Anda di halaman 1dari 7

Nama : Nurfaesah Abdullah

NIM : 1947441010
Kelas : BC.82

Rangkuman Materi :
General English for Young Learners adalah program yang dirancang untuk siswa Sekolah
Dasar (kelas 1 – 6), yang bertujuan untuk membangun fondasi pemahaman yang solid, yang
akan membantu anak dalam mengembangkan keempat keterampilan berbahasa Inggris, yaitu
listening, speaking, reading, dan writing. Fondasi yang solid ini dibangun dengan
menumbuhkan kecintaan anak terhadap bahasa dan terhadap proses belajar, melalui kegiatan
kelas yang variatif dan menyenangkan.
Keunggulan program
Program General English for Young Learners dirancang untuk:
• Membangun kepercayaan diri anak dalam menggunakan Bahasa Inggris.
• Menumbuhkan kesenangan membaca dan menulis pada anak melalui materi yang
menitikberatkan pada pengembangan literasi.
• Mengembangkan keterampilan bercerita pada anak.
• Mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan kreatif pada anak melalui project-
based learning.
Metode Pembelajaran
Metode pembelajaran disesuaikan dengan tren terkini di bidang pengajaran Bahasa
Inggris untuk anak. Kegiatan belajar di kelas terdiri dari beragam aktivitas dan permainan, yang
disesuaikan dengan gaya belajar dan perkembangan kognitif anak. Sebagian besar aktivitas
kelas (terutama di level rendah) masih menggunakan metode TPR (Total Physical Response),
yakni metode yang memaksimalkan gerak fisik sebagai respon terhadap instruksi verbal.
Kegiatan storytelling yang mewarnai setiap unit dari materi, dikombinasikan dengan
permainan peran dan aktivitas menulis, akan mengembangkan keempat keterampilan
berbahasa Inggris pada anak, yaitu listening, speaking, reading, dan writing. Project-based
learning, atau kegiatan belajar berbasis proyek, dilakukan secara berkala untuk mengasah
kreativitas dan keterampilan berpikir kritis pada anak.
Materi
Materi belajar menggunakan buku Story Central series, dimana tiap siswa akan
memperoleh student book dan activity book, serta e-book yang merupakan versi elektronik dari
student book. Pelajaran dalam tiap unit dikemas dalam bentuk cerita, yang akan menumbuhkan
kecintaan anak pada materi dan pada proses belajar yang mereka alami.
Content Based Instruction (CBI)
CBI adalah pendekatan pembelajaran yang mengintegrasikan isi mata pelajaran dengan
bahasa. Alasan yang menjadi dasar CBI adalah bahwa „a second language is learned most
effectively when used as the medium to convey informational content of interest and relevance
to the learner‟ (Brinton, Snow & Wesche, 1989: vii). Tidak seperti pendekatan pembelajaran
bahasa pada umumnya, yang biasanya didasarkan pada penyajian dan latihan tata bahasa dan
kosakata yang tidak selalu kontekstual, CBI memberikan kepada siswa keterampilan berbahasa
yang bermakna dan kontekstual melalui bahan-bahan yang otentik berdasarkan tema-tema
dalam mata pelajaran tertentu.
Karena CBI berkaitan dengan isi mata pelajaran (Carson, Taylor & Fredella, 1997), tidak
mudah bagi guru untuk menyadari sepenuhnya bahwa ia sedang mengajarkan bahasa. Guru
yang mengajar bahasa Inggris dengan pendekatan CBI dapat lupa akan tugas pokoknya, yaitu
mengajarkan bahasa Inggris, karena lebih mementingkan mengajarkan isi mata pelajaran
tertentu. CBI adalah pendekatan pengajaran bahasa, sehingga guru tetap harus menitikberatkan
pada pembelajaran bahasa dan siswanya adalah siswa yang sedang belajar berbahasa dengan
segala permasalahan kebahasaan yang harus mereka hadapi. Misalnya, mereka harus tetap
belajar berkomunikasi secara perpasangan dan dalam kelompok kecil. Mereka harus tetap
dapat menerapkan strategi menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.
Dalam konteks pembelajaran bahasa Inggris di Indonesia, sampai pada tahap tertentu,
guru-guru bahasa Inggris di SMP dan SMA sudah melaksanakan pembelajaran melalui CBI.
Berdasarkan Standar Isi Mata Pelajaran Bahasa Inggris untuk RSBI, Standar Isi pada Standar
Nasional diberi tambahan yang berupa muatan “keilmuan”, yaitu yang berkaitan bidang MIPA.
Dalam pembelajaran bahasa Inggris, guru dituntut memilih bahan-bahan ajar yang berkaitan
dengan MIPA. Banyak buku teks bahasa Inggris yang telah memasukkan topik tentang ilmu
pengetahuan. Jika guru-guru menggunakan buku semacam itu sebagai sumber bahan, mereka
berarti sudah menggunakan CBI dalam proses pembelajaran bahasa Inggris.
Tugas-tugas di luar kelas yang harus dikerjakan oleh siswa seperti mencari artikel
tentang Global Warming untuk kemudian didiskusikan di dalam kelas sampai pada tingkat
tertentu juga berkaitan dengan prinsip-prinsip dalam CBI. Praktik-praktik yang demikian dapat
dikembangkan secara sadar dengan menggunakan prinsip-prinsip CBI secara lebih terstruktur
dan sistematik agar tujuan membekali siswa dengan penguasaan bahasa Inggris untuk
kepentingan komunikasi ilmiah dapat dicapai. Hal yang perlu selalu diingat adalah mereka
guru bahasa Inggris yang melatih keterampilan berbahasa Inggris siswa, bukan guru MIPA
yang membekali siswa dengan isi mata pelajaran tersebut.
Teaching method
Model-Model Mengajar (Teaching Models)
A. Pengertian Model Mengajar
Menurut Bruce Joyce dan Marsha Weil (1980: 1), yang dimaksud dengan model
mengajar adalah: “A model of teaching is a plan or pattern that can be used to shape curriculum
(long term courses of studies), to design instructional materials, and to guide instruction in the
classroom and other setting.” (Suatu model mengajar adalah suatu rencana atau pola yang
digunakan dalam menyusun kurikulum, mengatur materi pelajaran dan memberi petunjuk
kepada pengajar di kelas dalam setting pengajaran atau pun setting lainnya).
Hampir senada dengan pengertian di atas, Eggen, dkk. (1979): 12) menyatakan bahwa:
“Models are prescriptive teaching strategies designed to accomplish particular instructional
goals. They are prescriptive in the sense that the teacher’s responsibilities during the planning,
implementing, and evaluating stages…a teaching model, then can be considered as a type of
blue print teaching”. (Model mengajar ialah cetak biru mengajar yang direkayasa sedemikian
rupa untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu pengajaran. Cetak biru ini lazimnya dijadikan
pedoman perencanaan dan pelaksanaan pengajaran serta evaluasi belajar.
Dari kedua definisi di atas dapat disimpulkan bahwa model mengajar adalah pola yang
sudah direncanakan sedemikian rupa dan dijadikan pedoman pelaksanaan pengajaran serta
evaluasi belajar di kelas yang merupakan pengejawantahan dari penyusunan kurikulum,
pengaturan materi, serta pemberian petunjuk untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dalam
pembelajaran.
B. Memilih dan Menetapkan Model Mengajar yang Tepat
Manakala dipertanyakan dan dibandingkan sejumlah model pembelajaran, sebaiknya
tidak dipilih atau ditanyakan mana model yang terbaik. Pertanyaan itu sebaiknya diarahkan
untuk mengungkapkan seberapa jauh suatu model dapat digunakan kepada siapa dan untuk
tujuan apa. Semua model pembelajaran adalah baik. Untuk memilih model yang tepat perlu
dipertimbangkan relevansi dan dukungannya terhadap pencapaian tujuan pengajaran (Dahlan,
1990: 21).
Dalam prakteknya guru dapat melakukan modifikasi model. Artinya ia memilih satu
model utama untuk diterapkan dalam pembelajaran selama masa tertentu dan memilih model-
model yang lain sebagai pendukungnya. Model-model pendukung ini hanya diperlukan
sepanjang relevan dengan tujuan yang hendak dicapai. Seorang guru tentu mengalami kesulitan
untuk menunjukkan suatu model mengajar yang sempurna, yang dapat memecahkan semua
problematika pembelajaran sehingga dapat membantu siswa mempelajari apa saja dengan
model tersebut.
Disadari bahwa belajar banyak modelnya seperti mengajar. Jadi untuk beljar tertentu
diperlukan model pembelajaran tertentu pula. Itu mengandung arti bahwa dijumpai banyak
model mengajar dan banyak gaya belajar dengan tujuan berbeda-beda. Kalau seorang guru
menginginkan siswanya produktif, aktif, dan kreatif, maka guru haruslah membiarkan siswa
tumbuh dan berkembang sesuai dengan gayanya sendiri, dan penerapan model mengajarpun
haruslah mengikuti kebutuhan siswa. Dalam hal ini Bruce Joyce dan Marsha Weil (1980: 1)
mengungkapkan:
We begin by challenging the ide that there is any such thing as a perfect model we
should not limit our methods to any single model, however attractive it may seem at first glance
because no model of teaching is designed to accomplish all types of learning or to work for all
learning styles. We make the assumption that there are many kinds of learning, for the most
part requiring different methods of instruction. We also assume that our students come to us
with different learning styles, calling for different approaches if each one is to become a
productive and effective learner.
C. Rumpun/Macam-Macam Model Mengajar
Dalam pandangan Richard Anderson, seperti yang dikutip Nana Sudjana (1998: 152-
153), ada dua model mengajar, yaitu model yang berorientasi kepada guru atau disebut teacher
centered dan model yang berorientasi kepada siswa atau disebut student centered. Model
pertama disebut pula tipe otokratis dan yang kedua disebut tipe demokratis. Pendapat lainnya
dikemukakan oleh Massialas yang mengajukan dua model, yakni ekspositori dan inquiri.
Namun demikian, rumpun atau kumpulan model mengajar yang dianggap lebih
komprehensif adalah kumpulan model yang dikembangkan oleh Bruce Joyce dan Marsha Weil
dengan kategorisasi sebagai berikut:
1. Model Information Processing.
2. Model Personal.
3. Model Social Interaction.
4. Model Behavioral.

1. Model Pengolahan/Pemrosesan Informasi (Information Processing Model)


Model ini adalah sebuah istilah kunci dalam psikologi kognitif yang akhir-akhir ini
semakin mendominasi sebagaian besar upaya riset dan pembahasan psikologi pendidikan.
Kata information processing sesungguhnya dipinjam dari peristilahan computer untuk
menjelaskan aktivitas mental (mental siswa) ketika mengoperasikan pengetahuan dan
mengolah informasi yang diekstraksikan dari peristiwa-peristiwa yang ada di lingkungan
sekitarnya, seperti suara atau kata, gerakan benda, gambar, dan sebagainya. Model ini perlu
diterapkan agar ranah cipta siswa dapat berkembang dan berfungsi seoptimal mungkin.
Dalam model ini daya nalar dan daya pikir siswa betul-betul dilatih, sehingga kemampuan
intelektualnya dapat teruji secara baik. Pemberian problematika yang harus dipecahkan
oleh siswa sering disajikan oleh guru.
Dalam pandangan Abu Ahmadi dan Joko Tri Pasetia (1997: 31), model pemrosesan
informasi bertolak dari prinsip-prinsip pengolahan informasi oleh manusia: bagaimana
manusia menangani rangsangan dari lingkungan, mengolah data, mendeteksi masalah,
menyusun konsep, memecahkan masalah, dan menggunakan symbol-simbol. Sejalan dengan
ini Dahlan (1990: 23) mengungkapkan:
Rumpun ini terdiri atas model pembelajaran yang menjelaskan bagaimana cara
individu memberi respon yang datang dari lingkungannya dengan cara mengorganisasikan
data, memformulasikan masalah, membangun konsep dan rencana pemecahan masalah serta
penggunaaan simbol-simbol verbal dan non-verbal.

Ada tujuh model (serta teoritikus/pencetusnya) yang termasuk rumpun ini, yakni:
1. Inductive thinking model (Hilda Taba).
2. Inquiry training model (Richard Suchman).
3. Scientific inquiry (Joseph J. Schwab).
4. Concept attainment (Jerome Bruner).
5. Cognitive growth (Jean Piaget, Irving Sigel, Edmund Sullivan, Lawrence Kohlberg).
6. Advance organizer model (David Ausubel)
7. Memory (Harry Lorayne, Jerry Lucas)
Di antara ketujuh model di atas dijumpai model yang menitikberatkan perhatiannya kepada
proses siswa memecahkan masalah, ada pula model mengutamakan kecakapan intelektual
umum, atau terkadang pula dijumpai model yang menonjolkan interaksi sosial dan hubungan
antar pribadi serta perkembangan kepribadian murid yang inter-integrasi dan fungsional.
2. Model Pribadi (Personal Model)
Rumpun model ini terdiri atas model mengajar yang berorientasi kepada
perkembangan diri individu. Penekanannya lebih mengutamakan kepada proses yang
membantu individu dalam membentuk dan mengorganisasikan realita yang unik. Model ini
lebih banyak memperhatikan kehidupan emosional siswa. Dengan demikian usaha
pembelajaran lebih bersifat menolong siswa dalam mengembangkan hubungan yang produktif
dengan lingkungannya. Dengan model ini siswa diharapkan dapat melihat diri mereka sebagai
pribadi yang berada dalam suatu kelompok dan cukup mempunyai kecakapan (capable).
Senada dengan di atas, Muhibbin Syah (2001: 193) menyatakan bahwa:
Model ini berorientasi pada pengembangan pribadi siswa yang lebih banyak
memperhatikan kehidupan ranah rasa, terutama fungsi emosionalnya. Bantuan model ini lebih
ditekankan pada pembentukan dan pengorganisasian realitas kehidupan lingkungan dan
kehidupan yang khas atau unik. Diharapkan dengan menggunakan model ini proses belajar
mengajar dapat menolong siswa dalam mengembangkan sendiri hubungan yang produktif
dengan lingkungannya. Siswa sebagai peserta didik juga dapat menyadari dirinya sendiri
sebagai seorang ‘pribadi’ yang berkecakapan (capable) cukup untuk berinteraksi dengan pihak
luar sehingga menghasilkan pola hubungan inter-personal yang kondusif (mendatangkan
hasil/bermanfaat).
Model ini berimplikasi pada pembelajaran yang harus berdasarkan minat, pengalaman,
dan pola perkembangan mental siswa. Dominasi pengajaran ada di tangan siswa. Dalam hal ini
siswa dipandang sebagai suatu pribadi. Peranan guru adalah menuntun dan membantu
perkembangan emosional dan penyesuaian diri melalui pengalaman belajar. Oleh karena itu
guru harus mempunyai kemampuan dalam mengasuh, ahli dalam psikologi dan metodologi,
serta bertindak sebagai nara sumber (resource person). Adapun bahan pelajaran disusun dan
muncul berdasarkan atas minat dan kebutuhan siswa secara individual.
Di sini guru bukan berarti memberi pelayanan secara perorangan, akan tetapi
menyesuaikan dengan kemampuan rata-rata para siswa, memberikan bantuan dan bimbingan
kepada siswa yang memrlukannya, memberi kesempatan kepada mereka untuk maju sesuai
dengan kemampuannya, memberi kesempatan kepadanya untuk melakukan cara belajar yang
sesuai dengan dirinya.
Model personal ini disebut juga model personal humanistic. Rumpun model ini
meletakkan nilai tertinggi pada perkembangan pribadi di dalam memandang dan membangun
realitas, yang melihat manusia terurama sebagai pembuat makna (meaning maker). Dengan
perkataan lain, kelompok ini mengutamakan proses pengorganisasian internal yang dilakukan
individu tersebut dengan lingkungannya maupun dengan dirinya sendiri. Model-model dalam
rumpun ini sangat mementingkan efek pengiring (nurturant effect) sistem lingkungan belajar.
Terdapat lima model yang termasuk rumpun ini:
a. Non-directive teaching (Carl Rogers).
b. Awareness training (William Achutz).
c. Synectics (William Gordon).
d. Conceptual systems (David Hunt).
e. Classroom meeting (William Glassser).

3. Model Interaksi Sosial (Social Interaction Model)


Menurut Abu Ahmadi dan Prasetya (1997: 31), rumpun model ini didasarkan pada dua asumsi
pokok, yaitu:
• Masalah-masalah sosial diidentifikasi dan dipecahkan atas dasar kesepakatan-
kesepakatan yang diperoleh dari dalam dan dengan menggunakan proses-proses sosial.
• Proses sosial yang demokratis perlu dikembangkan untuk melakukan perbaikan di
masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya secara ‘building’ dan terus-menerus.
• Model interaksi sosial adalah rumpun model mengajar yang menitikberatkan pada
proses interaksi antarindividu yang terjadi dalam kelompok individu tersebut. Oleh
karenanya, rumpun model ini lazim juga disebut sebagai interactive model (model yang
bersifat hubungan antar-individu).
Sesuai dengan penekanannya, aplikasi model ini diprioritaskan untuk
mengembangkan kecakapan individu siswa dalam berhubungan dengan orang lain atau
masyarakat sekitarnya. Siswa seyogyanya dihadapkan pada situasi yang demokratis dan
didorong untuk berperilaku produktif dalam masyarakat. Salah satu contoh model yang sering
diterapkan oleh guru dalam mendukung pencapaian tujuan model interaksi sosial ini adalah
bermain peran (role playing).
Indikator adanya interaksi antar guru dan siswa dalam model tersebut adalah guru
menciptakan iklim saling ketergantungan dan timbulnya dialog antar siswa. Siswa belajar
melalui hubungan dialogis (dialogue interaction). Isi pelajaran difokuskan kepada masalah-
masalah yang berkenaan dengan sosio-kultural, terutama yang bersifat kontemporer.
Ada enam model yang termasuk rumpun ini, yaitu:
• Group investigation (Herbert Thelen, John Dewey).
• Social inquiry (Byron Massalas, Benjamin Cox).
• Laboratory method (National Training Laboratory Bethel, Maine).
• Jurisprudential (Donald Oliver, James P. Shaver).
• Role playing (Fannie Shaftel, George Shaftel).
• Social simulation (Sarene Boocock, Harold Guetzkow).

4. Model Perilaku (Behavioral Model)


Rumpun model ini direkayasa atas dasar kerangka teori perilaku yang dihubungkan
dengan proses belajar mengajar. Aktivitas mengajar, menurut teori ini, harus ditujukan
pada timbulnya perilaku baru atau berubahnya perilaku siswa ke arah yang sejalan dengan
harapan. Adanya kecenderungan memecahkan tugas belajar kepada sejumlah perilaku yang
kecil-kecil dan berurutan. Belajar tidak dipandang sebagai sesuatu yang menyeluruh, akan
tetapi diuraikan dalam langkah-langkah yang konkrit dan dapat diamati. Mengajar tidak
lebih dari mengusahakan terjadinya perbuatan dalam perilaku siswa dan perubahan itu
haruslah dapat diamati. Model ini banyak dilandasi juga oleh asumsi emfiris bahwa segenap
perilaku siswa adalah fenomena yang dapat diobservasi, diukur, dan dijabarkan dalam
bentuk perilaku-perilaku khusus. Perilaku-perilaku khusus inilah yang menjadi tujuan
belajar siswa.
Terdapat tujuh model yang termasuk rumpun ini, yaitu:
• Contingency management (B.F. Skinner).
• Self-control (B.F. Skinner).
• Relaxation (Rimm and Masters, Wolpe).
• Stress reduction (Rimm and Masters, Wolp)
• Assertive training (Wolpe, Lazarus, Salter).
• Desensitization (Wolpe).
• Direct training (Gagne, Smith and Smith).

Anda mungkin juga menyukai