Anda di halaman 1dari 2

Ketika seseorang mampu menjalankan ketaatan dan dimudahkan dalam mengerjakan kebaikan,

berarti ia telah diberi taufiq oleh Allah ‘azza wa Jalla.

Jadi, perwujudan taufiq dari Allah kepada seorang hamba bukanlah ketika ia dibukakan pintu-
pintu rezeki atau ketika ia mendapat banyak harta. Baru bisa dikatakan taufiq adalah, ketika semua
kekayaan yang seorang hamba miliki itu dibelanjakan demi kebaikan; amal saleh.

Ibnul Qayyim al-Jauziyah rahimahullah,dalam kitabnya yang berjudul Madarijus Salikin (1/455),
menyebutkan bahwa, “Orang-orang yang arif, telah bersepakat bahwa taufiq adalah ketika Allah tidak
menyerahkan urusanmu kepada dirimu.”

Artinya, hamba yang diberi taufiq adalah ia yang selalu dibersamai oleh Allah. Sehingga ia selalu berada
di atas rel kebenaran, dan dibantu dalam menghadapi setiap problematika kehidupan.

Sebaliknya, orang-orang yang tidak mendapat taufiq, adalah mereka yang diacuhkan oleh Allah.
Tidak dipedulikan. Dibiarkan begitu saja dalam kesalahan dan kesesatan. Na’udzu billahi min dzaalik.

Maka di setiap pagi dan sore, sangat dianjurkan bagi setiap muslim, untuk melazimi doa
permohonan taufiq dari-Nya,

َ‫ك َأرْ جُو فَاَل تَ ِك ْلنِي ِإلَى نَ ْف ِسي طَرْ فَةَ َعي ٍْن َوَأصْ لِحْ لِي َشْأنِي ُكلَّهُ اَل ِإلَهَ ِإاَّل َأ ْنت‬
َ َ‫اللَّهُ َّم َرحْ َمت‬
“Ya Allah, rahmat-Mu yang aku harapkan, maka jangan Engkau serahkan urusanku kepada diriku
meskipun sekejap mata (tanpa pertolongan atau rahmat dari-Mu). Perbaikilah seluruh urusanku, tidak
ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Engkau.” (HR. Abu Dawud No. 5090; HR. Ahmad No.
27898, dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani)

Perbuatan yang Menutup Pintu Taufiq

Karena betapa pentingnya nikmat taufiq, para mubalig selalu menutup materinya dengan doa agar
setiap jamaah mendapat taufiq dari Allah.

Tetapi doa saja tidak cukup. Harus ada usaha untuk menghindari setiap perbuatan yang menutup
pintu taufiq kepada seseorang.

Di antara perbuatan yang menutup pintu taufiq adalah:

Pertama: melupakan dosa di masa lalu

Ketika seseorang merasa tobatnya diterima, merasa sudah hijrah sehingga mengira dosa-dosanya
sudah diampuni, sejatinya ia telah kehilangan banyak hikmah dari mengingat dosa yang pernah diperbuat:
Bersyukur atas nikmat Allah yang telah menutup setiap aib yang dipunya. Selalu merasa hina dan rendah
di hadapan Allah. Merasa malu sehingga termotivasi untuk melazimi istigfar.

Orang yang melupakan dosa sama saja merasa suci. Dan itu sangat dibenci oleh Allah. Dalam
surah an-Najm, Allah berfirman,

ࣖ ‫فَاَل تُ َز ُّك ْٓوا اَ ْنفُ َس ُك ۗ ْم هُ َو اَ ْعلَ ُم بِ َم ِن اتَّ ٰقى‬

“Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dia mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS.
An-Najm: 32)

Justru orang yang benar-benar saleh, tidak pernah merasa dirinya saleh. Dalam kitab al-
Buka’ min Khasyatillah; Asbabuhu wa Mawani’uhu wa Thuruq Tahshilihi dikisahkan bahwa, di tengah
malam, Hasan al-Bashri tiba-tiba terbangun dari tidur lalu menangis tersedu-sedu.

Setelah diselidiki sebab tangisan itu, ia menjawab, “Aku menangis karena tiba-tiba aku teringat
akan suatu dosa.” Inilah Hasan al Bashri rahimahullah yang dikenal sangat alim dan abid, ternyata tidak
merasa dirinya suci.
Kedua: glorifikasi amal

Terkadang ada orang yang sumbangsihnya tidak seberapa, tetapi merasa paling berjasa. Inilah
yang dimaksud dengan istilah ‘Glorifikasi Amal’. Ia menganggap bahwa amalnya sudah banyak, padahal
masih sedikit.

Bahkan jika memang ia telah memberi banyak kontribusi, amal jariah itu tidak boleh diungkit-
ungkit lagi, karena akan menyakiti perasaan orang lain. Dalam surah al-Baqarah Allah mengingatkan,

‫م بِ ْال َمنِّ َوااْل َ ٰذ ۙى‬yْ ‫صد َٰقتِ ُك‬


َ y‫اَل تُ ْب ِطلُوْ ا‬
“Janganlah kamu merusak sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan
penerima).” (QS. Al-Baqarah: 264)

Ketika seseorang merasa paling berjasa, ia akan terhalang dari banyak kebaikan dan justru
melakukan banyak keburukan. Di antaranya, minta dihormati dan bangga pada diri sendiri (ujub).
Padahal, ujub adalah penyakit hati yang sangat membinasakan.

Ketiga: membuat perbandingan dengan orang yang kualitas agamanya lebih rendah

Dalam urusan dunia, kita harus melihat ke bawah supaya pandai bersyukur. Tapi dalam urusan
akhirat, kita harus melihat orang yang lebih hebat daripada kita agar terpacu untuk berlomba-lomba dalam
kebaikan.

Ibnu Abid Dunya dalam kitab az-Zuhd, mengutip nasihat Imam Hasan al-Bashri,

َ ‫‌ِإ َذا‌ َرَأيْتَ ‌ال َّر ُج َل يُنَافِ ُس‬


‫ك فِي ال ُّد ْنيَا فَنَافِ ْسهُ فِي اآْل ِخ َر ِة‬

“Apabila engkau melihat seseorang mengunggulimu dalam masalah dunia, maka unggulilah dia dalam
masalah akhirat.” (Az-Zuhdu, Ibnu Abi ad-Dunya, 229)

Bagi mereka yang menjadikan orang-orang lemah dalam beragama sebagai tolak ukur, pastinya
akan terhalang dari banyak kebaikan. Merasa dirinya masih lebih baik jika dibandingkan dengan orang-
orang yang perbuatan dosanya jauh lebih besar.

Keempat: terlalu memaksakan pendapat pribadi

Orang yang selalu merasa benar. Tidak mau mengalah. Tidak peduli dengan pendapat orang lain.
Merendahkan dan meremehkan mereka. Sama seperti poin nomor dua: ujub.

Intinya, hanya ingin didengar tapi tidak pandai mendengar. Hanya ingin dipahami tapi tidak mau
memahami. Kalau sudah seperti ini, akan rusaklah sebuah tatanan dalam berorganisasi. Hilanglah
keberkahan dalam bermusyawarah.

Kelima: suka gibah

Lisan yang tidak dijaga akan liar membicarakan aib saudara. Tetapi, malah lupa terhadap
kekurangan diri sendiri. Pintu Taufiq akan tertutup kepada orang seperti ini.

Bakr bin Abdillah berkata,

‫َاسيا ً لِ ُعيُبِ ِه فَا ْعلَ ُموْ ا َأنَهُ قَ ْد ُم ِك َر بِ ِه‬ ِ ْ‫ِإ َذا‌ َرَأ ْيتُ ْم‌ال َّر ُج َل ُم َو َّكالً بِ ُعيُو‬
ِ َّ‫ب الن‬
ِ ‫اس ن‬
“Apabila kalian melihat ada orang yang sibuk dengan kekurangan orang lain dan lupa dengan aib
dirinya sendiri, maka ketahuilah bahwa ia telah terpedaya.” (Shifatu ash-Shafwah, Ibnu al-Jauzi, 2/147)

Demikianlah beberapa perbuatan yang menutup pintu taufiq dari Allah. Mari kita jauhi perbuatan-
perbuatan tersebut.

Wallahul muwaffiq ilaa aqwamith thariiq

Anda mungkin juga menyukai