Anda di halaman 1dari 18

TAFSIR AL-BAQARAH 275-276 DAN ALI IMRAN 130

(KEHARAMAN RIBA)
DI
S
U
S
U
N
OLEH:
KELOMPOK 4
NAMA : Nahzatul Ilmi
: Intan mutia rahmi
: Nisa thaharah
: Ikram zainaldi

Unit :6
Semester :6
Prodi : HES
MK : Tafsir Ahkam Muamalah 2
Dosen : Ik Balyanda Akmal L.c M.si

SEKOLAH TINGGI ILMU SYARI’AH (STIS)


AL HILAL SIGLI
2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr. wb

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah


memberikan nikmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini dengan judul: “Tafsir al-baqarah 275-276 dan ali
imran 130(keharaman riba)”. Shalawat dan salam kita panjatkan kehadirpat Nabi
Muhammad SAW yang telah membawa manusia dari alam kegelapan ke alam yang
penuh ilmu pengetahuan.
Dalam menyelesaikan makalah ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih sebanyak-
banyaknya kepada Dosen Pembimbing, atas bimbingan kepada penulis sehingga
tersusunnya makalah ini semoga makalah ini dapat bermanfaat bagai semua pihak.
Penulis menyadari, dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan
dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kritikan dan saran yang sifatnya
membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan di masa akan datang.

Sigli, Juni 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................i


DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii
BAB I ..................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
A. Latar Belakang.......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah..................................................................................... 1
BAB II .................................................................................................................... 2
PEMBAHASAN ..................................................................................................... 2
A. QS. Al-Baqarah ayat 275-276 ................................................................. 2
B. QS. Ali Imran Ayat 130-131 ................................................................... 9
BAB III................................................................................................................. 14
PENUTUP ............................................................................................................ 14
A. Kesimpulan ........................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 15

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu tema kemanusiaan yang dicanangkan dalam Al Qur’an adalah
pelarangan riba. Riba termasuk “sub sistem“ ekonomi yang berprinsip
menguntungkan kelompok orang tertentu tetapi mengabaikan kepentingan
masyarakat luas. Kita sebagai kaum muslimin perlu mengetahui hakikat riba serta
keburukan yang terkandung di dalamnya sehingga dapat membentengi dan tidak
menjerumuskan diri ke dalam berbagai transaksi ribawi.
Kemudian ketika orang Islam mulai melakukan kontak dengan peradaban
Barat, dimana perbankan bagian dari peradaban mereka dalam aspek ekonomi ,
lambat laun banyak orang Islam merasakan besarnya peranan lembaga perbankan
dalam tata ekonomi modern. Yang menjadi permasalahan adalah bank, dimana bank
menempuh sistem bunga. Sedangkan formula bunga señalan dengan riba,
sebagaimana yang dilarang oleh Al Qur’an. Sehingga, dewasa ini di dunia Islam
(masyarakat Islam) masih dirasakan perlu membicarakan masalah perbankan yang
berlaku di dunia yang menggunakan sistem bunga atau rente.
Sedangkan dampak negatif yang diakibatkan dari riba sangat berbahaya bagi
kehidupan manusia secara individu, keluarga, masyarakat, dan berbangsa. Jika
praktek riba ini tumbuh subur di masyarakat, maka terjadi sistem kapitalis di mana
terjadi pemerasan dan penganiayaan terhadap kaum lemah. Orang kaya semakin
kaya dan yang miskin semakin miskin.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah tafsir surat Al-Baqarah Ayat 275-276 tentang keharaman
riba?
2. Bagaimanakah tafsir surat Ali Imran Ayat 30 tentang keharaman riba?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. QS. Al-Baqarah ayat 275-276


1. Lafal dan terjemah

‫ك بِأَنَّ ُه ْم‬ ِ ‫الربا الَ ي ُقومو َن إِالَّ َكما ي ُقوم الَّ ِذي ي تخبَّطُه الشَّيطَا ُن ِمن الْم‬ ِ َّ
َ ‫س ٰذل‬
ِّ َ َ ْ ُ َ ََ ُ َ َ ُ َ َِّ ‫ين يَأْ ُكلُو َن‬
َ ‫الذ‬
ِ ِ ِّ ‫قَالُواْ إََِّّنَا الْبَ ْي ُع ِمثْ ُل‬
ُ‫اءه َم ْوعظَةٌ ِّمن َّربِّه فَانتَ ٰهى فَلَه‬
ُ ‫الربَا فَ َمن َج‬
ِّ ‫َح َّل اللّهُ الْبَ ْي َع َو َحَّرَم‬
َ ‫الربَا َوأ‬
‫( َيَْ َح ُق‬٥٧٢) ‫اب النَّا ِر ُه ْم فِ َيها َخالِ ُدو َن‬
ُ ‫َص َح‬
ْ‫كأ‬َ ِ‫ف َوأ َْم ُرهُ إِ ََل اللّ ِه َوَم ْن َع َاد فَأ ُْولَئ‬
َ َ‫َما َسل‬
(٥٧٢) ‫ب ُك َّل َكفَّا ٍر أَثِي ٍم‬
ُّ ‫ات َواللّهُ الَ ُُِي‬
ِ َ‫الص َدق‬
َّ ‫اللّهُ الِّْربَا َويُْرِِب‬
275. orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba),
Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka
orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
276. Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak
menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.

2. Asbabun Nuzul
Ayat 278-279 diturunkan sehubungan dengan pengaduan bani mughirah
kepada gubernur kota mekah Atab bin Usaid setelah terbukanya kota mekah
tentang utang-utang yang dilakukan dengan riba sebelum turunnya ayat yang
mengharamkan riba. Bani Mughirah mengutangkan harta kekayaan kepada Bani

2
Amr bin Auf dari penduduk Tsaqif. Bani Mughirah berkata kepada Atab bin Usaid:
“Kami adalah segolongan yang paling menderita lantaran dihapusnya riba. Kami
ditagih riba oleh orang lain, sedangkan kami tidak mau menerima riba lagi. Karena
taat kepada peraturan Allah Swt yang menghapus riba”. Bani Amr bin Auf berkata:
“Kami minta penyelesaian masalah tagihan riba kami”. Oleh sebab itu gubernur
Mekkah Atab bin Usaid mengirim surat kepada Rasulullah Saw yang isinya
melaporkan kejadian tersebut. Surat itu dijawab Rasulullah Saw setelah turunnya
ayat ke 278 dan 279 ini. Di dalam ayat ini ditegaskan tentang perintah riba. (HR.
Abu Ya’la dalam kitab musnadnya dan Ibnu Mandah dari Kalabi dari Abi Shalih
dan Ibnu Abbas).1

3. Penjelasan
Ayat 275, ‫“ الَّ ِذينَ يَأْ ُكلُونَ ال ِّر َبا‬orang yang memakan riba” maksudnya
mengambil riba, yaitu kelebihan yang terdapat di dalam praktik muamalah dengan
menggunakan uang dan bahan makanan, baik dalam kadarnya maupun jatuh
temponya, َ‫“ الَ يَقُو ُمون‬tidak dapat berdiri” dari kuburnya َّ‫" إِال‬melainkan" berdiri ‫َك َما يَقُو ُم‬
ُ‫“ الَّ ِذي َيتَ َخبَّطُه‬seperti berdirinya orang yang kemasukan” kerasukan َ‫ال َّش ْيطَانُ ِمن‬
ِّ‫“ ا ْل َمس‬setan lantaran penyakit gila”, yakni kegilaan yang menimpa mereka,
berhubungan dengan kata ‫يَقُو ُمون‬.
َ ِ‫“ ٰذل‬hal
‫ك‬ itu” yakni yang menimpa mereka
itu ‫" ِبأَنَّهُ ْم‬disebabkan" karena ‫وا إِنَّ َما ْالبَ ْي ُع ِم ْث ُل ال ِّر َبا‬
ْ ُ‫“ قَال‬mereka berkata jual beli itu sama
dengan riba.” Maksudnya sama-sama boleh. Ini termasuk pembalikan tasybih
‫َوأَ َح َّل ه‬
(penyerupaan) dalam rangka mubalaghah (mendramatisir keadaan). ‫ّللاُ ْال َب ْي َع َو َح َّر َم‬
‫“ الرِّ َبا‬Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Maka
orang-orang yang telah datang kepadanya” sampai kepadanya. ‫" َموْ ِعظَة‬peringatan"
nasihat (tentang larangan memakan riba) ‫“ ِّمن َّربِّ ِه فَانت َٰهى‬dari Tuhannya, lalu berhenti”
dari memakan riba”, َ‫“ فَلَهُ َما َسلَف‬ia berhak memiliki apa yang dia ambil dahulu”
sebelum adanya larangan , maksudnya riba itu tidak ditarik kembali
darinya ‫“ َوأَ ْم ُر ُه‬dan urusannya” dalam hal memaafkannya ‫ّللا َو َم ْن عَا َد‬
ِ ‫“ إِلَى ه‬terserah
kepada Allah. Dan barangsiapa yang kembali” memakan riba dan menyamakannya

1
Ahmad Mudzab Mahali, Asbabun Nuzul, (Jakarta: Rajawali, 1989), h. 134.

3
َ ِ‫“ فَأُوْ لَـئ‬mereka
ِ َّ‫ك أَصْ َحابُ الن‬
dengan jual beli dalam hal kehalalannya َ‫ار هُ ْم فِيهَا خَ الِ ُدون‬
adalah penghuni-penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.”2
Abu Ja’far berkata: “Allah Ta’ala berfirman: Orang-orang yang memakan
riba yang kami jelaskan sifatnya di dunia, pada hari akhir tidak akan bangkit dari
kubur kecuali seperti bangkitnya orang yang kesurupan. Maksudnya: Dia dijadikan
gila oleh syaithan di dunia, dan dialah yang mencekik dan membantingnya, yakni
dari kegilaan[4]. Ahli tafsir lain yang sependapat, diantaranya:
· Al Mutsanna menceritakan kepadaku, ia berkata: Al Hajjaj bin Al Minhal
menceritakan kami, ia berkata: Rabi’ah bin Kultsum menceritakan kepada kami, ia
berkata: ayahku menceritakan kepadaku dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas: َ‫الَّ ِذين‬
ِّ‫َيأْ ُكلُونَ الرِّ َبا الَ َيقُو ُمونَ إِالَّ َك َما َيقُو ُم الَّ ِذي َيتَخَ بَّطُهُ ال َّش ْيطَانُ ِمنَ ا ْل َمس‬
orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Ia
berkata: “itu saat dibangkitkan dari kuburnya”. 3
· Ibnu Humaid menceritakan kepada kami, ia berkata: Jarir menceritakan kepada
kami, dari Asy’ats dari Ja’far dari Sa’id bin Jubair: ‫الَّ ِذينَ َيأْ ُكلُونَ الرِّ بَا الَ يَقُو ُمونَ إِالَّ َك َما يَقُو ُم‬
ِّ‫ الَّ ِذي َيتَخَ بَّطُهُ ال َّش ْيطَانُ ِمنَ ا ْل َمس‬orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat
berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran
(tekanan) penyakit gila. Ia berkata: “Pada hari kiamat, pemakan riba akan
dibangkitkan dalam bentuk orang gila yang dicekik”
· Bisyr menceritakan kepadaku, ia berkata: Yazid menceritakan kepada kami, ia
berkata: Sa’id menceritakan kepada kami, dari Qatadah tentang firman Allah: َ‫الَّ ِذين‬
َ‫ َيأْ ُكلُونَ ال ِّر َبا الَ َيقُو ُمون‬orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri.
Itu adalah tanda bagi pemakan riba pada hari kiamat, mereka dibangkitkan dalam
keadaan kesurupan.
· Al Hasan bin Yahya menceritakan kepada kami, ia berkata: Abdurrazzaq
memberitahukan kepada kami, dari Qatadah tentang firman Allah: ‫الَ يَقُو ُمونَ إِالَّ َك َما يَقُو ُم‬
ِّ‫طانُ ِمنَ ْال َمس‬
َ ‫ الَّ ِذي َيتَخَ بَّطُهُ ال َّش ْي‬orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat

2
Al-Imam Jalaluddin Muhammad Al-Mahali, Al-Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, Tafsir
Jalalain, (Surabaya: Pustaka Elba, 2010), 201.
3
Syaikh Ahmad Muhammad Syakir, Syaikh Mahmud Muhammad Syakir, Tafsir Ath-Thabari,
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 725.

4
berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran
(tekanan) penyakit gila. Ia berkata: “Yaitu kegilaan yang datang dari syetan
(kesurupan)”.
· Diceritakan kepadaku, dari Ammar, ia berkata: Ibnu Abi Ja’far menceritakan
kepada kami, dari ayahnya, dari Ar-Rabi’ tentang firman Allah: َ‫الَّ ِذينَ يَأْ ُكلُونَ ال ِّربَا ال‬
ِّ‫ َيقُو ُمونَ إِالَّ َك َما َيقُو ُم الَّ ِذي َيتَخَ بَّطُهُ ال َّش ْيطَانُ ِمنَ ا ْل َمس‬orang-orang yang makan (mengambil) riba
tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan
lantaran (tekanan) penyakit gila. “ Pada hari kiamat mereka dibangkitkan dalam
keadaan kesurupan syetan”. Pada beberapa qiraat dibaca ‫ الَ يَقُو ُمون يَوْ َم ا ْلقِيَا َمة‬.
· Al Mutsanna menceritakan kepada kami, ia berkata: Abu Zuhair menceritakan
kepada kami, dari Juwaibir dari Adh-Dhahhak tentang firman Allah: ‫الَّ ِذينَ َيأْ ُكلُونَ ال ِّر َبا‬
ِّ‫ الَ َيقُو ُمونَ إِالَّ َك َما َيقُو ُم الَّ ِذي َيتَ َخبَّطُهُ ال َّش ْيطَانُ ِمنَ ا ْل َمس‬orang-orang yang makan (mengambil)
riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan
syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Ia berkata: “Siapa yang mati dalam
keadaan memakan riba, dia akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan
seperti orang yang kesurupan syetan.
· Musa menceritakan kepadaku, ia berkata: Amr menceritakan kepada kami, ia
berkata: Asbath menceritakan kepada kami, dari As-Suddi tentang firman
Allah: ِّ‫ الَّ ِذينَ يَأْ ُكلُونَ ال ِّر َبا الَ يَقُو ُمونَ إِالَّ َك َما يَقُو ُم الَّ ِذي َيتَ َخبَّطُهُ ال َّش ْيطَانُ ِمنَ ا ْل َمس‬orang-orang yang
makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang
yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Yaitu, sejenis gila.
· Yunus menceritakan kepadaku, ia berkata: Ibnu Wahab memberitahukan kepada
kami, ia berkata: Ibnu Zaid berkata tentang firman Allah: َّ‫الَّ ِذينَ َيأْ ُكلُونَ ال ِّر َبا الَ َيقُو ُمونَ إِال‬
َ‫ َك َما يَقُو ُم الَّ ِذي يَتَخَ بَّطُهُ ال َّش ْيطَانُ ِمن‬orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat
berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran
(tekanan) penyakit gila. Ia berkata: “Inilah perumpamaan mereka pada hari kiamat.
Mereka tidak dibangkitkan pada hari kiamat bersama orang lain kecuali seperti
orang tercekik seakan-akan dia gila.4

4
Syaikh Ahmad Muhammad Syakir, Syaikh Mahmud Muhammad Syakir, Tafsir Ath-Thabari,
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 729.

5
‫وأَ َح َّل ه‬,
‫ّللاُ ا ْلبَ ْي َع َو َح َّر َم الرِّ بَا‬ َ Abu Ja’far berkata: “Maksud Allah Ta’ala: Allah
Ta’ala menghalalkan laba dalam perniagaan dan jual beli serta mengharamkan riba
yaitu tambahan yang ditambahkan pemilik uang dengan sebab menambah waktu
pada orang yang berhutang padanya dan menunda pembayaran hutangnya. Allah
Ta’ala berfirman: Dua tambahan yang salah satunya karena jual beli dan yang lain
karena menunda pembayaran dan tambahan waktu, dan Aku halalkan yang lain
yaitu tambahan pada modal di mana penjual menjual barang dagangannya lalu
mengambil untung Maka Allah Ta’ala berfirman: Tambahan karena jual beli tidak
sama dengan tambahan karena riba. Perintah ini adalah perintah-Ku, dan semua
makhuk adalah makhluk-Ku. Aku putuskan kepada mereka apa yang Aku inginkan
dan Aku menuntut mereka dengan apa yang Aku mau. Tidak boleh seorangpun
yang menentang hukum-Ku dan melanggar perintah-Ku, bahkan mereka harus taat
dan menerima hukum-Ku.
Kemudian Allah Ta’ala berfirman ‫ فَ َمن َجاءهُ َموْ ِعظَة ِّمن َّربِّ ِه فَانت َٰهى‬orang-orang
yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), Yang dimaksud dengan ‫ َموْ ِعظَة‬adalah peringatan dan ancaman
yang mengingatkan dan mengancam mereka dalam ayat Al-Qur’an serta
mengancam orang yang memakan riba dengan. Allah Ta’ala berfirman: Siapa yang
telah datang peringatan padanya, maka dia harus berhenti memakan riba dan
dilarang melakukannya, َ‫“ فَلَهُ َما َسلَف‬maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu
(sebelum datang larangan)” yaitu apa yang dia makan dan ambil sebelum datangnya
ِ ‫“ َوأَ ْم ُرهُ إِلَى ه‬Dan urusannya terserah
peringatan dan pengharaman dari Tuhannya. ‫ّللا‬
kepada Allah” yaitu Allah Ta’ala memerintahkan pemakan riba setelah datangnya
peringatan dan pengharaman dari Tuhannya dan setelah selesai dia memakan riba
untuk kembali pada Allah Ta’ala dalam pemeliharaan dan taufiq-Nya. Jika Allah
Ta’ala mau, Dia akan memeliharanya dari memakan riba dan memantapkannya
untuk berhenti dari melakukannya, dan jika Allah Ta’ala mau Dia akan
membiarkannya melakukan riba. ‫“ َو َم ْن عَا َد‬orang yang kembali (mengambil riba)”
Allah Ta’ala berfirman: Siapa yang kembali memakan riba setelah diharamkan dan
mengatakan apa yang pernah dia katakan sebelum datangnya peringatan dari Allah
َ ِ‫فَأُوْ لَـئ‬
ِ َّ‫ك أَصْ َحابُ الن‬
dan pengharaman kata-kata: “Jual beli itu seperti riba” ‫ار هُ ْم فِيهَا‬

6
َ‫“ خَالِ ُدون‬Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di
dalamnya” yaitu: orang yang melakukan dan mengatakan demikian adalah
penghuni neraka, yaitu neraka Jahannam di mana mereka kekal di dalamny selama-
lamanya, tidak mati dan tidak dikeluarkan dari sana. 5
Mengapa sampai demikian dia? Sampai sebagai orang dirasuk syaithan?
Sehingga wajahnyapun kelihatan bengis, matanya melotot penuh benci? Tetapi
mulutnya manis membujuk-bujuk orang supaya suka berhutang kepadanya?
Sebelum orang itu jatuh ke dalam perangkapnya yang payah melepaskan
diri? Menjadi demikian karena sesungguhnya mereka berkata: Tidak lain
perdagangan itu hanyalah seperti riba juga. “Artinya karena dia hendak membela
pendiriannya menternakan uang, dia mengatakan bahwa pekerjaan orang berniaga
itupun serupa juga dengan pekerjaannnya makan riba, yaitu sama-sama mencari
keuntungan atau sama-sama cari makan, keadaannya jauh berbeda. Berdagang,
ialah saudagar menyediakan barang, kadang-kadang didatangkannya dari tempat
lain, si pembeli ada uang pembeli barang itu. Harganya sepuluh rupiah, dijualnya
sebelas rupiah. Yang menjual mendapat untung yang membelinya mendapat untung
pula. Karena yang diperlukannya telah didapatnya. Keduanya sama-sama
dilepaskan keperluannya. Itu sebabnya dia dihalalkan Tuhan. Bagaimana dia akan
cari keuntungan secara riba? Padahal dengan riba yang berhutang dianiaya, dihisap
kekayaannya, dan yang berpiutang hidup senang-senang, goyang kaki dari hasil
ternak uang?
“Lantaran itu maka barangsiapa yang telah kedatangan pengajaran dari
Tuhannya, lalu dia berhenti,” dari makan riba yang sangat jahat dan kejam
itu, “maka baginya apa yang telah berlalu.” Artinya yang sudah –sudah itu
sudahlah! Kalau dia selama ini menangguk keuntungan dari riba tidaklah perlu
dikembalikannya lagi kepada orang-orang yang telah dianiayanya itu, sama saja
dengan dosa menyembah berhala di zaman musyrik, menjadi habis tidak ada
tuntutan lagi kalau telah Islam. “Dan perkaranya terserahlah kepada
Allah”, sehinggga manusia tidak berhak buat membongkar-bongkar kembali, sebab
yang demikian memang salah satu dari rangkaian kehidupan jahiliyah, yang tidak

5
Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 2001), h. 68-69

7
senonoh itu. “Akan tetapi barangsiapa yang kembali (lagi), “padahal keterangan
yang jelas ini sudah diterimanya, “maka mereka itu menjadi ahli neraka, mereka
akan kekal di dalamnya.” (ujung ayat 275).
Ayat 276, ‫ّللا ُ ا ْلرِّ بَا‬
‫ه‬ ُ ‫“ يَ ْم َح‬Allah
‫ق‬ memusnahkan” menguranginya dan
ِ ‫ص َد َقا‬
melenyapkan berkahnya ‫ت‬ َّ ‫“ َويُرْ ِبي ال‬dan menyuburkan sedekah” menambahnya,
‫“ َو ه‬Dan Allah
mengembangkannya dan melipatgandakan pahalanya. ‫ّللا ُ الَ يُ ِحبُّ ُك َّل َكفَّار‬
tidak menyukai
setiap orang yang mempertahankan kekafiran” dengan
menghalalkan riba ‫“ أَثِيم‬dan suka berbuat dosa” melanggar peraturan dengan
memakan (mengambil) riba, maksudnya Allah akan menghukumnya. 6
Abu Ja’far berkata: “Maksud firman Allah: ‫ا ْل ِّربَا‬ ‫ه‬
ُ‫ّللا‬ ُ ‫” يَ ْم َح‬Allah
‫ق‬
memusnahkan riba” Allah Ta’ala mengurangi riba dan akan menghilangkannya.
Al Qasim menceritakan kepada kami, ia berkata: Al Husain menceritakan
kepada kami, ia berkata: Hajjaj menceritakan kepadaku, dari Ibnu Abbas
berkata: ‫ّللاُ ا ْل ِّر َبا‬
‫ق ه‬ ُ ‫“ يَ ْم َح‬Allah memusnahkan riba” artinya mengurangi. Ini sama
seperti hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah Ibnu Mas’ud dari Nabi Saw beliau
bersabda: ْ‫“ الرِّ َبى َواِ ْن َكثُ َر َفا ِ َل قُل‬Riba itu sekalipun banyak akan menjadi sedikit”.
ِ ‫ص َد َقا‬
Adapun firman Allah ‫ت‬ َّ ‫“ َويُرْ ِبي ال‬Dan menyuburkan sedekah” maksudnya Allah
akan melipat gandakan pahala dan menubuhkannya untuk orang yang bersedekah.
Jika ada yang bertanya kepada kami bagaimana Allah Ta’ala melipat gandakan
sedekah?” Jawabannya: “Dia melipat gandakan pahala bagi orang yang bersedekah
ْ ‫ّللاِ َك َمثَ ِل َحبَّة أَنبَت‬
sebagaiman firmanNya: ‫َت َس ْب َع َسنَا ِب َل فِي ُك ِّل‬ ‫َّمثَ ُل الَّ ِذينَ يُنفِقُونَ أَ ْم َوالَهُ ْم فِي َس ِبي ِل ه‬
‫ُضا ِعفُ ِل َمن َي َشا ُء َو ه‬
‫ّللاُ َوا ِسع َع ِليم‬ ‫ سُنبُلَة ِّمئَةُ َحبَّة َو ه‬Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan
َ ‫ّللا ُ ي‬
oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa
dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus
biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah
Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Al-Baqarah: 261). ‫َّمن َذا الَّ ِذي‬
َ‫سطُ َوإِلَ ْي ِه تُرْ َجعُون‬
ُ ‫ّللاُ يَ ْق ِبضُ َويَ ْب‬ َ ِ‫اعفَهُ لَهُ أَضْ َعافا ً َكث‬
‫يرةً َو ه‬ ِ ‫ض‬ َ ‫ يُ ْق ِرضُ ه‬Siapakah yang mau
َ ُ‫ّللا قَرْ ضا ً َح َسنا ً َفي‬
memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di
jalan Allah), maka Allah akan memperlipat gandakan pembayaran kepadanya

6
Al-Imam Jalaluddin Muhammad Al-Mahali, Al-Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, Op.cit,
h. 202

8
dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan
(rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.(Al-Baqarah: 245).7
Abu Ja’far berkata: Adapun firman Allah Ta’ala: ‫ّللاُ الَ يُ ِحبُّ ُك َّل َكفَّار أَثِيم‬
‫“ َو ه‬Dan
Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat
dosa” maksudnya adalah : Allah tidak menyukai setiap orang yang melakukan
kekafiran pada TuhanNya, menentangNya, memakan riba, dan memberi makan
dengan harta riba, terus melakukan kejahatan yaitu memakan riba, memakan yang
haram dan melakukan maksiat lain yang dilarang Allah Ta’ala. Dia tidak menahan
diri dari itu, tidak menyesal, serta tidak mengambil pelajaran dari nasehat Tuhannya
dalam kitab suci dan ayat-ayatNya.
“Allah membasmi riba dan Dia menyuburkan sedekah-sedekah.” (pangkal
ayat 276). Riba mesti dikikis habis, sebab itu terpangkal dari kejahatan musyrik,
kejahatan hidup dan nafsi-nafsi, asal diri beruntung, biar orang lain melarat. Dengan
ini ditegaskan bahwa berkat daripada riba itu tidak ada. Itulah kekayaan yang
membawa sial, membawa dendam dan kebencian. Tetapi Allah menyuburkan
sedekah-sedekah, sebab Dia mempertautkan kasih sayang diantara hati si pemberi
dengan si penerima, yang bersedekah dan yang menerima sedekah. Masyarakatnya
jadi lain, yaitu masyarakat yang bantu membantu, sokong menyokong, doa
mendoakan. Maka jika disebut kalimat “orang kaya”, orang teringat akan
kedermawanan, kesuburan dan doa, moga-moga ditambah Tuhan rezekinya. “Allah
tidaklah, suka kepada orang-orang yang sangat ingkar, lagi pembuat dosa.” (ujung
ayat 276).

B. QS. Ali Imran Ayat 130-131


1. Lafal dan Terjemah.

(٠٣١) ‫اع َفةً َوات َُّقواْ اللّهَ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِ ُحو َن‬
َ‫ض‬ َ ‫َض َعافاً ُّم‬ ِّ ْ‫ين َآمنُواْ الَ تَأْ ُكلُوا‬
ْ ‫الربَا أ‬
ِ َّ
َ ‫يَا أَيُّ َها الذ‬

7
Syaikh Ahmad Muhammad Syakir, Syaikh Mahmud Muhammad Syakir, h. 734-735.

9
130. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan
berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan.
2. Asbabun Nuzul
Pada waktu itu terdapat orang yang melakukan aqad jual beli dengan jangka
waktu (kredit). Apabila waktu pembayaran telah tiba, mereka ingkar, tidak mau
membayar, sehingga dengan demikian bertambah besarlah bunganya. Dengan
menambah bunga berarti mereka bertambah pula jangka waktu untuk membayar.
Sehubungan dengan kebiasaan seperti ini Allah SWT menurunkan ayat ke-130 yang
pada pokoknya memberi peringatan dan larangan atas praktik jual beli yang
demikian itu. Dengan bentuk dan jenis seperti apa saja riba tetap diharamkan. . (HR.
Faryabi dari Mujahid).
Di zaman jahiliyah Tsaqif berhutang kepada Bani Nadir. Pada waktu yang
telah dijanjikan untuk membayar hutang itu Tsaqif berkata: “Kami akan membayar
bunganya dan kami meminta agar waktu pembayarannya ditangguhkan”.
Sehubungan dengan itu Allah SWT menurunkan ayat 130-131 sebagai peringatan,
larangan dan ancaman bagi mereka yang membiasakan berbuat riba. (HR. Faryabi
dari Atha). 8
3. Penjelasan
Al-Biqa’i berpendapat bahwa sebab utama dari malapetaka yang terjadi
dalam perang uhud adalah langkah para pemanah meninggalkan posisi mereka di
atas bukit untuk turun mengambil harta rampasan perang, padahal Nabi Saw
sebelumnya telah melarang mereka. Harta yang mereka ambil itu adalah serupa
dengan riba, dari sisi bahwa keduanya adalah sesuatu yang merupakan bagian yang
lebih dari hiasan dunia. Kesamaannya dalam hal sesuatu yang terlarang, atau
sesuatu yang lebih dari yang wajar, itulah yang mengundang ayat ini mengajak
orang-orang beriman agar tidak memakan riba sebagaimana yang sering terjadi
dalam masyarakat jahiliyah ketika itu, yakni yang berlipat ganda. Mereka diajak
untuk menghindari siksa Allah di dunia dan di akhirat dengan perintah-
Nya bertawakalah kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan di dunia

8
Syaikh Ahmad Muhammad Syakir, Syaikh Mahmud Muhammad Syakir, Op.cit, h. 743-744.

10
dan di akhirat. Dan periharalah dirimu dari api neraka, kalau kamu tidak dapat
memeliharanya atas dorongan cinta, syukur kepada Allah. Neraka yang di sediakan
untuk orang-orang yang kafir, antara lain mereka yang menghalalkan riba,
demikian juga untuk orang-orang durhaka yang mengkufuri nikmat Allah SWT.
Al-Biqa’i menguatkan pendapatnya ini dengan mengutip beberapa riwayat,
antara lain dari Abu Hurairah yang berkesimpulannya adalah bahwa seseorang-
‘Amr Ibn Uqaisy atau Ushairim Ibn’ Abdil Asyhal- melakukan transaksi riba, dan
dia enggan masuk Islam sebelum memungut riba itu . Namun, ketika perang Uhud
terjadi, dia menanyakan tentang anak-anak pamannya, atau anak saudaranya dan
beberapa temannya. Setelah disampaikan bahwa mereka berada di Uhud, dia segera
menunggang kudanya dan pergi menemui mereka. Ketika kaum muslimin
melihatnya, mereka menyuruhnya pulang, tetapi dia menyatakan dirinya telah
beriman. Dia ikut aktif terlibat dalam peperangan itu dan mengalami luka berat. Di
rumahnya, dia ditanya tentang sebab keterlibatannya dalam peperangan apakah
karena ingin membela keluarga atau karena Allah. Dia menjawab: “Karena Allah
dan Rasul-Nya. “Tidak lama kemudian, dia gugur karena lukanya. Rasul SAW,
Menyatakan bahwa dia adalah penghuni surga, padahal tidak sekalipun dia shalat.
Peristiwa ini dijadikan oleh sementara ulama sebagai sebab turunya ayat,
dan seperti terlihat ia masih berkaitan dengan perang Uhud, yang menjadi uraian
ayat-ayat yang lalu. Berdasarkan hal tersebut, ayat di atas dapat juga bermakna
“Wahai orang-orang yang berkeinginan untuk beriman, janganlah kamu berbuat
seperti ‘Amr Ibn Uqaisy atau Ushairim Ibn ‘Abdil Asyhal yang nenunda
keislamannya karena ingin memungut riba yang kamu kenal berlaku dalam
masyarakat, tetapi bersegeralah beriman dan bertakwa kepada Allah agar kalian
tidak celaka, tetapi memperoleh keuntungan. Atau, wahai orang-orang yang
menyatakan dirinya sebagai orang yang beriman, lakukanlah seperti apa yang
dilakukan Asyram. Dengan kesungguhan imannya, dia berperang, dan
meninggalkan riba sehingga memperoleh keberuntungan. 9
َ ‫“ َيا أَيُّ َها الَّ ِذينَ آ َمنُواْ الَ تَأْ ُكلُواْ ال ِّر َبا أَضْ َعافا ً ُّم‬Hai orang-orang yang
Ayat 130 , ً‫ضا َع َفة‬
beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda.” Yakni dengan

9
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentara Hati, 2002), h. 257-258.

11
seribu atau kurang. Yaitu dengan meminta tambahan harta pada saat jatuh tempo
َ ‫“ َواتَّقُواْ ه‬Dan bertakwalah kamu kepada Allah” dengan
dan menunda penagihan. ‫ّللا‬
meninggalkan praktik riba َ‫“ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِحُون‬Agar kamu beruntung” memperoleh
kemenangan.
َ ‫يَا أَيُّ َها الَّ ِذينَ آ َمنُو ْا الَ تَأْ ُكلُواْ الرِّ بَا أَضْ َعافا ً ُّم‬.
Firman Allah SWT, Ayat 130, ‫ضا َعفَ ًة‬
Larangan makan riba ini adalah selingan di tengah-tengah kisah Uhud. Ibnu
‘Athiyyah berkata, Tidak ada satupun riwayat yang aku hafal tentang hal ini.”
Aku (Al Qurthubi) katakan: Mujahid berkata, “Mereka biasa menjual barang
dagangan sampai jatuh tempo tertentu. Apabila jatuh tempo itu (dan harga barang
belum dilunasi-penerj.) maka mereka menambah harga barang dagangan tersebut
atas imbalan mereka memberikan tempo lagi. Maka Allah Swt. Menurunkan ayat, ‫َيا‬
َ ‫“ أَيُّ َها الَّ ِذينَ آ َمنُواْ الَ تَأْ ُكلُواْ الرِّ َبا أَضْ َعافا ً ُّم‬Hai orang-orang yang beriman, janganlah
‫ضا َعفَ ًة‬
kamu memakan riba dengan berlipat ganda.”
Aku (Al Qurthubi) katakan: Sesungguhnya disebutkan riba secara khusus
diantara berbagai bentuk kemaksiatan lainnya karena terhadap riba, Allah SWT
menyatakan perang atasnya. Allah SWT berfirman, َ‫فَإِن لَّ ْم تَ ْف َعلُواْ فَأْ َذنُواْ ِب َحرْ ب ِّمن‬
ِ ‫“ ه‬Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka
‫ّللا َو َرسُو ِل ِه‬
ketahuilah bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu.” Kata perang
mengisyaratkan pembunuhan. Maka, seakan-akan Allah SWT berfirman, Jika
kalian tidak menjauhi riba niscaya kalian pasti kalah dan terbunuh. Allah SWT
memerintahkan kepada mereka untuk meninggalkan riba, karena riba dipraktikkan
dalam masyarakat mereka. Wallahua’lam.
Firman Allah SWT, ً‫ أَضْ َعافا‬adalah nashab karena pada posisi hal
(menunjukkan keadaan) dan firman Allah SWT, ‫ضا َعفَ ًة‬
َ ‫ ُّم‬adalah na’atnya. Ada yang
membaca mudha’afah, yaitu dengan huruf ‘ain bertasydid. Maknanya, riba dalam
bentuk menggandakan hutang yang biasa dilakukan orang arab. Biasanya penagih
hutang berkata, ‘Apakah kamu akan melunasi hutang atau hutangmu akan
dikembangkan (maksudnya nilai pelunasannya ditambah tinggi)?’, Sebagaimana
yang telah dijelaskan dalam surah Al-Baqarah.
Firman Allah SWT, ‫ضا َعفَ ًة‬
َ ‫ ُّم‬menunjukkan adanya pengulangan penggandaan
tahun pertahun, sebagaimana yang mereka praktekkan. Ungkapan ini menegaskan

12
betapa buruk dan jeleknya perbuatan mereka. Oleh karena itu, penggandaan ini
disebutkan secara khusus.
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memakan riba
berlipat ganda. Dan takwalah kepada Allah, supaya kamu beroleh
kemenangan.” (ayat 130).
Menurut keterangan ahli-ahli tafsir, inilah ayat mengharamkan riba yang
mula-mula turun. Adapun ayat yang ada dalam surat Al-Baqarah yang telah terlebih
dahulu kita tafsirkan itu adalah termasuk ayat yang terakhir turunnya kepada Nabi.
Menurut keterangan Sayyidina Umar bin Khatab sebelum Rasulullah Saw.
Menerangkan riba yang berbahaya itu secara terperinci, beliaupun wafat. Tetapi
pokoknya sudah nyata dan jelas dalam ayat yang mula-mula turun tentang riba,
yang sedang kita perkatakan ini. Riba adalah suatu pemerasan hebat dari yang
berpiutang kepada yang berhutang, yaitu Adh’afan Mudha’afatan. Adh’afatan
artinya berlipat-lipat, mudha’afatan artinya berlipat lagi, berlipat-lipat, berganda-
ganda.
Abu Ja’far berkata: Allah SWT menjelaskan, Wahai orang-orang yang
beriman kepada Allah dan RasulNya, janganlah kalian makan barang riba setelah
kalian masuk Islam, seperti yang biasa kalian lakukan pada masa jahiliyah.”
Salah satu kebiasaan mereka pada zaman jahiliyah melipatgandakan riba.
Ketika seseorang memberikan pinjaman dalam tempo tertentu, dan ketika waktunya
telah tiba, ia menagihnya, lalu orang yang berutang berkata kepada yang berpiutang,
“Tangguhkan utang ini, maka aku akan menambahnya. “Itulah yang dimaksud
dengan “riba berlipat ganda.” Allah SWT melarang mereka melakukan hal itu
setelah mereka masuk Islam.

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Apabila telah datang peringatatan Allah tentang haramnya riba, maka harus
berhenti memakan riba dan dilarang melakukannya. Mengenai riba yang
dilakukan sebelum datangnya peringatan Allah tentang haramnya riba, maka
urusan tersebut terserah Allah Swt. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan
sedekah dengan melipatgandakan pahalanya. Allah tidak menyukai terhadap
orang yang mempertahankan kekafirannya setelah datangnya petunjuk dari
Allah.Orang-orang yang beriman adalalah mereka yang melakukan amal shalih
yang diperintahkan Allah Ta’ala dan juga amal sunnah yang dianjurkan Allah
Ta’ala. Mereka mengerjakan shalat fardhu dengan rukun-rukunnya, juga
menunaikan sunnah-sunnahnya, mereka menunaikan zakat wajib dari harta
mereka. masayarakat yang beriman dan beramal shalih, tidak mungkin
menimbulkan riba. Allah menyuruh untuk meninggalkan sisa-sisa riba setelah
datangnya petunjuk Allah tentang larangan melakukan riba.
2. Allah SWT. memerintahkan untuk bertaqwa kepada-Nya dengan cara
meninggalkan riba. Bagi siapa yang menghalalkan riba termasuk orang-orang
kafir.
3. Pinjaman yang manusia inginkan agar terus bertambah sehingga peminjaman itu
berbunga pada harta orang maka hal itu tidak akan bertambah di sisi Allah.

14
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Mudzab Mahali, Asbabun Nuzul, (Jakarta: Rajawali), 1989.


Al-Imam Jalaluddin Muhammad Al-Mahali, Al-Imam Jalaluddin Abdurrahman As-
Suyuthi, Tafsir Jalalain, (Surabaya: Pustaka Elba), 2010.
Syaikh Ahmad Muhammad Syakir, Syaikh Mahmud Muhammad Syakir, Tafsir
Ath-Thabari, (Jakarta: Pustaka Azzam), 2008.
Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas), 2001.
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentara Hati), 2002.
Ta’liq: M. Ibrahim Al-Hifnawi, Takhrij: Mahmud Hamid, Tafsir Qurthubi, (Jakarta:
Pustaka Azzam), 2008.
Aidh Al-Qarni, Tafsir Muyassar, (Jakarta: Qisty Press), 2008.
Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, (Semarang, CV. Toha Puteta), 1992.

15

Anda mungkin juga menyukai