id
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
karena itu dua kecamatan ini memiliki dua puskesmas untuk melayani masyarakat di
wilayah kerjanya.
Peneliti mengambil lima puskesmas sebagai sampel. Kelima puskesmas
sampel ini terletak pada lima kecamatan yang berbeda-beda. Jarak ibu kota
kecamatan dengan pusat kota menjadi dasar pengkodean puskesmas. Mulai dari
puskesmas yang paling dekat dengan pusat ibu kota Banda Aceh yaitu puskesmas A,
sampai puskesmas E yang terletak paling jauh dari pusat Kota Banda Aceh.
Penetapan sampel ini turut mempertimbangkan aksebilitas warga terhadap pusat
kota, sehingga mengambarkan kemudahan warga mengakses informasi dari pusat
pemerintahan Kota Banda Aceh dan diharapkan dapat mengambarkan karakteristik
warga yang berada jauh dan dekat dengan pusat Kota Banda Aceh. Berikut jarak ibu
kota kecamatan puskesmas sampel dengan pusat Kota Banda Aceh berdasarkan
sumber Bappeda Kota Banda Aceh, 2018.
Tabel 4.2
Jarak Ibu Kota Kecamatan Puskesmas Sampel Dengan Pusat Kota Banda Aceh
Puskesmas Jarak (km)
Puskesmas A 0,6
Puskesmas B 3,5
Puskesmas C 5,0
Puskesmas D 5,1
Puskesmas E 8,0
Sumber: Bappeda Kota Banda Aceh, 2018
B. HASIL PENELITIAN
Berdasarkan data endemisitas difteri di Kota Banda Aceh (lampiran VI
halaman 107), ditetapkan lima puskesmas sampel untuk dijadikan objek penelitian
ini, yaitu puskesmas A, B, C, D, dan E. Puskesmas-puskesmas dijadikan fokus
penelitian berdasarkan kriteria sampel yang telah dibuat sebelumnya yaitu puskesmas
yang di tahun 2018 terdapat pasien difteri (PD), puskesmas yang terdapat suspek
difteri (SD) dan puskesmas tidak terdapat kasus difteri (ND).
Wawancara terhadap informan utama dilakukan pada dokter di lima
puskesmas sampel. Tahapan ini dilaksanakan untuk mendapatkan gambaran
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
37
Tabel 4.3
2. Imunisasi
a. Cakupan Imunisasi
1) Tahun 20173 88,3% 81,8% 85,2% 67,2% 89,6%
2) Tahun 2018 (sampai dengan Juli)3 55,1% 49,6% 33,3% 49,2% 50,2%
b. Upaya penguatan imunisasi
1) Promkes:1 Rutin setiap Rutin setiap Rutin setiap Rutin setiap Rutin setiap Harus
bulan bulan bulan bulan bulan diutamakan
2) Keterlibatan petugas kesehatan + + + + + Diakui
lainnya dan lintas sektor1
c. Repon masyarakat terhadap penetapan - + + - - Pengetahuan
KLB difteri di Banda Aceh1 Masyarakat
meningkat
d. Kendala :
1) Isu halal haram1 + + + + +
2) Isu KIPI1 + + + + +
3) Penolakan orang tua untuk + + + + + Diakui
mengimunisasi anaknya1
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 39
4. Penyelidikan Epidemiologi
a. Petugas kesehatan yang berperan1,2,3 Surveilans Surveilans Surveilans Surveilans Surveilans Surveilans
b. Jumlah tenaga surveilans1,2,3 1 orang 1 orang 1 orang 1 orang 1 orang
c. Pelaporan survey dalam 24 jam1,3 + + + - + Laporan W1
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 40
8. ORI
a. Waktu pelaksanaan ORI1,3 2 kali 2 kali 1 kali 1 kali 1 kali
(2017&2018) (2017&2018) (2017) (2017) (2017)
b. Koordinasi dengan dinas kesehatan1 + + + + + +
c. Keterlibatan puskesmas lain1 + + + + + ORI massal
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 42
9. SDM
a. Dokter1,2 Memadai Memadai Memadai Memadai Memadai Perlu
meningkatkan
lagi ilmunya
b. Surveilans1,2 Perlu Perlu Perlu Perlu Perlu Perlu ditambah
ditambah ditambah ditambah ditambah ditambah
c. Tenaga laboratorium terlatih 1,2 - - - - - Perlu ditambah
Keterangan :
+ : Ada 1: Data hasil wawancara informan utama dan traingulasi
- : Tidak ada 2: Data hasil observasi
SD : Suspek difteri di tahun 2018 3: Data arsip atau dokumen
PD : Positif difteri di tahun 2018
ND : Negatif difteri di tahun 2018
library.uns.ac.id 43
digilib.uns.ac.id
“Selain penyuluhan yang kita turun (datang) ke sekolah atau lintas sektor,
kita juga menyelipkan edukasi pada pelayanan-pelayanan di luar puskesmas
seperti salah satunya posyandu, jadi setiap ada posyandu biasanya ada
tenaga kesehatan, baik itu dokter langsung yang turun (mengadakan
penyuluhan) atau tenaga kesehatan lain seperti paramedis (yang) akan
library.uns.ac.id 45
digilib.uns.ac.id
“Kalau dari pihak tenaga kesehatan atau dari sistemnya sendiri biasanya
tidak ada kendala, biasanya kendala itu dari masyarakatnya sendiri, saat kita
melaksanakan ORI ke sekolah, sulit sekali mendapatkan izin dari orang tua,
orang tua sangat sulit sekali memberi izin. Jadi (prosedur) sebelum kita
melaksanakan ORI, biasanya kita membagikan surat pernyataan melalui
guru, nanti(nya) guru akan menyampaikan ke orang tua atau wali murid, jadi
(diharapkan) ketika pelaksanaan ORI surat tersebut sudah kembali ke tangan
tenaga kesehatan. (Sehingga) siapa yang kita suntik (vaksin) adalah dari
surat yang dikembalikan, ada beberapa yang mengizinkan akan kita suntik
(vaksin),(te) tapi jika tidak dibolehkan kita tidak akan memaksa untuk suntik
(vaksin anak tersebut). Sebenarnya memang cakupan imunisasi secara
keseluruhan di provinsi juga turun di 2017, kalau tidak salah 60%. Salah
satu kendalanya itu (adanya kelompok) anti vaksin dan isu halal haram di
Aceh sangat berkembang, apalagi puskesmas di Kota Banda Aceh memang
rata-rata berada di kota (sehingga) informasi bisa masuk dari mana
saja,tentunya balik (kembali) lagi ke tingkat pendidikan masyarakat, mereka
(dapat) menyerap (informasi) dari mana pun tanpa memfilter (terlebih
dahulu)”
Kekhawatiran besar mengenai KIPI setelah imunisasi DPT juga
terjadi di kalangan masyarakat Kota Banda Aceh. Informan utama puskesmas
B menyatakan masyarakat takut membawa anaknya untuk diimunisai DPT
karena akan timbul efek demam yang membuat anak yang semula sehat akan
sakit setelah diimunisasi. Berikut pernyataan dokter puskesmas B:
“Kendala yang ditemukan mungkin izin dari orang tua yang sedikit
terkendala untuk vaksin, tetapi pada kasus difteri ini malah berbalik
sebenarnya, banyak orang tua yang datang ke puskesmas untuk meminta
divaksin, itu mungkin akibat dari maraknya media sosial, media elektronik
yang semua membahas difteri dan komplikasinya, (hal) itu juga yang
membuat orang tua (menjadi) takut ya, jadi (sehingga) tanpa disuruh (diajak
berulang kali) (dan) tanpa pemaksaan orang tua itu datang untuk meminta
divaksin. (Hal) ini sebenarnya (menjadi) kelebihan bukan kendala, karena
sebelumnya kendala di kita adalah orang tua yang tidak membolehkan
(mengizinkan) anaknya divaksin, apa lagi vaksin DT (yang) bisa
menyebabkan demam, jadi (banyak) orang tua (yang) malas membawa
anaknya sehingga cakupan imunisasi kita agak sedikit rendah, namun untuk
kasus difteri ini, masyarakatnya yang lebih antusias untuk divaksin”.
2. Penemuan Dan Penatalaksanaan Kasus Difteri
Pada tahun 2017 kasus difteri ditemukan merata di seluruh puskesmas
sampel, namun pada tahun 2018 hanya puskesmas A dan B yang terdapat
kasus difteri. Setelah dilakukan pemeriksaan laboratorium, kasus difteri di
puskesmas A dilaporkan sebagai suspek difteri sedangkan puskesmas B
library.uns.ac.id 50
digilib.uns.ac.id
“Sudah (pernah ditemukan langsung oleh dokter di puskesmas E), saat itu
(ditemukan) di tempat wilayah kerja kami sekitar akhir Desember 2017 ada
kasus difteri. Pasien dibawa oleh orang tuanya ke puskesmas E dan di periksa
oleh dokter, menurut (diagnosis) dokter ini (merupakan pasien) terduga
difteri. Dokter (kemudian) langsung merujuk ke rumah sakit dr.Zainoel
Abidin”.
Dalam upaya penemuan kasus secara cepat, dokter puskesmas sampel
telah berupaya mengenalkan kepada masyarakat bagaimana tanda dan gejala
penyakit difteri. Diharapkan masyarakat segera memeriksakan dirinya ke
pusat layanan kesehatan bila dicurigai memiliki keluhan mirip difteri.
Edukasi mengenai difteri dimasukkan dalam setiap kegiatan promosi
kesehatan masyarakat yang dilaksanakan puskesmas setiap bulannya, sebagai
library.uns.ac.id 52
digilib.uns.ac.id
“Yang kedua (hal yang) memang harus (dilakukan oleh dokter puskesmas)
yaitu (selalu) update (informasi mengenai difteri). Penyakit ini (adalah
penyakit) yang (sudah ada sejak) lama dan pemeriksaannya tergantung pada
anak. (Sering terjadi) ini terutama kita (dokter)paling jarang buka
(memeriksa) mulut, keluhan apapun karena kita sekarang sedang ada
apa(kasus) KLB, jadi itu jangan sampai gak(tidak) diperiksa (mulut). Edukasi
deh, yang paling utama. Edukasi sampai mereka tahu seberapa pentingnya
(difteri) untuk bisa dicegah, kalau mereka sudah kena (terinfeksi), bagaimana
mengenali secara cepat untuk merujuk secara cepat supaya gak (tidak) terjadi
korban yang banyak. Garda depan lah dokter puskesmas. Kita punya banyak
kok yang kiriman mereka dan ternyata memang confirm difteri”.
Kendala berikutnya dalam hal penemuan kasus adalah ketidaksesuaian
data domisili. Pada beberapa kejadian ditemukan bahwasanya pasien difteri
yang dilaporkan oleh dinas kesehatan ke puskesmas ternyata tidak lagi
berdomisili di wilayah kerja puskesmas tersebut, tetapi masih memiliki Kartu
Tanda Penduduk (KTP) yang lama. Hal ini tentu saja menyebabkan
kesimpangsiuran dan menyulitkan pelaksanaan penyelidikan epidemiologi.
menyangkalnya dan mengatakan bahwa data tersebut tidak sesuai dengan hasil
penyelidikan epidemiologi mereka.
Pasien difteri yang terdata pada lampiran VI adalah pasien yang saat
terserang penyakit difteri tidak lagi berdomisili di wilayah kerja puskesmas D
ataupun puskesmas E tetapi masih memiliki KTP di wilayah kerja puskesmas
D dan E, sehingga penyelidikan epidemiologi mengenai kontak erat dan karier
tidak dilakukan di kedua puskesmas tersebut. Temuan ini sudah peneliti
konfirmasikan kembali ke Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh dan pihak dinas
kesehatan juga mengakui bahwa pendataan data endimisitas difteri dilakukan
berdasarkan catatan KTP dan Kartu Keluarga (KK) pasien.
3. Penyelidikan Epidemiologi
Penyelidikan epidemiologi termasuk ke dalam program
penanggulangan difteri yang dilaksanakan oleh surveilans. Surveilans
memegang peranan penting dalam mengumpulkan data terkait kronologis
kejadian kasus difteri. Surveilans mengumpulkan data terkait kronologis
kejadian kasus difteri, mendata keluarga dan tetangga sekitar yang termasuk
dalam kontak erat serta menyelidiki kemungkinan karier diantara kontak erat.
Sebagaimana yang disampaikan oleh dokter puskesmas A:
“Penyelidikan epidemiologi sudah dilakukan di puskesmas dan dilaksanakan
oleh surveilans”.
Penyelidikan epidemiologi dilakukan segera setelah puskesmas
mendapatkan laporan kasus difteri. Dikutip dari wawancara dengan dokter
puskesmas B, bahwa bila terdapat kasus difteri, petugas kesehatan langsung
melakukan survey untuk pendataan dan memberikan edukasi ke rumah
terduga difteri :
“Kalaupun ada kasus yang kita jumpai di lapangan, ada yang dicurigai kasus
difteri, kita langsung (melaksanakan) survey ke rumah (pasien), melihat
kondisi si pasien, kita lakukan (edukasi berupa)penjelasan. Kita edukasi agar
si pasien juga bisa paham mengenai apa itu difteri. Jadi walaupun satu
keluarga ada (ditemukan hanya) satu orang yang terkena difteri (te)tapi
(anggota) keluarga yang lainnya juga harus diberikan obat prophilaksis untuk
pencegahan difteri”.
Kemudian ditambahkan oleh dokter pada puskesmas E:
library.uns.ac.id 54
digilib.uns.ac.id
“Saat itu (ketika terdapat kasus di tahun 2017) sudah (dilakukan penyelidikan
epidemiologi), tetap dengan koordinasi dengan dinas kesehatan, karena ini
bukan main-main, satu kasus sudah dianggap KLB”.
lain seperti misalnya tetangga pasien, teman bermain, teman mengaji, dan
guru di sekolah pasien. Demikian pula pada pendataan karier. Hal ini
dibuktikan dengan laporan penyelidikan epidemiologi puskesmas B yang
didapat dari triangulasi data (lampiran IX.B, halaman 214).
Kendala lain yang temui di lapangan dalam penyelidikan epidemiologi
adalah tidak validnya data diri pasien. Sering kali ditemui keluarga pasien
yang tidak kooperatif dalam memberikan keterangan kepada surveilans,
bahkan ada penolakan dari masyarakat. Mereka beranggapan bahwa difteri
merupakan penyakit yang menakutkan. Keluarga pasien takut dikucilkan,
apabila data diri mereka diserahkan ke petugas. Hal ini diungkapkan oleh
informan triangulasi T1 di Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh :
“Kita orang lapangan tidak semudah orang yang duduk di belakang meja,
saya bilang (katakan) terus (terang), (bahwa) anak-anak saya (bawahan
informan) yang di puskesmas maupun di dinas ini ada juga surveilansnya
(sudah) cukup banyak menemui kendala. Saat mereka turun itu (melakukan
penyelidikan epidemiologi)(kendala) yang pertama (adalah) alamat. Alamat
(yang diberikan) sering (kali) mereka (pasien) itu (hanya) mengatakan nama
kampungnya saja, terus kita harus mencari tahu lagi (secara lengkap).
Kemudian penerimaan dari masyarakat itu sendiri, penerimaan dari
keluarga yang (ter)kena kasus, jadi hal-hal seperti itu yang mungkin kita
perlu lebih berbesar hati. Untuk petugas saya sendiri ya itu kendala kita di
lapangan, yang pertama penolakan dari keluarganya kemudian alamat yang
tidak jelas yang dibuat di status itu sendiri ya jadi membuat petugas saya itu
harus bolak- balik, itu kendala yang saya dapatkan selama ini”.
(dan) langsung (segera) kita rujuk ke rumah sakit umum daerah dr.Zainoel
Abidin”.
Pasien yang telah dirujuk ke rumah sakit dan di rawat di ruang isolasi
masih tetap dibawah pemantauan surveilans puskesmas. Petugas melakukan
pelaporan terkait dengan kronologis terjadinya kasus difteri dan keseluruhan
data lengkap pasien dan keluarganya serta melakukan pemantauan
perkembangan pasien sampai pasien tersebut dinyatakan pulih. Seperti
pernyataan dokter puskesmas A, yaitu:
“..Setelah ada sosialisasi pelatihan, semua dokter spesialis anak (yang ada
di) hampir semua kabupaten sekarang sudah bisa merawat pasien (difteri) di
daerahnya. Kalau di rumah sakit dr. Zainoel Abidin (merawat pasien) yang
library.uns.ac.id 58
digilib.uns.ac.id
dekat-dekat (saja) misalnya Aceh Besar dan Banda Aceh. Sejauh ini pun kita
masih memadai (ruangan isolasi yang)tersedia, karena rumah sakit Meuraxa
dan rumah sakit Ibu Anak juga sudah (dapat) merawat (pasien difteri), ,
belum pernah memang ada kasus yang kita kembalikan ke rujukan asal
karena ruang isolasinya kurang karena (sekarang) semua sudah bergerak
bersama”.
Dalam hal merujuk pasien ke rumah sakit tidak ditemukan kendala,
dokter puskemas yang mendiagnosis awal pasien terduga difteri akan segera
merujuk pasien ke rumah sakit. Rumah sakit umum daerah dr. Zainoel Abidin.
(RSUDZA) yang menjadi pusat rujukan juga tidak mengalami hambatan
dalam hal penanganan pasien. Ketersediaan ruang isolasi yang memadai dan
petugas kesehatan yang kompeten di bidangnya menjadikan penanganan
pasien dapat dilaksanakan secara maksimal. Hal ini juga dituturkan oleh
informan triangulasi T2 :
“Ruang isolasi ok, perawat kita karena ini sudah sejak tahun 2012, sudah
teredukasi dengan baik, tetap merawat pasien dengan baik, karena sudah tau
APD, kalau ditempat lain atau sebelum-sebelumnya gak mau (tidak bersedia)
ya..(mungkin karena)takut, kalau mereka sepertinya gak(tidak) ada kendala”.
“Belum ada pelatihan cara pengambilan spesimen bagi laboran, tidak ada
reagen, jadi semua diserahkan ke dinas”.
karena mereka kan (sudah lebih dulu) di beri tahu hasilnya negatif, orang tua
merasa seperti pemeriksaan lain kalau negatif berarti tidak (terinfeksi),
padahal mereka sudah menghabiskan waktu yang lumayan lama, terus 9dan
lagi) tetangganya (juga) sudah tahu, teman sekolahnya sudah tahu bahwa dia
sakit itu (difteri) sehingga ada beban, beban moral, karena pemahaman
beda, ada yang dijauhin (dikucilkan), itu kalau menurut saya lumayan lah ya
kendalanya”.
“Jadi seperti kasus kemarin itu ada kasus yang kita curigai anggota
keluarganya sudah ada yang menderita difteri, langsung kita jelaskan ke
anggota keluarga yang di rumah, ibu dan ayahnya juga, kita jelaskan kalau
satu anggota keluarga sudah terkena difteri, kita curigai bisa terjadi
penularan sehingga anggota keluarga yang ada di rumah itu langsung kita
berikan antibiotik eritromisin 4x500 mg selama tujuh hari dan kita juga
menjelaskan efek samping dari eritromisin yang bisa meningkatkan asam
lambung, jadi untuk antisipasinya kita langsung memberikan obat
antasidanya, untuk antisipasi efek samping obat eritromisin. Pada anak-anak
kita berikan dalam bentuk sirup sesuai dengan dosis berat badan anak dan
juga kita berikan selama tujuh hari”.
Kontak erat yang terdata dalam penyelidikan epidemiologi di
puskesmas B hanya terbatas pada angggota keluarga yang tinggal dalam satu
library.uns.ac.id 62
digilib.uns.ac.id
“Untuk 2018 (ORI sudah dilaksanakan) satu kali di bulan April dan (di tahun)
2017 juga sudah. Untuk pertama kali dilaksanakan ORI memang pasiennya
bukan dari Banda Aceh, dari Aceh Utara atau Aceh Timur kalau tidak salah,
saat itu ada kegiatan di salah satu sekolah yaitu SMA FH, kemudian pasien
itu demam dan dia pergi berobat, di saat itu ditemukan dan dilaksanakan ORI
pertama kali di sekolah tersebut”.
sekolah dasar kelas satu sampai dengan tiga. Berikut pernyataan dari dokter
puskesmas B :
“Untuk ORI difteri ini kita kebetulan di puskesmas itu memang ada program
bulan imunisasi, disini kita turun (berkunjung) ke sekolah-sekolah. Sekolah
dasar di bulan November, jadi kita rutin turunnya (melakukan kunjungan),
dari mulai kelas 1 sampai kelas 3, kita mengedukasikan tentang difteri”.
ORI di puskesmas D dilaksanakan segera setelah ditemukan kasus
difteri di wilayah kerja puskesmas. Pelaksanaan ORI bekerja sama dengan
Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh dan warga, seperti petikan wawancara
dengan informan puskesmas D:
“Awalnya di semua daerah yang ada (terdapat) kasus gitu kan (hanya) untuk
dilakukan ORI, kemudian keluar instruksi lagi (bagi) kabupaten yang
memang kasusnya terus bertambah yang tidak ada pengurangan, (yaitu)
empat kabupaten yang harus melaksanakan ORI massal. Kalau dulu kita
hanya melakukan ORI di wilayah kasus saja, tetapi setelah keluar instruksi
dari pusat bahwa Kota Banda Aceh, Lhokseumawe, Aceh Besar dan satu lagi
saya gak tau (tidak tahu), entah (kalau tidak salah)Pidie, untuk melakukan
ORI massal. Maka saat itu kita buat (mengadakan) pertemuan dengan kepala
puskesmas, agar setiap puskesmas untuk (dapat) melaksanakan ORI massal
tanpa memandang ada kasus”.
library.uns.ac.id 66
digilib.uns.ac.id
C. Pembahasan
1. Implementasi Pedoman Pencegahan Difteri
Upaya pencegahan dan penanggulangan difteri yang mencakup
peningkatan cakupan imunisasi, penemuan kasus difteri, penyelidikan
epidemiologi, perujukan pasien ke rumah sakit, pemeriksaan spesimen,
pemberiaan prophilaksis serta pelaksanaan ORI telah ditelaah oleh beberapa
peneliti di Indonesia. Peneliti-peneliti tersebut mencoba membandingkan
penerapan dan manfaatnya dari hasil penelitian di beberapa daerah termasuk di
Kota Banda Aceh dalam upaya pencegahan dan penanggulangan difteri. Berikut
pembahasan mengenai temuan utama dalam penelitian ini dibandingkan dengan
penelitian sebelumnya serta keterbatasan-keterbatasn dalam penelitian ini.
c. Penyelidikan Epidemiologi
Penyelidikan epidemiologi adalah kegiatan yang dilaksanakan secara
terencana untuk menyelidiki kasus kesehatan yang terjadi di suatu wilayah
kerja. Penyelidikan terkait dengan bagaimana kronologis terjadinya kasus,
memastikan diagnosis, mencari kasus tambahan, dan memastikan ada atau
tidak terjadi KLB. Pada kasus difteri, penyelidikan epidemiologi bertujuan
untuk mengetahui faktor resiko difteri sehingga penyebaran difteri dapat
segera dihentikan (Widoyono, 2008).
Penyelidikan epidemiologi termasuk ke dalam program
penanggulangan difteri yang dilaksanakan oleh surveilans. Surveilans difteri
adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara terkoordinir dan
berkesinambungan untuk mengumpulkan segala informasi mengenai kejadian
difteri. Informasi yang terkumpul akan dilaporkan untuk perencanaan
pengendalian dan penanggulangan difteri selanjutnya. Dengan kata lain
library.uns.ac.id 70
digilib.uns.ac.id
dari tujuan awal penelitian yaitu meneliti kinerja dokter bukan petugas
kesehatan lainnya yang terlibat dalam upaya pencegahan difteri.
puskesmas, rumah sakit ataupun di Dinas Kesehatan di Kota Banda Aceh yang
usianya diatas 19 tahun pun telah divaksin, mengingat mereka memiliki resiko
tinggi terpapar difteri. Seperti yang terjadi pada penelitian mengenai cakupan
ORI di puskesmas Mijen, Kota Semarang. Cakupan ORI dilaporkan menurun
karena sebagian besar yang mengikuti ORI hanya kader puskesmas. Pihak
puskesmas dirasa kurang dalam melakukan upaya mensosialisasikan
pentingnya ORI (Radian et al., 2018).
ORI yang dilaksanakan di Kota Banda Aceh merupakan ORI massal
dengan melibatkan koordinasi dari kesebelas puskesmas dan di bawah
koordinasi Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh. ORI tidak hanya dilaksanakan
di satu desa yang terkena kasus, tetapi mencakup seluruh wilayah kerja
puskesmas. Namun antusiasme masyarakat masih rendah di setiap puskesmas,
terbukti dari jumlah masyarakat yang berhasil divaksin pada saat ORI sangat
jauh dari jumlah masyarakat yang tinggal di wilayah kerja masing-masing
puskesmas. Pada penelitian ini tidak dihitung berapa persen cakupan ORI di
setiap puskesmas. Peneliti juga tidak mengamati apakah terjadi penurunan
atau peningkatan jumlah masyarakat yang divaksin pada ORI sebelumnya di
puskesmas A dan B yang telah melaksanakan dua kali ORI selama dua tahun
ini.
isu yang begitu cepat. Seperti penelitian yang dilakukan di puskesmas Bendo
Kabupaten Magetan, didapatkan bahwasanya anak dengan orang tua yang
memiliki pendidikan dan pengetahuan yang baik tentang imunisasi cenderung
mempunyai status imunisasi dasar yang lengkap dibandingkan dengan orang
tua yang pendidikan dan pengetahuannya kurang baik terhadap imunisasi (Sari
et al., 2016).
Disamping itu juga berkembang isu tentang adanya Kejadian Ikutan
Pasca Imunisasi (KIPI) yang akan berakibat fatal bagi kesehatan anak-anak
yang diimunisasi. Tidak semua orang tua mengetahui bahwa KIPI tidak
mutlak terjadi pada setiap imunisasi. Menurut data Riskesdas (Riset kesehatan
dasar) tahun 2013, dari 91,3% anak di Indonesia yang telah mendapatkan
imunisasi, KIPI hanya terjadi pada 33,4% anak (Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, 2013).
Berkembangnya isu yang sangat meresahkan ini seharusnya bisa
diatasi dengan dengan memberikan edukasi dan pemahaman kepada orang tua
terutama ibu. Tingkat pendidikan dan pengetahuan orang tua sangat
berpengaruh terhadap kelengkapan imunisasi anak. Sebagaimana penelitian
yang dilakukan oleh Thaib, et al (2013), terdapat hubungan yang bermakna
antara tingkat pendidikan orang tua terutama ibu dengan kelengkapan
imunisasi anak. Penelitian ini dilaksanakan di salah satu rumah sakit
pemerintah di Kota Banda Aceh. Hasil penelitian juga menyimpulkan bahwa
alasan terbesar orang tua tidak melengkapi imunisai anaknya adalah karena
mereka resah tehadap efek samping yang akan ditimbulkan setelah imunisasi
(KIPI).
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Utama, et al (2014) di
kabupaten Bangkalan. Alasan orang tua tidak mau membawa anaknya untuk
diimunisasi DPT adalah karena takut anaknya yang semula sehat akan sakit
setelah diimunisasi DPT. Begitu pula pada orang tua yang sebelumnya telah
mengimunisasi DPT 1 anaknya, mereka trauma anaknya akan mengalami
KIPI akibat imunisasi DPT. Inilah yang menjadi tugas petugas kesehatan
untuk menerangkan bahwa imunisasi DPT walaupun seringkali menimbulkan
efek demam tetapi mempunyai manfaat besar bagi masa depan anak.
library.uns.ac.id 77
digilib.uns.ac.id
rumah warga yang terduga difteri dan memotivasi warga untuk segera
memeriksakan dirinya ke puskesmas guna pencegahan penyebaran penyakit
(Alfina & Isfandiari, 2015).
c. Penyelidikan Epidemiologi
Sedikitnya jumlah surveilans yang ditempatkan di setiap puskesmas
menjadi kendala dalam lancarnya penyelidikan epidemiologi. Seperti yang di
laporkan pada penelitian Siyam (2013), kurangnya jumlah SDM surveilans
mempengaruhi keberhasilan dan ketepatan waktu pelaporan penyelidikan
epidemiologi. Kualitas informasi yang baik salah satunya adalah tepat waktu.
Laporan yang masuk tepat waktu sangat mempengaruhi penentuan tindakan
selanjutnya di wilayah KLB.
Kegiatan penyelidikan epidemiologi merupakan kegiatan yang
memegang peran penting dalam penangggulangan KLB, tentunya kendala
yang dihadapi surveilans, sebagai pelaku utama dalam penyelidikan
epidemiologi tidaklah sedikit. Jumlah surveilans yang terbatas ditambah lagi
dengan kualitas SDM yang masih diragukan, akan sangat mempengaruhi
kelancaran penyelidikan epidemiologi.
Surveilans adalah orang yang harus segera terjun ke masyarakat di
mana dilaporkan adanya kasus difteri. Hambatan penyelidikan epidemiologi
seperti ketidaksesuaian data diri pasien dan penolakan keluarga pasien untuk
bekerjasama dalam memberi keterangan sering kali ditemui di lapangan. Hal
ini tentu saja menjadi kendala dalam pelaporan kasus yang harus dikumpulkan
kurang dari 24 jam sejak ditemukan.