Anda di halaman 1dari 42

Tinjauan Kepustakaan

Pneumonia MRSA

dr. Sri Wulantini

Pembimbing :

dr. Tutik Kusmiati, Sp.P(K)

DEPARTEMEN PULMONOLOGI DAN ILMU KEDOKTERAN


RESPIRASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA


RSUD

Dr. SOETOMO
2023

1. Pendahuluan
Infeksi masih menjadi permasalahan di dunia, baik di negara berkembang maupun
negara maju. Permasalahan tersebut memiliki dampak yang cukup signifikan terhadap
peningkatan morbiditas maupun mortalitas di dunia. Menurut WHO tahun 2019 menyatakan
bahwa penyebab kematian tersering karena infeksi menempati urutan keempat baik secara
global maupun DALY(Disability-adjusted life years). Staphylococcus aureus merupakan
flora normal yang ada di tubuh manusia. Akan tetapi bakteri ini juga dapat menimbulkan
permasalahan kesehatan, salah satunya MRSA. MRSA (methicillin-resistant Staphylococcus
aureus) merupakan strain bakteri Staphylococcus aureus yang telah mengalami resistensi
terhadap antibiotik golongan beta-laktam, seperti oxacillin, nafcillin, penicillin, dan lain
sebagainya. 1,2 Hampir semua negara pernah melaporkan adanya kasus MRSA ini, 3,4 dan
faktanya benua Asia merupakan salah satu benua dengan kasus MRSA tertinggi di dunia
dengan kasus di Hongkong dan Indonesia sebesar 28%. 5 Adanya kasus MRSA ini tidak hanya
terjadi di lingkungan rumah sakit, akan tetapi juga dapat terjadi di lingkungan komunitas,
baik di tempat-tempat umum seperti sekolah dan taman serta area perumahan. 2,5–7 Manifestasi
klinis yang ditimbulkan oleh MRSA bervariasi, mulai dari infeksi superfisial maupun
profundus pada kulit dan jaringan sekitarnya, serta dapat menginfeksi organ tertentu
(pneumonia, endocarditis, osteomyelitis), bahkan sistemik seperti bakteremia dan syok. 2,4,6,8
Pneumonia sebagai salah satu manifestasi yang ditimbulkan oleh MRSA akan
dijelaskan lebih terperinci dalam studi ini. Adapun faktor virulensi yang berperan dalam
kejadian pneumonia akibat MRSA diantaranya gen regulator Agr yang banyak dijumpai pada
CA-MRSA dan HA-MRSA, MSCRAMMs yang membantu perlekatan bakteri terhadap epitel
di saluran pernapasan, protein ADAM10 yang menyebabkan peningkatan kebocoran plasma
dan permeabilitas dari sel epitel saluran pernapasan, PVL yang menyebabkan pneumonianya
bersifat invasif, serta toksin yang dihasilkan memperparah perubahan patologis pada
parenkim paru. 9–11 Pneumonia yang ditimbulkan oleh MRSA ini dapat dibagi menjadi tiga
macam berdasarkan sumber infeksinya, yaitu HA-MRSA, CA-MRSA, dan LA-MRSA. Hal
ini menyebabkan seseorang akan lebih berisiko terkena pneumonia di berbagai lingkungan,
baik di rumah sakit maupun komunitas.

Tinjauan Pustaka – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi


Fakultas Kedokteran UNAIR – RSUD Dr. Soetomo Surabaya
Prevalensi pneumonia akibat ketiga macam MRSA memiliki jumlah yang bervariasi
tergantung distribusi negaranya. Pada tahun 2015 disebutkan bahwa prevalensi secara global
dari CA-MRSA ialah sebesar 8% dengan kasus terbanyak berada di benua Amerika. 12 Studi di
Afrika menyampaikan bahwa prevalensi HA-MRSA di tempat tersebut mencapai 20-50%
dengan temuan klinis berupa pneumonia dan bakteremia. 13 Selain itu, LA-MRSA baru
ditemukan pada 2004 dan jarang dilaporkan. Akan tetapi, pada suatu studi menyebutkan
bahwa sebanyak 3,9% populasi di benua Eropa memiliki kasus di atas 10%, di antaranya
Denmark, Belanda, Spanyol, Belgia, dan Slovenia. 14
Biasanya terapi pneumonia akibat infeksi bakteri ini dilakukan dengan memberikan
antibiotik golongan beta-laktam. Akan tetapi, terkadang fenomena yang ada di masyarakat
terjadi akibat pemberian resep antibiotik oleh tenaga kesehan yang tidak sesuai indikasi
sehingga memicu tingginya kasus resistensi antibiotik terhadap bakteri tersebut, termasuk
MRSA. 5 Oleh karena itu, tingginya kasus MRSA akan menyebabkan kasus resistensi
antibiotik lain juga semakin tinggi sehingga menjadi tantangan di dunia kesehatan karena
terbatasnya pilihan pengobatan, meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas akibat
MRSA, serta besarnya beban biaya yang harus dikeluarkan. Dengan demikian, perlu adanya
sebuah tindakan, baik promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif terhadap kasus
pneumonia akibat MRSA sehingga penanganan kasus tersebut dapat dikendalikan dengan
baik.

2. Epidemiologi
Staphylococcus aureus merupakan salah satu mikroba yang terdapat pada tubuh
manusia, yang dapat bertindak baik sebagai flora normal maupun agen patogen yang dapat
menginfeksi tubuh hospesnya. Mikroba ini merupakan patogen yang paling umum
ditemukan, baik di lingkungan rumah sakit maupun komunitas seperti (taman, sekolah,
rumah, dan lain sebagainya). 2,7 Sebenarnya, prevalensi dan insidensi infeksi S.aureus maupun
MRSA memiliki variasi yang luas di berbagai negara. Akan tetapi, hampir semua negara
melaporkan adanya infeksi akibat organisme tersebut. Pada abad ke-19, CFR (case fatality
rate) akibat S. aureus setidaknya dilaporkan mencapai angka 90%. 4 Infeksi akibat S.aureus
memiliki manifestasi yang beragam, mulai dari infeksi superfisial pada kulit, bahkan sistemik
yang bersifat fatal. Salah satu yang ditakutkan dari infeksi S.aureus ialah MRSA (Methicilin-
resistant Staphylococcus aureus). Adanya kasus MRSA yang tinggi, dapat menyebabkan
tingginya kasus resistensi antibiotik di suatu wilayah. 1 Selain itu, adanya MRSA juga

Tinjauan Pustaka – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi


Fakultas Kedokteran UNAIR – RSUD Dr. Soetomo Surabaya
merupakan tantangan karena dampak yang ditimbulkan begitu besar, seperti tingginya
mortalitas, beban biaya yang besar, serta terbatasnya pilihan terapi. 2
Pada sebuah studi meta analisis yang melibatkan 164.717 pasien dari 29 negara yang
dikumpulkan dari tahun 1990 hingga 2022, tercatat bahwa terdapat 16.793 pasien atau
14,69% yang mengalami MRSA, dengan kejadian paling tinggi ditemukan pada orang yang
lebih tua. 15 Apabila ditinjau dari distribusi geografisnya, benua dengan kasus MRSA tertinggi
berada di Amerika (22,27%) dan kejadian terendah di benua Eropa (10,93%). 15 Akan tetapi,
di studi lain menyatakan bahwa prevalensi MRSA meningkat di beberapa negara, terutama di
negara-negara berkembang dengan benua Asia merupakan salah satu benua dengan kasus
MRSA tertinggi, baik MRSA yang terjadi di lingkungan komunitas maupun rumah sakit
dengan perkiraan kasus MRSA di Hongkong dan Indonesia sebesar 28%. 5 Pada studi yang
berbeda, prevalensi MRSA di Indonesia juga dilaporkan dengan jumlah yang berbeda. Studi
oleh Syahniar 1 menyatakan bahwa dari artikel-artikel yang dikumpulkan dari dari tahun
2006-2020, prevalensi MRSA di Indonesia mencapai 0,3%-52% dengan kota tertinggi MRSA
di Indonesia ialah di Jakarta.

Gambar 1. Distribusi Kasus Infeksi akibat S.aureus pada Tahun 2016 16

Tinjauan Pustaka – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi


Fakultas Kedokteran UNAIR – RSUD Dr. Soetomo Surabaya
Gambar 2. Prevalensi Global Kasus MRSA pada Tahun 2012 17

Berdasarkan sumber infeksinya, MRSA pneumonia dibagi menjadi 3 macam yaitu


pneumonia hospital associated-MRSA (HA-MRSA), community associated-MRSA (CA-
MRSA), dan livestock-associated MRSA (LA-MRSA). Pada tahun 2015, disebutkan bahwa
prevalensi pnenumonia secara global dari CA-MRSA adalah sebesar 8% dengan kasus
terbanyak berada di benua Amerika. 12 Sedangkan prevalensi global dari pneumonia HA-
MRSA masih belum ada studi yang menyebutkan. Akan tetapi, suatu studi di Afrika
menyampaikan bahwa prevalensi HA-MRSA di tempat tersebut mencapai 20-50% dengan
temuan klinis berupa pneumonia dan bakteremia 13 Strain MRSA terbaru ditemukan pada
tahun 2004, yang mana ditemukan pada anak dari seorang peternak babi di Belanda. Setelah
dilakukan pengujian dengan PFGE (pulsed-field gel electrophoresis), ternyata ditemukan
bahwa strain tersebut dapat ditularkan antar hewan dan manusia, sehingga diberi nama LA-
MRSA. LA-MRSA berisiko tinggi pada pekerja di peternakan maupun seorang dokter hewan.
Kasusnya memang tidak terlalu banyak seperti tipe MRSA lainnya, kasus ini sempat
dilaporkan sebanyak pada 3,9% negara di benua Eropa dengan angka kasus di atas 10%
seperti Denmark, Belanda, Spanyol, Belgia, dan Slovenia. 14 Walaupun demikian, ketiga strain
MRSA ini dapat mengakibatkan manifestasi klinis seperti pneumonia, infeksi di kulit dan
jaringan sekitarnya, bahkan infeksi sistemik seperti syok. Oleh karena itu, MRSA ini masih
menjadi permasalahan di dunia kesehatan.

Pada suatu studi dijelaskan bahwa kasus MRSA ini lebih tinggi terjadi pada orang
dengan usia yang lebih tua dibandingkan dengan kelompok seseorang dengan HIV/AIDS
(7%), pasien hemodialisis (6,2%), dan pasien di ICU (7%) yang mana data-data tersebut telah

Tinjauan Pustaka – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi


Fakultas Kedokteran UNAIR – RSUD Dr. Soetomo Surabaya
dikumpulkan dari berbagai studi di dunia. 15 Walaupun demikian, akhir-akhir ini MRSA
diketahui sebagai infeksi yang bersifat endemic ‘di lingkungan rumah sakit dan menjadi
penyebab terbanyak infeksi nosocomial terbanyak di hampir semua negara. 4 Kasus mortalitas
akibat infeksi MRSA di USA pada tahun 2018 juga tercatat cukup tinggi yakni sebesar
20.000. 8 Walaupun, pada studi lain didapatkan bahwa terdapat penurunan prevalensi dari
MRSA sejak tahun 2005 hingga 2012, akan tetapi penurunan kasusnya itu bersifat lambat.
Penurunan kasus ini terutama terjadi pada infeksi MRSA di lingkungan rumah sakit. 7 Dengan
adanya data-data diatas, didapatkan bahwa infeksi akibat S.aureus masih menjadi
permasalahan di berbagai dunia, sehingga menjadi tantangan/masalah dalam kesehatan
karena besarnya dampak yang ditimbulkan, seperti angka morbiditas dan mortalitas yang
tinggi.

3. MRSA dan Staphylococcus aureus


MRSA merupakan kepanjangan dari methicillin-resistant Staphylococcus aureus yang
artinya resisten terhadap antibiotik golongan beta-laktam. 1,2 Berikut merupakan gambaran
mekanisme dari MRSA.

Gambar 3. Mekanisme Resistensi Antibiotik terhadap S.aureus, termasuk MRSA 18


Berdasarkan gambar tersebut didapatkan berbagai mekanisme resistensi antibiotik terhadap
S.aureus yang dapat terjadi, salah satunya MRSA. Adapun mekanisme resistensi pada MRSA
dimulai karena adanya suatu gen mecA yang terletak di SCCmec yang akan menggangu suatu
enzim yang berperan dalam sintesis dinding sel, yaitu PBP2a. Inhibisi enzim PBP2a oleh gen
mecA akan menurunkan afinitas antibiotik terhadap enzim tersebut. Oleh karena itu, sintesis

Tinjauan Pustaka – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi


Fakultas Kedokteran UNAIR – RSUD Dr. Soetomo Surabaya
dinding selnya tidak dapat dihambat dan membuatnya resisten terhadap antibotik (golongan
beta-laktam) tersebut. 2,6,7,18
Klasifikasi dari MRSA dibagi berdasarkan sumber lokasinya, yaitu HA-MRSA (healthcare
associated MRSA), CA-MRSA (community associated MRSA), dan LA-MRSA (livestock
associated MRSA). Berikut merupakan gambaran tabel yang membedakan ketiganya.

Tabel 1. Perbedaan HA-MRSA, CA-MRSA, dan LA-MRSA 19


HA-MRSA CA-MRSA LA-MRSA
Pembentukan PVL Jarang Sering Kasus tunggal
Manifestasi klinis Infeksi pasca operasi, Infeksi kulit kronik, Infeksi luka,
utama osteomyelitis, abses, pneumonia, pneumonia terkait
pneumonia fasciitis respiratorik
Indikator frekuensi Diperkirakan 14.000 2%-3% kasus <1% infeksi tenaga
infeksi di Jerman tenaga kesehatan terkait MRSA di Jerman Kesehatan terkait
infeksi MRSA/tahun ialah positif PVL, MRSA, jumlah
(<5% dari semua infeksi semua insidensi infeksi pada rawat
nosokomial) infeksi CA-MRSA jalan tidak diketahui
tidak diketahui
Faktor risiko Rawat inap, perawatan Perjalanan terhadap Kontak langsung
di rumah/perawatan area risiko tinggi, dengan bahan produk
lansia, kateter, luka kontak dengan agrikultur (contohnya
kronik, terapi antibiotik individu yang petani, dokter hewan,
terinfeksi CA- penjagal)
MRSA

Tinjauan Pustaka – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi


Fakultas Kedokteran UNAIR – RSUD Dr. Soetomo Surabaya
Pencegahan Skrining pada atau Pencucian baju, Perawatan kebersihan
sebelum masuk rumah baju tidur, dan terhadap hewan,
sakit, pengukuran untuk handuk pada suhu pengukuran terhadap
terapi kolonisasi, diatas 60°C terapi kolonisasi
terutama pengukuran kapanpun, sebelum bedah elektif
higienitas pada fasilitas pengukuran untuk
tenaga kesehatan terapi kolonisasi
berdasarkan dimanapun
rekomendasi RKI

Manifestasi klinis dari MRSA bervariasi, mulai dari infeksi pada kulit dan jaringan ikat baik
yang ringan maupun berat, seperti SSSS (Staphylococcal Scalded Skin Syndrome),
bakteremia, bahkan fatal (seperti syok maupun TSS(Toxic shock syndrome). 4 Transmisi utama
dari pasien MRSA ialah melalui kontak fisik dengan sumbernya. Contohnya dalam
lingkungan rumah sakit, adanya peralatan yang terkontaminasi dan lingkungan komunitas
dengan adanya kontak fisik dengan seseorang yang terinfeksi atau orang sehat dengan
kolonisasi S.aureus pada lubang hidung mereka. 4,8 Adapun antibiotik yang masih
sensitif/dapat dijadikan pilihan terapi dalam MRSA adalah Vancomycin dengan
sensitivitasnya berkisar 87-100%. Jika ditemukan resistensi terhadap vancomycin (VRSA),
maka dapat digunakan antibiotik lain (Linezolid, Tigecycline, Nitrofurantoin, dan
Dalfopristin) dengan yang dilaporkan sensitivitasnya 100% terhadap MRSA. 1,2,17
Staphyloccous aureus merupakan bakteri flora normal yang ada di dalam tubuh manusia,
yaitu di kulit dan lubang hidungnya. 4,5,21,22 Selain itu, bakteri ini juga bisa berkolonisasi di
mukosa usus halus. 22
Staphylococcus aureus

Tinjauan Pustaka – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi


Fakultas Kedokteran UNAIR – RSUD Dr. Soetomo Surabaya
Gambar 4. Morfologi S.aureus pada Pewarnaan Gram dan Media Agar Darah 20
Staphyloccous aureus merupakan bakteri flora normal yang ada di dalam tubuh manusia,
yaitu di kulit dan lubang hidungnya. 4,5,21,22 Selain itu, bakteri ini juga bisa berkolonisasi di
mukosa usus halus. 22 Pada Gambar 4. didapatkan morfologi dari S.aureus dengan pewarnaan
gram yang tampak kokkus/bulat gram(+) menyerupai seperti buah anggur dengan
kemampuan menghemolisa darah yang tampak berwarna kuning pada media agar darah. 20
Bakteri ini memiliki berbagai faktor virulensi yang berperan dalam adaptasi pada tubuh
hospes sehingga menyebabkan beragam manifestasi klinis. Berikut faktor virulensi beserta
peranannya serta rangkuman manifestasi klinis yang ditimbulkan oleh S.aureus.
Tabel 2. Faktor Virulensi beserta Manifestasi Klinis S.aureus 21
Faktor Virulensi/Rangkuman Klinis
Efek Biologis
Komponen Struktural
Kapsul Menghambat kemotaksis dan fagositosis,
menghambat proliferasi sel mononuklear
Lapisan dinding Memfasilitasi perlekatan terhadap benda asing
Peptidoglikan Menyediakan stabilitas osmotic, menstimulasi
produksi pirogen endogen (endotoxin-like
activity), kemoatraktan leukosit (pembentukan
abses), menghambat fagositosis
Asam teikoat Melekat ke fibronectin
Protein A Menghambat antibody-mediated clearance
melalui pengikatan reseptor IgG1, IgG2, dan
IgG4, kemoatraktan leukosit, antikomplemen

Tinjauan Pustaka – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi


Fakultas Kedokteran UNAIR – RSUD Dr. Soetomo Surabaya
Toxin
Sitotoksin Toksik terhadap berbagai sel, termasuk eritrosit,
fibroblas, leukosit, makrofag, dan platelet
Toksin eksfoliatif (ETA, ETB) Protease serin yang memisahkan “jembatan
interseluler” pada stratum granulosum epidermis
Enterotoksin Superantigen (stimulasi profilerasi sel T dan
merilis sitokin), stimulasi pelepasan mediator
inflamasi dari sel mast, meningkatkan peristaltik
usus dan kehilangan cairan, seperti mual dan
muntah
TSST-1 (toxic shock syndrome toxin-1) Superantigen (stimulasi profilerasi sel T dan
merilis sitokin), memproduksi kebocoran plasma
atau merusak selularitas sel endotel
Enzim
Koagulase Mengubah fibrinogen menjadi fibrin
Hyaluronidase Menghidrolisis asam hyaluronan pada jaringan
ikat, memicu penyebaran Staphylococcus pada
jaringan
Fibrinolisin Melarutkan penggumpalan fibrin
Lipase Menghidrolisis lipid
Nuklease Menghidrolisis DNA
Penyakit S.aureus Rangkuman Klinis
Penyakit terkait toksin
Scalded skin syndrome Deskuamasi penyebaran dari epitel pada infant,
bula dengan tidak ada organisme atau leukosit
Keracunan makanan Setelah mengonsumsi makanan yang
terkontaminasi dengan enterotoksin heat-stable,
muntah berat mendadak, diare, kram perut,
sembuh dalam 24 jam
Syok toksik Intoksikasi multisistem ditandai awalnya dengan
demam, hipotensi, dan diffuse, makula, ruam
eritematosa, mortalitas tinggi tanpa terapi
antibiotik yang tepat dan eliminasi yang menjadi

Tinjauan Pustaka – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi


Fakultas Kedokteran UNAIR – RSUD Dr. Soetomo Surabaya
fokus infeksi
Infeksi supuratif
Impetigo Infeksi kulit yang terlokalisir ditandai dengan
vesikel berisi nanah pada dasar yang kemerahan
Folikulitis Impetigo yang terkait folikel rambut
Furunkel Besar, nyeri, nodul kulit berisi nanah
Karbunkel Furunkel yang bergabung denngn perluasan ke
jaringan subkutan dan bukti dari penyakit
sistemik (demam, menggigil, bakteremia)
Bakteremia dan Endokarditis Penyebaran bakteri kedalam darah dari infeksi
focus, endocarditis yang ditandai kerusakan
penebalan endotel jantung
Pneumonia dan Empyema Konsolidasi dan pembentukan abses pada paru,
terlihat pada pasien yang sangat muda atau lansia
dan pasien dengan pennyakit organik paru,
bentuk berat dari pneumonia nekrotisasi dengan
syok sepsis dan mortalitas tinggi dikenali
Osteomyelitis Destruksi tulang, terutama area metafisis pada
celah sendi
Septik arthritis Sendi yang kemerahan dan nyeri dengan
kumpulan bahan purulen pada celah sendi
Staphylococcus spp. Koagulase
negatif
Infeksi luka Ditandai dengan eritema dan nanah pada lokasi
trauma atau luka bedah, infeksi dengan benda
asing bisa disebabkan oleh S.aureus dan
Staphylococcus koagulase negatif
Infeksi saluran kemih Disuria dan pyuria pada wanita muda yang aktif
berhubungan seksual (S.saprophyticus) pada
pasien dengan pemekaian kateter urin
(Staphylococcus koagulase negatif lainnya) atau
setelah penyebaran ke saluran kemih dari

Tinjauan Pustaka – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi


Fakultas Kedokteran UNAIR – RSUD Dr. Soetomo Surabaya
bakteremia
Infeksi kateter dan shunt Respon inflamasi kronik terhdap bakteri yang
ada pada kateter atau shunt (paling sering oleh
Staphylococcus koagulase negatif)
Infeksi terkait prostesa Infeksi kronik dari peralatan yang ditandai
adanya nyeri terlokalisir dan kegagalan mekanis
dari suatu alat (paling sering oleh
Staphylococcus koagulase negatif)

Pada Tabel 2. didapatkan bahwa faktor virulensi yang dimiliki oleh S.aureus terdiri atas
komponen struktural, toksin, dan enzim yang tujuannya adalah untuk menghindar dari sistem
imun serta dapat sukses dalam menginfeksi individu sehingga bisa jatuh sakit dan
menimbulkan manifestasi klinis. Selain itu, pada gambar diatas juga didapatkan rangkuman
manifestasi klinis yang dapat ditimbulkan, mulai dari infeksi yang sifatnya ringan hingga
berat, seperti toxic shock syndrome karena adanya superantigen TSST-1. Biasanya S.aureus
ini tidak berbahaya, namun ketika status imunitas tubuh hospes sedang dalam kondisi yang
tidak prima, infeksi ini dapat menjadi infeksi oportunistik, utamanya pada pasien dengan
komorbid (diabetes mellitus) dan imunokompromais (HIV/AIDS dan kondisi lainnya). 1,2,22
Kondisi tersebut seringkali menunjukkan adanya bakteri S.aureus di dalam darah atau
bakteremia serta menjadi penyebab tersering dari kasus resistensi terhadap antibiotik. 22 Jika
S.aureus ini sudah menjadi MRSA maka ia dapat dikategorikan sebagai MDR (multidrug
resistant) dengan resistensi terhadap antibiotik golongan beta-laktam. Selan itu, MRSA juga
bisa menjadi VRSA yang resisten terhadap Vancomycin. 1 Hal ini tentunya dapat mempersulit
penanganan pneumonia MRSA pada seseorang, sehingga membutuhkan perubahan terapi
untuk dapat mengeleminasi koloni MRSA yang telah tumbuh.

4. Faktor Risiko
Seseorang dapat berisiko tinggi terinfeksi pneumonia MRSA ialah sebagai berikut :
- Adanya riwayat infeksi MRSA, rawat inap dalam 12 bulan terakhir, adanya luka,
penggunaan kateter ataupun peralatan medis lainnya, serta adanya komorbid
(diabetes, pasien HIV/AIDS, dan pasien hemodialisis). 15
- Ketidaktepatan penggunaan antibiotik pada komunitas memiliki risiko yang lebih
tinggi daripada di rumah sakit. 5

Tinjauan Pustaka – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi


Fakultas Kedokteran UNAIR – RSUD Dr. Soetomo Surabaya
- Adanya reservoir pada hewan(seperti babi, ayam, sapi, kambing, kuda, anjing, dan
kucing) menyebabkan tingginya risiko terinfeksi S.aureus 4

Gambar 5. Reservoir dan Tipe dari MRSA beserta Kompleksivitas Klonal S.aureus 4

5. Patofisiologi
a. Kolonisasi Staphylococcus aureus
Pada orang yang sehat, sekitar 25-30% populasi terdapat S.aureus pada
hidungnya dan faktanya terdapat karier yang membawa MRSA dan MSSA di
dalamnya. 23,24 Seseorang akan mengalami gejala dari infeksi S.aureus ketika bakteri
tersebut berhasil menembus epitel kulit/mukosa yang rusak. Pasien yang
asimptomatik biasanya terjadi pada flora normal yang mencapai sirkulasi darah
maupun suatu organ. Hal ini perlu diperhatikan karena nantinya bakteri ini tetap
dapat menimbulkan manifestasi klinis tergantung status imunitas hospesnya. 6,7,24
Pada studi didapatkan bahwa dari 9841 pasien yang dirawat di ICU, didapatkan
2440 pasien (24,8%) memiliki kolonisasi positif terhadap S.aureus yang mana 304
pasien(15,7%) diantaranya mengalami pneumonia akibat infeksi S.aureus. 23 Tidak
hanya itu, usia yang lebih tua juga mengalami risiko tinggi terhadap infeksi
S.aureus karena adanya faktor kerentaan, gangguan fungsi sistem imun, sering
dirawat inap, serta penggunaan antibiotik secara berlebihan. 6

Tinjauan Pustaka – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi


Fakultas Kedokteran UNAIR – RSUD Dr. Soetomo Surabaya
Gambar 6. Gambaran Kolonisasi S.aureus pada HA-MRSA dan CA-MRSA 25
Dari gambar tersebut didapatkan bahwa S.aureus dapat melakukan kolonisasi
dimana saja, baik di lingkungan rumah sakit maupun komunitas. Selain itu, tidak
hanya dapat berkolonisasi di hidung dan kulit, bakteri ini juga dapat berkolonisasi
di area lain, seperti orofaring, axilla, inguinal, bahkan di saluran pencernaan seperti
usus halus dan rectum. 25

b. Dinamika Virulensi
Faktor virulensi yang dimiliki oleh S.aureus tentunya diregulasi oleh sebuah
mekanisme yang adaptif sehingga dapat beradaptasi terhadap perubahan apapun di

Tinjauan Pustaka – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi


Fakultas Kedokteran UNAIR – RSUD Dr. Soetomo Surabaya
lingkungan sekitarnya. Selain itu, tentunya terdapat dinamika dari regulator
tersebut sehinggga bisa menimbulkan manifestasi klinis yang adekuat terhadap
seseorang yang terinfeksi oleh S.aureus. Berikut merupakan daftar regulator dari
faktor virulensi yang dimiliki oleh S.aureus.
Tabel 3. Mekanisme Regulasi Faktor Virulensi dari S.aureus 26
Sistem
Peranan In vivo
Regulator
agr Komunikasi sel ke sel (quorum Dibutuhkan sebagai virulensi pada
sensing) dengan AIP sebagai sinyal; model hewan coba dari infeksi kulit,
aktivasi agr memicu ekspresi pneumonia, dan endokarditis
eksotoksin dan eksoenzim
SaeRS Menginduksi produksi eksoprotein, Dibutuhkan sebagai virulensi pada
termasuk berbagai faktor virulensi model hewan coba dari infeksi kulit
dan pneumonia
SrrAB Berespon terhadap oksigen TCS; Dibutuhkan sebagai pertahanan
menginduksi ekspresi plc dan ica; melawan neutrofil
merepresi agr, TSST-1 dan spa
ArlRS Autolisis dan permukaan sel TCS; Dibutuhkan sebagai virulensi pada
menginduksi ekspresi MgrA dan model hewan coba dari infeksi kulit
represi agr dan autolisis dan endokarditis
SarA Regulator sitoplasma; menginduksi Dibutuhkan sebagai virulensi pada
eksoprotein dan represi spa model hewan coba dari infeksi
biofilm
Rot Regulator sitoplasma dari toksin dan Mutasi dari rot memperbaiki virulensi
protease ekstrasel, aktivasi agr pada agr-null dalam model kelinci
mencegah translasi Rot endocarditis
MgrA Regulator sitoplasma; menginduksi Dibutuhkan sebagai virulensi pada
pompa efluks dan ekspresi kapsul, model hewan coba dari infeksi kulit,
represi protein permukaan dan endocarditis
SigB Fase stationary faktor sigma; Penting dalam pembentukan infeksi
menghambat aktivitas agr kronis pada model paru tikus

Tinjauan Pustaka – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi


Fakultas Kedokteran UNAIR – RSUD Dr. Soetomo Surabaya
Berdasarkan Tabel 3. terdapat beberapa protein regulator yang mengatur faktor
virulensi dari S.aureus beserta peranan/fungsinya. (1) AGR quorum sensing system
merupakan regulator virulensi yang dimiliki oleh S.aureus. Regulator ini berfungsi
agar mikroba tersebut dapat beradaptasi secara cepat terhadap perubahan kondisi,
seperti pH, ROS, dan lain sebagainya sehingga S.aureus dapat menyesuaikan
terhadap perubahan tersebut. (2) SaerS TCS merupakan regulator yang berperan
dalam produksi eksoprotein. Adanya eksoprotein tersebut dapat merespon terhadap
α-defensin. Adapun contoh eksoprotein yang dibentuk ialah nuclease, PVL, TSST-
1, coagulase, α-toxin, toksin eksfoliatif, hemolisin beta dan gama, dan SIBP. (3)
SARA protein family terdiri atas beberapa protein yang berperan dalam
perkembangan biofilm dan produksi protease ekstrasel(SarA), penyebaran
resistensi antibiotic melalui SCCmec(SarH1), serta regulator dari resistensi
antibiotik yang multipel(MgrA). (4) Alternative sigma factors terdiri atas SigB
yang memiliki fungsi dalam meregulasi protein steess-response serta gen-gennya
yang berperan dalam pembentukan biofilm, transport membrane, resistensi
antibiotic. Sedangka, SigH memiliki peran dalam menstabilkan stadium lisogenik
dari profag S.aureus karena profag tersebut membawa gen yang dapat berperan
dalam faktor virulensi yang dimiliki oleh S.aureus 25,26

Gambar 7. Beberapa Protein yang Berperan dalam Virulensi S.aureus 25,26

c. Faktor Virulensi
Berikut merupakan gambar mengenai faktor virulensi yang dimiliki oleh
S.aureus baik dalam hal resistensi terhadap antibiotik, menghindar dari sistem

Tinjauan Pustaka – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi


Fakultas Kedokteran UNAIR – RSUD Dr. Soetomo Surabaya
imun, membuat manifestasi klinis lebih hebat dengan adanya toksin mauapun
eksoprotein, dan proses enzimatik lainnya.

Gambar 8. Virulensi S.aureus terhadap Resistensi Antibiotik dan Logam Berat 25


Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa terdapat berbagai gen yang meregulasi
terjadinya resistensi terhadap berbagai antibiotik, seperti golongan aminoglikosida,
beta-laktam, bahkan logam berat. Dengan demikian, S.aureus bisa bertahan
terhadap pengobatan berbagai antibiotik yang diberikan.

Gambar 9. Faktor Virulensi (Protein, Enzimatik, Molekul) yang Dimiliki oleh


S.aureus 25

Tinjauan Pustaka – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi


Fakultas Kedokteran UNAIR – RSUD Dr. Soetomo Surabaya
Dari gambar tersebut didapatkan berbagai faktor virulensi yang berperan dalam
manifestasi klinis yang ditimbulkan maupun mekanisme untuk menghindar dari
sistem imun tubuh manusia. Berikut merupakan mekanisme bagaimana S.aureus
dapat menghindar dari sel-sel fagosit melalui berbagai cara.

Gambar 10. Mekanisme Evasi Imun oleh S.aureus 22

Dari gambar tersebut didapatkan berbagai cara dalam evasi/menghindar dari sistem
imun tubuh manusia. (a) Menghambat ekstravasasi, aktivasi, dan kemotaksis
neutrophil. Ketika ada suatu benda asing masuk ke dalam sirkulasi tubuh manusia
maka sebagai bentuk pertahan pertama ialah dengan mengaktifkan sel-sel fagosit
untuk menangani suatu benda asing tersebut. Tentu saja prosesnya dipengaruhi
oleh beberapa factor seperti sitokin pro-inflamasi, struktur dan virulensi suatu
bakteri, dan lain sebagainya. S.aureus dapat mengelabui neutrofiil agar tidak
difagositosis melalui adanya protein PSMs yang didalamnya juga ada δ-toxin
sehingga bakteri tersebut memiliki semacam pelindung dan terhindar dari aktivasi
neutrophil. Adanya superantigen seperti SSL5 dan SelX akan mengikat PSGL-1
pada permukaan leukosit yang mana akan menghambat ekstravasasi melalui
hambatan adhesi neutrophil pada P-selectin di sel endotel. Selain itu, adanya SSL3,
SSL4, SSL5, dan SSL10 yang mengikat GPCRs dan TLRs akan menghambat
aktivasi dan kemotaksis dari neutrofil. Adanya enzim seperti staphopain protease
dan lipase juga menghambat proses kemotaksis melalui pemecahan CXCR2 dan
mengubah struktur yang bertindak sebagai proinflamasi pada cabang terminal
sehingga akan mencegah pengenalan PAMPs oleh neutrofil. (b) Menghambat

Tinjauan Pustaka – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi


Fakultas Kedokteran UNAIR – RSUD Dr. Soetomo Surabaya
fagositosis melalui agregasi, struktur permukaan protektif, dan pembentukan
biofilm. Adanya kapsul polisakarida yang diproduksi oleh S.aureus akan
membuatnya terhindar dari proses fagositosis, terutama S.aureus dengan serotipe 5
dan 8. Kapsul ini juga akan meningkatkan virulensinya pada endocarditis maupun
bakteremia. Polisakarida yang dimiliki S.aureus ialah PIA yang mana juga
merupakan komponen utama dari matriks biofilm. Dengan adanya biofilm tersbeut
maka akan menghambat proses fagositosis melalui pembentukan suatu pelindung
sehingga terhindar dari fagositosis maupun berkontribusi dalam networking
biofilm. Pembentukan biofilm ini erat kaitannya dengan proses aglomerasi sehingga
dapat terhindar dari ingesti oleh sel-sel fagosit melalui pembentukan kompleks
staphylotrombin. (c) Menghambat opsonisasi, S.aureus dapat memproduksi
beberapa protein yang dapat mengganggu deposisi Ig, mengganggu sistem
komplemen sehingga dapat menghambat proses opsonisasi. (1) SpA akan
memproduksi pembungkus yang berkamuflase untuk mengikat pada regio F c pada
IgG, Fab pada IgM sehingga bisa juga bertindak sebagai superantigen yang
menyebabkan apoptosis dari sel B. (2) Sbi akan mengikat regio F c IgG, kokmponen
serum apolipoprotein H, faktor komplemen(H dan C). (3) SSL10 yang akan
mengikat Fc IgG sehingga mencegah fagositosis melalui mediasi reseptor. (4) SCIN
akan menghambat semua jalur komplemen melalui hambatan C3 convertase dan
mengganggu terbentuknya C3b dan C5a. (5) protein yang mengganggu sistem
komplemen secara langsung, seperti Cna pada jalur klasik, SdrE pada jalur
alternatif, dan Eap pada jalur lektin dan klasik. (6) SSL7 akan menghambat jalur
komplemen melalui hambatan pengenalan IgA dengan mengikatg F c IgA dan
mengikat C5. (7) Protease seperti SspA, SspB, Metalloprotease, Aur, dan Scp juga
akan menghambat opsonisasi melalui aktivitas proteolitiknya. (d) Menghambat
mekanisme pembunuhan oleh neutrophil, pembunuhan suatu benda asing melalui
neutrofil dapat melalui proses enzimatik maupun molekuler, seperti MPO, ROS,
AMPs, dan lain sebagainya. MPO akan memproduksi radikal bebas sehingga nanti
dapat mengeradikasi suatu mikroba. Akan tetapi, S.aureus memiliki mekanisme
untuk menghambat proses tersebut, yaitu dengan adanya Staphyloxantin akan
“scavenge” radikal bebas. Selain itu, ia juga memproduksi superoxide dismutase
yang akan mengubah H2O2 menjadi kurang toksik sebagaimana juga seperti KatA,
AhpC yang akan mendetoksifikasi H2O2 menjadi O2 dan H2O. Selain itu, kuman

Tinjauan Pustaka – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi


Fakultas Kedokteran UNAIR – RSUD Dr. Soetomo Surabaya
ini juga memproduksi LDH yang menginduksi NO dan menjaga homeostasis redox
pada fagosom. Adanya SPIN juga secara langsung menghambat MPO. Selain itu,
granul-granul yang dihasilkan oleh neutrofil seperti defensin dan AMP lainnya
yang merupakan “positively charged” akan bertindak sebagai “pore former” pada
dinding dan membrane sel bakteri. Akan tetapi, S.aureus memiliki dlt operon dan
MprF yang akan membuat dindingnya “negatively charged” dan mengurangi
penarikan oleh AMPs. Dengan demikian, molekul-molekul tersebut dapat
menghambat “neutrophil killing mechanism”. (e) Toxin yang dapat mengeliminasi
neutrophil, S.aureus memproduksi banyak toksin yang digunakan untuk
menghindari sistem imun, termasuk neutrofil. (1) α-toxin(Hla) memiliki fungsi
seperti invasi kedalam epitel, bertindak sebagai sitolisin melalui pembuatan lubang
menggunakan ADAM10 pada beberapa tipe sel dalam tubuh, menginduksi
rangkaian proses inflamasi melalui NLRP3 inflammasome sehingga dapat
membuat kematian sel melalui piroptosis, serta berkontribusi dalam manifestasi
klinis seperti (sepsis, pneumonia, dan infeksi kulit). (2) Leukocidin seperti PVL,
LukDE, LukAB, HlgAB dan HlgCB, serta HlgB dan HlgC yang mana erat
kaitannya terhadap MRSA pada lingkungan komunitas. (3) PSM yang merupakan
sitokin proinflamasi yang kuat dan dapat memberikan efek kemotaksis pada
neutrofil dan keratinosit sehingga dapat mengganggu membran sel secara
langsung. 22,25,27–29
d. Inisiasi Infeksi
S.aureus akan menginfeksi suatu individu yang berisiko tinggi seperti usia
yang ekstrem, gangguan sistem imunitas, adanya riwayat infeksi sebelumnya,
maupun adanya komorbid yang dimiliki oleh seseorang. Walaupun bakteri ini
merupakan flora normal, akan tetapi dapat menyebabkan infeksi oportunistik pada
orang dengan imunokompromais, seperti HIV/AIDS. Manifestasi gejala akan
dimulai ketika bakteri ini dapat menembus epitel barrier atau mukosa, maupun
mencapai sirkulasi dan melakukan replikasi/memperbanyak diri. 2,4,17,27,29 Jika
bakteri ini mencapai sirkulasi maka akan memicu terjadinya sepsis, akan tetapi
seharusnya sudah terdapat persinyalan dari awal bahwa bakteri tersebut akan
dibersihkan dengan sistem imun melalui sel-sel fagosit. Namun S.aureus masih
dapat bertahan karena memiliki sistem menghindari sel-sel imun tersebut dengan
baik sehingga masih bisa hidup dan beradaptasi terhadap perubahan disekitarnya,

Tinjauan Pustaka – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi


Fakultas Kedokteran UNAIR – RSUD Dr. Soetomo Surabaya
bahkan bakteri ini juga bisa menyebabkan infeksi sistemik yang hebat akibat
adnaya toksin superantigen yang akan memicu rilisnya sitokin proinflamasi yang
masif sehingga infeksinya bertambah berat. 25,30 Oleh karena itu, inisiasi infeksi
tergantung sistem imunitas tubuh manusia serta seberapa kuat faktor virulensi yang
dimiliki oleh suatu mikroorganisme, semakin rendah sistem imunitas tubuh hospes
dan semakin kuat faktor virulensi yang dimiliki oleh mikroorganisme maka akan
semakin cepat inisiasi infeksi dan manifestasi klinis yang ditimbulkan.

Gambar 11. Patofisiologi HA-MRSA 31

Sebagian besar infeksi pneumonia MRSA memang bersumber dari pneumonia


komunitas, namun patofisiologi pneumonia yang ditampilkan dalam studi ini
merupakan pneumonia HA-MRSA. Keduanya memiliki patofisiologi yang sama,
hanya saja bersumber dari lingkungan yang berbeda. HA-MRSA sulit untuk
dibuaat/ditegakkan diagnosisnya karena seringkali gejalanya terselebung oleh
gejala lain yang dialami pasien sehingga mengharuskannya rawat inap di rumah
sakit. Terdapat beberapa faktor yang berkontribusi dalam timbulnya HA-MRSA
meliputi aspirasi, translokasi bakteri, dan inhalasi. Selain itu, adanya interaksi
antara hospes, agen penyebab dan lingkungan juga memengaruhi timbulnya
pneumonia di rumah sakit. (1) Faktor hospes diantaranya seseorang yang sudah

Tinjauan Pustaka – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi


Fakultas Kedokteran UNAIR – RSUD Dr. Soetomo Surabaya
memiliki penyakit organik sebelumnya, adanya kondisi imunosupresan,
neutropenia sehingga adanya retensi sekret di saluran pernapasan dan membuat
resisten terhadap antibiotik. (2) Faktor agen mikroorganisme diantaranya invasi
berlebihan dari mikroba sehingga menyebabkan adanya disfagia dan menurunkan
refleks batuk maupun adanya kontaminasi peralatan medis yang dimasukkan ke
dalam saluran pernapasan, seperti alat intubasi sehingga akan merusak mukosa
sebagai sistem pertahanan di saluran pernapasan tersebut. (3) Faktor lingkungan
yang memengaruhi timbulnya pneumonia di rumah sakit ialah bisa berasal dari
pasien, pekerja/tenaga kesehatan, dan biasanya agen penyebabnya sama untuk
semua orang yang berada di lingkungan rumah sakit tersebut, contohnya ialah
P.aeruginonsa yang mana seringkali resisten terhadap berbagai antibiotik. 10,11,31

Selain adanya interaksi antara hospes, mikroba, dan lingkungan, ditemukan


juga beberapa faktor virulensi yang memiliki peranan dalam timbulnya pneumonia
akibat S.aureus. (1) Adanya gen regulator seperti Agr yang akan mengekspresikan
protein permukaan dan toksin yang dapat disekresikan oleh bakteri tersebut, seperti
AgrD, Agrb, AgrC, RNAIII yang mana dapat dijumpai pada CA-MRSA dan HA-
MRSA terutama strain USA300. Selain itu faktor tersebut juga berkontribusi dalam
infeksi pada parenkim paru yang sifatnya invasif. (2) Adanya protein permukaan
seperti MSCRAMMs, akan melekat ke suatu epitel untuk mendirikan suatu
kolonisasi bakteri yang didukung oleh beberapa toksin yang disekresikan sehingga
akan membuat sel targetnya menjadi lisis. Selain itu, protein tersebut juga akan
mengenali komponen hospes yang spesifik seperti kolagen, fibronectin, dan
fibrinogen sehingga dapat meningkatkan adanya kelainan patologis pada parenkim
paru, tepatnya pada sel epitel di saluran pernapasan. (3) Adanya ClfB yang mana
akan melekat pada sitokeratin sel epitel di hidung dan membuat kolonisasi di area
tersebut. (4) α-hemolisin akan membuat lubang-lubang kecil agar bisa terjadi
pergeseran ion seperi kalsium dan sinyal-sinyal proinflamasi yang mana juga
berdampak terhadap terganggunya frekuensi pergerakan dari silia-silia yang ada
pada saluran pernapasan. Selain itu, adanya interaksi dengan protein ADAM10
akan menyebabkan peningkatan kebocoran plasma serta permeabilitas dari sel
epitel saluran pernapasan. (5) PVL berkaitan dengan pneumonia yang bersifat
invasif pada strain USA300. (6) Toksin yang bersifat superantigen juga akan

Tinjauan Pustaka – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi


Fakultas Kedokteran UNAIR – RSUD Dr. Soetomo Surabaya
meningkatkan produksi sitokin proinflamasi sehingga terjadi badai sitokin yang
mengakibatkan kelainan patologis pada organ paru. Enterotoksin yang dihasilkan
juga berkaitan terhadap respon alergi dan asma karena bisa memediasi atau
berpotensi terhadap inflamasi yang terjadi pada asma. 9–11 Rangkaian mekanisme
patologi inilah yang menjelaskan bagaimana MRSA berperan dalam patogenesis
pneumonia.

6. Penegakan Diagnosis
Diagnosis pneumonia secara umum dikaji mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, foto
toraks, dan laboratorium. Diadopsi guideline pneumonia American Thoracic Society,
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Pneumonia Komunitas oleh PDPI 32 menyatakan
bahwa diagnosis definitif pneumonia ditegakkan dengan gambaran air bronchogram atau
infiltrat pada foto rontgen thorax ditambah dengan kejadian akut dari beberapa gejala dan
tanda berikut : (i) Batuk; (ii) Perubahan karakteristik sputum (purulent/non-purulen); (iii)
Suhu tubuh ≥ 38°C atau riwayat demam (iv) Nyeri dada; (v) Sesak napas; (vi) Pemeriksaan
fisik menunjukkan adanya konsolidasi, suara napas bronkial dan ronkhi; (vii) Leukosit ≥
10.000 sel/mm3, atau < 4500 sel/mm3 dengan peningkatan neutrofil batang/imatur. Diagnosis
dengan mengidentifikasi etiologi pneumonia penting untuk dilakukan karena dapat mengubah
tatalaksana pasien yang bersifat empiris. Pasien dengan kecurigaan terhadap infeksi S. aureus
membutuhkan antibiotik yang ideal untuk membantu perbaikan klinis pasien, terlebih lagi
pada kondisi sudah ditemui reistensi methicillin (MRSA). Pada studi ini, diagnosis
pneumonia akibat MRSA akan dijabarkan baik secara klinis, bakteriologis, laboratorium, dan
radiologis.
a. Klinis
Diagnosis klinis terhadap pneumonia MRSA juga penting untuk
membandingkan dengan diagnosis banding lainnya. Adanya beberapa informasi
yang bisa didapat dari anamnesis dapat lebih mudah mengarahkan diagnosis ini pada
pneumonia MRSA, seperti (1) Riwayat infeksi MRSA; (2) Abses kulit simultan
dengan kecurigaan infeksi MRSA; (3) Post influenza pneumonia; (4) Riwayat
pemeriksaan radiologi sebelumnya menunjukkan kecurigaan terhadap pneumonia
MRSA (misal, lesi kavitas). 33 Pasien dengan pneumonia MRSA dapat
mempresentasikan manifestasi klinis yang berbeda bergantung dari sumber
infeksinya. Pada pasien pneumonia HCAP-MRSA, HA-MRSA, dan VA-MRSA

Tinjauan Pustaka – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi


Fakultas Kedokteran UNAIR – RSUD Dr. Soetomo Surabaya
ternyata lebih umum dijumpai pada pasien geriatric dengan komorbid yang beragam.
Selain tu, onset gejala dari pneumonia ini umumnya berkisar 9 hari. Pada pasien
pneumonia komunitas MRSA, umumnya pasien diawali dengan gejala mirip
influenza (>75% kasus) kemudian dapat diikuti dengan hemoptysis, demam tinggi,
leukopenia, dan hipotensi. 34,35 Selain itu, pasien CA-MRSA umumnya merupakan
pasien dengan usia muda, berbeda dengan tipe pneumonia lainnya. 36 Pasien pediatrik
dengan CA-MRSA juga dilaporkan berisiko terhadap gagal napas dan syok. 37 Hal ini
juga menjelaskan mengapa Pasien pneumonia MRSA cenderung memiliki masa
hospitalisasi yang lebih lama dibandingkan dengan non-MRSA. Secara umum
eksotoksin yang dihasilkan dari strain ini berakibat pada timbulnya berbagai
manifestasi di atas yang dirangkum pada Gambar 15. Oleh karena itu, diperlukan
antibiotik yang mampu menekan produksi toksin sehingga menurunkan angka
mortalitas pasien. 38

Presentasi Kinis Suspek Pneumonia Komunitas


MRSA
Gambaran kavitas, infiltrat, dan nekrosis pada CXR
Peningkatan progresif efusi pleura
Hemoptysis
Influenza
Neutropenia
Ruam eritematous
Pustul kulit
Usia muda, biasanya pasien sehat
Pneumonia berat selama musim panas
Gambar 12. Presentasi Klinis Pasien yang diduga CA-MRSA
Upaya skrining risiko pneumonia MRSA secara klinis juga dapat diketahui dengan
menghitung skor Shorr (Gambar 16). Skor ini dikembangkan oleh Shorr pada tahun
2013 melalui studi retrospektifnya terhadap 5.975 pasien yang dirawat di 62 rumah
sakit dengan pneumonia. Dua pertiga dari kelompok ini digunakan untuk
memperoleh model prediktif untuk pneumonia MRSA, yang kemudian diuji pada
sepertiga pasien sisanya. Dengan menggunakan skor ini,prevalensi pneumonia
MRSA ditemukan semakin tinggi seiring dengan penambahan skor risiko Shorr.

Tinjauan Pustaka – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi


Fakultas Kedokteran UNAIR – RSUD Dr. Soetomo Surabaya
Ketika skor Shorr bernilai ≤ 1, prevalensi MRSA ditemukan < 10%, sementara pada
skor ≥ 6, kejadian pneumonia mencapai lebih dari 30%. 39 Pasien kemudian dapat
digolongkan dalam 3 kelompok risiko, yakni risiko rendah (skor 0-1), moderat (2-5),
dan tinggi (≥ 6). Sistem skoring ini kemudian diuji kembali pada studi oleh
Minejima tahun 2014 (40) dengan membandingkan 134 pasien pneumonia MRSA
dengan 134 pasien pneumonia non MRSA. Hasil menunjukkan bahwa performa
deteksi pneumonia MRSA ditemukan lebih baik pada studi ini daripada studi
aslinya.

Tabel 4. Skor Shorr untuk Skrining Risiko Pneumonia MRSA 39


Variabel Poin
Usia
Usia < 30 tahun atau > 79 tahun 1
Paparan tenaga kesehatan sebelumnya
Rawat inap terbaru (≥ 2 hari dan berada dalam 90 hari terakhir) 2
Perawatan di rumah/perawatan jangka Panjang untuk paparan akut 1
dalam 90 hari terakhir
Terapi antibiotik intravena dalam 30 hari terakhir sebelumnya 1
Derajat penyakit
Masuk dalam ruang perawatan intensif (pada atau jari sebelum index 2
Komorbiditas
Penyakit srebrovaskular(siapapun) 1
Demensia 1
Wanita dengan diabetes mellitus 1
Kemungkinan skor total : 10

b. Bakteriologis
American Thoracic Society (2019) mengungkapkan rekomendasi terbaru
bahwa diagnosis bakteriolgosi dengan pewarnaan Gram dan biakan sputum tidak
rutin untuk pasien rawat jalan. Akan tetapi, pada pasien pneumonia MRSA,
diagnosis ini masih sangat dianjurkan. 41 Indikasi dilakukannya pewarnaan gram dan
biakan sputum dan darah pada pasien pneumonia komunitas dicantumkan sebagai
berikut,

Tinjauan Pustaka – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi


Fakultas Kedokteran UNAIR – RSUD Dr. Soetomo Surabaya
 Pneumonia berat berdasarkan kriteria Skor CURB-65
 Dalam pengobatan empiris terhadap MRSA atau P. aeruginosa
 Memiliki riwayat infeksi MRSA atau P. aeruginosa, terutama infeksi di saluran
napas
 Memiliki riwayat rawat inap dan menerima antibiotic parenteral dalam 90 hari
terakhir.

Dalam diagnosis pneumonia komunitas MRSA perlu diketahui pula bahwa


masih terdapat kemungkinan bahwa MRSA yang terdeteksi dalam kultur sputum
merupakan kontaminan dari saluran napas atas. Hal inilah yang menjelaskan pada
sebagian besar pasien pneumonia MRSA, bukan merupakan kasus pneumonia
MRSA sejati (not true MRSA pneumonia). 42 Selain itu skrining hidung (nasal
screening) untuk deteksi kolonisasi MRSA, dahulu sebenarnya telah banyak
dilakukan untuk membantu dalam pencegahan infeksi bakteri ini. 43 Potensi
diagnostik skrining hidung dengan PCR swab nasal kini mulai diidentifikasi untuk
membantu dalam terapi antimicrobial pada pasien MRSA. 44 Studi-studi yang ada
menunjukkan bahwa hasil swab nasal yang negative menunjukkan nilai Negative
Predictive Value (NPV) yang tinggi pula. Nilai NPV berguna dalam menunjukkan
probabilitas pasien tidak terkena pneumonia MRSA dengan menggunakan swab
nasal. Nilai NPV yang tinggi berguna dalam diagnosis dengan me-rule out
pneumonia MRSA. Selain itu, nilai akurasi diagnostik swab nasal tes PCR secara
keseluruhan juga dilaporkan dalam deteksi pneumonia sebesar 90.5% sensitivititas,
79.9% specifisitas, 34.5% positive predictive value, and 98.6% negative predticive
value. 45
Metode diagnosis bakteriologis lain yang dapat digunakan untuk deteksi
MRSA dapat berupa kultur tenggorok dan nares. Beberapa studi yang melibatkan
lebi dari 4.000 studi menunjukkan bawha kombinasi kulutr area tenggorok dan nares
memiliki sensitivitas yang lebih tinggi daripada kultur nares saja. Hal ini juga
diperkuat dengan temuan oleh Jang et al 2014 46 yang menyatakan bahwa kultur
tenggorok memiliki kemampuan yang baik dalam memprediksi pneumonia MRSA
pada pasien ICU. Kultur tenggorok dipakai sebagai salah satu pertimbangan dalam
diagnosis pneumonia MRSA dengan sebab berikut : (1) Pneumonia MRSA
umumnya disebabkan karena aspirasi bakteri dari area kolonisasi di orofaring yng

Tinjauan Pustaka – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi


Fakultas Kedokteran UNAIR – RSUD Dr. Soetomo Surabaya
kemudian masuk ke dalam paru. Oleh sebab itu, diharapkan kolonisasi MRSA juga
dapat ditemukan di area tenggorokan. (2) Beberapa pasien mungkin tidak mampu
berdahak dengan baik dan cenderung untuk menelan dahak merka sehingga sangat
mungkin untuk bakteri masuk ke dalam tenggorok. 33

c. Pemerikaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium lain mencakup pemeriksaan darah lengkap seperti
leukopenia juga dapat mengarah pada diagnosis CA-MRSA. 34 Procalcitonin sebagai
salah satu marker inflamasi diduga juga dapat menjadi salah satu indikasi adanya
infeksi MRSA. 47 Penggunaan procalcitonin dalam diagnosis pneumonia MRSA
dijelaskan dalam alur gambar . Marker inflamasi lain seperti C-reactive protein
(CRP) dengan nilai > 400 g/L juga diduga mengarah pada suspek infeksi CA-
MRSA. 34 Akan tetapi, diagnosis pneumonia tidak bisa ditegakkan hanya berdasarkan
hasil pemeriksaan darah. Pemeriksaan ini perlu ditunjang dengan metode diagnosis
lain agar pasien dapat dikategorikan terkonfirmasi pneumonia MRSA.
Pemeriksaan diagnostik laboratorium dapat mencakup pemeriksaan molecular
lain terhadap MRSA dengan menggunakan pemeriksaan berbasis asam nukleat
(NAAT). Sebuah tinjauan sistematis dan meta analisis menunjukkan sensitivitas dan
spesifisitas NAAT dalam deteksi pneumonia MRSA masing-masing 0.75 (0.69 –
0.80) dan 0.88 (0.86 – 0.89). Penggunaan GeneXpert dalam deteksi methicillin-
resistant Staphylococcus aureus juga ditunjukkan oleh Cercenado tahun 2012 48
dengan sensitivitas 99.0%, spesifisitas 72.0%, positive predictive value 90.7%, dan
negative predictive value 96.3%.

d. Pemeriksaan Radiologis
Pemerikaan bakteriologis untuk menegakkan diagnosis pneumonia MRSA
cenderung membutuhkan waktu sehingga dapat menghambat diagnosis.
Pemeriksaan radiologis dengan menggunakan CT-scan ataupun foto toraks dapat
memberikan gambaran diagnosis dan diagnosis banding untuk membantu dalam
memberikan terapi empiris. Studi oleh Maeda et al 49 menunjukkan bahwa pada
kelompok pneumonia MRSA, abnormalitas parenkimal banyak dijumpai dan lebih
terdistribusi pada daerah perifer dari pada pasien MSSA. Selain itu, gambaran efusi
pleura juga ditemukan secara signifikan lebih banyak daripada kelompok MSSA.

Tinjauan Pustaka – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi


Fakultas Kedokteran UNAIR – RSUD Dr. Soetomo Surabaya
Hasil radiografi toraks yang lebih dominan juga dilaporkan berupa konsilidasi.
Konsolidasi yang tampak umumnya bersifat bilateral tanpa adanya lobar spesifik
yang menjadi area predileksi konsolidasi. 50 Reynold et al menunjukkan gambaran
CT toraks pada 90 pasien pneumonia komunitas MRSA, yang ditandai dengan
adanya konsolidasi bilateral ekstensif dengan kavitasi yang umumnya
mengindikasikan progresifitas dan perburukan klinis. 51 Akan tetapi penggunaan
pemeriksaan radiologis sebagai salah satu metode diagnosis masih tetap perlu dikaji
kembali. Studi oleh Gonza 52 menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang
signifikan antara gambaran radiografi toraks pada pasien pneumonia MRSA dan
MSSA.

Gambar 14. Hasil rontgen toraks dan CT-scan pada kasus CA-MRSA dengan
syok septik dan gagal napas 50

Melalui berbagai metode diagnosis di atas, alur diagnosis pneumonia MRSA


kemudian dirangkum dalam bagan berikut.

Tinjauan Pustaka – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi


Fakultas Kedokteran UNAIR – RSUD Dr. Soetomo Surabaya
Gambar 15. Algoritma Diagnosis Pneumonia MRSA 33
Deteksi risiko awal pneumonia MRSA dilakukan dengan melakukan penilaian skor
Shorr sesuai dengan faktor risiko dan klinis pasien sesuai dengan alur Gambar 18.
Evaluasi dengan menggunakan skor Shorr membantu dalam penentuan awal
terhadap kecurigaan pneumonia MRSA. Pada pasien dengan skor Shorr 0-1, pasien
tidak perlu mendapatkan tatalaksana MRSA kecuali terdapat kecurigaan MRSA pada
klinis pasien. Pada pasien dengan skor 2-5, diagnosis pneumonia MRSA perlu
dipertimbangkan pada pasien tertentu. Perawatan MRSA direkomendasikan pada
pasien dengan skor 6-10. Evaluasi berulang perlu dilakukan sebelum memberikan
terapi antibiotik pada pasien dengan menggunakan PCR nasal dan penghitungan
procalcitonin (PCT). Bila ditemukan adanya hasil negatif pada procalcitonin ataupun
keempat kriteria berikut terpenuhi, yang mencakup: (i) Skor Shorr < 6 ; (ii) Hasil
PCR nasal negatif ; (iii) Presentasi klinis tidak mengarah pada MRSA ; (iv)
Pewarnaan gram tidak ditemukan adanya bakteri gram positif coccus, maka pasien
tidak membutuhkan terapi MRSA. Akan tetapi, apabila ditemukan hasil yang
berkebalikan, maka pasien perlu dipertimbangkan untuk diberikan terapi MRSA

Tinjauan Pustaka – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi


Fakultas Kedokteran UNAIR – RSUD Dr. Soetomo Surabaya
sambil dievaluasi kembali dalam 48-72 jam pasca kedatangan dengan menunggu
hasil kultur. Bila didapatkan salah satu dari poin berikut tidak terpenuhi yakni, (i)
hasil kultur sputum negative atau (ii) hasil PCR nasal negatif dan kultur tenggorok
negatif, maka pasien dapat segera diberikan antibiotik MRSA. Hasil yang
berkebalikan mengisyaratkan bahwa pasien tidak terdiagnosis dengan pneumonia
MRSA dan dapat dilakukan terapi sesuai dengan regimen standar. 33

7. Tatalaksana
Tatalaksana pasien pneumonia secara umum mengikuti guideline ATS/IDSA 2019
dengan memperhatikan beberapa aspek berikut, mencakup (1) rawat jalan atau rawat inap, (2)
derajat pneumonia berat atau tidak berat, (3) dengan komorbid atau tidak, (4) riwayat infeksi
pathogen multiresisten (MRSA atau P. aeruginosa), (5) riwayat rawat inap dan menerima
anitbiotik parenteral dalam 90 hari terakhir. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2022) telah
merangkum tatalaksana terapi pasien pneumonia membagi pasien berdasarkan jenis
perawatannya. Umumnya, sangat jarang ditemui pasien pneumonia rawat jalan dengan faktor
risiko infeksi MRSA atau P. aeruginosa. Jika pasien memiliki fakto risiko tersebut, maka
pasien sebaiknya dirawat karena membutuhkan antibiotik intravena. Pada pasien pneumonia
berat maupun tidak berat dengan faktor risiko MRSA atau P. aeruginosa, PDPI
merekomendasikan pemeriksaan dan pemberian antibiotic empiris dengan membagi menjadi
2 kelompok berdasarkan faktor risikonya. Pada kelompok (1), pasien dengan riwayat isolasi
MRSA dari saluran napas dalam 1 tahun terakhir memiliki risiko sangat tinggi terjadinya
infeksi sehingga direkomendasikan untuk dilakukan tatatalaksana sebagai berikut :
1. Melakukan biakan darah dan sputum atau swab nasal PCR, DAN
2. Inisiasi terapi empiris untuk patogen CAP umum sesuai dengan regimen pneumonia
berat dan ringan

Inisiasi terapi empiris untuk MRSA. Antibiotik yang digunakan dapat berupa salah satu dari :
(1) Vancomycin 15 mg/kgBB setiap 12 jam sekali, atau (2) Linezolid 600 mg setiap 12 jam
sekali.

Tinjauan Pustaka – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi


Fakultas Kedokteran UNAIR – RSUD Dr. Soetomo Surabaya
Pada kelompok (2), merupakan pasien rawat inap dan menerima antibiotik parenteral dalam
90 hari terakhir, dan terdapat faktor risiko local terhadap infeksi MRSA, rekomendasi
tatalaksana diberikan sesuai dengan derajat pneumonia pasien. 32
1. Melakukan biakan darah , sputum, dan swab nasal PCR
2. Inisiasi terapi empiris untuk patogen CAP umum sesuai regimen pneumonia tidak
berat
ataupun berat.
3. Inisiasi terapi empiris untuk MRSA.
i. Pneumonia tidak berat : Inisiasi terapi hanya bila didapatkan hasil biakan
positif untuk swab nasal PCR MRSA positif
ii. Pneumonia berat : Antibiotik dilanjutkan bila hasil biakan positif atau de-
eskalasi dalam 48 jam jika hasil biakan negatif dan pasien mengalami
perbaikan.

Pasien MRS dan


Rejimen Terapi Riwayat infeksi Riwayat Antibiotik
Standar MRSA Parenteral dan Risiko
infeksi lokal MRSA
B-lactam + Terapi sebagai Lakukan kultur dan
macrolide atau MRSA dan lakukan tahan terapi MRSA,
florokuinolon pemeriksaan kultur kecuali hasil kultur
respirasi. atau PCR nasal positif. Jika hasil PCR
Pasien Rawat
untuk konfirmasi nasal tersedia, tahan
Inap non-berat
terapi lanjutan. terapi empiris bila hasil
PCR negative, dan
berikan terapi bila PCR
positif..
Pasien Rawat β-lactam + Terapi sebagai Terapi sebagai MRSA
Inap Berat macrolide atau β- MRSA dan lakukan dan lakukan
lactam + pemeriksaan kultur pemeriksaan kultur atau

Tinjauan Pustaka – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi


Fakultas Kedokteran UNAIR – RSUD Dr. Soetomo Surabaya
florokuinolon atau PCR nasal PCR nasal untuk
respirasi. untuk konfirmasi konfirmasi terapi
terapi lanjutan. lanjutan.
Gambar 16. Terapi Pasien Pneumonia dengan infeksi MRSA dan P. aeruginosa

Selain itu, pada pasien yang telah mendapat terapi empiris pneumonia MRSA, bila
ternyata tidak ditemukan positif terhadap infeksi MRSA dan mengalami perbaikan klinis
dalam waktu 24 jam, maka terapi CAP dapat dilakukan de-eskalasi. Dalam memberikan
tatalaksana pasien pneumonia MRSA, dokter juga perlu melakukan validasi lokal dengan
mengkaji apakah terdapat data lokal yang menunjukkan adanya infeksi MRSA pada pasien
CAP serta faktor risiko apa yang mendukung infeksi MRSA di daerah tersebut. 41 Durasi
pengobatan untuk terapi juga berbeda antara pasien pneumonia MRSA dan non-MRSA.
Lama pengobatan umumnya ialah 5 hari pada pasien yang menunjukkan respons dalam 72
jam pertama. Pemberian antibiotik ini dapat diperpanjang menjadi 7 hari pada pasien dengan
suspek atau terkonfirmasi MRSA. Selain itu, apabila pada pasien mengalami progresifitas
menjadi necrotizing pneumonia, empyema, atau abses maka pemberian antibiotic dalam
diperpanjang menjadi 14 hari. Durasi pengobatan pada basisnya bersifat individual sehingga
perubahan masa terapi sangat dimungkinkan bergantung pada respons pasien. 32

8. Komplikasi
Pasien dengan pneumonia MRSA sangat rentan terhadap berbagai komplikasi pulmonal
yang dapat dideteksi dengan radiografi toraks mencakup abses, empyema pleura,
broncopleural fistula, ARDS, dan necrotizing pneumonia. 53
a. Abses Paru
Abses paru dapat terjadi pada pasien pneumonia MRSA dengan bukti lesi kavitas
pada parenkim paru. Abses pada pneumonia MRSA umumnya tampak bulat dengan
dinding tebal tidak beraturan, dan berisi udara serta cairan. Abses ini umumnya tidak
terlalu hebat sehingga hanya membutuhkan terapi antibiotic tanpa drainase. 53
b. Empiema
Empiema disebabkan karena adanya infeksi efusi pleura yang terlokalisir. Pada
gambaran CT-scan, didapatkan adanya gambaran khas berupa “split pleura” yang
menandakan adanya penebalan cairan pleura. Komplikasi ini membutuhkan

Tinjauan Pustaka – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi


Fakultas Kedokteran UNAIR – RSUD Dr. Soetomo Surabaya
intervensi medis segera karena dapat berujung pada perburukan fungsi paru pasien.
Tindakan evakuasi berupa pemasangan chest tube ataupun surgical debridement
disarankan untuk mengembalikan kondisi paru pasien. 53
c. Bronchopleural fistula
Fistula bronkopleural merupakan kondisi dimana terbentuk hubungan antara
percabangan bronkial dan ruang pleura sehingga memungkinkan terjadinya
kebocoran udara. Komplikasi ini umumnya disebabkan oleh suatu proses
pembedahan. Akan tetapi, pada pasien MRSA, kondisi ini disebabka karena
rupturnya kavitas pada area pulmonal yang mengalami nekrosis. Kondisi ini
umumnya dideteksi Ketika diketahui adanya pneumotoraks yang persisten pada
gamabran radiografi toraks walaupun telah dipasang chest tube. 53
d. ARDS
Kerusakan pada kantong udara kecil di paru-paru dan lapisan pembuluh darah
menyebabkan cairan bocor ke dalam paru-paru, yang menyebabkan pembengkakan
yang disebut edema permeabilitas. Kondisi yang dikenal sebagai sindrom gangguan
pernapasan akut (ARDS) yang umumnya membutuhkan rawat inap di unit
perawatan intensif dan penggunaan ventilasi mekanik untuk pengobatan. Foto
rontgen dada biasanya menunjukkan daerah yang tersebar dan berawan di kedua
paru-paru yang dengan cepat bergabung menjadi area kekeruhan yang lebih luas.
Pemeriksaan CT scan toraks menunjukkan perbedaan kepadatan yang bergantung
pada gravitasi, dengan daerah konsolidasi di bagian bawah paru-paru dan kekeruhan
kabut di bagian atas paru-paru. Komplikasi seperti udara di tengah dada
(pneumomediastinum) dan udara di luar paru-paru (pneumotoraks) dapat terjadi
sebagai akibat dari ventilasi tekanan positif. 53
e. Necrotizing pneumoniae
Pneumonia nekrotik, atau juga disebut pneumonia kavitasi atau nekrosis kavitasi,
telah berkaitan dengan buruknya hasil klinis pada orang dewasa. Akan tetapi
komplikasi ini sangat jarang terjadi pada anak-anak. Patofisiologi dari pneumonia
nekrotik ini diduga melibatkan gangren paru yang masif, pengenceran jaringan, dan
nekrosis. Akan tetapi jalur lebih mendetail yang membahas tentang timbulnya
komplikasi ini belum dibahas lebih lanjut. 54 Jumlah laporan kasus pneumonia
nekrotik yang semakin meningkat juga ditemukan memiliki kecenderungan terhadap
peningkatan insidensi pneumonia yang lebih berat dengan efusi parapneumonic. 55

Tinjauan Pustaka – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi


Fakultas Kedokteran UNAIR – RSUD Dr. Soetomo Surabaya
9. Monitoring Pencegahan
Monitoring pencegahan timbulnya pneumonia MRSA pada masyarakat membutuhkan
peranan dari berbagai komponen kesehatan. Dalam hal ini, klinisi memiliki peranan
terpenting dalam pencegahan dan penanggulanga kasus resistensi microbial. Peningkatan
angka kasus resistensi umumnya disebabkan karena penggunaan antimikroba yang tidak tepat
dan sembarangan. Oleh karena itu, kini penerapan antimicrobial stewardship (AMS) dalam
praktik sehari-hari mulai dilakukan untuk menghindari terjadinya kasus resistensi berulang.
AMS merupakan sebuah pendekatan berbasis kompetensi untuk menanggulangi
ketidaksesuaian dalam pemakaian antibiotik. Seorang klinisi diharapkan dapat menggunakan
antibiotik dengan benar dan mempertimbangkan berbagai aspek mulai dari ketepatan
diagnosis / indikasi, drug of choice, rute pemberian obat, dan durasi pemberian obat. 56
Selain itu, diperlukan pula upaya surveilans / pemantauan aktif serta upaya preventif dan
promotive seperti menjaga kebersihan tangan yang tepat tetap merupakan langkah
pencegahan penting untuk mencegah penularan MRSA . Surveilans aktif terhadap pneumonia
MRSA di rumah sakit dapat dilakukan dengan mengambil sampel dari hidung bagian depan,
tenggorokan, atau kulit (jika terdapat lesi) pasien pada saat masuk atau selama mereka tinggal
di rumah sakit. Pengambilan sampel dari hidung bagian depan merupakan metode
pengambilan sampel yang paling umum. 57 Sampel dapat diskrining untuk MRSA seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya atau dengan metode deteksi PCR dalam waktu 48 jam setelah
pasien masuk. Langkah pencegahan kontak juga harus diambil sebelum dan setelah
memeriksa pasien yang terkolonisasi MRSA, termasuk menggunakan jas pelindung dan
sarung tangan yang harus selalu dipakai saat terjadi kontak dengan sekresi oral dan
endotrakeal pasien. 58 Metode lain yang dapat digunakan untuk mencegah penularan
pneumonia MRSA adalah dengan meletakkan pasien terduga/terkonfirmasi pneumonia
MRSA pada ruangan terpisah sehingga meminimalkan kontak antar pasien. Apabila tidak
terdapat ruang khusus yang dapat digunakan untuk isolasi pasien, pasien dapat dipindahkan
pada ruangan lain dengan pasien yang berisiko rendah terhadap penularan MRSA. Para
tenaga kesehatan yang berkontak dengan pasien juga perlu dilakukan skrining berkala untuk
mendeteksi adanya kolonisasi MRSA. 59
Pada pasien yang telah mendapatkan terapi pneumonia MRSA, pemberian antibiotik
perlu dievaluasi kembali secara klinis dalam 24-72 jam pertama. Bila terdapat perbaikan
klinis pasien, maka terapi dapat dilanjutkan. Apabila terjadi perburukan maka antibiotik harus

Tinjauan Pustaka – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi


Fakultas Kedokteran UNAIR – RSUD Dr. Soetomo Surabaya
diganti sesuai hasil biakan atau pedoman empiris yang telah disusun. Selain itu, tidak adanya
respons setelah pemberian terapi memerlukan evaluasi ulang terhadap diagnosis pasien
dengan memperhatikan faktor risiko pasien, obat yang diberikan, serta bakteri penyebabnya

Gambar 17. Faktor yang mungkin menyebabkan pasien tidak berespons terhadap
pengobatan empiris.

Pasien pneumonia MRSA juga perlu dilakukan monitoring terhadap kemungkinan


timbulnya berbagai komplikasi seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Pemberian
tatalaksana awal secara cepat dan tepat mempengaruhi kondisi klinis pasien.

Tinjauan Pustaka – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi


Fakultas Kedokteran UNAIR – RSUD Dr. Soetomo Surabaya
DAFTAR PUSTAKA

1. Syahniar R, Rayhana, Kharisma DS, Khatami M, Duarsa DBB. Methicillin-resistant staphylococcus


aureus among clinical isolates in Indonesia: A systematic review. Vol. 13, Biomedical and
Pharmacology Journal. Oriental Scientific Publishing Company; 2020. p. 1871–8.

2. Li Z. A Review of &lt;i&gt;Staphylococcus aureus&lt;/i&gt; and the Emergence of Drug-


Resistant Problem. Adv Microbiol. 2018;08(01):65–76.

3. Murray CJ, Ikuta KS, Sharara F, Swetschinski L, Robles Aguilar G, Gray A, et al. Global
burden of bacterial antimicrobial resistance in 2019: a systematic analysis. The Lancet. 2022
Feb 12;399(10325):629–55.

4. Shoaib M, Aqib AI, Muzammil I, Majeed N, Bhutta ZA, Kulyar MF e. A, et al. MRSA
compendium of epidemiology, transmission, pathophysiology, treatment, and prevention
within one health framework. Vol. 13, Frontiers in Microbiology. Frontiers Media S.A.; 2023.

5. Susanti MA, Mahardhika GS, Rujito L, Darmawan AB, Anjarwati DU. The Examination of
mecA gene in Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) and inappropriate
antibiotic uses of healthcare workers and communities in Banyumas. Jurnal Kedokteran dan
Kesehatan Indonesia. 2020 Dec 31;11(3):257–65.

6. Hasanpour AH, Sepidarkish M, Mollalo A, Ardekani A, Almukhtar M, Mechaal A, et al. The


global prevalence of methicillin-resistant Staphylococcus aureus colonization in residents of

Tinjauan Pustaka – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi


Fakultas Kedokteran UNAIR – RSUD Dr. Soetomo Surabaya
elderly care centers: a systematic review and meta-analysis. Vol. 12, Antimicrobial Resistance
and Infection Control. BioMed Central Ltd; 2023.

7. Kourtis AP, Hatfield ; Kelly, Baggs J, Mu ; Yi, See I, Epson E, et al. Morbidity and Mortality
Weekly Report Vital Signs: Epidemiology and Recent Trends in Methicillin-Resistant and in
Methicillin-Susceptible Staphylococcus aureus Bloodstream Infections-United States
[Internet]. 2017. Available from: https://www.cdc.gov/mmwr

8. Cheung GYC, Bae JS, Otto M. Pathogenicity and virulence of Staphylococcus aureus. Vol.
12, Virulence. Bellwether Publishing, Ltd.; 2021. p. 547–69.

9. Parker D, Prince A. Immunopathogenesis of Staphylococcus aureus pulmonary infection. Vol.


34, Seminars in Immunopathology. 2012. p. 281–97.

10. Rubinstein E, Kollef MH, Nathwani D. Pneumonia caused by methicillin-resistant


Staphylococcus aureus. Clinical Infectious Diseases. 2008 Jun 1;46(SUPPL. 5).

11. Defres S, Marwick C, Nathwani D. MRSA as a cause of lung infection including airway
infection, community-acquired pneumonia and hospital-acquired pneumonia. Vol. 34,
European Respiratory Journal. 2009. p. 1470–6.

12. David MZ. MRSA community pneumonia: a global perspective on resistance. Vol. 16, The
Lancet Infectious Diseases. Lancet Publishing Group; 2016. p. 1309–10.

13. Shuping LL, Kuonza L, Musekiwa A, Iyaloo S, Perovic O. Hospital-associated methicillin-


resistant Staphylococcus aureus: A cross-sectional analysis of risk factors in South African
tertiary public hospitals. PLoS One. 2017 Nov 1;12(11).

14. Crespo-Piazuelo D, Lawlor PG. Livestock-associated methicillin-resistant Staphylococcus


aureus (LA-MRSA) prevalence in humans in close contact with animals and measures to
reduce on-farm colonisation. Vol. 74, Irish Veterinary Journal. BioMed Central Ltd; 2021.

15. Hasanpour AH, Sepidarkish M, Mollalo A, Ardekani A, Almukhtar M, Mechaal A, et al. The
global prevalence of methicillin-resistant Staphylococcus aureus colonization in residents of
elderly care centers: a systematic review and meta-analysis. Vol. 12, Antimicrobial Resistance
and Infection Control. BioMed Central Ltd; 2023.

Tinjauan Pustaka – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi


Fakultas Kedokteran UNAIR – RSUD Dr. Soetomo Surabaya
16. Aliberti S, Reyes LF, Faverio P, Sotgiu G, Dore S, Rodriguez AH, et al. Global initiative for
meticillin-resistant Staphylococcus aureus pneumonia (GLIMP): an international,
observational cohort study. Lancet Infect Dis. 2016 Dec 1;16(12):1364–76.

17. Ansari S, Jha RK, Mishra SK, Tiwari BR, Asaad AM. Recent advances in staphylococcus
aureus infection: Focus on vaccine development. Vol. 12, Infection and Drug Resistance.
Dove Medical Press Ltd.; 2019. p. 1243–55.

18. Mlynarczyk-Bonikowska B, Kowalewski C, Krolak-Ulinska A, Marusza W. Molecular


Mechanisms of Drug Resistance in Staphylococcus aureus. Vol. 23, International Journal of
Molecular Sciences. MDPI; 2022.

19. Köck R, Mellmann A, Schaumburg F, Friedrich AW, Kipp F, Becker K. The Epidemiology of
Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) in Germany. Dtsch Arztebl Int. 2011
Nov 11;

20. York N, San C, Athens F, Madrid L, City M, Riedel S, et al. Twenty-Eighth Edition [Internet].
2019. Available from: www.mhprofessional.com.

21. Murray PR, Rosenthal KS, Pfaller MA. Medical Microbiology 7th. 2013. 261 p.

22. Cheung GYC, Bae JS, Otto M. Pathogenicity and virulence of Staphylococcus aureus. Vol.
12, Virulence. Bellwether Publishing, Ltd.; 2021. p. 547–69.

23. Paling FP, Hazard D, Bonten MJM, Goossens H, Jafri HS, Malhotra-Kumar S, et al.
Association of Staphylococcus aureus Colonization and Pneumonia in the Intensive Care
Unit. JAMA Netw Open. 2020 Sep 30;3(9).

24. Kim MW, Greenfield BK, Snyder RE, Steinmaus CM, Riley LW. The association between
community-associated Staphylococcus aureus colonization and disease: A meta-analysis.
BMC Infect Dis. 2018 Feb 21;18(1).

25. Turner NA, Sharma-Kuinkel BK, Maskarinec SA, Eichenberger EM, Shah PP, Carugati M, et
al. Methicillin-resistant Staphylococcus aureus: an overview of basic and clinical research.
Vol. 17, Nature Reviews Microbiology. Nature Publishing Group; 2019. p. 203–18.

26. Jenul C, Horswill AR. Regulation of Staphylococcus aureus Virulence . Microbiol Spectr.
2019 Apr 12;7(2).

Tinjauan Pustaka – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi


Fakultas Kedokteran UNAIR – RSUD Dr. Soetomo Surabaya
27. Shettigar K, Murali TS. Virulence factors and clonal diversity of Staphylococcus aureus in
colonization and wound infection with emphasis on diabetic foot infection. Available from:
https://doi.org/10.1007/s10096-020-03984-8

28. Bien J, Sokolova O, Bozko P. Characterization of Virulence Factors of Staphylococcus


aureus : Novel Function of Known Virulence Factors That Are Implicated in Activation of
Airway Epithelial Proinflammatory Response . J Pathog. 2011;2011:1–13.

29. Barbuti MD, Myrbråten IS, Morales Angeles D, Kjos M. The cell cycle of Staphylococcus
aureus: An updated review. Vol. 12, MicrobiologyOpen. John Wiley and Sons Inc; 2023.

30. Kwiecinski JM, Horswill AR. Staphylococcus aureus bloodstream infections: pathogenesis
and regulatory mechanisms. Vol. 53, Current Opinion in Microbiology. Elsevier Ltd; 2020. p.
51–60.

31. Definition and pathophysiology of hospital-acquired pneumonia. Vol. 9 Suppl 1, Respirology


(Carlton, Vic.). 2004. p. S3–5.

32. Burhan E, Isbaniah F, Hatim F, Djaharuddin I, Soedarsono, Harsini, et al. Pneumonia


Komunitas : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia; 2022.

33. Farkas J. Which patients admitted for pneumonia need MRSA coverage? [Internet]. 2016
[cited 2023 Jun 1]. Available from: https://emcrit.org/pulmcrit/pneumonia-mrsa/

34. Rubinstein E, Kollef MH, Nathwani D. Pneumonia caused by methicillin-resistant


Staphylococcus aureus. Clinical Infectious Diseases. 2008;46(SUPPL. 5).

35. Hageman JC, Uyeki TM, Francis JS, Jernigan DB, Wheeler JG, Bridges CB, et al. Severe
community-acquired pneumonia due to Staphylococcus aureus, 2003-04 influenza season.
Emerg Infect Dis. 2006;12(6):894–9.

36. Gillet Y, Issartel B, Vanhems P, Fournet JC, Lina G, Bes M, et al. Association between
Staphylococcus aureus strains carrying gene for Panton-Valentine leukocidin and highly
lethal necrotising pneumonia in young immunocompetent patients. Lancet.
2002;359(9308):753–9.

37. Chen CJ, Su LH, Chiu CH, Lin TY, Wong KS, Chen YYM, et al. Clinical features and
molecular characteristics of invasive community-acquired methicillin-resistant

Tinjauan Pustaka – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi


Fakultas Kedokteran UNAIR – RSUD Dr. Soetomo Surabaya
Staphylococcus aureus infections in Taiwanese children. Diagn Microbiol Infect Dis.
2007;59(3):287–93.

38. Wunderink RG, Waterer GW. Clinical practice. Community-acquired pneumonia. N Engl J
Med. 2014;370(6):543–51.

39. Shorr AF, Myers DE, Huang DB, Nathanson BH, Emons MF, Kollef MH. A risk score for
identifying methicillin-resistant Staphylococcus aureus in patients presenting to the hospital
with pneumonia. 2013;

40. Minejima E, Lou M, Nieberg P, Wong-beringer A. Patients presenting to the hospital with
MRSA pneumonia : differentiating characteristics and outcomes with empiric treatment.
2014;837:1–7.

41. Metlay JP, Waterer GW, Long AC, Anzueto A, Brozek J, Crothers K, et al. Diagnosis and
treatment of adults with community-acquired pneumonia. Am J Respir Crit Care Med.
2019;200(7):E45–67.

42. Enomoto Y, Yokomura K, Hasegawa H, Ozawa Y, Matsui T, Suda T. Healthcare-associated


pneumonia with positive respiratory methicillin-resistant Staphylococcus aureus culture :
Predictors of the true pathogenicity. 2016;1–7.

43. Moody J, Hickok J, Avery TR, Lankiewicz J, Gombosev A, Terpstra L, et al. Targeted versus
Universal Decolonization to Prevent ICU Infection. 2013;1–11.

44. Chan JD, Dellit TH, Choudhuri JA, McNamara E, Melius EJ, Evans HL, et al. Active
surveillance cultures of methicillin-resistant Staphylococcus aureus as a tool to predict
methicillin-resistant S. aureus ventilator-associated pneumonia. Crit Care Med.
2012;40(5):1437–42.

45. Giancola SE, Nguyen AT, Le B, Ahmed O, Higgins C, Sizemore JA, et al. Clinical utility of a
nasal swab methicillin-resistant Staphylococcus aureus polymerase chain reaction test in
intensive and intermediate care unit patients with pneumonia. Diagn Microbiol Infect Dis.
2016;86(3):307–10.

46. Jang HC, Choi OJ, Kim GS, Jang MO, Kang SJ, Jung SI, et al. Active surveillance of the
trachea or throat for MRSA is more sensitive than nasal surveillance and a better predictor of
MRSA infections among patients in intensive care. PLoS One. 2014;9(6):1–6.

Tinjauan Pustaka – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi


Fakultas Kedokteran UNAIR – RSUD Dr. Soetomo Surabaya
47. Akagi T, Nagata N, Miyazaki H, Harada T, Takeda S, Yoshida Y, et al. Procalcitonin is not an
independent predictor of 30-day mortality, albeit predicts pneumonia severity in patients with
pneumonia acquired outside the hospital. BMC Geriatr. 2019;19(1):1–10.

48. Cercenado E, Marín M, Burillo A, Martín-Rabadán P, Rivera M, Bouza E. Rapid detection of


Staphylococcus aureus in lower respiratory tract secretions from patients with suspected
ventilator-associated pneumonia: Evaluation of the Cepheid Xpert MRSA/SA SSTI assay. J
Clin Microbiol. 2012;50(12):4095–7.

49. Maeda T, Mori H, Yamashita S, Kawahara K. Meticillin-resistant Staphylococcus aureus and


meticillin- susceptible S . aureus pneumonia : comparison of clinical and thin-section CT
findings. 2012;85(June).

50. Nguyen ET, Kanne JP, Hoang LMN, Reynolds S, Dhingra V, Bryce E, et al. Community-
acquired methicillin-resistant staphylococcus aureus pneumonia radiographic and computed
tomography findings. J Thorac Imaging. 2008;23(1):13–9.

51. Reynolds S, Dhingra JV, Bryce JE. Community-acquired Methicillin-resistant


Staphylococcus aureus Pneumonia Radiographic and Computed Tomography Findings. 2008;
(March).

52. Gonza C, Rubio M, Gonza M, Picazo JJ. Bacteremic Pneumonia Due to Staphylococcus
aureus : A Comparison of Disease Caused by Methicillin-Resistant and Methicillin-
Susceptible Organisms. :1171–7.

53. Chu JT, Wu CC, Drasin T, Barack BM. MRSA Pneumonia and Its Complications.
Contemporary Diagnostic Radiology. 2010;33(3):1–5.

54. Hsieh YC, Hsiao CH, Tsao PN, Wang JY, Hsueh PR, Chiang BL, et al. Necrotizing
pneumococcal pneumonia in children: The role of pulmonary gangrene. Pediatr Pulmonol.
2006;41(7):623–9.

55. Sawicki GS, Lu FL, Valim C, Cleveland RH, Colin AA. Necrotising pneumonia is an
increasingly detected complication of pneumonia in children. European Respiratory Journal.
2008;31(6):1285–91.

Tinjauan Pustaka – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi


Fakultas Kedokteran UNAIR – RSUD Dr. Soetomo Surabaya
56. Ganguli A, Lim J, Mostafa A, Saavedra C, Rayabharam A, Aluru NR, et al. A culture-free
biphasic approach for sensitive and rapid detection of pathogens in dried whole-blood matrix.
Proc Natl Acad Sci U S A. 2022;119(40):1–11.

57. Lai PS, Liang L, Cibas ES, Liu AH, Gold DR, Baccarelli A, et al. Alternate methods of nasal
epithelial cell sampling for airway genomic studies. Journal of Allergy and Clinical
Immunology. 2015;136(4):1120-1123.e4.

58. Dahal M, Schwan WR. Management of methicillin-resistant Staphylococcus aureus mediated


ventilator-associated pneumonia. Curr Trends Microbiol. 2018;12:95–107.

59. Sadsad R, Sintchenko V, McDonnell GD, Gilbert GL. Effectiveness of hospital-wide


methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) infection control policies differs by
ward specialty. PLoS One. 2013;8(12).

Tinjauan Pustaka – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi


Fakultas Kedokteran UNAIR – RSUD Dr. Soetomo Surabaya

Anda mungkin juga menyukai