Anda di halaman 1dari 3

Disorganisasi Keluarga

Kasus perceraian hidup di Indonesia mencapai 1,46% dari total populasi penduduk
Indonesia. Tentunya angka itu terhitung cukup tinggi. Jawa Timur merupakan salah satu
daerah yang memiliki tingkat perceraian hidup terbanyak secara nasional. Jumlahnya
mencapai 829,25 ribu jiwa, atau setara dengan 2,02% penduduknya. Fenomena ini tentu
akan menimbulkan banyak sekali dampak bagi individu itu sendiri maupun lingkungan
sekitarnya. Ada tiga hal umum yang biasanya memicu kasus perceraian tersebut, di
antaranya : adanya kekerasan dalam rumah tangga, permasalahan secara ekonomi, dan
juga salah satu pihak yang meninggalkan pasangannya. Jika ada penyebab suatu masalah
pasti juga ada dampak dari suatu masalah tersebut. Dampak yang ditimbulkan oleh kasus
ini beragam. Beberapa dampak tersebut di antaranya : gangguan pada kestabilan emosi,
masalah finansial, masalah pengasuhan anak, bahaya masa remaja kedua, mental anak
dan orang tua, dsb.
Sejak pandemi covid-19 kehidupan semua orang didunia menjadi berubah. Yang Pada
awalnya bebas untuk beraktivitas, menjadi sangat terbatas. Tentu saja hal ini juga
menjadi salah satu penyebab perceraian terjadi. Karena sejak seluruh aktivitas dibatasi
sektor perekonomian menjadi turun drastis. Banyak para tulang punggung keluarga yang
mengalami PHK. Bahkan di lingkungan sekitar saya banyak para kepala keluarga yang di
PHK tanpa uang tunjangan. Mereka kebingungan bagaimana cara mereka untuk terus
bertahan hidup dimasa pandemi ini. Banyak cekcok antar pasangan karena mereka
kesulitan untuk meneruskan biaya kehidupan. Sehingga hal tersebut menimbulkan
konflik dalam keluarga dan permasalahan ekonomi hingga berujung pada gugatan
perceraian. Selain permasalahan ekonomi, kekerasan dalam rumah tangga juga kerap
menjadi Penyebab perceraian. Kekerasan yang terjadi di sekitar saya tidak melulu
berbentuk kekerasan fisik, namun juga psikis dan seksual. Kasus kekerasan ini bisa
disebabkan oleh beberapa faktor. Dalam rumah tangga ketiga kekerasan tersebut
biasanya terjadi. Meskipun mereka telah menjalin hubungan sebagai suami-istri, hal
tersebut tidak menutup kemungkinan bahwa kekerasan seksual tidak pernah terjadi.
Kekerasan pada anak juga kerap terjadi dalam rumah tangga. Biasanya sikap orang tua
yang temperamen membuat orang tua hilang kendali dan anak mengalami kekerasan
yang berujung pada trauma masa kecil dalam psikologi disebut inner-child.
Dari peristiwa tersebut tentu saja ada dampak yang ditimbulkan terutama dari sisi anak.
Anak broken-home dilingkungan sekitar saya cenderung mendapatkan justifikasi negatif.
Lingkungan sekitar menjustifikasi bahwa mereka adalah anak yang nakal, kurang kasih
sayang, dan suka mencari perhatian. Hal ini menyebabkan anak yang mendapatkan
justifikasi cenderung melakukan hal yang dibicarakan hingga ada yang mengasingkan
diri dari lingkungan sekitarnya. Mungkin memang ada beberapa anak yang sering sengaja
mencari perhatian agar diperhatikan oleh lingkungan sekitarnya. Hal ini merupakan hal
wajar, karena banyak dari mereka yang hanya mendapatkan kasih sayang dari orang tua
tunggalnya. Atau bahkan mereka merasa tidak mendapat perhatian sama sekali karena
orang tua yang sibuk bekerja.
Pada fase remaja anak membutuhkan perhatian dan kontrol yang ekstra dari orang tua
agar tidak terjerumus ke hal-hal negatif. Mirisnya banyak anak-anak yang merasa kurang
kasih sayang dan kontrol dari orang tuanya justru terjerumus ke dalam kenakalan
remaja. Hal ini dikarenakan lingkungan sekitar yang terus memandang negatif mereka
dan juga keluarga yang kurang mendukung. Broken-home juga dapat menyebabkan anak
merasa kehilangan peran penting keluarga dihidupnya. Selain itu anak juga dapat
merasakan stress dan tertekan karena perpecahan dalam keluarga yang dialaminya.
Umumnya anak yang mengalami broken-home akan tumbuh dengan rasa kepercayaan
diri yang kurang karena selalu merasa ada yang kurang dari dirinya.
Hal lain yang bisa berdampak pada anak broken-home adalah mereka akan mengalami
kesedihan yang berkelanjutan. Hal ini mereka rasakan karena menyadari adanya
perpecahan dalam keluarganya. Tentu saja anak akan mengalami rasa sedih karena
mereka sadar bahwa apa yang sudah dilalui keluarganya akan hancur begitu saja dan
mereka menyadari bahwa kenangan indah dalam keluarganya tidak akan terulang
kembali. Anak juga akan menyalahkan dirinya sendiri sebagai penyebab dalam
perpecahan dalam keluarganya. Karena masalah yang terjadi dalam keluarganya, mereka
sering kali merasa bahwa dirinyalah yang menjadi penyebab perpisahan dalam
keluarganya. Padahal hal ini belum tentu benar. Namun mereka selalu menekan dan
menyalahkan dirinya atas perpisahan yang terjadi dalam keluarganya. Hal ini dapat
berdampak buruk bagi kesehatan mental anak.
Anak broken-home biasanya cenderung menjadi lebih posesif. Mereka akan bersifat
posesif dalam lingkungan pertemanan maupun percintaannya. Hal ini dikarenakan anak
broken-home secara emosional merasa haus akan kasih sayang. Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, mereka memang kurang mendapat kasih sayang dari
keluarganya. Selain itu, anak broken-home cenderung memiliki rasa cemburu yang
berlebih pada orang lain disekitarnya. Misalnya pada seorang anak perempuan dan ibu
tunggalnya. Jika sang ibu didekati oleh orang lain atau menjalin hubungan dengan
laki laki dewasa lain. Pasti sang anak akan merasa cemburu dan posesif karena hal
tersebut merupakan bentuk perlindungan yang diberikan oleh anak kepada ibunya.
Mereka juga sulit untuk percaya dengan orang lain. Hal ini dikarenakan mereka selalu
merasa dibohongi. Oleh karena itu mereka membangun benteng tinggi untuk batas
antara mereka dengan orang lain. Perasaan sulit mempercayai orang lain ini membuat
anak broken-home sering merasa frustasi dan berkecil hati saat berhubungan dengan
orang lain. Dampak broken-home lainnya membuat anak merasa kehilangan identitas
dirinya. Mental anak broken-home cenderung lemah karena mereka merasa hidupnya
tidak seberuntung orang lain. Mereka juga sering merasa trauma dalam menjalin
hubungan dengan orang lain. Hal ini berdasarkan pengalaman buruk dalam keluarganya
sehingga mereka ragu dan takut untuk membangun hubungan dengan orang lain.
Tentunya tidak hanya anak saja yang terdampak hal-hal negatif dari broken home ini.
Untuk membantu kesehatan mental yang dialami oleh anak maupun orang tua yang
terdampak broken-home hendaknya lingkungan juga turut mendukung. Lingkungan
sekitar dapat memberikan dukungan dengan cara menciptakan lingkungan yang
supportif dan tidak menjatuhkan mereka. Statement-statement negatif yang terkait
dengan broken home hendaknya diubah menjadi hal yang positif dan lebih bermanfaat.
Karena mereka memerlukan dukungan dari lingkungan sekitar juga. Mental yang sehat
diperoleh dari lingkungan yang sehat. Jadi diperlukan kerja sama antara pihak yang
terkait dengan lingkungan sekitarnya agar tetap dapat menjalani kehidupannya dengan
kondusif.

Anda mungkin juga menyukai