Pneumonia MRSA
Pembimbing :
Dr. SOETOMO
2023
1. Pendahuluan
Infeksi masih menjadi permasalahan di dunia, baik di negara berkembang maupun
negara maju. Permasalahan tersebut memiliki dampak yang cukup signifikan terhadap
peningkatan morbiditas maupun mortalitas di dunia. Menurut WHO tahun 2019 menyatakan
bahwa penyebab kematian tersering karena infeksi menempati urutan keempat baik secara
global maupun DALY(Disability-adjusted life years). Staphylococcus aureus merupakan
flora normal yang ada di tubuh manusia. Akan tetapi bakteri ini juga dapat menimbulkan
permasalahan kesehatan, salah satunya MRSA. MRSA (methicillin-resistant Staphylococcus
aureus) merupakan strain bakteri Staphylococcus aureus yang telah mengalami resistensi
terhadap antibiotik golongan beta-laktam, seperti oxacillin, nafcillin, penicillin, dan lain
sebagainya. 1,2 Hampir semua negara pernah melaporkan adanya kasus MRSA ini, 3,4 dan
faktanya benua Asia merupakan salah satu benua dengan kasus MRSA tertinggi di dunia
dengan kasus di Hongkong dan Indonesia sebesar 28%. 5 Adanya kasus MRSA ini tidak hanya
terjadi di lingkungan rumah sakit, akan tetapi juga dapat terjadi di lingkungan komunitas,
baik di tempat-tempat umum seperti sekolah dan taman serta area perumahan. 2,5–7 Manifestasi
klinis yang ditimbulkan oleh MRSA bervariasi, mulai dari infeksi superfisial maupun
profundus pada kulit dan jaringan sekitarnya, serta dapat menginfeksi organ tertentu
(pneumonia, endocarditis, osteomyelitis), bahkan sistemik seperti bakteremia dan syok. 2,4,6,8
Pneumonia sebagai salah satu manifestasi yang ditimbulkan oleh MRSA akan
dijelaskan lebih terperinci dalam studi ini. Adapun faktor virulensi yang berperan dalam
kejadian pneumonia akibat MRSA diantaranya gen regulator Agr yang banyak dijumpai pada
CA-MRSA dan HA-MRSA, MSCRAMMs yang membantu perlekatan bakteri terhadap epitel
di saluran pernapasan, protein ADAM10 yang menyebabkan peningkatan kebocoran plasma
dan permeabilitas dari sel epitel saluran pernapasan, PVL yang menyebabkan pneumonianya
bersifat invasif, serta toksin yang dihasilkan memperparah perubahan patologis pada
parenkim paru. 9–11 Pneumonia yang ditimbulkan oleh MRSA ini dapat dibagi menjadi tiga
macam berdasarkan sumber infeksinya, yaitu HA-MRSA, CA-MRSA, dan LA-MRSA. Hal
ini menyebabkan seseorang akan lebih berisiko terkena pneumonia di berbagai lingkungan,
baik di rumah sakit maupun komunitas.
2. Epidemiologi
Staphylococcus aureus merupakan salah satu mikroba yang terdapat pada tubuh
manusia, yang dapat bertindak baik sebagai flora normal maupun agen patogen yang dapat
menginfeksi tubuh hospesnya. Mikroba ini merupakan patogen yang paling umum
ditemukan, baik di lingkungan rumah sakit maupun komunitas seperti (taman, sekolah,
rumah, dan lain sebagainya). 2,7 Sebenarnya, prevalensi dan insidensi infeksi S.aureus maupun
MRSA memiliki variasi yang luas di berbagai negara. Akan tetapi, hampir semua negara
melaporkan adanya infeksi akibat organisme tersebut. Pada abad ke-19, CFR (case fatality
rate) akibat S. aureus setidaknya dilaporkan mencapai angka 90%. 4 Infeksi akibat S.aureus
memiliki manifestasi yang beragam, mulai dari infeksi superfisial pada kulit, bahkan sistemik
yang bersifat fatal. Salah satu yang ditakutkan dari infeksi S.aureus ialah MRSA (Methicilin-
resistant Staphylococcus aureus). Adanya kasus MRSA yang tinggi, dapat menyebabkan
tingginya kasus resistensi antibiotik di suatu wilayah. 1 Selain itu, adanya MRSA juga
Pada suatu studi dijelaskan bahwa kasus MRSA ini lebih tinggi terjadi pada orang
dengan usia yang lebih tua dibandingkan dengan kelompok seseorang dengan HIV/AIDS
(7%), pasien hemodialisis (6,2%), dan pasien di ICU (7%) yang mana data-data tersebut telah
Manifestasi klinis dari MRSA bervariasi, mulai dari infeksi pada kulit dan jaringan ikat baik
yang ringan maupun berat, seperti SSSS (Staphylococcal Scalded Skin Syndrome),
bakteremia, bahkan fatal (seperti syok maupun TSS(Toxic shock syndrome). 4 Transmisi utama
dari pasien MRSA ialah melalui kontak fisik dengan sumbernya. Contohnya dalam
lingkungan rumah sakit, adanya peralatan yang terkontaminasi dan lingkungan komunitas
dengan adanya kontak fisik dengan seseorang yang terinfeksi atau orang sehat dengan
kolonisasi S.aureus pada lubang hidung mereka. 4,8 Adapun antibiotik yang masih
sensitif/dapat dijadikan pilihan terapi dalam MRSA adalah Vancomycin dengan
sensitivitasnya berkisar 87-100%. Jika ditemukan resistensi terhadap vancomycin (VRSA),
maka dapat digunakan antibiotik lain (Linezolid, Tigecycline, Nitrofurantoin, dan
Dalfopristin) dengan yang dilaporkan sensitivitasnya 100% terhadap MRSA. 1,2,17
Staphyloccous aureus merupakan bakteri flora normal yang ada di dalam tubuh manusia,
yaitu di kulit dan lubang hidungnya. 4,5,21,22 Selain itu, bakteri ini juga bisa berkolonisasi di
mukosa usus halus. 22
Staphylococcus aureus
Pada Tabel 2. didapatkan bahwa faktor virulensi yang dimiliki oleh S.aureus terdiri atas
komponen struktural, toksin, dan enzim yang tujuannya adalah untuk menghindar dari sistem
imun serta dapat sukses dalam menginfeksi individu sehingga bisa jatuh sakit dan
menimbulkan manifestasi klinis. Selain itu, pada gambar diatas juga didapatkan rangkuman
manifestasi klinis yang dapat ditimbulkan, mulai dari infeksi yang sifatnya ringan hingga
berat, seperti toxic shock syndrome karena adanya superantigen TSST-1. Biasanya S.aureus
ini tidak berbahaya, namun ketika status imunitas tubuh hospes sedang dalam kondisi yang
tidak prima, infeksi ini dapat menjadi infeksi oportunistik, utamanya pada pasien dengan
komorbid (diabetes mellitus) dan imunokompromais (HIV/AIDS dan kondisi lainnya). 1,2,22
Kondisi tersebut seringkali menunjukkan adanya bakteri S.aureus di dalam darah atau
bakteremia serta menjadi penyebab tersering dari kasus resistensi terhadap antibiotik. 22 Jika
S.aureus ini sudah menjadi MRSA maka ia dapat dikategorikan sebagai MDR (multidrug
resistant) dengan resistensi terhadap antibiotik golongan beta-laktam. Selan itu, MRSA juga
bisa menjadi VRSA yang resisten terhadap Vancomycin. 1 Hal ini tentunya dapat mempersulit
penanganan pneumonia MRSA pada seseorang, sehingga membutuhkan perubahan terapi
untuk dapat mengeleminasi koloni MRSA yang telah tumbuh.
4. Faktor Risiko
Seseorang dapat berisiko tinggi terinfeksi pneumonia MRSA ialah sebagai berikut :
- Adanya riwayat infeksi MRSA, rawat inap dalam 12 bulan terakhir, adanya luka,
penggunaan kateter ataupun peralatan medis lainnya, serta adanya komorbid
(diabetes, pasien HIV/AIDS, dan pasien hemodialisis). 15
- Ketidaktepatan penggunaan antibiotik pada komunitas memiliki risiko yang lebih
tinggi daripada di rumah sakit. 5
Gambar 5. Reservoir dan Tipe dari MRSA beserta Kompleksivitas Klonal S.aureus 4
5. Patofisiologi
a. Kolonisasi Staphylococcus aureus
Pada orang yang sehat, sekitar 25-30% populasi terdapat S.aureus pada
hidungnya dan faktanya terdapat karier yang membawa MRSA dan MSSA di
dalamnya. 23,24 Seseorang akan mengalami gejala dari infeksi S.aureus ketika bakteri
tersebut berhasil menembus epitel kulit/mukosa yang rusak. Pasien yang
asimptomatik biasanya terjadi pada flora normal yang mencapai sirkulasi darah
maupun suatu organ. Hal ini perlu diperhatikan karena nantinya bakteri ini tetap
dapat menimbulkan manifestasi klinis tergantung status imunitas hospesnya. 6,7,24
Pada studi didapatkan bahwa dari 9841 pasien yang dirawat di ICU, didapatkan
2440 pasien (24,8%) memiliki kolonisasi positif terhadap S.aureus yang mana 304
pasien(15,7%) diantaranya mengalami pneumonia akibat infeksi S.aureus. 23 Tidak
hanya itu, usia yang lebih tua juga mengalami risiko tinggi terhadap infeksi
S.aureus karena adanya faktor kerentaan, gangguan fungsi sistem imun, sering
dirawat inap, serta penggunaan antibiotik secara berlebihan. 6
b. Dinamika Virulensi
Faktor virulensi yang dimiliki oleh S.aureus tentunya diregulasi oleh sebuah
mekanisme yang adaptif sehingga dapat beradaptasi terhadap perubahan apapun di
c. Faktor Virulensi
Berikut merupakan gambar mengenai faktor virulensi yang dimiliki oleh
S.aureus baik dalam hal resistensi terhadap antibiotik, menghindar dari sistem
Dari gambar tersebut didapatkan berbagai cara dalam evasi/menghindar dari sistem
imun tubuh manusia. (a) Menghambat ekstravasasi, aktivasi, dan kemotaksis
neutrophil. Ketika ada suatu benda asing masuk ke dalam sirkulasi tubuh manusia
maka sebagai bentuk pertahan pertama ialah dengan mengaktifkan sel-sel fagosit
untuk menangani suatu benda asing tersebut. Tentu saja prosesnya dipengaruhi
oleh beberapa factor seperti sitokin pro-inflamasi, struktur dan virulensi suatu
bakteri, dan lain sebagainya. S.aureus dapat mengelabui neutrofiil agar tidak
difagositosis melalui adanya protein PSMs yang didalamnya juga ada δ-toxin
sehingga bakteri tersebut memiliki semacam pelindung dan terhindar dari aktivasi
neutrophil. Adanya superantigen seperti SSL5 dan SelX akan mengikat PSGL-1
pada permukaan leukosit yang mana akan menghambat ekstravasasi melalui
hambatan adhesi neutrophil pada P-selectin di sel endotel. Selain itu, adanya SSL3,
SSL4, SSL5, dan SSL10 yang mengikat GPCRs dan TLRs akan menghambat
aktivasi dan kemotaksis dari neutrofil. Adanya enzim seperti staphopain protease
dan lipase juga menghambat proses kemotaksis melalui pemecahan CXCR2 dan
mengubah struktur yang bertindak sebagai proinflamasi pada cabang terminal
sehingga akan mencegah pengenalan PAMPs oleh neutrofil. (b) Menghambat
6. Penegakan Diagnosis
Diagnosis pneumonia secara umum dikaji mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, foto
toraks, dan laboratorium. Diadopsi guideline pneumonia American Thoracic Society,
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Pneumonia Komunitas oleh PDPI 32 menyatakan
bahwa diagnosis definitif pneumonia ditegakkan dengan gambaran air bronchogram atau
infiltrat pada foto rontgen thorax ditambah dengan kejadian akut dari beberapa gejala dan
tanda berikut : (i) Batuk; (ii) Perubahan karakteristik sputum (purulent/non-purulen); (iii)
Suhu tubuh ≥ 38°C atau riwayat demam (iv) Nyeri dada; (v) Sesak napas; (vi) Pemeriksaan
fisik menunjukkan adanya konsolidasi, suara napas bronkial dan ronkhi; (vii) Leukosit ≥
10.000 sel/mm3, atau < 4500 sel/mm3 dengan peningkatan neutrofil batang/imatur. Diagnosis
dengan mengidentifikasi etiologi pneumonia penting untuk dilakukan karena dapat mengubah
tatalaksana pasien yang bersifat empiris. Pasien dengan kecurigaan terhadap infeksi S. aureus
membutuhkan antibiotik yang ideal untuk membantu perbaikan klinis pasien, terlebih lagi
pada kondisi sudah ditemui reistensi methicillin (MRSA). Pada studi ini, diagnosis
pneumonia akibat MRSA akan dijabarkan baik secara klinis, bakteriologis, laboratorium, dan
radiologis.
a. Klinis
Diagnosis klinis terhadap pneumonia MRSA juga penting untuk
membandingkan dengan diagnosis banding lainnya. Adanya beberapa informasi
yang bisa didapat dari anamnesis dapat lebih mudah mengarahkan diagnosis ini pada
pneumonia MRSA, seperti (1) Riwayat infeksi MRSA; (2) Abses kulit simultan
dengan kecurigaan infeksi MRSA; (3) Post influenza pneumonia; (4) Riwayat
pemeriksaan radiologi sebelumnya menunjukkan kecurigaan terhadap pneumonia
MRSA (misal, lesi kavitas). 33 Pasien dengan pneumonia MRSA dapat
mempresentasikan manifestasi klinis yang berbeda bergantung dari sumber
infeksinya. Pada pasien pneumonia HCAP-MRSA, HA-MRSA, dan VA-MRSA
b. Bakteriologis
American Thoracic Society (2019) mengungkapkan rekomendasi terbaru
bahwa diagnosis bakteriolgosi dengan pewarnaan Gram dan biakan sputum tidak
rutin untuk pasien rawat jalan. Akan tetapi, pada pasien pneumonia MRSA,
diagnosis ini masih sangat dianjurkan. 41 Indikasi dilakukannya pewarnaan gram dan
biakan sputum dan darah pada pasien pneumonia komunitas dicantumkan sebagai
berikut,
c. Pemerikaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium lain mencakup pemeriksaan darah lengkap seperti
leukopenia juga dapat mengarah pada diagnosis CA-MRSA. 34 Procalcitonin sebagai
salah satu marker inflamasi diduga juga dapat menjadi salah satu indikasi adanya
infeksi MRSA. 47 Penggunaan procalcitonin dalam diagnosis pneumonia MRSA
dijelaskan dalam alur gambar . Marker inflamasi lain seperti C-reactive protein
(CRP) dengan nilai > 400 g/L juga diduga mengarah pada suspek infeksi CA-
MRSA. 34 Akan tetapi, diagnosis pneumonia tidak bisa ditegakkan hanya berdasarkan
hasil pemeriksaan darah. Pemeriksaan ini perlu ditunjang dengan metode diagnosis
lain agar pasien dapat dikategorikan terkonfirmasi pneumonia MRSA.
Pemeriksaan diagnostik laboratorium dapat mencakup pemeriksaan molecular
lain terhadap MRSA dengan menggunakan pemeriksaan berbasis asam nukleat
(NAAT). Sebuah tinjauan sistematis dan meta analisis menunjukkan sensitivitas dan
spesifisitas NAAT dalam deteksi pneumonia MRSA masing-masing 0.75 (0.69 –
0.80) dan 0.88 (0.86 – 0.89). Penggunaan GeneXpert dalam deteksi methicillin-
resistant Staphylococcus aureus juga ditunjukkan oleh Cercenado tahun 2012 48
dengan sensitivitas 99.0%, spesifisitas 72.0%, positive predictive value 90.7%, dan
negative predictive value 96.3%.
d. Pemeriksaan Radiologis
Pemerikaan bakteriologis untuk menegakkan diagnosis pneumonia MRSA
cenderung membutuhkan waktu sehingga dapat menghambat diagnosis.
Pemeriksaan radiologis dengan menggunakan CT-scan ataupun foto toraks dapat
memberikan gambaran diagnosis dan diagnosis banding untuk membantu dalam
memberikan terapi empiris. Studi oleh Maeda et al 49 menunjukkan bahwa pada
kelompok pneumonia MRSA, abnormalitas parenkimal banyak dijumpai dan lebih
terdistribusi pada daerah perifer dari pada pasien MSSA. Selain itu, gambaran efusi
pleura juga ditemukan secara signifikan lebih banyak daripada kelompok MSSA.
Gambar 14. Hasil rontgen toraks dan CT-scan pada kasus CA-MRSA dengan
syok septik dan gagal napas 50
7. Tatalaksana
Tatalaksana pasien pneumonia secara umum mengikuti guideline ATS/IDSA 2019
dengan memperhatikan beberapa aspek berikut, mencakup (1) rawat jalan atau rawat inap, (2)
derajat pneumonia berat atau tidak berat, (3) dengan komorbid atau tidak, (4) riwayat infeksi
pathogen multiresisten (MRSA atau P. aeruginosa), (5) riwayat rawat inap dan menerima
anitbiotik parenteral dalam 90 hari terakhir. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2022) telah
merangkum tatalaksana terapi pasien pneumonia membagi pasien berdasarkan jenis
perawatannya. Umumnya, sangat jarang ditemui pasien pneumonia rawat jalan dengan faktor
risiko infeksi MRSA atau P. aeruginosa. Jika pasien memiliki fakto risiko tersebut, maka
pasien sebaiknya dirawat karena membutuhkan antibiotik intravena. Pada pasien pneumonia
berat maupun tidak berat dengan faktor risiko MRSA atau P. aeruginosa, PDPI
merekomendasikan pemeriksaan dan pemberian antibiotic empiris dengan membagi menjadi
2 kelompok berdasarkan faktor risikonya. Pada kelompok (1), pasien dengan riwayat isolasi
MRSA dari saluran napas dalam 1 tahun terakhir memiliki risiko sangat tinggi terjadinya
infeksi sehingga direkomendasikan untuk dilakukan tatatalaksana sebagai berikut :
1. Melakukan biakan darah dan sputum atau swab nasal PCR, DAN
2. Inisiasi terapi empiris untuk patogen CAP umum sesuai dengan regimen pneumonia
berat dan ringan
Inisiasi terapi empiris untuk MRSA. Antibiotik yang digunakan dapat berupa salah satu dari :
(1) Vancomycin 15 mg/kgBB setiap 12 jam sekali, atau (2) Linezolid 600 mg setiap 12 jam
sekali.
Selain itu, pada pasien yang telah mendapat terapi empiris pneumonia MRSA, bila
ternyata tidak ditemukan positif terhadap infeksi MRSA dan mengalami perbaikan klinis
dalam waktu 24 jam, maka terapi CAP dapat dilakukan de-eskalasi. Dalam memberikan
tatalaksana pasien pneumonia MRSA, dokter juga perlu melakukan validasi lokal dengan
mengkaji apakah terdapat data lokal yang menunjukkan adanya infeksi MRSA pada pasien
CAP serta faktor risiko apa yang mendukung infeksi MRSA di daerah tersebut. 41 Durasi
pengobatan untuk terapi juga berbeda antara pasien pneumonia MRSA dan non-MRSA.
Lama pengobatan umumnya ialah 5 hari pada pasien yang menunjukkan respons dalam 72
jam pertama. Pemberian antibiotik ini dapat diperpanjang menjadi 7 hari pada pasien dengan
suspek atau terkonfirmasi MRSA. Selain itu, apabila pada pasien mengalami progresifitas
menjadi necrotizing pneumonia, empyema, atau abses maka pemberian antibiotic dalam
diperpanjang menjadi 14 hari. Durasi pengobatan pada basisnya bersifat individual sehingga
perubahan masa terapi sangat dimungkinkan bergantung pada respons pasien. 32
8. Komplikasi
Pasien dengan pneumonia MRSA sangat rentan terhadap berbagai komplikasi pulmonal
yang dapat dideteksi dengan radiografi toraks mencakup abses, empyema pleura,
broncopleural fistula, ARDS, dan necrotizing pneumonia. 53
a. Abses Paru
Abses paru dapat terjadi pada pasien pneumonia MRSA dengan bukti lesi kavitas
pada parenkim paru. Abses pada pneumonia MRSA umumnya tampak bulat dengan
dinding tebal tidak beraturan, dan berisi udara serta cairan. Abses ini umumnya tidak
terlalu hebat sehingga hanya membutuhkan terapi antibiotic tanpa drainase. 53
b. Empiema
Empiema disebabkan karena adanya infeksi efusi pleura yang terlokalisir. Pada
gambaran CT-scan, didapatkan adanya gambaran khas berupa “split pleura” yang
menandakan adanya penebalan cairan pleura. Komplikasi ini membutuhkan
Gambar 17. Faktor yang mungkin menyebabkan pasien tidak berespons terhadap
pengobatan empiris.
3. Murray CJ, Ikuta KS, Sharara F, Swetschinski L, Robles Aguilar G, Gray A, et al. Global
burden of bacterial antimicrobial resistance in 2019: a systematic analysis. The Lancet. 2022
Feb 12;399(10325):629–55.
4. Shoaib M, Aqib AI, Muzammil I, Majeed N, Bhutta ZA, Kulyar MF e. A, et al. MRSA
compendium of epidemiology, transmission, pathophysiology, treatment, and prevention
within one health framework. Vol. 13, Frontiers in Microbiology. Frontiers Media S.A.; 2023.
5. Susanti MA, Mahardhika GS, Rujito L, Darmawan AB, Anjarwati DU. The Examination of
mecA gene in Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) and inappropriate
antibiotic uses of healthcare workers and communities in Banyumas. Jurnal Kedokteran dan
Kesehatan Indonesia. 2020 Dec 31;11(3):257–65.
7. Kourtis AP, Hatfield ; Kelly, Baggs J, Mu ; Yi, See I, Epson E, et al. Morbidity and Mortality
Weekly Report Vital Signs: Epidemiology and Recent Trends in Methicillin-Resistant and in
Methicillin-Susceptible Staphylococcus aureus Bloodstream Infections-United States
[Internet]. 2017. Available from: https://www.cdc.gov/mmwr
8. Cheung GYC, Bae JS, Otto M. Pathogenicity and virulence of Staphylococcus aureus. Vol.
12, Virulence. Bellwether Publishing, Ltd.; 2021. p. 547–69.
11. Defres S, Marwick C, Nathwani D. MRSA as a cause of lung infection including airway
infection, community-acquired pneumonia and hospital-acquired pneumonia. Vol. 34,
European Respiratory Journal. 2009. p. 1470–6.
12. David MZ. MRSA community pneumonia: a global perspective on resistance. Vol. 16, The
Lancet Infectious Diseases. Lancet Publishing Group; 2016. p. 1309–10.
15. Hasanpour AH, Sepidarkish M, Mollalo A, Ardekani A, Almukhtar M, Mechaal A, et al. The
global prevalence of methicillin-resistant Staphylococcus aureus colonization in residents of
elderly care centers: a systematic review and meta-analysis. Vol. 12, Antimicrobial Resistance
and Infection Control. BioMed Central Ltd; 2023.
17. Ansari S, Jha RK, Mishra SK, Tiwari BR, Asaad AM. Recent advances in staphylococcus
aureus infection: Focus on vaccine development. Vol. 12, Infection and Drug Resistance.
Dove Medical Press Ltd.; 2019. p. 1243–55.
19. Köck R, Mellmann A, Schaumburg F, Friedrich AW, Kipp F, Becker K. The Epidemiology of
Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) in Germany. Dtsch Arztebl Int. 2011
Nov 11;
20. York N, San C, Athens F, Madrid L, City M, Riedel S, et al. Twenty-Eighth Edition [Internet].
2019. Available from: www.mhprofessional.com.
21. Murray PR, Rosenthal KS, Pfaller MA. Medical Microbiology 7th. 2013. 261 p.
22. Cheung GYC, Bae JS, Otto M. Pathogenicity and virulence of Staphylococcus aureus. Vol.
12, Virulence. Bellwether Publishing, Ltd.; 2021. p. 547–69.
23. Paling FP, Hazard D, Bonten MJM, Goossens H, Jafri HS, Malhotra-Kumar S, et al.
Association of Staphylococcus aureus Colonization and Pneumonia in the Intensive Care
Unit. JAMA Netw Open. 2020 Sep 30;3(9).
24. Kim MW, Greenfield BK, Snyder RE, Steinmaus CM, Riley LW. The association between
community-associated Staphylococcus aureus colonization and disease: A meta-analysis.
BMC Infect Dis. 2018 Feb 21;18(1).
25. Turner NA, Sharma-Kuinkel BK, Maskarinec SA, Eichenberger EM, Shah PP, Carugati M, et
al. Methicillin-resistant Staphylococcus aureus: an overview of basic and clinical research.
Vol. 17, Nature Reviews Microbiology. Nature Publishing Group; 2019. p. 203–18.
26. Jenul C, Horswill AR. Regulation of Staphylococcus aureus Virulence . Microbiol Spectr.
2019 Apr 12;7(2).
29. Barbuti MD, Myrbråten IS, Morales Angeles D, Kjos M. The cell cycle of Staphylococcus
aureus: An updated review. Vol. 12, MicrobiologyOpen. John Wiley and Sons Inc; 2023.
30. Kwiecinski JM, Horswill AR. Staphylococcus aureus bloodstream infections: pathogenesis
and regulatory mechanisms. Vol. 53, Current Opinion in Microbiology. Elsevier Ltd; 2020. p.
51–60.
33. Farkas J. Which patients admitted for pneumonia need MRSA coverage? [Internet]. 2016
[cited 2023 Jun 1]. Available from: https://emcrit.org/pulmcrit/pneumonia-mrsa/
35. Hageman JC, Uyeki TM, Francis JS, Jernigan DB, Wheeler JG, Bridges CB, et al. Severe
community-acquired pneumonia due to Staphylococcus aureus, 2003-04 influenza season.
Emerg Infect Dis. 2006;12(6):894–9.
36. Gillet Y, Issartel B, Vanhems P, Fournet JC, Lina G, Bes M, et al. Association between
Staphylococcus aureus strains carrying gene for Panton-Valentine leukocidin and highly
lethal necrotising pneumonia in young immunocompetent patients. Lancet.
2002;359(9308):753–9.
37. Chen CJ, Su LH, Chiu CH, Lin TY, Wong KS, Chen YYM, et al. Clinical features and
molecular characteristics of invasive community-acquired methicillin-resistant
38. Wunderink RG, Waterer GW. Clinical practice. Community-acquired pneumonia. N Engl J
Med. 2014;370(6):543–51.
39. Shorr AF, Myers DE, Huang DB, Nathanson BH, Emons MF, Kollef MH. A risk score for
identifying methicillin-resistant Staphylococcus aureus in patients presenting to the hospital
with pneumonia. 2013;
40. Minejima E, Lou M, Nieberg P, Wong-beringer A. Patients presenting to the hospital with
MRSA pneumonia : differentiating characteristics and outcomes with empiric treatment.
2014;837:1–7.
41. Metlay JP, Waterer GW, Long AC, Anzueto A, Brozek J, Crothers K, et al. Diagnosis and
treatment of adults with community-acquired pneumonia. Am J Respir Crit Care Med.
2019;200(7):E45–67.
43. Moody J, Hickok J, Avery TR, Lankiewicz J, Gombosev A, Terpstra L, et al. Targeted versus
Universal Decolonization to Prevent ICU Infection. 2013;1–11.
44. Chan JD, Dellit TH, Choudhuri JA, McNamara E, Melius EJ, Evans HL, et al. Active
surveillance cultures of methicillin-resistant Staphylococcus aureus as a tool to predict
methicillin-resistant S. aureus ventilator-associated pneumonia. Crit Care Med.
2012;40(5):1437–42.
45. Giancola SE, Nguyen AT, Le B, Ahmed O, Higgins C, Sizemore JA, et al. Clinical utility of a
nasal swab methicillin-resistant Staphylococcus aureus polymerase chain reaction test in
intensive and intermediate care unit patients with pneumonia. Diagn Microbiol Infect Dis.
2016;86(3):307–10.
46. Jang HC, Choi OJ, Kim GS, Jang MO, Kang SJ, Jung SI, et al. Active surveillance of the
trachea or throat for MRSA is more sensitive than nasal surveillance and a better predictor of
MRSA infections among patients in intensive care. PLoS One. 2014;9(6):1–6.
50. Nguyen ET, Kanne JP, Hoang LMN, Reynolds S, Dhingra V, Bryce E, et al. Community-
acquired methicillin-resistant staphylococcus aureus pneumonia radiographic and computed
tomography findings. J Thorac Imaging. 2008;23(1):13–9.
52. Gonza C, Rubio M, Gonza M, Picazo JJ. Bacteremic Pneumonia Due to Staphylococcus
aureus : A Comparison of Disease Caused by Methicillin-Resistant and Methicillin-
Susceptible Organisms. :1171–7.
53. Chu JT, Wu CC, Drasin T, Barack BM. MRSA Pneumonia and Its Complications.
Contemporary Diagnostic Radiology. 2010;33(3):1–5.
54. Hsieh YC, Hsiao CH, Tsao PN, Wang JY, Hsueh PR, Chiang BL, et al. Necrotizing
pneumococcal pneumonia in children: The role of pulmonary gangrene. Pediatr Pulmonol.
2006;41(7):623–9.
55. Sawicki GS, Lu FL, Valim C, Cleveland RH, Colin AA. Necrotising pneumonia is an
increasingly detected complication of pneumonia in children. European Respiratory Journal.
2008;31(6):1285–91.
57. Lai PS, Liang L, Cibas ES, Liu AH, Gold DR, Baccarelli A, et al. Alternate methods of nasal
epithelial cell sampling for airway genomic studies. Journal of Allergy and Clinical
Immunology. 2015;136(4):1120-1123.e4.