Anda di halaman 1dari 48

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian


Kota Banda Aceh merupakan ibu kota Provinsi Aceh, provinsi yang terletak
paling ujung barat dari rangkaian wilayah kesatuan Republik Indonesia ini memiliki
luas daerah 61,36 km2, dibatasi oleh Selat Malaka di sebelah utara, di sebelah selatan
dan timur Kota Banda Aceh terdapat Kabupaten Aceh Besar serta Samudera
Indonesia di sebelah baratnya (Bappeda Kota Banda Aceh, 2018).
Menurut Badan Pusat Statistik Kota Banda Aceh, pada tahun 2017 jumlah
penduduk di Kota Banda Aceh tercatat sebanyak 259.913 jiwa yang terdiri dari
133.728 jiwa penduduk laki-laki dan 126.185 perempuan, diantara jumlah tersebut
tercatat 27.247 diantaranya adalah usia balita (bawah lima tahun). Banda Aceh
terbagi ke dalam sembilan kecamatan yaitu Meuraxa, Jaya Baru, Banda Raya,
Baiturrahman, Lueng Bata, Kuta Alam, Kuta Raja, Syiah Kuala, dan Ulee Kareng.
Berikut nama- nama kecamatan beserta ibukotanya di Kota Banda Aceh (Bappeda
Kota Banda Aceh, 2018).
Tabel 4.1
Nama Ibu Kota Kecamatan Kota Banda Aceh
Kecamatan Ibukota Jumlah Jumlah
Kemukiman Gampong
Meuraxa Ulee Lheue 2 16
Jaya Baru Lampoh Daya 2 9
Banda Raya Lamlagang 2 10
Baiturrahman Neusu Jaya 2 10
Lueng Bata Lueng Bata 1 9
Kuta Alam Bandar Baru 2 11
Kuta Raja Keudah 1 6
Syiah Kuala Lamgugob 3 10
Ulee Kareng Ulee Kareng 2 10
Sumber: Bappeda Kota Banda Aceh, 2018

Sebanyak sebelas puskesmas tersebar di masing-masing kecamatan di kota


Banda Aceh. Terdapat dua kecamatan yang memiliki luas wilayah di atas 10 km2,
35
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
36

karena itu dua kecamatan ini memiliki dua puskesmas untuk melayani masyarakat di
wilayah kerjanya.
Peneliti mengambil lima puskesmas sebagai sampel. Kelima puskesmas
sampel ini terletak pada lima kecamatan yang berbeda-beda. Jarak ibu kota
kecamatan dengan pusat kota menjadi dasar pengkodean puskesmas. Mulai dari
puskesmas yang paling dekat dengan pusat ibu kota Banda Aceh yaitu puskesmas A,
sampai puskesmas E yang terletak paling jauh dari pusat Kota Banda Aceh.
Penetapan sampel ini turut mempertimbangkan aksebilitas warga terhadap pusat
kota, sehingga mengambarkan kemudahan warga mengakses informasi dari pusat
pemerintahan Kota Banda Aceh dan diharapkan dapat mengambarkan karakteristik
warga yang berada jauh dan dekat dengan pusat Kota Banda Aceh. Berikut jarak ibu
kota kecamatan puskesmas sampel dengan pusat Kota Banda Aceh berdasarkan
sumber Bappeda Kota Banda Aceh, 2018.
Tabel 4.2
Jarak Ibu Kota Kecamatan Puskesmas Sampel Dengan Pusat Kota Banda Aceh
Puskesmas Jarak (km)
Puskesmas A 0,6
Puskesmas B 3,5
Puskesmas C 5,0
Puskesmas D 5,1
Puskesmas E 8,0
Sumber: Bappeda Kota Banda Aceh, 2018

B. HASIL PENELITIAN
Berdasarkan data endemisitas difteri di Kota Banda Aceh (lampiran VI
halaman 107), ditetapkan lima puskesmas sampel untuk dijadikan objek penelitian
ini, yaitu puskesmas A, B, C, D, dan E. Puskesmas-puskesmas dijadikan fokus
penelitian berdasarkan kriteria sampel yang telah dibuat sebelumnya yaitu puskesmas
yang di tahun 2018 terdapat pasien difteri (PD), puskesmas yang terdapat suspek
difteri (SD) dan puskesmas tidak terdapat kasus difteri (ND).
Wawancara terhadap informan utama dilakukan pada dokter di lima
puskesmas sampel. Tahapan ini dilaksanakan untuk mendapatkan gambaran
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
37

langsung tentang pencegahan difteri dari garda depan pelayanan kesehatan


masyarakat di Kota Banda Aceh
Tahapan selanjutnya adalah melakukan observasi terhadap tempat, kegiatan,
dan kinerja dokter di puskesmas. Observasi dilaksanakan dengan meminta
keterangan dan data pendukung tentang pelaksaanan program pengendalian dan
pencegahan difteri dari surveilans dan petugas imunisasi yang merupakan tim gerak
cepat difteri di setiap puskesmas. Observasi ini juga bertujuan untuk memverifikasi
keterangan dokter tentang pencegahan difteri.
Verifikasi selanjutnya dilaksanakan pada informan triangulasi. Wawancara
informan triangulasi dilakukan terhadap informan dari dari Dinas Kesehatan Kota
Banda Aceh (T1) dan dokter ahli dari rumah sakit rujukan pasien difteri (T2).
Seluruh hasil penelitian yang telah dikumpulkan kemudian dibandingkan untuk
mendapatkan gambaran tentang perbedaan karakteristik pelaksanaan kegiatan
penangulangan difteri di tiap puskesmas.
Hasil penelitian upaya pencegahan dan penanggulangan difteri pada kelima
puskesmas sampel dapat dilihat pada tabel 4.3 di bawah ini.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 38

Tabel 4.3

Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Difteri Pada Puskesmas Sampel

Aspek / Kategori Puskesmas Puskesmas Puskesmas Puskesmas Puskesmas Triangulasi


A B C D E
(SD) (PD) (ND) (ND) (ND)
1. Pengetahuan tentang pedoman pencegahan Sudah Sudah Belum Sudah Sudah Sudah
dan penanggulangan difteri1 mengetahui mengetahui mengetahui mengetahui mengetahui mengetahui

2. Imunisasi
a. Cakupan Imunisasi
1) Tahun 20173 88,3% 81,8% 85,2% 67,2% 89,6%
2) Tahun 2018 (sampai dengan Juli)3 55,1% 49,6% 33,3% 49,2% 50,2%
b. Upaya penguatan imunisasi
1) Promkes:1 Rutin setiap Rutin setiap Rutin setiap Rutin setiap Rutin setiap Harus
bulan bulan bulan bulan bulan diutamakan
2) Keterlibatan petugas kesehatan + + + + + Diakui
lainnya dan lintas sektor1
c. Repon masyarakat terhadap penetapan - + + - - Pengetahuan
KLB difteri di Banda Aceh1 Masyarakat
meningkat
d. Kendala :
1) Isu halal haram1 + + + + +
2) Isu KIPI1 + + + + +
3) Penolakan orang tua untuk + + + + + Diakui
mengimunisasi anaknya1
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 39

Aspek / Kategori Puskesmas Puskesmas Puskesmas Puskesmas Puskesmas Triangulasi


A B C D E
(SD) (PD) (ND) (ND) (ND)
4) Pengaruh tingkat pendidikan1 + + + + + Diakui

3. Penemuan dan penatalaksanaan kasus


difteri
a. Penemuan kasus1 Aktif & pasif Secara pasif Secara pasif Secara pasif Secara pasif
1,3
b. Penemuan kasus di tahun 2018 + + - - -
c. Penemuan kasus di puskesmas1 - - - - +
d. Koordinasi puskesmas dengan layanan - - - - -
kesehatan lainnya dalam penemuan
kasus1
e. Screening rutin pasien dengan gejala Ketika ORI - - - -
1
difteri
f. Terjadinya Problem reporting kasus - - - + +
1,3
difteri
g. Edukasi ke masyarakat tentang + + + + + Harus
1
penyakit difteri diutamakan
h. Pengetahuan masyarakat mengenai Masih Masih Masih Masih Masih Difteri penyakit
1
difteri kurang kurang kurang kurang kurang kutukan

4. Penyelidikan Epidemiologi
a. Petugas kesehatan yang berperan1,2,3 Surveilans Surveilans Surveilans Surveilans Surveilans Surveilans
b. Jumlah tenaga surveilans1,2,3 1 orang 1 orang 1 orang 1 orang 1 orang
c. Pelaporan survey dalam 24 jam1,3 + + + - + Laporan W1
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 40

Aspek / Kategori Puskesmas Puskesmas Puskesmas Puskesmas Puskesmas Triangulasi


A B C D E
(SD) (PD) (ND) (ND) (ND)
d. Koordinasi dengan dinas kesehatan1,3 + + + + + +
e. Pendataan kontak erat secara lengkap3 + - + + +
f. Pendataan karier3 + - + + +
g. Pengawasan dokter1,3 + - + + +
h. Kendala :
1) Validitas data diri pasien1 Tidak valid Tidak valid Tidak valid Tidak valid Tidak valid Tidak valid
2) Sikap/anggapan keluarga pasien1 Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Penyakit
kooperatif kooperatif kooperatif kooperatif kooperatif kutukan
5. Perujukan pasien ke rumah sakit
a. Ketersediaan ruang rawat inap di - - - - -
1
puskesmas
b. Pasien terduga difteri akan di rujuk RSUDZA RSUDZA RSUDZA RSUDZA RSUDZA RSUDZA pusat
ke1: rujukan

c. Ketersediaan ruang isolasi1,2 - - - - - Memadai


d. Pemantaun pada pasien yang telah di + + + + +
rujuk1

6. Pengambilan spesimen dari pasien difteri


dan kontak erat
a. Petugas laboratorium terlatih1,3 - - - - - Hanya ada satu
orang laboran
b. Sarana laboratorium untuk - - - - - Hasil dikirim ke
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 41

Aspek / Kategori Puskesmas Puskesmas Puskesmas Puskesmas Puskesmas Triangulasi


A B C D E
(SD) (PD) (ND) (ND) (ND)
pemeriksaan1 Jakarta
c. Pemeriksaan spesimen pada kontak - - + - -
erat1,3
d. Kendala:
1) Konfirmasi laboratorium1 < 20%
2) Sikap keluarga1 Tidak menerima

7. Pemberian prophilaksis pada kontak erat


dan karier
a. Pemberian prophilaksis pada seluruh + - + + +
kontak erat1,2,3
b. Pemberian prophilaksis pada karier1,2,3 + - + + +
c. Pemberian antasida1,3 + + + + +
d. Edukasi mengenai kegunaan dan tata + + + + +
cara meminum prophilaksis1
e. Penetapan PMO1,2,3 + - + - -

8. ORI
a. Waktu pelaksanaan ORI1,3 2 kali 2 kali 1 kali 1 kali 1 kali
(2017&2018) (2017&2018) (2017) (2017) (2017)
b. Koordinasi dengan dinas kesehatan1 + + + + + +
c. Keterlibatan puskesmas lain1 + + + + + ORI massal
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 42

Aspek / Kategori Puskesmas Puskesmas Puskesmas Puskesmas Puskesmas Triangulasi


A B C D E
(SD) (PD) (ND) (ND) (ND)
d. Keterlibatan lintas sektor1 + - + + + Diakui
e. Ketersediaan vaksin1,2,3 Memadai Memadai Memadai Memadai Memadai Memadai
f. Ketersediaan ADS1,2 - - - - - Tersedia di
Dinkes dan RS
g. Antusiasme masyarakat1,3 Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah

9. SDM
a. Dokter1,2 Memadai Memadai Memadai Memadai Memadai Perlu
meningkatkan
lagi ilmunya
b. Surveilans1,2 Perlu Perlu Perlu Perlu Perlu Perlu ditambah
ditambah ditambah ditambah ditambah ditambah
c. Tenaga laboratorium terlatih 1,2 - - - - - Perlu ditambah

Keterangan :
+ : Ada 1: Data hasil wawancara informan utama dan traingulasi
- : Tidak ada 2: Data hasil observasi
SD : Suspek difteri di tahun 2018 3: Data arsip atau dokumen
PD : Positif difteri di tahun 2018
ND : Negatif difteri di tahun 2018
library.uns.ac.id 43
digilib.uns.ac.id

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia telah menetapkan tujuh


pedoman dalam pencegahan dan penggulangan difteri. Untuk mengetahui lebih
lanjut mengenai sejauh mana implementasi penerapan pedoman pencegahan difteri
yang telah dilakukan oleh masing-masing dokter pada puskesmas sampel, peneliti
melakukan wawancara semi terstruktur dengan menggunakan pedoman pertanyaan
wawancara yang telah disusun sebelumnya. Peneliti juga melakukan observasi pada
data-data terkait upaya pencegahan difteri melalui informan surveilans dan petugas
imunisasi di masing-masing puskesmas sampel. Selanjutnya guna lebih menguatkan
temuan dan data yang didapat, peneliti melakukan wawancara triangulasi ke pihak
terkait yaitu ke petugas kesehatan di Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh yang terlibat
langsung dalam program penanggulangan dan pencegahan difteri di Kota Banda
Aceh dan triangulasi ke dokter ahli yang menangani pasien difteri di rumah sakit
rujukan.
Hampir seluruh dokter yang bertugas di puskesmas yang dijadikan sampel
pada penelitian ini telah mengetahui mengenai pedoman dan pencegahan difteri.
Walaupun sebagian besar dokter tidak bisa menyebutkan secara terperinci poin-poin
pada pedoman tersebut namun secara garis besar mereka sudah pernah mendengar
atau membaca mengenai apa saja yang harus dilakukan untuk mengurangi angka
kejadian difteri. Hanya ada satu dokter yang belum mengetahui tentang pedoman
pencegahan difteri yaitu dokter di puskesmas C. Dokter puskesmas C mengakui
belum pernah mengikuti sosialisasi mengenai difteri yang dilaksanakan dinas
kesehatan. Sosialisasi difteri pernah diikuti oleh teman sejawat informan di
puskesmas C.
Pelaksanaan tindakan pencegahan dan penanggulangan difteri di tiap
puskesmas umumnya sama, namun masih banyak kekurangan yang didapatkan
peneliti. Terdapat puskesmas yang belum melaksanakan tindakan penanggulangan
secara lengkap sesuai prosedur yaitu di puskesmas B. Pada puskesmas B ini pula
masih terdapat kasus positif difteri sampai dengan oktober 2018. Sedangkan pada
puskesmas lainnya secara umum juga masih kurang dalam langkah penguatan
imunisasi, penemuan kasus dan pemeriksaan spesimen kontak erat.
Kendala yang dihadapi oleh setiap puskesmas juga sama, dimana masih
rendahnya kesadaran masyarakat untuk mengimunisasi anaknya. Selain itu dokter
library.uns.ac.id 44
digilib.uns.ac.id

puskesmas yang kurang maksimal dalam pelayanan kesehatan secara kontinyu,


koordinasi yang kurang dengan teman sejawat, serta kemampuan manejerial yang
rendah menyebabkan masih terdapatnya celah bagi berkembangnya kuman difteri di
lingkungan kasus.
Berikut penjabaran peneliti mengenai bagaimana perbandingan peran dokter
puskesmas yang pada wilayah kerjanya di tahun 2018 terdapat pasien difteri (PD)
yaitu puskesmas B, puskesmas dengan pasien suspek difteri (SD) yaitu puskesmas A,
dan puskesmas yang tidak terdapat kasus difteri (ND) yaitu puskesmas C, D, dan E
dalam upaya pencegahan difteri di Kota Banda Aceh dilihat dari kesiapsiagaan
mereka dalam penerapan pedoman pencegahan dan penanggulangan difteri yang
ditetapkan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia:

1. Peningkatan Cakupan Imunisasi Difteri

Dokter bersama tim kesehatan di setiap puskesmas yang menjadi


sampel telah sangat memahami mengenai pentingnya peran imunisasi. Mereka
melakukan upaya-upaya penguatan imunisasi berupa penyuluhan ke sekolah-
sekolah, mengunjungi langsung warganya dari rumah ke rumah, dan
melibatkan masyarakat lintas sektoral untuk bersama-sama mengedukasi
masyarakat akan pentingnya imunisasi.
Pada puskesmas A langkah-langkah penguatan imunisasi telah
dilakukan dengan mengadakan penyuluhan rutin tentang pentingnya
imunisasi. Dokter bersama petugas kesehatan berusaha menyebarkan
informasi terkait imunisasi dan difteri lewat penyebaran brosur, pemasangan
spanduk dan standing banner yang dipasang di tempat umum seperti masjid,
gedung-gedung desa dan kantor kecamatan. Penyuluhan rutin yang
dilaksanakan setiap bulannya ini, sudah menjadi program kerja puskesmas
yang dibiayai oleh BOK (Bantuan Operasional Kesehatan). Penyuluhan
tentang pentingnya imunisasi untuk pencegahan penyakit juga melibatkan
peran lintas sektor. Berikut kutipan wawancara dengan dokter puskesmas A:

“Selain penyuluhan yang kita turun (datang) ke sekolah atau lintas sektor,
kita juga menyelipkan edukasi pada pelayanan-pelayanan di luar puskesmas
seperti salah satunya posyandu, jadi setiap ada posyandu biasanya ada
tenaga kesehatan, baik itu dokter langsung yang turun (mengadakan
penyuluhan) atau tenaga kesehatan lain seperti paramedis (yang) akan
library.uns.ac.id 45
digilib.uns.ac.id

melakukan penyuluhan di posyandu tersebut. Kemudian melalui penyebaran


brosur juga pernah, kita (juga)memasang spanduk, standing banner di
tempat-tempat umum. Biasanya posyandu dilakukan di gedung desa atau di
masjid, kemudian di kantor kecamatan sendiri kita memasang beberapa
poster atau standing banner tentang bagaimana difteri itu sendiri”.
Kegiatan penguatan imunisasi dimasukkan dalam kegiatan Promkes
(Promosi Kesehatan) yang rutin dilaksanakan setiap bulannya di puskesmas B.
Petugas kesehatan juga melakukan upaya penguatan imunisasi melalui
program rutin pemerintah yaitu BIAS (Bulan Imunisasi Anak Sekolah) yang
dilaksanakan dua kali dalam setahun. Sebagaimana disampaikan oleh dokter
puskesmas sampel B:

“Kebetulan di puskesmas itu memang ada program bulan imunisasi, disini


kita turun (datang) ke sekolah-sekolah. Sekolah dasar di bulan November,
jadi kita rutin turunnya (berkunjung), mulai dari kelas satu sampai kelas tiga,
kita mengedukasikan tentang difteri. Dan sebagian juga tidak hanya di
sekolah, kita (juga) mengedukasikan di puskesmas misalnya bagi anak-anak
yang belum mendapatkan vaksin difteri di sekolah dapat dilakukan di
puskesmas”
Pada puskesmas C, pihak puskesmas senantiasa mengedukasikan dan
menguatkan pemahaman masyarakat tentang arti pentingnya imunisasi
sebagai pencegahan primer dari segala penyakit. Edukasi rutin ini dilakukan
tidak hanya oleh dokter tetapi juga dibantu oleh petugas kesehatan lainnya
bahkan melibatkan dokter muda Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala
yang sedang menjalani masa pendidikan di puskesmas. Mereka mensosialisasi
masyarakat dengan langsung turun ke seluruh desa dan membagi lealflet
berkenaan dengan imunisasi. Sebagaimana kutipan wawancara dengan dokter
puskesmas C berikut ini:

“Kita (memiliki program) Promkes (yaitu) promosi kesehatan yang kebetulan


turun ke posyandu (dan) ke desa-desa. Kita (kecamatan puskesmas C) punya
(memiliki) 16 desa di kecamatan ini, jadi tugas Promkes itu turun (datang) ke
Posyandu-Posyandu pada hari-hari (terdapat) posyandu balita (atau) lansia.
Promkes ikut bergabung untuk edukasi, tema yang kita angkat karena (pada
saat itu) lagi booming difteri, jadi banyak informasi yang diberikan melalui
lealflet, kita juga kerjasama dengan dokter muda Fakultas Kedokteran
Unsyiah yang juga membantu untuk mengedukasi di 16 desa tersebut. Saya
juga ikut turun (terlibat) di beberapa tempat untuk penyuluhan mendampingi
Promkes”.
library.uns.ac.id 46
digilib.uns.ac.id

Usaha-usaha untuk meningkatkan cakupan imunisasi yang telah di


laksanakan oleh dokter puskesmas dinilai sudah cukup maksimal oleh
informan triangulasi di Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh. Informan T1
sangat mengapresiasikan usaha dokter-dokter di puskesmas di Kota Banda
Aceh. Dokter puskesmas telah berusaha maksimal mengedukasi masyarakat
terkait pentingnya imunisasi sebagai upaya pencegahan penyakit. Edukasi
dilakukan melalui kegiatan promosi kesehatan yang diadakan di puskesmas
ataupun di luar puskesmas, berikut kutipan pernyataan dari informan T1:
“Menurut saya, ini saya melihat karena di bawah seksi saya, dokter
puskesmasnya sangat mendukung dan sangat kooperatif untuk program
imunisasi ini. Saya melihat hal ini juga tergantung bagaimana masyarakatnya
itu sendiri dalam melihat (memaknai) manfaat dari imunisasi, (te)tapi dari
puskesmas dokternya itu sangat-sangat kooperatif, dia memberitahukan
bahwa ada imunisasi rutin, imunisasi lanjutan, ada tambahannya, jadi sekitar
Posyankes (pos pelayanan kesehatan) saya pikir tidak ada masalah
tergantung bagaimana masyarakat menyikapi bagaimana manfaat imunisasi
itu sendiri, (te)tapi kalo dari puskesmas dokter-dokternya sangat kooperatif”.

Berbagai usaha yang telah dilakukan oleh dokter puskesmas ternyata


belum mampu meningkatkan angka cakupan imunisasi hingga mencapai target
angka cakupan imunisasi dasar nasional sebesar 90 %. Berikut angka cakupan
imunisasi pada masing-masing puskesmas pada tahun 2017 dan 2018 (sampai
dengan bulan Juli 2018) yang di dapat dari hasil obeservasi data dan dokumen
di setiap puskesmas sampel (lampiran IX, halaman 186).
Tabel 4.4
Cakupan Imunisasi Pada Masing-Masing Puskesmas Sampel
Nama Puskesmas Tahun 2017 Tahun 2018
Puskesmas A 88,3% 55,1%
Puskesmas B 81,8% 49,6%
Puskesmas C 85,2% 33,3%
Puskesmas D 67,2% 49,2%
Puskesmas E 89,6 % 50,2 %

Sumber : Data arsip cakupan imunisasi pada masing-masing puskesmas


library.uns.ac.id 47
digilib.uns.ac.id

Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa cakupan imunisasi di


semua puskesmas sampel belum mencapai target pencapaian imunisasi difteri
nasional yaitu sebesar 90% di semua wilayah. Diperkuat lagi dengan fakta
bahwa semua pasien yang terdeteksi difteri di puskesmas sampel merupakan
warga yang belum pernah mendapatkan imunisasi difteri sebelumnya. Tidak
terbentuknya imunitas tubuh pada penderita menjadikan penyebaran bakteri
C.Diphteriae akan sangat mudah terjadi. Hal inilah yang masih menjadi
tantangan besar bagi dokter dan petugas kesehatan lainnya untuk secara terus
menerus mengajak masyarakat sadar akan pentingnya imunisasi.
Hal senada juga disampaikan oleh informan utama di semua
puskesmas sampel, mereka mengakui bahwa kendala yang paling utama
dalam penerapan upaya pencegahan difteri ini adalah kurangnya kesadaran
masyarakat untuk melindungi keluarganya dengan imunisasi, padahal di
setiap puskesmas telah tersedia vaksin yang jumlahnya memadai. Berikut
kutipan wawancara dengan dokter puskesmas sampel D:
“Kendalanya (lebih) dari warganya yang sudah dilakukan penyuluhan
(te)tapi tetap tidak datang ke puskesmas untuk imunisasi, (sehingga)
imunisasinya tidak lengkap. Jadi kendalanya lebih ke kurangnya kesadaran
masyarakat”
Ditambahkan pula dari informan di puskesmas sampel A:
“Dari segi edukasi, penyuluhan. Dari (sejak) 2017 kemudian di 2018 sudah
kita lakukan (edukasi) karena (termasuk) program rutin yang dibiayai BOK
(Biaya Operasional Kesehatan,) namun sepertinya hasilnya kurang
maksimal, karena kembali lagi antusias atau respon dari masyarakatnya
yang masih sulit untuk memahami pentingnya imunisasi dan melindungi
untuk keluarga mereka masing-maasing itu yang (dirasakan) sulit sekali,
(sehingga) ada beberapa lintas sektor, kemudian dari pihak sekolah yang kita
libatkan untuk ikut mengedukasi masyarakat”.
Faktor lainya yang ikut mempengaruhi kesadaran masyarakat akan
pentingnya imunisasi adalah berkembangnya isu vaksin haram dan Kejadian
Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) di kalangan masyarakat Aceh. Sebagian
masyarakat tidak memfilter dan mengecek lagi tentang kebenaran isu
tersebut. Sehingga angka keberhasilan imunisasi di Aceh masih rendah.
Dokter puskesmas A berpendapat bahwa berkembangnya isu halal haram
vaksin dan adanya kelompok anti vaksin di kalangan warga sangat
mempengaruhi rendahnya cakupan imunisasi. Banyak warga yang tidak
library.uns.ac.id 48
digilib.uns.ac.id

memberikan izin anaknya untuk di vaksin karena meragukan kehalalan


vaksin. Berikut ungkapan kekhawatiran dokter Puskesmas A mengenai
kendala utama dalam pencegahan difteri ini :

“Kalau dari pihak tenaga kesehatan atau dari sistemnya sendiri biasanya
tidak ada kendala, biasanya kendala itu dari masyarakatnya sendiri, saat kita
melaksanakan ORI ke sekolah, sulit sekali mendapatkan izin dari orang tua,
orang tua sangat sulit sekali memberi izin. Jadi (prosedur) sebelum kita
melaksanakan ORI, biasanya kita membagikan surat pernyataan melalui
guru, nanti(nya) guru akan menyampaikan ke orang tua atau wali murid, jadi
(diharapkan) ketika pelaksanaan ORI surat tersebut sudah kembali ke tangan
tenaga kesehatan. (Sehingga) siapa yang kita suntik (vaksin) adalah dari
surat yang dikembalikan, ada beberapa yang mengizinkan akan kita suntik
(vaksin),(te) tapi jika tidak dibolehkan kita tidak akan memaksa untuk suntik
(vaksin anak tersebut). Sebenarnya memang cakupan imunisasi secara
keseluruhan di provinsi juga turun di 2017, kalau tidak salah 60%. Salah
satu kendalanya itu (adanya kelompok) anti vaksin dan isu halal haram di
Aceh sangat berkembang, apalagi puskesmas di Kota Banda Aceh memang
rata-rata berada di kota (sehingga) informasi bisa masuk dari mana
saja,tentunya balik (kembali) lagi ke tingkat pendidikan masyarakat, mereka
(dapat) menyerap (informasi) dari mana pun tanpa memfilter (terlebih
dahulu)”
Kekhawatiran besar mengenai KIPI setelah imunisasi DPT juga
terjadi di kalangan masyarakat Kota Banda Aceh. Informan utama puskesmas
B menyatakan masyarakat takut membawa anaknya untuk diimunisai DPT
karena akan timbul efek demam yang membuat anak yang semula sehat akan
sakit setelah diimunisasi. Berikut pernyataan dokter puskesmas B:

“Kalau kendalanya, biasanya kalau kami turun (datang) ke SD untuk


melakukan imunisasi, kadang- kadang orang tua menganggap bahwa
imunisasi itu, mungkin dia (men)dengar dari orang, setelah imunisasi itu ada
yang anaknya demam, tiba-tiba nanti diimunisasi nanti gak (tidak) bisa
(ber)jalan (lagi), itu yang kita katakan (sbut dengan) kejadian ikutan pasca
imunisasi, padahal sebenarnya ya tergantung kondisi anaknya, kita juga
sudah menjelaskan. Jadi kadang-kadang izin dari orang tua, kendalanya dari
itu saja, orang tuanya tidak memberi izin anaknya diimunisasi, kendalanya
kalau di lapangan itu aja”.

Penetapan kota Banda Aceh sebagai daerah KLB difteri mendapat


respon beragam dari masyarakat. Sebagian masyarakat masih menganggap
difteri adalah penyakit yang tidak berefek buruk, namun sebagian lagi
masyarakat yang tingkat pendidikannya sudah tinggi mulai mencari tahu
library.uns.ac.id 49
digilib.uns.ac.id

informasi mengenai bagaimana penularan difteri, tanda, gejala serta


komplikasinya. Masyarakat memanfaatkan kemajuan tekhnologi informasi
dalam mencari pengetahuan tentang penyakit difteri. Mereka mengetahui lebih
banyak seputar bahaya penyakit difteri dan akhirnya mereka sadar bahwa
imunisasi merupakan cara untuk mencegah penyakit difteri.
Rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya imunisasi
dipengaruhi juga oleh tingkat aksebilitas masyarakat terhadap tekhnologi
informasi. Hal ini dapat dilihat pada puskesmas sampel B dan C, dokter
puskesmas C mengungkapkan bahwasanya dengan adanya kemudahan dalam
berkomunikasi di era digital ini menyebabkan penyebaran informasi bisa
didapat secara cepat, terlebih lagi sejak Kota Banda Aceh ditetapkan sebagai
salah satu daerah KLB difteri. Terjadi peningkatan cakupan imunisasi pasca
ditetapkan Kota Banda Aceh sebagai daerah KLB difteri. Informan utama
menduga maraknya berita terkait difteri meningkatkan kesadaran masyarakat
akan pentingnya membentengi diri terhadap penyebaran penyakit tersebut.
Hasil wawancara peneliti dengan dokter puskesmas C mengenai penyebaran
informasi di kalangan masyarakat tertuang dalam petikan wawancara berikut
ini:

“Kendala yang ditemukan mungkin izin dari orang tua yang sedikit
terkendala untuk vaksin, tetapi pada kasus difteri ini malah berbalik
sebenarnya, banyak orang tua yang datang ke puskesmas untuk meminta
divaksin, itu mungkin akibat dari maraknya media sosial, media elektronik
yang semua membahas difteri dan komplikasinya, (hal) itu juga yang
membuat orang tua (menjadi) takut ya, jadi (sehingga) tanpa disuruh (diajak
berulang kali) (dan) tanpa pemaksaan orang tua itu datang untuk meminta
divaksin. (Hal) ini sebenarnya (menjadi) kelebihan bukan kendala, karena
sebelumnya kendala di kita adalah orang tua yang tidak membolehkan
(mengizinkan) anaknya divaksin, apa lagi vaksin DT (yang) bisa
menyebabkan demam, jadi (banyak) orang tua (yang) malas membawa
anaknya sehingga cakupan imunisasi kita agak sedikit rendah, namun untuk
kasus difteri ini, masyarakatnya yang lebih antusias untuk divaksin”.
2. Penemuan Dan Penatalaksanaan Kasus Difteri
Pada tahun 2017 kasus difteri ditemukan merata di seluruh puskesmas
sampel, namun pada tahun 2018 hanya puskesmas A dan B yang terdapat
kasus difteri. Setelah dilakukan pemeriksaan laboratorium, kasus difteri di
puskesmas A dilaporkan sebagai suspek difteri sedangkan puskesmas B
library.uns.ac.id 50
digilib.uns.ac.id

merupakan puskesmas yang memiliki pasien positif difteri sampai dengan


bulan Oktober 2018.
Penemuan kasus difteri di seluruh puskesmas sampel terjadi secara
pasif, di mana pasien mencari pengobatan ke puskesmas setelah pasien
merasakan gejala-gejala penyakit difteri, sebagian besar pasien terdeteksi
difteri setelah mereka mengeluhkan gejala klinik yang khas berupa demam,
batuk, pilek dan disertai dengan adanya membran keabu-abuan di tonsil
hingga ke uvula.
Pasien difteri sebagian besar terdiagnosis pada pelayanan kesehatan
lain selain puskesmas yaitu pada praktek dokter ahli. Tidak terdapat
koordinasi antara puskesmas dengan layanan kesehatan lainnya dalam
penemuan dan penatalaksaaan kasus. Pasien difteri yang ditemukan pada
layanan kesehatan di luar puskesmas akan ditatalaksana dengan merujuk ke
rumah sakit pemerintah. Berdasarkan laporan dari pihak rumah sakit, Dinas
Kesehatan Kota Banda Aceh menghubungi puskesmas tempat pasien
berdomisili untuk dilakukan penyelidikan epidemiologi lebih lanjut.
Pada puskesmas sampel B, C, dan D dokter puskesmas belum pernah
menemukan secara langsung pasien difteri ketika melaksanakan tugasnya di
unit layanan poli puskesmas. Hal ini dapat dilihat dari keterangan dokter
puskesmas B, hampir semua kasus difteri di wilayah kerjanya ditemukan
melalui laporan Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh. Laporan diterima setelah
pasien dirujuk ke rumah sakit oleh unit pelayanan kesehatan lainnya di sekitar
puskesmas. Terdapat juga penemuan kasus berkat laporan warga mengenai
kecurigaan mereka akan salah seorang tetangga mereka yang memiliki gejala
seperti difteri. Berdasarkan laporan ini dokter bersama tim gerak cepat difteri
langsung menindaklanjuti dengan memeriksa pasien dan memastikan
diagnosis difteri. Berikut hasil kutipan wawancara dengan dokter puskesmas
B:

“Selama ini, selama saya (bertugas) melakukan pelayanan di poli (puskesmas


B), kita belum pernah ada (melakukan) penemuan kasus langsung difteri. Tapi
ketika kita ada kasus (difteri) di masyarakat, masyarakat yang melaporkan
tetangganya itu dicurigai kasus difteri, (kemudian) langsung di evakuasi ke
rumah sakit dan sampai di sana (rumah sakit) katanya sudah di isolasi
pasiennya. Jadi kami ada tugas promkes langsung turun (mengevaluasi),
library.uns.ac.id 51
digilib.uns.ac.id

survey kita (lakukan) ke rumah pasien dan kita langsung (mem)berikan


prophilaksis untuk keluarga yang ada (tinggal) di rumah (pasien) (yaitu) ibu,
orang tua, saudaranya, dan adiknya yang ada di rumah (tersebut), langsung
kita berikan profilasksis untuk difteri”.
Demikian pula pada puskesmas A yang terdapat pasien terduga difteri,
petugas telah mencoba upaya yang lebih maksimal. Salah satunya adalah men-
screening adanya warga dengan gejala khas difteri. Screening ini dilakukan
bersamaan dengan pelaksanaan Outbreak Response Immunization (ORI),
namun dokter puskesmas menyatakan bahwa tidak ada pasien difteri yang
terjaring oleh petugas kesehatan puskesmas A:

“Kalau untuk penyelidikan epidemiologi difteri ini dua–dua sudah dilakukan


(penemuan pasien secara pasif dan aktif). kalau untuk (penemuan pasien
secara) pasif tentunya kita melakukan pada pasien yang datang berobat ke
puskesmas, jadi pada saat pasien itu berobat tentunya ada beberapa keluhan
salah satunya kita lakukan screening, termasuk screening untuk difteri, pada
saat itulah kita temukan kasus secara pasif. Untuk (penemuan secara) aktif
sendiri biasanya sekaligus disaat dilakukan ORI. Pada saat ORI sebelum
dilakukan penyuntikan kita tetap melakukan screening dahulu. Untuk 2017
(penemuan pasien) rata-rata (secara) pasif”.
Dokter puskesmas E mengakui langsung menemukan pasien difteri
ketika melakukan kegiatan pemeriksaan di poli puskesmas. Dokter segera
mendiagnosis pasien dengan difteri setelah melakukan pemeriksaan fisik
secara teliti. Pasien kemudian segera ditatalaksana lebih lanjut dengan
merujuk ke rumah sakit yang tersedia fasililtas ruangan isolasi. Berikut
penuturan dokter puskesmas E:

“Sudah (pernah ditemukan langsung oleh dokter di puskesmas E), saat itu
(ditemukan) di tempat wilayah kerja kami sekitar akhir Desember 2017 ada
kasus difteri. Pasien dibawa oleh orang tuanya ke puskesmas E dan di periksa
oleh dokter, menurut (diagnosis) dokter ini (merupakan pasien) terduga
difteri. Dokter (kemudian) langsung merujuk ke rumah sakit dr.Zainoel
Abidin”.
Dalam upaya penemuan kasus secara cepat, dokter puskesmas sampel
telah berupaya mengenalkan kepada masyarakat bagaimana tanda dan gejala
penyakit difteri. Diharapkan masyarakat segera memeriksakan dirinya ke
pusat layanan kesehatan bila dicurigai memiliki keluhan mirip difteri.
Edukasi mengenai difteri dimasukkan dalam setiap kegiatan promosi
kesehatan masyarakat yang dilaksanakan puskesmas setiap bulannya, sebagai
library.uns.ac.id 52
digilib.uns.ac.id

contoh, pada penyuluhan ke sekolah-sekolah, kegiatan posyandu, dan pada


kesempatan lainnya yang memungkinkan dokter mengajak masyarakat
mengenali penyakit difteri yang mematikan dan segera memeriksakan diri
apabila terdapat tanda dan gejala penyakit seperti difteri.
Pemberian edukasi kepada masyarakat tentang penyakit difteri oleh
dokter puskesmas sangat penting dirasakan. Sebagaimana yang disarankan
oleh informan triangulasi T2 yaitu dokter ahli yang bertugas di rumah sakit
rujukan difteri. Terlebih lagi adanya anggapan difteri sebagai penyakit
kutukan. Dalam wawancara berikut, informan T2 juga mengharapkan dokter
puskesmas dapat terus meng-update perkembangan penyakit difteri. Dokter
harus selalu memeriksa keadaan mulut pasien terutama pasien anak sehingga
pasien difteri dapat mudah ditemukan dan ditindaklanjuti:

“Yang kedua (hal yang) memang harus (dilakukan oleh dokter puskesmas)
yaitu (selalu) update (informasi mengenai difteri). Penyakit ini (adalah
penyakit) yang (sudah ada sejak) lama dan pemeriksaannya tergantung pada
anak. (Sering terjadi) ini terutama kita (dokter)paling jarang buka
(memeriksa) mulut, keluhan apapun karena kita sekarang sedang ada
apa(kasus) KLB, jadi itu jangan sampai gak(tidak) diperiksa (mulut). Edukasi
deh, yang paling utama. Edukasi sampai mereka tahu seberapa pentingnya
(difteri) untuk bisa dicegah, kalau mereka sudah kena (terinfeksi), bagaimana
mengenali secara cepat untuk merujuk secara cepat supaya gak (tidak) terjadi
korban yang banyak. Garda depan lah dokter puskesmas. Kita punya banyak
kok yang kiriman mereka dan ternyata memang confirm difteri”.
Kendala berikutnya dalam hal penemuan kasus adalah ketidaksesuaian
data domisili. Pada beberapa kejadian ditemukan bahwasanya pasien difteri
yang dilaporkan oleh dinas kesehatan ke puskesmas ternyata tidak lagi
berdomisili di wilayah kerja puskesmas tersebut, tetapi masih memiliki Kartu
Tanda Penduduk (KTP) yang lama. Hal ini tentu saja menyebabkan
kesimpangsiuran dan menyulitkan pelaksanaan penyelidikan epidemiologi.

Terdapat sedikit perbedaan data mengenai jumlah kasus difteri di


puskesmas sampel dengan data endemisitas difteri yang didapat dari Dinas
Kesehatan Kota Banda Aceh. Berdasarkan data endimisitas difteri di Kota
Banda Aceh pada tahun 2018 (lampiran VI ), dilaporkan bahwa terdapat kasus
difteri di wilayah kerja puskesmas D dan E, namun pihak puskesmas
library.uns.ac.id 53
digilib.uns.ac.id

menyangkalnya dan mengatakan bahwa data tersebut tidak sesuai dengan hasil
penyelidikan epidemiologi mereka.
Pasien difteri yang terdata pada lampiran VI adalah pasien yang saat
terserang penyakit difteri tidak lagi berdomisili di wilayah kerja puskesmas D
ataupun puskesmas E tetapi masih memiliki KTP di wilayah kerja puskesmas
D dan E, sehingga penyelidikan epidemiologi mengenai kontak erat dan karier
tidak dilakukan di kedua puskesmas tersebut. Temuan ini sudah peneliti
konfirmasikan kembali ke Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh dan pihak dinas
kesehatan juga mengakui bahwa pendataan data endimisitas difteri dilakukan
berdasarkan catatan KTP dan Kartu Keluarga (KK) pasien.

3. Penyelidikan Epidemiologi
Penyelidikan epidemiologi termasuk ke dalam program
penanggulangan difteri yang dilaksanakan oleh surveilans. Surveilans
memegang peranan penting dalam mengumpulkan data terkait kronologis
kejadian kasus difteri. Surveilans mengumpulkan data terkait kronologis
kejadian kasus difteri, mendata keluarga dan tetangga sekitar yang termasuk
dalam kontak erat serta menyelidiki kemungkinan karier diantara kontak erat.
Sebagaimana yang disampaikan oleh dokter puskesmas A:
“Penyelidikan epidemiologi sudah dilakukan di puskesmas dan dilaksanakan
oleh surveilans”.
Penyelidikan epidemiologi dilakukan segera setelah puskesmas
mendapatkan laporan kasus difteri. Dikutip dari wawancara dengan dokter
puskesmas B, bahwa bila terdapat kasus difteri, petugas kesehatan langsung
melakukan survey untuk pendataan dan memberikan edukasi ke rumah
terduga difteri :
“Kalaupun ada kasus yang kita jumpai di lapangan, ada yang dicurigai kasus
difteri, kita langsung (melaksanakan) survey ke rumah (pasien), melihat
kondisi si pasien, kita lakukan (edukasi berupa)penjelasan. Kita edukasi agar
si pasien juga bisa paham mengenai apa itu difteri. Jadi walaupun satu
keluarga ada (ditemukan hanya) satu orang yang terkena difteri (te)tapi
(anggota) keluarga yang lainnya juga harus diberikan obat prophilaksis untuk
pencegahan difteri”.
Kemudian ditambahkan oleh dokter pada puskesmas E:
library.uns.ac.id 54
digilib.uns.ac.id

“Saat itu (ketika terdapat kasus di tahun 2017) sudah (dilakukan penyelidikan
epidemiologi), tetap dengan koordinasi dengan dinas kesehatan, karena ini
bukan main-main, satu kasus sudah dianggap KLB”.

Upaya penyelidikan epidemiologi di puskesmas dimulai dengan


segera menerjunkan tim gerak cepat difteri untuk melakukan survey
penyelidikan epidemiologi dan menangani kontak erat. Namun pada
puskesmas D, dokter puskesmas menyatakan bahwa penyelidikan
epidemiologi tidak langsung dapat dilaksanakan karena pasien ditemukan
pada unit layanan kesehatan di luar puskesmas. Penyelidikan epidemiologi
dilakukan setelah puskesmas mendapatkan informasi dari pihak dinas
kesehatan terkait mengenai salah satu warganya yang terduga terinfeksi difteri
dan telah di rujuk ke rumah sakit. Berikut pernyataan dokter puskesmas D:

“Belum dilakukan (penyelidikan epidemiologi), karena pasiennya tidak


langsung ditemukan oleh pihak puskesmas, (sehingga) pihak puskesmas belum
berkoordinasi dengan dinas”.

Berdasarkan tahapan prosedur yang telah disusun oleh Kementerian


Kesehatan Republik Indonesia, petugas surveilans harus segera melaporkan
kejadian difteri di wilayahnya dalam kurun waktu kurang dari 24 jam sejak
kasus ditemukan (Anggraeni et al., 2017). Bila kasus ditemukan di daerah
kerja puskesmas, maka petugas surveilans berkoordinasi dengan dokter
puskesmas untuk memastikan diagnosis pasien. Setelah terdiagnosis difteri,
pasien segera dirujuk ke rumah sakit yang tersedia fasilitas ruang isolasi untuk
merawat pasien difteri. Namun bila pasien terdiagnosis difteri ditemukan di
rumah sakit, maka pihak dinas kesehatan yang akan menghubungi surveilans
puskesmas sesuai domisili pasien untuk segera melakukan penyelidikan
epidemiologi. Dalam hal ini surveilans terlebih dahulu memastikan apakah
benar pasien merupakan warganya dan dimana pasien terjangkit difteri untuk
pertama kalinya
Tahapan selanjutnya, surveilans melakukan penyelidikan
epidemiologi dan menuliskan laporan secara terperinci pada lembar W1
(Wabah 1) yang telah tersedia. Laporan penyelidikan epidemiologi ini harus di
library.uns.ac.id 55
digilib.uns.ac.id

bawah pengawasan kepala puskesmas. Mekanisme pembuatan laporan


epidemiologi ini dijelaskan oleh informan triangulasi di Dinas Kesehatan Kota
Banda Aceh dalam wawancara berikut ini:

“Selama ada kasus, setelah kita mem-briefing petugas surveilans, laporan


tetap (berasal) dari surveilans. Ada laporan W1 istilahnya, laporan yang
(harus dilaporkan dalam) 24 jam (setelah ditemukan) KLB itu di
W1(merupakan) tugas surveilans yang akan melaporkan.
Petugas surveilans, begitu (men)dapat kasus, dia (surveilans) koordinasi
dengan dokternya, (kemudian)dokternya melakukan pemeriksaan, itu kalau
ditemukan (kasus) di puskesmas. Tetapi kalau ditemukan di rumah sakit,
petugas dinas yang memberitahukan, di wilayah puskesmas itu ada kasus,
maka si petugas surveilans (dari puskesmas tersebut) akan melakukan
penyelidikan epidemiologi, dia memastikan apakah (kasus) itu memang
(terjadi) di wilayah dia yang pertama, yang kedua bagaimana penyelidikan
imunisasinya di situ, kemudian dapat dari mana ini kasus.
Jadi orang surveilans ini harus tahu, pelaporannya itu (tersebut), dari W1
segera diketahui. Dibuat kronologisnya dari petugas untuk tahap pertama,
saat dia (surveilans) (men)dapatkan informasi, kemudian saat dilakukan
penyelidikan epidemiologinya, (hal) apa-apa (saja) yang dia temukan
dilapangan, dan apa-apa (saja) tindakan yang sudah dilakukan. Kalau
(kasus) ditemukan di puskesmas, berarti dia(surveilans) sudah tahu (pasien)
masuk (didiagnosa awal) dari poli (puskesmas), apa (saja) yang telah
diberikan oleh dokter (puskesmas), tapi kalau pasien sudah dirawat di rumah
sakit, dia harus tahu di rawat di ruang mana, kemudian apa-apa pelaksanaan
(terapi) yang dilakukan oleh dokter di rumah sakit tersebut. Laporan W1
harus diketahui oleh kepala puskesmas”.
Jumlah tenaga surveilans yang masih terlalu sedikit di setiap
puskesmas menjadi kendala dalam penyelidikan epidemiologi. Bahkan
terdapat puskesmas yang sebenarnya tidak memiliki tenaga surveilans tetapi
menunjuk tenaga kesehatan lain seperti bidan untuk menjalankan tugas
surveilans. Tentunya hal ini menjadikan mereka kurang memahami apa saja
tugas dan tanggung jawab mereka.
Sebagaimana yang terjadi pada puskesmas B yang termasuk kategori
PD (puskesmas yang terdapat kasus difteri), penyelidikan epidemiologi belum
secara lengkap dijalankan oleh surveilans. Informan utama pada puskesmas B
mengatakan bahwa bila terdapat kasus difteri, petugas kesehatan langsung
melakukan survey untuk pendataan dan memberi edukasi ke rumah terduga
difteri. Surveilans puskesmas B hanya melakukan pendataan kontak erat di
rumah pasien. Tidak dilakukan pendataan pada kemungkinan kontak erat yang
library.uns.ac.id 56
digilib.uns.ac.id

lain seperti misalnya tetangga pasien, teman bermain, teman mengaji, dan
guru di sekolah pasien. Demikian pula pada pendataan karier. Hal ini
dibuktikan dengan laporan penyelidikan epidemiologi puskesmas B yang
didapat dari triangulasi data (lampiran IX.B, halaman 214).
Kendala lain yang temui di lapangan dalam penyelidikan epidemiologi
adalah tidak validnya data diri pasien. Sering kali ditemui keluarga pasien
yang tidak kooperatif dalam memberikan keterangan kepada surveilans,
bahkan ada penolakan dari masyarakat. Mereka beranggapan bahwa difteri
merupakan penyakit yang menakutkan. Keluarga pasien takut dikucilkan,
apabila data diri mereka diserahkan ke petugas. Hal ini diungkapkan oleh
informan triangulasi T1 di Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh :

“Kita orang lapangan tidak semudah orang yang duduk di belakang meja,
saya bilang (katakan) terus (terang), (bahwa) anak-anak saya (bawahan
informan) yang di puskesmas maupun di dinas ini ada juga surveilansnya
(sudah) cukup banyak menemui kendala. Saat mereka turun itu (melakukan
penyelidikan epidemiologi)(kendala) yang pertama (adalah) alamat. Alamat
(yang diberikan) sering (kali) mereka (pasien) itu (hanya) mengatakan nama
kampungnya saja, terus kita harus mencari tahu lagi (secara lengkap).
Kemudian penerimaan dari masyarakat itu sendiri, penerimaan dari
keluarga yang (ter)kena kasus, jadi hal-hal seperti itu yang mungkin kita
perlu lebih berbesar hati. Untuk petugas saya sendiri ya itu kendala kita di
lapangan, yang pertama penolakan dari keluarganya kemudian alamat yang
tidak jelas yang dibuat di status itu sendiri ya jadi membuat petugas saya itu
harus bolak- balik, itu kendala yang saya dapatkan selama ini”.

4. Perujukan Pasien Ke Rumah Sakit


Mekanisme perujukan pasien terduga difteri ke rumah sakit adalah
sama di setiap puskesmas sampel. Dokter terlebih dahulu akan melakukan
pemeriksaan fisik yang teliti pada pasien. Bila terdiagnosis difteri, pasien akan
segera dirujuk ke rumah sakit yang memiliki ruang rawat isolasi. Perujukan
pasien ke rumah sakit dapat tidak dilakukan apabila di puskesmas tersedia
ruang rawat untuk mengisolasi pasien difteri, namun seluruh puskesmas
sampel pada penelitian ini belum dilengkapi dengan fasilitas tersebut.

Hal ini seperti diungkapkan oleh informan puskesmas B:


“..Kita akan periksa (pasien) sesuai dengan SOP dari difteri, kita lihat
kasus-kasusnya, kalau dicurigai dia (pasien)memang (terinfeksi) difteri,
karena kita disini juga pemerikasaan lebih lanjut tidak ada (tidak memiliki
ruang isolasi dan sarana laboratorium), (pasien)langsung kita coba konsul
library.uns.ac.id 57
digilib.uns.ac.id

(dan) langsung (segera) kita rujuk ke rumah sakit umum daerah dr.Zainoel
Abidin”.
Pasien yang telah dirujuk ke rumah sakit dan di rawat di ruang isolasi
masih tetap dibawah pemantauan surveilans puskesmas. Petugas melakukan
pelaporan terkait dengan kronologis terjadinya kasus difteri dan keseluruhan
data lengkap pasien dan keluarganya serta melakukan pemantauan
perkembangan pasien sampai pasien tersebut dinyatakan pulih. Seperti
pernyataan dokter puskesmas A, yaitu:

“..Untuk (wilayah) Banda Aceh itu langsung rujukannya rumah sakit


rujukan provinsi yaitu rumah sakit umum daerah dr.Zainoel Abidin. Jadi
untuk mentransfer pasien (difteri) ini biasanya didampingi oleh surveilans,
kemudian kita juga melakukan kontak dan koordinasi dengan surveilans di
Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh”.

Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin menjadi pusat rujukan


penanganan pasien difteri di Kota Banda Aceh. Pihak rumah sakit, dalam hal
ini dokter ahli secara cepat melakukan pemeriksaan lanjutan untuk
memastikan diagnosis difteri. Pasien yang terdiagnosis difteri seluruhnya di
rawat di ruang isolasi. Ketersediaan ruang isolasi di rumah sakit dr. Zainoel
Abidin Banda Aceh sudah sangat memadai untuk menampung sejumlah
pasien difteri di Kota Banda Aceh. Peneliti mengkonfirmasi langsung
mengenai ketersediaan ruang isolasi ini dengan informan triangulasi yaitu
dokter ahli di rumah sakit dr. Zainoel Abidin (Informan T2). Menurut
keterangan beliau, untuk saat ini rumah sakit dr. Zainoel Abidin hanya
merawat pasien yang berasal dari Kota Banda Aceh dan sekitarnya, bahkan
dua rumah sakit lainnya yang ada di Kota Banda Aceh juga sudah menyiapkan
ruang isolasi bagi pasien difteri, begitu pula di masing-masing kabupaten di
Provinsi Aceh, sudah ada pendistribusian yang cukup baik di seluruh
kabupaten sehingga pasien yang terdianosis difteri di luar Kota Banda Aceh
tidak perlu lagi dirujuk ke rumah sakit dr. Zainoel Abidin seperti pada masa
awal kejadian difteri di Aceh. Berikut informasi yang disampaikan oleh
informan triangulasi T2:

“..Setelah ada sosialisasi pelatihan, semua dokter spesialis anak (yang ada
di) hampir semua kabupaten sekarang sudah bisa merawat pasien (difteri) di
daerahnya. Kalau di rumah sakit dr. Zainoel Abidin (merawat pasien) yang
library.uns.ac.id 58
digilib.uns.ac.id

dekat-dekat (saja) misalnya Aceh Besar dan Banda Aceh. Sejauh ini pun kita
masih memadai (ruangan isolasi yang)tersedia, karena rumah sakit Meuraxa
dan rumah sakit Ibu Anak juga sudah (dapat) merawat (pasien difteri), ,
belum pernah memang ada kasus yang kita kembalikan ke rujukan asal
karena ruang isolasinya kurang karena (sekarang) semua sudah bergerak
bersama”.
Dalam hal merujuk pasien ke rumah sakit tidak ditemukan kendala,
dokter puskemas yang mendiagnosis awal pasien terduga difteri akan segera
merujuk pasien ke rumah sakit. Rumah sakit umum daerah dr. Zainoel Abidin.
(RSUDZA) yang menjadi pusat rujukan juga tidak mengalami hambatan
dalam hal penanganan pasien. Ketersediaan ruang isolasi yang memadai dan
petugas kesehatan yang kompeten di bidangnya menjadikan penanganan
pasien dapat dilaksanakan secara maksimal. Hal ini juga dituturkan oleh
informan triangulasi T2 :

“Ruang isolasi ok, perawat kita karena ini sudah sejak tahun 2012, sudah
teredukasi dengan baik, tetap merawat pasien dengan baik, karena sudah tau
APD, kalau ditempat lain atau sebelum-sebelumnya gak mau (tidak bersedia)
ya..(mungkin karena)takut, kalau mereka sepertinya gak(tidak) ada kendala”.

5. Pengambilan Spesimen Dari Pasien Dan Kontak Erat


Puskesmas-puskesmas di Kota Banda Aceh belum memiliki petugas
laboratorium yang terlatih untuk melaksanakan pengambilan spesimen
penderita terduga difteri. Untuk pengambilan spesimen di Kota Banda Aceh
hanya ada seorang petugas laboratorium yang kompeten dan laboran ini
bertugas di laboratorium kesehatan daerah Kota Banda Aceh.
Dokter puskesmas E menyatakan :

“Belum ada pelatihan cara pengambilan spesimen bagi laboran, tidak ada
reagen, jadi semua diserahkan ke dinas”.

Informan triangulasi di Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh (Informan


T1) juga menerangkan mengenai hal ini, bahwa pengambilan spesimen
dikerjakan hanya oleh satu orang petugas laboratorium terlatih. Apusan swab
tenggorok yang sudah diambil akan dikemas dan dikirim ke laboratorium
pusat di Jakarta karena belum tersedianya fasilitas untuk pemeriksaan
mikrobiologi swab bakteri difteri di Aceh:
library.uns.ac.id 59
digilib.uns.ac.id

“SDM (sumber daya manusia) untuk pengambilan swab/sampel itu cuma


satu orang yang sudah dilatih oleh pusat selama tiga bulan, jadi pelaksanaan
pengambilan spesimen itu tidak bisa dilakukan oleh laboran puskesmas,
walaupun mereka tenaga laboratorium, karena itu sangat berkuman
(infeksius) dan itu sangat-sangat dibutuhkan teknik spesialis, jadi salah satu
petugas laboratorium kita di laboratorium Kesda (Kesehatan Daerah) itu
memang sudah dilatih untuk pengambilan swab difteri. Pihak puskesmas
melaporkan ke kita atau sebaliknya kita melaporkan ke pihak puskesmas.
Pengambilan spesimennya tetap terkoordinasi dengan Dinas Kesehatan
Provinsi Aceh, (selanjutnya) Dinas kesehatan Aceh melakukan koordinasi
dengan petugas di laboratorium Kesehatan Daerah (Kesda) Provinsi Aceh
yang akan menentukan kapan mereka dapat mengambil swab pasien dan juga
swab kontak erat si kasus.
Setelah (spesimen) diambil, dipacking, diserahkan ke Dinas kesehatan Aceh
dan akan diserahkan (dikirim) ke pusat untuk dilakukan pemeriksaan lebih
lanjut. Jadi prosesnya (pemeriksaan mikrobiiologi) itu lama, makanya
kadang-kadang pasiennya (telah dinyatakan) sembuh baru keluar hasilnya
(laboratorium)”.
Menurut keterangan dokter ahli di rumah sakit dr.Zainoel Abidin,
sebagian besar hasil konfirmasi laboratorium dinyatakan negatif difteri yang
tidak serta merta menandakan bahwa pasien tidak terinfeksi difteri. Angka
keberhasilan kultur tenggorokan di Indonesia hanya 10% (Garna, 2005),
bahkan di negara maju sekalipun seperti Rusia angka ini hanya 20%, karena
itu kultur sebaiknya dilakukan dengan mengambil jaringan di bawah atau
sekitar pseudomembran pasien yang dilakukan pada hari pertama, kedua, dan
ketujuh menggunakan media amies dan stewart (Garna, 2005). Tentunya hal
ini tidak mungkin dilakukan di Kota Banda Aceh, karena keterbatasan sarana
dan sumber daya manusia. Berikut keterangan informan T2:

“Kendala justeru (lebih pada) pemahaman masyarakat di luar ya, mereka


pulang (ke lingkungan rumahnya) dikucilkan, kemudian karena confirm
difteri itu persentasenya sedikit sekali, jadi secara teoritis paling juga sekitar
20% (yang dinyatakan positif difteri). Jadi masih ada reject (penolakan dari)
pasien (yang) tidak bisa menerima kalau anaknya sudah dirawat di isolasi
selama 14 hari, (dokter bahkan menyatakan) ada kelainan (atau) komplikasi
(pada pasien), kemudian kok (mengapa) hasil labnya (laboratoriumnya)
negatif. Jadi pemahaman tentang itu ya, dia taunya hasilnya (laboratorium)
negatif tapi kenapa anak saya harus dirawat. Padahal banyak faktor yang
menyebabkan hasilnya negatif, jadi klinisnya itu betul-betul difteri tapi tidak
confirm laboratorium,(hanya) sampai sebatas laboratoriumnya tidak
confirm. Karena laboratoriumnya tidak confirm, tidak mudah membuat
konfirmasi laboratorium, di negara yang maju saja kemarin seperti (di)
Rusia juga cuma 20%. Sebagian orang tua (ada) yang tidak bisa menerima,
library.uns.ac.id 60
digilib.uns.ac.id

karena mereka kan (sudah lebih dulu) di beri tahu hasilnya negatif, orang tua
merasa seperti pemeriksaan lain kalau negatif berarti tidak (terinfeksi),
padahal mereka sudah menghabiskan waktu yang lumayan lama, terus 9dan
lagi) tetangganya (juga) sudah tahu, teman sekolahnya sudah tahu bahwa dia
sakit itu (difteri) sehingga ada beban, beban moral, karena pemahaman
beda, ada yang dijauhin (dikucilkan), itu kalau menurut saya lumayan lah ya
kendalanya”.

Pemeriksaan spesimen difteri tidak hanya dilakukan pada pasien


terduga difteri, tetapi juga harus dilakukan pada kontak erat. Tahapan
pemeriksaan spesimen pada kontak erat dilewatkan oleh beberapa puskesmas
sampel, seperti pada puskesmas A (kategori SD) dan puskesmas B (kategori
PD). Puskesmas C (kategori ND) adalah satu-satunya sampel puskesmas yang
melaksanakan tahapan pemeriksaan spesimen pada kontak erat. Berdasarkan
hasil observasi dan wawancara dengan dokter dan surveilans (dapat dilihat
pada data observasi puskesmas C, lampiran IX. C, halaman 229), pada tahun
2017 ketika terjadi kasus difteri di wilayah kerja puskesmas C, tim gerak cepat
penanggulangan difteri telah melakukan penyelidikan epidemiologi dengan
mendata seluruh kontak erat dan juga melakukan pemeriksaan apusan
tenggorok secara acak pada kontak erat. Pengambilan apusan tenggorok
dilakukan oleh petugas laboratorium terlatih dengan bekerja sama dengan
pihak Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh. Hal ini dilakukan untuk
memastikan apakah kontak erat positif atau negatif terinfeksi bakteri difteri.
Prosedur ini menentukan jangka waktu pemberian eritromisin yaitu cukup
tujuh hari apabila terbukti negatif bakteri C. Diphteriae atau dilanjutkan
sampai empat belas hari bila terbukti positif bakteri C. Diphteriae
(Kementrian Kesehatan RI, 2013).

6. Pemberian Prophilaksis Pada Kontak Erat dan Karier


Pada puskesmas A yang tergolong pada kategori SD (puskesmas yang
terdapat suspek difteri), pemberian prophilaksis difteri diberikan pada suspek
difteri, kontak erat dan karier. Dokter memberikan eritromisin sebagai
prophilaksis beserta obat lainnya yang dapat mencegah efek samping
eritromisin. Tim gerak cepat difteri telah melakukan pendataan pada kontak
erat dan kemungkinan karier secara menyeluruh yang tidak terbatas pada
keluarga yang serumah dengan pasien saja, hal ini dapat dilihat pada data
library.uns.ac.id 61
digilib.uns.ac.id

triangulasi berupa observasi laporan dari surveilans di puskesmas sampel A.


Dari hasil observasi di dapatkan bahwa surveilans telah melaksanakan
penyelidikan epidemiologi secara kontinyu selama sebelas hari dengan
mengamati keluarga dan tetangga di daerah dekat tempat tinggal pasien.
Apabila ditemukan keluhan penyakit mirip difteri seperti batuk, pilek dan
susah menelan pada pengamatan di kontak erat, maka dokter akan melakukan
pemeriksaan fisik lebih lanjut untuk memastikan diagnosis kontak erat
terinfeksi difteri atau tidak (dapat dilihat pada lampiran data observasi
puskesmas A, lampiran IX. A, halaman 200). Seperti tertuang dalam kutipan
wawancara dengan dokter puskesmas A berikut ini:

“Sudah kita lakukan (pemberian prophilaksis), jadi biasanya kita berikan


eritromisin pada suspek, kemudian keluarga yang sekitar (serumah), kontak
erat dan karier, biasanya juga karena efek samping eritromisin itu mual
biasanya kita sertakan obat-obat untuk menurunkan efek sampingnya”.
Dalam pemberian prophilaksis di puskesmas B, dokter terlebih dahulu
memberikan edukasi kepada keluarga pasien terduga difteri tentang resiko
penularan difteri yang sangat besar pada anggota keluarga. Dokter
menjelaskan pentingnya prophilaksis sebagai obat pencegah, tata cara
meminum obat prophilaksis dan bagaimana efek sampingnya. Seluruh anggota
keluarga pasien yang termasuk kontak erat diberikan antibiotik eritromisin
dengan dosis 4 x 500 mg selama tujuh hari. Dokter juga memberikan antasida
untuk menekan efek samping eritromisin. Berikut kutipan wawancara dengan
dokter puskesmas B terkait dengan prophilkasis difteri :

“Jadi seperti kasus kemarin itu ada kasus yang kita curigai anggota
keluarganya sudah ada yang menderita difteri, langsung kita jelaskan ke
anggota keluarga yang di rumah, ibu dan ayahnya juga, kita jelaskan kalau
satu anggota keluarga sudah terkena difteri, kita curigai bisa terjadi
penularan sehingga anggota keluarga yang ada di rumah itu langsung kita
berikan antibiotik eritromisin 4x500 mg selama tujuh hari dan kita juga
menjelaskan efek samping dari eritromisin yang bisa meningkatkan asam
lambung, jadi untuk antisipasinya kita langsung memberikan obat
antasidanya, untuk antisipasi efek samping obat eritromisin. Pada anak-anak
kita berikan dalam bentuk sirup sesuai dengan dosis berat badan anak dan
juga kita berikan selama tujuh hari”.
Kontak erat yang terdata dalam penyelidikan epidemiologi di
puskesmas B hanya terbatas pada angggota keluarga yang tinggal dalam satu
library.uns.ac.id 62
digilib.uns.ac.id

rumah dengan pasien saja, surveilans puskesmas B tidak melakukan pendataan


pada kemungkinan kontak erat yang lain seperti misalnya tetangga pasien,
teman bermain, teman mengaji, dan guru di sekolah pasien. Bahkan petugas
surveilans cenderung tidak mencari lebih lanjut kemungkinan adanya karier di
lingkungan pasien difteri, sehingga pemberian prophilaksis tidak mencakup
seluruh kontak erat ataupun terduga karier (dapat dilihat pada lampiran data
observasi puskesmas B, lampiran IX. B, halaman 214).
Menurut keterangan informan utama, pada Puskesmas D dan E yang
tergolong pada kategori ND (puskesmas yang tidak terdapat kasus difteri pada
tahun 2018) pemberian prophilkasis sudah mencakup seluruh kontak erat dan
karier yaitu keluarga, tetangga, teman bermain, dan teman sekolah pasien
difteri.
Pemberian prophilaksis selama tujuh hari pada kontak erat dan karier
seringkali mendapat kendala berupa ketidakpatuhan kontak erat dalam
mengkonsumsi prophilaksis secara teratur. Maka dari itu diperlukan pengawas
minum obat (PMO) yang bertugas mengawasi kontak erat. Pada puskesmas A,
mereka telah menunjuk surveilans sebagai pengawas minum obat (PMO)
dimana surveilans setiap harinya akan datang mengunjungi kontak erat untuk
memastikan kontak erat meminum prophilaksis sekaligus mengamati bila
mana muncul tanda dan gejala yang mirip dengan penyakit difteri.
Pada puskesmas B yang tergolong kategori puskesmas yang terdapat
kasus difteri (PD) dan masih terdapat pasien difteri sampai dengan Oktober
2018, informan utama menerangkan bahwa dalam mengkonsumsi
prophilaksis, seluruh anggota keluarga diminta untuk saling mengawasi atau
bertindak sebagai pengawas minum obat (PMO) bagi kontak erat lainnya.
Nantinya petugas kesehatan akan datang kembali untuk melakukan survey
selama masa konsumsi prophilaksis.
Puskesmas B, D dan E tidak menunjuk petugas kesehatannya sebagai
PMO. Pada puskesmas B, pihak puskesmas hanya mengandalkan pengawasan
anggota keluarga pasien dalam mengkonsumsi eritromisin, tentunya
pengawasan terhadap kontak erat menjadi kurang maksimal mengingat
anggota keluarga juga merupakan kontak erat yang harus mengkonsumsi
library.uns.ac.id 63
digilib.uns.ac.id

antibiotik. Petugas kesehatan puskesmas B hanya mengecek apakah obat


prophilaksis yang diberikan telah habis dalam tujuh hari atau tidak, tanpa
benar-benar datang mengawasi pasien setiap harinya. Seperti yang diakui oleh
dokter puskesmas B pada wawancara dengan peneliti:
“Ada (PMO), kita jelaskan kalau (eritromisin) ini memang harus diminum
(dikonsumsi) oleh setiap anggota kelurga, misalnya si ibu dapat mengawasi
si anak, jadi tolong saling mengawasi, nanti kita turun (datang, progressnya
kita nanti akan survey lagi, akan tanya lagi, bagaimana kendala dengan obat
tersebut (eritromisin)”.

7. Outbreak Response Immunization (ORI)


Pasien difteri di Kota Banda Aceh pertama kali ditemukan di
puskesmas A pada awal tahun 2017, pasien merupakan siswa Sekolah
Menengah Atas (SMA) yang berasal dari Kabupaten Aceh Timur. Pada saat
itu pasien datang ke Banda Aceh untuk mengikuti kompetisi antar pelajar
SMA. Pihak Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh langsung bertindak cepat
untuk menanggulangi kasus tersebut, yaitu melaksanakan ORI di kawasan
terdapat pasien difteri tersebut. Dari kasus inilah kemudian muncul kasus-
kasus difteri lainnya sampai akhirnya Kota Banda Aceh ditetapkan sebagai
daerah KLB difteri bersama tiga kabupaten lainnya di Aceh yaitu, Aceh Besar,
Aceh Utara, dan Pidie. Pelaksanaan ORI di puskesmas A pertama kali
dilaksanakan pada tahun 2017. Kemudian pada tahun 2018 ORI juga sudah
dilaksanakan sekali pada bulan April 2018. ORI dilaksanakan bekerja sama
dengan dinas kesehatan dan dengan bantuan seluruh puskesmas di seluruh
Kota Banda Aceh. Informasi ini disampaikan langsung oleh dokter di
puskesmas A :

“Untuk 2018 (ORI sudah dilaksanakan) satu kali di bulan April dan (di tahun)
2017 juga sudah. Untuk pertama kali dilaksanakan ORI memang pasiennya
bukan dari Banda Aceh, dari Aceh Utara atau Aceh Timur kalau tidak salah,
saat itu ada kegiatan di salah satu sekolah yaitu SMA FH, kemudian pasien
itu demam dan dia pergi berobat, di saat itu ditemukan dan dilaksanakan ORI
pertama kali di sekolah tersebut”.

Berdasarkan hasil wawancara dengan informan utama, sampai dengan


tahun 2018 ORI sudah dua kali dilaksanakan di puskesmas B. Pelaksanaan
ORI pada puskesmas B dilakukan bersamaan dengan pelaksaan BIAS (Bulan
Imunisasi Anak Sekolah). Dimana BIAS hanya di tujukan untuk murid
library.uns.ac.id 64
digilib.uns.ac.id

sekolah dasar kelas satu sampai dengan tiga. Berikut pernyataan dari dokter
puskesmas B :

“Untuk ORI difteri ini kita kebetulan di puskesmas itu memang ada program
bulan imunisasi, disini kita turun (berkunjung) ke sekolah-sekolah. Sekolah
dasar di bulan November, jadi kita rutin turunnya (melakukan kunjungan),
dari mulai kelas 1 sampai kelas 3, kita mengedukasikan tentang difteri”.
ORI di puskesmas D dilaksanakan segera setelah ditemukan kasus
difteri di wilayah kerja puskesmas. Pelaksanaan ORI bekerja sama dengan
Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh dan warga, seperti petikan wawancara
dengan informan puskesmas D:

“Ketika ditemukan (kasus) langsung dilaksanakan ORI. ORI dilakukan ke


sekolah-sekolah, juga ke pemukiman warga, bekerja sama dengan dinas
kesehatan”.

Berdasarkan paparan dari seluruh informan, ORI dilaksanakan dengan


diawali dari penyelidikan epidemiologi oleh surveilans masing-masing
puskesmas. Penyelidikan epidemiologi disertai dengan kunjungan ke
lingkungan tempat tinggal pasien dan rumah sakit tempat pasien diisolasi. Hal
ini dilakukan untuk mendata orang-orang yang beresiko terpapar difteri.
Berdasarkan hasil penyelidikan epidemiologi, surveilans melaporkan ke dinas
kesehatan untuk penyediaan vaksin terkait ORI. Pelaksanaan ORI
dilaksanakan mencakup satu kecamatan yang berada di wilayah kerja
puskesmas. Pelaksanaan ORI digelar dengan melibatkan petugas kesehatan
dari puskesmas-puskesmas lain di Kota Banda Aceh. Hal ini bertujuan agar
mereka dapat mengamati proses pelaksanaan ORI walaupun di wilayah
kerjanya tidak dilaksanakan ORI. Sebagaimana kutipan wawancara dengan
puskesmas A:

“Jadi (langkah) pertama kali (adalah)surveilans puskesmas berkoordinasi


ke surveilans Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh, setelah itu dilakukan
penyelidikan epidemiologi. Surveilans dinas mengunjungi langsung ke
rumah sakit, jadi dinas berkoordiansi dengan rumah sakit, setelah itu
barulah diberikan (izin) untuk dilakukan ORI di puskesmas tentunya dengan
koordinasi dari dinas, biasanya kalau di puskesmas A mau melaksanakan
ORI puskesmas lain juga ikut membantu pelaksanaan ORI di puskesmas ini”.
library.uns.ac.id 65
digilib.uns.ac.id

Pelaksanaan ORI bukan hanya didukung oleh seluruh petugas


kesehatan di Kota Banda Aceh, tetapi juga oleh seluruh elemen masyarakat
lintas sektoral. Selain itu, ORI juga dilakukan pada hari libur guna
memudahkan seluruh masyarakat datang memvaksinisasi anggota keluarga
mereka sebagaimana keterangan oleh dokter puskesmas E. Mereka
melaksanakan ORI pada tahun 2017 ketika terjadinya kasus difteri di wilayah
kerja mereka.

“Kami (ber)koordinasi dengan dinas kesehatan, kemudian kita koordinasi


dengan muspika, disediakan satu hari khusus untuk konsolidasi dengan Pak
camat. Kebetulan hari itu hari libur malah (yaitu) 25 desember (hari natal).
Pak camat buka kantor (tetap bekerja) untuk (mengadakan) rapat segera
dengan mengundang lintas sektor, mengundang kepala desanya semuanya
tidak hanya (desa) yang berkasus (ditemukan kasus), kami undang juga desa-
desa di bawah (wilayah) kerja kami. (kami menerangkan) bahwa kita ada
kasus seperti ini (difteri)dan puskesmas akan melaksanakan vaksinasi massal
(ORI). Kemudian kita hitung sediaan vaksin baik dari dinas atau puskesmas,
kita hitung SDM kita, kita tetapkan kapan untuk (pelaksanaan) ORI segera”.
Menurut keterangan informan triangulasi T1 dari Dinas Kesehatan
Kota Banda Aceh, ORI yang dilaksanakan di Kota Banda Aceh awalnya
hanya terfokus pada satu tempat saja dimana terdapat kasus difteri, namun
sejak Kota Banda Aceh ditetapkan sebagai Kota KLB difteri, pelaksanaan
ORI dilaksanakan secara massal di seluruh wilayah Kota Banda Aceh dengan
melibatkan seluruh petugas kesehatan dari kesebelas puskesmas di bawah
koordinasi Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh. Hal ini bertujuan agar mereka
dapat membantu sekaligus mengamati proses pelaksanaan ORI walaupun di
wilayah kerjanya tidak dilaksanakan ORI. Berikut kutipan wawancara dengan
informan triangulasi T1 di Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh terkait ORI
massal:

“Awalnya di semua daerah yang ada (terdapat) kasus gitu kan (hanya) untuk
dilakukan ORI, kemudian keluar instruksi lagi (bagi) kabupaten yang
memang kasusnya terus bertambah yang tidak ada pengurangan, (yaitu)
empat kabupaten yang harus melaksanakan ORI massal. Kalau dulu kita
hanya melakukan ORI di wilayah kasus saja, tetapi setelah keluar instruksi
dari pusat bahwa Kota Banda Aceh, Lhokseumawe, Aceh Besar dan satu lagi
saya gak tau (tidak tahu), entah (kalau tidak salah)Pidie, untuk melakukan
ORI massal. Maka saat itu kita buat (mengadakan) pertemuan dengan kepala
puskesmas, agar setiap puskesmas untuk (dapat) melaksanakan ORI massal
tanpa memandang ada kasus”.
library.uns.ac.id 66
digilib.uns.ac.id

Pelaksanaan ORI yang sudah sedemikian rupa dipersiapkan oleh tim


puskesmas dan dinas kesehatan, masih saja kurang mendapat respon dari
masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari laporan ORI setiap puskesmas (lampiran
IX) dimana jumlah masyarakat yang ikut dalam ORI masih sangat sedikit.
Petugas kesehatan sudah menghimbau masyarakat untuk ikut ORI mengingat
status KLB difteri Kota Banda Aceh, namun respon yang didapat tidak seperti
yang diharapkan.
Ketersediaan vaksin di setiap puskesmas dilaporkan mencukupi untuk
kegiatan imunisasi dan ORI. Namun puskesmas tidak menyediakan Anti
Difteri Serum (ADS). Pemenuhan kebutuhan ADS merupakan tanggung
jawab pihak Dinas Kesehatan Provinsi Aceh. Jika dirasa perlu, puskesmas
dapat mengkoordinasikan dengan dinas kesehatan untuk pemenuhan
kebutuhan ADS.

C. Pembahasan
1. Implementasi Pedoman Pencegahan Difteri
Upaya pencegahan dan penanggulangan difteri yang mencakup
peningkatan cakupan imunisasi, penemuan kasus difteri, penyelidikan
epidemiologi, perujukan pasien ke rumah sakit, pemeriksaan spesimen,
pemberiaan prophilaksis serta pelaksanaan ORI telah ditelaah oleh beberapa
peneliti di Indonesia. Peneliti-peneliti tersebut mencoba membandingkan
penerapan dan manfaatnya dari hasil penelitian di beberapa daerah termasuk di
Kota Banda Aceh dalam upaya pencegahan dan penanggulangan difteri. Berikut
pembahasan mengenai temuan utama dalam penelitian ini dibandingkan dengan
penelitian sebelumnya serta keterbatasan-keterbatasn dalam penelitian ini.

a. Peningkatan Cakupan Imunisasi Difteri


Imunisasi tergolong ke dalam pencegahan primer terhadap berbagai
penyakit infeksi yang sangat efektif dan murah (Ranuh, 2008). Puskesmas
sebagai lini depan pelayanan kesehatan diharapkan dapat terus melakukan
upaya-upaya berkesinambungan untuk meningkatkan angka cakupan
imunisasi. Terlebih lagi dengan ditetapkan Aceh sebagai wilayah KLB difteri.
library.uns.ac.id 67
digilib.uns.ac.id

Rendahnya angka cakupan imunisasi difteri dipuskesmas sampel,


memerlukan perhatian serius terkait usaha pencegahan utama penyakit infeksi
ini. Seluruh balita sangat dianjurkan untuk melengkapi imunisasi dasar
lengkap. Imunisasi dasar lengkap membantu memproteksi balita dari serangan
penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Beberapa hasil
penelitian mendukung hal ini. Seperti penelitian Saifudin, et al (2016) di
kabupaten Blitar, status imunisasi sangat berpengaruh pada kejadian infeksi
difteri. Anak yang telah diimunisasi DPT sebanyak tiga kali seperti anjuran
WHO akan memiliki imunitas aktif pada tubuhnya. Begitu pula penelitian
yang dilakukan oleh Mardiana (2018) yang menyatakan bahwa imunisasi
dasar lengkap merupakan komponen yang sangat mempengaruhi resiko
terjadinya penyakit difteri di Jawa Timur pada tahun 2016 dibandingkan
dengan kepadatan penduduk yaitu sebesar 0,33 kali.
Penelitian yang dilakukan oleh Hidayati (2017) menyatakan bahwa
balita yang tidak diimunisasi difteri memiliki resiko tujuh kali lebih besar
terserang difteri dari pada balita yang telah mendapat imunisasi difteri. Vaksin
DPT yang diberikan dapat membantu balita membentuk antibodi sehingga
terdapat kekebalan dalam tubuh balita akan penyakit difteri.
Anak yang yang tidak diimunisasi dan terserang penyakit infeksi yang
sebenarnya dapat diatasi dengan imunisasi, beresiko lebih besar mengalami
kecacatan atau kematian. Selain itu, anak yang tidak diimunisasi juga dapat
memberikan dampak buruk bagi lingkungannya, dimana kemungkinan
penyebaran penyakit infeksi ke orang lain akan terus terjadi. Kerentanan ini
menyebabkan penyakit yang semula telah hilang akan muncul lagi (Winarsih,
et al., 2013). Seperti yang didapat pada penelitian ini, dimana penyakit difteri
yang semula telah hilang, muncul kembali di Kota Banda Aceh karena
cakupan imunisasi yang rendah.
Edukasi mengenai imunisasi yang secara rutin dilaksanakan oleh
puskesmas sampel tenyata masih saja belum dapat meningkatkan jumlah
cakupan imunisasi secara signifikan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Septariani, et al. Pada penelitian yang mencari hubungan
edukasi berupa penyuluhan dengan pengetahuan dan sikap ibu di desa
library.uns.ac.id 68
digilib.uns.ac.id

Sukarapih kecamatan Sukasari, didapatkan bahwa penyuluhan mempengaruhi


pengetahuan ibu. Ibu semakin mengetahui bagaimana pentingnya imunisasi
dan efek samping yang sebenarnya bisa terjadi dan diatasi. Meningkatnya
pengetahuan ibu belum mempengaruhi sikap ibu untuk mengimunisasi
anaknya. Penelitian ini menunjukkan tidak ada pengaruh antara penyuluhan
dengan sikap ibu. Tidak terdapat kesediaan ibu untuk merubah sikap, karena
meniru perilaku kelompok di lingkungannya yang telah ia percayai
sebelumnya atau karena pengaruh seseorang yang sangat ia hormati
(Septariani et al., 2015).
Keterbatasan pada penelitian ini adalah tidak mencari informasi lebih
lanjut bagaimana tanggapan masyarakat akan edukasi yang selama ini telah
dilaksanakan oleh dokter di puskesmas. Peneliti hanya mengambil informan
triangulasi dari dinas keseehatan dan rumah sakit rujukan di Kota Banda
Aceh.

b. Penemuan Dan Penatalaksanaan Kasus Difteri


Kejadian luar Biasa (KLB) difteri yang terjadi di Kota Banda Aceh
sejak tahun 2017 adalah kasus re-emerging, sangat disayangkan pada tahun
2017 angka kejadian difteri meningkat tajam di Kota Banda Aceh. Pasien
difteri dilaporkan dari seluruh wilayah kecamatan di Kota Banda Aceh.
Pada tahun 2018, angka kejadian difteri sudah dapat ditekan di
beberapa Puskesmas melalui berbagai penatalaksanaan yang dilakukan oleh
dinas kesehatan bekerjasama dengan seluruh petugas kesehatan di Kota Banda
Aceh. Namun kasus difteri masih terjadi di beberapa wilayah kerja puskesmas,
dari kelima puskesmas sampel, hanya dua puskesmas yang masih melaporkan
kasus difteri. Penemuan kasus difteri oleh puskesmas sampel masih bersifat
pasif. Pasien seringkali ditemukan di layanan kesehatan selain puskesmas.
Penelitian ini tidak melakukan pencarian lebih lanjut di layanan kesehatan
mana pasien ditemukan dan bagaimana penanganan pasien di layanan
kesehatan tersebut. Peneliti hanya melakukan wawancara dengan dokter
puskesmas yang diantaranya ada yang belum pernah mempunyai pengalaman
terpapar atau menemukan langsung pasien difteri.
library.uns.ac.id 69
digilib.uns.ac.id

Pengetahuan masyarakat tentang penyakit difteri berupaya


ditingkatkan oleh dokter puskesmas. Dokter bersama petugas kesehatan
lainnya mengadakan penyuluhan rutin secara kontinyu. Tujuannya adalah agar
masyarakat dapat mengenal tanda, gejala dan akibat yang ditimbulkan oleh
penyakit difteri. Diharapkan setiap warga yang memiliki gejala mirip difteri
dapat segera memeriksakan dirinya ke puskesmas untuk didiagnosis lebih
lanjut. Penelitian di kabupaten Blitar oleh Alfiansyah (2017) mengungkapkan
bahwasanya faktor resiko terjadinya difteri selain pada anak di bawah umur 15
tahun, juga pada masyarakat yang pengetahuan tentang difterinya rendah.
Orang yang tidak mengetahui tentang berbahayanya penyakit difteri menjadi
lebih mudah beresiko tertular difteri karena mereka tidak tahu bagaimana cara
mencegah, tanda, dan gejala difteri. Hal ini juga didukung oleh Utami (2010)
yang menyatakan bahwa orang yang pengetahuan difterinya lebih rendah,
akan beresiko 16,4 kali tertular difteri dibandingkan dengan orang yang
memiliki pengetahuan tinggi. Oleh karena itu warga perlu ditingkatkan
pengetahuannya tentang difteri melalui penyuluhan yang dilakukan tidak
hanya oleh dokter, tetapi seluruh petugas dan kader kesehatan.

c. Penyelidikan Epidemiologi
Penyelidikan epidemiologi adalah kegiatan yang dilaksanakan secara
terencana untuk menyelidiki kasus kesehatan yang terjadi di suatu wilayah
kerja. Penyelidikan terkait dengan bagaimana kronologis terjadinya kasus,
memastikan diagnosis, mencari kasus tambahan, dan memastikan ada atau
tidak terjadi KLB. Pada kasus difteri, penyelidikan epidemiologi bertujuan
untuk mengetahui faktor resiko difteri sehingga penyebaran difteri dapat
segera dihentikan (Widoyono, 2008).
Penyelidikan epidemiologi termasuk ke dalam program
penanggulangan difteri yang dilaksanakan oleh surveilans. Surveilans difteri
adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara terkoordinir dan
berkesinambungan untuk mengumpulkan segala informasi mengenai kejadian
difteri. Informasi yang terkumpul akan dilaporkan untuk perencanaan
pengendalian dan penanggulangan difteri selanjutnya. Dengan kata lain
library.uns.ac.id 70
digilib.uns.ac.id

surveilans memegang peranan penting pada penyelidikan epidemiologi.


(Anggraeni et al.,2017).
Tata cara penyelidikan epidemiologi KLB difteri yang dilakukan oleh
puskesmas di Kota Banda Aceh sudah sejalan dengan yang di lakukan di
Kabupaten Ngawi tahun 2015. Pada penelitian tentang penyelidikan
epidemiologi di Kabupaten Ngawi, surveilans secara garis besar telah
menjalankan prosedur penyelidikan epidemiologi ketika terjadi KLB.
Kegiatan yang dilakukan mulai mengunjungi rumah penderita, sekolah dan
tempat bermain untuk mensurvey kontak erat. Kemudian kontak erat ini
diamati selama beberapa hari, tujuannya adalah apabila ada yang
menunjukkan gejala mirip difteri segera ditatalaksana lebih lanjut. Koordinasi
dengan Dinas Kesehatan Provinsi dilakukan, di mana laporan harus masuk
dalam waktu satu hari sejak ditemukan kasus (Rahman, et al. 2016).
Peran dokter puskesmas sangat diperlukan untuk mengawasi prosedur
penyelidikan epidemiologi. Dokter diharapkan dapat berperan aktif, tidak
hanya menyerahkan semua pelaksanaan penyelidikan epidemiologi ke
surveilans. Sebagai ketua tim cepat penanggulangan difteri, dokter dituntut
mampu mengawasi tugas surveilans dalam penyelidikan epidemiologi guna
memutus mata rantai penyebaran difteri di wilayah kerjanya. Kemampuan
majerial dokter dalam melakukan pengawasan kinerja tim sangat diperlukan.
Semua penyelidikan epidemiologi harus kembali dilaporkan kepada kepala
puskesmas atau dokter sebagai penanggung jawab. Pendataan yang tidak
lengkap dalam penyelidikan epidemiologi seperti pada puskesmas B,
membuktikan kurangnya pengawasan dokter pada kinerja surveilans. Temuan
ini didapatkan dari data laporan epidemiologi puskesmas B. Dalam penelitian
ini peneliti tidak dapat melakukan wawancara dengan dokter kepala
puskesmas B. Wawancara dilakukan pada dokter yang bertanggung jawab di
bidang pelayanan poli, sehingga peneliti tidak dapat mengetahui alasan tidak
dijalankannya prosedur penyelidikan epidemiologi secara lengkap di
puskesmas B. Peneliti juga tidak melakukan wawancara secara formal
terhadap surveilans dari setiap puskesmas untuk menghindari penyimpangan
library.uns.ac.id 71
digilib.uns.ac.id

dari tujuan awal penelitian yaitu meneliti kinerja dokter bukan petugas
kesehatan lainnya yang terlibat dalam upaya pencegahan difteri.

d. Perujukan Pasien Ke Rumah Sakit


Prinsip penatalaksanaan pasien difteri selain menginaktivasi toksin
dan mencegah komplikasi, juga untuk mengeliminasi bakteri difteri guna
menghentikan penyebaran bakteri ke sekitar (Haryato, 2018).
Bakteri difteri dapat ditularkan melalui droplet dan kontak dengan
penderita, oleh sebab itu diperlukan penanganan khusus berupa pengisolasian
pasien dari lingkungan. Isolasi dilakukan sampai pasien melewati masa
akutnya dan dibuktikan dengan hasil negatif pada apusan tenggorokan pada
dua kali pemeriksaan berurutan. Masa isolasi pasien difteri umumnya selama
dua sampai tiga minggu (Haryato, 2018).
Pasien difteri sebenarnya tidak harus dirujuk ke rumah sakit, bila di
puskesmas tersedia ruang rawat untuk isolasi. Namun puskesmas-puskesmas
di Kota Banda Aceh belum memiliki fasilitas tersebut. Tidak tersedianya
ruang isolasi di puskemas, menyebabkan pasien harus dirujuk ke rumah sakit
yang menyediakan fasilitas ruang isolasi yaitu ke rumah sakit umum daerah
dr. Zainoel Abidin. Rumah sakit rujukan juga harus memiliki petugas
kesehatan yang kompeten menangani pasien difteri. Guna mencegah transmisi
penularan bakteri difteri ke petugas kesehatan, maka petugas kesehatan yang
merawat pasien di ruang isolasi sudah seharusnya dilengkapi dengan alat
perlindungan diri (APD) yang lengkap.
Alat perlindungan diri (APD) adalah suatu alat yang berfungsi untuk
melindungi diri pekerja dari bahaya-bahaya akibat pekerjaannya. Alat ini
dapat mengurangi resiko yang terjadi dengan menghalangi kontak langsung
antara bahaya (dalam hal ini bakteri) dengan pekerja (Suma’mur, 2012).
Ketersediaan APD untuk petugas kesehatan yang menangani kasus
difteri di ruang isolasi meliputi sarung tangan, masker N95, baju pelindung
(jubah), dan pelindung mata. APD ini juga harus digunakan oleh orang- orang
yang kemungkinan terpapar dengan pasien difteri selama berada di ruang
isolasi seperti keluarga pasien (Potter & Perry, 2005).
library.uns.ac.id 72
digilib.uns.ac.id

e. Pengambilan Spesimen Dari Pasien Dan Kontak Erat


Tahapan penatalaksanaan pasien terduga difteri selanjutnya adalah
pemeriksaan spesimen tenggorok atau hidung di laboratorium. Tahapan ini
juga dilaksanakan pada kontak erat yang tinggal di sekitar lingkungan pasien
terduga difteri. Seluruh kontak erat di sekitar pasien yang terdiagnosis difteri
dilakukan pengambilan spesimen tenggorok atau hidung tanpa melihat status
imunisasi sebelumnya dan ada tidaknya timbul gejala seperti difteri (Fitriana
& Novriani, 2014).
Diagnostik laboratorium difteri secara konvensional dapat dilakukan
dengan metode elek test, guinea pig dan vero cell cytotoxigenicit. Namun pada
kasus KLB seperti di Aceh, ketiga pemeriksaan tersebut tidak dapat dilakukan.
Pemeriksaan elek test membutuhkan waktu yang cukup lama, biaya yang
tinggi dan sarana dan prasarana laboratorium berstandar tinggi, demikian juga
dengan pemeriksaan vero cell cytotoxigenicity. Pemeriksaan guinea pig adalah
pemeriksaan yang membutuhkan hewan coba dan tentunya memerlukan
proses yang lama dan dapat ditentang oleh pencinta satwa. Pemeriksaan
laboratorium yang dapat diterapkan pada daerah KLB difteri adalah teknik
PCR (Polymerase Chain Reaction) (Sunarno et al., 2013).
Kota Banda Aceh belum memiliki sarana laboratorium pendukung
untuk pemeriksaan spesimen difteri. Seluruh hasil swab pasien difteri
dikirimkan ke Jakarta untuk dilakukan pemeriksaan laboratorium lanjutan.
Pemeriksaan spesimen pada pasien terduga difteri dan kontak erat harus
dilakukan oleh tenaga laboratorium yang terlatih. Tenaga laboratorium juga
harus dilengkapi dengan Alat Pelindung Diri (APD) yang lengkap dalam
proses pengambilan spesimen mengingat sifat bakteri difteri yang sangat
infeksius. Pengambilan swab tenggorok dan hidung ini dilakukan oleh hanya
satu orang tenaga ahli laboratorium di Kota Banda Aceh. Tidak ada petugas
laboratorium di puskesmas yang kompoten untuk pengambilan spesimen
difteri.
Berdasarkan data observasi yang dikumpulkan didapatkan bahwa
beberapa puskesmas melewatkan pemeriksaan spesimen pada kontak erat.
Mereka hanya mengajukan pemeriksaan spesimen pada pasien difteri. Peneliti
library.uns.ac.id 73
digilib.uns.ac.id

tidak menanyakan lebih lanjut pada informan utama mengapa melewatkan


prosedur pemeriksaan spesimen pada kontak erat, apakah dikarenakan
terbatasnya jumlah tenaga laboratorium terlatih di kota Banda Aceh atau
karena ketidaktahuan petugas kesehatan dalam menjalankan prosedur
penatalaksanaan kasus.
Akibat tidak dilakukan pemeriksaan spesimen pada kontak erat adalah
sulitnya pendeteksian kemungkinan karier dari kontak erat dan tidak dapat
menjadi acuan dalam pemberian prophilaksis kontak erat. Kontak erat yang
terbukti positif difteri dari pemeriksaan laboratorium seharusnya mendapat
penatalaksaan berbeda dengan kontak erat yang negatif bakteri C.Diphteriae.

f. Pemberian Prophilaksis Pada Kontak Erat dan Karier


Difteri merupakan penyakit infeksius yang penularannya sangat cepat.
Pasien terduga difteri harus segera ditatalaksana sesuai dengan prosedur
penanganan difteri. Begitu pula pada orang-orang yang berada di sekitar
pasien terduga difteri (kontak erat). Dokter harus segera memberikan
prophilaksis seperti eritromisin kepada kontak erat dan karier guna memutus
mata rantai penularan difteri (Sariadji et al., 2016).
Penanggulangan penyebaran penyakit difteri tidak hanya pada pasien
difteri tetapi juga mencakup orang-orang di sekitar tempat tinggal pasien
difteri yang disebut dengan kontak erat. Kontak erat dianggap sebagai orang
yang sangat beresiko tertular bakteri difteri. Kontak erat harus dipantau
selama tujuh hari sejak terakhir kontak dengan kasus untuk menyingkirkan
dugaan kontak erat menjadi karier. Tata laksana pada kontak erat hampir sama
dengan pada pasien difteri, namun kontak erat tidak perlu diisolasi. Tata
laksana pada kontak erat meliputi, pemberian eritromisin sebagai obat
prophilaksis 4 x 500 mg selama tujuh sampai sepuluh hari, diberikan
imunisasi dasar difteri pada kontak erat yang belum pernah diimunisasi,
sedangkan pada kontak erat yang sudah pernah diimunisasi diberikan
imunisasi dosis booster apabila imunisasi terakhir sudah lebih dari lima
tahun, dan tahapan terakhir adalah memeriksa spesimen apusan tenggorok
atau hidung (Washington State Department of Health, 2016).
library.uns.ac.id 74
digilib.uns.ac.id

Pemberian prophilaksis pada seluruh kontak erat berfungsi sebagai


upaya memutus mata rantai penularan difteri. Surveilans puskesmas sampel
telah mendata kontak erat terlebih dahulu untuk kemudian memberikan
prophilaksis. Pendataan kontak erat yang hanya berkisar di keluarga yang
tinggal serumah dengan pasien pada kasus di puskesmas B menyebabkan tidak
seluruh kontak erat yang infeksius mendapat prophilaksis. Seperti yang telah
diterangkan sebelumnya, penyelidikan epidemiologi memegang peranan
penting dalam penatalaksanaan kasus. Prosedur yang terlewatkan dalam
penyelidikan epidemiologi berefek pada tahapan berikutnya. Hal ini lah yang
terjadi pada puskesmas B. Pendataan kontak erat dan pemberian prophilaksis
yang tidak mencakup semua kontak erat bisa saja menjadi penyebab masih
adanya kasus difteri di puskesmas B sampai dengan bulan Oktober 2018.
Pemberian prophilaksis juga mencakup karier. Karier adalah orang-
orang yang tidak mempunyai tanda dan gejala penyakit difteri namun pada
pemeriksaan laboratorium terbukti terinfeksi bakteri C. Diphteriae. Untuk itu
perlu mencari resiko karier diantara kontak erat. Tata laksana karier adalah
dengan memberikan anti mikroba berupa penisilin 100 mg/Kg BB/hari secara
oral atau intra vena atau dengan memberikan eritromisin 40 mg/Kg BB/hari
selama tujuh hari (Haryato, 2018).
Vaksin difteri toksoid diberikan pada karier yang belum mendapat
imunisasi booster dalam waktu kurang dari setahun. Karier juga diisolasi
sampai terbukti negatif difteri setelah pemeriksaan laboratorium dua kali
berturut-turut (Nelson, 2000).

g. Outbreak Response Immunization (ORI)


Pelaksanaan ORI seharusnya dapat meminimalkan resiko penyebaran
difteri, namun pelaksanaan ORI sering kali tidak dapat maksimal. Hal ini
dikarenakan masih banyak masyarakat yang menolak ORI dan tidak
memperoleh informasi cukup akan bahaya penyakit difteri.
Masyarakat dihimbau untuk ikut dalam kegiatan ORI, tanpa
memandang riwayat imunisasi sebelumnya. Contohnya, bagi mereka yang
sudah lengkap imunisasinya dan berumur di bawah 19 tahun tetap dianjurkan
untuk mengikuti ORI. Bahkan Petugas kesehatan baik itu yang bekerja di
library.uns.ac.id 75
digilib.uns.ac.id

puskesmas, rumah sakit ataupun di Dinas Kesehatan di Kota Banda Aceh yang
usianya diatas 19 tahun pun telah divaksin, mengingat mereka memiliki resiko
tinggi terpapar difteri. Seperti yang terjadi pada penelitian mengenai cakupan
ORI di puskesmas Mijen, Kota Semarang. Cakupan ORI dilaporkan menurun
karena sebagian besar yang mengikuti ORI hanya kader puskesmas. Pihak
puskesmas dirasa kurang dalam melakukan upaya mensosialisasikan
pentingnya ORI (Radian et al., 2018).
ORI yang dilaksanakan di Kota Banda Aceh merupakan ORI massal
dengan melibatkan koordinasi dari kesebelas puskesmas dan di bawah
koordinasi Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh. ORI tidak hanya dilaksanakan
di satu desa yang terkena kasus, tetapi mencakup seluruh wilayah kerja
puskesmas. Namun antusiasme masyarakat masih rendah di setiap puskesmas,
terbukti dari jumlah masyarakat yang berhasil divaksin pada saat ORI sangat
jauh dari jumlah masyarakat yang tinggal di wilayah kerja masing-masing
puskesmas. Pada penelitian ini tidak dihitung berapa persen cakupan ORI di
setiap puskesmas. Peneliti juga tidak mengamati apakah terjadi penurunan
atau peningkatan jumlah masyarakat yang divaksin pada ORI sebelumnya di
puskesmas A dan B yang telah melaksanakan dua kali ORI selama dua tahun
ini.

2. Kendala Dalam Penerapan Pedoman Pencegahan Difteri


a. Peningkatan Cakupan Imunisasi Difteri
Berdasarkan hasil Riskesdas 2018, cakupan imunisasi dasar lengkap
di Indonesia hanya sebesar 57,9%, sedangkan di Provinsi Aceh angka rerata
cakupan imunisasi dasar lengkap masih jauh di bawah rerata nasional yaitu
sebesar 20,0%. Untuk cakupan imunisasi DPT di Indonesia pada tahun 2018
mengalami penurunan dari tahun 2013. Pada tahun 2013 cakupan imunisasi
DPT sebesar 75,6%, di tahun 2018 menurun menjadi 61,3%, (Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2018).
Kendala utama yang dirasakan dalam peningkatan angka cakupan
imunisasi di seluruh puskesmas sampel adalah adanya penolakan dari orang
tua untuk mengimunisasi anaknya dan isu halal haram vaksin. Hal ini
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan warga dalam memfilter perkembangan
library.uns.ac.id 76
digilib.uns.ac.id

isu yang begitu cepat. Seperti penelitian yang dilakukan di puskesmas Bendo
Kabupaten Magetan, didapatkan bahwasanya anak dengan orang tua yang
memiliki pendidikan dan pengetahuan yang baik tentang imunisasi cenderung
mempunyai status imunisasi dasar yang lengkap dibandingkan dengan orang
tua yang pendidikan dan pengetahuannya kurang baik terhadap imunisasi (Sari
et al., 2016).
Disamping itu juga berkembang isu tentang adanya Kejadian Ikutan
Pasca Imunisasi (KIPI) yang akan berakibat fatal bagi kesehatan anak-anak
yang diimunisasi. Tidak semua orang tua mengetahui bahwa KIPI tidak
mutlak terjadi pada setiap imunisasi. Menurut data Riskesdas (Riset kesehatan
dasar) tahun 2013, dari 91,3% anak di Indonesia yang telah mendapatkan
imunisasi, KIPI hanya terjadi pada 33,4% anak (Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, 2013).
Berkembangnya isu yang sangat meresahkan ini seharusnya bisa
diatasi dengan dengan memberikan edukasi dan pemahaman kepada orang tua
terutama ibu. Tingkat pendidikan dan pengetahuan orang tua sangat
berpengaruh terhadap kelengkapan imunisasi anak. Sebagaimana penelitian
yang dilakukan oleh Thaib, et al (2013), terdapat hubungan yang bermakna
antara tingkat pendidikan orang tua terutama ibu dengan kelengkapan
imunisasi anak. Penelitian ini dilaksanakan di salah satu rumah sakit
pemerintah di Kota Banda Aceh. Hasil penelitian juga menyimpulkan bahwa
alasan terbesar orang tua tidak melengkapi imunisai anaknya adalah karena
mereka resah tehadap efek samping yang akan ditimbulkan setelah imunisasi
(KIPI).
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Utama, et al (2014) di
kabupaten Bangkalan. Alasan orang tua tidak mau membawa anaknya untuk
diimunisasi DPT adalah karena takut anaknya yang semula sehat akan sakit
setelah diimunisasi DPT. Begitu pula pada orang tua yang sebelumnya telah
mengimunisasi DPT 1 anaknya, mereka trauma anaknya akan mengalami
KIPI akibat imunisasi DPT. Inilah yang menjadi tugas petugas kesehatan
untuk menerangkan bahwa imunisasi DPT walaupun seringkali menimbulkan
efek demam tetapi mempunyai manfaat besar bagi masa depan anak.
library.uns.ac.id 77
digilib.uns.ac.id

Edukasi yang dijalankan melalui program promosi kesehatan


(Promkes) selama ini di seluruh puskesmas dibiayai dengan dana Bantuan
Operasional Kesehatan (BOK). Tidak ada permasalahan dalam pembiayaan
ini. Dana yang disalurkan cukup memadai dan dapat dimanfaatkan dengan
sangat baik di setiap puskesmas. Masih rendahnya angka cakupan imunisasi di
setiap puskesmas lebih dikarenakan karena kelirunya strategi dalam
mengedukasi sehingga implikasinya kurang tepat. Dokter puskesmas belum
sepenuhnya menjalankan prinsip kedokteran keluarga secara kontinyu atau
berkesinambungan. Dokter belum dapat membangun komunikasi yang baik
dengan masyarakat sehingga tidak mengerti bagaimana karakteristik
masyarakat. Edukasi yang diberikan untuk meningkatkan cakupan imunisasi
belum secara tepat menyangkal isu yang berkembang di masyarakat Kota
Banda Aceh. Edukasi hanya menjelaskan pentingnya imunisasi, tanpa
menjelaskan jawaban permasalahan selama ini. Seharusnya dokter dapat
menjelaskan bahwa vaksin DPT adalah vaksin yang halal. Dokter dapat
menerangkan kandungan dan cara pembuatan vaksin DPT yang bebas dari
komponen haram sehingga masyarakat tidak ragu lagi tentang kehalalannya.
Dokter sebaiknya juga mengajak kalangan pemuka agama untuk turut andil
dalam mengedukasikan tentang kehalalan vaksin. Karakteristik masyarakat
Aceh yang religius cenderung untuk lebih mempercayai apa yang dikatakan
oleh pemuka agamanya, sehingga akan lebih mudah bila adanya dukungan
dari sektor agama dan tentunya pemerintah dalam menghilangkan keraguan
masyarakat akan kebersihan atau kehalalan vaksin.
Dokter juga dapat menjelaskan kepada masyarakat untuk tidak perlu
cemas akan akibat KIPI vaksin DPT. KIPI tidak mutlak terjadi pada semua
anak dan merupakan reaksi normal dari tubuh. Dokter dapat mengedukasi
bagaimana cara mengatasi KIPI di rumah. Edukasi ini tentunya memerlukan
pemahaman dokter akan karakteristik masyarakat di wilayah kerjanya,
sehingga dokter mengerti permasalahan yang menyebabkan cakupan
imunisasi rendah dan dapat menemukan solusinya.
Rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya imunisasi juga
dipengaruhi oleh tingkat aksebilitas masyarakat terhadap tekhnologi
library.uns.ac.id 78
digilib.uns.ac.id

informasi. Penerimaan warga terhadap informasi berbanding lurus pada


tingkat pendidikan warga. Warga yang mendapatkan informasi positif tentang
pentingnya imunisasi tentunya akan membentengi anaknya dengan imunisasi
lengkap, sebaliknya warga yang menerima informasi negatif seputar imunisasi
akan sulit memahami pentingnya imunisasi dan tidak akan mengizinkan
anaknya untuk diimunisasi (Triana, 2015).

b. Penemuan Dan Penatalaksanaan Kasus Difteri


Upaya pencegahan difteri yang dilaksanakan oleh dokter puskesmas
tentunya masih harus diperbaiki mengingat masih adanya kasus difteri di
sebagian wilayah di Kota Banda Aceh. Dalam penelitian ini, peneliti melihat
beberapa kendala berkaitan penemuan dan penataksanaan kasus difteri.
Tahapan penemuan kasus secara aktif belum diupayakan oleh petugas
kesehatan di kelima puskesmas sampel. Dari keterangan informan utama di
seluruh puskesmas sampel, diketahui bahwa penemuan kasus difteri masih
berupa penemuan pasif. Bahkan sebagian besar pasien difteri terdiagnosis
pada pelayanan kesehatan lain selain puskesmas yaitu pada praktek dokter
ahli. Pasien terduga difteri ditata laksana dengan merujuk ke rumah sakit
pemerintah. Berdasarkan laporan dari pihak rumah sakit, Dinas Kesehatan
Kota Banda Aceh menghubungi puskesmas tempat pasien berdomisili untuk
dilakukan penyelidikan epidemiologi lebih lanjut.
Pada setiap puskesmas belum ada kegiatan yang terkoordinir dan
kontinyu melalui komunikasi yang baik dengan teman sejawat yang
berpraktek di sekitar wilayah kerja puskesmas, klinik swasta ataupun dengan
fasilitas pelayanan kesehatan lain selain rumah sakit untuk mencari dan
menemukan pasien dengan gejala mirip difteri. Dokter puskesmas sampel
belum maksimal dalam menerapkan sistem kedokteran keluarga, sehingga
penemuan kasus cenderung secara pasif. Kasus difteri baru terdeteksi setelah
warga yang terinfeksi mencari pengobatan di puskesmas. Penemuan kasus
secara pasif ini juga kerap ditemukan pada penyebaran penyakit infeksi lain
seperti pada penyebaran penyakit tuberkulosis. Menurut penelitian yang
dilakukan Wijayanti (2016), penemuan kasus tuberkulosis membutuhkan
dukungan manajemen yang baik berupa planning, organizing, actuating dan
library.uns.ac.id 79
digilib.uns.ac.id

controlling. Begitu pula diharapkan dapat diterapkan pada penemuan kasus


difteri. Dokter puskesmas belum melaksanakan screening secara aktif pada
warga yang mungkin memiliki tanda dan gejala penyakit difteri. Dokter hanya
menunggu sampai ada warga yang melaporkan atau datang berobat dengan
gejala difteri baru kemudian menatalaksana kasus.
Dalam upaya kewaspadaan dini difteri yaitu penemuan kasus, dokter
puskesmas sampel belum sepenuhnya menjalankan peran care provider secara
berkesinambungan, yaitu pelayanan kedokteran secara holistik dengan secara
terus menerus memperhatikan bagaimana keadaan dan kondisi kesehatan
masyarakat di sekitar lingkungan tempat kerjanya. Hal ini dilihat dengan tidak
adanya gerakan aktif dokter puskesmas seperti melakukan screening secara
kontinyu pada warga yang mungkin memiliki tanda dan gejala penyakit
difteri. Dokter hanya menunggu sampai ada warga yang melaporkan atau
datang berobat dengan gejala difteri baru kemudian menatalaksana kasus.
Penemuan kasus secara pasif di seluruh puskesmas sampel
mengindikasi bahwa masih perlunya peningkatan manajemen di lingkungan
puskesmas dalam menjalankan peran preventif untuk menghindari penyebaran
penyakit infeksi.
Edukasi mengenai penyakit difteri bisa ditingkatkan dengan
melibatkan kader posyandu, yaitu kader adalah orang yang secara sukerela
telah dilatih dan telah mendapat kepercayaan masyakat untuk mau membantu
bersama-sama meningkatkan derajat kesehatan lingkungannya (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 1988). Kader posyandu ini dapat dibina agar
dapat menyampaikan informasi secara benar mengenai difteri, selain tentu saja
mengajak para ibu yang memiliki balita untuk mengimunisasi anaknya ke
puskesmas. Diharapkan dengan adanya keterlibatan kader, maka kemungkinan
penemuan kasus difteri akan semakin cepat dilaporkan. Kader dapat
mengenali gejala penyakit yang mirip difteri dan segera membawa terduga
penderita untuk memeriksakan diri ke puskesmas.
Mengaktifkan kader dalam penemuan kasus difteri telah dilaksanakan
di puskesmas Sidoarjo, tercatat 75% kader secara aktif membantu petugas
kesehatan untuk mengenali gejala difteri pada warga. Kader mendatangi
library.uns.ac.id 80
digilib.uns.ac.id

rumah warga yang terduga difteri dan memotivasi warga untuk segera
memeriksakan dirinya ke puskesmas guna pencegahan penyebaran penyakit
(Alfina & Isfandiari, 2015).

c. Penyelidikan Epidemiologi
Sedikitnya jumlah surveilans yang ditempatkan di setiap puskesmas
menjadi kendala dalam lancarnya penyelidikan epidemiologi. Seperti yang di
laporkan pada penelitian Siyam (2013), kurangnya jumlah SDM surveilans
mempengaruhi keberhasilan dan ketepatan waktu pelaporan penyelidikan
epidemiologi. Kualitas informasi yang baik salah satunya adalah tepat waktu.
Laporan yang masuk tepat waktu sangat mempengaruhi penentuan tindakan
selanjutnya di wilayah KLB.
Kegiatan penyelidikan epidemiologi merupakan kegiatan yang
memegang peran penting dalam penangggulangan KLB, tentunya kendala
yang dihadapi surveilans, sebagai pelaku utama dalam penyelidikan
epidemiologi tidaklah sedikit. Jumlah surveilans yang terbatas ditambah lagi
dengan kualitas SDM yang masih diragukan, akan sangat mempengaruhi
kelancaran penyelidikan epidemiologi.
Surveilans adalah orang yang harus segera terjun ke masyarakat di
mana dilaporkan adanya kasus difteri. Hambatan penyelidikan epidemiologi
seperti ketidaksesuaian data diri pasien dan penolakan keluarga pasien untuk
bekerjasama dalam memberi keterangan sering kali ditemui di lapangan. Hal
ini tentu saja menjadi kendala dalam pelaporan kasus yang harus dikumpulkan
kurang dari 24 jam sejak ditemukan.

d. Pengambilan Spesimen Dari Pasien Dan Kontak Erat


Kendala selanjutnya adalah pada pemeriksaan spesimen difteri,
jumlah tenaga laboratorium yang hanya satu orang di Kota Banda Aceh serta
tidak tersedianya sarana laboratorium untuk pemeriksaan mikrobiologi
menjadi hambatan dalam menunjang diagnosis. Pengiriman hasil swab difteri
ke pusat (Jakarta) tentulah memakan waktu, karena itu tak jarang ketika hasil
kultur laboratorium didapat, pasien sudah dirawat selama tujuh sampai empat
library.uns.ac.id 81
digilib.uns.ac.id

belas hari di ruang isolasi dengan penatalaksanaan lengkap terhadap difteri


tanpa adanya konfirmasi laboratorium.
Konfirmasi laboratorium yang memakan waktu relatif lama
menyebabkan diagnosis difteri pada pasien terduga difteri sangat bergantung
pada pemeriksaan fisik yang dilakukan oleh dokter. Penanganan pasien
terduga difteri segera ditatalaksana sesuai dengan prosedur penanganan pasien
difteri tanpa menunggu hasil konfirmasi laboratorium yaitu mengisolasi pasien
dan memberikan anti difteri serum (Fitriana & Novriani, 2014).
Munculnya hasil negatif pada konfirmasi laboratorium menjadi
permasalahan tersendiri bagi dokter dalam mengkomunikasikan hal tersebut
ke keluarga pasien. Mereka tidak mengerti bahwa diagnosis difteri bukan
mutlak dari hasil pemeriksaan laboratorium, tetapi diagnosis difteri sudah
dapat ditegakkan melalui pemeriksaan fisik yaitu melihat tanda-tanda dan
gejala yang sangat khas pada tenggorok pasien dimulai dari tonsil sampai
uvula yang dapat ditemui membran ke abu-abuan dan mudah berdarah bila
diangkat. Disinilah pentingnya kemampuan komunikasi dokter untuk
mengedukasi keluarga pasien.

e. Pemberian Prophilaksis Pada Kontak Erat dan Karier


Terkait dengan eritromisin sebagai obat prophilaksis, kontak erat dan
karier harus mengkonsumsi obat ini secara terus menerus dalam tujuh hari.
Eritromisin memiliki efek samping yang dapat menyebabkan mual dan
muntah. Sebagian kontak erat enggan untuk mengkonsumsinya secara terus
menerus sehingga kemungkinan resiko putus obat sangat besar. Eritromisin
tidak akan memberikan efek prophilaksis bila tidak dikonsumsi secara teratur,
dengan kata lain kontak erat akan tetap menjadi orang yang infeksius di
lingkungannya. Oleh karena itu pemberian prophilaksis pada kontak erat atau
karier harus di bawah pengawasan petugas kesehatan yang ditunjuk sebagai
Pengawas Minum Obat (PMO). Seperti penelitian yang dilakukan oleh
Rahman, et al.(2016), bahwa sebagian kontak erat menghentikan meminum
prophilkasis karena efek samping eritromisin yaitu mual dan muntah.
Ketidakdisiplinan kontak erat dalam mengkonsumsi prophilaksis sampai hari
ketujuh juga dapat menyebabkan resistensi eritromisin.
library.uns.ac.id 82
digilib.uns.ac.id

Pentingnya penetapan PMO harus menjadi perhatian dalam


penanggulangan penyakit difteri. PMO sebaiknya ditetapkan dari kalangan
petugas kesehatan. PMO mengedukasikan pentingnya prophilkasis serta
mengecek kepatuhan kontak erat dalam mengkonsumsi prophilaksis selama
tujuh hari.

f. Outbreak Response Immunization (ORI)


Pelaksanaan ORI yang sudah demikian matangnya dipersiapkan oleh
pihak puskesmas dan dinas kesehatan masih saja menemui hambatan yaitu
masih banyak warga yang belum sadar akan pentingnya vaksin difteri
sehingga mereka enggan membawa angggota keluarganya untuk turut
mensukseskan program ORI. ORI yang seharusnya dilaksanakan sebanyak
tiga putaran yaitu 0, 1 dan 6 bulan hanya dapat dilaksanakan sekali saja,
selebihnya masyarakat ada yang secara sadar datang ke puskesmas untuk
melaksanakan ORI lanjutan tapi lebih banyak yang hanya melakukan ORI
sebanyak satu putaran.
Penolakan warga terhadap ORI sama dengan alasan mereka untuk
tidak melakukan vaksin terhadap anaknya. Isu haram memang sangat
mempengaruhi masyarakat, berkembangnya kelompok antivaks ditambah
dengan berita-berita di media massa yang tidak mampu disaring kebenarannya
oleh masyarakat mengakibatkan pelaksanaan ORI tidak dapat memenuhi
target.

Anda mungkin juga menyukai