Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu menikah lagi dengan seorang perempuan dari Bani
Hanifah bernama Khaulah binti Ja’far bin Qais al-Hanafiyah.
Dari pernikahan ini, Allah subhanahu wata’ala menganugerahi Ali seorang anak
lelaki yang ia beri nama Muhammad. Dahulu, Ali memang pernah meminta rida kepada
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Bahwa jika sepeninggal Rasul ia dikaruniai anak
lagi, anak itu akan diberi nama “Muhammad”. Dan Nabi mengizinkan Ali.
Secara nasab, anak ini bernama Muhammad bin Ali bin Abi Thalib. Hanya saja, kaum
muslimin yang hidup semasa dengannya, hendak membedakan antara dirinya dan keturunan
Ali yang lain dari Fathimah. Mereka memanggilnya Muhammad bin al-Hanafiyah. Ia tumbuh
dewasa dan dikenal publik dengan nama tersebut.
Muhammad bin al-Hanafiyah mempunyai ciri-ciri dan sifat-sifat yang sama persis
seperti ayahnya. Dia sosok yang karismatik. Pemberani. Cerdas. Tangkas. Dan menjadi
andalan dalam medan pertempuran.
Tidak ingin terpancing dengan pertanyaan bernada hasutan, Muhammad bin al-
Hanafiyah menanggapi, “Karena kedua saudaraku, ibarat dua bola mata bagi
ayahku. Sedangkan aku adalah tangannya. Dia menjaga kedua matanya dengan
tangannya.”
Jawaban ini menunjukkan kematangan, kedewasaan dan kualitas seorang putra dari
sahabat mulia yang terkenal arif dan bijaksana. Pada kesempatan lain, saat terjadi
kesalahpahaman antara Muhammad bin al-Hanafiyah dan Hasan, ia menulis surat kepada
kakandanya itu.
Ketika surat itu sampai kepada Hasan, maka ia bersegera mendatangi rumah
Muhammad bin al-Hanafiyah. Akur dan saling menguatkan. Suasana yang hangat dan
harmonis. Hubungan antara kakak beradik yang terjalin erat, meskipun mereka dilahirkan
dari dua rahim yang berbeda.
Masyaallah.
Banyak hikmah yang bisa kita petik dari kisah indah ini. Di antaranya:
ْأ
ِ ْفي ال َّس َما ِء السَّابِ َع ِة َو ِس ْل ِسلَةٌ فِي اَأْلر
ض السَّابِ َع ِة فَِإ َذا ِ ٌفي َر ِس ِه ِس ْل ِسلَتَا ِن ِس ْل ِسلَة ِ َما ِم ْن بَنِي آ َد َم َأ َح ٌدِإاَّل َو
َ ض َع ْال َع ْب ُد َرفَ َعهُ هُّللا ُ بِالس ِّْل ِسلَ ِة الَّتِي فِي ال َّس َما ِء َوِإ َذا تَ َكب ََّر َو
ض َعهُ هَّللا ُ تَ َعالَى َ تَ َوا
“Tidak ada manusia kecuali di kepalanya ada dua rantai, rantai di langit ke tujuh dan rantai
di bumi ke tujuh. Jika ia tawadhu’ maka Allah akan mengangkatnya dengan rantai ke langit
ke tujuh, dan jika ia sombong maka Allah akan merendahkannya dengan rantai ke bumi ke
tujuh.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam al-Khara’ithi, Imam al-Hasan bin Sufyan, Ibnu
La’al, dan Imam ad-Dailami dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Ibnu Hajar
(al-Amali al-Muthlaqah, 92) mengatakan, hadits ini hasan gharib.
Dalam hidup yang kita jalani, akan selalu ada para pecundang yang mencoba
memperkeruh suasana. Disengaja atau tidak, kata-kata mereka menyebarkan kebencian dan
menanam benih-benih permusuhan di antara orang beriman.
Agar tidak larut dalam permainan yang mereka ciptakan, kita harus pandai mengelola
perasaan. Jangan sampai terpancing. Sejukkan hati. Kuatkan sabar. Saat kita mendengar
narasi provokatif yang berpotensi memecah belah persatuan.
Seperti Muhammad bin al-Hanafiyyah. Peluang untuk konflik di antara dia dan
Hasan, sebenarnya sangat besar. Ditambah lagi ada orang yang menghasutnya. Tetapi ia tetap
kalem dan tidak tersulut provokasi. Inilah akhlak mulia yang sulit diwujudkan, di zaman
penuh fitnah seperti sekarang ini.
Dalam Islam, orang yang pertama kali memulai perdamaian lebih utama dan lebih
terhormat. Maka Muhammad bin al-Hanafiyah memberikan kesempatan itu kepada
kakaknya, Hasan. Agar dirinya tidak mengungguli Hasan walau hanya dalam satu hal. Ini
bukan sekedar adab seorang adik kepada kakaknya. Lebih dari itu, inilah adab seorang
muslim kepada dzuriyyah Nabi shallallahu alaihi wasallam dan seluruh ahlul bait.
Demikianlah sekelumit kisah dan hikmah dari seorang tabiin mulia, Muhammad bin
al-Hanafiyah. Mari kita ambil pelajarannya, semoga berfaedah.