Anda di halaman 1dari 48

Jurnal Ilmiah MTG Volume 14 No.

1, Juli 2023
ISSN 1979-0090
E-ISSN 2987-2154

Geologi dan Identifikasi Potensi Gasifikasi Under Ground Coal Gasification (UCG)
Batubara Bawah Permukaan Berdasarkan Karakteristik Seam Batubara Di Area Pit
Bangko Barat PT Bukit Asam Tbk, Kecamatan Lawang Kidul, Kabupaten Muara
Enim, Provinsi Sumatera Selatan

Gerhana Prasetyo Putra*1), Agus Harjanto1), Basuki Rahmad1), Reza Nurdiansyah1),


Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral, Universitas Pembangunan Nasional ―Veteran
Yogyakarya Jl. Padjajaran Condongcatur, Sleman, Yogyakarta 55283 (Kampus Pusat) Telp. 0274 486733, Fax.
486400
*Email : gerhanaprasetya07@gmail.com

Abstrak
Daerah penelitian secara administratif berada di Daerah Tanjung Enim, Kecamatan Lawang Kidul, Kabupaten
Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan tepatnya berada di area PIT Banko Barat yang merupakan konsesi dari
PT. Bukit Asam Tbk tepatnya pada koordinat (UTM-WGS84 zona 48S) X1;Y1= 368714; 9582477, X2;Y2=
369941; 9582477, X3;Y3= 369941; 9581477, X4;Y4= 368714; 9581477. Semakin menipisnya cadangan energi
khususnya batubara di Indonesia dari tahun ke tahun membuat pemerintah Bersama peneliti melakukan kajian-
kajian mengenai optimalisasi pemanfaatan batubara khusunya batubara kualitas rendah dengan kedalaman lebih
dari 150 meter yang secara secara perhitungan tambang sudah tidak ekonomis lagi untuk dilakukan
penambangan. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana potensi Underground Coal Gasification
(UCG) di lokasi penelitian. Batubara kualitas rendah melalui teknologi Underground Coal Gassification (UCG)
dapat menjadi sumber energi nasional jika dimanfaatkan secara optimal. Metode penelitian yang dilakukan
berupa studi pustaka, pemetaan geologi permukaan, analisis geomorfologi, analisis struktur geologi, analisis
petrografi, analisis stratigrafi, analisis data wireline log, analisis data proksimat, dan analisis potensi UCG
daerah penelitian. Stratigrafi pada daerah penelitian termasuk dalam Formasi Muara Enim, yang terdiri atas tiga
satuan batuan, dari tua ke muda diendapkan secara berurutan satuan batupasir b muara enim, satuan batulanau
muara enim, dan satuan batupasir a muara enim. Ketiga satuan batuan berumur Miosen Akhir-Pliosen dan
diendapkan pada lingkungan lower delta-plain. Pada analisis struktur geologi daerah penelitian, diketahui
kemiringan batuan berarah tenggara-barat laut serta dijumpai kekar berpasangan dan Cleat pada batubara.
Diketahui bahwa seam B1 pada sumur RN_01, RN_06 serta seam C pada sumur RN_01, RN_03, RN_04,
RN_05, RN_06 merupakan seam yang berpotensi dalam pengembangan UCG berdasarkan pada parameter
gasifikasi seperti ketebalan, kedalaman, kadar abu + kadar air total < 60%, rank lignit-bituminus, diapit lapisan
impermeable, dip yang tidak terlalu curam (± 20°), struktur geologi sederhana, jauh dari intrusi, dan lebih dari 1
sumur.

Kata Kunci: Seam, gasifikasi, paramater

Abstract
The research area is administratively located in the Tanjung Enim Region, Lawang Kidul District, Muara Enim
Regency, South Sumatra Province to be precise in the Banko Barat PIT area which is a concession from PT.
Bukit Asam Tbk precisely at the coordinates (UTM-WGS84 zone 48S) X1;Y1= 368714; 9582477, X2;Y2=
369941; 9582477, X3;Y3= 369941; 9581477, X4;Y4= 368714; 9581477. The depletion of energy reserves,
especially coal in Indonesia from year to year, has forced the government and researchers to carry out studies
on optimizing the use of coal, especially low quality coal with a depth of more than 150 meters, which, by
calculation, is no longer economical for mining. This study aims to explain how the potential of Underground
Coal Gasification (UCG) at the research location. Low quality coal through Underground Coal Gassification
(UCG) technology can become a national energy source if utilized optimally. The research method used was
literature study, surface geological mapping, geomorphological analysis, geological structure analysis,
petrographic analysis, stratigraphic analysis, wireline log data analysis, proximate data analysis, and UCG
potential analysis in the study area. The stratigraphy in the study area is included in the Muara Enim
Formation, which consists of three rock units, from old to young, deposited sequentially in the Muara Enim

Gerhana Prasetyo Putra, Agus Harjanto, Basuki Rahmad, Reza Nurdiansyah 7


Jurnal Ilmiah MTG Volume 14 No. 1, Juli 2023
ISSN 1979-0090
E-ISSN 2987-2154

sandstone unit, Muara Enim siltstone unit, and Muara Enim sandstone unit. The three rock units are of Late
Miocene-Pliocene age and were deposited in a lower delta-plain environment. In the analysis of the geological
structure of the study area, it is known that the slope of the rock is trending southeast-northwest and found
paired joints and cleats in the coal. It is known that seam B1 on wells RN_01, RN_06 and seam C on wells
RN_01, RN_03, RN_04, RN_05, RN_06 are seams that have the potential to develop UCG based on gasification
parameters such as thickness, depth, ash content + total moisture content <60%, rank lignite-bituminous,
sandwiched between impermeable layers, not too steep dip (± 20°), simple geological structure, far from
intrusion, and more than 1 well.

Keywords: Steam, gasification, parameters.

PENDAHULUAN
Latarbelakang
Penelitian berlokasi di area PIT Banko Barat PT. Bukit Asam Tbk, Daerah Tanjung Enim, Kecamatan
Lawang Kidul, Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan. Secara fisiografis daerah penelitian
termasuk ke dalam Cekungan Sumatera Selatan (Van Bemmelen, 1949). Menurut De Coster (1974) (dalam
Nasution dan Nalendra, 2017) Cekungan Sumatera Selatan terbentuk pada Awal Tersier (Eosen-Oligosen)
ketika rangkaian graben berkembang akibat sistem subduksi miring antara Lempeng Samudera Hindia dibawah
Lempeng Benua Asia.
Berdasakan peta geologi regional lembar Lahat (Gafoer, 1986), daerah penelitian diapit oleh sebuah sinklin
yang memanjang mulai dari bagian barat laut hingga bagian timur dan antiklin yang berada pada bagian
tenggara dengan pola jurus dari sinklin dan antiklin ini relatif sejajar. Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan
didapatkan beberapa Cleat dan juga kekar-kekar pada daerah penelitian dengan arah umum tenggara-barat laut.
dilapangan didapatkan beberapa Cleat dan juga kekar-kekar pada daerah penelitian dengan arah umum
tenggara-barat laut.
Guna menunjang Program Strategis Kebijakan Batubara Nasional serta untuk menekan laju eksploitasi
batubara yang begitu cepat maka perlu segera dilakukan upaya pengelolaan batubara secara optimal dan
terencana. Salah satu program yang sedang dilaksanakan adalah sistem gasifikasi batubara bawah tanah
(Underground Coal Gasification/UCG) (Basuki Rahmad dkk., 2018). Underground Coal Gasification (UCG)
adalah konversi batubara menjadi produk gas langsung di bawah permukaan (tanpa melakukan kegiatan
penambangan batubara), dengan menggunakan pereaksi berupa udara, campuran udara/uap air atau campuran
oksigen/uap air (Basuki Rahmad dkk., 2018). Proses gasifikasi batubara bawah tanah dimulai dengan cara
melakukan pemboran untuk mencapai lapisan batubara dan melakukan suatu jalur penghubung/link dan diikuti
dengan proses gasifikasi. Hal ini dilakukan dengan cara menginjeksi suatu oksidan (biasanya udara),
menggasifikasi lapisan batubara dan mengambil produk gas yang dihasilkannya kepermukaan bumi melalui
lubang-lubang bor yang dibuat dari permukaan sehingga dapat menghilangkan biaya penambangan dan
reklamasi. Gas hasil tersebut dapat digunakan untuk pembangkit tenaga listrik, sumber panas untuk industri
ataupun sebagai bahan baku kimiawi (chemical feedstock) (Harijanto Soetjijo, 2006). Menurut Khadse dkk.
(2007), Friedmann dkk. (2009), Kreynin. (2012), Bhutto dkk. (2013), Imran dkk. (2014), batubara yang cocok
untuk pengembangan UCG adalah lignit sampai bituminus. Menurut Santoso (2015), selain karakteristik
batubara, perlu juga dikaji karakteristik kedalaman, ketebalan, kualitas, kondisi struktur dan lapisan penutup
batubara. Di Indonesia sendiri metode UCG belum pernah dikaji dan dilakukan, baik teknologinya maupun
kecocokan kondisi geologi batubaranya, sehingga belum diketahui kemungkinan pengembangan teknologi ini
dapat berlangsung di Indonesia (Asep B. Purnama dkk., 2017).
Berdasarkan pada penjelasan dari penelitian terdahulu, maka penting diadakannya penelitian mengenai
identifikasi terhadap karakteristik seam batubara yang berpotensi dalam pengembangan gasifikasi batubara
bawah permukaan di daerah penelitian.

Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian secara administratif berada di area PIT Banko Barat Wilayah Kerja PT. Bukit Asam Tbk,
Daerah Tanjung Enim, Kecamatan Lawang Kidul, Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan. Kavling

Gerhana Prasetyo Putra, Agus Harjanto, Basuki Rahmad, Reza Nurdiansyah 8


Jurnal Ilmiah MTG Volume 14 No.1, Juli 2023
ISSN 1979-0090
E-ISSN 2987-2154

dari daerah penelitian seluas 1 km2 dengan koordinat batas kavling berdasarkan sistem koordinat UTM-WGS84
zona 48S yakni X1;Y1= 368714; 9582477, X2;Y2= 369941; 9582477, X3;Y3= 369941; 9581477, X4;Y4=
368714; 9581477. Lokasi penelitian tersaji pada (Gambar 1).

Gambar 1. Lokasi Penelitian

GEOLOGI REGIONAL
Fisiografi Regional
Menurut Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Pulau Sumatera dalam 6 bagian (Gambar 2.), yaitu :
a) Zona Jajaran Barisan.
b) Zona Semangko.
c) Zona Pegunungan Tiga Sepuluh.
d) Zona Kepulauan Busur Luar.
e) Zona Paparan Sunda.
f) Zona Dataran Rendah dan Bukit.

Berdasarkan Peta Fisiografi Sumatera dengan skala 1:8.000.000 menurut Van Bemmelen (1949), dapat
diketahui koordinat dari kavling daerah penelitian berdasarkan pada sistem koordinat UTM-WGS84 zona 48S
yakni pada X1;Y1= 368714; 9582477, X2;Y2= 369941; 9582477, X3;Y3= 369941; 9581477, X4;Y4= 368714;
9581477.
Secara fisiografis Cekungan Sumatera Selatan (Gambar 2.) merupakan cekungan Tersier berarah baratlaut-
tenggara, yang dibatasi Sesar Semangko dan Daerah Penelitian Bukit Barisan di sebelah barat daya, Paparan
Sunda di sebelah timurlaut, Tinggian Lampung di sebelah tenggara yang memisahkan cekungan tersebut dengan
Cekungan Sunda, serta Pegunungan Dua Belas dan Pegunungan Tiga Puluh di sebelah baratlaut yang
memisahkan Cekungan Sumatera Selatan dengan Cekungan Sumatera Tengah (Van Bemmelen, 1949).
Cekungan Sumatera Selatan merupakan cekungan busur belakang berumur Tersier yang terbentuk sebagai
akibat adanya interaksi antara Paparan Sunda (sebagai bagian dari lempeng kontinen Asia) dan lempeng
Samudera India. Daerah cekungan ini meliputi daerah seluas 330 x 510 km2.

Gerhana Prasetyo Putra, Agus Harjanto, Basuki Rahmad, Reza Nurdiansyah 9


Jurnal Ilmiah MTG Volume 14 No. 1, Juli 2023
ISSN 1979-0090
E-ISSN 2987-2154

Gambar 2. Fisiografi Sumatera (Van Bemmelen, 1949)

Stratigrafi Regional
Menurut De Coster (1974) (dalam Nasution dan Nalendra, 2017), stratigrafi Cekungan Sumatera Selatan
secara umum dapat dikenal satu megacycle (daur besar) yang terdiri dari suatu transgresi dan diikuti regresi.
Formasi yang terbentuk selama fase transgresi dikelompokkan menjadi Kelompok Telisa (Formasi Talang Akar,
Formasi Baturaja, dan Formasi Gumai). Kelompok Palembang diendapkan selama fase regresi (Formasi Air
Benakat, Formasi Muara Enim, dan Formasi Kasai), sedangkan Formasi Lemat dan older Lemat diendapkan
sebelum fase transgresi utama. Stratigrafi Cekungan Sumatera Selatan menurut De Coster (1974) (dalam
researchgate) dapat dilihat pada (Gambar 3).

Gambar 3. Stratigrafi Cekungan Sumatera Selatan (De Coster, 1974)

1. Kelompok Pra Tersier


Formasi ini merupakan batuan dasar (basement rock) dari Cekungan Sumatera Selatan. Tersusun atas
batuan beku Mesozoikum, batuan metamorf Paleozoikum, Mesozoikum, dan batuan karbonat yang

Gerhana Prasetyo Putra, Agus Harjanto, Basuki Rahmad, Reza Nurdiansyah 10


Jurnal Ilmiah MTG Volume 14 No.1, Juli 2023
ISSN 1979-0090
E-ISSN 2987-2154

termetamorfosa. Hasil dating di beberapa tempat menunjukkan bahwa beberapa batuan berumur Kapur
Akhir sampai Eosen Awal. Batuan metamorf Paleozoikum-Mesozoikum dan batuan sedimen mengalami
perlipatan dan pensesaran akibat intrusi batuan beku selama episode orogenesa Mesozoikum Tengah (Mid-
Mesozoikum).

2. Formasi Lahat
Batuan tertua yang ditemukan pada Cekungan Sumatera Selatan adalah batuan yang berumur akhir
Mesozoik. Batuan yang ada pada Formasi ini terdiri dari batupasir tuffan, konglomerat, breksi, dan
lempung. Batuan-batuan tersebut kemungkinan merupakan bagian dari siklus sedimentasi yang berasal
dari Continental, akibat aktivitas vulkanik, dan proses erosi dan disertai aktivitas tektonik pada akhir
kapur-awal Tersier di Cekungan Sumatera Selatan.

3. Formasi Lahat Muda (Formasi Lemat)


Formasi Lemat tersusun atas klastika kasar berupa batupasir, batulempung, fragmen batuan, breksi,
“Granit Wash”, terdapat lapisan tipis batubara, dan tuf. Semuanya diendapkan pada lingkungan kontinen.
Sedangkan anggota Benakat dari Formasi Lemat terbentuk pada bagian tengah cekungan dan tersusun
atas serpih berwarna coklat abu-abu yang berlapis dengan serpih tuffaan (tufface ous shales), batulanau,
batupasir, terdapat lapisan tipis batubara dan batugamping (stringer), Glauconit, diendapkan pada
lingkungan fresh-brackish. Formasi Lemat secara normal dibatasi oleh bidang ketidakselarasan
(unconformity) pada bagian atas dan bawah formasi. Kontak antara Formasi Lemat dengan Formasi
Talang Akar yang diintepretasikan sebagai paraconformable. Formasi Lemat berumur PaleosenOligosen,
dan anggota Benakat berumur Eosen Akhir-Oligosen, yang ditentukan dari spora dan pollen, juga dengan
dating K-Ar. Ketebalan formasi ini bervariasi, lebih dari 2500 kaki (± 760 m). Pada Cekungan Sumatera
Selatan dan lebih dari 3500 kaki (1070 m) pada zona depresi sesar di bagian tengah cekungan (didapat
dari data seismik).

4. Formasi Talang Akar Formasi


Talang Akar terdapat di Cekungan Sumatera Selatan, formasi ini terletak di atas Formasi Lemat dan
di bawah Formasi Telisa atau anggota Basal Batugamping Telisa. Formasi Talang Akar terdiri dari
batupasir yang berasal dari delta plain, serpih, lanau, batupasir kuarsa, dengan sisipan batulempung
karbonat, batubara dan di beberapa tempat konglomerat. Kontak antara Formasi Talang Akar dengan
Formasi Lemat tidak selaras pada bagian tengah dan pada bagian pinggir dari cekungan kemungkinan
paraconformable, sedangkan kontak antara Formasi Talang Akar dengan Telisa dan anggota Basal
Batugamping Telisa adalah conformable. Kontak antara Talang Akar dan Telisa sulit di pick dari sumur
di daerah palung disebabkan litologi dari dua formasi ini secara umum sama. Ketebalan dari Formasi
Talang Akar bervariasi 1500-2000 feet (sekitar 460-610 m). Umur dari Formasi Talang Akar ini adalah
Oligosen Atas-Miosen Bawah dan kemungkinan meliputi N3 (P22), N7 dan bagian N5 berdasarkan zona
Foraminifera plangtonik yang ada pada sumur yang dibor pada formasi ini berhubungan dengan delta
plain dan daerah shelf.

5. Formasi Baturaja
Anggota ini dikenal dengan Formasi Baturaja. Diendapkan pada bagian intermediate-shelfal dari
Cekungan Sumatera Selatan, di atas dan di sekitar platform dan tinggian. Kontak pada bagian bawah
dengan Formasi Talang Akar atau dengan batuan Pra-Tersier. Komposisi dari Formasi Baturaja ini terdiri
dari Batugamping Bank (Bank Limestone) atau platform dan reefal. Ketebalan bagian bawah dari formasi
ini bervariasi, namun rata-rata 200-250 feet (sekitar 60-75 m). Singkapan dari Formasi Baturaja di
Pegunungan Garba tebalnya sekitar 1700 feet (sekitar 520 m). Formasi ini sangat fossiliferous dan dari
analisis umur anggota ini berumur Miosen. Fauna yang ada pada Formasi Baturaja umurnya N6-N7.

6. Formasi Telisa (Formasi Gumai)


Formasi Gumai tersebar secara luas dan terjadi pada zaman Tersier, formasi ini terendapkan selama

Gerhana Prasetyo Putra, Agus Harjanto, Basuki Rahmad, Reza Nurdiansyah 11


Jurnal Ilmiah MTG Volume 14 No. 1, Juli 2023
ISSN 1979-0090
E-ISSN 2987-2154

fase transgresif laut maksimum, (maximum marine transgressive) ke dalam 2 cekungan. Batuan yang ada
di formasi ini terdiri dari napal yang mempunyai karakteristik fossiliferous, banyak mengandung foram
plankton. Sisipan batugamping dijumpai pada bagian bawah. Formasi Gumai beda fasies dengan Formasi
Talang Akar dan sebagian berada di atas Formasi Baturaja. Ketebalan dari formasi ini bervariasi
tergantung pada posisi dari cekungan, namun variasi ketebalan untuk Formasi Gumai ini berkisar dari
6000–9000 feet (18002700 m). Penentuan umur Formasi Gumai dapat ditentukan dari dating dengan
menggunakan foraminifera planktonik. Pemeriksaan mikropaleontologi terhadap contoh batuan dari
beberapa sumur menunjukkan bahwa fosil foraminifera planktonik yang dijumpai dapat digolongkan ke
dalam zona Globigerinoides sicanus, Globogerinotella insueta, dan bagian bawah zona Orbulina Satiralis
Globorotalia peripheroranda, umurnya disimpulkan Miosen Awal-Miosen Tengah. Lingkungan
pengendapan Laut Terbuka, Neritik.

7. Formasi Lower Palembang (Formasi Air Benakat)


Formasi Lower Palembang diendapkan selama awal fase siklus regresi. Komposisi dari formasi ini
terdiri dari batupasir glaukonitan, batulempung, batulanau, dan batupasir yang mengandung unsur
karbonatan. Pada bagian bawah dari Formasi Lower Palembang kontak dengan Formasi Telisa.
Ketebalan dari formasi ini bervariasi dari 3300 – 5000 kaki (sekitar 1000 – 1500 m). Fauna-fauna yang
dijumpai pada Formasi Lower Palembang ini antara lain Orbulina Universa d‟Orbigny, Orbulina
Suturalis Bronimann, Globigerinoides Subquadratus Bronimann, Globigerina Venezuelana Hedberg,
Globorotalia Peripronda Blow & Banner, Globorotalia Venezuelana Hedberg, Globorotalia Peripronda
Blow & Banner, Globorotalia mayeri Cushman & Ellisor, yang menunjukkan umur Miosen Tengah N12-
N13. Formasi ini diendapkan di lingkungan laut dangkal.

8. Formasi Middle Palembang (Formasi Muara Enim)


Batuan penyusun yang ada pada formasi ini berupa batupasir, batulempung, dan lapisan batubara.
Batas bawah dari Formasi Middle Palembang di bagian selatan cekungan berupa lapisan batubara yang
biasanya digunakan sebagai marker. Jumlah serta ketebalan lapisan-lapisan batubara menurun dari selatan
ke utara pada cekungan ini. Ketebalan formasi berkisar antara 1500–2500 kaki (sekitar 450-750 m). De
Coster (1974) menafsirkan formasi ini berumur Miosen Akhir sampai Pliosen, berdasarkan kedudukan
stratigrafinya. Formasi ini diendapkan pada lingkungan laut dangkal sampai brackist (pada bagian dasar),
delta plain dan lingkungan non marine.

9. Formasi Upper Palembang (Formasi Kasai)


Formasi ini merupakan formasi yang paling muda di Cekungan Sumatera Selatan. Formasi ini
diendapkan selama orogenesa pada Plio-Pleistosen dan dihasilkan dari proses erosi Pegunungan Barisan
dan Tiga puluh. Komposisi dari formasi ini terdiri dari batupasir tuffan, lempung, dan kerakal dan lapisan
tipis batubara. Umur dari formasi ini tidak dapat dipastikan, tetapi diduga PlioPleistosen. Lingkungan
pengendapannya darat.

Stratigrafi Muara Enim


Formasi Muara Enim dikenal sebagai formasi pembawa batubara di cekungan Sumatera Selatan. (Nasution
dan Nalendra, 2017). Formasi Muara Enim tersusun atas litologi berupa batupasir, batulempung dan batubara.
Di dalam Formasi Muara Enim terdapat paling tidak 11 lapisan batubara utama, dari bawah ke atas: lapisan
batubara Kladi, Merapi, Petai (C), Suban (B), Mangus (A), Burung, Benuang, Kebon, Benakat/Jelawatan,
Lematang, Niru. Pengendapan batubara di formasi ini dipengaruhi oleh susut laut pada peristiwa perubahan
muka air laut yang terjadi pada Kala Miosen (dalam Asep B. Purnama, 2017) (Gambar. 4). Stratigrafi regional
Muara Enim, Sumatera Selatan (Kusumahbrata, Heryanto, dan Susanto, 2003) tergambar (Gambar. 5). Litologi
batubara pada formasi ini dapat dibedakan menjadi 4 anggota, dari tertua ke muda adalah berikut :
a) Anggota M1 terdiri dari batupasir, batulanau dan batulempung berwarna coklat dan abu-abu dengan
sedikit glaukonitan. Lapisan batubara pada anggota formasi ini yaitu seam batubara Keladi dan seam
batubara Merapi.

Gerhana Prasetyo Putra, Agus Harjanto, Basuki Rahmad, Reza Nurdiansyah 12


Jurnal Ilmiah MTG Volume 14 No.1, Juli 2023
ISSN 1979-0090
E-ISSN 2987-2154

b) Anggota M2 terdiri dari perulangan batulempung, batulempung pasiran berwarna coklat abuabu, batupasir
halus-sedang, berwarna coklat abu-abu dibagian bawah berwarna hijau abu-abu, serta batubara. Lapisan
batubara yang terdapat dalam anggota ini terdiri dari seam Petai, Suban, dan Mangus, dengan penyebaran
tidak menerus.
c) Anggota M3 terdiri dari perselingan batupasir dan batulanau, berwarna biru hijau, batulempung abuabu
hijau dan coklat, horizon pasir 3-6 meter yang terletak 40 meter diatas seam Mangus. Batupasir dalam
anggota ini dicirikan oleh kehadiran nodul-nodul ironstone kalsitan. Lapisan batubara dari anggota ini
terdiri dari seam batubara Benuang dan Burung.
d) Anggota M4 tersusun oleh batulempung dan batupasir serta terdapat beberapa lapisan batubara. Lapisan
batubara terdiri dari seam Kebon, Enim, Jelawatan dan Niru.

Gambar 4. Peta geologi regional dan susunan stratigrafi regional Tanjung Enim, Sumatera Selatan (PT.
Bukit Asam, 2007)

Gerhana Prasetyo Putra, Agus Harjanto, Basuki Rahmad, Reza Nurdiansyah 13


Jurnal Ilmiah MTG Volume 14 No. 1, Juli 2023
ISSN 1979-0090
E-ISSN 2987-2154

Gambar 5. Stratigrafi Regional Muara Enim, Sumatera Selatan (Kusumahbrata, Heryanto, dan Susanto, 2003)

Gerhana Prasetyo Putra, Agus Harjanto, Basuki Rahmad, Reza Nurdiansyah 14


Jurnal Ilmiah MTG Volume 14 No.1, Juli 2023
ISSN 1979-0090
E-ISSN 2987-2154

Struktur Geologi Regional


Menurut De Coster (1974) (dalam Nasution, 2017), Cekungan Sumatera Selatan terbentuk pada Awal
Tersier (Eosen-Oligosen) ketika rangkaian graben berkembang sebagai sistem oblique subduction antara
Lempeng Samudera Hindia di bawah Lempeng Benua Asia. Terdapat tiga episode orogenesa yang membentuk
kerangka struktur daerah Cekungan Sumatera Selatan, yakni pada Zaman Mesozoikum Tengah, Kapur Akhir-
Tersier Awal, dan Plio-Plistosen (De Coster, 1974).
Episode pertama, endapan metamorfosa Paleozoikum dan Mesozoikum, terlipat dan tersesarkan menjadi
bongkah struktur dan diintrusi oleh batolit granit serta membentuk pola dasar struktur cekungan. (Pulunggono
dkk., 1992), fase ini membentuk sesar transform dengan arah barat laut-tenggara (Gambar. 6).
Episode kedua, pada Akhir Kapur terdapat fase ekstensional yang menghasilkan pergerakan tensional yang
membentuk graben dan horst dengan arah utama utara-selatan. Bersamaan dengan orogenesa Mesozoikum dan
pelapukan batuan Pra-Tersier, pergerakan tensional tersebut membentuk struktur tua yang mengontrol
pembentukan Formasi Pra-Talang Akar.
Episode ketiga adalah fase kompresional pada Plio-Pleistosen yang menyebabkan pola pengendapan berubah
menjadi regresi dan mempengaruhi pembentukan lipatan dan sesar yang ada saat ini. Pada periode tektonik ini,
juga terjadi pengangkatan Pegunungan Bukit Barisan yang menghasilkan sesar mendatar Semangko di
sepanjang Pegunungan Bukit Barisan. Pergerakan horizontal dimulai dari Awal Pleistosen hingga sekarang turut
mempengaruhi kondisi Cekungan Sumatera Selatan dan Cekungan Sumatera Tengah. Kondisi ini menghasilkan
sesarsesar baru yang memiliki perkembangan arah sejajar dengan sesar Semangko. Akibat pergerakan horizontal
ini, orogenesa pada Plio-Pleistosen menghasilkan lipatan dengan arah barat laut-tenggara tetapi sesar-sesar yang
terbentuk memiliki orientasi timur laut-barat daya. Sesar yang terbentuk pada cekungan ini adalah sesar naik,
sesar mendatar, dan sesar normal. Pola struktur yang dominan adalah struktur dengan arah barat laut-tenggara
yang dihasilkan dari orogenesa Plio-Pleistosen. Dengan demikian pola struktur dapat dibagi menjadi pola tua
dengan pola orientasi utara-selatan dan pola yang lebih muda dengan arah barat laut-tenggara yang sejajar
dengan arah Pulau Sumatera.

Gambar 6. Kerangka tektonik Sumatera Selatan (Pulunggono dkk., 1992)

Gerhana Prasetyo Putra, Agus Harjanto, Basuki Rahmad, Reza Nurdiansyah 15


Jurnal Ilmiah MTG Volume 14 No. 1, Juli 2023
ISSN 1979-0090
E-ISSN 2987-2154

METODE
Berikut merupakan beberapa tahapan metode yang dilakukan dalam penelitian :

1. Tahap Pengumpulan Data


Pengumpulan data primer yang berupa pengambilan data di lapangan, meliputi data litologi, struktur
geologi, pembuatan lintasan penampang stratigrafi terukur serta data sekunder yang diberikan oleh
perusahaan, meliputi data peta topografi, koordinat titik bor, wireline log, coring batuan, dan proksimat.

2. Tahap Analisis Pengolahan Data


Setelah tahap pengumpulan data. Berdasarkan data lapangan dan peta topografi setelah ditambang dengan
skala 1:5000, peneliti melakukan pembuatan peta geologi, dan penampang stratigrafi terukur. Berdasakan
data koordinat titik bor, wireline log, coring batuan, dan data proksimat selanjutnya dibuat penampang
korelasi stratigrafi dan korelasi struktur kedalaman, peta iso kedalaman seam batubara, peta iso ketebalan
seam batubara, peta iso abu seam batubara, peta iso total moisture seam batubara, peta iso kalori seam
batubara serta peta potensi UCG.

3. Tahap Analisis Struktur Geologi


Analisis struktur geologi dengan cara menganalisis data struktur geologi seperti kekar dan Cleat pada
batubara yang terdapat pada lokasi penelitian dengan menggunakan software Dips.

4. Analisis Stratigrafi
Analisis ini bertujuan untuk menentukan lingkungan pengendapan pada daerah penelitian yang
didasarkan berdasarkan litologi dominan dan struktur sedimen yang berkembang di daerah penelitian yang
menganut pada klasifikasi Horne (1978).

5. Analisis Petrografi
Analisis ini merupakan analisis yang dilakukan oleh penulis dengan mengamati sampel batuan yang
telah disayat dibawah mikroskop elektron untuk dilakukan penderan secara petrografis yang bertujuan untuk
mengetahui lingkungan pengendapan mengacu pada klasifikasi Pettijohn (1957)..

6. Analisis Potensi Gasifikasi (Underground Coal Gasification/ UCG)


Analisa potensi UCG menggunakan data wireline log, proksimat dan coring batuan. Dari data wireline
log yang dibandingkan dengan data coring dapat diketahui litologi dari tiap sumur sehingga dapat dibuat
penampang korelasi geologi bawah permukaan antar sumur secara 2 dimensi. Berdasarkan hasil korelasi
akan dilihat sumur mana yang paling berpotensi dalam pengembangan UCG berdasarkan kedalaman dan
ketebalan. Selanjutnya dari data proksimat dapat diketahui kadar abu, total moisture, dan kalori dari tiap
seam batubara yang nantinya akan dibuat peta iso dari masing-masing seam dan kemudian dapat dilihat seam
batubara mana yang paling berpotensi untuk UCG, dimana pada akhirnya dibuatlah peta potensi UCG pada
daerah penelitian.
Identifikasi seam batubara tersebut mengacu pada beberapa parameter UCG yang telah dilakukan
peneliti terdahulu. Selanjutnya, pada tahap akhir pembuatan parameter modifikasi dari beberapa parameter
tersebut sehingga dapat dijadikan acuan untuk menguji potensi UCG daerah penelitian.

7. Analisis Data Wireline Log


Berdasarkan data wireline log yang dibandingkan dengan data coring, kemudian dapat dilakukan
interpretasi litologi sehingga didapatkan litologi dari masing-masing sumur, dari hasil interpretasi dapat
diketahui masing-masing ketebalan dan kedalaman dari tiap seam batubara. Selanjutnya dilakukan korelasi
untuk mengetahui sebaran seam bawah permukaan, sehingga dapat diketahui arah kemiringan dari lapisan
batuan.

8. Analisis Data Proksimat

Gerhana Prasetyo Putra, Agus Harjanto, Basuki Rahmad, Reza Nurdiansyah 16


Jurnal Ilmiah MTG Volume 14 No.1, Juli 2023
ISSN 1979-0090
E-ISSN 2987-2154

Melalui data proksimat batubara selanjutnya, dari data kedalaman seam, ketebalan seam, kandungan abu,
kandungan total moisture, dan nilai kalori diolah oleh penulis untuk dibuat peta iso kedalaman seam
batubara, peta iso ketebalan seam batubara, peta iso abu seam batubara, peta iso total moisture seam
batubara, dan peta iso kalori seam batubara dengan menggunakan software Surfer 13.

9. Tahap Penyajian Data


Tahap ini merupakan tahap akhir dari penelitian penulis, dimana dari tahap ini dihasilkan output
penelitian yang meliputi peta geologi daerah telitian, penampang stratigrafi terukur, penampang korelasi
stratigrafi, penampang korelasi struktur kedalaman, peta iso kedalaman seam batubara, peta iso ketebalan
seam batubara, peta iso abu seam batubara, peta iso total moisture seam batubara, peta iso kalori seam
batubara serta peta potensi UCG. Keseluruhan output dari penelitian tersebut kemudian dijadikan suatu
informasi geologi daerah telitian yang sistematis yang disajikan dalam bentuk laporan penelitian.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Stratigrafi Daerah Penelitian
Berdasarkan hasil dari pengamatan di lapangan, maka didapatkan 3 satuan batuan di daerah penelitian, yaitu Satuan
Batupasir A Muara Enim, Satuan Batulanau Muara Enim dan Satuan Batupasir B Muara Enim yang di tunjukkan dalam
kolom stratigrafi pada (Gambar 7).

Gambar 7. Kolom Stratigrafi Daerah Penelitian (Tanpa Skala) (Oleh Penulis)

1. Satuan Batupasir B Muara Enim


Satuan Batupasir B Muara Enim di dominasi oleh batupasir tebal berwarna coklat terang, berbutir halus dengan

Gerhana Prasetyo Putra, Agus Harjanto, Basuki Rahmad, Reza Nurdiansyah 17


Jurnal Ilmiah MTG Volume 14 No. 1, Juli 2023
ISSN 1979-0090
E-ISSN 2987-2154

struktur sedimen perlapisan (Gambar. 7), ripple-lamination, parallel-lamination dan flaser (Gambar. 8). Dibeberapa
tempat terdapat batulanau berwarna abu-abu dengan struktur sedimen perlapisan, dan batubara seam C (Petai) dengan
warna hitam, gores coklat, kilap kusam, pecahan brittle (Gambar. 9). Satuan batuan ini menempati bagian tenggara dari
kavling daerah penelitian dengan arah pelamparan barat dayatimur laut. Satuan ini merupakan satuan tertua pada daerah
penelitian.
Satuan batuan ini terdapat pada bagian tenggara dari kavling daerah penelitian dan melampar searah kemenerusan
lapisan yang berarah relatif barat daya-timur laut. Dari hasil interpretasi data wireline log didapatkan data ketebalan rata-
rata dari satuan ini kurang lebih 39,2 meter.
De Coster, 1974 menafsirkan satuan batuan ini berumur Miosen Akhir – Pliosen, berdasarkan kedudukan
stratigrafinya. Berdasarkan interpretasi data log bor, analisa petrografi serta struktur sedimen yang berkembang seperti
ripplelamination, parallel-lamination dan flaser yang terdapat pada satuan ini serta didukung dengan nilai sulfur rata-rata
pada batubara seam C sebesar 0,98% adb, maka penulis menginterpretasikan satuan ini terendapkan pada lingkungan
lower delta-plain dengan sub-lingkungan pengendapan distributary mouth-bar berdasarkan model lingkungan
pengendapan dari Horne (1978) (Gambar. 10). Hubungan stratigrafi Satuan Batupasir B Muara Enim ini selaras dengan
Satuan Batulanau Muara Enim diatasnya adalah selaras, hal ini dibuktikan dengan ditemukannya kontak yang semakin
menghalus menjadi kesatuan litologi batulanau (Gambar. 11) .

Gambar 7. Singkapan batupasir di LP 14. Arah Kamera N038°E

Gambar 8. Struktur ripple-lamination, parallel-lamination dan flaser pada batupasir di LP 14 Arah Kamera N038°E

Gerhana Prasetyo Putra, Agus Harjanto, Basuki Rahmad, Reza Nurdiansyah 18


Jurnal Ilmiah MTG Volume 14 No.1, Juli 2023
ISSN 1979-0090
E-ISSN 2987-2154

Gambar 9. Singkapan batubara seam C (seam Petai) dengan roof berupa batulanau di LP 16. Arah Kamera N178°E

Gambar 10. Lingkungan pengendapan Satuan Batupasir B Muara Enim (Horne, 1978)

Gambar 11. Lingkungan pengendapan Satuan Batupasir B Muara Enim (Horne, 1978)

2. Satuan Batulanau Muara Enim


Satuan Batulanau Muara Enim di dominasi oleh batulanau berwarna coklat kehitaman dengan struktur sedimen
perlapisan. Dibeberapa tempat ditemukan batulempung karbonan berwarna abu-abu kehitaman, batulempung tufaan
sebagai sisipan di seam batubara A1 yang berwarna putih serta batupasir tufaan berwarna putih dengan ukuran butir kasar
yang mengandung fragmen kuarsa, feldspar, biotit, matriks tuff dan semen silika dengan struktur sedimen perlapisan
(Gambar. 12). Ditemukan keterdapatan 5 lapisan batubara mulai dari seam A1 hingga B2 pada satuan ini. Batubara seam
A1 (seam Mangus Atas) berwarna hitam, gores coklat, kilap kusam, pecahan brittle, seam A2 (seam Mangus Bawah)
berwarna hitam, gores coklat, kilap kusam, pecahan brittle, silikaan pada bagian atas, seam suban marker yang berupa
batubara tipis yang berada di batulanau yang terletak diantara batubara seam A2 dan B1 dengan warna hitam, gores hitam,
kilap kusam, pecahan brittle, seam B1 (seam Suban Atas) berwarna hitam, gores coklat, kilap kusam, pecahan brittle,
seam B2 (seam Suban Bawah) berwarna hitam, gores coklat, kilap kusam, pecahan brittle (Gambar. 13). Satuan batuan
ini menempati bagian tengah dari kavling daerah penelitian dengan arah pelamparan barat daya-timur laut.
Satuan batuan ini terdapat pada bagian tengah dari kavling daerah penelitian dan melampar searah kemenerusan lapisan
yang berarah relatif barat daya-timur laut. Dari hasil pengukuran penampang stratigrafi dan interpretasi data wireline log
didapatkan ketebalan rata-rata dari satuan ini kurang lebih 55,3 meter, sementara dari hasil pengukuran penampang
stratigrafi sendiri ketebalan dari satuan ini kurang lebih 45 meter.
De Coster, 1974 menafsirkan satuan batuan ini berumur Miosen Akhir – Pliosen, berdasarkan kedudukan
stratigrafinya. Berdasarkan dari interpretasi data log bor, analisa petrografi dan kenampakan di lapangan didapatkan
litologi batulanau yang cukup tebal (± 55,3 meter) yang terdapat pada satuan ini, data tersebut didukung dengan nilai sulfur
rata-rata pada batubara dari seam A1 0,45% adb, seam A2 0,17% adb, seam B1 0,42% adb serta seam B2 0,58% adb,

Gerhana Prasetyo Putra, Agus Harjanto, Basuki Rahmad, Reza Nurdiansyah 19


Jurnal Ilmiah MTG Volume 14 No. 1, Juli 2023
ISSN 1979-0090
E-ISSN 2987-2154

maka penulis menginterpretasikan satuan ini terendapkan pada lingkungan lower deltaplain dengan sub-lingkungan
pengendapan interdistributary bay dan swamp berdasarkan model pengendapan Horne (1978) (Gambar. 14).
Satuan Batulanau Muara Enim ini memiliki hubungan selaras dengan Satuan Batupasir A Muara Enim diatasnya dan
juga satuan Batupasir B Muara Enim dibawahnya, hal ini dibuktikan dengan ditemukannya kontak yang semakin
mengkasar menjadi kesatuan litologi batupasir pada bagian atas (Gambar. 15).

Gambar 12. Singkapan batubara seam A1 (seam Mangus Atas) dengan roof berupa batulanau Arah Kamera
N029°E

Gambar 13. Singkapan batubara seam B2 (seam Suban Bawah) dan roof berupa batulempung di LP 40. Arah Kamera
N048°E

Gambar 14. Lingkungan pengendapan Satuan Batulanau Muara Enim (Horne, 1978)

Gerhana Prasetyo Putra, Agus Harjanto, Basuki Rahmad, Reza Nurdiansyah 20


Jurnal Ilmiah MTG Volume 14 No.1, Juli 2023
ISSN 1979-0090
E-ISSN 2987-2154

Gambar 15. Kontak antara Satuan Batulanau Muara Enim dan Satuan Batupasir A Muara Enim di LP 25. Arah
Kamera N311°E

3. Satuan Batupasir A Muara Enim


Satuan Batupasir A Muara Enim di dominasi oleh batupasir berwarna coklat terang, berbutir halus dengan sisipan
batubara gantung (hanging seam) berwarna hitam kecoklatan, gores coklat, kilap kusam dengan pecahan brittle, struktur
sedimen ripple-lamination dan parallel-lamination. Dibeberapa tempat ditemukan keterdapatan batulanau berwarna coklat
gelap dengan struktur sedimen masif. Satuan batuan ini menempati bagian barat laut dari kavling daerah penelitian dengan
arah pelamparan barat daya-timur laut. Satuan ini merupakan satuan terakhir yang diendapkan pada daerah penelitian.
Satuan batuan ini terdapat pada bagian barat laut dari kavling daerah penelitian dan melampar searah kemenerusan
lapisan yang berarah relatif barat daya-timur laut. Dari hasil interpretasi data wireline log didapatkan ketebalan ratarata dari
satuan ini kurang lebih 40,1 meter.
De Coster, 1974 menafsirkan satuan batuan ini berumur Miosen Akhir – Pliosen, berdasarkan kedudukan
stratigrafinya. Berdasarkan dari interpretasi data log bor, analisa petrografi serta struktur sedimen yang berkembang seperti
ripple-lamination dan parallel-lamination yang terdapat pada satuan ini, maka penulis menginterpretasikan satuan ini
terendapkan pada lingkungan lower delta-plain dengan sub-lingkungan pengendapan distributary mouth-bar (Gambar.
17). Satuan Batupasir A Muara Enim ini memiliki hubungan selaras dengan Satuan Batulanau Muara Enim dibawahnya.
Berikut singkapan batupasir sisipan batubara gantung (hanging seam) yang ditemukan di LP 30 (Gambar 16).

Gambar 16. Singkapan batupasir sisipan batubara gantung (hanging seam) di LP 30. Arah Kamera N055°E

Gerhana Prasetyo Putra, Agus Harjanto, Basuki Rahmad, Reza Nurdiansyah 21


Jurnal Ilmiah MTG Volume 14 No. 1, Juli 2023
ISSN 1979-0090
E-ISSN 2987-2154

Gambar 17. Lingkungan pengendapan Satuan Batupasir A Muara Enim (Horne, 1978)

Struktur Geologi Daerah Penelitian


Secara regional, kavling dari daerah penelitian diapit oleh sebuah sinklin yang memanjang mulai dari bagian barat laut
hingga bagian timur dan antiklin yang berada pada bagian tenggara. Pola jurus dari sinklin dan antiklin ini relatif sejajar.
Kavling daerah penelitian diketahui memiliki kedudukan lapisan batuan dengan jurus yang relatif berarah barat daya-timur
laut, arah jurus dan kemiringan lapisan batuan tersebut diketahui berdasarkan cropline sebaran batubara, korelasi data bor,
dan kedudukan dilapangan. Pola jurus pada daerah penelitian ini berbeda dengan pola jurus regional yang berarah barat laut-
tenggara. Perbedaan di duga dikarenakan adanya pembelokan jurus pada sebuah sinklin yang ditunjukkan dalam peta
geologi regional lembar Lahat (Gafoer dkk., 1986) pada (Gambar 18.) Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan, dijumpai
beberapa Cleat dan juga kekar-kekar, namun tidak dijumpai adanya sesar. Sehingga dapat diduga bahwa terjadinya
pembelokan ini diakibatkan oleh struktur geologi seperti sesar yang berada di luar kavling daerah penelitian.

Gambar 18. Peta geologi gegional Lahat (Gafoer, 1986) sebagai refrensi dalam penelitian geologi detil di lapangan

1. Kekar

Ditemukan kekar yang terdapat di batupasir (Gambar. 19) dan kekar pada batulanau (Gambar. 20). Kekar-kekar ini
digunakan untuk mengetahui arah tegasan yang mengindikasikan terjadinya sebuah gaya kompresi yang menyebabkan
lapisan batuan menjadi miring. Berdasarkan hasil analisa menggunakan software Dips, pada LP 14 didapatkan extension
joint sebesar N132°E/89° dan release joint sebesar N038°E/07° dengan tegasan utama kekar ini berarah 84°, N306°E,
tegasan medium 08°, N132°E dan tegasan terendah 01°, N222°E. Selanjutnya, pada LP 20 didapatkan extension joint
sebesar N132°E/89° dan release joint sebesar N045°E/10° dengan tegasan utama kekar ini berarah 81°, N315°E, tegasan
medium 09°, N133°E dan tegasan terendah 03°/223°E (Gambar. 21).

Gerhana Prasetyo Putra, Agus Harjanto, Basuki Rahmad, Reza Nurdiansyah 22


Jurnal Ilmiah MTG Volume 14 No.1, Juli 2023
ISSN 1979-0090
E-ISSN 2987-2154

Gambar 19. Kekar-kekar pada batupasir di LP 14. Arah Kamera N056°E

Gambar 20. Kenampakkan face Cleat dan butt Cleat pada batubara seam B1 di LP 20. Arah Kamera N070°

Gambar 21. Analisis stereografis kekar di LP 14 dan LP 20

2. Cleat

Pada daerah penelitian juga ditemukan keterdapatan cleat pada batubara. Menurut Laubach (1998), Cleat adalah
rekahan alami didalam lapisan batubara yang bersifat terbuka, terdiri atas face Cleat dan butt Cleat. Pengukuran pada
face cleat dapat digunakan untuk mengetahui arah tegasan (Kuncoro, 2012). Berdasarkan hasil pengukuran dilapangan
pada face Cleat dan butt cleat pada batubara seam A2 yang terisi pirit di LP 9 (Gambar. 22), Berdasarkan
analisa struktur cleat di LP 9 didapatkan arah orientasi face cleat sebesar N134°E dan N314°E (Gambar. 24).
Sedangkan cleat pada singkapan batubara LP 20 seam BI (Gambar. 23) memiliki arah orientasi face Cleat masing-
masing sebesar N136°E dan N316°E (Gambar. 25). Cleat di daerah penelitian ada yang terisi mineral pirit,
amber dan ada juga yang tidak terisi.

Gerhana Prasetyo Putra, Agus Harjanto, Basuki Rahmad, Reza Nurdiansyah 23


Jurnal Ilmiah MTG Volume 14 No. 1, Juli 2023
ISSN 1979-0090
E-ISSN 2987-2154

Gambar 22. Kenampakkan face Cleat dan butt Cleat pada batubara seam A2 yang terisi pirit di LP 9. Arah
Kamera N036°E

Gambar 23. Kenampakkan face Cleat dan butt Cleat pada batubara seam B1 LP 20. Arah Kamera N070°

LP 9

Gambar 24. Diagram Roset pada face Cleat di batubara seam A2 dengan arah umum N134°E dan N314°E

Gerhana Prasetyo Putra, Agus Harjanto, Basuki Rahmad, Reza Nurdiansyah 24


Jurnal Ilmiah MTG Volume 14 No.1, Juli 2023
ISSN 1979-0090
E-ISSN 2987-2154

LP 20

Gambar 25. Diagram Roset pada face Cleat di batubara seam B1 dengan arah umum N136°E dan N316°E

Sejarah Geologi Daerah Penelitian


Sejarah geologi daerah penelitian dimulai ketika pasokan material sedimen dari darat berupa pasir halus hingga lanau
yang mengandung batubara seam C terendapkan pada aliran sungai sebagai endapan distributary mouth-bar dan menjadi
satuan batupasir b muara enim. Satuan terendapkan di area yang terkena pengaruh pasang surut air laut yang mencerminkan
adanya peningkatan energi oleh air, hal ini dapat dibuktikan dengan berkembangnya struktur sedimen seperti ripple
lamination, parallel-lamination dan flaser.
Bersamaan dengan pengendapan satuan batupasir b, terendapkan material sedimen berukuran lanau hingga lempung
yang berada pada interdistributary bay. Interdistributary bay merupakan suatu paparan sedimen yang luas tempat rawa
batubara dapat berkembang. Satuan ini terendapkan sebagai satuan batulanau dengan sedikit pengaruh pasang surut air laut.
Tumbuhan rawa yang telah mati secara perlahan-lahan akan mengendap menjadi gambut yang selanjutnya menjadi
batubara.
Bersamaan dengan proses pengendapan, terjadi aktivitas tektonik yang menyebabkan terjadinya pengangkatan
Pegunungan Bukit Barisan yang disertai dengan erupsi. Hal inilah yang menyebabkan adanya sisipan material tuff pada
batupasir di interval seam A1 dengan A2 dan sisipan lempung pada batubara seam A1. Pada satuan ini terdapat 5 seam
batubara, yaitu seam A1, A2, suban marker, B1 dan B2. Bersamaan dengan pengendapan dari satuan batulanau masih
berlanjut, terendapkan material sedimen berukuran pasir halus hingga lanau yang mengandung seam batubara gantung
(hanging seam) yang kemudian terendapkan pada aliran sungai sebagai distributary mouth-bar dan menjadi satuan batupasir
a muara enim. Satuan ini terendapkan di area yang terkena pengaruh pasang surut air laut yang mencerminkan adanya
peningkatan energi oleh air, dibuktikan dengan hadirnya struktur sedimen seperti ripple-lamination dan parallel-lamination.
Satuan ini adalah satuan yang terakhir diendapkan pada daerah penelitian. Setelah pengendapan ketiga satuan batuan, di
daerah penelitian mengalami deformasi tektonik yang diakibatkan oleh adanya tegasan utama yang berasal dari arah barat
laut sehingga menyebabkan satuan batuan menjadi miring ke arah barat laut. Lokasi singkapan dan lintasan penelitian
tergambar pada peta lintasan (Gambar. 26). Satuan Batuan, hubungan stratigrafi dan deformasi tektonik tergambar dalam
peta geologi daerah penelitian oleh penulis (Gambar. 27).
Sejalan dengan penelitian terdahulu seperti Amijaya (2006), Susilawati (2006), Daulay (2008), Sosrowidjojo dan
Saghafi (2009) menjelaskan bahwa pengendapan endapan batubara di Formasi Muara Enim di Cekungan Sumatera Selatan
memiliki siklus pengendapan regresif. Menurut De Coster (1974). Kala Plio-Pleistosen terjadi fase kompresional yang
menyebabkan pola pengendapan di Cekungan Sumatera Selatan berubah menjadi regresi dan mempengaruhi pembentukan
lipatan dan sesar. Berikut model sejarah geologi lokasi penelitian yang diilustrasikan pada (gambar. 28).

Gerhana Prasetyo Putra, Agus Harjanto, Basuki Rahmad, Reza Nurdiansyah 25


Jurnal Ilmiah MTG Volume 14 No. 1, Juli 2023
ISSN 1979-0090
E-ISSN 2987-2154

Gambar 26 Peta Lintasan dan Lokasi Pengamatan Daerah Penelitian (Oleh Penulis)

Gambar 27. Peta Geologi Daerah Penelitian (Oleh Penulis)

Gerhana Prasetyo Putra, Agus Harjanto, Basuki Rahmad, Reza Nurdiansyah 26


Jurnal Ilmiah MTG Volume 14 No.1, Juli 2023
ISSN 1979-0090
E-ISSN 2987-2154

Gambar 28. Sejarah Geologi Daerah Penelitian (Oleh Penulis)

Gerhana Prasetyo Putra, Agus Harjanto, Basuki Rahmad, Reza Nurdiansyah 27


Jurnal Ilmiah MTG Volume 14 No. 1, Juli 2023
ISSN 1979-0090
E-ISSN 2987-2154

Identifikasi Karakteristik Seam Yang Berpotensi Dalam Pengembangan UCG

1. Lokasi Titik Bor Potensi UCG

Lokasi titik bor potensi UCG tepatnya berada berada di area PIT Banko Barat (Gambar. 29). Data koordinat titik bor
yang digunakan merupakan data pada saat ekplorasi awal, sehingga elevasi dari titik bor masih menggunakan peta topografi
sebelum ditambang.

Gambar 29. Peta Sebaran Titik Bor Daerah Penelitian

2. Kriteria Penentuan Potensi UCG

Dalam penelitiannya, penulis mengacu pada beberapa parameter sebagai referensi yang kemudian dimodifikasi,
sehingga didapatkan parameter akhir yang bertujuan untuk membuat rekomendasi pada seam batubara yang mana yang
dapat dilakukan UCG.

2.1. Parameter Penentuan UCG menurut Asep B. Purnama, (2017)

Asep B. Purnama, (2017) menentukan kriteria potensi pengembangan UCG yang berdasarkan pada karakteristik
batubara sebagai berikut :

1. Coal rank lignit hingga bituminus.


2. Kedalaman seam antara 200 m – 300 m.
3. Ketebalan batubara > 5 m.
4. Kadar air total + kadar abu < 60%.
5. Kondisi struktur geologi sederhana (tidak berkembang).
6. Diapit oleh batuan yang tidak lulus air (impermeable).

Gerhana Prasetyo Putra, Agus Harjanto, Basuki Rahmad, Reza Nurdiansyah 28


Jurnal Ilmiah MTG Volume 14 No.1, Juli 2023
ISSN 1979-0090
E-ISSN 2987-2154

Berikut data analisa parameter penentuan UCG di lokasi penelitian merujuk pada modifikasi kriteria potensi
UCG Menurut Asep B. Purnama (2017) (Tabel. 1) :

Tabel 1. Data Analisa Parameter penentuan UCG di Lokasi Penelitian Merujuk Pada Modifikasi KriteriaPotensi
UCG Menurut Asep B. Purnama (2017)

Kadar Air Kadar Abu Kadar Air Nilai Kalor Nilai Kalor
Kedalaman Ketebalan Kadar Air Kadar Abu
Sumur Seam Total Rata- Rata-Rata Total + Kadar (kcal/kg, Rata-Rata Rank
(m) (m) Total (%, ar) (%, adb)
Rata (%, ar) (%, adb) Abu (%) ar) (kcal/kg, ar)
RN_01 A1 88,97 10,17 23,00 3,60 5213
RN_02 – – – – – –

RN_03 – – – – – –
25,10 2,83 27,93 5282
RN_04 A1 36,38 10,75 25,90 1,70 5251
RN_05 A1 38,29 10,42 28,70 2,80 5176
RN_06 A1 119,58 11,42 22,80 3,20 5487
RN_01 A2 118,50 8,71 23,70 2,00 5141
RN_02 – – – – – –

RN_03 A2 15,60 10,50 – – –


24,63 1,70 26,33 5298
RN_04 A2 60,96 11,94 23,50 1,00 5420 S
RN_05 A2 67,85 10,39 26,30 2,50 5246 u
b
RN_06 A2 138,68 11,16 25,00 1,30 5383
-
RN_01 B1 140,40 11,53 26,20 4,30 5019 B
RN_02 B1 6,79 3,53 30,80 3,60 4918 i
t
RN_03 B1 40,20 12,43 – – –
26,48 3,16 29,64 5199 u
RN_04 B1 87,23 12,95 24,50 3,50 5292 m
RN_05 B1 92,34 12,84 26,80 2,50 5293 i
RN_06 B1 164,58 12,76 24,10 1,90 5473 n
u
RN_01 B2 159,05 4,04 24,90 3,50 5137
s
RN_02 B2 17,08 4,94 29,50 3,20 4978
RN_03 B2 58,50 4,30 – – – C
26,52 2,98 29,50 5165
RN_04 B2 106,19 4,64 29,00 2,70 5026
RN_05 B2 111,51 3,97 24,40 1,70 5541
RN_06 B2 183,16 4,45 24,80 3,80 5140
RN_01 C 203,68 10,43 23,40 5,10 5140
RN_02 C 61,79 10,93 27,60 3,80 5194
RN_03 C 100,00 10,36 – – –
24,96 3,24 28,20 5320
RN_04 C 148,43 10,33 26,20 2,90 5221
RN_05 C 154,84 10,04 26,30 2,50 5263
RN_06 C 224,82 10,71 21,30 1,90 5783

Berdasarkan hasil analisa data parameter penentuan UCG di Lokasi Penelitian Merujuk Pada Modifikasi
Kriteria Potensi UCG Menurut Asep B. Purnama (2017) (Tabel 1.), maka hanya didapati 1 seam yang dapat masuk
dalam kriteria pengembangan gasifikasi batubara bawah permukaan berdasarkan pada parameter kedalaman, ketebalan,
kadar air total + kadar abu dan rank batubara, yaitu seam C pada sumur RN_01 dan RN_06.

2.2. Parameter Penentuan UCG menurut Mehdi Najafi, dkk. (2014)

Mehdi Najafi, dkk. (2014) melakukan penelitian menggunakan parameter sebagai berikut :
1. Semua Rank Batubara (lignit hingga antrasit).
2. Kedalaman seam > 100 m.
3. Ketebalan batubara mulai dari 1 m hingga 25 m.
4. Kandungan abu < 60%
5. Sudut dip 0° – 70°
6. Intensitas sesar kurang dari 1 pada jarak 30 m

Gerhana Prasetyo Putra, Agus Harjanto, Basuki Rahmad, Reza Nurdiansyah 29


Jurnal Ilmiah MTG Volume 14 No. 1, Juli 2023
ISSN 1979-0090
E-ISSN 2987-2154

Berikut data analisa parameter penentuan UCG di lokasi penelitian merujuk pada modifikasi kriteria potensi
UCG Menurut Mehdi Najafi (2014) (Tabel. 2) :

Tabel 2. Data Analisa Parameter penentuan UCG di Lokasi Penelitian Merujuk Pada Modifikasi Kriteria
Potensi UCG Menurut Mehdi Najafi (2014)

Kadar Abu Nilai Kalor


Kedalaman Ketebalan Kadar Abu Nilai Kalor
Sumur Seam Rata-Rata Rata-Rata Rank
(m) (m) (%, adb) (kcal/kg, ar)
(%, adb) (kcal/kg, ar)

RN_01 A1 88,97 10,17 3,60 5213


RN_02 – – – – –
RN_03 – – – – –
2,83 5282
RN_04 A1 36,38 10,75 1,70 5251
RN_05 A1 38,29 10,42 2,80 5176
RN_06 A1 119,58 11,42 3,20 5487
RN_01 A2 118,50 8,71 2,00 5141
RN_02 – – – – –
S
RN_03 A2 15,60 10,50 – –
1,70 5298 u
RN_04 A2 60,96 11,94 1,00 5420 b
RN_05 A2 67,85 10,39 2,50 5246
-
RN_06 A2 138,68 11,16 1,30 5383
B
RN_01 B1 140,40 11,53 4,30 5019
i
RN_02 B1 6,79 3,53 3,60 4918
t
RN_03 B1 40,20 12,43 – –
3,16 5199 u
RN_04 B1 87,23 12,95 3,50 5292
m
RN_05 B1 92,34 12,84 2,50 5293
i
RN_06 B1 164,58 12,76 1,90 5473
n
RN_01 B2 159,05 4,04 3,50 5137
u
RN_02 B2 17,08 4,94 3,20 4978
s
RN_03 B2 58,50 4,30 – –
2,98 5165
RN_04 B2 106,19 4,64 2,70 5026
C
RN_05 B2 111,51 3,97 1,70 5541
RN_06 B2 183,16 4,45 3,80 5140
RN_01 C 203,68 10,43 5,10 5140
RN_02 C 61,79 10,93 3,80 5194
RN_03 C 100,00 10,36 – –
3,24 5320
RN_04 C 148,43 10,33 2,90 5221
RN_05 C 154,84 10,04 2,50 5263
RN_06 C 224,82 10,71 1,90 5783

Berdasarkan data analisa parameter penentuan UCG di lokasi penelitian berdasarkan modifikasi dari kriteria
Potensi UCG merujuk pada Mehdi Najafi (2014) (Tabel 2.) didapati seam yang dapat masuk dalam kriteria
pengembangan gasifikasi batubara bawah permukaan pada parameter kedalaman, ketebalan, kandungan abu dan rank
batubara, yaitu seam A1 pada sumur RN_06, seam A2 pada sumur RN_01 dan RN_06, seam B1 pada sumur RN_01 dan
RN_06, seam B2 pada sumur RN_01, RN_04, RN_05 dan RN_06 serta seam C pada sumur RN_01, RN_04, RN_05 dan
RN_06.

2.3. Parameter Penentuan UCG menurut Eska P. Dwitama (2017)


Berikut ini merupakan kriteria penentuan potensi UCG berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Eska P.
Dwitama, dkk. (2013):
1. Kedalaman batubara mulai dari 100 m hingga 800 m.
2. Ketebalan seam > 5 m.
3. Kadar air total + kadar abu < 60%.
4. Coal rank lignit hingga subbituminus.
5. Kemiringan lapisan (dip) antara 0° – 20°.
6. Batuan pengapit (overburden dan underburden) berpermeabilitas rendah.

Berikut data analisa parameter penentuan UCG di lokasi penelitian merujuk pada modifikasi kriteria potensi

Gerhana Prasetyo Putra, Agus Harjanto, Basuki Rahmad, Reza Nurdiansyah 30


Jurnal Ilmiah MTG Volume 14 No.1, Juli 2023
ISSN 1979-0090
E-ISSN 2987-2154

UCG Menurut Eska P. Dwitama (2017) (Tabel. 3) :

Tabel 3. Data Analisa Parameter penentuan UCG di Lokasi Penelitian Merujuk Pada Modifikasi Kriteria Potensi
UCG Menurut Eska P. Dwitama (2017)

Kadar Nilai
Kadar Air Kadar Air Kadar Abu Nilai Kalor
Kedalaman Ketebalan Kadar Abu Air Total Kalor
Sumur Seam Total (%, Total Rata- Rata-Rata Rata-Rata Rank
(m) (m) (%, adb) + Kadar (kcal/kg,
ar) Rata (%, ar) (%, adb) (kcal/kg, ar)
Abu (%) ar)
RN_01 A1 88,97 10,17 23,00 3,60 5213
RN_02 – – – – – –
RN_03 – – – – – –
25,10 2,83 27,93 5282
RN_04 A1 36,38 10,75 25,90 1,70 5251
RN_05 A1 38,29 10,42 28,70 2,80 5176
RN_06 A1 119,58 11,42 22,80 3,20 5487
RN_01 A2 118,50 8,71 23,70 2,00 5141
RN_02 – – – – – –
S
RN_03 A2 15,60 10,50 – – –
u
24,63 1,70 26,33 5298
RN_04 A2 60,96 11,94 23,50 1,00 5420
b
RN_05 A2 67,85 10,39 26,30 2,50 5246
-
RN_06 A2 138,68 11,16 25,00 1,30 5383
B
RN_01 B1 140,40 11,53 26,20 4,30 5019
i
RN_02 B1 6,79 3,53 30,80 3,60 4918
t
RN_03 B1 40,20 12,43 – – –
26,48 3,16 29,64 5199 u
RN_04 B1 87,23 12,95 24,50 3,50 5292
m
RN_05 B1 92,34 12,84 26,80 2,50 5293
i
RN_06 B1 164,58 12,76 24,10 1,90 5473
n
RN_01 B2 159,05 4,04 24,90 3,50 5137
u
RN_02 B2 17,08 4,94 29,50 3,20 4978
s
RN_03 B2 58,50 4,30 – – –
26,52 2,98 29,50 5165
RN_04 B2 106,19 4,64 29,00 2,70 5026
3,97 5541
C
RN_05 B2 111,51 24,40 1,70
RN_06 B2 183,16 4,45 24,80 3,80 5140
RN_01 C 203,68 10,43 23,40 5,10 5140
RN_02 C 61,79 10,93 27,60 3,80 5194
RN_03 C 100,00 10,36 – – –
24,96 3,24 28,20 5320
RN_04 C 148,43 10,33 26,20 2,90 5221
RN_05 C 154,84 10,04 26,30 2,50 5263
RN_06 C 224,82 10,71 21,30 1,90 5783

Berdasarkan data hasil analisa parameter penentuan UCG di lokasi penelitian berdasarkan modifikasi dari
kriteria Potensi UCG merujuk pada Eska P. Dwitama (2017) (Tabel 3.) didapati seam yang dapat masuk dalam kriteria
pengembangan gasifikasi batubara bawah permukaan berdasarkan pada parameter kedalaman, ketebalan, kadar air total +
kadar abu dan rank batubara, yaitu terdapat pada seam A1 pada sumur RN_06, seam A2 pada sumur RN_01 dan RN_06,
seam B1 pada sumur RN_01 dan RN_06 serta seam C pada sumur RN_01, RN_04, RN_05 dan RN_06.

2.4. Parameter Penentuan UCG menurut CSIRO Australia (2004)


CSIRO Australia (2004) pada penelitiannya menentukan kriteria potensial UCG sebagai berikut :
1. Ketebalan seam 10 m+ (optimal).
2. Rank mulai dari rendah hingga tinggi.
3. Kadar abu < 40 % (optimal), 40 – 60 % (potensi menurun).
4. Kedalaman 200 m – 400 m.
5. Dip 0° – 20° (optimal), 20° – 50° (meragukan)
6. Struktur geologi sederhana.
7. Jauh dari tubuh intrusi

Berikut data analisa parameter penentuan UCG di lokasi penelitian merujuk pada modifikasi kriteria potensi
UCG Menurut CSIRO Australia (2004) (Tabel. 4) :

Gerhana Prasetyo Putra, Agus Harjanto, Basuki Rahmad, Reza Nurdiansyah 31


Jurnal Ilmiah MTG Volume 14 No. 1, Juli 2023
ISSN 1979-0090
E-ISSN 2987-2154

Tabel 4. Data Analisa Parameter penentuan UCG di Lokasi Penelitian Merujuk Pada Modifikasi Kriteria Potensi
UCG Menurut pada CSIRO Australia (2004)

Kadar Abu Nilai Kalor


Kedalaman Ketebalan Kadar Abu Nilai Kalor
Sumur Seam Rata-Rata Rata-Rata Rank
(m) (m) (%, adb) (kcal/kg, ar)
(%, adb) (kcal/kg, ar)

RN_01 A1 88,97 10,17 3,60 5213


RN_02 – – – – –
RN_03 – – – – –
2,83 5282
RN_04 A1 36,38 10,75 1,70 5251
RN_05 A1 38,29 10,42 2,80 5176
RN_06 A1 119,58 11,42 3,20 5487
RN_01 A2 118,50 8,71 2,00 5141
RN_02 – – – – –
S
RN_03 A2 15,60 10,50 – –
1,70 5298 u
RN_04 A2 60,96 11,94 1,00 5420 b
RN_05 A2 67,85 10,39 2,50 5246
-
RN_06 A2 138,68 11,16 1,30 5383
B
RN_01 B1 140,40 11,53 4,30 5019
i
RN_02 B1 6,79 3,53 3,60 4918
t
RN_03 B1 40,20 12,43 – –
3,16 5199 u
RN_04 B1 87,23 12,95 3,50 5292
m
RN_05 B1 92,34 12,84 2,50 5293
i
RN_06 B1 164,58 12,76 1,90 5473
n
RN_01 B2 159,05 4,04 3,50 5137
u
RN_02 B2 17,08 4,94 3,20 4978
s
RN_03 B2 58,50 4,30 – –
2,98 5165
RN_04 B2 106,19 4,64 2,70 5026
C
RN_05 B2 111,51 3,97 1,70 5541
RN_06 B2 183,16 4,45 3,80 5140
RN_01 C 203,68 10,43 5,10 5140
RN_02 C 61,79 10,93 3,80 5194
RN_03 C 100,00 10,36 – –
3,24 5320
RN_04 C 148,43 10,33 2,90 5221
RN_05 C 154,84 10,04 2,50 5263
RN_06 C 224,82 10,71 1,90 5783

Berdasarkan data analisa parameter penentuan UCG di lokasi penelitian berdasarkan modifikasi dari kriteria
Potensi UCG merujuk pada CIRO Australia (2004) (Tabel 4.), maka hanya didapati 1 seam yang dapat masuk
dalam kriteria dalam pengembangan gasifikasi batubara bawah permukaan berdasarkan pada parameter
kedalaman, ketebalan, kadar abu dan rank batubara, yaitu seam C pada sumur RN_01 dan RN_06.

2.5. Parameter Penentuan UCG Modifikasi Penulis


Berdasarkan dari pertimbangan keempat parameter diatas penulis membuat parameter modifikasi (Tabel
5.) yang nantinya akan dipakai sebagai rekomendasi potensi UCG daerah penelitian.

Gerhana Prasetyo Putra, Agus Harjanto, Basuki Rahmad, Reza Nurdiansyah 32


Jurnal Ilmiah MTG Volume 14 No.1, Juli 2023
ISSN 1979-0090
E-ISSN 2987-2154

Tabel 5. Parameter Potensi UCG yang Dimodifikasi Penulis Untuk Kriteria Penelitian Potensi UCG di Lokasi
Penelitian

Kriteria Potensi UCG


Parameter
Kedalaman seam > 100 m
Ketebalan > 10 m
Kadar Abu + Kadar Air Total (< 60%)
Rank mulai dari lignit hingga bituminus
Dip lapisan (±20°)
Batuan pengapit bersifat impermeable
Struktur geologi sederhana
Jauh dari intrusi
Lebih dari 1 sumur

Berikut data analisa parameter penentuan UCG di lokasi penelitian merujuk pada modifikasi kriteria potensi
UCG Menurut CSIRO Australia (2004) (Tabel. 6) :

Tabel 6. Analisa Data Kriteria Potensi UCG yang Dimodifikasi Penulis Untuk Kriteria Penelitian Potensi UCG
di Lokasi Penelitian (modifikasi penulis)

Kadar Nilai
Kadar Air Kadar Air Kadar Abu Nilai Kalor
Kedalaman Ketebalan Kadar Abu Air Total Kalor
Sumur Seam Total (%, Total Rata- Rata-Rata Rata-Rata Rank
(m) (m) (%, adb) + Kadar (kcal/kg,
ar) Rata (%, ar) (%, adb) (kcal/kg, ar)
Abu (%) ar)
RN_01 A1 88,97 10,17 23,00 3,60 5213
RN_02 – – – – – –
RN_03 – – – – – –
25,10 2,83 27,93 5282
RN_04 A1 36,38 10,75 25,90 1,70 5251
RN_05 A1 38,29 10,42 28,70 2,80 5176
RN_06 A1 119,58 11,42 22,80 3,20 5487
RN_01 A2 118,50 8,71 23,70 2,00 5141
RN_02 – – – – – –
S
RN_03 A2 15,60 10,50 – – –
u
24,63 1,70 26,33 5298
RN_04 A2 60,96 11,94 23,50 1,00 5420
b
RN_05 A2 67,85 10,39 26,30 2,50 5246
-
RN_06 A2 138,68 11,16 25,00 1,30 5383
B
RN_01 B1 140,40 11,53 26,20 4,30 5019
i
RN_02 B1 6,79 3,53 30,80 3,60 4918
t
RN_03 B1 40,20 12,43 – – –
26,48 3,16 29,64 5199 u
RN_04 B1 87,23 12,95 24,50 3,50 5292
m
RN_05 B1 92,34 12,84 26,80 2,50 5293
i
RN_06 B1 164,58 12,76 24,10 1,90 5473
n
RN_01 B2 159,05 4,04 24,90 3,50 5137
u
RN_02 B2 17,08 4,94 29,50 3,20 4978
s
RN_03 B2 58,50 4,30 – – –
26,52 2,98 29,50 5165
RN_04 B2 106,19 4,64 29,00 2,70 5026
3,97 5541
C
RN_05 B2 111,51 24,40 1,70
RN_06 B2 183,16 4,45 24,80 3,80 5140
RN_01 C 203,68 10,43 23,40 5,10 5140
RN_02 C 61,79 10,93 27,60 3,80 5194
RN_03 C 100,00 10,36 – – –
24,96 3,24 28,20 5320
RN_04 C 148,43 10,33 26,20 2,90 5221
RN_05 C 154,84 10,04 26,30 2,50 5263
RN_06 C 224,82 10,71 21,30 1,90 5783

Berdasarkan data hasil analisa berdasarkan modifikasi penulis (Tabel. 6), didapati seam yang dapat masuk
dalam kriteria pengembangan gasifikasi batubara bawah permukaan berdasarkan pada parameter kedalaman,
ketebalan, kadar air total + kadar abu dan rank batubara, yaitu terdapat pada seam B1 pada sumur RN_01 dan
RN_06 dan seam C pada sumur RN_01, RN_03, RN_04, RN_05 dan RN_06.

Gerhana Prasetyo Putra, Agus Harjanto, Basuki Rahmad, Reza Nurdiansyah 33


Jurnal Ilmiah MTG Volume 14 No. 1, Juli 2023
ISSN 1979-0090
E-ISSN 2987-2154

Disini penulis menambahkan parameter tambahan, dimana salah satu syarat UCG harus lebih dari satu
sumur dikarenakan pada proses UCG harus minimal memakai 2 sumur yaitu sumur untuk injeksi dan sumur
produksi.

3. Analisa Potensi UCG


Pada penelitian ini penulis melakukan analisa potensi UCG menggunakan data sekunder berupa data
kolar titik bor, wireline log, coring batuan dan proksimat yang dibuktikan dengan kenampakan langsung
dilapangan. Pada tahap awal penulis melakukan interpretasi data wireline log untuk mengetahui litologi yang
ada pada setiap sumur. Lapisan batubara dapat diidentifikasi dengan baik dari data wireline log dengan
memperhatikan aspek ketebalan, kenampakan serta litologi yang berada pada bagian atas dan bawahnya.
Kemudian, penulis melakukan korelasi untuk mengetahui sebaran litologi bawah permukaan sehingga
didapatkan sebaran lapisan batubara dan juga mengetahui pada kedalaman berapa saja seam yang potensial.
Data proksimat digunakan untuk mengetahui kandungan kadar abu, kadar air total dan kalori dari tiap seam,
sehingga dapat diketahui seam mana yang berpotensi dalam pengembangan UCG.

3.1. Interpretasi Litologi


Interpretasi litologi dilakukan dengan menganalisa data wireline log dari 6 sumur yang ada pada daerah
penelitian. Analisa dilakukan dengan memperhatikan defleksi kurva pada log gamma ray dan log densitas. Log
gamma ray bekerja dengan memancarkan sinar gamma berenergi tinggi yang mampu menembus formasi, log ini
digunakan untuk melihat radioaktivitas alami dalam suatu formasi dan dapat digunakan untuk mengindentifikasi
litologi. Selanjutnya analisa dilanjutkan dengan melakukan pembandingan menggunakan data coring. Hal ini
dikarenakan batuan hasil coring biasanya terdapat beberapa bagian yang hilang, sehingga dapat mempengaruhi
hasil interpretasi. Lapisan batubara dapat diketahui karena memiliki nilai gamma ray yang lebih rendah
dibandingkan dengan batuan yang lain. Log densitas pada uncompesanted log terdapat dua jenis yaitu
interpretasi spasi densitas panjang (long density) dan spasi densitas pendek (short density) yang menggunakan
satuan CPS (count per second) yang bersifat berbanding terbalik dengan nilai gr/cm3 (Hutton & Brian, 1995 dan
Harsono, 1997). Interpetasi litologi dilakukan dengan menggunakan software WellCAD 4.3. Berikut ini
merupakan hasil interpretasi dari masing-masing sumur pada daerah penelitian :

3.1.1. Interpretasi Litologi Pada Sumur RN_01


Berikut merupakan hasil interpretasi litologi yang terdapat pada sumur RN_01 berdasarkan pola
defleksi dari log gamma ray dan log densitas tersaji pada (Tabel. 7) dibawah:

Gerhana Prasetyo Putra, Agus Harjanto, Basuki Rahmad, Reza Nurdiansyah 34


Jurnal Ilmiah MTG Volume 14 No.1, Juli 2023
ISSN 1979-0090
E-ISSN 2987-2154

Tabel 7. Interpretasi Litologi Sumur RN_01

Kedalaman (m) Ketebalan (m) Deskripsi

0,00 - 6,00 6,00 Open Hole


6,00 - 17,00 11,00 Batulanau
17,00 - 29,00 12,00 Batupasir
29,00 - 39,00 10,00 Batulanau
39,00 - 49,50 10,50 Batupasir
49,50 - 89,04 39,47 Batulanau
88,97 - 99,36 10,17 Batubara Seam A1
99,36 - 103,30 3,94 Batulempung
103,30 - 118,50 15,20 Batupasir Tufaan
118,50 - 127,28 8,71 Batubara Seam A2
127,28 - 135,76 8,48 Batulanau
135,76 - 137,00 1,24 Batubara Seam Suban Marker
137,00 - 140,40 3,40 Batulanau
140,40 - 152,46 11,53 Batubara Seam B1
152,46 - 159,05 6,59 Batulempung
159,05 - 163,15 4,04 Batubara Seam B2
163,15 - 169,52 6,37 Batupasir
169,52 - 203,68 34,16 Batulanau
203,68 - 214,58 10,43 Batubara Seam C
214,58 - 219,58 6,42 Batulanau

3.1.2. Interpretasi Litologi Pada Sumur RN_02


Berikut merupakan hasil interpretasi litologi yang terdapat pada sumur RN_02 berdasarkan pola
defleksi dari log gamma ray dan log densitas tersaji pada (Tabel. 8) :

Tabel 8. Interpretasi Litologi Sumur RN_02

Kedalaman (m) Ketebalan (m) Deskripsi

0,00 - 6,00 6,00 Open Hole


6,00 - 6,79 0,79 Batulanau
6,79 - 10,42 3,53 Batubara Seam B1
10,42 - 17,08 6,66 Batulempung
17,08 - 22,06 4,94 Batubara Seam B2
22,06 - 51,00 28,94 Batupasir
51,00 - 61,79 10,79 Batulanau
61,79 - 72,99 10,93 Batubara Seam C
72,99 - 77,96 4,97 Batulanau

3.1.3. Interpretasi Litologi Pada Sumur RN_03


Berikut merupakan hasil interpretasi litologi yang terdapat pada sumur RN_03 berdasarkan pola
defleksi dari log gamma ray dan log densitas tersaji pada (Tabel. 9):

Gerhana Prasetyo Putra, Agus Harjanto, Basuki Rahmad, Reza Nurdiansyah 35


Jurnal Ilmiah MTG Volume 14 No. 1, Juli 2023
ISSN 1979-0090
E-ISSN 2987-2154

Tabel 9. Interpretasi Litologi Sumur RN_03

Kedalaman (m) Ketebalan (m) Deskripsi

0,00 - 6,00 6,00 Open Hole


6,00 - 9,80 3,80 Batulempung
9,80 - 15,60 5,80 Batupasir Tufaan
15,60 - 26,10 10,50 Batubara Seam A2
26,10 - 35,00 8,90 Batulanau
35,00 - 36,25 1,25 Batubara Seam Suban Marker
36,25 - 40,20 3,95 Batulanau
40,20 - 53,40 12,43 Batubara Seam B1
53,40 - 56,00 2,60 Batulempung
56,00 - 58,50 2,50 Lose Core
58,50 - 62,80 4,30 Batubara Seam B2
62,80 - 91,00 28,20 Batupasir
91,00 - 100,00 9,00 Batulanau
100,00 - 110,60 10,36 Batubara Seam C
110,60 - 116,00 5,40 Batulanau

3.1.4. Interpretasi Litologi Pada Sumur RN_04


Berikut merupakan hasil interpretasi litologi yang terdapat pada sumur RN_04 berdasarkan pola
defleksi dari log gamma ray dan log densitas tersaji pada (Tabel. 10):

Tabel 10. Interpretasi Litologi Sumur RN_04

Kedalaman (m) Ketebalan (m) Deskripsi

0,00 - 6,00 6,00 Open Hole


6,00 - 36,38 30,38 Batulanau
36,38 - 47,43 10,75 Batubara Seam A1
47,43 - 55,90 8,47 Batulempung
55,90 - 60,96 5,06 Batupasir Tufaan
60,96 - 72,90 11,94 Batubara Seam A2
72,90 - 81,02 8,12 Batulanau
81,02 - 83,00 1,98 Batubara Seam Suban Marker
83,00 - 87,23 4,23 Batulanau
87,23 - 100,46 12,95 Batubara Seam B1
100,46 - 106,19 5,73 Batulempung
106,19 - 110,95 4,64 Batubara Seam B2
110,95 - 139,02 28,07 Batupasir
139,02 - 148,43 9,41 Batulanau
148,43 - 158,98 10,33 Batubara Seam C
158,98 - 160,78 1,80 Batulanau

6.3.1.5. Interpretasi Litologi Pada Sumur RN_05


Berikut merupakan hasil interpretasi litologi yang terdapat pada sumur RN_05 berdasarkan pola
defleksi dari log gamma ray dan log densitas tersaji pada (Tabel. 11) :

Gerhana Prasetyo Putra, Agus Harjanto, Basuki Rahmad, Reza Nurdiansyah 36


Jurnal Ilmiah MTG Volume 14 No.1, Juli 2023
ISSN 1979-0090
E-ISSN 2987-2154

Tabel 11. Interpretasi Litologi Sumur RN_05

Kedalaman (m) Ketebalan (m) Deskripsi

0,00 - 6,00 6,00 Open Hole


6,66 - 38,29 32,29 Batulanau
38,29 - 48,98 10,42 Batubara Seam A1
48,98 - 61,00 12,02 Batulempung
61,00 - 67,85 6,85 Batupasir Tufaan
67,85 - 78,24 10,39 Batubara Seam A2
78,24 - 87,02 8,78 Batulanau
87,02 - 89,48 2,46 Batubara Seam Suban Marker
89,48 - 92,34 2,86 Batulanau
92,34 - 105,52 12,84 Batubara Seam B1
105,52 - 111,51 5,99 Batulempung
111,51 - 115,6 3,97 Batubara Seam B2
115,6 - 139,28 23,68 Batupasir
139,28 - 154,84 15,56 Batulanau
154,84 - 165,12 10,04 Batubara Seam C
165,12 - 171,02 5,90 Batulanau

3.1.6. Interpretasi Litologi Pada Sumur RN_06


Berikut merupakan hasil interpretasi litologi yang terdapat pada sumur RN_06 berdasarkan pola
defleksi dari log gamma ray dan log densitas tersaji pada (Tabel. 12):

Tabel 12. Interpretasi Litologi Sumur RN_06

Kedalaman (m) Ketebalan (m) Deskripsi

0,00 - 6,00 6,00 Open Hole


6,66 - 14,02 8,02 Batupasir
14,02 - 31,70 17,68 Batulanau
31,70 - 34,00 2,30 Batupasir
34,34 - 63,00 29,00 Batulanau
63,63 - 71,00 8,00 Batupasir
71,00 - 119,58 48,58 Batulanau
119,58 - 131,370 11,42 Batubara Seam A1
131,37 - 135,960 4,59 Batulempung
135,96 - 138,680 2,72 Batupasir Tufaan
138,68 - 149,940 11,16 Batubara Seam A2
149,94 - 158,80 8,86 Batulanau
158,80 - 160,820 2,02 Batubara Seam Suban Marker
160,82 - 164,580 3,76 Batulanau
164,58 - 177,580 12,76 Batubara Seam B1
177,58 - 183,160 5,58 Batulempung
183,16 - 187,750 4,45 Batubara Seam B2
187,75 - 213,960 26,21 Batupasir
213,96 - 224,820 10,86 Batulanau
224,82 - 235,70 10,71 Batubara Seam C
235,70 - 238,980 3,28 Batulanau
238,98 - 240,320 1,34 Batupasir

3.2. Korelasi
Setelah melakukan interpretasi litologi berdasarkan data wireline log yang dibandingkan dengan coring
batuan, selanjutnya penulis melakukan korelasi dari 6 sumur untuk mengetahui sebaran litologi bawah

Gerhana Prasetyo Putra, Agus Harjanto, Basuki Rahmad, Reza Nurdiansyah 37


Jurnal Ilmiah MTG Volume 14 No. 1, Juli 2023
ISSN 1979-0090
E-ISSN 2987-2154

permukaan. Korelasi dikerjakan berdasarkan 2 metode, yaitu korelasi stratigrafi dan korelasi struktur
(Gambar. 30). Berikut ini merupakan arah sayatan dari masing-masing penampang korelasi :

Tidak dapat ditarik dalam korelasi


stratigrafi dikarenakan datum sudah
tersingkap ke permukaan

Gambar 30. Arah Sayatan Korelasi Daerah Penelitian

3.2.1. Korelasi Stratigrafi


Korelasi stratigrafi dikerjakan dalam bentuk penampang secara 2 dimensi berdasarkan lapisan kunci (key
marker) yang ditemukan pada setiap sumur, dimana lapisan ini dapat menunjukkan suatu penyebaran secara
lateral yang luas dan mudah dikenal dikarenakan lapisannya menunjukkan karakteristik tertentu dan mudah
dibedakan dari lapisan lainnya. Penggunaan lapisan ini bertujuan untuk melihat kemenerusan dari masing-
masing lapisan batuan pada saat pertama kali diendapkan dan belum mengalami deformasi. Sehingga, hasil
korelasi ini tidak dapat digunakan untuk mengetahui kondisi bawah permukaan yang ada pada saat ini. Suban
Marker merupakan lapisan batubara yang persebaran secara vertikalnya relatif lebih tipis jika dibandingkan
dengan lapisan batubara yang lain. Lapisan ini diapit oleh lapisan batulanau pada bagian atas dan bawahnya.
Peta korelasi stratigrafi sayatan A-A‟ (Gambar. 31), Peta korelasi stratigrafi sayatan B-B‟ (Gambar. 32),
Peta korelasi stratigrafi sayatan C-C‟ (Gambar. 323) dan korelasi stratigrafi sayatan D-D‟ (Gambar. 34).

Gerhana Prasetyo Putra, Agus Harjanto, Basuki Rahmad, Reza Nurdiansyah 38


Jurnal Ilmiah MTG Volume 14 No.1, Juli 2023
ISSN 1979-0090
E-ISSN 2987-2154

Gambar 31. Peta Korelasi Stratigrafi Sayatan A-„A

Gambar 32. Peta Korelasi Stratigrafi Sayatan B-„B

Gerhana Prasetyo Putra, Agus Harjanto, Basuki Rahmad, Reza Nurdiansyah 39


Jurnal Ilmiah MTG Volume 14 No. 1, Juli 2023
ISSN 1979-0090
E-ISSN 2987-2154

Gambar 33. Peta Korelasi Stratigrafi Sayatan C-„C

Gambar 34. Peta Korelasi Stratigrafi Sayatan D-„D

3.2.2. Korelasi Struktur Kedalaman


Korelasi struktur kedalaman dikerjakan dalam bentuk penampang secara 2 dimensi dengan menyamakan
elevasi dari setiap sumur sebagai datum. Korelasi ini bertujuan untuk mengetahui kondisi bawah permukaan
pada saat ini. Dari hasil korelasi, dapat diinterpretasikan bahwa pada daerah penelitian telah mengalami
deformasi yang menyebabkan posisi lapisan batuan berada pada kedalaman yang berbeda. Berdasarkan
penampang korelasi struktur kedalaman, diketahui bahwa arah pelamparan lapisan batuan berarah barat daya –
timur laut dengan kemiringan lapisan ke arah barat laut. Berikut peta korelasi struktur kedalaman tersaji pada
Peta korelasi korelasi struktur kedalaman sayatan A-A‟ (Gambar. 35), Peta korelasi struktur kedalaman
sayatan B-B‟ (Gambar. 36), Peta korelasi korelasi struktur kedalaman sayatan C-C‟ (Gambar. 37) dan
korelasi struktur kedalaman sayatan D-D‟ (Gambar. 38).

Gerhana Prasetyo Putra, Agus Harjanto, Basuki Rahmad, Reza Nurdiansyah 40


Jurnal Ilmiah MTG Volume 14 No.1, Juli 2023
ISSN 1979-0090
E-ISSN 2987-2154

Gambar 35. Peta Korelasi Struktur Kedalaman Sayatan A-„A

Gambar 36. Peta Korelasi Struktur Kedalaman Sayatan B-„B

Gerhana Prasetyo Putra, Agus Harjanto, Basuki Rahmad, Reza Nurdiansyah 41


Jurnal Ilmiah MTG Volume 14 No. 1, Juli 2023
ISSN 1979-0090
E-ISSN 2987-2154

Gambar 37. Peta Korelasi Struktur Kedalaman Sayatan C-„C

Gambar 38. Peta Korelasi Struktur Kedalaman Sayatan D-„D

3.3. Peta Iso Seam Batubara Potensi UCG


Berdasarkan parameter modifikasi oleh penulis, didapatkan 2 seam batubara yang berpotensi untuk
pengembangan gasifikasi batubara bawah permukaan, yaitu seam batubara B1 dan C. Dari kedua seam
tersebut kemudian dibuatlah peta bawah permukaan, seperti peta kedalaman seam batubara, peta ketebalan
seam batubara, peta iso abu, peta iso total moisture dan peta iso kalori.

Gerhana Prasetyo Putra, Agus Harjanto, Basuki Rahmad, Reza Nurdiansyah 42


Jurnal Ilmiah MTG Volume 14 No.1, Juli 2023
ISSN 1979-0090
E-ISSN 2987-2154

3.3.1. Peta Iso Seam Batubara B1


a. Peta Iso Kedalaman
Berdasarkan Peta Kedalaman Seam Batubara B1, diketahui bahwa lapisan batubara paling dalam berada
pada kedalaman 170 m (berwarna merah) pada bagian barat laut dan lapisan paling dangkal berada pada
kedalaman 20 m (berwarna ungu) pada bagian selatan daerah penelitian. Dengan demikian, diinterpretasikan
bahwa lapisan batubara seam B1 yang berpotensi dari segi kedalaman adalah pada sumur RN_01 dan RN_06
(Gambar. 39).

b. Peta Iso Ketebalan


Berdasarkan Peta Ketebalan Seam Batubara B1, diketahui bahwa lapisan batubara paling tebal (13,5 m)
ditandai dengan warna merah terdapat pada bagian timur laut dan lapisan paling tipis (8 m) ditandai dengan
warna hijau tua terdapat pada bagian selatan daerah penelitian. Dengan demikian, diinterpretasikan bahwa
lapisan batubara seam B1 yang berpotensi dari segi ketebalan adalah pada sumur RN_01, RN_03, RN_04,
RN_05 dan RN_06 (Gambar. 40).

c. Peta Iso Abu


Berdasarkan Peta Iso Abu Seam Batubara B1, diketahui bahwa lapisan batubara dengan kadar abu paling
tinggi dengan nilai 4,3%, adb (berwarna merah) berada pada bagian barat dan lapisan dengan kadar abu paling
rendah dengan nilai 1,9%, adb (berwarna ungu) berada pada bagian utara daerah penelitian. Dengan demikian,
diinterpretasikan bahwa lapisan batubara seam B1 yang berpotensi dari segi kadar abu terdapat pada seluruh
sumur, mengingat salah satu persyaratan dari potensi UCG adalah jumlah kadar air + kadar abu < 60%
(Gambar. 41).

d. Peta Iso Total Moisture


Berdasarkan Peta Iso Total Moisture Seam Batubara B1, diketahui bahwa lapisan batubara dengan kadar
air total paling tinggi dengan nilai 30%, ar (berwarna oranye) berada pada bagian selatan dan lapisan dengan
kadar air total paling rendah dengan nilai 24%, ar (berwarna ungu) berada pada bagian utara daerah penelitian.
Dengan demikian, diinterpretasikan bahwa lapisan batubara seam B1 yang berpotensi dari segi kadar air total
terdapat pada seluruh sumur, mengingat salah satu persyaratan dari potensi UCG adalah jumlah kadar air +
kadar abu < 60% (Gambar. 42).

e. Peta Iso Kalori


Berdasarkan Peta Iso Kalori Seam Batubara B1, diketahui bahwa lapisan batubara dengan nilai kalor
paling tinggi (5460 kcal/kg, ar) yang ditandai dengan warna merah berada pada bagian utara dari daerah
penelitian dan lapisan dengan nilai kalor paling rendah (4900 kcal/kg, ar) yang ditandai dengan warna ungu
berada pada bagian barat daya dari daerah penelitian. Dengan demikian, diinterpretasikan bahwa seluruh
lapisan batubara seam B1 pada keenam sumur berpotensi dari segi nilai kalor. Dimana, berdasarkan klasifikasi
ASTM dengan nilai kalor antara 4900 kcal/kg, ar – 5460 kcal/kg, ar yang jika dirata-rata sebesar 5180 kcal/kg,
ar, maka nilai kalor tersebut termasuk dalam kategori sub-bituminus c sehingga memenuhi syarat low rank
coal (Gambar. 43).

Gerhana Prasetyo Putra, Agus Harjanto, Basuki Rahmad, Reza Nurdiansyah 43


Jurnal Ilmiah MTG Volume 14 No. 1, Juli 2023
ISSN 1979-0090
E-ISSN 2987-2154

Gambar 39. Peta Iso Kedalaman Batubara Seam B1 (m)

Gambar 40. Peta Iso Ketebalan Batubara Seam B1 (m)

Gambar 41. Peta Iso Abu Batubara Seam B1 (%, adb)

Gerhana Prasetyo Putra, Agus Harjanto, Basuki Rahmad, Reza Nurdiansyah 44


Jurnal Ilmiah MTG Volume 14 No.1, Juli 2023
ISSN 1979-0090
E-ISSN 2987-2154

Gambar 42. Peta Iso Total Moisture Batubara Seam B1 (%, ar)

Gambar 43. Peta Iso Kalori Batubara Seam B1 (kcal/kg, ar)

3.3.2. Seam Batubara C


a. Peta Iso Kedalaman
Berdasarkan Peta Kedalaman Seam Batubara C, diketahui bahwa lapisan batubara paling dalam
berada pada kedalaman 230 m (berwarna merah) pada bagian barat laut dan lapisan paling dangkal
berada pada kedalaman 60 m (berwarna ungu) pada bagian tenggara daerah penelitian. Dengan demikian,
diinterpretasikan bahwa lapisan batubara seam C yang berpotensi dari segi kedalaman adalah pada sumur
RN_01, RN_03, RN_04, RN_05 dan RN_06 (Gambar. 44).

b. Peta Iso Ketebalan


Berdasarkan Peta Ketebalan Seam Batubara C, diketahui bahwa lapisan batubara paling tebal (10,95
m) ditandai dengan warna merah terdapat pada bagian tenggara dan lapisan paling tipis (10 m) ditandai
dengan warna ungu terdapat pada bagian tengah dari daerah penelitian. Dengan demikian,
diinterpretasikan bahwa semua lapisan batubara seam C pada keenam sumur berpotensi dari segi
ketebalan (Gambar. 45).

c. Peta Iso Abu


Berdasarkan Peta Iso Abu Seam Batubara C, diketahui bahwa lapisan batubara dengan kadar abu paling
tinggi dengan nilai 5,2%, adb (berwarna merah) berada pada bagian barat dan lapisan dengan kadar abu

Gerhana Prasetyo Putra, Agus Harjanto, Basuki Rahmad, Reza Nurdiansyah 45


Jurnal Ilmiah MTG Volume 14 No. 1, Juli 2023
ISSN 1979-0090
E-ISSN 2987-2154

paling rendah dengan nilai 1,8%, adb (berwarna ungu) berada pada bagian utara daerah penelitian.
Dengan demikian, diinterpretasikan bahwa lapisan batubara seam C yang berpotensi dari segi kadar abu
terdapat pada seluruh sumur, mengingat salah satu persyaratan dari potensi UCG adalah jumlah kadar air
+ kadar abu < 60% (Gambar. 46).

d. Peta Iso Total Moisture


Berdasarkan Peta Iso Total Moisture Seam Batubara C, diketahui bahwa lapisan batubara dengan kadar
air total paling tinggi dengan nilai 28%, ar (berwarna merah) berada pada bagian tenggara dan lapisan
dengan kadar air total paling rendah dengan nilai 21%, ar (berwarna ungu) berada pada bagian barat laut
daerah penelitian. Dengan demikian, diinterpretasikan bahwa lapisan batubara seam C yang berpotensi
dari segi kadar air total terdapat pada seluruh sumur, mengingat salah satu persyaratan dari potensi UCG
adalah jumlah kadar air + kadar abu < 60% (Gambar. 47).

e. Peta Iso Kalori


Berdasarkan Peta Iso Kalori Seam Batubara C, diketahui bahwa lapisan batubara dengan nilai kalor
paling tinggi (5800 kcal/kg, ar) yang ditandai dengan warna merah berada pada bagian barat laut dan
lapisan dengan nilai kalor paling rendah (5100 kcal/kg, ar) yang ditandai dengan warna ungu berada pada
bagian barat daya daerah penelitian. Dengan demikian, diinterpretasikan bahwa seluruh lapisan batubara
seam C pada keenam sumur berpotensi dari segi nilai kalor. Dimana, berdasarkan klasifikasi ASTM
dengan nilai kalor antara 5100 kcal/kg, ar – 5800 kcal/kg, ar yang jika dirata-rata sebesar 5450 kcal/kg,
ar, maka nilai kalor tersebut termasuk dalam kategori sub-bituminus c sehingga memenuhi syarat low
rank coal (Gambar. 48).

Gerhana Prasetyo Putra, Agus Harjanto, Basuki Rahmad, Reza Nurdiansyah 46


Jurnal Ilmiah MTG Volume 14 No.1, Juli 2023
ISSN 1979-0090
E-ISSN 2987-2154

Gambar 44. Peta Iso Kedalaman Batubara Seam C (m)

Gambar 45. Peta Iso Ketebalan Batubara Seam C (m)

Gambar 46. Peta Iso Abu Batubara Seam C (%, adb)

Gerhana Prasetyo Putra, Agus Harjanto, Basuki Rahmad, Reza Nurdiansyah 47


Jurnal Ilmiah MTG Volume 14 No. 1, Juli 2023
ISSN 1979-0090
E-ISSN 2987-2154

Gambar 47. Peta Iso Total Moisture Batubara Seam C (%, ar)

Gambar 48. Peta Iso Kalori Batubara Seam C (kcal/kg, ar)

4.1. Kesimpulan Potensi UCG


Dari hasil analisis keenam sumur, didapati bahwa diantara 5 seam batubara yang terdiri dari seam A1
(Mangus Atas), seam A2 (Mangus Bawah), seam B1 (Suban Atas), seam B2 (Suban Bawah), dan seam C
(Petai) terdapat 2 seam batubara yang paling berpotensi untuk dilakukan gasifikasi batubara bawah permukaan
pada daerah penelitian, yaitu seam B1 pada sumur RN_01 dan RN_06 serta seam C pada sumur RN_01,
RN_03, RN_04, RN_05 dan RN_06. Hal tersebut didasari dari parameter modifikasi yang telah dibuat oleh
penulis sebagai berikut :

1. Kedalaman seam batubara lebih dari 100 meter


Roof dari batubara seam B1 yang terdapat pada sumur RN_01 ditemukan pada kedalaman 140,40
meter dan sumur RN_06 pada kedalaman 164,58 meter sedangkan roof dari batubara seam C yang
terdapat pada sumur RN_01 ditemukan pada kedalaman 203,68 meter, sumur RN_03 pada kedalaman
100,00 meter, sumur RN_04 pada kedalaman 148,43 meter, sumur RN_05 pada kedalaman 154,84 meter
dan sumur RN_06 pada kedalaman 224,82 meter. Berdasarkan data tersebut maka potensi untuk
dilakukan UCG dari segi kedalaman sudah memenuhi persyaratan yang ditentukan. Dimana
pertambangan terbuka sudah tidak dapat memanfaatkan batubara yang terdapat pada kedalaman lebih
dari 100 meter (Dwitama dkk., 2017).

2. Ketebalan seam batubara yang lebih dari 10 meter

Gerhana Prasetyo Putra, Agus Harjanto, Basuki Rahmad, Reza Nurdiansyah 48


Jurnal Ilmiah MTG Volume 14 No.1, Juli 2023
ISSN 1979-0090
E-ISSN 2987-2154

Batubara seam B1 pada sumur RN_01 memiliki ketebalan 11,53 meter dan sumur RN_06 memiliki
tebal 12,76 meter sedangkan seam batubara C pada sumur RN_01 memiliki ketebalan 10,43 meter,
sumur RN_03 memiliki tebal 10,36 meter, sumur RN_04 memiliki tebal 10,33 meter, sumur RN_05
memiliki tebal 10,04 meter dan sumur RN_06 memiliki tebal 10,71 meter. Berdasarkan data tersebut
maka potensi untuk dilakukan UCG dari segi ketebalan sudah memenuhi persyaratan yang ditentukan.
Dimana ketebalan lebih dari 10 meter akan lebih ekonomis serta semakin tinggi efisiensi gasifikasi atau
semakin rendah heat loss (CSIRO, 2004).

3. Kadar Abu + Kadar Air Total < 60%


Seam batubara B1 memiliki kadar abu antara 1,90% s/d 4,30% (adb) sedangkan seam batubara C
memiliki kadar abu antara 1,90% s/d 5,10% (adb). Sementara kadar air total dari seam batubara B1
antara 24,10% s/d 30,80% (ar) sedangkan seam batubara C memiliki kadar air total antara 21,30% s/d
27,60% (ar). Jika di jumlahkan maka kadar abu + kadar air total < 60% yang berarti sudah memenuhi
persyaratan yang telah ditentukan (Purnama, dkk., 2017). Semakin besar kadar air dan kadar abu akan
semakin besar heat loss sehingga menurunkan efisiensi pembakaran (Miftahul Huda, TEKMIRA).

4. Rank mulai dari lignit hingga bituminus


Rank batubara dapat diketahui dari nilai kalor yang dihasilkan oleh batubara. Seam batubara B1
memiliki nilai kalor antara 4900 s/d 5460 kcal/kg, ar dengan nilai rata-rata sebesar 5180 kcal/kg, ar
sedangkan pada seam batubara C memiliki nilai kalor antara 5100 s/d 5800 kcal/kg, ar dengan nilai rata-
rata sebesar 5450 kcal/kg, ar. Berdasarkan pada klasifikasi ASTM, maka nilai kalor tersebut termasuk
kedalam rank sub-bituminus c yang berarti sudah memenuhi persyaratan yang ditentukan. (Purnama,
dkk., 2017).

5. Batuan pengapit bersifat impermeable


Bagian roof seam batubara B1 pada sumur RN_01 dan RN_06 terdiri dari litologi batulanau dengan
sisipan batubara tipis (suban marker) masing-masing setebal 13,12 meter dan 14,64 meter sedangkan
pada bagian floor seam batubara B1 pada sumur RN_01 dan RN_06 terdiri dari batulempung masing-
masing setebal 6,59 meter dan 5,58 meter. Selanjutnya, pada bagian roof seam batubara C pada sumur
RN_01, RN_03, RN_04, RN_05 dan RN_06 terdiri dari litologi batulanau masing-masing setebal 34,16
meter, 9,00 meter, 9,41 meter, 15,56 meter dan 10,86 meter sedangkan pada bagian floor seam batubara
C pada sumur RN_01, RN_03, RN_04, RN_05 dan RN_06 terdiri dari litologi batulanau masing-masing
setebal 6,42 meter, 5,40 meter, 1,80 meter, 5,90 meter dan 3,28 meter. Dengan demikian, diketahui
bahwa kedua seam batubara tersebut diapit oleh litologi yang bersifat impermeable, sehingga sudah
memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan (Purnama, dkk., 2017). Batuan impermeable berfungsi
untuk meminimalkan keluarnya gas ke lapisan lain (CSIRO, 2004). Kenampakan lapisan impermeable
dapat dilihat pada (Gambar 38. dan Gambar 39.).

6. Dip lapisan yang tidak terlalu curam (± 20°)


Dip dari beberapa lokasi pengamatan di daerah penelitian berkisar ± 20°, dimana dip tersebut tidak
terlalu curam. Dalam pelaksanaan UCG semakin curam dip, maka akan semakin besar resiko casing
patah oleh adanya pergerakan batubara saat proses gasifikasi dan juga beresiko kebocoran gas (Miftahul
Huda, TEKMIRA).

7. Kondisi struktur geologi yang relatif tidak berkembang


Struktur geologi seperti sesar dan lipatan tidak berkembang pada kavling daerah penelitian. Fakta
tersebut didukung juga dari peta geologi regional yang menunjukkan tidak adanya struktur geologi yang
kompleks. Struktur geologi secara potensi termasuk mengganggu dalam dilakukannya proses UCG,
semakin kompleks struktur geologi maka akan semakin berisiko terjadinya kebocoran gas dan juga banjir
jika dekat dengan akuifer (Purnama, dkk., 2017).

8. Jauh dari intrusi

Gerhana Prasetyo Putra, Agus Harjanto, Basuki Rahmad, Reza Nurdiansyah 49


Jurnal Ilmiah MTG Volume 14 No. 1, Juli 2023
ISSN 1979-0090
E-ISSN 2987-2154

Pada dasarnya intrusi akan meningkatkan nilai kalor pada batubara sehingga batubara yang tadinya
berkalori rendah menjadi berkalori tinggi. Batubara berkalori tinggi secara teori akan semakin rendah
kandungan gasnya jika dibanding batubara berkalori rendah (CSIRO, 2004).

9. Lebih dari satu sumur


Pada prinsipnya konsep UCG menggunakan minimal 2 sumur, yaitu sumur injeksi dan sumur
produksi. Sumur injeksi digunakan untuk menginjeksikan oksidan kedalam formasi, sedangkan sumur
produksi digunakan untuk mengalirkan raw gas menuju reaktor gasifikasi untuk mengikat CO2 dan
akhimya gas methane (CH4) dialirkan menuju pembangkit listrik (Furukawa, 2004; Bell dkk., 2011).
Disini penulis tidak menuliskan parameter sulfur dikarenakan pada proses UCG, sulfur oksida dapat
dihilangkan dengan teknik desulfurisasi gas buang atau FGD (flue-gas desulphurization) pada
pembangkit listrik (Ruiz I.S., dkk., 2008).

4.2. Area Potensi UCG Daerah Penelitian


Berdasarkan pada overlay dari peta kedalaman, peta ketebalan, dan peta iso kualitas seam B1 dan seam
C yang mengacu pada parameter gasifikasi modifikasi penulis dihasilkan peta area potensi UCG pada
daerah penelitian.

a. Peta Potensi UCG Seam Batubara B1


Berdasarkan pada peta potensi UCG seam batubara B1 didapatkan sebaran area potensi UCG terdapat
pada bagian barat laut dari kavling daerah penelitian, dimana terdapat 2 sumur yang berpotensi, yaitu
sumur RN_01, dan RN_06 (Gambar. 50). Di lokasi penelitian terdapat jelas singkapan batulanau
dengan sisipan batubara tipis suban marker yang berada di atas seam batubara B1, menunjukkan
lapisan impermeable pada bagian roof dengan kedudukan N210°E/23° di LP 20 (Gambar. 49).

Gambar 49. Batulanau dengan sisipan batubara tipis suban marker yang berada di atas seam
batubara B1, menunjukkan lapisan impermeable pada bagian roof dengan kedudukan N210°E/23° di
LP 20

Gerhana Prasetyo Putra, Agus Harjanto, Basuki Rahmad, Reza Nurdiansyah 50


Jurnal Ilmiah MTG Volume 14 No.1, Juli 2023
ISSN 1979-0090
E-ISSN 2987-2154

Gambar 50. Peta Potensi UCG Seam Batubara B1

b. Peta Potensi UCG Seam Batubara C


Berdasarkan pada peta potensi UCG seam batubara C didapatkan sebaran area potensi UCG yang
lebih luas dari area potensi seam batubara B1, dimana terdapat hampir pada seluruh area kavling daerah
penelitian, terdapat 5 sumur yang berpotensi, yaitu sumur RN_01, RN_03, RN_04, RN_05 dan RN_06.
Peta potensi UCG dapat dilihat pada (Gambar. 53). Di lokasi penelitian ditemukan jelas singkapan
batulanau yang berada di atas seam batubara C, menunjukkan lapisan impermeable pada bagian roof
dengan kedudukan N242°E/24° di LP 16 (Gambar. 52).

Gambar 52. Batulanau yang berada di atas seam batubara C, menunjukkan lapisan impermeable pada
bagian roof dengan kedudukan N242°E/24° di LP 16

Gerhana Prasetyo Putra, Agus Harjanto, Basuki Rahmad, Reza Nurdiansyah 51


Jurnal Ilmiah MTG Volume 14 No. 1, Juli 2023
ISSN 1979-0090
E-ISSN 2987-2154

Gambar 53. Peta Potensi UCG Seam Batubara C

PENUTUP

KESIMPULAN
Kesimpulan yang didapatkan dari penelitian ini adalah:
1. Daerah penelitian tersusun atas 3 satuan batuan, yaitu Satuan Batupasir B Muara Enim yang dicirikan
dengan litologi berupa batupasir tebal dengan struktur sedimen ripple-lamination, parallel-lamination dan
flaser, batulanau, dan batubara seam C. Selanjutnya terdapat Satuan Batulanau Muara Enim yang dicirikan
oleh litologi berupa batulanau dengan struktur sedimen perlapisan, batulempung karbonan, batulempung
tufaan sebagai sisipan pada batubara seam A1, batupasir tufaan, batubara seam A1, batubara seam A2,
batubara seam suban marker, batubara seam B1, dan batubara seam B2. Satuan terakhir adalah Satuan
Batupasir A Muara Enim yang dicirikan oleh litologi berupa batupasir dengan sisipan batubara gantung
(hanging seam) dengan struktur sedimen ripple-lamination dan parallel-lamination, dan batulanau.
Hubungan stratigrafi ketiga satuan batuan tersebut adalah selaras.

2. Struktur geologi mayor daerah penelitian secara regional kavling daerah penelitian diapit oleh sebuah sinklin
yang memanjang mulai dari bagian barat laut hingga bagian timur dan antiklin yang berada pada bagian
tenggara. Struktur geologi minor yang ditemukan pada daerah penelitian berupa kekar-kekar dan Cleat pada
batubara. Berdasarkan arah umum dari kekar-kekar dan face Cleat batubara dibeberapa lokasi pengamatan,
didapatkan gaya tegasan yang berarah barat laut-tenggara yang menyebabkan adanya perubahan jurus dari
struktur geologi regional relatif menjadi berarah barat daya-timur laut sehingga dapat diindikasikan adanya
struktur seperti sesar di luar kavling daerah penelitian yang menyebabkan terjadinya perubahan jurus.

3. Berdasarkan pada parameter gasifikasi modifikasi penulis seperti parameter kedalaman seam yang lebih dari
100 meter, ketebalan seam yang lebih dari 10 meter, kadar abu + kadar air total < 60%, rank lignit-
bituminus, diapit oleh batuan yang bersifat impermeable, dip yang tidak terlalu curam (± 20°), struktur
geologi sederhana, jauh dari tubuh intrusi, dan lebih dari 1 sumur maka dari hasil analisa didapatkan seam
B1 pada sumur RN_01 dan RN_06 serta seam C pada sumur RN_01, RN_03, RN_04, RN_05 dan RN_06

Gerhana Prasetyo Putra, Agus Harjanto, Basuki Rahmad, Reza Nurdiansyah 52


Jurnal Ilmiah MTG Volume 14 No.1, Juli 2023
ISSN 1979-0090
E-ISSN 2987-2154

sebagai seam yang berpotensi dalam pengembangan gasifikasi batubara bawah permukaan.

SARAN
Perlu diadakan penelitian lebih lanjut mengenai Underground Coal Gassififcation (UCG) dengan variable seam
batubara sebagai obyek penelitian dengan jumlah data lebih banyak supaya didapatkan kesimpulkan potensi
Underground Coal Gassififcation (UCG) pada daerah prospek. Selain itu perlu dilakukan analisa lanjutan
seperti analisa untuk mengetahui komposisi kandungan gas secara lebih presisi karena penelitian ini memiliki
banyak keterbatasan.

DAFTAR PUSTAKA
Anggayana, Komang. (2002). Diktat Kuliah Genesa Batubara. Departemen Teknik Pertambangan, ITB.
Anonim. (2011). Materi Training Kualitas Batubara. PT Geoservices, LTD, Samarinda.
Badhurahman, A. (2017). Drainage vs Dewatering System. Bandung: ITB Bandung.
Bemmelen, R.W. Van. (1949). The Geology of Indonesia, Vol. 1 A, Government Printing Office, The Hauge,
Amsterdam.
Bhutto, A. W., Bazmi A. A. dan Zahedi, G. (2013). “Underground coal gasification: From fundamentals to
applications”. Progress in Energy and Combustion Science, hal. 189 – 214. doi:
10.1016/j.pecs.2012.09.004.
Bishop, M.G. (2000). Petroleum Systems of The Northwest Java Province and Offshore South East Sumatra
Indonesia, United States of America, USGS.
Boggs, S. J. (2006). Principles of Sedimentology and Stratigraphy. New Jersey: Pearson.
CSIRO. (2004). Underground Coal Gasification: Evaluating Environmental Barriers. Exploration and Mining
Report P2004/5.
Dwitama, Eska P., Ramdhani Rizki M., Firmansyah F., dan Purnomo, W.S. (2017). Evaluasi Potensi Batubara
untuk Underground Coal Gasification pada lubang bor JWT-02, Daerah Ampah, Kabupaten Barito
Timur, Provinsi Kalimantan Tengah. Buletin Sumber Daya Geologi, Volume 12, No 3, 2017.
Fossen, H. (2010). Structural Geology, Published in the United States of America, Cambridge University Press,
New York.
Gafoer, S., Cobrie, T., & Purnomo, J. (1986). Peta Geologi Lembar Lahat Sumatra Selatan, Bandung : Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi.
Harsono, A. (1997). Evaluasi Formasi dan Aplikasi Log. Schlumberger Oilfield Services Company.
Horne, J., Ferm, F., B.P., & Baganz. (1978). Depositional Model in Coal Exploration dan Mine Planning in
Appalachian Region. The American Association of Petroleum Geologist, 2379-2411.
Howard, A. (1967). Drainage Analysis in Geology Interpretation: A Summation. AAPG Bulletin, 2246-2259.
Huda, M., tekMIRA. UCG Site Selection Powerpoint.
Hutton, A., dan Brian, J. (1995). Short Course on Coal Exploration, Manpower Development Centre for Mines
(MDCM), Bandung.
KGS. (2006). Method of Mining, Kentucky Geological Survey – University of Kentucky.
Kreynin, E. V. (2012). “An analysis of new generation coal gasification projects”. International Journal of
Mining Science and Technology, 22(4), hal. 509–515. doi: 10.106/j.ijmst.2012.01.012.
Kuncoro, P.B. (2012). Cleat Pada Lapisan Batubara dan Aplikasinya Di Dalam Industri Pertambangan.
Prosiding Simposium dan Seminar Geomekanika Ke-1 Tahun 2012 Menggagas Masa Depan Rekayasa
Batuan & Terowongan Di Indonesia. Program Studi Teknik Geologi, UPN “Veteran” Yogyakarta.
Kusumahbrata, Y., Heryanto, R., & Susanto, E. (2003). Voolluum 1 A Kajian Eksplorasi CBM Sumatera Selatan
Vo Kajian Eksplorasi CBM Sumatera Selatan Tim Studi Eksplorasi. Tidak di Publikasi.
Laubach, S.E., R.A. Marrett, J.E. Olson, dan A.R. Scott. (1998). Characteristics and origins of coal Cleat : a
review: International Journal of Coal Geology, v.35.
Martodjojo dan Djuhaeni. (1996). Sandi Stratigrafi Indonesia, Komisi Sandi Stratigrafi Indonesia, Ikatan Ahli
Geologi Indonesia, Bandung.

Gerhana Prasetyo Putra, Agus Harjanto, Basuki Rahmad, Reza Nurdiansyah 53


Jurnal Ilmiah MTG Volume 14 No. 1, Juli 2023
ISSN 1979-0090
E-ISSN 2987-2154

Nahjafi M., Jalali, S. M. E., dan KhaloKakaie, R. (2014). Ranking of coal for underground coal gasification
(UCG) in Mazino coal deposit, Tabas coal field, Iran. Journal of Geology dan Mining Research, Vol.
6(3), pp.39-45, 2014.
Nasution, Frillia dan Nalendra, Stevanus. (2017). Characterization Of Coal Quality Based On Ash Content From
M2 Coal-Seam Group, Muara Enim Formation, South Sumatra Basin. Journal of Geoscience,
Engineering, Environment, and Technology, Vol 02, No 03, 2017.
Pettijohn, F., Potter, P., dan Siever, R. (1973). Sand and Sandstone. Berling: Springer-Verlag Berlin-Heidelberg.
PT. Bukit Asam (Persero). 2007. Laporan Internal Pemboran Eksplorasi dan Geophysical Logging. Tbk. Satuan
Kerja Unit Eksplorasi Rinci. Tidak dipublikasikan.
Pulunggono, A., Sulaksono, A.H., Kosuma, C.G. (1992). Pre-Tertiary and Tertiary Fault Systems As A
Framework Of The South Sumatera Basin A Study Of Sar- Maps. Proceedings Indonesian Petroleum
Association, Twenty First Annual Convention.
Purnama, Asep B., Subarna, Yudha S., Sendjadja, Yoga A., Muljana, Budi dan Santoso, Binarko. (2017).
Potensi Batubara Untuk Pengembangan Gasifikasi Bawah Permukaan : Studi Kasus Desa Macang
Sakti, Provinsi Sumatera Selatan. Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara, Volume 13, Nomor 1,
Januari 2017 : 13 – 30.
Purnama, Asep B. dan Huda, Miftahul. (2019). A Preliminary Study of Indonesian Coal Basins for Underground
Coal Gasification Development. Indonesian Mining Journal, Vol.22, No. 1, April 2019 : 61–76.
Rahmad, B., Raharjo, S., Pramudiohadi, E.W., Ediyanto, Pratama, A.D. (2018). Pengembangan Lapangan
Gasifikasi Batubara dan Karakteristik Mikroskopis Seam-A Upper Daerah Bitahan, Rantau, Kab.
Tapin, Kalimantan Selatan. Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) 2018.
ISSN: 1979-91/X.
Rahmad, B., Raharjo, S., Ediyanto, Rahmanda, H.A. (2019). Underground Coal Gasification in the North Muara
Tiga Besar Utara Area, East Merapi District, Lahat Regency, South Sumatera. Prosiding Seminar
Nasional Teknik Kimia “Kejuangan”. ISSN: 1693-4393.
Shepard, F. P. dan Moore, D. G. (1955). Central Texas Coast Sedimentation Characteristics of Sedimentation
Environment, Recent History and Diagenesis. American Association of Petroleum Geologist Bulletin.
Soetjijo, H. (2006). Pengaruh Panjang Zona Gasifikasi Batubara Bawah Tanah Terhadap Komposisi Gas Hasil
(Effect of Zona Length of An Underground Coal Gasification to The Gas Product Composition). RISET
– Geologi dan Pertambangan Jilid 16 No.2 Tahun 2006, hal. 49 – 60.
Stach, E., Mackowsky, M., Th., Teichmuller, M., Tailor, GH., Chandra, D. dan Teichmuller, R. (1982). Stach’s
Textbook of Coal Petrology 3th Edition. Gebr. Borntraeger, Berlin-Stutgart.
Suarez-ruiz, I., dan Crelling, J.C. (2009). Applied Coal Petrology: The Role of Petrology in Coal Utilization.
Szabo, Jozsef., David, Lorant., Loczy Denes. (2006). Anthropogenic Geomorphology, Springer Ltd., University
of Debrecen, Hungaria.
Thomas, L. (2013). Coal Geology, John Wiley & Sons Ltd. The Atrium. Southern Gate. Chichester, Wes Sussex
P019 8SQ, England.
Tresnadi, H. (2014). Pengelolaan Air Asam Tambang di PIT Bangko Barat, Tanjung Enim Sumatera Selatan.
Jurnal PTSM-TPSA-Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, 2014.
Zuidam, V. (1985). Terrain Analysis and Classification using Aerial Photographs A Geomorphological
Approach.

Gerhana Prasetyo Putra, Agus Harjanto, Basuki Rahmad, Reza Nurdiansyah 54

Anda mungkin juga menyukai