Anda di halaman 1dari 2

Childfree: Kesalahan dalam Pengasuhan?

Beberapa bulan yang lalu seorang Youtuber terkenal asal Indonesia mengumumkan bahwa ia
dan pasangannya memutuskan untuk childfree. Tidak ingin memiliki anak dengan cara
apapun. Gegerlah se-Indonesia raya.
Dianggap bahwa childfree merupakan keputusan yang salah, berdosa, dan melanggar tujuan
pernikahan. Dimana salah satu tujuan pernikahan adalah memiliki keturunan.
Namun, coba kita lihat dari sudut pandang yang lain. Psikologi salah satunya.
Apakah seseorang mengambil keputusan childfree secara tiba-tiba? Tanpa ada latar belakang
yang dialaminya?
Bisa jadi, ada pengalaman “buruk” yang dialaminya dalam keluarga sehingga ia tidak ingin
pengalaman tersebut terjadi lagi ke anaknya. Karena itu sama saja dengan mewariskan
“luka”.
Adanya kegagalan dalam keluarga seperti ada trauma masa lalu, tidak ada attachment antar
anggota keluarga, dan bisa saja ada KDRT yang dilakukan ayah kepada ibu. Sehingga
seorang anak tidak memiliki gambaran yang ideal tentang “keluarga”
Trauma-trauma maupun pengalaman yang terjadi di masa lalu berpengaruh sangat besar
terhadap individu dan berlanjut hingga dewasa dan fase kehidupannya yang akan datang.
Trauma tersebut sukar untuk disembuhkan hingga tercetuslah pilihan childfree sebagai
jawaban atas penghentian trauma yang dialaminya.
Salah satu contoh yang dapat kita pahami ada di webtoon “Out of th blue”. Menceritakan
tentang sepasang suami istri yang memutuskan untuk childfree dikarenakan si suami
mengalami trauma pengasuhan. Ayah KDRT, ibu yang menangis dan meratapi nasib
sehingga mengabaikan anaknya, hingga ibu menikah lagi dan hilang dari kehidupan anaknya.
Cerita fiksi namun banyak di sekitar kita yang mengalaminya.
Anak yang melihat kedua orangtuanya bertengkar dengan berbagai alasan hingga adanya
KDRT tentu saja membuat anak merasa ketakutan. Sedikit-sedikit orangtua berkelahi, saling
mengumpat dan saling memukul. Akibatnya anak memiliki pandangan bahwa kedua
orangtuanya saling menyakiti dan ia tidak mendapatkan rasa aman dan bahagia di rumah.
Akibatnya, anak tidak memiliki gambaran “orangtua dan kelurga yang utuh”, dia merasa
kesepian dan membenci anak-anak lain yang memiliki orangtua utuh.
Anak yang memiliki trauma di masa lalu kemudian ia tidak memiliki gambaran yang utuh
tentang keluarga hingga ia memutuskan untuk childfree agar berbagai trauma yang ia alami
di masa lalu tidak ia wariskan ke anak-anaknya.
Ia tidak ingin menjadi orangtua yang temperamen, memukul anak, mengumpat, dan ia
menginginkan hadir secara utuh dalam tumbuh kembang anak.
Selain itu, bisa saja orangtuanya dahulu sering membanding-bandingkan dirinya dengan anak
yang lain, tidak menerima kehadiran anaknya, dan (bisa jadi) adanya pelecehan yang dialami
oleh anak dan dilakukan oleh orang terdekat.
Sehingga, begitu besar pengaruh pengasuhan dalam kehidupan individu. Childfree
memberikan gambaran nyata bahwa berbagai kejadian masa lalu yang dialami di fase anak-
anak dapat berpengaruh ke fase dewasa dan fase kehidupan selanjutnya (Pernikahan).
Berbagai trauma yang dialami individu bukan berarti ia meng-amin-kan childfree. Karena
sejatinya, trauma bisa diatasi. Namun, tidak menampik bahwa waktu yang diperlukan akan
sangat panjang.

Anda mungkin juga menyukai