Anda di halaman 1dari 46

MATA PELATIHAN INTI 3

PROGRAM IMUNISASI
BAGI PETUGAS PUSKESMAS

PERHIMPUNAN AHLI EPIDEMIOLOGI INDONESIA


BEKERJASAMA DENGAN DIREKTORAT SURVEILANS DAN KARANTINA KESEHATAN
DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
DAFTAR
KEMENTERIAN KESEHATAN ISI
REPUBLIK INDONESIA
2021

Kurikulum Pelatihan Surveilans PD3I Bagi Petugas Kabupaten/Kota i


dan Provinsi
Halaman
I. Deskripsi Singkat ………………………………...…... 1
II. Tujuan Pembelajaran …………………………..…….. 3
A. Hasil Belajar ………………………………..……….. 3
B. Indikator Hasil Belajar ……………………..………. 3
III. Materi Pokok dan Sub Materi Pokok ………...……. 4
IV. Metode …………………………………...…………….. 5
V. Media dan Alat Bantu ………………………………… 6
VI. Langkah-langkah kegiatan pembelajaran………... 7
VII. Uraian Materi ………………………………………….. 9
Materi Pokok 1 Imunisasi Rutin 9
Materi Pokok 2 Imunisasi Tambahan 15
Materi Pokok 3 Pengelolaan Vaksin dan Rantai Dingin
Vaksin 17
VIII. Referensi ……………………………………………..... 39
IX. Lampiran .................................................................. 40

ii
Modul Imunisasi Pelatihan Surveilans PD3I
Bagi Petugas Puskesmas
iii
Modul Imunisasi Pelatihan Surveilans PD3I
Bagi Petugas Puskesmas
1 DESKRIPSI SINGKAT

Pembangunan bidang kesehatan di Indonesia saat ini masih mempunyai beban ganda
(double burden), yaitu beban masalah penyakit menular dan penyakit degeneratif.
Pemberantasan penyakit menular sangat sulit karena penyebarannya tidak mengenal
batas wilayah administrasi. Imunisasi merupakan salah satu tindakan pencegahan
penyebaran penyakit ke wilayah lain yang terbukti sangat cost effective.

Imunisasi adalah suatu upaya untuk menimbulkan/ meningkatkan kekebalan seseorang


secara aktif terhadap suatu penyakit sehingga bila suatu saat terpajan dengan penyakit
tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit ringan (Permenkes No. 12 Tahun
2017). Berdasarkan jenis penyelenggaraannya, imunisasi dikelompokkan menjadi
Imunisasi Program dan Imunisasi Pilihan. Imunisasi Program adalah imunisasi yang
diwajibkan kepada seseorang sebagai bagian dari masyarakat dalam rangka melindungi
yang bersangkutan dan masyarakat sekitarnya dari penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi. Imunisasi Program terdiri atas imunisasi rutin, imunisasi tambahan, dan
imunisasi khusus.

Program imunisasi yang diselenggarakan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan


cakupan imunisasi program yang tinggi dan merata dilakukan melalui beberapa strategi
diantaranya adalah :
1. Pengamatan PWS dengan memetakan wilayah berdasarkan cakupan dan analisa
masalah untuk menyusun kegiatan dalam rangka mengatasi permasalahan setempat.
2. Penyiapan sumber daya yang dibutuhkan termasuk tenaga yang terampil, logistik
(vaksin, alat suntik, safety box, dan cold chain terstandar), biaya dan sarana
pelayanan.
3. Terjaganya kualitas dan mutu pelayanan.
4. Pendekatan keluarga sebagai upaya untuk meningkatkan jangkauan sasaran dan
mendekatkan akses pelayanan imunisasi di wilayah kerja Puskesmas.
5. Pemberdayaan masyarakat melalui TOGA, TOMA, aparat desa dan kader sehingga
masyarakat mau dan mampu menjangkau pelayanan imunisasi.
6. Pemerataan jangkauan terhadap semua desa/kelurahan yang sulit atau tidak

Kurikulum Pelatihan Surveilans PD3I Bagi Petugas Kabupaten/Kota 1


dan Provinsi
terjangkau pelayanan.
7. Peningkatan dan pemerataan jangkauan pelayanan, baik yang statis maupun yang
menjangkau masyarakat di daerah sulit.
8. Pelacakan sasaran yang belum atau tidak lengkap mendapatkan pelayanan imunisasi
(Defaulter Tracking) diikuti dengan upaya Drop Out Follow Up (DOFU).

Cakupan imunisasi harus dicapai dan dipertahankan tinggi dan merata di seluruh wilayah
untuk mencegah terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB). Jika telah terjadi KLB, maka
kegiatan Outbreak Response Immunization (ORI) harus dilaksanakan sesuai prosedur.
Oleh karena itu, dibutuhkan kerja sama antara petugas surveilans dan imunisasi dalam
melakukan analisa dalam mencegah terjadinya KLB maupun menentukan sasaran serta
luas wilayah ORI bila KLB sudah terjadi.

Sehubungan dengan itu, petugas surveilans perlu memahami mengenai kebijakan dan
pelasanaan program imunisasi. Untuk kepentingan tersebut, maka pada pelatihan ini
akan dibahas 3 topik yaitu imunisasi rutin, imunisasi tambahan serta pengelolaan vaksin
dan rantai dingin vaksin.

2
Modul Imunisasi Pelatihan Surveilans PD3I
Bagi Petugas Puskesmas
2 TUJUAN
PEMBELAJARAN

A. Hasil Belajar
Setelah mengikuti mata pelatihan ini, peserta mampu memahami dan menjelaskan
program imunisasi sesuai dengan pedoman yang ada

B. Indikator Hasil Belajar


Setelah mengikuti mata pelatihan ini, peserta dapat:
1. Memahami dan menjelaskan Imunisasi Rutin
2. Memahami dan menjelaskan Imunisasi Tambahan
3. Memahami dan menjelaskan Pengelolaan Vaksin dan Rantai Dingin Vaksin

3
Modul Imunisasi Pelatihan Surveilans PD3I
Bagi Petugas Puskesmas
3 MATERI POKOK dan
SUB MATERI POKOK

Materi pokok dan sub materi pokok pada mata pelatihan ini adalah:
A. Imunisasi Rutin
1. Jadwal Imunisasi Rutin
2. Upaya Imunisasi Kejar
B. Imunisasi Tambahan
1. Crash Program
2. PIN/Sub PIN
3. Outbreak Response Immunization (ORI)
C. Pengelolaan Vaksin dan Rantai Dingin Vaksin
1. Pengelolaan Vaksin
2. Pengelolaan Rantai Dingin Vaksin

4
Modul Imunisasi Pelatihan Surveilans PD3I
Bagi Petugas Puskesmas
4 METODE

A. Ceramah tanya jawab


B. Curah pendapat

5
Modul Imunisasi Pelatihan Surveilans PD3I
Bagi Petugas Puskesmas
5 MEDIA DAN ALAT BANTU

A. Modul
B. Bahan Tayang
C. Pointer
D. Laptop
E. Kertas dan alat tulis

6
Modul Imunisasi Pelatihan Surveilans PD3I
Bagi Petugas Puskesmas
6 LANGKAH-LANGKAH
KEGIATAN PEMBELAJARAN

Sesi 1: Pengkondisian Peserta (5 menit)


Langkah proses pembelajaran sebagai berikut:
1. Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat. Apabila belum pernah
menyampaikan sesi di kelas, dimulai dengan perkenalan. Perkenalkan diri dengan
menyebutkan nama lengkap, instansi tempat bekerja, materi yang akan disampaikan.
2. Fasilitator menyampaikan materi yang akan disampaikan, tujuan pembelajaran, materi
pokok/sub materi pokok dengan menggunakan bahan tayang.

Sesi 2: Penyampaian Materi (80 menit)


Langkah pembelajaran:
1. Fasilitator melakukan apersepsi tentang materi yang akan dibahas dengan metoda
curah pendapat atau meminta beberapa peserta untuk menjawabnya.
2. Fasilitator melakukan curah pendapat dengan meminta peserta menjelaskan apa yang
mereka ketahui tentang program imunisasi
3. Fasilitator menyampaikan paparan materi sesuai urutan pokok bahasan dan sub pokok
bahasan dengan menggunakan bahan tayang.

Materi Pokok 1: Imunisasi Rutin


Sub Materi Pokok:
a. Jadwal Imunisasi Rutin
b. Upaya Imunisasi Kejar

Materi Pokok 2: Imunisasi Tambahan


Sub Materi Pokok:
a. Crash Program
b. PIN/Sub PIN
c. Outbreak Response Immunization (ORI)

7
Modul Imunisasi Pelatihan Surveilans PD3I
Bagi Petugas Puskesmas
Materi Pokok 3 : Pengelolaan Vaksin dan Rantai
Dingin Vaksin
Sub Materi Pokok
a. Pengelolaan Vaksin
b. Pengelolaan Rantai Dingin Vaksin

4. Fasilitator menyampaikan materi dengan metode curah pendapat, ceramah interaktif,


tanya jawab, dan mengajak peserta untuk berpartisipasi serta berinteraksi dalam
proses pembelajaran.

Sesi 3: Rangkuman dan Kesimpulan (5 menit)


Langkah proses pembelajaran sebagai berikut:
1. Fasilitator melakukan evaluasi untuk mengetahui penyerapan peserta terhadap materi
yang disampaikan dan pencapaian tujuan pembelajaran
2. Fasiliator merangkum poin-poin tentang materi yang disampaikan
3. Fasilitator membuat kesimpulan bersama-sama peserta.

8
Modul Imunisasi Pelatihan Surveilans PD3I
Bagi Petugas Puskesmas
7 URAIAN MATERI

Materi Pokok 1: Imunisasi Rutin

A. Jadwal Imunisasi Rutin

Imunisasi rutin adalah Imunisasi Program yang dilaksanakan secara terus menerus
dan berkesinambungan sesuai jadwal. Imunisasi rutin terdiri dari imunisasi dasar dan
imunisasi lanjutan.

1. Imunisasi Dasar
Imunisasi dasar diberikan kepada bayi sebelum berusia satu tahun, dengan jadwal
sebagai berikut:
Tabel 1
Jadwal Pemberian Imunisasi Dasar Pada Bayi (0-11 Bulan)
Umur Jenis Imunisasi

< 24 Jam Hepatitis B (HB-0)


1 Bulan BCG dan OPV1

2 Bulan DPT-HB-Hib 1 dan OPV2, PCV 1, RV 1*

3 Bulan DPT-HB-Hib 2 dan OPV3, PCV 2, RV 2*


4 Bulan DPT-HB-Hib 3, OPV4 dan IPV 1, RV 3*
9 Bulan Campak-Rubela, IPV 2**
10 Bulan JE***
Keterangan :
*) dilaksanakan di wilayah introduksi mulai tahun 2022, akan diperluas ke seluruh provinsi
secara bertahap
**) dilaksanakan di wilayah introduksi mulai tahun 2022, akan diperluas ke seluruh provinsi
secara bertahap (kecuali DIY)
***) dilaksanakan di wilayah endemis

9
Modul Imunisasi Pelatihan Surveilans PD3I
Bagi Petugas Puskesmas
2. Imunisasi Lanjutan
Imunisasi lanjutan merupakan ulangan imunisasi dasar untuk mempertahankan
tingkat kekebalan dan untuk memperpanjang masa perlindungan anak yang
sudah mendapatkan imunisasi dasar.
Imunisasi lanjutan diberikan kepada:
a. anak usia bawah dua tahun (Baduta);
b. anak usia sekolah dasar/sederajat; dan
c. wanita usia subur (WUS).

Imunisasi pada anak dibawah usia dua tahun terdiri dari imunisasi PCV, DPT HB-
Hib dan Campak Rubela dengan jadwal sebagai berikut.
Tabel 2.
Jadwal Pemberian Imunisasi Lanjutan pada Baduta
Umur Jenis Imunisasi

12 Bulan PCV 3

18 Bulan DPT-HB-Hib 4 dan Campak-Rubela 2

Imunisasi lanjutan yang diberikan pada anak usia sekolah dasar/sederajat


diberikan dalam kegiatan Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) yang
diintegrasikan dengan kegiatan Usaha Kesehatan Sekolah (UKS). Bagi sasaran
yang tidak bersekolah, imunisasi dapat dilaksanakan di posyandu, puskesmas
dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya maupun Lembaga Kesejahteraan
Sosial Anak (LKSA). Imunisasi pada anak usia sekolah dasar/sederajat terdiri
dari imunisasi Campak-Rubela, DT, Td dan HPV (khusus anak perempuan)
dengan jadwal sebagaimana dijelaskan pada Tabel 3.

10
Modul Imunisasi Pelatihan Surveilans PD3I
Bagi Petugas Puskesmas
Tabel 3.
Jadwal Pemberian Imunisasi Lanjutan
Pada Anak Usia Sekolah Dasar/Sederajat
Sasaran
Tidak Jenis Vaksin Bulan Interval
Sekolah
sekolah Minimal
Campak-Rubela Agustus
Kelas 1 7 tahun
DT November
1 tahun setelah
Kelas 2 8 tahun Td November
pemberian DT
Td November
Kelas 5 11 tahun
HPV 1* Agustus
6 bulan setelah
Kelas 6 12 tahun HPV 2* Agustus pemberian HPV
dosis 1
Keterangan :
*) dilaksanakan di wilayah introduksi, akan diperluas ke seluruh provinsi secara bertahap

Imunisasi lanjutan yang diberikan pada WUS (termasuk wanita hamil) adalah
imunisasi Td. Sebelum imunisasi, dilakukan penentuan status imunisasi yang
mengandung antigen tetanus (skrining) terlebih dahulu, terutama pada saat
pelayanan antenatal atau pada layanan kesehatan reproduksi bagi calon
pengantin. Pemberian imunisasi yang mengandung antigen tetanus tidak perlu
diberikan, apabila status sudah mencapai T5, dapat dibuktikan dengan buku
Kesehatan Ibu dan Anak, kohort, rekam medis, dan atau cara-cara pembuktian
lainnya (atau melalui ingatan).
Tabel 4.
Status Imunisasi Tetanus dan Masa Perlindungannya

Status
Interval Minimal Pemberian Masa Perlindungan
Imunisasi

T1 - -

T2 4 minggu setelah T1 3 tahun

T3 6 bulan setelah T2 5 tahun

T4 1 tahun setelah T3 10 tahun

T5 1 tahun setelah T4 > 25 tahun

11
Modul Imunisasi Pelatihan Surveilans PD3I
Bagi Petugas Puskesmas
Pencatatan dan pelaporan pelayanan imunisasi dilakukan secara manual maupun
elektronik. Pencatatan dan pelaporan imunisasi program secara manual dilakukan
dengan menggunakan register kohort (register kohort ibu, kohort bayi dan kohort
balita dan anak pra-sekolah) atau register imunisasi atau rekam medis, buku
kesehatan ibu dan anak, rapor kesehatanku serta format pencatatan lainnya sesuai
ketentuan yang berlaku. Pencatataan dan pelaporan imunisasi program secara
elektronik dilakukan melalui Aplikasi Sehat IndonesiaKu (ASIK).

Capaian cakupan imunisasi menjadi sangat penting yang menunjukkan kinerja dari
program imunisasi itu sendiri. Berapa banyak sasaran yang telah diimunisasi, baik
per antigen maupun setiap dosisnya, dapat menunjukkan tingkat perlindungan
kelompok yang terdapat di suatu wilayah.

Monitoring dan evaluasi terhadap cakupan imunisasi salah satunya dapat dilakukan
dengan menggunakan instrumen Pemantauan Wilayah Setempat (PWS) Program
Imunisasi. Alat pemantauan ini berfungsi untuk memonitor kecenderungan
pencapaian cakupan program dalam periode tertentu (kuantitas program) agar dapat
segera dilakukan koreksi dan tindak lanjut.

Untuk dapat membuat PWS yang baik maka perlu melakukan pengumpulan,
pengolahan dan analisis data cakupan disetiap jenjang dari tiap-tiap unit terkecil
pelayanan (desa/kelurahan) hingga ke tingkat pusat. Analisa dilakukan secara
berkala dengan membandingkan capaian cakupan baik setiap bulan, setiap tiga
bulan, setiap enam bulan atau tahunan. Dengan ini petugas dapat menilai
kecenderungan dari cakupan imunisasi di wilayahnya, serta dapat mengidentifikasi
masalah yang menghambat pelayanan imunisasi.

Rumus menghitung cakupan imunisasi : [ a / b ] x 100%

Keterangan :
a : Jumlah sasaran kelompok tertentu yang telah mendapatkan imunisasi
tertentu pada tahun perhitungan (numerator)
b : Jumlah sasaran kelompok tertentu pada tahun perhitungan (denominator)

Target cakupan per antigen adalah minimal 95%,


merata di seluruh wilayah
12
Modul Imunisasi Pelatihan Surveilans PD3I
Bagi Petugas Puskesmas
B. Upaya Imunisasi Kejar
Imunisasi rutin harus dilaksanakan sesuai jadwal untuk memastikan agar setiap anak
mendapatkan imunisasi lengkap. Apabila anak tidak mendapatkan imunisasi rutin sesuai
jadwal yang direkomendasikan maka perlu dilakukan kegiatan imunisasi kejar untuk
melengkapinya. Imunisasi kejar dapat dilakukan sampai anak berusia 3 tahun*.
*Catatan: Saat ini sedang dilakukan pembahasan untuk melakukan penyesuaian terhadap usia sasaran
imunisasi kejar.
Tabel 5.
Aturan Pemberian Imunisasi Kejar

Jumlah Dosis
Jenis
yang Harus Keterangan
Imunisasi
Diberikan
HB0 1 dosis Hanya dapat diberikan dalam 24 jam setelah bayi lahir
(atau sampai dengan 7 hari untuk daerah dengan
geografis sulit atau tidak terdapat tenaga kesehatan).
Tidak dapat dilakukan imunisasi kejar.
BCG 1 dosis paling lambat usia 11 bulan (< 1 tahun)

OPV 4 dosis Interval minimal antar dosis adalah 4 minggu

IPV1: Diberikan segera ketika bayi/baduta datang ke


tempat pelayanan
IPV2: interval minimal 4 bulan dari IPV1
IPV 2 dosis
*Introduksi IPV2 akan dilaksanakan mulai tahun 2022
secara bertahap.
DPT-HB-Hib 4 dosis Anak usia 9 - 12 bulan:
• Interval minimal dosis pertama dan kedua adalah 4
minggu (1 bulan),
• interval minimal dosis kedua dan ketiga adalah 4
minggu (1 bulan);
• interval minimal dosis ketiga dan keempat adalah 12
bulan
Anak usia >12 bulan:
• Interval minimal dosis pertama dan kedua adalah 4
minggu (1 bulan)
• interval minimal dosis kedua dan ketiga adalah 6
bulan);
• interval minimal dosis ketiga dan keempat adalah 12
bulan
Campak 2 dosis Interval minimal antara dosis pertama dan kedua adalah
Rubela 6 bulan

13
Modul Imunisasi Pelatihan Surveilans PD3I
Bagi Petugas Puskesmas
PCV 3 dosis Anak usia <12 bulan:
• Imunisasi PCV masih dapat diberikan 2 dosis
sampai usia 11 bulan dengan interval 4 minggu.
Imunisasi lanjutan PCV diberikan dengan
memperhatikan interval minimal 8 minggu dari
dosis kedua.
Anak usia 12-24 bulan:
• Jika anak belum pernah mendapat imunisasi PCV,
maka berikan 2 dosis imunisasi PCV dengan
interval minimal 8 minggu sebelum berusia 24
bulan.
• Jika anak belum mendapatkan imunisasi PCV3,
maka imunisasi tersebut masih dapat diberikan
sampai usia 24 bulan.
Anak usia >24 bulan:
• Jika anak belum pernah mendapat imunisasi PCV,
maka anak diberikan 1 dosis imunisasi PCV.
JE 1 dosis Diberikan pada sasaran yang tinggal di daerah endemis,
apabila anak usia >10 bulan belum mendapatkan 1 dosis
maka diberikan segera ketika bayi/baduta datang ke
tempat pelayanan
RV 3 dosis Pemberian imunisasi RV diberikan pada bayi sampai usia
(Rotavirus) 6 bulan.

Imunisasi kejar meliputi 2 kegiatan yaitu:


1. Drop-Out Follow Up (DOFU)
Drop-Out Follow Up (DOFU) merupakan kegiatan yang dilakukan untuk
menindaklanjuti apabila masih ada bayi/baduta yang belum mendapatkan imunisasi
sesuai jadwal. DOFU dapat dilakukan secara periodik (bulanan, triwulanan, dan
tahunan). Mekanisme DOFU dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

14
Modul Imunisasi Pelatihan Surveilans PD3I
Bagi Petugas Puskesmas
Gambar 1. Mekanisme DOFU

2. Backlog Fighting (BLF)


Kegiatan melengkapi status imunisasi anak yang berusia kurang dari 3 tahun
yang belum mendapatkan imunisasi dasar maupun lanjutan. Kegiatan ini
diprioritaskan untuk dilaksanakan di desa/kelurahan yang selama 2 tahun berturut-
turut tidak mencapai UCI.

15
Modul Imunisasi Pelatihan Surveilans PD3I
Bagi Petugas Puskesmas
Gambar 2. Mekanisme BLF

Dalam pelaksanaan BLF, petugas surveilans berperan aktif dalam


proses analisa situasi (melakukan kajian epidemiologis)

16
Modul Imunisasi Pelatihan Surveilans PD3I
Bagi Petugas Puskesmas
Materi Pokok 2: Imunisasi Tambahan

A. Crash Program
Crash Program merupakan kegiatan pemberian imunisasi tambahan pada sasaran
tanpa memandang status imunisasi sebelumnya yang dilaksanakan pada wilayah
yang memerlukan intervensi secara cepat untuk menutup kesenjangan imunitas dalam
rangka mencegah terjadinya KLB. Crash Program dilakukan minimal pada tingkat
Puskesmas. Luas wilayah dan kelompok usia sasaran ditentukan berdasarkan kajian
epidemiologi. Crash program bisa dilakukan untuk satu atau lebih jenis imunisasi (mis.
Campak terpadu dengan Polio).

Dalam situasi dimana trend cakupan imunisasi rendah sekurang-kurangnya 3


tahun terakhir berturut-turut dan terdapat faktor lain yang dapat meningkatkan risiko
suatu wilayah terjangkit KLB PD3I, maka harus dilakukan Crash Program. Kriteria
pemilihan daerah yang akan dilakukan crash program adalah:
1. Peningkatan kasus dan kejadian KLB PD3I tinggi ;
2. Desa/kelurahan selama tiga tahun berturut-turut tidak mencapai UCI; dan
3. Infrastruktur (tenaga, sarana, dana) kurang.

B. Pekan Imunisasi Nasional (PIN)/Sub PIN

PIN merupakan kegiatan imunisasi yang dilaksanakan secara serentak di suatu


Negara dalam waktu yang singkat. PIN bertujuan untuk memutuskan mata rantai
penyebaran suatu penyakit dan meningkatkan herd immunity. Sub PIN merupakan
kegiatan yang serupa dengan PIN tetapi dilaksanakan pada wilayah-wilayah terbatas
yaitu di beberapa provinsi atau kabupaten/kota.

C. Outbreak Response Immunization (ORI)

Outbreak Response Immunization (ORI) merupakan kegiatan pemberian imunisasi


kepada sasaran yang dilaksanakan pada wilayah yang memerlukan intervensi secara
cepat untuk menanggulangi KLB. Pemberian imunisasi dapat dilakukan dengan atau
tanpa memandang status imunisasi sebelumnya, secara massal. Kegiatan dilakukan
pada wilayah terjangkit dan wilayah sekitar yang berisiko tinggi dengan kelompok usia
sasaran adalah sesuai usia tertinggi suspek atau berdasarkan kajian epidemiologi.
17
Modul Imunisasi Pelatihan Surveilans PD3I
Bagi Petugas Puskesmas
Mekanisme pelaksanaan ORI dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 6. Mekanisme ORI
KLB Mekanisme ORI
Campak • Tanpa memandang status imunisasi sebelumnya
• Dilakukan pada wilayah terjangkit dan wilayah
sekitar yang berisiko tinggi, sesuai kajian
epidemiologi.
• Kelompok usia sasaran ditentukan berdasarkan
kajian epidemiologi.
• Target cakupan ORI adalah minimal 95%.
• Tindak lanjut: RCA dan jadwalkan pemberian
imunisasi bagi sasaran yang belum
mendapatkannya dan lakukan corrective actions

Difteri • ORI dilakukan tanpa memandang status


imunisasi sebelumnya.
• Sangat direkomendasikan agar ORI
dilaksanakan pada seluruh wilayah di
kabupaten/kota terjangkit dengan kelompok usia
sasaran adalah sesuai usia tertinggi suspek,
berdasarkan kajian epidemiologi.
• Apabila terdapat kendala sehingga tidak
memungkinkan untuk dilakukan ORI se-
kabupaten/kota maka ORI harus dilaksanakan
minimal di wilayah kecamatan terjangkit.
• Kelompok usia sasaran adalah sesuai usia
tertinggi suspek atau berdasarkan kajian
epidemiologi. Jenis vaksin yang digunakan
adalah sesuai dengan usia sasaran: DPT-HB-
Hib bagi anak usia di bawah 5 tahun, DT bagi
anak usia 5 sampai dengan kurang dari 7 tahun
dan Td bagi sasaran yang berusia 7 tahun ke
atas.
• ORI dilaksanakan dalam 3 putaran dengan
interval putaran pertama dan putaran kedua

18
Modul Imunisasi Pelatihan Surveilans PD3I
Bagi Petugas Puskesmas
adalah 1 bulan sedangkan interval putaran
kedua dan putaran ketiga adalah 6 bulan.
• Target cakupan ORI adalah minimal 90%.
• Tindak lanjut: RCA dan jadwalkan pemberian
imunisasi bagi sasaran yang belum
mendapatkannya dan lakukan corrective actions.

Pertusis • Melaksanakan RCA (Rapid Convenience


Assessment) atau survei cepat status imunisasi
DPT-HB-Hib anak usia <5 tahun pada wilayah
lokasi terjangkit dan wilayah sekitarnya yang
berisiko tinggi
• Lengkapi status imunisasi anak, jadwalkan
pemberian imunisasi bagi sasaran tersebut.

Polio • Respon cepat terbatas yaitu pemberian


imunisasi tambahan yang dilaksanakan dalam
kurun waktu maksimal 14 hari paska
dilaporkannya kasus positif polio.
• Kegiatan ini dilakukan di seluruh
wilayah di kabupaten/kota terjangkit.
• Sasaran adalah anak usia <5 tahun
atau dapat ditingkatkan menjadi 10-15
tahun bahkan seluruh populasi,
berdasarkan kajian epidemiologi.
• Jumlah sasaran berkisar 200.000-
500.000 sasaran untuk KLB Polio tipe
1 atau tipe 3, sedangkan untuk KLB
Polio tipe 2 berkisar 100.000-400.000
sasaran.
• Target cakupan adalah minimal 95%.
• Respon cepat terbatas kemudian dilanjutkan
dengan Sub PIN sejumlah 2 putaran dengan
wilayah yang lebih luas, berdasarkan kajian
epidemiologi.

19
Modul Imunisasi Pelatihan Surveilans PD3I
Bagi Petugas Puskesmas
• Interval waktu antara putaran pertama
dan kedua adalah 1 bulan.
• Sasaran adalah anak usia <5 tahun
atau dapat ditingkatkan menjadi 10-15
tahun bahkan seluruh populasi,
berdasarkan kajian epidemiologi.
• Jumlah sasaran berkisar 2 juta
sasaran untuk KLB Polio tipe 1 atau
tipe 3, sedangkan untuk KLB Polio tipe
2 berkisar 1-4 juta sasaran.
• Target cakupan Sub PIN adalah
minimal 95% untuk masing-masing
putaran.
• Apabila teridentifikasi adanya kabupaten/kota
atau wilayah dengan cakupan Sub PIN yang
rendah, sehingga masih banyak sasaran yang
belum mendapat imunisasi, maka Sub PIN dapat
dilanjutkan dengan kegiatan Mop-Up.
• Tindak lanjut: RCA dan jadwalkan pemberian
imunisasi bagi sasaran yang belum
mendapatkannya, lakukan corrective actions

20
Modul Imunisasi Pelatihan Surveilans PD3I
Bagi Petugas Puskesmas
Gambar 3. Mekanisme Pelaksanaan Imunisasi Tambahan

Dalam pelaksanaan imunisasi tambahan, petugas surveilans berperan


aktif dalam proses analisa situasi (melakukan kajian epidemiologis)

21
Modul Imunisasi Pelatihan Surveilans PD3I
Bagi Petugas Puskesmas
Materi Pokok 3 : Pengelolaan Vaksin dan Rantai Dingin Vaksin

A. Pengelolaan Vaksin

Dalam pengelolaan vaksin beberapa hal yang perlu diketahui dan menjadi perhatian
yaitu :

1. Jenis vaksin
Vaksin adalah suatu produk biologi yang terbuat dari kuman atau komponen kuman
(bakteri, virus) yang telah dilemahkan atau dimatikan, racun kuman (toksoid) atau
rekombinan yang dapat merangsang timbulnya respon antibodi spesifik secara aktif
terhadap penyakit tertentu.
Vaksin digolongkan menjadi 2 jenis yaitu berdasarkan kandungan yang ada
didalamnya dan sensitivitas terhadap suhu

Jenis vaksin berdasarkan kandungan yang terdapat didalamnya yaitu:


a. Live attenuated vaccine
Merupakan vaksin yang mengandung bakteri atau virus hidup yang dilemahkan.
Reaksi kekebalan yang ditimbulkan oleh vaksin hidup (live attenuated) relatif
sama dengan yang ditimbulkan oleh infeksi alamiah. Contoh vaksin hidup yang
berasal dari virus seperti campak-rubela, gondongan (mumps), polio (bOPV),
yellow fever, japanese encephalitis dan cacar air (varicella), sedangkan vaksin
hidup yang berasal dari bakteri adalah BCG dan tifoid oral.

b. Innactivated vaccine
Merupakan vaksin yang terbuat dari bakteri atau virus yang dimatikan
(inactivated). Seluruh dosis antigen diberikan melalui suntikan dan vaksin ini
tidak menyebabkan ”penyakit”, meskipun pada kasus defisiensi imun. Vaksin
jenis ini dapat diberikan meskipun ada antibodi (contoh pada bayi atau pasca
pemberian produk darah yang mengandung antibodi).
Berbeda dengan vaksin hidup, di mana reaksi kekebalannya hampir sama
dengan infeksi alami (kekebalan selular dominan), reaksi kekebalan pada
vaksin inaktif paling dominan adalah kekebalan humoral dan sedikit atau tidak
ada kekebalan seluler. Titer antibodi yang dihasilkan oleh vaksin inaktif akan

22
Modul Imunisasi Pelatihan Surveilans PD3I
Bagi Petugas Puskesmas
berkurang dengan berjalannya waktu. Sehingga untuk beberapa vaksin inaktif
diperlukan dosis tambahan (ulangan) untuk menaikkan titer antibodi (booster).
Contoh vaksin inaktif utuh: berasal dari sel virus utuh (Influenza, polio, rabies,
hepatitis A) dan bakteri inaktif utuh (pertussis, typhoid, cholera, pes). Vaksin
inaktif fraksional: subunit (hepatitis B, influenza, acellular pertussis, typhoid
injeksi), toxoid (difteri, tetanus, botulinum), polisakarida murni (pneumococcal,
meningococcal, haemophilus influenza tipe b), dan polisakarida konjugasi
(Haemophilus influenza tipe b dan pneumococcal).

c. Vaksin Rekombinan
Vaksin yang dibuat dengan rekayasa genetika. Vaksin rekayasa genetika yang
tersedia saat ini ada tiga macam, yaitu vaksin Hepatitis B, Vaksin typhoid hidup
(Ty21a) dan vaksin Human Papiloma Virus (HPV).

Berdasarkan sensitifitasnya terhadap suhu, vaksin diklasifikasikan menjadi:


a. Vaksin sensitif panas (heat sensitive)
Merupakan golongan vaksin yang akan rusak terhadap paparan panas yang
berlebih (>34oC). Adapun vaksin yang sensitif panas adalah BCG, Polio, JE,
Campak-Rubela dan RV.
b. Vaksin sensitif beku (freeze sensitive)
Merupakan golongan vaksin yang rusak terhadap suhu dingin <0oC. Vaksin
sensitive beku yaitu vaksin Hepatitis B, Td, DPT-HB-Hib, DT, IPV, HPV, dan
PCV. Jika alat pemantau suhu menunjukan suhu 0oC atau alat pemantau
paparan suhu dingin (freeze tag) menunjukan tanda “X”, maka vaksin dicurigai
mengalami pembekuan. Untuk memastikan vaksin dalam kondisi baik atau
rusak, maka sebaiknya dilakukan shake test (uji kocok), kecuali untuk vaksin
IPV.

23
Modul Imunisasi Pelatihan Surveilans PD3I
Bagi Petugas Puskesmas
Tabel 7. Vaksin-vaksin yang Digunakan Dalam Program Imunisasi
di Indonesia
No Jenis Vaksin Penjelasan
a. Hepatitis B • Deskripsi
Vaksin Hepatitis B adalah vaksin virus
recombinan yang telah diinaktivasikan dan
bersifat non-infectious, berasal dari HBsAg yang
dihasilkan dalam sel ragi (Hansenula
polymorpha) menggunakan teknologi DNA
rekombinan.
• Indikasi:
Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap
infeksi yang disebabkan oleh virus hepatitis B
• Kontraindikasi:
Hipersensitif terhadap komponen vaksin. Sama
halnya seperti vaksin lain tidak boleh diberikan
kepada penderita infeksi berat yang disertai
kejang.
• Cara pemberian:
Vaksin disuntikkan dengan dosis 0,5 ml atau
1(buah) HB PID, pemberian suntikan secara
intra muskuler, sebaiknya pada anterolateral
paha.
b. BCG • Deskripsi
Vaksin BCG merupakan vaksin beku kering
yang mengandung Mycrobacterium bovis hidup
yang dilemahkan (Bacillus Calmette Guerin),
strain paris
• Indikasi:
Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap
tuberkulosis
• Kontraindikasi:
ꟷ Defisiensi sistem kekebalan
ꟷ Individu yang terinfeksi HIV asimptomatis
maupun simptomatis
ꟷ Adanya penyekit kulit berat/menahun
seperti eksim, furunkulosis, dsb
ꟷ Penderita TBC
• Cara pemberian:
Vaksin disuntikkan dengan dosis 0,05 ml
secara intrakutan di daerah lengan kanan atas
(insertion musculus deltoideus)

c. Polio tetes (bOPV) • Deskripsi


Vaksin polio tetes adalah Vaksin Polio bivalent
yang terdiri dari suspensi virus poliomyelitis tipe
1 dan 3 (strain Sabin) yang sudah dilemahkan
• Indikasi:

24
Modul Imunisasi Pelatihan Surveilans PD3I
Bagi Petugas Puskesmas
Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap
poliomyelitis
• Kontraindikasi:
Defisiensi sistem kekebalan (immune
deficiency)
• Cara pemberian:
Vaksin diberikan secara oral sebanyak dua
tetes.

d. DPT-HB-Hib • Deskripsi
Vaksin DPT-HB-Hib berupa suspensi homogen
yang berisikan difteri murni, toxoid tetanus,
bakteri pertussis inakti, antigen permukaan
hepatitis B (HBsAg) murni yang tidak infeksius,
dan komponen Hib sebagai vaksin bakteri sub
unit beupa kapsul polisakarida Haemophylus
Influenzae type b (Hib) tidak infeksius yang
dikonjugasikan kepada protein toksoid tetanus.
• Indikasi:
Vaksin digunakan untuk pencegahan terhadap
difteri, tetanus, pertusis (batuk rejan), hepatitis
B, dan infeksi Haemophilus influenzae tipe b
secara simultan.
• Kontraindikasi:
ꟷ Hipersensitif terhadap komponen vaksin
ꟷ Kejang atau gejala kelainan otak pada bayi
baru lahir atau kelainan saraf serius lainnya
merupakan kontraindikasi terhadap
komponen pertusis
• Cara pemberian:
Vaksin disuntikkan dengan dosis 0,5 ml secara
intramuskular.
e. Campak-Rubela • Deskripsi
Merupakan vaksin live attenuated berbentuk
serbuk-kering dengan pelarut. Setiap dosis
vaksin campak rubella mengandung 1000
CCID50 virus campak dan 1000 CCID50 virus
rubella.
• Indikasi:
Untuk kekebalan terhadap penyakit campak
dan rubella.
• Kontraindikasi:
ꟷ Individu yang sedang dalam terapi
kortikosteroid, imunosupresan dan
radioterapi
ꟷ Wanita hamil

25
Modul Imunisasi Pelatihan Surveilans PD3I
Bagi Petugas Puskesmas
ꟷ Leukemia, anemia berat dan kelainan darah
lainnya
ꟷ Kelainan fungsi ginjal berat
ꟷ Decompensatio cordis
ꟷ Setelah pemberian gamma globulin atau
transfuse darah
ꟷ Riwayat alergi terhadap komponen vaksin
(neomicyn)
• Cara pemberian:
Vaksin disuntikkan dengan dosis 0, 5 ml secara
subkutan.
f. DT • Deskripsi
Vaksin DT merupakan suspensi kolodial
homogen berwarna putih susu dalam vial gelas,
mengandung toksoid tetanus dan toksoid difteri
murni yang teradsorbsi kedalam alumunium
fosfat.
• Indikasi:
Untuk kekebalan simultan terhadap difteri dan
tetanus pada anak- anak.
• Kontraindikasi:
ꟷ Dosis kedua DT jangan diberikan apabila
anak menderita reaksi berat terhadap dosis
sebelumnya.
ꟷ Hipersensitif terhadap komponen vaksin
• Cara pemberian:
Vaksin disuntikkan dengan dosis 0, 5 ml secara
intramuskular.
g. Td • Deskripsi
Vaksin Td merupakan suspensi berwarna putih
dalam vial gelas, mengandung toksoid tetanus
dan toksoid difteri, dengan komponen difteri
yang rendah, yang telah dimurnikan dan
teradsorbsi pada alumunium fosfat.
• Indikasi:
Untuk kekebalan simultan terhadap difteri dan
tetanus.
• Kontraindikasi:
ꟷ Dosis kedua Td jangan diberikan apabila
anak menderita reaksi berat terhadap dosis
sebelumnya.
ꟷ Hipersensitif terhadap komponen vaksin
• Cara pemberian:
Vaksin disuntikkan dengan dosis 0, 5 ml secara
intramuskular.

h. IPV • Deskripsi

26
Modul Imunisasi Pelatihan Surveilans PD3I
Bagi Petugas Puskesmas
Merupakan vaksin yang mengandung virus
Polio tipe 1,2 dan 3 yang telah dimatikan
(inactive).
• Indikasi:
Untuk pencegahan poliomyelitis pada bayi dan
anak immunocompromised, kontak di
lingkungan keluarga dan pada individu dimana
vaksin polio oral menjadi kontra indikasi
• Kontraindikasi:
ꟷ Kontra indikasi umumnya pada imunisasi:
vaksinasi harus ditunda pada mereka yang
sedang menderita demam, penyakit akut
atau penyakit kronis progresif.
ꟷ Hipersensitif terhadap pemberian vaksin IPV
sebelumnya
Alergi terhadap streptomycin
• Cara pemberian:
Vaksin disuntikkan dengan dosis 0, 5 ml secara
intramuskular
i. HPV • Deskripsi
Merupakan vaksin rekombinan yaitu vaksin
yang dibuat dari komponen yang menyerupai
virus Human Papilloma/HPV (penyebab kanker
serviks) sehingga vaksin HPV tidak
mengandung material genetik (DNA) dari virus
HPV hidup sama sekali. Saat ini ada dua jenis
vaksin HPV yaitu bivalen (mengandung HPV
tipe 16 dan 18) dan quadrivalen (mengandung
HPV tipe 6,11, 16 dan 18)
• Indikasi:
Untuk kekebalan terhadap penyakit kanker
serviks akibat infeksi HPV.
• Kontraindikasi:
ꟷ Hipersensitif terhadap komponen vaksin.
ꟷ Seseorang dengan penyakit akut sedang
atau berat. Hal ini tidak sepenuhnya
mengecualikan pemberian imunisasi HPV
melainkan penundaan hingga kondisi telah
membaik.
ꟷ Selama kehamilan
• Cara pemberian:
• Vaksin disuntikkan dengan dosis 0, 5 ml di
lengan atas (pertengahan M. deltoideus)
secara intramuskular.

j. PCV-13 • Deskripsi
Vaksin Pneumokokus Konyugasi PCV-13 terdiri
dari 13 serotipe (1, 3, 4, 5, 6A, 6B, 7F, 9V, 14,
18C, 19A, 19F) yang dikonjugasikan dengan
protein karier Diphteria non toksik (D), Diphteria

27
Modul Imunisasi Pelatihan Surveilans PD3I
Bagi Petugas Puskesmas
CRM 197. Kemasan vaksin adalah dosis
tunggal 0,5 ml dalam sediaan pre-filled
syringed.
• Indikasi:
Untuk kekebalan terhadap penyakit pneumonia
akibat infeksi bakteri pneumokokus.
• Kontraindikasi:
Adanya riwayat reaksi anafilaktik berat
terhadap komponen vaksin PCV-13 atau
vaksin lain yang mengandung komponen
Diphteria (DPT-HB-Hib, DT, Td).
• Cara pemberian:
Vaksin disuntikkan dengan dosis 0, 5 ml
secara intramuskular.
k. JE • Deskripsi
Vaksin JE merupakan vaksin dengan serbuk
lyophilized berwarna kuning cerah atau
berwarna merah jambu cerah dan setelah
dilarutkan dengan pelarut akan berwarna
orange merah atau merah jambu cerah, berisi
virus hidup SA 14-12-2 JE yang telah
dilemahkan.
• Indikasi:
Untuk menimbulkan kekebalan terhadap
penyakit encephalitis akibat virus Japanese
Encephalitis
• Kontraindikasi:
ꟷ Reaksi hipersensitif terhadap komponen
vaksin apapun (gelatin, gentamicin)
ꟷ Defisiensi imun congenital, anak dengan
immunocompromised atau orang yang beru
saja menerima terapi imunodepresif.
ꟷ Selama kehamilan
• Cara pemberian:
Vaksin disuntikan dengan dosis 0, 5 ml di
lengan kiri atas secara subkutan.
l. RV (Rotavirus) • Deskripsi
Jenis vaksin yang digunakan dalam
pelaksanaan pemberian imunisasi rotavirus
tahun 2022 adalah ORV116E dengan serotipe
G9P [11] (live attenuated).
• Indikasi:
Untuk mencegah diare berat yang dapat
berakibat pada kematian.
• Kontraindikasi:
ꟷ Hipersensitifitas terhadap komponen vaksin.
ꟷ Severe combined immunodeficiency disease
(SCID).
ꟷ Riwayat intususepsi

28
Modul Imunisasi Pelatihan Surveilans PD3I
Bagi Petugas Puskesmas
• Cara pemberian:
Vaksin RV diberikan secara oral dengan dosis
0,5 ml (5 tetes).

2. Pengelolaan vaksin
Dalam pelaksanaan imunisasi, vaksin menjadi komponen yang sangat penting.
Vaksin merupakan produk biologis yang sangat mudah rusak dan rentan kehilangan
potensi bila tidak dikelola dengan benar. Untuk menjaga kualitasnya, vaksin harus
dikelola secara benar sesuai standar baik dalam penyimpanan, pendistribusian
sampai saat penggunaannya di pelayanan kesehatan.

a. Penyimpanan
Untuk menjaga kualitas vaksin tetap tinggi sejak diterima, didistribusikan ke
tingkat pelayanan sampai digunakan, vaksin harus selalu disimpan pada suhu
yang direkomendasikan.
Tabel 8. Suhu Penyimpanan Vaksin di Setiap Level Penyimpanan

Provinsi Kab/Kota PKM/Pustu Bides/UPK


VAKSIN Masa Simpan Vaksin
2 BLN+1 BLN 1 BLN+1 BLN 1 BLN+1 MG 1 BLN+1 MG
Polio Tetes (OPV)
RV -15oC sd -25oC
DPT-HB-Hib
DT
BCG
Campak-Rubella
Td 2oC sd 8oC
Polio Suntik (IPV)
HPV
PCV
JE
Hepatitis B Suhu ruang

Pelarut vaksin disimpan pada suhu 2°C s.d. 8°C atau pada suhu ruang terhindar
dari sinar matahari langsung. Sehari sebelum digunakan, pelarut disimpan pada
suhu 2°C s.d. 8°C.

29
Modul Imunisasi Pelatihan Surveilans PD3I
Bagi Petugas Puskesmas
Beberapa ketentuan yang harus selalu diperhatikan dalam pemakaian vaksin
secara berurutan adalah paparan vaksin terhadap panas, masa kadaluwarsa
vaksin, waktu pendistribusian/penerimaan serta ketentuan pemakaian sisa
vaksin.

Gambar 4. Ketentuan Prioritas Penggunaan Vaksin

Pemakaian Sisa Vaksin


Vaksin sisa pada pelayanan statis (Puskesmas, Rumah Sakit atau praktek
swasta) bisa diunakan pada pelayanan hari berikutnya. Beberapa persyaratan
yang harus dipenuhi adalah:
1. Disimpan pada suhu 2°C s.d. 8°C
2. VVM (Vaccine Vial Monitor) dalam kondisi A atau B
3. Belum kadaluwarsa
4. Tidak terendam air selama penyimpanan
5. Belum melampaui masa pemakaian

30
Modul Imunisasi Pelatihan Surveilans PD3I
Bagi Petugas Puskesmas
Tabel 9. Masa Pemakaian Vaksin Vial Terbuka

Jenis Vaksin Masa Pemakaian Keterangan


Polio Tetes 2 minggu
IPV 4 minggu
DT 4 minggu Cantumkan tanggal
Td 4 minggu pertama kali vaksin
DPT-HB-Hib 4 minggu digunakan
PCV 4 minggu
HPV 4 minggu
BCG 3 jam
Campak-Rubela 6 jam Cantumkan waktu
JE 6 jam vaksin dilarutkan
RV 6 jam
b. Pendistribusian
Seluruh proses distribusi vaksin program dari pusat sampai ketingkat pelayanan,
harus mempertahankan kualitas vaksin tetap tinggi agar mampu memberikan
kekebalan yang optimal kepada sasaran. Berikut merupakan alur distribusi
vaksin dan logistik imunisasi lainnya.

Nasional

Provinsi

Kabupaten/Kota

Puskesmas

Pelayanan Imunisasi
(Posyandu, RS, Klinik,
Praktek Swasta)

Gambar 5. Alur Distribusi Vaksin dan Logistik Imunisasi lainnya

31
Modul Imunisasi Pelatihan Surveilans PD3I
Bagi Petugas Puskesmas
c. Penyusunan dan Pengepakan Vaksin
Prinsip-prinsip penyusunan vaksin dalam vaccine refrigerator antara lain:
1) Semua vaksin disimpan pada suhu 2-80C
2) Letakkan cool pack di bagian bawah refrigerator sebagai penahan dingin
dan menjaga kestabilan suhu.
3) Antar dus vaksin diberi jarak minimal 1-2 cm atau satu jari tangan.
4) Vaksin HS (BCG, Campak-Rubela, OPV, RV) diletakkan dekat dengan
evaporator.
5) Vaksin FS (Hep. B, DPT-HB-Hib, DT, Td, IPV, HPV, dan PCV) diletakkan
jauh dengan evaporator.
6) Vaksin dalam lemari es harus diletakkan dalam kotak vaksin.

Prinsip penyusunan vaksin pada Cold Box atau Vaccine Carrier :


Suhu di dalam cold box dan vaccine carrier yang digunakan dalam kegiatan
distribusi vaksin harus tetap dijaga agar agar senantiasa berada dalam suhu
yang direkomendasikan. Berikut adalah langkah-langkah yang harus dilakukan:

1. Masukan coolpack (jumlah 2. Letakan vaksin di tengah-


coolpack disesuaikan dengan tengah
tipe/volume vaccine carrier)

3. Tutup vaccine carrier rapat- 4. Vaksin siap dibawa


rapat

32
Modul Imunisasi Pelatihan Surveilans PD3I
Bagi Petugas Puskesmas
• Simpan kotak pendingin atau
pembawa vaksin di tempat teduh.
• Jaga agar tutupnya tetap tertutup
rapat.
• Gunakan bantalan busa untuk
menyimpan botol selama sesi
imunisasi
Vaksin terlindung dari panas lebih
lama jika dimasukkan ke dalam
bantalan busa.
Bantalan busa berfungsi sebagai
5. Letakkan vial vaksin yang sudah penutup sementara agar vaksin
dibuka di atas bantalan busa yang belum dibuka tetap terlindungi
dalam suhu dingin. Bantalan busa
juga dapat menahan, melindungi
dan menjaga vaksin yang sudah
dibuka

Gambar 6. Pengemasan Vaksin di Dalam Vaccine Carrier

d. Penanganan Vaksin di Unit Pelayanan


Tempat pelayanan imunisasi baik di komponen statis (puskesmas dan fasilitas
pelayanan kesehatan lain) maupun dinamis (posyandu dan pos imunisasi lain)
merupakan mata rantai paling akhir dari sistem rantai dingin vaksin. Oleh karena
itu perlakuan vaksin di unit ini sangat penting.

1) Di Puskesmas dan Unit Pelayanan Statis Lainnya (RS, Klinik


Bersalin, Dokter/Bidan Praktek Swasta)
• Vaksin disimpan dalam vaccine refrigerator dengan suhu 2 s.d 8oC.
• Ketika akan melakukan pelayanan imunisasi, siapkan vaksin dalam
vaccine carrier yang diberi kotak dingin cair.
• Letakkan vaccine carrier di meja yang tidak terkena sinar matahari
langsung.
• Dalam penggunaan, letakkan vaksin yang sudah dibuka atau
dilarutkan di atas spon/busa yang berada di dalam vaccine carrier.
• Di dalam vaccine carrier tidak boleh ada air yang merendam vaksin.
Ini untuk mencegah kontaminasi vaksin dari bakteri lain.

33
Modul Imunisasi Pelatihan Surveilans PD3I
Bagi Petugas Puskesmas
2) Di Posyandu dan Pos Imunisasi Lainnya
Pada prinsipnya sama seperti di komponen statis, dan intinya vaksin tetap
berada pada suhu 2°C s.d 8°C. Beberapa hal yang perlu diperhatikan:
• Sepulang dari lapangan, sisa vaksin yang belum dibuka diberi tanda
khusus untuk didahulukan penggunaannya pada jadwal pelayanan
berikutnya selama VVM nya masih baik (A atau B).
• Semua sisa vaksin yang sudah dibuka pada kegiatan lapangan tidak
boleh digunakan lagi.

e. Pencatatan dan Pelaporan


Instrumen dalam pencatatan logistik imunisasi (vaksin, Auto Disable
Syringe/ADS dan safety box) menggunakan aplikasi Sistem Monitoring Imunisasi
dan Logistik secara Elektronik (SMILE). Sebagai backup diperlukan dokumen
pencatatan logistik imunisasi yaitu buku atau kartu stok, dokumen Vaccine Arrival
Report (VAR) dan dokumen Surat Bukti Barang Keluar (SBBK). Selain itu, dalam
melakukan monitoring suhu, dibuat juga grafik pencatatan suhu untuk setiap
vaccine refrigerator.

B. Pengelolaan Rantai Dingin Vaksin


1. Pengertian Rantai Dingin Vaksin
Rantai dingin merupakan prosedur yang saling berkaitan dan dirancang untuk
menjaga vaksin dalam kisaran suhu yang direkomendasikan dari titik produksi
hingga titik pelayanan. Yang dimaksud dengan peralatan rantai dingin vaksin adalah
seluruh peralatan yang digunakan dalam pengelolaan vaksin untuk menjaga vaksin
pada suhu yang telah ditetapkan. Agar mutu rantai dingin vaksin dapat terjamin
hingga vaksin diterima oleh sasaran, maka prosedur berikut harus dilakukan:
• Simpan vaksin dan bahan pelarut pada suhu yang tepat di seluruh tingkat
penyimpanan dan pelayanan.
• Distribusi vaksin sesuai prosedur secara berjenjang sampai tingkat pelayanan.

2. Jenis Peralatan Rantai Dingin Vaksin


a. Sarana Penyimpanan Vaksin
Ruang Penyimpanan vaksin
1) Kamar Dingin (Cold Room)

34
Modul Imunisasi Pelatihan Surveilans PD3I
Bagi Petugas Puskesmas
Kamar dingin (cold room) adalah sebuah tempat penyimpanan vaksin yang
mempunyai kapasitas (volume) minimal 5.000 liter (5 m3). Suhu bagian dalam
cold room berkisar antara 2oC s.d 8oC yang digunakan untuk menyimpan vaksin
freeze sensitive (vaksin sensitif beku).
2) Kamar Beku (Freeze Room)
Kamar beku (freeze room) adalah sebuah tempat penyimpanan vaksin yang
mempunyai kapasitas (volume) minimal 5.000 liter (5 m3). Suhu bagian dalam
freeze room berkisar antara -15oC s.d - 25oC yang digunakan untuk
menyimpan vaksin heat sensitive (vaksin sensitif panas).

Cold room dan freezer room digunakan untuk menyimpan vaksin dalam
jumlah besar sehingga harus tersedia di tingkat provinsi atau kabupaten/kota
yang memiliki jumlah penduduk besar atau kabupaten/kota yang lokasinya
secara geografis jauh dari ibukota provinsi.

Gambar 7. Cold room dan Freezer Room

Lemari Penyimpanan Vaksin


a. Vaccine Refrigerator
Vaccine Refrigerator adalah tempat menyimpan vaksin pada suhu 2-8oC
dan dapat juga difungsikan untuk membuat kotak dingin cair (cool pack).
b. Vaccine Freezer
Freezer adalah tempat penyimpanan untuk vaksin pada suhu -15oC s.d -
25oC. Vaccine freezer hanya boleh ada di level provinsi dan
kabupaten/kota.

35
Modul Imunisasi Pelatihan Surveilans PD3I
Bagi Petugas Puskesmas
Vaccine refrigerator dan vaccine freezer harus memenuhi Standar Nasional
Indonesia (SNI) dan atau Performance Quality and Safety (PQS) dari WHO.

Gambar 8. Vaccine Refrigerator dan Vaccine Freezer

Alat Pembawa Vaksin


a. Cold Box
Merupakan suatu alat untuk membawa vaksin dalam jumlah yang besar
yang dapat mempertahankan suhu 2°C s.d 8°C.
Cold box juga dapat digunakan untuk menyimpan vaksin sementara pada
kondisi lemari es yang ada tidak berfungsi, defrosting, dan kondisi darurat
lainnya. Cold box terdiri dari 2 jenis yaitu disposable dan reusable.
b. Vaccine Carrier
Vaccine carrier adalah alat untuk membawa vaksin dari puskesmas ke
posyandu atau ke tempat pelayanan imunisasi lainnya yang dapat
mempertahankan suhu 2°C s.d 8°C.

Alat pembawa vaksin harus memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) dan
atau Performance Quality and Safety (PQS) dari WHO.

36
Modul Imunisasi Pelatihan Surveilans PD3I
Bagi Petugas Puskesmas
Gambar 9. Cold Box dan Vaccine Carrier

b. Alat Mempertahankan Suhu


1) Cool Pack (Kotak Dingin Cair)
Wadah plastik berbentuk segi empat yang diisi dengan air kemudian
didinginkan dalam vaccine refrigerator dengan suhu 2°C s.d 8°C selama
minimal 12 jam (dekat evaporator).

2) Cold/Ice Pack (Kotak Dingin Beku)


Wadah plastik berbentuk segi empat yang diisi dengan air yang dibekukan dalam
freezer dengan suhu -15°C s.d -25°C selama minimal 24 jam. Cold pack tidak
lagi direkomendasikan dalam program imunisasi di tingkat kabupaten/kota dan
puskesmas karena berisiko menyebabkan vaksin sensitif beku mengalami
kerusakan.
3) Dry ice (Es Kering)
Dry ice bukanlah air yang dibekukan, melainkan karbondioksida yang sudah
dipadatkan. Dry ice digunakan dalam pengiriman vaksin tertentu (missal polio
tetes) dari pusat ke provinsi.

37
Modul Imunisasi Pelatihan Surveilans PD3I
Bagi Petugas Puskesmas
Gambar 10. Cool Pack dan Ice Pack

c. Alat Pemantau Suhu


Sarana penyimpanan vaksin harus senantiasa dipantau suhunya secara rutin
dan terus menerus. Berikut merupakan jenis-jenis peralatan pemantau suhu:
1) Alat Pemantau Suhu Analog
Peralatan yang ditempatkan dalam sarana penyimpanan vaksin yang dapat
menampilkan suhu pada saat pengamatan. Contoh: termometer muller,
termometer dial, dan termometer bulb.

Gambar 11. Alat Pemantau Suhu Analog

38
Modul Imunisasi Pelatihan Surveilans PD3I
Bagi Petugas Puskesmas
2) Alat Perekam/Pencatat Suhu Kontinyu
Peralatan yang ditempatkan dalam sarana penyimpanan vaksin yang dapat
menyimpan data suhu selama 30 hari dengan interval pencatatan yang
disesuaikan (misal setiap 7 menit).

Gambar 12. Alat Perekam/Pencatat Suhu Kontinyu

3) Alat Pemantau Paparan Suhu Dingin


Peralatan yang ditempatkan dalam sarana penyimpanan vaksin yang dapat
menampilkan indikator tertentu jika vaksin terpapar suhu beku. Contoh: tag
alert dan freeze tag.

Gambar 13. Alat Pemantau Paparan Suhu Dingin

4) Alat Pemantau Paparan Panas


Alat pemantau paparan suhu panas yang digunakan dalam program imunisasi
adalah VVM (Vaccine Vial Monitor). VVM biasanya tercantum dalam label
kemasan vaksin. VVM memiliki beberapa manfaat antara lain memberikan
peringatan kepada petugas kapan harus menolak atau tidak menggunakan
39
Modul Imunisasi Pelatihan Surveilans PD3I
Bagi Petugas Puskesmas
vaksin, memungkinkan vaksin disimpan/dipakai di luar rantai dingin, dan
memberikan petunjuk vaksin mana yang harus lebih dahulu
didistribusikan/digunakan.

Gambar 14. Alat Pemantau Paparan Suhu Panas

40
Modul Imunisasi Pelatihan Surveilans PD3I
Bagi Petugas Puskesmas
8 REFERENSI
1. Kemenkes, Permenkes No. 12 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Imunisasi, 2017
2. Pengelolaan Rantai Dingin Vaksin, TOT Imunisasi, Kemenkes 2021
3. Kementerian Kesehatan, Pedoman Praktis Manajemen Program Imunisasi di
Puskesmas, Ditjen P2P, 2021

41
Modul Imunisasi Pelatihan Surveilans PD3I
Bagi Petugas Puskesmas
TIM PENYUSUN

Dewan Pengarah:
1. Plt Dirjen P2P: Dr.dr.Maxi Rein Rondonuwu, DHSM, MARS
2. Plt. Direktur Surkarkes: dr. Prima Yosephine, BTH.,MKM

Penanggung jawab : Dr. dr. Hariadi Wibisosno, MPH


Ketua : Tanty Lukitaningsih, SKM, M.Kes
Anggota :
1. Dr. dr. Tri Yunis Miko Wahyono, SKM, M.Sc
2. Dr. drg. Siti Nur Anisah, MPH
3. dr. Hernani Djarir, MPH
4. Alib Birwin, SKM, M.Epid
5. Hilwaty, SKM, M.Kes

Kontributor :
Ditjen Tenaga Kesehatan, Kemenkes
1. Dra Oos Fatimah Roosiyati, M.Kes
2. Nusli Imansyah, SKM., M.Kes
3. Roostiati SW., SKM., MKM
4. Dewi Pusparani, SKM., MKM
5. Dr. Sari Hayuningtyas, MKM.

Balai Besar Pelatihan Kesehatan (BBPK) Ciloto


1. Syamsul Arifin, SKM, M.Epid
2. Ani Anisah, SKM, M.KM

Ditjen P2P, Kemenkes


1. drh. Endang Burni Prasetyowati, M. Kes
2. dr Triya Novita Dinihari
3. dr Sherli Karolina, MKM
4. Abdurrahman SKM, MKes
5. Muammar Muslih, SKM., M. Epid
6. Vivi Voronika, SKM., M.Kes
7. dr. Cornelia Kelyombar
8. dr. Irma Gusmi Ratih., M. Epid
9. dr. Febry Emmanuela
10. Rubiyo
11. dr. Endang Budi Hastuti
12. dr. Fristika Mildya, M.K.K.K
13. dr. Solihah Widyastuti, M.Epid
14. Berkat Putra, SKM
15. dr. Bie Novirenallia Umar, MARS
16. Anggun Pratiwi, SKM, M.Epid
17. Dini Surgayanti, SKM
18. dr. Iqbal Djakaria

42
Modul Imunisasi Pelatihan Surveilans PD3I
Bagi Petugas Puskesmas
19. Lulu Ariyantheny Dewi, SKM., MIPH
20. dr. Tri Setyanti, M. Epid
21. dr. Mushtofa Kamal, M.Sc
22. Ni’mah Hanifah, S.Gz
23. Yeni Handayani

Sekretariat :
1. Hilwaty, SKM, M.Kes
2. Hikmah Nur Febriana, SS

43
Modul Imunisasi Pelatihan Surveilans PD3I
Bagi Petugas Puskesmas

Anda mungkin juga menyukai