam dan Generasi Ulil. Yogyakarta: UII
Press, 2020

Prof. Dr. Kuntowijoyo M.A. Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika.
Yogyakarta: Diva Press, 2004

Seminar moderasi Islam. “Membumikan konsep ulil albab” www.uii.ac.id.


https://www.uii.ac.id/membumikan-konsep-ulul-albab/

Berita update. “arti ulil albab dan contohnya dalam kehidupan”. www. Kumparan.com.
https://kumparan.com/berita-update/arti-ulil-albab-dan-contohnya-dalam-
kehidupan-1wsXqJ5iM6D

Immarfachruddin “implementasi gerakan intelektual profetik”.


www.immachfachrudin,unimus.ac.id.
https://immarfachruddin.unimus.ac.id/index.php/2022/04/30/implementasi-
gerakan-intelektual-profetik/#:~:text=Sehingga%20intelektual%20profetik
%20adalah%20gerakan,diri%20pada%20pedoman%20ke
%2DTuhanan.&text=Menjadi%20mahasiswa%20berarti%20identik
%20dengan%20perubahan%20karakter%20yang%20kita%20miliki.

14

Anda mungkin juga menyukai