Anda di halaman 1dari 5

asbabun nuzul surah al-qur’an

278. “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang
beriman.”
(al-Baqarah: 278)
279. “Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan
jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”
(al-Baqarah: 279)
Diriwayatkan oleh Abu Ya’la di dalam Musnad-nya dan Ibnu Mandah, dari al-Kalbi, dari Abu Shalih, yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas.
Bahwa turunnya ayat tersebut di atas (al-Baqarah: 278-279) berkenaan dengan pengaduan Banil Mughirah kepada gubernur Mekah, ‘Attab
bin As-yad, setelah fathu Makkah, tentang hutang-hutangnya yang beriba sebelum ada hukum penghapusan riba, kepada Bani ‘Amr bin As-
yad: “Kami adalah orang yang paling menderita akibat dihapusnya riba. Kami ditagih membayar riba oleh orang lain, sedang kami tidak
mau menerima riba karena menaati hukum penghapusan riba.” Maka berkata Bani ‘Amr: “Kami minta penyelesaian atas tagihan riba
kami.” Maka Gubernur ‘Attab menulis surat kepada Rasulullah saw., yang dijawab oleh beliau sesuai dengan ayat di atas (al-Baqarah: 278-
279).
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari ‘Ikrimah. Bahwa Bani Tsaqif ini antara lain: Mas’ud, Habib, Rabi’ah, dan ‘Abdu Yalail.
Mereka ini termasuk Bani ‘Amr dan Bani ‘Umair.
284. “Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu
atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni
siapa yang dikehandaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
(al-Baqarah: 284)
285. “Rasul Telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman.
semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (mereka mengatakan): ‘Kami tidak
membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya’, dan mereka mengatakan: ‘Kami dengar dan kami taat.’
(mereka berdoa): ‘Ampunilah kami Ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.’”
(al-Baqarah: 285)
286. “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang
diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): ‘Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum
kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau
bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami
memikulnya. beri ma’aflah Kami; ampunilah Kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, Maka tolonglah kami terhadap kaum
yang kafir.’”
(al-Baqarah: 286)
Diriwayatkan oleh Muslim dan lain-lain, yang bersumber dari Abu Hurairah. Dan diriwayatkan pula oleh Muslim dan lain-lain, yang
bersumber dari Ibnu ‘Abbas. Bahwa ketika turun ayat,….wa ing tubduu maa fii angfusikum au tukhfuuhu yuhasbikum bihillaah…(..dan jika
kamu melahirkan apa yang ada dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu
tentang perbuatanmu itu…) (al-Baqarah: 284), para shahabat merasa keberatan, sehingga datang kepada Rasulullah sambil berlutut
memohon keringanan, dengan berkata: “Kami tidak mampu mengikuti ayat ini (al-Baqarah: 284).” Nabi saw. bersabda: “Apakah kalian
akan berkata ‘sami’naa wa ‘ashainaa’ (kami mendengar, akan tetapi tidak mau menurut) seperti yang diucapkan oleh ahli kitab (Yahudi dan
Nasrani) sebelum kalian? Ucapkanlah, sami’naa wa atha’naa ghufraanaka rabbanaa wa ilaikal mashiir (kami mendengar dan taat;
ampunilah kami ya Rabbanaa, hanya kepada-Mu lah tempat kembali).” Setelah dibacakan kepada para shahabat dan lidah merekapun
sudah terbiasa, turunlah ayat tersebut di atas (al-Baqarah: 285). Kemudian mereka melaksanakan ayat tersebut (al-Baqarah: 285). Lalu
turunlah ayat selanjutnya (al-Baqarah: 286).

Asbâbun Nuzûl Surat al-Baqarah(2), ayat: 278-279

Asbâbun Nuzûl Surat al-Baqarah(2), ayat: 278-279

)٢٧٨( َ‫يَا َأ ُّي َها الَّ ِذينَ آ َمنُوا اتَّقُوا هَّللا َ َو َذ ُروا َما بَ ِق َي ِمنَ ال ِّربَا ِإنْ ُك ْنتُ ْم ُمْؤ ِم ِنين‬
)٢٧٩( َ‫ظلَ ُمون‬ ْ َ‫وس َأ ْم َوالِ ُك ْم ال ت‬
ْ ُ‫ظلِ ُمونَ َوال ت‬ ُ ‫سولِ ِه وَِإنْ تُ ْبتُ ْم فَلَ ُك ْم ُر ُء‬ ٍ ْ‫فَِإنْ لَ ْم تَ ْف َعلُوا فَْأ َذنُوا بِ َحر‬
ُ ‫ب ِمنَ هَّللا ِ َو َر‬
278. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang
yang beriman.
279. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan
jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.

Imâm Jalâludin ash-Suyûthî mengeluarkan dalam Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûlinya(Juz. 3, 2/al-Baqarah) dengan menisbahkan
kepada Abu Ya’la dan Ibnu Mundzir:

Dikemukakan oleh Abu Ya’la di dalam Musnadnya dan Ibnu Mundzir yang bersumber dari al-Kalbi dari Abi Shalih dari Ibni ‘Abbas. Ibnu
‘Abbas berkata: “bahwa ayat ini diturunkan mengenai Bani ‘Amer bin ‘Auf dari Saqif dan Banul Mughirah. Banul Mughirah kepada
Gubernur Makkah sesudah Fathul Makkah, yaitu: ‘Attab bin Usaid mengenai hutang-hutang yang ber-riba sebelum ada penghapusan
hukum riba, kepada Bani ‘Amer bin ‘Auf itu. Setelah kedua suku itu datang menghadap ‘Attab bin Usaid, berkatalah Banul Mughirah:
“di antara kami ada manusia yang paling celaka dengan terhapusnya hukum riba. Kami dituntut membayar riba oleh orang lain,
sedang kami tidak mau menerima riba sebab mentaati hukum penghapusan riba”. Lalu berkatalah Banu ‘Amer: “kami minta
penyelesaian atas tuntutan(tagihan) riba kami”. Maka ‘Attab menulis surat kepada Rasulullah SAW mengenai hal itu, maka turunlah
ayat ini:
)٢٧٨( َ‫يَا َأيُّ َها الَّ ِذينَ آ َمنُوا اتَّقُوا هَّللا َ َو َذ ُروا َما بَقِ َي ِمنَ ال ِّربَا ِإنْ ُك ْنتُ ْم ُمْؤ ِمنِين‬
)٢٧٩( َ‫ظلَ ُمون‬ ْ َ‫وس َأ ْم َوالِ ُك ْم ال ت‬
ْ ُ‫ظلِ ُمونَ َوال ت‬ ُ ‫سولِ ِه وَِإنْ تُ ْبتُ ْم فَلَ ُك ْم ُر ُء‬ ٍ ْ‫فَِإنْ لَ ْم تَ ْف َعلُوا فَْأ َذنُوا بِ َحر‬
ُ ‫ب ِمنَ هَّللا ِ َو َر‬
278. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang
yang beriman.
279. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan
jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.

Imâm Jalâludin ash-Suyûthî mengeluarkan dalam Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûlinya(Juz. 3, 2/al-Baqarah) dengan menisbahkan
kepada Ibnu Jarîr:

Dikemukakan oleh Ibnu Jarîr yang bersumber dari ‘Ikrimah. ‘Ikrimah berkata: “turunnya ayat ini mengenai suku Tsaqif, di antaranya
ialah: Mas’ud, Hubaib, Rabi’ah dan Abdu Yalail, mereka adalah Banu ‘Amer dan Banu ‘Umair”.

KETERANGAN:
Kata Imâm Jalâludin ash-Suyûthî: “kedua Hadis yang ia keluarkan di atas berkualitas Hasan Shahih”.
َ ‫س َر ٍة َوَأنْ ت‬
َ‫َص َّدقُوا َخ ْي ٌر لَ ُك ْم ِإنْ ُك ْنتُ ْم تَ ْعلَ ُمون‬ ْ ‫َوِإنْ َكانَ ُذو ُع‬
َ ‫س َر ٍة فَنَ ِظ َرةٌ ِإلَى َم ْي‬
Ayat ini merupakan lanjutan ayat yang sebelumnya. Ayat yang lalu memerintahkan agar orang yang beriman menghentikan perbuatan riba
setelah turun ayat di atas. Para pemberi utang menerima kembali pokok yang dipinjamkannya. Maka ayat ini menerangkan: Jika pihak yang
berutang itu dalam kesukaran berilah dia tempo, hingga dia sanggup membayar utangnya. Sebaliknya bila yang berutang dalam keadaan
lapang, ia wajib segera membayar utangnya.

Rasulullah saw. bersabda:

‫مطل الغني ظلم‬


Artinya:
Penundaan pembayaran utang oleh orang kaya adalah perbuatan zalim. (HR Bukhari dan Muslim)

Dalam pada itu Allah swt. menyatakan bahwa memberi sedekah kepada orang yang berutang yang tidak sanggup membayar utangnya
adalah lebih baik. Jika orang-orang yang beriman telah mengetahui perintah itu, hendaklah mereka melaksanakannya.
Dari ayat ini dipahami juga bahwa:

1. Allah swt. memerintahkan agar memberi sedekah kepada orang yang berutang, yang tidak sanggup membayar utangnya.
2. Orang yang berpiutang wajib memberi tangguh kepada orang yang berutang bila mereka dalam kesulitan.
3. Bila seseorang mempunyai piutang pada seseorang yang tidak sanggup membayar utangnya diusahakan agar orang itu bebas
dari utangnya dengan jalan membebaskan dari pembayaran utangnya baik sebahagian maupun seluruhnya atau dengan jalan yang lain
yang baik.

TAFSIR DEPAG RI : QS 002 - AL BAQARAH 281


http://rumahislam.com/tafsir-depag-ri/157-qs-002-al-baqarah/558-tafsir-depag-ri--qs-002-al-baqarah-281.html

ْ ُ‫سبَتْ َوهُ ْم اَل ي‬


َ‫ظلَ ُمون‬ ٍ ‫َواتَّقُوا يَ ْو ًما تُرْ َجعُونَ فِي ِه ِإلَى هَّللا ِ ثُ َّم ت َُوفَّى ُك ُّل نَ ْف‬
َ ‫س َما َك‬
Setelah Allah swt. mengakhiri ayat-ayat riba dengan ayat yang lalu, maka Dia memperingatkan hamba-Nya secara umum agar manusia
takut kepada-Nya. Di akhirat nanti mereka akan kembali kepada-Nya. Waktu itu dihitung dan dinilai seluruh perbuatan hamba, termasuk
harta yang pernah didapat dan dipergunakan. Jika mereka lalai atau sedang terpengaruh oleh harta benda dan sebagainya, maka
hendaklah mereka sadar dan ingat akan kedatangan hari itu.
Pada hari itu Allah swt. menghukum dengan adil, tidak mengurangi pahala kebaikan sedikit pun dan tidak pula menambah siksa atas
kejahatan yang diperbuat.
Menurut riwayat Bukhari dari Ibnu Abbas, ayat ini adalah ayat yang terakhir yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Dan Jibril a.s.
berkata kepada Rasulullah saw.: "Letakkanlah ayat ini antara ayat "Wa in kaana zuu `usratin....(280) dan ayat "Ya Ayyuhal laziina aamanuu
idzaa tadaayantum bidainin....(Al-Baqarah:282). Rasulullah saw. masih hidup selama 21 hari setelah turunnya ayat ini. Menurut riwayat
yang lain beliau wafat 81 hari kemudian.

TAFSIR DEPAG RI : QS 002 - AL BAQARAH 282


http://rumahislam.com/tafsir-depag-ri/157-qs-002-al-baqarah/557-tafsir-depag-ri--qs-002-al-baqarah-282.html

ِ ‫ق َو ْليَت‬
ْ‫َّق هَّللا َ َربَّهُ َواَل يَب َْخس‬ ُّ ‫ب َأنْ يَ ْكت َُب َك َما َعلَّ َمهُ هَّللا ُ فَ ْليَ ْكتُبْ َو ْليُ ْملِ ِل الَّ ِذي َعلَ ْي ِه ا ْل َح‬
ٌ ِ‫ب كَات‬ َ ‫ب بِا ْل َعد ِْل َواَل يَْأ‬ ٌ ِ‫سمًّى فَا ْكتُبُوهُ َو ْليَ ْكتُبْ بَ ْينَ ُك ْم كَات‬ َ ‫يَا َأيُّ َها الَّ ِذينَ آ َمنُوا ِإ َذا تَدَايَ ْنتُ ْم بِ َدي ٍْن ِإلَى َأ َج ٍل ُم‬
َ‫ض ْون‬ ‫َأ‬ َ َ َ َ َ ُ
َ ْ‫ش ِهي َد ْي ِن ِمنْ ِر َجالِك ْم فِإنْ ل ْم يَكُونا َر ُجلي ِْن ف َر ُج ٌل َوا ْم َر تَا ِن ِم َّمنْ تَر‬ َ ‫ش ِهدُوا‬ ْ ‫ست َِطي ُع َأنْ يُ ِم َّل ه َُو فَ ْليُ ْملِ ْل َولِيُّهُ بِا ْل َع ْد ِل َوا‬
ْ َ‫ست‬ ْ َ‫ض ِعيفًا َأ ْو اَل ي‬
َ ‫سفِي ًها َأ ْو‬َ ‫ق‬ ُّ ‫شيًْئا فَِإنْ َكانَ الَّ ِذي َعلَ ْي ِه ا ْل َح‬ َ ُ‫ِم ْنه‬
‫ش َها َد ِة َوَأ ْدنَى َأاَّل تَرْ تَابُوا‬
َّ ‫سطُ ِع ْن َد هَّللا ِ َوَأ ْق َو ُم لِل‬
َ ‫يرا ِإلَى َأ َجلِ ِه َذلِ ُك ْم َأ ْق‬ ً ‫ص ِغي ًرا َأ ْو َك ِب‬
َ ُ‫سَأ ُموا َأنْ تَ ْكتُبُوه‬ ْ َ‫ش َهدَا ُء ِإ َذا َما ُدعُوا َواَل ت‬ ُّ ‫ب ال‬ َ ‫ض َّل ِإحْ دَاهُ َما فَتُ َذ ِّك َر ِإحْ دَاهُ َما اُأْل ْخ َرى َواَل يَْأ‬ِ َ‫ش َهدَا ِء َأنْ ت‬ ُّ ‫ِمنَ ال‬
‫ق ِب ُك ْم َواتَّقُوا هَّللا َ َويُ َعلِّ ُم ُك ُم هَّللا ُ َوهَّللا ُ ِب ُك ِّل‬ ُ ُ‫ش ِهي ٌد َوِإنْ تَ ْف َعلُوا فَِإنَّهُ ف‬
ٌ ‫سو‬ َ ‫ب َواَل‬
ٌ ِ‫ضا َّر كَات‬ ْ ‫اح َأاَّل تَ ْكتُبُوهَا َوَأ‬
َ ُ‫ش ِهدُوا ِإ َذا تَبَايَ ْعتُ ْم َواَل ي‬ ٌ َ‫ْس َعلَ ْي ُك ْم ُجن‬ ِ ‫ِإاَّل َأنْ تَ ُكونَ تِ َجا َرةً َحا‬
َ ‫ض َرةً تُ ِدي ُرونَ َها بَ ْينَ ُك ْم فَلَي‬
‫ش َْي ٍء َع ِلي ٌم‬
Dengan adanya perintah membelanjakan harta di jalan Allah, anjuran bersedekah dan larangan melakukan riba, maka tidak boleh tidak
manusia harus berusaha memelihara dan memperkembangkan hartanya, tidak menyia-nyiakannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan
Allah. Hal ini menunjukkan bahwa harta itu sendiri bukan sesuatu yang dibenci Allah dan dicela agama Islam. Bahkan Allah swt. di samping
memberi perintah untuk itu, juga memberi petunjuk dan menetapkan ketentuan-ketentuan umum serta hukum-hukum yang mengatur
cara-cara mencari, memelihara, menggunakan dan menafkahkan harta di jalan Allah. Harta yang diperoleh sesuai dengan ketentuan-
ketentuan Allah adalah harta yang paling baik, sesuai dengan sabda Rasulullah saw.:

‫نعم المال الصالح للمرء الصالح‬


Artinya:
Harta yang paling baik ialah harta kepunyaan orang saleh. (Ahmad dan At Tabrani dari Amar bin 'As)

Yang dibenci Allah dan yang dicela agama Islam ialah harta yang diperoleh dengan cara-cara yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan
Allah swt. dan harta orang-orang yang menjadikan dirinya sebagai budak harta. Seluruh kehidupan, usaha dan pikirannya dicurahkan untuk
menumpuk harta dan memperkaya diri sendiri. Karena itu timbullah sifat-sifat tamak, serakah, bakhil dan kikir pada dirinya sehingga ia
tidak mengindahkan orang yang miskin dan terlantar.
Bersabda Rasulullah saw.:
‫ تعس عبد الدرهم‬,‫تعس عبد الدينار‬
Artinya:

"Celakalah budak dinar, celakalah budak dirham. (HR Bukhari dari Abu Hurairah)

Dalam ayat ini Allah swt. memerintahkan kepada orang yang beriman agar mereka melaksanakan ketentuan-ketentuan Allah setiap
melakukan perjanjian perserikatan yang tidak tunai, yaitu melengkapinya dengan alat-alat bukti sehingga dapat dijadikan dasar untuk
menyelesaikan perselisihan yang mungkin timbul di kemudian hari.
Pembuktian itu ialah:

1. Bukti tertulis
2. Saksi

1.Bukti tertulis
Bukti tertulis hendaklah ditulis oleh seorang juru tuli, yang menuliskan isi perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Syarat-
syarat juru tulis itu ialah:

 Hendaklah juru tulis itu orang adil, tidak memihak kepada salah satu dari pihak-pihak yang mengadakan perjanjian, sehingga
menguntungkan pihak yang satu dan merugikan pihak yang lain.
 Hendaklah juru tulis itu mengetahui hukum-hukum Allah terutama yang berhubungan dengan hukum perjanjian, sehingga ia
dapat memberi nasihat dan petunjuk yang benar kepada pihak-pihak yang berjanji itu, karena juru tulis itu ikut bertanggung jawab dan
menjadi juru pendamai antara pihak-pihak yang berjanji, seandainya terjadi perselisihan di kemudian hari.

Dalam susunan ayat ini didahulukan menyebut sifat "adil" daripada sifat "berilmu" adalah karena sifat adil lebih utama ada pada seorang
juru tulis. Banyak orang yang berilmu, tetapi mereka tidak adil, karena itu diragukan kebenaran petunjuk dan nasihat yang diberikannya.
Orang yang adil sekalipun ilmunya kurang dapat diharapkan daripadanya nasihat dan petunjuk yang benar dan tidak memihak.
Tugas juru tulis itu ialah menuliskan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati oleh pihak-pihak yang berjanji. Caranya ialah pihak yang
berutang mendiktekan kepada juru tulis tentang sesuatu yang telah dipinjamnya dan cara serta pelaksanaan perjanjian itu dan sebagainya.
Tujuan mendiktekan isi perjanjian itu oleh pihak yang berjanji ialah agar yang ditulis itu merupakan pengakuan dari pihak yang berutang,
karena dengan tulisan semata-mata tanpa ada ucapan yang dilakukan oleh pihak yang berutang, maka yang ditulis itu saja tidak dapat
dijadikan sebagai pengakuan.
Dalam pada itu Allah memperingatkan orang-orang yang berjanji agar ia selalu menepati janjinya dengan baik. Hendaklah ia takut kepada
Allah, hati-hati terhadap janji yang telah diucapkan, jangan sekali-kali dikurangi atau sengaja lalai dalam melaksanakannya. Hendaklah
bersyukur kepada Allah yang telah melunakkan hati orang yang telah membantunya dalam kesukaran. Bila ia bersyukur, Allah akan selalu
menjaga, memelihara serta memberinya petunjuk ke jalan yang mudah dan ke jalan kebahagiaan.
Jika orang yang berjanji itu adalah orang yang lemah akalnya atau dia sendiri tidak berkesanggupan untuk mendiktekan, maka hak untuk
mendiktekan itu pindah ke tangan wali yang bersangkutan. Hendaklah wali itu orang yang adil dan mengetahui tentang hukum-hukum
yang berhubungan dengan muamalah. Hendaklah para wali berhati-hati dalam melaksanakan tugas perwalian itu.
Yang dimaksud dengan "orang yang lemah akalnya" ialah orang yang belum cakap memelihara dan menggunakan hartanya. Orang yang
tidak sanggup mengimlakkan ialah seperti orang bisu, orang yang gagap dan sebagainya.
2. Saksi
"Saksi" ialah orang yang melihat dan mengetahui terjadinya sesuatu kejadian atau peristiwa. Persaksian termasuk salah satu dari alat-alat
bukti (bayyinah) yang dapat dijadikan dasar untuk menyelesaikan sesuatu perselisihan atau perkara.
Menurut ayat ini persaksian dalam muamalah sekurang-kurangnya dilakukan oleh dua orang laki-laki atau jika tidak ada dua orang laki-laki
boleh dilakukan oleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan.
Mengenai syarat-syarat laki-laki bagi yang akan menjadi saksi adalah sebagai berikut:
 Saksi itu hendaklah seorang muslim. Pendapat ini berdasarkan perkataan "min rijaalikum" (dari orang laki-laki di antara kamu
orang-orang yang beriman) yang terdapat di dalam ayat. Dari perkataan ini dipahami bahwa saksi itu hendaklah seorang muslim. Menurut
sebagian ulama, beragama Islam bukanlah merupakan syarat bagi seorang saksi dalam muamalah. Karena tujuan persaksian di dalam
muamalah ialah agar ada alat-alat bukti seandainya terjadi perselisihan atau perkara antara pihak-pihak yang berjanji di kemudian hari.
Karena itu orang yang tidak beragama Islam dibolehkan menjadi saksi asal saja tujuan mengadakan persaksian itu dapat tercapai.
 Saksi itu hendaklah seorang yang adil, tidak memihak sehingga tercapailah tujuan diadakannya persaksian, sesuai dengan firman
Allah swt.:

‫َوَأ ْش ِهدُوا َذ َويْ عَ دْ ٍل ِم ْن ُك ْم‬


Artinya:

....dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu. (Q.S At Talaq: 2)

Selanjutnya ayat ini membedakan persaksian laki-laki dengan persaksian perempuan. Seorang saksi laki-laki dapat diganti dengan dua
orang saksi perempuan.
Para ulama berbeda pendapat tentang apa sebabnya Allah membedakan jumlah saksi laki-laki dengan jumlah saksi perempuan itu. Alasan
yang sesuai dengan akal pikiran ialah bahwa laki-laki dan perempuan itu masing-masing diciptakan Allah mempunyai kelebihan dan
kekurangan. Masing-masing mempunyai kesanggupan dan kemampuan dalam suatu lapangan lebih besar dari kesanggupan pihak yang
lain. Dalam bidang muamalah laki-laki lebih banyak mempunyai kemampuan dibandingkan dengan perempuan dan pada umumnya
muamalah itu lebih banyak laki-laki yang mengerjakannya. Karena perhatian perempuan kurang dibandingkan dengan perhatian laki-laki
dalam bidang muamalah, maka pemikiran dan ingatan mereka dalam bidang ini pun kurang pula. Bila persaksian dilakukan oleh seorang
wanita, kemungkinan ia lupa, ,karena itu hendaklah ada wanita yang lain yang ikut sebagai saksi yang dapat mengingatkannya.
Menurut Syekh Ali Ahmad Al-Jurjani: "Laki-laki lebih banyak menggunakan pikiran dalam menimbang suatu masalah yang dihadapinya,
sedang wanita lebih banyak menggunakan perasaannya. Karena itu wanita lebih lemah iradahnya, kurang banyak menggunakan pikirannya
dalam masalah pelik, lebih-lebih apabila ia dalam keadaan benci dan marah, ia akan gembira atau sedih karena sesuatu hal yang kecil. Lain
halnya dengan laki-laki, ia sanggup, tabah dan sabar menanggung kesukaran, ia tidak menetapkan sesuatu urusan kecuali setelah
memikirkannya dengan matang."
Bidang muamalah adalah bidang yang lebih banyak menggunakan pikiran daripada perasaan. Dalam pada itu seorang saksi dalam
muamalah juga berfungsi sebagai juru pendamai antara pihak-pihak yang berjanji bila terjadi perselisihan di kemudian hari. Berdasarkan
keterangan Syekh Ali Ahmad Al-Jurjani dan keterangan-keterangan berikutnya diduga itulah di antara hikmah mengapa Allah menyamakan
saksi seorang laki-laki dengan saksi dua orang perempuan.
Menurut Imam Syafii: "Penerimaan persaksian seseorang saksi hendaklah dengan bersumpah. Beliau beralasan dengan sunah Rasulullah
saw. yang mana beliau menyuruh saksi mengucapkan sumpah sebelum mengucapkan kesaksiannya." Sedang menurut Abu Hanifah:
"Penerimaan kesaksian seorang tidak perlu disertai dengan sumpah."
Dalam ayat ini disebutkan bahwa "janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil", maksudnya ialah:
1. Hendaklah seseorang bersedia menjadi saksi dalam suatu kejadian atau peristiwa, bila kesaksiannya diperlukan.
2. Hendaklah seseorang bersedia menjadi saksi bila terjadi suatu perkara, sedang ia adalah orang yang mengetahui terjadinya
peristiwa itu.
3. Hendaklah seseorang bersedia menjadi saksi terhadap suatu peristiwa yang terjadi, bila tidak ada orang lain yang akan menjadi
saksi.

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi' bahwa ayat ini diturunkan ketika seorang laki-laki mencari saksi di kalangan orang banyak untuk meminta
persaksian mereka, tetapi tidak seorang pun yang bersedia.
Menurut suatu pendapat yang dimaksud dengan "janganlah mereka enggan" ialah janganlah mereka enggan menerima permintaan
menjadi saksi dan melaksanakannya. Enggan melakukan keduanya itu hukumnya haram. Hukum melakukan persaksian itu fardu kifayah.
Kemudian Allah SWT. menjelaskan lagi perintah-Nya, agar orang-orang yang beriman jangan malas dan jangan jemu menuliskan perjanjian
yang akan dilakukannya baik kecil maupun besar dan dijelaskan syarat-syarat dan waktunya.
Dalam ayat ini Allah mendahulukan menyebut "yang kecil" dari "yang besar", karena kebanyakan manusia selalu memandang enteng dan
menganggap mudah perjanjian yang kecil. Orang yang bermudah-mudah dalam perjanjian yang kecil tentu ia akan bermudah-mudah pula
dalam perjanjian yang besar. Dari ayat ini juga dapat dipahamkan bahwa Allah memperingatkan kepada manusia agar berhati-hati dalam
persoalan hak dan kewajiban, sekalipun hak dan kewajiban itu kecil.
Allah swt. menyebutkan hikmah perintah dan larangan yang terdapat pada permulaan ayat ini ialah untuk menegakkan keadilan,
menegakkan persaksian, untuk menimbulkan keyakinan dan menghilangkan keragu-raguan.
Jika perdagangan dilakukan secara tunai, maka tidaklah ia berdosa bila tidak dituliskannya. Dari ayat ini dipahami bahwa sekalipun tidak
berdosa bila tidak menuliskan perdagangan secara tunai itu, namun yang paling baik ialah bila selalu dituliskannya, baik tunai atau tidak.
Sekalipun tidak diwajibkan menuliskan perdagangan tunai itu namun Allah swt. memerintahkan untuk mendatangkan saksi-saksi. Perintah
di sini bukan wajib, hanyalah memberi pengertian sunat. Tujuannya ialah agar manusia selalu berhati-hati di dalam muamalah.
Selanjutnya Allah swt. memperingatkan agar juru tulis, saksi dan orang-orang yang melakukan perjanjian memudahkan pihak-pihak yang
lain, jangan menyulitkan dan jangan pula salah satu pihak bertindak yang berakibat merugikan pihak yang lain. Sebab terlaksananya
perjanjian dengan baik bila masing-masing pihak mempunyai niat yang baik terhadap pihak yang lain.
Berfirman Allah swt.:

‫َواَل َت ْنسَوُ ا ْال َفضْ َل َب ْي َن ُك ْم‬


Artinya:
Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. (Q.S Al Baqarah: 237)
Jika seseorang mempersulit atau merugikan orang lain, maka perbuatan yang demikian adalah perbuatan orang-orang fasik, dan tidak
menaati ketentuan-ketentuan dari Allah swt.
Pada akhir ayat ini Allah swt. memerintahkan agar manusia bertakwa kepada-Nya dengan memelihara diri supaya selalu melaksanakan
perintah-perintah-Nya dan menghentikan larangan-larangan-Nya. Dia mengajarkan kepada manusia segala yang berguna baginya, yaitu
cara-cara memelihara harta, cara menggunakannya sedemikian rupa sehingga menimbulkan ketenangan bagi dirinya dan orang-orang
yang membantunya dalam usaha mencari dan menggunakan harta itu. Allah mengetahui segala sesuatu yang diperbuat manusia, dan Dia
akan memberi balasan sesuai dengan perbuatan itu.

Anda mungkin juga menyukai