Anda di halaman 1dari 15

Proposal Penelitian

Pengaruh Mutasi pada Gen folP dan folA terhadap Struktur Enzim Dihydropteroate
Synthase (DHPS) dan Dihydrofolates Reductase (DHFR) Streptococcus pneumoniae
resistant Cotrimoxazole

Disusun oleh :

Sarah Azhari Balqis

Program Magister Biokimia

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Institut Pertanian Bogor


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Streptococcus pneumoniae (pneumokokus) adalah bakteri Gram-positif
yang bersifat oportunistik pada saluran pernapasan atas manusia. Streptococcus
pneumoniae dapat menginfeksi saluran pernapasan dan menyebabkan mortalitas
yang tinggi pada anak-anak dengan sistem imun yang lemah (Pinti et al., 2016).
Secara epidemiologi, infeksi pneumokokus masih menjadi masalah kesehatan di
Indonesia terutama pada kelompok anak-anak usia <5 tahun, individu lanjut usia,
serta individu yang mengalami penurunan fungsi sistem imun. Berdasarkan data
profil kesehatan Indonesia, proporsi penyebab kematian akibat pneumonia
berkisar 14% pada kelompok anak-anak usia <5 tahun. Studi epidemiologi
pneumokokus salah satunya dapat dilakukan dengan mengetahui pola distribusi
serotipe dari kapsul polisakarida (CPS) S. pneumoniae sebagai faktor virulensi
utama bakteri tersebut.
Trimethoprim/sulfamethoxazole (kotrimoksazol) merupakan obat
antimikroba spektrum luas yang murah dan masih banyak digunakan di negara
berkembang. Trimetropim dan sulfametoksazol menghambat reaksi enzimatik
obligat pada dua tahap yang berurutan pada mikroba sehingga kombinasi kedua
obat memberikan efek sinergi. Telah dikemukakan bahwa kotrimoksazol sedikit
meningkatkan risiko carriage pneumokokus di antara anak yang terinfeksi HIV di
Zambia (Mwenya et al. 2010).
Di Indonesia, kotrimoksazol dilaporkan sebagai antibiotik kedua
terbanyak digunakan setelah golongan penisilin untuk mengatasi gangguan
saluran cerna, gangguan sistem pernafasan, pireksia yang tidak ditentukan,
gangguan metabolisme dan gizi (At Thobari et al., 2019). Resistensi terhadap
trimetoprim atau sulfametoksazol membuat bakteri juga resisten terhadap
kotrimoksazol (Manyahi et al., 2020). Di Indonesia persentase Streptococcus
pneumoniae resistant kotrimoksazol telah meningkat dari waktu ke waktu. Pada
tahun 1997, dilaporkan bahwa 12% dari S. pneumoniae di isolasi dari 484 anak
sehat (usia 0-25 bulan) di Lombok, Indonesia resisten terhadap sulfametoksazol
(Soewignjo et al., 2001). Selain itu , Studi menunjukkan bahwa prevalensi
pembawa pneumokokus nasofaring di Indonesia adalah sekitar 43% sampai 55%
pada anak sehat berusia kurang dari 5 tahun, yang bervariasi berdasarkan
kelompok usia, wilayah, dan tahun.
Resistensi antibiotik penyakit pneumokokus telah meningkat dari waktu
ke waktu antara tahun 1997 dan 2012. Resistensi terhadap sulfametoksazol
meningkat masing-masing 9% menjadi 62% (Kartasasmita et al., 2020).
Resistensi terhadap kotrimoksazol dikaitkan dengan mutasi pada folP dan folA
gen yang mengkode enzim dihydropteroate synthase (DHPS) dan dihydrofolate
reductase (DHFR). Variasi genetik gen ini memainkan peran penting dalam
resistensi kotrimoksazol (Wilén et al.,2009)

1.2 Tujuan Umum Penelitian


Menganalisis perubahan struktur enzim DHPS dan DHFR akibat dari mutasi gen
folP dan folA S. pneumoniae dan interaksinya dengan Cotrimoxazole dengan
metode in silico.

1.3 Tujuan Khusus Penelitian


1. Mengidentifikasi mutasi pada gen folP dan folA dari data Whole Genom
Sequencing
2. Menganalisa perubahan struktur enzim dihydropteroate synthase (DHPS)
dan dihydrofolate reductase (DHFR).
3. Menganalisis efek perubahan struktur enzim DHPS dan DHFR terhadap
Cotrimoxazole dengan metode in silico.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Streptococcus pneumoniae

Streptococcus pneumoniae merupakan bakteri yang dapat menginfeksi


saluran pernapasan dan menyebabkan mortalitas yang tinggi pada anak-anak
dengan sistem imun yang lemah (Pinti et al., 2016). Bakteri ini dapat
menyebabkan berbagai penyakit non-invasif, seperti otitis media atau penyakit
invasif lainnya seperti meningitis, bakteremia, dan pneumonia. Kemudian bisa
juga menjadi IPS (Invasive Pneumococcal Disease), yaitu ketika bakteri
Streptoccocus pneumoniae berada di dalam darah, cairan serebrospinal, atau
tempat steril lainnya di dalam tubuh. Bakteri ini menyebabkan penyakit menular
dengan morbiditas dan mortalitas yang signifikan di seluruh dunia baik pada
anak-anak maupun orang dewasa. Infeksi pneumokokus dapat menyebar dari satu
individu ke individu lain melalui droplet atau aerosol serta kolonisasi pada
nasofaring

Streptococcus pneumoniae tergolong bakteri gram positif, anaerob


fakultatif, dan merupakan coccus (pisau bedah) berbentuk lancet. Bakteri ini
umumnya terlihat sebagai sepasang cocci (diplococci), tetapi juga dapat dilihat
secara individu atau sebagai rantai pendek. Bakteri ini memiliki diameter sekitar
1µm. Pada pewarnaan, bakteri ini bersifat gram positif, tidak bergerak (non
motil), memiliki kapsul, dan tidak membentuk spora. (Soedarto, 2015) Morfologi
karakter koloni dari S. pneumoniae adalah transparan, lembab, berair, dan
dikelilingi oleh zona berwarna hijau yang menunjukan terjadinya αhemolisis.,
(Carvalho et al., 2010). Hal ini dapat terjadi karena hemolisin S. pneumoniae
yang mampu melisiskan sel darah merah (Bridy-Pappas et al., 2005), Sedangkan
warna hijau di sekitar koloni disebabkan oleh adanya hidrogen peroksida
yang dihasilkan oleh S. pneumoniae yang mampu mengoksidasi ion Fe2+
pada hemoglobin darah menjadi ion Fe3+ sehingga menjadi methemoglobin
yang berwarna hijau (ASM, 2016).

2.2 Serotipe Bakteri Streptococcus pneumoniae

Studi oleh Ganaie pada tahun 2020 menemukan S. pneumoniae


memiliki 100 jenis serotipe yang telah diidentifikasi melalui pendekatan fenotipik
maupun genotipik. Setiap serotipe memiliki karakteristik lokus cps, struktur
polisakarida, serta karakteristik serologi yang khas. Di Indonesia beberapa
penelitian dilakukan terkait distribusi serotipe.

Hampir seluruh serotipe S. pneumoniae dapat menyebabkan penyakit


serius, tetapi terdapat beberapa jenis serotipe yang dominan dalam infeksi
pneumokokal, diantaranya yaitu, serotipe 3, 6B, 9N, 11A, 16F, 19F, dan 19A pada
kelompok usia dewasa, sedangkan serotipe 19F, 6A, dan 3 banyak ditemukan
pada kelompok usia anak-anak. Prevalensi serotipe tersebut berbeda pada
kelompok usia individu serta area geografis (Song et al., 2013)

2.3 Resistensi Streptococcus pneumoniae

S. pneumoniae resisten terhadap antimikroba yang umum digunakan


seperti trimethoprim-sulfametoxazole, penicillin, macrolide, cephalosporin dan
fluoroquinolones (WHO,2008). Hal ini bisa dikarenakan oleh pemakaian
antibiotika yang tidak rasional (Kemekes RI,2011)

2.4 Cotrimoxazole

Cotrimoxazole merupakan kombinasi antara Sulfametoxazol dan


Trimetoprim dengan perbandingan 5 : 1 (400 + 80 mg) yang berefek sinergis.
Kedua komponen kombinasinya bersifat bakterisida terhadap bakteri yang sama
dan banyak digunakan untuk berbagai penyakit infeksi. (Handayani &
Natasia, 2018). Antibiotik ini bekerja menghambat reaksi enzimatik obligat pada
dua tahap yang berurutan pada mikroba, sehingga kombinasi kedua obat ini
memberikan efek yang sinergi (Setiabudy, R., 2007). Kombinasi trimetoprim dan
sulfametoksazol menghambat dua enzim utama dalam jalur metabolisme folat
yaitu enzyme dihydropteroate synthase (DHPS) dan dihydrofolate reductase
(DHFS)

2.5 Enzim Dihydropteroate Synthase (DHPS) dan Dihydrofolates Reductase


(DHFR)
Dihydropteroate Synthase (DHPS) adalah enzim yang memainkan
peran penting dalam biosintesis folat. Folate adalah vitamin yang penting yang
dibutuhkan untuk sintesis, perbaikan, dan pembelahan sel DNA. DHPS
mengkatalisis kondensasi asam p-aminobenzoat (PABA) dan 6-hydroxymethyl-
7,8-dihydropterin-pirofosfat untuk menghasilkan dihydropteroat. Dihydropteroat
adalah intermediate dalam biosintesis tetrahydrofolat, yang merupakan ko-faktor
untuk banyak reaksi metabolisme.
DHPS ditemukan pada bakteri, fungi, dan beberapa protozoa. Pada
bakteri, DHPS merupakan target dari antibiotik sulfonamida, yang menghambat
aktivitas DHPS dan dengan demikian mencegah biosintesis folat. DHPS adalah
target obat yang tervalidasi untuk pengobatan infeksi bakteri (Tjampakasari,
2017)
Dihydrofolates Reductase (DHFR) adalah enzim yang terlibat dalam
metabolisme asam folat dan merupakan enzim penting dalam produksi DNA.
DHFR mengkatalisis reduksi dihydrofolate menjadi tetrahydrofolate, yang
merupakan koenzim yang penting dalam sintesis purin dan timin dalam DNA.
DHFR ditemukan di hampir semua organisme, termasuk manusia dan
bakteri. DHFR merupakan target dari beberapa jenis antibiotik, seperti
trimethoprim dan methotrexate, yang digunakan untuk mengobati infeksi bakteri
dan kanker, masing-masing.
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Genomik, Pusat Riset
Biologi Molekuler Eijkman, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Indonesia pada …
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Alat yang digunakan pada penelitian yaitu, mikropipet dengan volume
10 μL, 100 μL, 1000 μL (Thermo Scientific), tabung 1,5 mL dan 2 mL
(Eppendorf), Erlenmeyer 1000 mL (IWAKI; Pyrex), sentrifugator mikro
(Thermoscientific), spin down (Thermoscientific), vortex (Thermoscientific),
petri dish (Pyrex), autoklaf (Tomy SX 500), jarum tanam bulat disposable
(ose) ukuran 1 μL, incubator CO2 dan O2 (Heraeus), laminar (Ascent Max),
timbangan analitik digital (Precisa XT 220A), kulkas 4°C, -20°C, -8020°C
(Thermoscientific)
3.2.2 Bahan
Bahan kimia yang digunakan pada penelitian ini yaitu, isolat arsip S.
pneumoniae yang diperoleh dari spesimen swab nasofaring dari penduduk
Indonesia, tryptone soya agar (TSA) dengan 5% darah domba, kit isolasi
DNEasy for Blood/Cultured Cell (Qiagen),

3.3 Cara Kerja

3.3.1 Pembuatan Medium Blood Agar Plate (BAP)


Sebanyak 40-gram tryptone soya agar (TSA) dilarutkan ke dalam 1 L
akuades di dalam botol kemudian dihomogenisasi. Larutan selanjutnya
disterilisasi menggunakan autoklaf pada tekanan 0,2 Mpa dan suhu 121°C
selama 15 menit. Setelah itu, medium didinginkan pada suhu 47°C dan
ditambahkan 5% darah domba. Kemudian, larutan dihomogenisasi dan dituang
ke dalam cawan petri. Medium selanjutnya dibiarkan memadat sebelum
digunakan serta dilakukan proses quality control untuk memeriksa adanya
kontaminasi atau tidak pada medium.

3.3.2 Kultur Isolat tersimpan Streptococcus pneumoniae pada Medium


Agar Darah

Isolat murni Streptococcus pneumoniae dari medium Skim-Milk


Tryptone Glucose Glyserol (STGG) di inokulasikan menggunakan ose 1 µL
pada medium agar darah dengan metode quadrant streak. Inokulum kemudian
diinkubasi pada suhu 35—37°C pada inkubator CO2 5% selama 18—24 jam.
Selanjutnya, pertumbuhan diamati dan koloni tunggal pada masing-masing plat
agar diambil dan digoreskan kembali menggunakan ose 1 µL pada medium agar
darah. Adapun koloni yang dipilih harus memenuhi kriteria mikrobiologi dari S.
pneumoniae yaitu memiliki morfologi bulat, mucoid, warna keabu-abuan,
bentuk permukaan membumbung pada bagian tepi dan cekung pada bagian
tengah, serta dikelilingi zona hemolitik-ɑ yang berwarna kehijauan. (Safari et
al., 2021). Selanjutnya, uji sensitivitas terhadap optochin dilakukan pada koloni
tunggal yang di subkultur kembali.

3.3.3 Karakterisasi Bakteri Streptococcus pneumoniae


Subkultur isolat S. pneumoniae yang telah diberi optochin disk
berdiameter 6 mm diinkubasi pada inkubator CO 2 5% pada suhu 35—37°C
selama 18—24 jam. Koloni yang sensitif terhadap optochin (diameter zona
hambat ≥14 mm) di sekeliling disk dapat diidentifikasi sebagai S. pneumoniae
secara mikrobiologis. Namun, koloni yang memiliki diameter zona hambat <14
mm atau tidak terbentuk zona hambat di sekeliling optochin disk tidak
dilanjutkan ke tahap ekstraksi DNA.

3.3.4 Isolasi DNA Streptococcus pneumoniae

Tahap isolasi DNA S. pneumoniae dilakukan berdasarkan modifikasi


dari protokol kit Qiagen DNEasy (Blood/Cultured Cell). Sebelum memasuki
tahap isolasi, dilakukan tahap persiapan sampel yaitu subkultur dari isolat
murni Streptococcus pneumoniae dari medium STGG yang disimpan pada
kulkas -80° C. Tahap pertama subkultur diawali dengan pengambilan 1 µL loop
isolat S. pneumoniae pada medium STGG. Koloni bakteri kemudian digoreskan
dengan metode quadrant streak pada medium agar darah. Tahap subkultur pada
hari pertama juga disertai dengan pengujian sensitivitas koloni bakteri terhadap
cakram optochin. Pengujian optochin dilakukan dengan meletakkan cakram
optochin pada medium agar darah menggunakan pinset steril setelah selesai
dilakukan penggoresan koloni tunggal S. pneumoniae. Cakram optochin
diletakkan pada bagian tengah di antara kuadran 1 dan 2 untuk kemudian
diamati zona hambat yang terbentuk pada koloni bakteri setelah diinkubasi
selama 18—24 jam pada inkubator CO2 5% dengan suhu 37° C.

Koloni tunggal S. pneumoniae hasil subkultur hari pertama kemudian


ditumbuhkan kembali pada medium agar darah yang baru menggunakan ose 1
µL, kemudian diinkubasi kembali selama 18—24 jam pada inkubator CO2 5%
dengan suhu 37° C. Selanjutnya, pada hari ketiga, kultur diinokulasi
menggunakan ose 1 µL ke dalam enrichment broth media yang mengandung 5
mL Brain Heart Infusion (BHI) dengan 1 mL rabbit serum, kemudian
diinkubasi selama 5 jam pada inkubator CO 2 5% dengan suhu 37° C. Setelah
diinkubasi, isolat kemudian dibandingkan kekeruhannya dengan kontrol (BHI +
rabbit serum) untuk memastikan kultur telah diperkaya dengan baik.
Tahap ekstraksi DNA diawali dengan persiapan larutan pre-lysis.
Sebanyak 200 µL TE buffer, 200 µg lysozyme, dan 20 µL mutanolysin
dimasukkan ke dalam tabung 15 mL kemudian dihomogenisasi dengan vortex.
Sampel pada broth media kemudian dipindahkan sebanyak 1000 µL pada
tabung Eppendorf 1,5 mL, selanjutnya sampel disentrifugasi pada kecepatan
14.000 rpm selama 5 menit dengan suhu 22° C. Tahap tersebut diulangi
sebanyak 4 kali hingga total volume sampel yang disentrifugasi berjumlah 4
mL. Sampel selanjutnya diinkubasi selama 1 jam pada suhu 37° C.

Sebanyak 50 µL AL Buffer dan 20 µL Proteinase-K untuk setiap sampel


disiapkan dan dicampurkan pada tabung 1,8 mL. Sampel yang telah diinkubasi
kemudian dimasukkan campuran tersebut dan dihomogenisasi menggunakan
mikropipet dengan teknik up-down. Sampel selanjutnya diinkubasi overnight
(18—24 jam) sebelum masuk ke tahap pelisisan dan pengikatan DNA.

Tahap pelisisan serta pengikatan DNA diawali dengan penambahan 150


µL AL buffer ke dalam masing-masing sampel, kemudian dihomogenisasi.
Selanjutnya, dilakukan inkubasi pada suhu ruang selama 10 menit. Sebanyak
250 µL etanol absolut dimasukkan ke masing-masing sampel, kemudian
dihomogenisasi kembali. Selanjutnya, sebanyak 750 µL campuran ditransfer ke
dalam spin column dan disentrifugasi pada kecepatan 8.000 rpm selama 1 menit
dengan suhu 22° C. Collection tube dibuang kemudian spin column
dipindahkan pada collection tube yang baru.

Selanjutnya tahap washing diawali dengan penambahan 500 µL AW 1


buffer pada spin column, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 8.000 rpm
selama 1 menit dengan suhu 22° C. Spin column kemudian dipindahkan ke
collection tube baru dan ditambahkan kembali 500 µL AW2 buffer pada setiap
column. Selanjutnya, sampel disentrifugasi dengan kecepatan 14.000 rpm
selama 3 menit pada suhu 22° C.
Spin column kemudian dipindahkan pada tabung Eppendorf 1,5 mL
steril, selanjutnya ditambahkan 150 µL AE buffer pada setiap column. Sampel
selanjutnya diinkubasi selama 5 menit pada suhu ruang dan disentrifugasi
dengan kecepatan 8.000 rpm selama 1 menit pada suhu 22° C. Isolat DNA
kemudian disimpan pada kulkas -20° C sebelum dilakukan pengukuran
konsentrasi DNA.

3.3.5 Whole Genom Sequencing

Whole genom sequencing Streptococcus pneumoniae dilakukan dengan


menggunakan Illumina. Proses WGS terdiri atas beberapa tahapan, yaitu
Tagment Genomic DNA, Post Tagmentation Clean Up, Amplify Tagmented
DNA, Clean Up Libraries, Pool Libraries, Hybridize Probes, Capture
Hybridized Probes, Amplify Enriched Library dan Clean Up Amplified
Enriched Library. Semua tahapan Whole Genome Sequencing akan dilakukan
oleh Macrogen.

3.3.6 Analisis Bioinformatik

Analisis sekuens ini dengan menggunakan Unipro Ugene


(http://ugene.net/). Identifikasi mutasi dilakukan melalui multiple alignment.
Sekuen referensi yang digunakan adalah Streptococcus pneumoniae R6
(NC_003098.1). Struktur 3D DHPS dan DHPR diundung dari Protein Data
Bank (PDB). Efek masing-masing mutasi pada DHPS dan DHPR dianlisis
dengan menggunakan HOPE (https://www3.cmbi.umcn.nl/hope/). Untuk
visualisasi protein digunakan Discovery Studio dan YASARA. Struktur 3D
protein DHPS dan DHPR kemudian dimutasikan dengan menggunakan
FOLDX5. Untuk melihat perubahan binding energy terhadap Cotrimoxazole
digunakan Molecular Docking dengan aplikasi Autodock Vina. Sedangkan
untuk mempelajari mekanisme resistensi Cotrimoxazole karena mutasi
digunakan Molecular Dynamics Simulation dengan menggunakan GROMACS-
2022.

Lampiran 1. Alur penelitian

Karakterisasi Analisis
Kultur Bakteri Isolasi DNA Sekuensing
Pneumococcus Bioinformatik
DAFTAR PUSTAKA

At Thobari J, Satria CD, Ridora Y, Watts E, Handley A, et al. Antimicrobial use in an


Indonesian community cohort 0-18 months of age. PLoS One
2019;14:e0219097.

Bridy-Pappas, A. E., Pharm, D., Margolis, M. B., Pharm, D., Center, K. J. M. D., &
Isaacman, D. J. M D., 2005. Streptococcus pneumoniae: Description of the
pathogen disease epidemiology, treatment, and prevention.
Pharmacotherapy, 25(9), pp. 1193-1212.

Carvalho, M. D. G., Pimenta, F. C., Jackson, D., Roundtree, A., Ahmad, Y., Millar, E.
V., & Beall, B. W., 2010. Revisiting pneumococcal carriage by use of broth
enrichment and PCR techniques for enhanced detection of carriage and
serotypes. Journal of clinical microbiology, 48(5), pp. 1611-1618.

Handayani, R., & Natasia, G. (2018). Uji Daya Hambat Ekstrak Etanol Daun
Sangkareho (Callicarpa longifolia Lam.) terhadap Escherichia coli. Jurnal
Surya Medika, 3(2), 54–61. https://doi.org/10.33084/jsm.v3i2.98
Kartasasmita, C. B., Rezeki Hadinegoro, S., Kurniati, N., Triasih, R., Halim, C., &
Gamil, A. (2020). Epidemiology, Nasopharyngeal Carriage, Serotype
Prevalence, and Antibiotic Resistance of Streptococcus pneumoniae in
Indonesia. Infectious Diseases and Therapy, 9(4), 723–736.
https://doi.org/10.1007/s40121-020-00330-5
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Gunakan antibiotik secara tepat untuk
mencegah kekebalan kuman. Pusat Komunikasi Publik. Jakarta; 2011.

Manyahi, J., Moyo, S., Aboud, S., Langeland, N., & Blomberg, B. (2020). High rate
of antimicrobial resistance and multiple mutations in the dihydrofolate
reductase gene among Streptococcus pneumoniae isolated from HIV-infected
adults in a community setting in Tanzania. Journal of Global Antimicrobial
Resistance, 22, 749–753. https://doi.org/10.1016/j.jgar.2020.06.026
Mwenya DM, Charalambous BM, Phillips PPJ, Mwansa JCL, Batt SL, et al. Impact
of cotrimoxazole on carriage and antibiotic resistance of Streptococcus
pneumoniae and Haemophilus influenzae in HIVinfected chiInfected
Children in Zambia. Antimicrob Agents Chemother 2010;54:3756–3762.

Pinti, M., Appay, V., Campisi, J., Frasca, D., Fulop, T., Sauce, D., Larbi, A.,
Weinberg, B., & Cossarizza, A., 2016. Aging of the immune system-
focus on inflammation and vaccination. European Journal of
Immunology, 46, pp. 2286–2301.

Safari, D., Putri, H. F. M., Bimantari, A., Paramaiswari, W. T., Tafroji, W., Khoeri, M.
M., & Salsabila, K. (2021). Genetic characterization of co-trimoxazole non-
susceptible Streptococcus pneumoniae isolates from Indonesia. Access
Microbiology, 3(10). https://doi.org/10.1099/acmi.0.000271
Setiabudy, R. (2007). Farmakologi dan Terapi. (Rianto Setiabudy & Nafrialdi, Eds.)
(Sulistia G). jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas
Kedokteran - Universitas Indonesia.

Soewignjo S, Gessner BD, Sutanto A, Steinhoff M, Prijanto M, et al. Streptococcus


pneumoniae nasopharyngeal carriage prevalence, serotype distribution, and
resistance patterns among children on Lombok Island, Indonesia. Clin Infect
Dis 2001;32:1039–1043.

Song, J. Y., Nahm, M. H., & Moseley, M. A. (2013). Clinical Implications of

Pneumococcal Serotypes: Invasive Disease Potential, Clinical Presentations,

and Antibiotic Resistance. Journal of Korean Medical Science, 28(1), 4.

https://doi.org/10.3346/jkms.2013.28.1.4
States M. Weekly epidemiological record. World Health Organization. 2008;83
(42):373-384.
Tjampakasari, C. R. (2017). Dihydropteroate Synthase (DHPS) Terhadap Efektivitas

Terapi Pneumocytstis. Indonesian Journal of Biotechnology and Biodiversity

Volume 1, Nomor 1, Juli 2017.

Wigundwipayana, K. A. (2019). Deteksi Gen PspC Pada Isolat Klinis Bakteri


Streptococcus pneumoniae di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar
Dari Januari 2012 - Maret 2017 dengan Menggunakan Polymerase Chain
Reaction (PCR). Jurnal Medika Udayana, VOL. 8 NO.6,JUNI, 2019

Anda mungkin juga menyukai