Anda di halaman 1dari 182

Modul Pelatihan

Surveilans
EPIDEMIOLOGI BAGI PETUGAS
PUSKESMAS

PUSAT PELATIHAN SDM KESEHATAN


TIM PENYUSUN MODUL
PELATIHAN SURVEILANS EPIDEMIOLOGI BAGI PETUGAS PUSKESMAS

Penasehat
dr. Tri Nugroho, MQIH.
Kepala BBPK Ciloto

Penanggung Jawab
Budiman, ST., M.Kes.

Narasumber
Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia

Penyusun:
1. Isep Priatna, MAP
2. Tri Budi Gunawan
3. Saleh Budi SAntoso, M.Epid
4. Puhilan, M.Epid
5. Adang Mulyana, M.Epid
6. Tanti Lukitaningsih, M. Epid
7. Ferry Febriansyah. MKM
8. Tuti Mulyati, S.Kom
9. drg. Hetty Permatawati., MKM
10. drg. Rieka Siti Kadaria, M.Kes
11. Etna Saraswati, MKM
12. Agus Setiabudi, M.Kes

Tim Pembahas:
PESERTA SEMINAR KURIKULUM DAN MODUL
PELATIHAN SURVEILANS EPIDEMIOLOGI BAGI PETUGAS PUSKESMAS
Kata Pengantar
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa atas
selesainya Pengembangan Kurikulum dan Modul Pelatihan Surveilans
Epidemiologi bagi Petugas Puskesmas.
Kurikulum pelatihan surveilans bagi petugas puskesmas atau sejenisnya
sebetulnya sudah ada dan pernah beberapakali disusun dengan berbagai versi,
baik oleh beberapa organisasi maupun oleh instansi pelatihan termasuk BBPK
Ciloto pada tahun 2008. Setelah diidentifikasi berdasarkan adanya perubahan
kebijakan dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, diantaranya Permenkes Nomor 75 Tahun
2014 tentang Pusat Kesehatan Masyaratkat, Permenkes Nomor 44 Tahun 2016 Tentang Pedoman
Manajemen Puskesmas, serta Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga yang berbasis
siklus kehidupan, Sustainable Development Goals (SDG’s), dan dinamika permasalahan kesehatan yang
dihadapi masyarakat, maka dari itu diperlukan penyesuaian dan penyempurnaan kurikulum pelatihan
tersebut.
Dalam merespon hal tersebut, tahun 2018 Kementerian kesehatan melalui Pusat Pelatihan SDM
Kesehatan dan BBPK Ciloto, bekerjasama dengan unit program dan organisasi profesi Perhimpunan
Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) mengembangkan Kurikulum Pelatihan Surveilans Epidemiologi bagi
Petugas Puskesmas. Selanjutnya agar proses pelatihan dapat berjalan lebih efektif dan efisien, maka
dibutuhkan bahan ajar, rujukan dan referensi untuk membantu proses pembelajaran yang kemudian
dikembangkan dan disusun menjadi modul pelatihan.

Kami menyadari masih terdapat kekurangan dalam modul yang kami susun ini, oleh karena itu saran
perbaikan untuk penyempurnaannya sangat kami harapkan. Penghargaan dan ucapan terima kasih kami
sampaikan kepada semua pihak yang telah meluangkan waktu dan memberikan kontribusi pemikiran
yang komprehensif dalam mewujudkan Modul ini.
Semoga pengembangan modul ini dapat memberikan manfaat bagi bangsa dan negara.

Kepala BBPK Ciloto,

Dr. Tri Nugroho, MQIH


DAFTAR ISI

DESKRIPSI SINGKAT ......................................................................................................................................... 2


TUJUAN PEMBELAJARAN ............................................................................................................................... 3
A. Tujuan Pembelajaran Umum ........................................................................ 3
B. Tujuan Pembelajaran Khusus ........................................................................ 3
URAIAN MATERI ....................................................................................................................................................
A. Definisi dan Atribut surveilans....................................................................... 5
1. Pengertian Surveilans .................................................................................. 5
2. Konsep Dasar Kegiatan Surveilans ................................................................ 5
3. Tujuan Surveilans ........................................................................................ 5
4. Bentuk Penyelenggaraan ............................................................................. 5
5. Atribut Surveilans........................................................................................ 6
LATIHAN MATERI 1

B. Konsep Dasar Epidemiologi ........................................................................ 13


1. Epidemiologi Deskriptif dan Analitik ............................................................. 13
2. Konsep Penyebab Penyakit (Host - Agent – Lingkungan) ............................. 16
3. Riwayat Alamiah Penyakit .......................................................................... 20
4. Ukuran dasar epidemiologi (pengukuran penyakit dan gambaran
penyakit) .................................................................................................. 22
LATIHAN MATERI 2
DAFTAR PUSTAKA

1
MODUL INTI 1
KONSEP DASAR SURVEILANS EPIDEMIOLOGI

I. DESKRIPSI SINGKAT

Program pencegahan dan pemberantasan penyakit akan sangat efektif bila dapat didukung
oleh sistem surveilans yang efektif, karena fungsi surveilans yang utama adalah menyediakan
informasi epidemiologi yang peka terhadap perubahan yang terjadi dalam pelaksanaan
program pemberantasan penyakit yang menjadi prioritas pembangunan.
Dengan memahami konsep dasar surveilans epidemiologi, maka petugas kesehatan akan dapat
membantu untuk menjalankan fungsi – fungsi surveilans dan tercapainya tujuan surveilans
epidemiologi.

Beberapa modul yang akan anda pelajari ke depan, akan sangat membantu anda untuk
melakukan pencegahan dan penanggulangan penyakit di wilayah Puskesmas tempat Anda
bertugas. Sebelum Anda belajar lebih dalam dalam pelatihan Surveilans Epidemiologi bagi
Petugas Puskesmas ini, Anda harus mempelajari konsep dasar surveilans epidemiologi dalam
modul ini.

Pikiran terbuka dan niat yang baik adalah syarat utama agar Anda dapat memahami modul ini.
Pengalaman Anda terkait surveilans epidemiologi di Puskesmas tempat Anda bekerja
merupakan bahan kajian yang sangat penting dalam pelatihan ini.

Selamat Belajar !!!

2
II. TUJUAN PEMBELAJARAN
A. Tujuan Pembelajaran Umum
Setelah mengikuti pembelajaran, peserta mampu menjelaskan konsep dasar surveilans
epidemiologi

B. Tujuan Pembelajaran Khusus:


Setelah mengikuti pembelajaran, peserta dapat:
1. Menjelaskan Definisi dan Atribut Surveilans
2. Menjelaskan Konsep Dasar Epidemiologi

III. POKOK BAHASAN


A. Definisi dan Atribut surveilans
1. Pengertian Surveilans
2. Konsep Dasar Kegiatan Surveilans
3. Tujuan Surveilans
4. Bentuk Penyelenggaraan
a. Surveilans berbasis indikator
b. Surveilans berbasis kejadian
5. Atribut Surveilans
a. Kesederhanaan (Simplicity)
b. Fleksibilitas (Flexibility)
c. Akseptabilitas (Acceptability)
d. Sensitivitas (Sensitivity)
e. Nilai Prediktif Positif (Predictive Value Positive)
f. Kerepresentatifan (Representativeness)
g. Ketepatan Waktu (Timeliness)
h. Quality
i. Stability

B. Konsep Dasar Epidemiologi


1. Epidemiologi Deskriptif dan Analitik
a. Pengertian Epidemiologi
b. Epidemiologi Deskriptif
1) Variabel Orang
2) Variabel Waktu
3) Variabel Tempat
c. Epidemiologi Analitik
2. Konsep Penyebab Penyakit (Host - Agent – Lingkungan)
3. Riwayat Alamiah Penyakit
4. Ukuran dasar epidemiologi (pengukuran penyakit dan gambaran penyakit)
a. Tipe Kuantitas Matematis
1) Tanpa denominator

3
2) Dengan denominator
a) Proporsi
b) Rate
c) Ratio
b. Tipe Kuantitas Epidemiologis
1) Insidens
a) Insidens Kumulatif
b) Incidence Density (Incidence rate, Laju insidens, insidens orang – waktu)
2) Prevalens
a) Prevalensi Titik
b) Prevalens Periode
3) Mortalitas
a) Angka Kematian Kasar (Crude Death Rate = CDR)
b) Case Fatality Rate (CFR)

4
IV. URAIAN MATERI
POKOK BAHASAN 1
A. DEFENISI DAN ATRIBUT SURVEILANS
1. Pengertian Surveilans
Surveilans Kesehatan adalah kegiatan pengamatan yang sistematis dan terus menerus
terhadap data dan informasi tentang kejadian penyakit atau masalah kesehatan dan kondisi
yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau masalah
kesehatan untuk memperoleh dan memberikan informasi guna mengarahkan tindakan
pengendalian dan penanggulangan secara efektif dan efisien.

2. Konsep dasar kegiatan surveilans


Konsep dasar kegiatan surveilans meliputi: Pengumpulan data, pengolahan data, analisis
data dan interpretasi data, umpan balik, disseminasi yang baik serta respon yang cepat.

3. Tujuan Surveilans
a. Tersedianya informasi tentang situasi, kecenderungan penyakit, dan faktor risikonya
serta masalah kesehatan masyarakat dan faktor-faktor yang mempengaruhinya sebagai
bahan pengambilan keputusan;
b. Terselenggaranya kewaspadaan dini terhadap kemungkinan terjadinya KLB/Wabah dan
dampaknya;
c. Terselenggaranya investigasi dan penanggulangan KLB/Wabah; dan
d. Dasar penyampaian informasi kesehatan kepada para pihak yang berkepentingan sesuai
dengan pertimbangan kesehatan.

4. Bentuk Penyelenggaraan
Bentuk penyelenggaraan Surveilans Kesehatan terdiri: surveilans berbasis indikator dan
surveilans berbasis kejadian
a. Surveilans berbasis indikator
Surveilans berbasis indikator dilakukan untuk memperoleh gambaran penyakit, faktor risiko
dan masalah kesehatan dan/atau masalah yang berdampak terhadap kesehatan yang
menjadi indikator program dengan menggunakan sumber data yang terstruktur. Contoh:
penyelenggaraan surveilans AFP, CBMS, Surveilans Gizi, Surveilans penyakit TB, Surveilans
Penyakit Kustadll

b. Surveilans berbasis kejadian


Surveilans berbasis kejadian sebagaimana dimaksud dilakukan untuk menangkap dan
memberikan informasi secara cepat tentang suatu penyakit, faktor risiko, dan masalah
kesehatan dengan menggunakan sumber data selain data yang terstruktur. Misalnya : pada
rumor ataupun kejadian KLB keracunan pangan atau penyakit.

5. Atribut Surveilans

5
Secara umum struktur Sistem Surveilans di Indonesia berbasis laporan Puskesmas, Rumah
Sakit dan Laboratorium dan dimanfaatkan di semua tingkatan pemerintahan di
kabupaten/kota, provinsi dan pusat yang masing-masing membentuk unit surveilans, baik
struktural atau fungsional.
Sistem surveilans memiliki karakteristik atau atribut, diantaranya yaitu: kesederhanaan,
fleksibilitas, akseptabilitas, sensitivitas, nilai prediktif positif, kerepresentatifan, ketepatan
waktu yang berkontribusi secara langsung terhadap kemampuan mencapai tujuan
spesifiknya. Kombinasi atribut surveilans ini akan menentukan kekuatan dan kelemahan
dari sistem surveilans, sehingga harus terdapat keseimbangan diantara atribut sistem
surveilans tersebut (Romaguera, R.A., et al, 2000: 181):

a. Kesederhanaan (Simplicity)
Kesederhanaan dari suatu sistem surveilans mencakup kesederhanaan dalam hal struktur
dan kemudahan pengopersiannya. Sistem surveilans sebaiknya dirancang sesederhana
mungkin, namun masih dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Kesederhanaan erat
kaitannya dengan ketepatan waktu, dan akan mempengaruhi jumlah sumber daya/sumber
dana yang dibutuhkan untuk melaksanakan sistem tersebut (Depkes RI, 2003: 30-31)
Sistem surveilans seharusnya sesederhana mungkin. Sistem surveilans sangat
sederhana dapat dicontohkan adanya unit kecil yang merumuskan definisi operasional
kasus dengan variabel yang mudah diperoleh, unit ini juga yang menemukan kasus,
merekam dan mengolah datanya, serta memanfaatkannya untuk kepentingan unit itu
sendiri.
Sistem surveilans sederhana jika definisi operasional kasus mudah untuk diterapkan dan
tidak memerlukan keahlian khusus, menjadi komplek jika diagnosis kasus memerlukan
wawancara dan pemeriksaan yang kompleks, memerlukan dukungan labotaroium yang
selalu tersedia, pengoperasiannya rumit, perlu tenaga dengan keahlian khusus dan
pelatihan atau pendidikan tertentu.
Secara umum, definisi operasional yang sederhana, akan cenderung menimbulkan
sensitifitas dan spesifitas rendah, tetapi definisi operasional yang ketat atau sulit
menimbulkan tingkat partisipasi rendah, butuh alat, pelatihan dan tenaga yang
memerlukan anggaran tidak sedikit.
Beberapa ukuran yang dapat digunakan untuk menentukan kesederhanaan sistem
surveilans (Klaucke cs dalam Principles hal 177):
1) Jumlah dan jenis informasi yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis sesuai definisi
operasional kasus
2) Jumlah dan jenis sumber data
3) Cara-cara untuk mengirimkan informasi adanya kasus dan pengiriman data
4) Pelatihan staff
5) Jenis dan kompleksitas melakukan analisis data
6) Jumlah sarana pendukung (paket sistem komputerisasi)
7) Cara-cara mempublikasikan laporan
8) Banyaknya waktu yang digunakan untuk melaksanakan sistem surveilans

6
9) Besarnya sumberdaya yang diperlukan (biaya dan sarana), semakin komplek semakin
mahal.

b. Fleksibilitas (Flexibility)
Suatu sistem surveilans yang fleksibel dapat menyesuaikan diri dengan perubahan informasi
yang dibutuhkan atau situasi pelaksanaan tanpa disertai peningkatan yang berarti akan
kebutuhan biaya, tenaga dan waktu. Sistem yang fleksibel dapat menerima perubahan
definisi kasus, dan variasi – variasi dari sumber pelaporan. Pada umumnya, makin sederhana
suatu sistem, makin fleksibel untuk diterapkan pada penyakit/masalah kesehatan lain serta
komponen yang harus diubah akan lebih sedikit.
Fleksibilitas juga dimaksudkan kemudahan sistem surveilans yang ada untuk menghadapi
munculnya penyakit baru, misalnya, ketika terjadi ancaman pandemi influenza ganas,
ancaman loncatan tipe virus influenza A H5N1, maka sistem deteksi dini dapat
direalisasikan dengan menumpang pada sistem pemantauan wilayah setempat kasus
potensi KLB yang masih aktif.

c. Akseptabilitas (Acceptability)
Akseptabilitas menggambarkan kemauan seseorang atau organisasi untuk berpartisipasi
dalam melaksanakan sistem surveilans. Akseptabilitas merupakan atribut yang sangat
subjektif yang mencakup kemauan pribadi dari orang – orang yang bertanggungjawab
terhadap pelaksanaan sistem surveilans untuk menyediakan data yang akurat, konsisten,
lengkap dan tepat waktu.
Sistem surveilans yang baik jika dapat diterima oleh semua pihak terkait dengan
penyelenggaraan sistem surveilans, baik unit kerja maupun oleh orang-orang yang
bertugas dalam penyelenggaraan sistem surveilans, baik unit sumber data, unit
surveilans, dan program terkait.
Beberapa variabel yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi tingkat partisipasi:
1) Adanya Surat Keputusan Kepala Puskesmas tentang struktur organisasi dan uraian tugas
program Surveilans yang memastikan adanya orang yang bertanggungjawab terhadap
penyelenggaraan surveilans
2) Dibentuknya unit pelaksana, kelompok kerja atau petugas yang bertanggungjawab
sesuai peran terhadap penyelenggaraan surveilans yang ditetapkan dalam suatu
keputusan formal
3) Terdapatnya rencana kerja pelaksanaan sistem surveilans dan anggaran sesuai dengan
peran dalam penyelenggaraan surveilans
4) Besarnya jumlah kelengkapan laporan dan laporan-laporan yang dikirimkan tepat waktu
5) Pada unit sumberdata surveilans dapat diidentifikasi
• keterlibatan dokter, perawat, petugas laboratorium dan unit-unit yang terlibat dalam
identifikasi kasus, perekaman dan pelaporan,
• Kelengkapan isi formulir isian, baik dalam penetapan kasus maupun variabel-variabel
yang diperlukan lainnya dan

7
• Perbandingan jumlah kasus terekam dalam dokumen rekam data surveilans dibanding
dengan jumlah kasus-kasus yang telah terdaftar, teridentifikasi atau tercatat di
register
Pengukuran dapat dilakukan kuantitatif, kualitatif atau melalui penelitian khusus sesuai
dengan jenis pengukuran yang dinilai.

d. Sensitivitas (Sensitivity)
Sensitivitas dari suatu sistem surveilans dapat dilihat pada dua tingkatan. Pertama, pada
tingkatan pengumpulan data, proporsi kasus dari suatu penyakit/masalah kesehatan yang
dideteksi oleh sistem surveilans. Kedua, sistem dapat dinilai akan kemampuannya untuk
mendeteksi KLB.
Secara praktis dapat dijelaskan, penekanan utama dalam menilai sensitivitas dengan asumsi
kasus – kasus yang dilaporkan sebagian besar diklasifikasikan dengan benar adalah
mengestimasi proporsi dari jumlah kasus di masyarakat yang dapat dideteksi oleh sistem
surveilans. Sistem surveilans dengan sensitifitas tidak terlalu tinggi masih berguna untuk
memantau trend selama sensitivitasnya konstan.
Sistem surveilans sensitif adalah mampu mendeteksi kejadian-kejadian kesehatan atau
obyek surveilans lain dengan tepat, baik pada keakuratan diagnosis, kelengkapan laporan
kasus, maupun ketepatan waktu terdeteksinya kejadian. Sensitif juga berarti mampu
mendeteksi adanya KLB dengan tepat.

Sensitifitas identifikasi kasus yang datang ke pelayanan sendiri dipengaruhi oleh:


1) Karakteristik definisi operasional kasus,
2) Alat diagnostik,
3) Kemampuan tenaga, baik karena pendidikan, maupun pelatihan dan pengalaman,
4) Perhatian pelaksana

e. Nilai Prediktif Positif (Predictive Value Positive)


Nilai Prediktif Positif (NPP) adalah proporsi dari populasi yang diidentifikasikan sebagai
kasus oleh suatu sistem surveilans dan kenyataannya memang kasus. Penghitungan NPP
memerlukan catatan (arsip) dari intervensi – intervensi yang telah dilakukan berdasarkan
informasi yang diperoleh dari sistem surveilans. Penghitungan NPP pada tingkat penemuan
kasus dapat dilakukan apabila ada catatan mengenai jumlah pelacakan kasus yang telah
dilakukan dan proporsi dari orang – orang yang benar – benar mengalami suatu peristiwa
kesehatan / menderita penyakit yang diamati oleh sistem surveilans.
Nilai Prediktif Positif sangat penting, karena NPP yang rendah berarti “ kasus yang telah
dilacak yang sebenarnya bukan merupakan kasus dan telah terjadi kesalahan dalam
mengidentifikasikan KLB. NPP menggambarkan sensitivitas dan spesifisitas dari definisi
kasus dan prevalensi dari suatu keadaan yang terjadi dalam masyarakat. NPP akan
meningkat seiring dengan meningkatnya spesifisitas dan prevalens. Komunikasi yang baik

8
antara orang – orang yang melaporkan kasus dan instansi yang menerima laporan akan
meningkatkan NPP.

Gambar 1.
Perhitungan Predictive Value Positive, Sensitifitas dan spesifisitas

Status Penyakit
Total
+ -
+ A B A+B
Hasil Test
- C D C+D
A+C B+D A+B+C+D

A = jumlah individu skrining tes positif dan benar sakit (true positive)
B = jumlah individu skrining tes positif tetapi sebenarnya tidak sakit (false positive)
C = jumlah individu skrining tes negatif tapi sebenarnya sakit (false negative)
D = jumlah individu skrining tes negatif dan benar tidak sakit (true negative)

Predictive Value Positive = A / (A+B)


Sensitifitas = A / (A+C)
Spesifisitas = D / (B+D)

f. Kerepresentatifan (Representativeness)
Suatu sistem surveilans yang representatif akan menggambarkan secara akurat kejadian
dari suatu peristiwa kesehatan dalam periode waktu tertentu dan distribusi peristiwa
tersebut dalam masyarakat menurut tempat dan orang.
Kerepresentatifan dinilai dengan membandingkan karakteristik dari kejadian – kejadian
yang dilaporkan dengan semua kejadian yang ada. Meskipun informasi kejadian yang
sebenarnya dalam masyarakat tidak diketahui, namun dapat ditentukan melalui studi
khusus.
Kualitas data merupakan bagian yang penting dari kerepresentatifan. Kualitas data ini
dipengaruhi oleh kejelasan dari formulir surveilans, kualitas pelatihan, supervisi terhadap
petugas surveilans dan ketelitian dalam penatalaksanaan data. Pengkajian hal –hal tersebut
akan memberikan ukuran tak langsung dari kualitas data.
Perhitungan presentase formulir surveilans atau kuesioner yang tidak diisi atau diisi dengan
“tak diketahui” merupakan ukuran langsung. Penilaian dari realibilitas dan validitas dari
jawaban/data memerlukan studi khusus.

9
Representatif bukan berarti jumlah kasus sama persis, representatif lebih berarti mewakili
atau dapat menggambarkan situasi di populasi dengan tepat. Representatif kejadian
kesehatan tertentu dapat ditunjukkan dengan tepat berdasarkan analisis kejadian-kejadian
kesehatan atau obyek surveilans lainnya yang telah teridentifikasi dengan karakteristiknya
menurut waktu, tempat dan orang.

g. Ketepatan Waktu (Timeliness)


Ketepatan waktu menggambarkan kecepatan atau kelambatan diantara langkah – langkah
dalam sutu sistem surveilans. Interval waktu biasanya dinyatakan sebagai besarnya waktu
antara tibulnya masalah suatu peristiwa kesehatan yang tak diinginkan dengan laporan
peristiwa kesehatan tersebut ke instansi yang berwenang. Aspek lain dari ketepatan waktu
adalah waktu yang diperlukan untuk mengidentifikasikan trend KLB, atau hasil dari
tindakan penanggulangan.
Ketepatan waktu dalam sistem surveilans harus dinilai dalam arti adanya informasi
mengenai upaya penanggulangan/pencegahan penyakit, baik dalam hal tindakan
penanggulangan yang segera dilakukan maupun rencana jangka panjang dari upaya
pencegahan.
h. Quality
Quality mencerminkan kelengkapan dan validitas data yang digunakan untuk surveilans.
Salah satu ukuran sederhana adalah persentase nilai yang tidak diketahui atau kosong
untuk variabel tertentu dalam data yang digunakan untuk surveilans.
Misalnya pada surveilans campak dan rubela (CBMS) untuk data variabel umur kualitasnya
baru 70%, artinya ada data umur kasus yang terisi di format laporan surveilans CBMS hanya
70%, ada 30 kasus campak/rubella yang tidak terisi data umurnya.

i. Stability
Stabilitas sistem surveilans mengacu pada keandalan metode untuk memperoleh dan
mengelola data surveilans dan ketersediaan data tersebut. Karakteristik ini biasanya terkait
dengan keandalan sistem komputer yang mendukung surveilans tetapi mungkin juga
mencerminkan ketersediaan sumber daya dan personel untuk melakukan surveilans.

10
LATIHAN MATERI 1
Mengidentifikasi dan mendeskripsikan atribut
sistem surveilans yang sedang saudara kelola
saat ini

INSTRUKSI:
Peserta secara kelompok melakukan identifikasi atribut pada satu sistem surveilans yang sedang
dikelola oleh peserta (Contoh: sistem surveilans CBMS, AFP, gizi, HIV, TB, Penyakit Tidak Menular,
BDB, Kusta, dll)

Apa yang Anda dapat simpulkan dari latihan tersebut ?

11
POKOK BAHASAN 2
B. KONSEP DASAR EPIDEMIOLOGI
1. Epidemiologi Deskriprif dan Epidemiologi Analitik
a. Pengertian Epidemiologi
Epidemiologi adalah studi distribusi dan determinan kesehatan yang terkait keadaan atau
peristiwa dalam populasi tertentu, dan aplikasi studi ini untuk mengendalikan masalah
kesehatan (Last, 1988).
Studi epidemiologi dibagi menjadi dua kategori: yaitu (1) epidemiologi deskriptif; dan (2)
epidemiologi analitik.

b. Epidemiologi Deskriptif
Epidemiologi deskriptif bertujuan mendeskripsikan distribusi, pola, kecenderungan,
perjalanan, dan dampak penyakit menurut karakteristik populasi, letak geografis, dan
waktu. Epidemiologi deskriptif mempelajari penyebaran penyakit menurut orang (person),
tempat (place), dan waktu (time).
Tujuan dari studi epidemiologi deskriptif:
1) Untuk dapat menggambarkan karakteristik distribusi penyakit atau masalah
kesehatan lainnya pada sekelompok orang atau populasi
2) Untuk dapat memperhitungkan besar dan pentingnya masalah kesehatan pada
populasi
3) Untuk dapat mengidentifikasi dugaan faktor “determinant” atau faktor risiko timbulnya
penyakit atau masalah kesehatan yang dapat menjadi dasar menformulasikan hipotesa

Manfaat epidemiologi deskriptif adalah:


1) Memberikan masukan untuk perencanaan dan alokasi sumber daya kesehatan tentang
penyebaran dan kecenderungan penyakit di suatu populasi tertentu
2) Memberikan petunjuk awal untuk perumusan hipotesis bahwa suatu paparan adalah
faktor risiko penyakit.

Dua kategori epidemiologi deskriptif berdasarkan unit pengamatan dan/atau unit


analisis: (1) populasi; dan (2) individu.
Studi epidemiologi deskriptif yang mengamati populasi mencakup:
1) Studi ekologis
2) Time series

Sedangkan studi epidemiologi deskriptif yang mengamati individu mencakup:


1) Laporan kasus (case report)
2) Case series
Termasuk dalam studi deskriptif adalah surveilans.
Epidemiologi deskriptif diharapkan mampu menjawab pertanyaan mengenai faktor Who,
Where, When.

12
Who (siapa): merupakan pertanyaan tentang faktor orang yang akan dijawab dengan
mengemukakan perihal mereka yang terkena masalah. Bisa mengenai variabel usia, jenis
kelamin, suku, agama, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan.
Where (dimana): pertanyaan mengenai faktor tempat dimana masyarakat tinggal atau
bekerja atau dimana saja kemungkinan mereka mengadapi masalah kesehatan.
Variabelnya dapat berupa urban (kota), rural (desa), pantai, pegunungan, pertanian,
perikanan, industri, pemukiman, tempat kerja, dll.
When (kapan): Pertanyaan ini berhubungan dengan kejadian penyakit dan waktu. Faktor
waktu dapat berupa jam, hari, minggu, bulan, tahun dan musim (musim hujan, musim
panas / kemarau, musim dingan).

Faktor Who, Where, When disebut sebagai variabel Epidemiologi deskriptif yaitu : (1)
variable orang, (2) Variabel waktu, (3) Variabel tempat.
1) Variabel Orang
Yang dimaksud variable orang adalah karakteristik individu yang ada kaitannya dengan
pemaparan atau kerentanan terhadap suatu penyakit. Karakteristik – karakteristik yang
ada pada variable orang antara lain: umur, jenis kelamin, agama, etnik grup, pekerjaan,
pendidikan, social ekonomi, dll

2) Variabel Waktu
Berdasarkan skala waktu perubahan frekuensi penyakit / masalah kesehatan menurut
waktu dapat dibagi menjadi tiga:
a) Variasi jangka panjang yang disebut “secular trend” , yaitu perubahan frekuensi
penyakit atau masalah kesehatan lainnya yang terjadi dalam jangka waktu yang lama,
bertahun – tahun, puluhan tahun.
b) Fluktuasi frekuensi penyakit atau masalah kesehatan yang terjadi secara periodik
disebut juga perubahan siklik
c) Fluktuasi frekuensi penyakit / masalah kesehatan yang terjadi secara singkat seperti
epidemi.

3) Variabel Tempat
Variabel tempat mendeskrisikan dimana penyakit/masalah kesehatan terjadi yang
berhubungan dengan geografi. Metode analisis yang digunakan dapat membuat peta pola
penyakit dan membuat perbandingan antara area geografi dalam bentuk tabel, grafik, dan
diagram.
Hubungan lokasi dengan penyakit dapat digunakan sebagai dasar hipotesis etiologi
penyakit. Tujuan lainnya untuk membantu manager pelayanan kesehatan di dalam
mengidentifikasi daerah yang bermasalah.
Untuk menganalisa perubahan frekuensi penyakit / masalah kesehatan berdasarkan
tempat dapat dibandingkan sebagai berikut:
a) Berdasarkan perbandingan secara internasional atau antar negara; misalanya variasi
dan ketepatan diagnosis sistem pelaporan

13
b) Perbandingan dalam negara (perbandingan data penyakit antara satu provinsi dengan
provinsi lainnya, antar kabupaten / kota)
c) Perbandingan antara urban dan rural (kepadatan penduduk, suplai air, tingkat
industrialisasi, sanitasi lingkungan, tingkat pendidikan, dll).
d) Perbandingan antar tempat (batas alamiah: iklim, temperatur, pantai, pegunungan,
persawahan, tambak)

c. Epidemiologi Analitik
Epidemiologi analitik bertujuan untuk:
1) Menjelaskan faktor – faktor risiko dan kausa penyakit.
2) Memprediksi kejadian penyakit.
3) Memberikan saran strategi intervensi yang efektif untuk pengendalian penyakit.

Prinsip analisis dalam studi epidemiolgi analitik adalah membandingkan risiko terkena
penyakit antara dua atau lebih kelompok dengan menggunakan suatu desain studi,
misalnya: studi kasus kontrol, studi kohor, eksperimen terandomisasi, dan studi
laboratorium. Analisis tersebut memungkinkan pengujian hipotesis kausal.

Gambar 1.
Ringkasan Studi Epidemiologi

2. Konsep Penyebab Penyakit (Host – Agent – Lingkungan)


Model penyebab penyakit yang paling sederhana dapat digambarkan dengan model
segitiga epidemiologis. Segitiga tersebut mencakup tiga hal; Agent, host / pejamu dan
lingkungan yang menyatukan Agent dan host. Di dalam model ini, penyakit muncul sebagai
akibat dari interaksi anatara Agent dan host yang rentan di dalam lingkungan yang
mendukung perpindahan Agent dari sumber kepada host.

14
Gambar 2. Triad Epidemiologis

a. Faktor Agent
Agent penyebab penyakit menular dapat berupa organisme (virus, bakteri, rickettsia,
protozoa, cacing, fungus atau arthopoda) atau juga dapat berupa Agent fisik atau kimiawi
(toxin atau racun), maupun eksposure berupa sosial.
Bila Agent berupa organisme, maka Agent membutuhkan untuk melakukan multifikasi
untuk dapat bertransmisi ataupun bertahan/survival. Multifikasi Agent organisme dengan
dua metode, yaitu reproduksi aseksual dan reproduksi seksual.
Agent organisme dapat survive dengan cara menemukan host yang cocok
Untuk memperpanjang masa hidup Agent organisme melalui beberapa metode, yaitu:
• Reservoir adalah habitat alamiah dari sebuah Agent infeksius yang dapat meliputi
manusia, binatang/vektor dan sumber – sumber lingkungan (air, tanah).
• Persistence, digunakan oleh parasit sebagai upaya survive dengan cara membentuk
fase – fase yang bersifat spesial/khusus sehingga tahan terhadap kondisi lingkungan
yang merugikan atau membahayakan Agent.
• Latency, adalah tahapan Agent berada pada masa tidak memberikan efek infeksius
terhadap host baru
• Vektor, dengan memanfaatkan ada vektor, Agent dapat survive dengan berpindah dari
satu host ke host lainnya. Vektor juga dapat dikategorikan sebagai bagian dalam proses
transmisi.
• Intermediate host, beberapa jenis parasit membutuhkan host perantara dalam tahapan
perkembangannya, hingga dapat cukup untuk menginvasi target akhir hostnya.

Jika Agent dapat bertahan dan mengifeksi host baru, maka Agent akan memimbulkan
reaksi atau kesakitan pada host. Reaksi tergantung pada respon host dan Agent. Effek yang
ditimbulkan oleh Agent meliputi:
• Infeksi, adalah masuk dan berkembangnya atau bermultifikasinya sebuah Agent yang
infeksius di dalam host.
• Infeksivitas, adalah kemampuan dari Agent untk menginvasi dan memproduksi infeksi
dalam host.
• Dosis infektif dari sebuah Agent, adalah jumlah yang dibutuhkan untuk menimbulkan
infeksi pada subjek – subjek yang rentan.

15
• Patogenitas Agent, adalah kemampunnya dalam menghasilkan penyakit, yang dapat
diukur berdasarkan rasio dari jumlah orang – orang yang menderita penyakit klinik
terhadap jumlah dari orang – orang yang terpapar terhadap infeksi.
• Virulensi, adalah ukuran tentang tingkat keganasan penyakit, yang hal itu dapat
bervariasi dari rendah hingga amat tinggi. Jika virus telah dilemahkan di dalam
laboratorium dan mempunyai virulensi yang rendah, maka berarti virus dapat
digunakan untuk imunisasi, misalnya pada virus poliomielitis.

b. Faktor Manusia / Host


Faktor host merupakan faktor intrinsik yang mempengaruhi paparan individual,
kerentanan atau respons terhadap Agent pembawa penyakit. Faktor yang mungkin
mempengaruhi paparan individual diantaranya adalah: umur, gender, perilaku (rokok,
penyalahgunaan obat, gaya hidup, pola makan, kegiatan seksual, kontasepsi, dll).
Sedangkan faktor yang mempengaruhi kerentanan dan respon terhadapa Agent pembawa
penyakit adalah: umur, komposisi genetik, keadaan gizi dan imunitas, struktur anatomi,
keberadaan penyakit dan pengobatan, dan sejarah psikologis.

c. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan merupakan faktor eksternal yang mempengaruhi agent dan host dan
kesempatan untuk menjadi paparan. Pada umumnya, faktor lingkungan meliputi faktor
fisik seperti geologi dan iklim; faktor biologis seperti vektor serangga yang
menyampaikan agent, dan faktor sosioekonomi seperti kepadatan hunian, sanitasi dan
ketersediaan layanan kesehatan.
Faktor agent, host , dan lingkungan saling berhubungan dengan berbagai cara yang
kompleks sehingga dapat memyebabkan penyakit pada manusia. Satu penyakit yang
berbeda dihasilkan dari keseimbangan dan interaksi yang berbeda pula diantara ketiga
komponen tersebut.

Gambar 3. Hubungan Host – Agent - Lingkungan

Keaadan berpenyakit (gambar 3): karena jumlah agent bertambah banyak sehingga timbul
penyakit pada host.

16
Gambar 4. Hubungan Host – Agent – Lingkungan

Keadaan berpenyakit (gambar 4): karena kerentanan host bertambah berat (daya tahan
tuhbuh berkurang) sehingga timbul penyakit

Gambar 5. Hubungan Host – Agent - Lingkungan

Keadaan berpenyakit (gambar 5) : karena agent bertambah banyak disebabkan kondisi


perubahan lingkungan yang memicu bertambahnya agent.

Gambar 6. Hubungan Host – Agent – Lingkungan

Keadaan berpenyakit (gambar 6): karena Kerentanan (suseptibel) host bertambah berat
karena perubahan lingkungan.

Model segitiga Agent – Host – Lingkungan tersebut menjelaskan bahwa sakit pada
seseorang adalah hasil interaksi dari agent, host dan lingkungan. Agent penyakit bergerak
pindah keluar dari host (sumber penyakit) melalui jalan keluar (portal mininggalkan host ),
kemudian melalui berbagai cara penularan, agent penyakit masuk ke dalam tubuh host
baru yang rentan melalui pintu masuk (portal masuk ke host ).

17
Ada 6 (enam) unsure penting dalam rantai penularan penyakit menular, yaitu:
1) Agent (penyebab)
2) Reservoir dari agent
3) Portal dari agent untuk meninggalkan host
4) Cara penularan (tansmisi) dari agent ke host baru
5) Portal dari agent masuk ke host yang baru
6) Kerentanan host.

Transmisi ini dapat terjadi secara langsung atau tidak langsung. Transmisi secara langsung
merupakan pemindahan dari agent infeksius yang berasal dari host yang terinfeksi atau
reservoir ke suatu tempat yang tepat, yang mengakibatkan terjadinya infeksi pada
manusia.
Contoh transmisi secara langsung:
1) Sentuhan / rabaan
2) Ciuman
3) Hubungan kelamin
4) Kontak yang lainnya (Kelahiran bayi, prosedur medis, injeksi obat, menyusui bayi)
5) Penularan melalui udara, jarak pendek (melalui droplet bersin)
6) Transfusi darah
7) Transplasental

Transmisi tidak langsung adalah penularan melalui vehikel, penularan melalui vektor atau
penularan melalui udara.

Contoh transmisi secara tidak langsung:


1) Penularan melalui perantara (makanan yang terkontaminasi, air, handuk, alat – alat
pertanian, dsb)
2) Penularan melalui vektor (serangga, tikus, dll)
3) Penularan melalui udara jarak jauh (debu, droplet)
4) Paranteral (suntikan dengan menggunakan jarum injeksi yang terkontaminasi)

3. Riwayat Alamiah Penyakit


Riwayat alamiah penyakit adalah perkembangan proses penyakit pada seseorang individu
yang terjadi secara berkelanjutan, tanpa adanya intervensi.
Memahami riwayat alamiah penyakit akan sangat membantu petugas surveilans dalam
menunjang strategi pemantauan dan pengendalian penyakit di wilayahnya baik dalam
situasi normal ataupun dalam situasi KLB.
Tiap penyakit mempunyai perjalanan alamiah masing – masing. Riwayat alamiah penyakit
terdiri dari empat fase, yaitu: (1). Fase rentan; (2). Fase Subklinis; (3). Fase Klinis; (4). Fase
penyembuhan , cacat, dan kematian (Terminal).

18
Gambar 7.
Riwayat Alamiah Penyakit dan Level Pencegahan

Sumber: Gerstman, 2003

a. Fase Rentan
Adalah tahap berlangsungnya proses etiologis, dimana “faktor penyebab pertama” untuk
pertama kalinya bertemu dengan penjamu / host dan belum menimbulkan penyakit.
Faktor penyebab pertama yang dimaksud adalah faktor risiko. Faktor risiko adalah faktor
yang kehadirannya meningkatkan probabilitas kejadian penyakit sebelum fase subklinis.
Menurut Last (2001), faktor risiko adalah perilaku
gaya hidup, paparan lingkungan (fisik, biologi, sosial, kultural);karakteristik bawaan
maupun keturunan, yang berdasarkan bukti – bukti epidemiologis diketahui memiliki
hubungan dengan penyakit dan kondisi kesehatan, sehingga dipandang penting untuk
dilakukan pencegahan.
Contoh:
Balita yang tidak mendapatkan vaksinasi MR pada populasi yang berkelompok akan
meningkatkan kerentanan untuk kejadian kasus campak ataupun rubella.
Faktor risiko dapat dibagi menjadi faktor risiko tetap dan faktor risiko berubah.
Contoh faktor risiko yang dapat berubah yaitu: jenis pekerjaan, kebiasaan makan,
kebiasaan merokok, konsumsi narkoba, konsumsi garam, pola tidur/istirahat, dll.
Contoh faktor risiko tetap, diantaranya yaitu: jenis kelamin, ras, riwayat keluarga, umur,
dll.

b. Fase Subklinis
Fase subklinis atau fase pre-simptomatis adalah tahap berlangsungnya proses perubahan
patologis yang diakhiri dengan keadaan irreversibel (yaitu, manifestasi penyakit tak dapat
dihindari lagi). Pada fase ini belum terjadi manifestasi penyakit, tetapi telah terjadi
tingkat perubahan patologis yang siap dideteksi tanda & gejalanya pada tahap berikutnya.
contoh: perubahan aterosklerosis arterio koronaria sebelum seseorang memperlihatkan
tanda dan gejala PJK, perubahan malignasi jaringan, dsb.

c. Fase Klinis

19
Adalah tahap dimana perubahan patologis pada organ telah cukup banyak, sehingga
tanda dan gejala penyakit mulai dapat dideteksi dan telah terjadi manifestasi klinis
penyakit. Pada fase klinis ini juga dipengaruhi oleh faktor pejamu, akses terhadap
pelayanan kesehatan, dan kecermatan diagnosa klinis yang menangani pasien.

Gambar 8.
Fenomena Gunung Es

Pada fenomena gunung es, dapat digambarkan bahwa fenomena kasus penyakit yang
terlaporkan atau terdeteksi oleh fasilitas pelayanan kesehatan layaknya gunung es.
Artinya masih banyak kasus lainnya yang belum terdeteksi / tidak berobat ke fasilitas
pelayanan kesehatan.

d. Fase Terminal/Recovery (penyembuhan , cacat, dan kematian)


Adalah tahap dimana mulai terlihat akibat dari penyakit, yaitu menjadi sembuh spontan,
sembuh dengan terapi, remisi (kambuh), perubahan berat penyakit, cacat, atau kematian.

Beberapa istilah yang digunakan dalam riwayat alamiah penyakit diantaranya, yaitu:
• Susceptible / Rentan : seseorang yang mampu terkena penyakit
• Masa Inkubasi : adalah periode mulai dari paparan Agent sampai timbul gejala
pertama kali. Masa inkubasi penyakit sangat bervariasi, ada penyakit dengan masa
inkubasi sangat singkat dalam hitungan detik, menit atau jam hingga masa inkubasi
dalam hitungan hari, minggu atau tahunan.
• Periode laten : adalah peride antara mulai terjadi paparan sampai pada titik ketika
host dapat menularkan / infeksius
• Masa infeksi: adalah periode ketika host mampu menularkan penyakit
• Periode simptomatik : periode ketika host menunjukan gejala dan tanda penyakit.
• Carriers adalah seseorang yang tidak menunjukkan manisfestasi dari penyakitnya,
tetapi dapat menyebarkan Agent infeksiusnya. Tiga tipe carriers, yaitu: asymtomatik,
prodormal karier, konvalesen karier.

20
4. Ukuran Dasar Epidemiologi (Pengukuran Penyakit Dan Gambaran Penyakit)
Ukuran – ukuran yang digunakan dalam epidemiologis yaitu: (1) Tipe kuantitas matematis
dan (2) Tipe kuantitas epidemiologis.

a. Tipe Kuantitas Matematis


1) Tanpa denominator
Hitungan (enumerasi) atau angka mutlak
Contoh:
Jumlah kasus campak usia <1 tahun sebanyak: 10 kasus
Jumlah kasus keracunan pangan :25 orang
Jumlah balita: 500 balita

2) Dengan denominator
a) Proporsi
Proporsi adalah suatu perbandingan dimana pembilang (numerator) selalu merupakan
bagian dari penyebut (denominator). Proporsi digunakan untuk melihat komposisi suatu
variabel dalam populasinya. Apabila angka dasar (konstanta) yang dipakainya adalah 100,
maka disebut prosentase.
Rumus:
X
X 100%
X+Y

Contoh:
Jumlah kasus TB wanita = 30
Jumlah kasus TB laki – laki = 70

Jumlah kasus TB wanita


X 100%
Jumlah seluruh kasus TB (wanita+pria)

Proporsi kasus TB wanita nya adalah:


30 / 100 x 100% = 30%

b) Rate
Rate adalah ukuran proporsi yang memasukkan unsur periode waktu pengamatan dalam
denominatornya; sehingga ditulis a / [ a+b) x (waktu)].
Rate disebut juga laju. Rate adalah perbandingan antara jumlah suatu kejadian terhadap
jumlah penduduk yang mempunyai risiko terhadap kejadian tersebut menyangkut
interval waktu.
Rate digunakan untuk menyatakan dinamika atau kecepatan kejadian tertentu dalam
suatu masyarakat tertentu pula.
Contoh:

21
Pada tahun 2004, ada 100 kasus demam berdarah di suatu kota yang berpenduduk
1.250.000 orang. Berapa rate kasus demam berdarah di kota itu ?

Rate =
 kasus =
100 kasus
=
1 kasus
 Populasi 1.250.000 orang 12500 orang

Ratedemam berdarah = 8 kasus per 100.000orang

c) Ratio
Ratio merupakan perbandingan antara dua kejadian dimana antara numerator dan
denominator tak ada sangkut pautnya

Contoh:
1) Sex ratio penduduk pria terhadap wanita, misalnya:
Jumlah Penduduk Laki-laki = 120.000 orang
Jumlah Penduduk wanita = 125.000 orang
Berarti rasionya adalah: 120.000 / 125.000 = 0,96 (artinya rasio penduduk laki – laki
dengan penduduk perempuan hampir seimbang (mendekati angka 1).
2) Ratio tenaga kesehatan epidemiolog terhadap jumlah penduduk

b. Tipe kuantitas epidemiologis


Tipe kuantitas epidemiologis dibagi menjadi 3 ukuran, yaitu: (1) Ukuran Frekuensi penyakit,
(2) Ukuran asosiasi dan (3) ukuran dampak.
Dalam modul ini hanya akan dibahas berkaitan dengan ukuran frekuensi penyakit. Ukuran
frekuensi penyakit merefleksikan besar kejadian penyakit (morbiditas) atau kematian
karena penyakit (mortalitas) dalam suatu populasi dan biasanya diukur sebagai suatu rate
atau proporsi. Ukuran frekuensi penyakit dibagi menjadi: (1) Insidens, (2) Prevalens dan (3)
mortalitas.

1) Insidens
Insidens merefleksikan jumlah kasus baru (insiden) yang berkembang dalam suatu periode
waktu di antara populasi yang berisiko. Yang dimaksud kasus baru adalah perubahan status
dari sehat menjadi sakit (kejadian / kasus penyakit yang baru saja memasuki fase klinik
dalam riwayat alamiah penyakit). Sedangkan periode waktu adalah jumlah waktu yang
diamati selama sehat hingga menjadi sakit. Ukuran frekuensi insidensi penyakit dapat
dibedakan menjadi dua macam: (1) Insidens Kumulatif; dan (2) Laju Insidensi (Insidance
Density).

a) Insidens Kumulatif
Nama lainnya adalah risk, proporsi insidens. Insidens kumulatif (cumulative incidence = CI)
adalah parameter yang menunjukkan taksiran probabilitas (risiko , risk) seseorang untuk
terkena penyakit (atau untuk hidup) dalam suatu jangka waktu. Memerlukan bahwa

22
semua non-kasus diamati selama seluruh periode pengamatan.
Insidens kumulatif merupakan proporsi orang yang terkena penyakit diantara semua
orang yang berisiko terkena penyakit tersebut. Karena probabilitas, maka insidens
kumulatif selalu bernilai antara 0 dan 1.
Rumus Insidens Kumulatif:
Jumlah kasus insidens selama periode waktu tertentu
Insidens kumulatif =
Jumlah orang berisiko pada permulaan waktu

Contoh Insidens Kumulatif:


– Attack Rate : jenis khusus insidens kumulatif yang berguna selama epidemik
– Angka kematian kasus ( case fatality “rate” = risk) untuk penyakit, misalanya case fatality
rate penyakit difteri, rabies, dll
– Risiko kejang demam sejak lahir hingga usia 6 tahun
– Probabilitas kelangsungan hidup dalam setahun setelah diagnosis kanker paru

Contoh perhitungan attack rate pada suatu kejadian keracunan pangan, yaitu:

Tabel 1.
Attack Rate Pada Kejadian Keracunan Pangan di Desa XX Puskesmas X Kab Y Pada Tanggal 21
April 2017
Makanan Makan Attack Rate Tidak Makan Attack Rate
Sakit Tidak Makan Sakit Tidak Tidak Makan
sakit Sakit
Ayam opor 30 70 30/100 5 35 5/40
Krecek 16 84 16/100 4 21 4/25
Catatan:
Sumber:
Kegunaan insidens kumulatif adalah: (1) sebagai ukuran alternatif incidence density / laju
insidens dalam mempelajari etiologi penyakit; (2) Mengetahui risiko populasi untuk
mengalami prognosis penyakit; (3) Mengetahui kelompok –kelompok dalam populasi
yang memerlukan intervensi kesehatan.

2) Prevalens
Prevalens merefleksikan jumlah kasus yang ada (kasus lama maupun kasus baru) dalam
populasi dalam suatu waktu atau periode waktu tertentu .
Prevalens juga merupakan probabilitas bahwa seorang individu menjadi kasus (atau menjadi
sakit) dalam waktu atau periode waktu tertentu.
Prevalensi adalah proporsi individu – individu yang berpenyakit dari suatu populasi, pada
satu titik waktu atau periode waktu. Ada dua jenis prevalensi: (1) prevalensi titik, dan (2)
prevalensi periode

a) Prevalensi Titik
adalah proporsi dari individu – individu dalam populasi yang terjangkit penyakit pada
suatu titik waktu.

23
Rumus prevalensi titik:

Misalnya dalam suatu survei kecacingan dari 5000 siswa SD di Kabupaten X


diketemukan 3500 feses siswa mengandung cacing ascaris lumbricoides , sehingga
prevalens titiknya yaitu : 3500 / 5000 = 70%

b) Prevalens Periode
merupakan perpaduan prevalensi titik dan insidensi. Prevalensi periode adalah
probabilitas individu dari populasi untuk terkena penyakit pada saat dimulainya
pengamatan, atau selama jangka waktu pengamatan.

Rumus prevalens periode:

Tabel 2.
Perbandingan Insidens dan Prevalens
INSIDENS PREVALENS
• Hanya menghitung • Menghitung kasus yang
kasus baru ada (kasus lama dan
• Tingkat tidak baru)
bergantung durasi rata- • Bergantung pada rata-
rata penyakit rata (durasi) sakit
• Dapat diukur sebagai • Selalu diukur sebagai
rate atau proporsi proporsi
• Merefleksikan • Merefleksikan
kemungkinan menjadi kemungkinan terjadi
penyakit sepanjang penyakit pada satu
waktu waktu tertentu
• Lebih disukai bila • Lebih disukai bila studi
melakukan studi etiologi utilisasi pelayanan
penyakit kesehatan.

Tabel 3.
Ringkasan Karakteristik Insidens dan Prevalens

24
Insidens Prevalens

Karakteristik Insidens Insidens


Titik Periode
Komulatif Rate

Sinonim Proporsi Inscidence


Insdens Density
Numerator Kasus baru Kasus baru Kasus Kasus yang
yang ada ada / baru
Denominator Populasi Orang - populasi Populasi
inisial waktu inisial pertengaha
n
Unit Tidak ada Kasus per Tidak ada Tidak ada
orang
waktu
Tipe Proporsi Rate Proporsi Proporsi

3) Mortalitas
Merefleksikan jumlah kematian dalam suatu populasi
a) Angka Kematian Kasar (Crude Death Rate = CDR)
Rumus CDR:
Jumlah kematian per tahun
Jumlah Populasi rata – rata pada tahun itu X 100

b) Case Fatality Rate (CFR)

Jumlah kematian penyakit tertentu


dalam periode tertentu
X 100
Jumlah penderita penyakit tersebut
dalam periode waktu yang sama

Gambar 9.
Ringkasan Ukuran dalam Epidemiologi

25
Gambar 10.
Ringkasan Ukuran dalam Epidemiologi
Tipe Kuantitas Matematis

Gambar 11.
Ringkasan Ukuran dalam Epidemiologi
Ukuran Frekuensi Penyakit

LATIHAN MATERI 2

26
Latihan perhitungan ukuran
epidemiologi, tipe kuantitas matematis
dan ukuran frekuensi penyakit

Diketahui data di Puskesmas X pada Kecamatan A dan Kecamatan B


KECAMATAN
NO URAIAN
A B
1 JUMLAH PENDUDUK 24.500 35.000
2 JUMLAH LAKI - LAKI 12.000 10.000
3 JUMLAH PEREMPUAN 12.500 25.000
4 JUMLAH MENINGGAL 20 50
5 JUMLAH KELAHIRAN HIDUP 2.400 3.000
6 JUMLAH BAYI (< 1 TH YG MENINGGAL 5 10
7 JUMLAH KEMATIAN NEONATAL (< 28 HR) 10 25
8 KASUS TB PARU 150 110
9 KASUS TB PARU MENINGGAL 10 15
10 JUMLAH KEMATIAN IBU MATERNAL 5 15
11 JUMLAH PENDERITA STROKE LAKI - LAKI 40 55
12 JUMLAH PENDERITA STROKE PEREMPUAN 35 40
13 JUMLAH PENDERITA STROKE MENINGGAL 5 10

INSTRUKSI:
1. Peserta secara berkelompok (5 kelompok) melakukan perhitungan ukuran epidemiologi, tipe
kuantitas matematis dan ukuran frekuensi penyakit pada data yang diberikan diatas, yaitu:
1) Hitung proporsi penduduk laki – laki di Kecamatan A & B
2) Hitung proporsi penduduk perempuan di Kecamatan A & B
3) Rasio jumlah penduduk laki - laki terhadap perempuan di Kecamatan A & B
4) Angka kematian kasar di Kecamatan A & B
5) Tingkat kematian bayi (< 1 th) di Kecamatan A & B
6) Tingkat kematian neonatal di Kecamatan A & B
7) CFR TB paru di Kecamatan A & B
8) Tingkat kematian ibu maternal di Kecamatan A & B
9) Proporsi penderita stroke laki – laki di Kecamatan A & B
10) Rasio penderita stroke laki - laki terhadap perempuan di Kecamatan A & B
11) CFR penderita stroke di Kecamatan A & B
12) Insiden komulatif penderita stroke di Kecamatan A & B

2. Peserta menuliskan jawaban pada format table dan mempresntasikan hasilnya dalam 1 slide
power point

27
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan RI. (2003). Panduan Praktis Surveilans Epidemiologi Penyakit (PEP). Edisi
I. Jakarta.
Gestman, B. Burt. (2003). Epidemiology Kept Simple: An Introduction to Traditional and Modern
Epidemiology (2nd Ed). New Jersey: Wiley-Liss.
Imari, Sholah. (2011). Surveilans Epidemiologi; Prinsip, Aplikasi, Manajemen Penyelenggaraan dan
Evaluasi Sistem Surveilans. FETP-Kementerian Kesehatan RI – WHO. Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. (2014). Peraturan Menteri Kesehatan nomor: 45 tahun 2014
tentang Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan. Jakarta.
Murti, Bhisma. (1997). Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Cetakan Pertama. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Romaguera, R.A., German, R.R., Klauke, D.N., 2000. Evaluating Public Health Surveilans; Principles
and Practice of Public Health Surveillance. Second Edition. Oxford University Press.
Swarjana, I Ketut. (2016): Statistik Kesehatan. Edisi 1. Yogyakarta

U.S. Departement of Health and Human Services; CDC: Principles of Epidemiology in Public Health
Practice ; an Introduction to Applied Epidemiology and Biostatistics. Third Edition. Atlanta.

28
DAFTAR ISI

DESKRIPSI SINGKAT ............................................................................................................................. 2


TUJUAN PEMBELAJARAN ................................................................................................................... 3
A. Tujuan Pembelajaran Umum ....................................................................... 3
B. Tujuan Pembelajaran Khusus .................................................................................................... 3
URAIAN MATERI .......................................................................................................................................
A. Pengumpulan Data....................................................................................................................... 5
1. Kualitas Pengumpulan Data ...................................................................................................... 5
2. Sumber Data .............................................................................................................................. 6
3. Jenis Data.................................................................................................................................... 6
4. Cara Pengumpulan Data ............................................................................................................. 7
5. Instrumen dan Metode Pengumpulan Data ......................................................................... 7
6. Waktu Pengumpulan Data .................................................................................................... 9
7. Sifat dan Skala Data ...................................................................................................................... 9
8. Level Pengukuran Data .............................................................................................................11
LATIHAN MATERI 1

B. Pengolahan Data................................................................................................................... 14
1. Tujuan Pengolahan data ....................................................................................................... 14
2. Langkah – Langkah Pengolahan Data...................................................................................15
3. Penyajian Data .............................................................................................................................19
LATIHAN MATERI 2

C. Analisis Data ................................................................................................................ 38


LATIHAN MATERI 3

D. Diseminasi informasi (Catatan Pelaporan Surveilans).......................................... 51


LATIHAN MATERI 2
INTRUKSI
REFERENSI

LAMPIRAN - LAMPIRAN

1
MODUL INTI 2
MANAJEMEN DATA SURVEILANS EPIDEMIOLOGI

I. DESKRIPSI SINGKAT

Manajemen data surveilans epidemiologi merupakan rangkaian kegiatan pengolahan data


surveilans mulai dari kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis data hingga menjadi
suatu informasi. Setiap tahapan kegiatan menajemen data surveilans memiliki keterkaitan
yang sangat erat dan masing – masing mempunyai andil yang cukup penting dalam
menghasilkan informasi yang berkualitas.

Bila petugas Puskesmas tidak menguasai modul manajemen data surveilans ini, maka
kemungkinan akan berdampak rendahnya mutu kualitas data dan informasi yang
dihasilkannya di Puskesmas.

Modul ini akan membantu Anda petugas Puskesmas melakukan manajemen data di
Puskesmas tempat Anda bertugas. Modul ini diharapkan dapat melatih Anda
menghasilkan informasi data surveilans yang berkualitas pada setiap tahapan proses
menajemen data di Puskesmas.

Selamat Belajar !!!

2
II. TUJUAN PEMBELAJARAN
A. Tujuan Pembelajaran Umum
Setelah mengikuti pembelajaran, peserta mampu melakukan manajemen data surveilans
epidemiologi

B. Tujuan Pembelajaran Khusus:


Setelah mengikuti pembelajaran, peserta dapat:
1. Melakukan pengumpulan data
2. Melakukan pengolahan data
3. Melakukan analisis data
4. Melakukan diseminasi informasi

III. POKOK BAHASAN


A. Pengumpulan Data
1. Kualitas Pengumpulan data
2. Sumber Data
3. Jenis Data
a. Data Primer
b. Data Sekunder
4. Cara Pengumpulan Data
a. Aktif
b. Pasif
5. Instrumen dan Metode Pengumpulan Data
a. Pengukuran Fisiologis
b. Observasional
c. Wawancara
d. Kuesioner
e. Focus Group Discussion
f. Catatan atau dokumen lainnya
6. Waktu Pengumpulan Data
7. Sifat dan Skala Data
a. Sifat Data
b. Skala Data
8. Level Pengukuran Data
a. Scale of Continuous
b. Ordinal
c. Nominal

B. Pengolahan data
1. Tujuan Pengolahan Data
a. Kompilasi / Perekaman Data

3
b. Verifikasi Data
c. Transformasi / Manipulasi Data
2. Langkah – Langkah Pengolahan Data
a. Melakukan Edit (Editing)
b. Pemberian Kode (Koding)
c. Melakukan Tabulasi (Tabulating)
3. Penyajian data
a. Penyajian Data Menggunakan Teks
b. Penyajian Data Menggunakan Tabel
c. Penyajian Data Menggunakan Grafik atau Gambar

C. Analisis data
1. Analisis Deskriptif
2. Analisis Analitik
3. Interpretasi Data

D. Diseminasi informasi (Catatan Pelaporan Surveilans)

4
IV.URAIAN MATERI
POKOK BAHASAN 1
A. PENGUMPULAN DATA
1. Kualitas Pengumpulan data
Tahapan pengumpulan data merupakan tahapan yang paling menentukan
terhadap arah manajemen data selanjutnya, sehingga dalam proses
pengumpulannya diharapkan dapat menghasilkan data yang berkualitas, yaitu
data yang relevan (sesuai dengan tujuan pengumpulan data), valid (terbebas dari
kesalahan ekternal dan internal), reliabel (konsistensi hasil suatu alat menurut
waktu dan orang), lengkap dan tepat waktu.
Validitas adalah kemampuan sebuah tes untuk mengukur apa yang seharusnya
diukur. Sebagai contoh, bila penelitian tentang berat badan, maka alat ukur yang
valid adalah alat ukur yang mampu mengukur berat badan tersebut, yaitu
timbangan berat badan. Bruce (2008) menyebutkan bahwa validitas merupakan
kapasitas sebuah tes, intrumen atau pertanyaan untuk memberikan hasil yang
benar.

Reliabilitas berarti sejauh mana alat ukur mampu menghasilkan nilai yang sama
atau konsisten walaupun dilakukan pengukuran berulang atau beberapa kali
pengukuran pada subyek dan aspek yang sama, selama aspek dalam subyek
tersebut memang belum berubah.

a. Kelengkapan Data
Tingkat kelengkapan data yang sudah terkumpul harus jelas, karena menyangkut
bobot terhadap informasi yang dihasilkan. Semakin lengkap data terkumpul akan
semakin representatif untuk memberi gambaran sebenarnya, namun hal ini sangat
tidak mungkin. Beberapa ahli berpendapat bahwa angka 80% secara umum sudah
dapat mewakili, kecuali untuk data yang sifatnya khusus dengan kelengkapan
harus 100%. Kelengkapan data yang dimaksudkan disini mencakup isi laporan
(item pelaporan), semua jenis kegiatan, unit pelapor wilayah kerja.
Dengan adanya informasi tingkat kelengkapan data yang dikumpulkan, kita dapat
memperkirakan sejauh mana data yang diperoleh dapat mewakili atau memberi
gambaran keadaan yang sebenarnya.

b. Ketepatan Waktu
Semakin cepat data diperoleh maka akan semakin cepat pula kita dapat
mengetahui atau mendeteksi permasalahan yang dihadapi. Biasanya untuk
permasalahan yang sifatnya urgen dan memerlukan tindakan segera maka
ketepatan waktu penerimaan data sifatnya mutlak; karena bila terlambat
permaslahannya dikhawatirkan akan meluas dan mengancam banyak orang.
Misalnya pada peristiwa Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit tertentu yang

5
berpotensi menyebar secara luas dan cepat, maka semakin cepat data yang tersaji
maka akan semakin cepat upaya untuk mengendalikan penyebaran ataupun
pemutusan rantai penularannya.

2. Sumber Data
Secara umum data kesehatan yang dikumpulkan dapat dikelompokan ke dalam
tiga sumber utama, yaitu bersumber pada masyarakat (Community base),
bersumber pada fasilitas kesehatan (facility base) dan dari sektor – sektor diluar
kesehatan (kependudukan, BMKG, peternakan, dll). Untuk yang berbasis pada
masyarakat biasanya diperoleh melalui berbagai kegiatan riset yang dilakukan
sesuai dengan kebutuhan, ataupun berita rumor kejadian di masyarakat (dugaan
kejadian luar biasa penyakit / keracunan). Sedangkan data kesehatan yang berasal
dari fasilitas kesehatan diperoleh melalui berbagai kegiatan program yang
dikerjakan secara rutin (misalnya: hasil diagnosis, pemberian pelayanan, dll).

3. Jenis Data
a. Data Primer
Data primer adalah data yang didapatkan secara langsung melalui sumber
utamnya. Misalnya: kalau seorang peneliti ingin mengetahui berat badan
responden, maka peneliti tersebut langsung melakukan pengukuran berat badan
responden tersebut.

b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang didapatkan melalui pihak tertentu atau pihak lain,
dimana data tersebut umumnya telah diolah oleh pihak tersebut. Misalnya:
peneliti ingin mengetahui kadar Hb ibu hamil di Desa A, maka peneliti tersebut
dapat mendatangi puskesmas yang mewilayahi desa tersebut untuk mendapatkan
data Hb ibu hamil yang ada di desa tersebut. Umumnya, puskesmas telah memiliki
data tersebut karena setiap ibu hamil diperiksa Hb – nya dan tercatat di
puskesmas.

4. Cara Pengumpulan Data


a. Aktif
Pengumpulan data secara aktif yaitu mengumpulkan data secara rutin dari
sumber data dan tanya jawab dengan menggunakan kuesioner atau format
furmulir.

b. Pasif
Yaitu dengan menerima data dan informasi dari sumber data.

5. Instrumen dan Metode Pengumpulan Data


a. Pengukuran Fisiologis

6
Pengukuran dengan metode fisiologis atau biologis sebetulnya sangat umum
dilakukan, terutama pada tatanan nyata pelayanan kesehatan, baik di klinik,
rumah sakit maupun puskesmas. Metode ini sering digunakan oleh perawat, bidan
maupun dokter saat melakukan pemeriksaan kesehatan pasiennya. Beberapa
contoh pengukurannya (data) seperti pengukuran tekan darah, nadi, suhu tubuh,
berat badan, dll.

Keuntungan penggunaan metode ini adalah aspek obyektifitas, presisi, dan


sensitivitas dengan syarat alat pengumpulan data ini telah dilakukan kaliberasi.

b. Observasional
Salah satu metode pengumpulan data yang umum digunakan yaitu metode
observasi. Misalnya: petugas melakukan observasi pada pola perilaku / kebiasaan
masyarakat di daerah endemis DBD, pola perilaku higeine sanitasi pengolahan
penjaja makanan jajanan, observasi pemberian pengobatan kasus tertentu,
obervasi teknik pengambilan spesimen, dll.
Observasi dapat dilakukan secara terstruktur maupun secara tidak terstruktur.

c. Wawancara
Wawancara merupakan metode pengumpulan data dalam bentuk personal yang
dilaksanakan oleh pewawancara yang telah terlatih (Swarjana, 2013). Interview
atau wawancara ini dapat dilaksanakan di banyak tempat, misalnya: di ruang
periksa atau rawat inap pasien, di lokasi KLB penyakit/keracunan, di rumah
kontak kasus difteri, di sekolah, tempat kerja kasus dan kontak, atau tempat
lainnya yang kondusif untuk dilaksanakannya interview.
Pengumpulan data melalui interview umumnya dapat dibagi mejadi tiga, yaitu:
personal interview, telephone interview, dan group interview.
Metode interview juga dapat dibedakan berdasarkan jenis pertanyaanya, yaitu:
structured interview dan unstructured interview

d. Kuesioner
Kuesioner adalah sederet pertanyaan – pertanyaan yang telah disiapkan oleh
peneliti yang akan digunakan sebagai alat untuk mengumpulkan data penelitian
(Swajarna, 2016). Pertanyaan pada kuesioner yang digunakan sangat beragam
diantaranya: Pertanyaan yang bersifat tertutup, pertanyaan terbuka dan
pertanyaan setengah terbuka.
Macam – macam kuesioner:
1) Kuesiner tertutup
Setiap pertanyaan telah disertai sejumlah pilihan jawaban, responden hanya
memilih jawaban yang paling sesuai

2) Kuesioner terbuka

7
Dimana tidak terdapat pilihan jawaban sehingga responden harus
memformulasikan jawabannya sendiri

3) Kuesioner kominasi terbuka dan tertutup


Dimana pertanyaan tertutup, kemudian disusul dengan pertanyaan terbuka

4) Kuesioner semi terbuka


Pertanyaan yang jawabannya telah tersusun rapi, tetapi masih ada
kemungkinan tambahan jawaban

Penggunaan kuesioner umumnya menggunakan kuesioner yang sudah baku atau


yang telah melewati uji validitas dan reliabilitas.

e. Focus Group Discussion


Salah satu metode untuk mengumpulkan data melalui diskusi terpusat (Focus
Group Discussion) yaitu upaya menemukan makna dari sebuah isu oleh sekelompok
orang lewat diskusi untuk menghindari dari pemaknaan yang salah oleh seorang
peneliti atau petugas surveilans. Misalnya, mendiskusikan tentang KLB Difteri
yang terus menerus terjadi di wilayah tertentu, maka dibentuk kelompok diskusi
atas beberapa orang untuk mengkaji permaslahan tersebut, dengan harapan
diperoleh hasil pemaknaan (data) yang lebih objektif.

f. Catatan atau dokumen lainnya


Selain empat metode pengumpulan data tersebut di atas, data surveilans juga
dimungkinkan untuk dikumpulkan atau diperoleh melalui catatan – catatan atau
dokumen – dokumen lainnya (catatan rekam medis, kartu menuju sehat / KMS
bayi, KMS ibu hamil, catatn suhu lemari pendingin vaksin, catatan ketersediaan
vaksin, laporan program, arsip foto, jurnal, catatan harian dll)

6. Waktu Pengumpulan Data


Dalam bidang kesehatan penerimaan data biasanya dikaitkan dengan periodesasi
pelaporan, diantaranya sifatnya laporan 24 jam, mingguan, bulanan, triwulan atau
tahunan yang waktunya telah ditentukan sesuai dengan kesepakatan.

7. Sifat dan Skala Data


a. Sifat Data Kategorikal dan Numerikal
1) Data Kategorikal;
Dalam sebuah penelitian atau data kesehatan dan surveilans, tidak jarang
ditemukan data yang bersifat kategorikal atau data kualitatif. Misalnya: baik –
buruk, sehat – sakit, positif – negatif, memenuhi syarat – tidak memenuhi
syarat, diimunisai – tidak diimunisasi, ada riwayat kontak – tidak ada kontak,
hunian padat –tidak padat, hipertensi – tidak hipertensi, dll

8
2) Data Numerikal;
Data numerikal merupakan data yang bersifat numerik atau berupa angka.
Misalnya angka atau data berat badan, tinggi badan, sistole – diastole, kadar
Hb, kadar gula darah sewaktu, kadar kolesterol, kadar hematrokrit, kadar
leukosit, IMT, suhu badan, angka kebisingan, dll.
Data numerikal ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

a) Data Deskrit
Data deskrit merupakan data mumerik yang hanya memiliki angka atau
bilangan bulat mulai dari satu dan seterusnya
Contoh:
Puskesmas A saat ini memiliki tenaga kesehatan yang terdiri dari: 2 orang
epidemiolog kesehatan, 2 orang dokter, dan 10 perawat. Tidak mungkin
mengatakan: 2,5 orang epidemiolog kesehatan, 2,7 dokter dan 10,
perawat.

b) Data Kontinu
Data kontinu merupakan data numerik hasil pengukuran yang selalu ada
diantara dua angka.
Contoh:
Hasil pengukuran berat badan balita pada kejadian KLB Campak di Desa A,
yaitu:
Balita 1 : 15 kg
Balita 2 : 17 kg
Balita 3 : 15,52 kg
Balita 4 : 17,54 Kg
Balita 5 : 18 kg
dst

b. Skala Data
Salah satu data yang paling umum digunakan dalam penelitian / pengolahan dan
analisa data adalah data yang dibedakan berdasarkan skalanya. Dalam statistik
dikenal adanya data yang bersifat kategorikal, (nominal dan ordinal), serta data
numerik (interval dan rasio) atau dikenal juga dengan data kontimu dan diskrit.
1) Data Nominal
Berikut adalah beberapa ciri dari data yang berskala nominal:
• Merupakan kualitatif atau bukan berupa angka
• Data tidak dapat kuantifisir (tidak bisa dikali, dibagi, ditambah, dikurangi)
• Bersifat kategorikal bukan numerikal
• Berkaitan dengan “name”
• Data merupakan unordered atau tidak berjenjang
• Data nominal merupakan data yang berada pada level yang sama.
• Digunakan terutama untuk statistik non parametrik
9
Contoh data skala nominal:
Jenis kelamin : (laki – laki – perempuan)
Agama : (Islam, Kristen, Budha, Hindu, dll)
Golongan darah : (A, B, AB, O)

2) Data Ordinal
Beberapa ciri dari data ordinal, yaitu:
• Merupakan data kualitatif
• Data tidak dapat kuantifisir (tidak bisa dikali, dibagi, ditambah, dikurangi)
• Merujuk pada ordered atau “rank” atau berjenjang
• Data yang satu dengan yang lainnya tidak se-level, yang satu lebih tinggi
atau lebih rendah dari yang lain.
• Jenjang dapat diurutkan dari yang paling rendah ke yang paling tiniggi atau
sebaliknya atau dikenal juga dengan “ranked data”.
Contoh:
Tingkat pendidikan: rendah, sedang, tinggi
Tingkat pendapatan : rendah, sedang, tinggi
Tingkat pengetahuan ibu tentang manfaat vaksinasi dasar : rendah, sedang,
tinggi.

3) Data Interval
Beberapa ciri dari data interval, yaitu:
• Merupakan data kuantitatif
• Data dapat dikuantifisir (dikali, dibagi, ditambah, dikurangi)
• Data bersifat numerik
• Tidak memiliki nol absolut, artinya dimungkinkan untuk memiliki nilai nol
atau bahkan di bawah nol atau minus
Contoh data skala interval:
Suhu.

4) Data Rasio
Beberapa ciri dari data rasio, yaitu:
• Merupakan data kuantitatif
• Data dapat dikuantifisir (dikali, dibagi, ditambah, dikurangi)
• Data bersifat numerik
• Memiliki nol absolut, artinya tidak memiliki nilai nol atau nilai di bawah nol.
Contoh:
Berat badan, tinggi badan, kadar Hb, dlll

8. Level Pengukuran Data


a. Scale of Continuous

10
Skala pengukuran ini dikenal sebagai level tertinggi (the hingest level) dan
independent scale. Misalnya data tentang berat badan (kg), tinggi badan (cm),
jumlah eritrosit, leuikosit, dan lain – lain. Dengan demikian apabila memungkinkan
sebaiknya carilah data scale atau kontinu dibandingan dengan data ordinal atau
nominal

b. Ordinal
Data ordinal ini dikenal sebagai the next level atau second level. Data ini
merupakan data rangking dan tidak termasuk independent measurement, sehingga
data ini dikatakan lebih rendah dibandingkan dengan data scale atau kontinu.
Contohnya adalah tingkat kecemasan, tingkat nyeri, dll.

c. Nominal
Data nominal dikenal sebagai the lowest atau level yang pengukuran datanya
paling rendah. Data ini juga dikenal sebagai data kualitatif. Contohnya data jenis
kelamin (laki – perempuan), golongan darah (A, B, AB, O), an lain – lain.

11
LATIHAN MATERI 1
Menelaah instrumen pengumpulan dan
pelaporan data yang sudah ada dari
pelaporan:
1. Kasus campak
2. Keracunan Pangan
3. Kasus Difteri
4. Kasus DBD
5. Keluarga Sejahtera

INSTRUKSI:
1. Kerjakan secara berkelompok (5 kelompok)
2. Dari format instrumen data tersebut, identifikasi (uraikan) kualitas data yang
diperlukan, sumber data, sifat data, cara pengumpulan data, metode pengumpulan data,
waktu pelaporan, skala data.
3. Tuliskan hasil diskusi ke dalam format power point dan masing – masing kelompok
mempresentasikannya

Apa yang Anda dapat simpulkan dari latihan tersebut ?

12
POKOK BAHASAN 2
B. PENGOLAHAN DATA
Data dikumpulkan melalui proses pengumpulan data. Data yang terkumpul
tersebut tidak bisa secara otomatis dianalisis. Untuk dapat menganalisis data,
diperlukan pengolahan data secara cermat melalui proses atau tahapan. Tahapan
ini dimaksudkan untuk menyiapkan data agar data dapat ditangani dengan mudah
saat analisis, serta terbebas dari berbagai kesalahan yang dilakukan pada saat
pengumpulan dan perekaman data. Pengolahan data merupakan landasan atau
dasar dari tahapan kegiatan analisis berikutnya, sehingga dalam proses
pengolahan data ini diperlukan ketekunan sekaligus kejujuran dalam men-sikapi
hasil yang diperoleh.
Bila hasil pengolahan data menunjukkan adanya inkonsistensi, kita perlu
melakukan pelacakan untuk mencari kejelasan atas terjadinya inkonsistensi
tersebut, sekaligus berupaya mencari terapi untuk menjaga konsistensinya,
misalnya melihat data dasarnya, melakukan klarifikasi pada sumbernya, dsb.

Secara garis besar pengolahan data dapat dilakukan secara manual atau
komputerisasi dengan menggunakan software tertentu bergantung pada tujuan
pengolahannya.
1. Tujuan Pengolahan Data
a. Kompilasi / Perekaman Data
Proses kompilasi/perekaman data sebagian tahap awal pemrosesan data baik
secara manual maupun komputer. Langkah awal dari tahapan ini adalah
melakukan perhitungan data sesuai dengan karakteristik yang diinginkan.

b. Verifikasi Data
Langkah ini dimaksudkan untuk menjamin agar data yang telah dikompilasikan
telah terbebas dari kesalahan dan semaksimal mungkin validitasnya bisa dijamin.
Kegiatan ini dimulai dengan pembersihan data yang sebaiknya dilakukan sejak
penjumlahan data dari buku register, bila pada tahapan ini dijumpai adanya
kejanggalan nilai yang dihasilkan maka perlu segera dilakukan koreksi untuk
kegiatan perekaman data,
Verifikasi data dilakukan setelah proses kompilasi/perekaman selesai dikerjakan
untuk melihat tingkat “missing data” dan konsistensinya. Kegiatan ini biasanya
dilakukan dengan cara membuat distribusi frekuensi dari variabel yang hendak
dinilai menurut beberapa karakteristiknya.
Bila hasil verifikasi diatas semua data sudah konsisten, dapat dinyatakan bahwa
data siap untuk dilakukan proses selanjutnya. Namun bila ada dari verifikasi masih
dijumpai adanya inkonsistensi, maka perlu dilakukan pengecekan ulang terhadap
kelengkapan datanya, perhitungannya, data dasar (sumber datanya),
pertimbangkan ratio pemakaian sarana/ bahan

13
c. Transformasi / Manipulasi Data
Transformasi / manipulasi data adalah mengubah bentuk nilai – nilai variabel awal
menjadi bentuk baru sesuai dengan rencana analisis, sedangkan nilai variabel
aslinya masih ada.
Pengubah variabel ke dalam bentuk baru tersebut, sedapat mungkin menjaga
aspek ilmiahnya, antara lain dengan menggunakan ukuran “Gold Standart” (standar
emas) yang merupakan kesepakan para ahli atau kegiatan ilmiah sebelumnya. Jika
nilai Gold Standart tidak didapatkan, maka kita dapat menetapkan nilai standar
sendiri dengan menguraikan justifikasinya.

2. Langkah – Langkah Pengolahan Data


Proses pengolahan data tersebut dapat dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu
tahap editing, coding dan tabulating.
a. Melakukan Edit (Editing)
Tahap editing adalah tahap pertama dalam pengolahan data penelitian atau data
statistik kesehatan. Sebelum data diolah, data tersebut perlu diedit lebih dahulu.
Apa itu editing? Editing disini dapat dikatakan sebagai memanipulasi data sehingga
menjadi lebih baik sesuai harapan peneliti. Arti kata memanipulasi jangan
ditafsirkan sebagai kata yang negatif. Memanipulasi disini bisa seperti merubah
tata letak, cara penulisan, susunan paragraf, maupun merubah kata-kata yang
kurang baik menjadi baik.
Editing merupakan proses memeriksa data yang telah dikumpulkan melalui alat
pengumpul data (buku catatan, daftar pertanyaan, format laporan, kuisioner, dll),
sebelum data diolah.
Pada tahap editing ini yaitu melengkapi data yang kurang dan memperbaiki atau
mengkoreksi data yang sebelumnya belum jelas. Editing dikategorikan sebagai
proses kerja yang dibutuhkan sebelum data ditabulasi dan dianalisis secara
statistik (Chandan, 2009).

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengedit data:


1) Apakah data sudah lengkap dan sempurna atau masih ada yang kurang/kosong.
2) Apakah data sudah cukup jelas untuk dibaca atau masih ada kesalahan / kurang
jelas
3) Apakah semua catatan dapat dipahami
4) Apakah semua data sudah cukup konsisten (sesuai yang diinginkan)
5) Apakah data cukup seragam (misalnya satuan yang digunakan)
6) Apakah ada data yang tidak sesuai atau data yang ekstrim.

Catatan peneliti / petugas surveilans harus sempurna dalam pengertian bahwa


semua kolom atau pertanyaan / format pengumpulan data harus terjawab atau
terisi. Jangan ada satu pun dari jawaban dibiarkan kosong. Peneliti / petugas
surveilans harus bisa mengenal dan mengetahui data yang kosong, apakah
14
responden tidak mau menjawab, atau pertanyaanya yang kurang dipahami
responden. Dalam mengedit data, hal-hal di atas harus diperjelas, dan jangan
sampai ada satupun pertanyaan ataupun pernyataan atau catatan / format yang
kosong tidak terjawab / terisi. Jawaban atau catatan yang kosong harus
disempurnakan dalam mengedit data.
Harus dilihat apakah catatan dapat dibaca atau tidak. Segala coret-coret harus
diperjelas, segala kata-kata atau kalimat sandi harus diperjelas, baik kalimat
ataupun huruf serta angka. Dalam mengedit, memperjelas catatan supaya dapat
dibaca merupakan hal yang perlu sekali dikerjakan untuk menghilangkan keragu-
raguan kemudian. Pekerjaan mengedit juga termasuk mengubah kependekan-
kependekan yang dibuat menjadi kata-kata atau kalimat yang penuh. Kependekan
hanya dapat dimengerti oleh peneliti atau pencatat data dan belum tentu dapat
dimengerti oleh pembuat kode. Karena itu, segala kalimat atau kata-kata yang
dipendekkan, ataupun angka yang dipendekkan, perlu diperjelas.
Mengedit juga berarti melihat apakah data konsisten atau tidak. Jika ditemukan
data tentang dosis vaksin campak imunisasi balita yang tidak cocok dengan status
imunisasi balita, maka carilah penyebab kesalahan tersebut! Apakah ada
kesalahan dalam mencatat? Atau kesalahpahaman responden dalam menjawab
pertanyaan? Juga perlu dicek, apakah instruksi dalam daftar pertanyaan diikuti
secara seksama oleh responden atau tidak?.
Jika dalam jawaban sebenarnya diinginkan supaya berat dinyatakan dalam kg,
sedangkan data yang tercatat mempunyai unit gram, maka jawaban tersebut
harus diubah ke dalam unit yang dimintakan (kg).
Jika dalam record book, kolom harus diisi dengan unit tanggal/bulan/tahun timbul
rush pada KLB campak, sedangkan tertulis dengan unit minggu epidemiologi,
maka jawaban harus diperbaiki menjadi unit tanggal - bulan - tahun. Dengan
perkataan lain, catatan atau jawaban harus dicek uniformitasnya.
Dalam mengedit, juga perlu dicek pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya tidak
cocok. Jika banyak jawaban pertanyaan yang tidak sesuai, maka daftar pertanyaan
tersebut perlu dikumpulkan, dan harus diklasifikasikan dalam satu kelompok. Jika
hanya beberapa saja yang tidak cocok, maka hal ini merupakan kesalahan peneliti
dan perlu diperbaiki. Perlu juga diperingatkan, jangan sekali-kali mengganti
jawaban, angka, ataupun pertanyaan-pertanyaan dengan maksud membuat data
tersebut sesuai, konsisten, dan cocok untuk maksud tertentu. Menggantikan data
orisinal demi mencocokkan dengan sesuatu keinginan peneliti, berarti melanggar
prinsip-prinsip kejujuran intelektual (intellectual honesty).

b. Pemberian Kode (Coding)


Kegiatan peng-kode-an terhadap data sehingga memudahkan untuk dilakukan
analisis data. Data yang dikumpulkan dapat berupa angka, kalimat pendek atau
panjang, ataupun hanya jawaban “ya” atau “tidak”. Untuk memudahkan analisis,
maka jawaban-jawaban tersebut perlu diberi kode. Pemberian kode-kode kepada
jawaban sangat penting artinya jika pengelolaan data dilakukan dengan komputer.
15
Mengkode jawaban adalah menaruh angka pada tiap jawaban.
1) Kode dan jenis Pertanyaan /Pernyataan
Pemberian kode dapat dilakukan dengan melihat jenis pertanyaan, jawaban atau
pernyataan. Dalam hal ini dapat dibedakan atas Jawaban yang berupa angka.
Jawaban dari peranyaan tertutup, jawaban dari pertanyaan semi terbuka,
jawaban pertanyaan terbuka dan jawaban pertanyaan kombinasi.

2) Tempat Kode
Kode dapat dibuat pada IBM coding sheet, pada kartu tabulasi ataupun pada
daftar pertanyaan itu sendiri. Jika data ingin diolah dengan computer, maka kode
harus dibuat pada coding sheet.
Coding dapat dilakukan sebelum atau sesudah pengumpulan data dilakukan.
Untuk keperluan tertentu, coding dalam jumlah yang banyak perlu dibuatkan
buku kode sebagai petunjuk peng-kode-an.
Contoh:
Coding variabel jenis kelamin:
• Laki-laki, diberikan kode : 1
• Perempuan, diberikan kode : 2

Coding variabel status imunisasi campak:


• Diimunisasi campak, diberikan kode : 1
• Tidak diimunisasi campak, diberikan kode : 0

c. Melakukan Tabulasi (Tabulating)


Tahap berikutnya dalam pengolahan data adalah tabulating atau penyusunan
data. Tabulating yaitu kegiatan untuk membuat tabel (tabulasi) data.

Tabulasi data tidak lain adalah memasukkan data ke dalam tabel – tabel dan
mengatur angka – angka, atau menyajikan data dalam bentuk tabel untuk
memudahkan analisis maupun pelaporan.
Penyusunan data ini menjadi sangat penting karena akan mempermudah dalam
analisis data secara statistik, baik menggunakan statistik deskriptif maupun
analisis dengan statistik inferensial.
Tabulasi dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain:
1) Metode Tally (turus), yaitu dengan membuat coretan garis tegak sebanyak 4
buah dan diikuti garis melintang yang memotong keempat garis tegak (cross
five).
2) Menggunakan kartu, yaitu dengan menggunakan kartu tanpa lubang atau
dengan kartu berlubang.
3) Menggunakan komputer
Cara ini adalah yang paling umum digunakan saat ini. Tabulasi menggunakan
komputer ini merupakan metode tabulasi dengan memasukkan data yang telah
diberi kode tertentu (untuk kategorikal) atau langsung memasukan angka yang
16
sudah ada (bila data bersifat numerik). Ada beberapa cara yang dapat
digunakan untuk melakukan tabulasi data yang lebih dikenal sebagai data entry.
Misalnya dengan menggunakan Microsoft Excel, SPSS, STATA, dll.

Tabel terdiri dari kolom dan baris (jajar). Tabel yang sederhana mempunyai 4 bagian
penting. Keempat bagian penting itu antara lain :
1) Nomor dan judul tabel
2) Stub
3) Box Head
4) Body (badan)

Nomor atau judul tabel terletak di bagian paling atas dari table. Judul harus jelas,
lengkap, sesuai dengan isi table dan tidak terlalu panjang. Isi tabel harus menyatakan
: apa, dimana dan bagaimana dari hal hal yang dinyatakan dalam tabel. Stub adalah
bagian yang paling kiri dari tabel, termasuk kepala kolom, tetapi tidak termasuk jajar
(baris) total. Dalam Stub, terdapat keterangan-keterangan yang menjelaskan secara
terperinci tentang hal-hal dan gambaran yang terdapat pada tiap kolom badan tabel
(body). Body (badan tabel) terdiri atas kolom-kolom yang berisi angka-angka

3. Penyajian Data
Setelah data dikumpulkan dan diolah, hal penting lainnya adalah bagaimana
memahami cara penyajian data yang benar. Penyajian data tidak hanya sekedar
menyajikan angka, tetapi menyajikan data akan bermanfaat untuk menarik
kesimpulan dengan cepat dan tepat, serta mempercepat mengambil keputusan
(Swarjana, 2016). Data surveilans dapat disajikan dengan berbagai cara, diantaranya
data disajikan dalam bentuk tabel, grafik, maupun dalam bentuk teks. Pemilihan
salah satu cara tersebut sangat tergantung dari tujuan penyajian tersebut.
Melalui penyajian data dapat memudahkan dalam menjelaskan, membandingkan
atau mengkontraskan variabel, menunjukan hubungan antar variabel.

a. Penyajian Data Menggunakan Teks


Penyajian data atau informasi dapat menggunakan teks atau textular. Cara ini
dilakukan dengan menjelaskan atau mendeskripsikan data yang berupa angka baik
data kategorikal, maupun data yang bersifat numerik menggunakan teks. Sebetulnya
penyajian data secara teks merupakan penyajian data atau informasi yang baik,
terutama untuk data kualitatif yang tidak berisikan angka – angka. Oleh karena itu,
maka sangat dianjurkan data yang bersifat kuantitatif sebaiknya tidak menggunakan
teks, tetapi dapat menggunakan tabel atau grafik.

Contoh:
Total kasus difteri yang diketemukan dan ditangani pada periode Januari –
Desember 2017 di Puskesmas X, Kabupaten Y yaitu sebanyak 25 kasus, tidak ada
kasus kematian pada saat kasus di rawat di rumah sakit ataupun 10 hari paska
17
kepulangan (CFR = 0 %). Upaya penanggulangan yang telah dilakukan diantaranya
yaitu: penanganan kasus di (pengobatan dan perawatan, isolasi kasus), penyelidikan
epidemiologi, pemberian profilaksis kontak kasus, pengambilan dan pemeriksaan
spesimen kasus kontak, edukasi kasus, keluarga dan masyarakat, penguatan cakupan
imunisasi DPT, Td, DT, serta melakukan kajian untuk pelaksanaan ORI difteri.

b. Penyajian Data Menggunakan Tabel


Penyajian data menggunakan tabel adalah cara yang sangat umum digunakan.
Namun tidak jarang pembuatan tabel atau penyajian data secara tabel tidak tepat
sehingga akan membingungkan orang atau pihak yang menggunakan tabel tersebut.
Penyajian data menggunakan tabel merupakan informasi yang disajikan ke dalam
bentuk baris dan kolom, dan sebaiknya digunakan jika ingin meringkas informasi
sehinggainformasi tersebut menjadi nilai yang spesifik sehingga dapat dipahami
dengan cepat dan mudah (Brown dan Saunders, 2008).
Tabel sebainya dibuat dengan benar dan sesuai dengan tujuan pembuatan tabel
tersebut. Ada beberapa panduan dalam membuat tabel agar konsisten dan sesuai
dengan tujuan tabel itu sendiri,yaitu:
1) Tabel sebaiknya dibuat secara simpel dan mudah untuk dibaca
2) Judul, biasanya ditempatkan di atas tabel, sebaiknya jelas (clear), ringkas (consise),
langsung (to the point), dan mengindikasikan apa yang akan ditabulasikan
(tabulated).
3) Ada unit pengukuran data yang diberikan.
4) Setiap baris dan kolom memiliki / dibuatkan label secara singkat dan jelas
5) Sebaiknya mencantumkan total
6) Kode singkatan dan simbol sebaiknya dijelaskan pada footnote
7) Jika data tidak original, sebaiknya cantumkan sumbernya pada footnote.

Menurut Lang(2012), terdapat minimal enam komponen yang sebaiknya ada pada
tabel, yaitu:
1) Nomor tabel
2) Judul tabel
3) Judul kolom
4) Judul baris
5) Data pada tabel
6) Garis horisontal
7) Singkatandalam tabel
8) Sumber pada tabel

Ada banyak jenis tabel, namun yang umum digunakan diantaranya tabel induk, tabel
distribusi frekuensi, dan tabel silang.
1) Tabel Induk

18
Tabel induk atau sering disebut sebagai master tabel adalah tabel yang
menyajikan seluruh data atau angka berdasarkan variabel yang dimiliki. Misalnya
data dari beberapa variabel (tempat tinggal, jenis kelamin, umur, status
perkawinan, pendidikan, jenis pekerjaan, status imunisasi, tanggal mulai sakit,
gejala, dll).
Master tabel ini umumnya dibuat untuk dapat mempresentasikan semua data
(data mentah) yang dikumpulkan dalam penelitian, survei, penyelidikan
epidemiologi atau kegiatan surveilans rutin.

Contoh tabel induk:

Tabel 1.
Data Kasus Campak di Wilayah Puskesmas X Kabupeten Y pada Tahun 2018
N Nam Usi Jenis Ala Tang Tgl Status
o a a kela mat gal Timb Imuni
Kasu (th) min Dema ul sasi
s m Rush Camp
ak

Jumlah
Catatan kaki :................
Sumber :................

2) Tabel Distribusi Frekuensi


Tabel distribusi frekuensi merupakan tabel yang menyajikan data variabel dalam
bentuk frekuensi (f). Pada tabel distribusi frekuensi, data variabel yang
dimasukkan tergantung dari tujuan dan kebutuhan, jumlah variabel yang ingin
dimasukan juga tergantung dari kebutuhan, apakah akan menyajikan satu
variabel, dua variabel, tiga variabel dan seterusnya.

19
Contoh tabel distribusi frekuensi:

Tabel 2.
Distribusi Frekuensi Kasus Campak berdasarkan wilayah Desa di Puskesmas X Kabupeten
Y pada Tahun 2018
No Desa Frekuensi (f) Persentase
1 Desa A 26 21,3%
2 Desa B 35 28,7
3 Desa C 61 50%
Jumlah 122
Catatan kaki :................
Sumber :................

Apabila dalam penyajian suatu data memerlukan beberapa kelas dan lebar
interval kelas, tahapan dan rumusnya adalah sebagai berikut.
Contoh:
Bila diketahui data masa inkubasi dalam satuan menit penderita pada sebuah KLB
keracunan pangan di Desa X yaitu:

30 45 25 35 60 50 30 20 40 70

15 10 30 35 30 45 50 30 40 25

Untuk menyajikan data dalam tabel frekuensi dengan menggunakan kelas


interval yaitu sebagai berikut:
a. Cari nilai minimum dari data, yaitu = 10
b. Cari nilai maksimum dari data, yaitu = 70
c. Tentukan nilai range (R) dari data, yaitu:
R = 70 – 10
R = 60
d. Tentukan banyaknya kelas (K), yaitu:
K = 1 + (3,3) log n
K = 1 + (3,3) log 20
K = 1 + (3,3) 1,301
K = 5,29 dibulatkan ke atas menjadi 6 kelas

e. Tentukan panjang kelas (P), yaitu:


P=R/K
P = 60 / 6
P = 10
f. Tentukan Ujung kelas interval pertama, yaitu : 10 (nilai minimum)
g. Tentukan ujung atas interval kelas pertama, yaitu: 10 + 10 – 1 = 19
h. Tentukan ujung kelas interval kedua, yaitu:

20
10 + 10 = 20
i. Tentukan ujung atas interval kelas kedua, yaitu: 20 + 10 – 1 = 29
j. Seterusnya hingga kelas ke enam
k. Kemudian hitung/isi data tiap kelas intevalnya

Sehingga didapatkan tabel sebagai berikut

Tabel 3.
Distribusi Masa Inkubasi pada KLB Keracunan Pangan di Desa B Puskesmas X Kabupeten
Y pada Tahun 2018
Masa Presentase
Frekuensi
Inkubasi Persentase Komulatif
(f)
(menit)
10 – 19 2 10% 10%
20 – 29 3 15% 25%
30 - 39 7 35% 60%
40 – 49 4 20% 80%
50 – 59 2 10% 90%
60 - 70 2 10% 100%
Jumlah 20
Catatan kaki :................
Sumber :................

3) Tabel Silang
Tabel silang atau cross tabulation adalah sebuah metode penyajian data melalui
tabel silang, dimana data yang disajikan merupakan data dari dua atau lebih
variabel yang disajikan dalam waktu yang sama.
Tabel silang tersebut berisikan data kategorikal yang ditempatkan pada rows
(baris) dan columns (kolom) yang disilingkan.
Jumlah masing – masing baris maupun kolom sangat bergantung daribanyaknya
kategori dan variabel data surveilans. Bila ada dua variabel yang disilangkan dan
masing – masing variabel terdiri dari dua kategori, maka tabel demikian disebut
tabel silang 2x2 atau dikenal sebagai two by two table.
Bila baris nya tiga kategori sedangkan kolomnya juga tiga kategori, hal ini
dikatakan sebagai tabel silang 3x3.
Pada umumnya variabel yang ditempatkan sebagai baris adalah variabel bebas
(independant variable) dan pada kolom adalah variabel terikat (dependant variable).
Berikut adalah contoh tabel silang

21
Tabel 4.
Tabel Silang Status Imunisasi Campak Balita Terhadap Kejadian KLB Campak di Desa A
Puskesmas X Kabupeten Y pada Tahun 2018
Status Campak
Imunisasi Sakit Total
Tidak Sakit
Campak Campak
Tidak
A B A+B
Diimunisasi
Di Imunisasi C D C+D
Total A+C B+D A+B+C+D
Catatan kaki :................
Sumber :................

Penyajian data menggunakan tabel juga memiliki kelebihan dan kelemahan.


Beberapa kelebihannya, yaitu:
• Dengan angka atau data variabel yang banyak, masih dimungkinkan untuk
disajikan secara keseluruhan melalui sebuah tabel
• Dapat leluasa memasukkan angka ke dalam sebuah tabel sesuai dengan
kebutuhannya serta dapat memilih jenis tabel yang sesuai
• Pembaca dapat melihat semua angka yang disajikan ke dalam sebuah tabel

Sedangkan beberapa kelemahan penyajian data pada tabel, yaitu:


• Bila terlalu banyak data yang disajikan dalam sebuah tabel, maka cukup sulit
bagi pembaca untuk mengerti atau memahami data dan kesulitan juga
dalammenarik kesimpulan serta pengambilan keputusan
• Dengan data yang terlalu banyak, akan cepat memberikan rasa bosan sebelum
mampu menarik kesimpulan.

c. Penyajian Data Menggunakan Diagram atau Grafik


Data yang telah dikumpulkan, baik berasal dari populasi ataupun dari sampel, untuk
keperluan laporan dan atau analisis selanjutnya, perlu diatur, disusun, disajikan
dalam bentuk yang jelas dan baik. Cara penyajian data lainnya yaitu dengan
menggunakan grafik. Grafik atau graph sering dikenal dengan sebutan diagram
maupun chart. Grafik atau diagram merupakan penyajian data kategorikal maupun
numerik melalui sebuah gambar. Pembuatan grafik maupun diagram perlu
memperhatikan persyaratan – persyaratan yang seharusnya dipenuhi agar data yang
disajikan dapat dengan mudah dipahami dan menarik untuk disimak oleh yang
membutuhkannya.
Terdapat minimal tujuh dari sembilan komponen yang seharusnya ada dalam sebuah
diagram maupun grafik, yaitu:
1) Terdapat nomor diagram / grafik
22
2) Ada keterangan, biasanya ditempatkan dibawah diagram / grafik
3) Ada data field (data pada X dan Y axis)
4) Ada skala vertikal (Y axis)
5) Ada skala horisontal (X axis)
6) Ada labels (angka pada setiap variabel baik pada X maupun Y axis)
7) Ada data (umumnya disimbolkan dengan garis, titik, batang, dll)
8) Ada reference lines yang ada pada data field.
9) Ada keys or legends atau keterangan yang dapat mengidentifikasi data.

Pemilihan jenis diagram atau grafik sangat penting dilakukan agar grafik yang dipilih
tersebut tepat sesuai dengan data dan tujuan penyajiannya. Berikut adalah beberapa
jenis penyajian data menggunakan grafik atau diagram:

1) Bar Chart
Diagram batang atau bar chart digunakan untuk menyajikan data dengan tujuan
untuk menunjukan frekuensi kejadian dan menekankan kategori tertingi dan
terendah untuk suatu variabel (frekuensi umumnya disajikan secara vertikal
dan kategori disajikan secara horisontal). Diagram batang juga ditujukan untuk
menunjukan kecenderungan (trend) satu variabel dari waktu ke waktu
(frekuensi biasanya disajikan secara vertikal dan periode waktu disajikan secara
horisontal)

23
Contoh diagram batang:

Diagram1.
Trend Kasus Difteri di Wilayah Puskesmas X Kabupaten Y Tahun 2017 - 2018

Catatan : Tidak ada kasus kematian difteri


Sumber : Laporan surveilans PD3I

2) Pie Chart
Diagram lingkaran (pie chart) dugunakan bila kita bermaksud menunjukkan
proporsi sebuah variable di setiap kategori. Total nilai data disajikan kembali
oleh area of the circle (pie). Apabila seluruh segmen persentasenya dijumlah akan
mendapatkan nilai 100%. Penyajian data melalui pie chart sangat mudah untuk
membandingkan satu segmen dengan segmen lainnya. Namun, sebaiknya
segmen yang ada dalam pie chart tidak lebih dari delapan segemen. Semakin
kecil proporsi dari segmen, maka warnanya dibuat semakin gelap.
Contoh diagram lingkaran / pie chart :

Diagram 2.
Proporsi Kasus Gonore Berdasarkan Jenis Kelamin
yang Berobat ke Puskesmas X Kabuapten Y
Tahun 2014

Catatan : Total kasus 65 orang


Sumber : Laporan STP Puskesmas X tahun 2014

24
3) Line Diagram / Chart
Line diagram merupakan penyajian data yang menunjukkan kejadian dari waktu
ke waktu dan juga menunjukkan kecenderungan yang digambarkan dalam
sebuah garis. Pada line diagram, horizontal axis mempresentasikan waktu,
sedangkan vertical axis menunjukkan frekuensi dan data values untuk periode
waktunya menyatu pada sebuah garis.

Contoh line diagram:

Diagram 3.
Grafik Insiden Kasus Campak Positif di Puskesmas X Kabupten Y pada Tahun 2014 –
2018

Catatan :
Sumber : Laporan CBMS Puskesmas X tahun 2014-2018

4) Multiple Line Chart / Diagram


Penyajian data dengan multiple line chart hamper sama dengan line chart, namun
perbedaannya adalah pada multiple line chart, membandingkan trend dua atau
lebih variabel dari waktu ke waktu.
Contoh multiple line chart :

25
Diagram 4.
Grafik Jumlah Kasus DBD Berdasarkan Wilayah Desa di Puskesmas X tahun 2018

Catatan :Total kasus Desa A ; 91. Desa B ; 78. Desa C ; 67


Sumber : Laporan program DBD Puskesmas X tahun 2018

5) Scatter Diagram
Scatter diagram atau scatter plot sangat umum digunakan oleh peneliti dalam
menyajikan hasil analisisnya. Diagram ini dapat menunjukkan hubungan dari
dua variable. Satu variable dijadikan sebagai X – axis dan satu variable lagi
digunakan sebagai Y – axis. Diagram ini digunakan pada statistik inferensial
terutama correlation dan linier regression.
Misalnya: korelasi antara berat badan ibu hamil dengan berat badan lahir bayi.

Diagram 5.
Diagram Scatter Berat Badan Ibu terhadap Berat Badan Bayi Lahir di Puskesmas X
Kabupaten Y Tahun 2018

Catatan :Total : 16 Ibu hamil


Sumber :Laporan program KIA Puskesmas X tahun 2018

6) Histogram
Penyajian data menggunakan histogram digunakan bila kita bermaksud
menekankan nilai tertinggi dan terendah atau distribusi nilai untuk satu

26
variable. Pada umumnya frekuensi normalnya disajikan secara vertical dan
kategori disajikan secara horizontal. Sebelum membuat histogram, perlu
disiapkan terlebih dahulu kelompok data yang skalanya bersifat kontinu
(misalnya: data pengukuran berat badan, tinggi badan, kadar Hb, dll).
Histogram adalah grafik yang sering digunakan untuk menggambarkan ditribusi
frekuensi. Pada histogram, batang-batangnya saling melekat atau berhimpitan.
Grafik dibuat dengan cara menarik garis dari satu titik tengah batang histogram
ke titik tengah batang histogram yang lain. Agar supaya diperoleh grafik yang
tertutup harus dibuat dua kelas baru dengan panjang kelas sama dengan
frekuensi nol pada kedua ujungnya di kiri dan kanan. Pada pembuatan
histogram digunakan sistem salib sumbu. Sumbu mendatar (sumbu X)
menyatakan interval kelas (batas bawah dan batas atas masing-masing kelas)
dan sumbu tegak (sumbu Y) menyatakan frekuensi.
Langkah-langkah dalam menggambarkan Histogram dan Poligon Frekuensi:
a. Buat dua sumbu, yaitu sumbu datar dan sumbu tegak. Pada sumbu datar
memuat bilangan yang merupakan batas-batas semua interval kelas(bias juga
titik tengah untuk setiap interval kelas). Sumbu tegaknya mengenai nilai
frekuensi dari data yang didapat.
b. Untuk kelas interval pertama, pada sumbu datar dibatasi oleh batas bawahnya
dan batas atasnya. Pada batas bawah dan batas atas masing-masing ditarik garis
tegak lurus keatas sampai menunjukkan bilangan yang sesuai dengan frekuensi
pada sumbu tegak. Selanjutnya hubungkan kedua ujungnya, maka akan
terbentuk sebuah batang yang berupa empat persegi panjang.
c. Hal yang sama juga dilakukan untuk kelas interval selanjutnya sampai
akhir.sehingga akan diperoleh batang-batang yang saling berhi,pit, grafik inilah
yang dinamakan histogram.
d. Apabila dari histogram ini , titik-titik tengah sisi atas persegi panjang
dihubungkan satu sama lain dan hubungan sisi atas pertama dengan setengah
jarak dari panjang kelas yang diulurkan ke kiri batas bawah kelas interval
pertama, serta hubungkan sisi atas terakhir dengan setengah jarak dari panjang
kelas yang diulurkan ke kanan batas atas kelas interval terakhir, maka akan
diperoleh polygon frekuensi.

27
Contoh diagram histogram:

Diagram 6.
Histogram Masa Inkubasi (menit) pada KLB Keracunan Pangan di Desa XX Puskesmas X
05 Oktober 2018

Catatan :Total kasus: 20 orang


Sumber :Data Penyelidikan Epidemiologi Puskesmas X

7) Frequency Polygon
Penyajian data menggunakan frequency polygon hamper mirip dengan histogram.
Penyajian data ini memberikan sebuah perkiraan atau estimasi kasar dari
bentuk distribusi. Jenis penyajian data ini dibentuk menggunakan histogram.
Pertama tempatkan sebuah titik di tengah setiap kelas interval dari sebuah bar
atau batang di atas histogram tersebut. Kedua, titik – titik tersebut dihubungkan
satu dengan yang lainnya menggunakan garis lurus. Sedangkan yang ketiga,
histogram menjadi terhapus dan menjadi frekuensi polygon yang memberikan
estimasi kasar dari bentuk distribusi data. Dengan demikian ketika kita ingin
membandingkan perbedaan distribusi frekuensi, lebih mudah bila menggunakan
frequency polygon dibandingkan dengan histogram.
Untuk membuat grafik poligon, sebenarnya tidak ada perbedaan penting antara
grafik histogram dengan grafik poligon. Perbedaannya terletak pada :
a. Grafik histogram “lazimnya” dibuat dengan mengunakan batas nyata,
sedangkan grafik poligon selalu menggunakan titik tengah.
b. Grafik histogram berwujud segiempat-segiempat, sedang grafik poligon
berwujud garis-garis atau kurve (garis-garis yang sudah dilicinkan).
c. Grafik poligon disebut juga grafik poligon frekuensi , dibuat dengan
menghubungkan titik koordinat secara berturut-turut.

28
Contoh diagram poligon:

Diagram 7.
Diagram Poligon Masa Inkubasi KLB Keracunan Pangan di Puskesmas X Kabupaten Y
pada 05 Oktober 2018

Catatan :Total kasus: 20 orang


Sumber :Data Penyelidikan Epidemiologi Puskesmas X
8) Grafik Ogive
Grafik Ogive disebut juga grafik frekuensi meningkat. Grafik yang dibuat dari
data table distribusi frekuensi kumulatif akan terbentuk grafik ogive . karena
tabel distribusi frekuensi kumulatif ada dua macam , yaitu tabel distribusi
frekuensi kumulatif ”kurang dari” dan tabel distribusi frekuensi kumulatif “lebih
dari” maka grafiknya juga dua macam, yaitu ogive positif dan ogive negative.
Dari perpotongan ogive kurang dari dan besar dari, akan didapatkan nilai yang
tepat untuk letak dan besarnya nilai modus.
Contoh: Dengan menggunakan data tabel masa inkubasi maka dapat diabuatkan
grafik ogive, dengan terlebih dahulu mencari nilai frekuensi kurang dari dan
frekuensi lebih dari data frekuensi masa inkubasi yang ada.

29
Tabel 5
Distribusi Interval Masa Inkubasi KLB Keracunan Pangan di Desa XX Puskesmas X
Kabupaten Y
pada 05 Oktober 2018
Masa Frekuensi Frekuensi
Inkubasi Frekuensi Kurang Lebih dari
(menit) (f) dari
10 – 19 2 2 18
20 – 29 3 5 15
30 - 39 7 12 8
40 – 49 4 16 4
50 – 59 2 18 2
60 - 70 2 20 0
Jumlah 20
Catatan :Total kasus: 20 orang
Sumber :Data Penyelidikan Epidemiologi Puskesmas X

Diagram 8.
Diagram Ogive Masa Inkubasi KLB Keracunan Pangan di Desa XX Puskesmas X
Kabupaten Y pada 05 Oktober 2018

Catatan :Total kasus: 20 orang


Sumber :Data Penyelidikan Epidemiologi Puskesmas X
9) Radar Chart
Radar chart atau radar graph dikenal juga dengan sebutan web chart, spider
chart, star chart, star plot. Radar chart adalah sebuah metode penyajian data
statistik dari sebuah grup yang terdiri dari empat sampai enam variable
kuantitatif, selanjutnya dikomparasi terhadap data variable grup lainnya.
Namun demikian ada juga yang menyampaikan bahwa radar chart ini juga dapat
digunakan untuk menyajikan tiga atau lebih variable kuantitatif.

30
Contoh radar chart:
Diagram 9.
Diagram Kinerja Surveilans DBD di Puskesmas X Kabupaten Y Tahun 2018

Catatan :
Sumber : Laporan Program DBD Puskesmas X
10) Box Plot
Box plot sangat umum digunakan untuk menyajikan atau menunjukkan sebaran
atau distribusi data penelitian. Beberapa yang dapat dilihat pada box plot
diantaranya nilai minimum, 1st quartile, median, 3 rd quartile, dan nilai maksimum.
Selain itu box plot juga dapat digunakan untuk melihat distribusi data yang
ekstrim (outlier).
Contoh box plot diagram:
Diagram 10.
Diagram Box Plot Masa Inkubasi pada KLB Keracunan Pangan di Desa XX
Puskesmas X Kabupaten Y pada
05 Oktober 2018

Catatan :Total kasus: 20 orang


Sumber :Data Penyelidikan Epidemiologi Puskesmas X

11) Stem-and-Leaf Plot


Salah satu penyajian data yang sering kita temui adalah stem and leaf. Metode
penyajian data ini digunakan untuk mengetahui frekuensi data yang dilengkapi

31
dengan stem (batang) dan leaf (daun). Apabila kita lihat contoh diagram stem and
leaf ada 3 bagian, yaitu f, stem, leaf. Bagian pertama adalah nilai frekuensinya (f)
yang diletakkan diletakkan paling kiri, selanjutnya diikuti dengan stem
(ditengah) dan terakhir leaf (dibagian kanan).
Tujuan utama Stem-and-leaf plot adalah untuk hal berikut ini:
• Apakah pola pengamatan simetris.
• Penyebaran atau variasi dari data pengamatan.
• Apakah terdapat pencilan (outlier, nilai-nilai yang berada jauh dari yang
lainnya).
• Titik pemusatan data.
• Ada Lokasi yang merupakan gap (kesenjangan dalam data)

Contoh diagram Stem-and-Leaf :

Diagram 11.
Stem-and-Leaf Masa Inkubasi KLB Keracunan Pangan di Desa XX Puskesmas X
Kabupaten Y pada
05 Oktober 2018

Catatan :Total kasus: 20 orang


Sumber :Data Penyelidikan Epidemiologi Puskesmas X

Berdasarkan data stem and leaf tersebut dapat dibaca sebagai berikut:
• Pada stem 1, masa inkubasi 10 menit ada 1 kasus dan 15 menit ada 1 kasus,
jadi pada stem 1 total ada 2 kasus (frekuensi).
• Pada stem 2, masa inkubasi 20 menit ; terdapat 1 kasus, 25 menit; 2 kasus,
jadi pada stem 2 total ada 3 kasus (frekuensi). Dan seterusnya hingga stem 7.
• Modus terbanyak pada masa inkubasi 30 an menit.
• Data masa inkubasi 60 dan 70 menit kemungkinan merupakan masa inkubasi
outlier

12) Diagram Lambang (Pictogram)


32
Pictogram adalah diagram yang digambarkan sesuai dengan objeknya. Sering
digunakan untuk mendapatkan gambaran kasar sesuatu hal dan sebagai alat
visual bagi orang awam. Misalnya untuk data mengenai jiwa, penduduk dan
pegawai dibuat gambar orang.
Contoh:
Diagram 12.
Pictogram Distribusi Kader Terlatih Berdasarkan
Wilayah Desa di Puskesmas X Kabupaten Y Tahun 2018
Kategori Desa A Desa B
Kader terlatih Juru
Pemantau Jentik
Nyamuk
Kader terlatih
respon cepat KLB
Kader terlatih PMO
TB
Catatan : = 5 kader

Sumber : Laporan Tahunan Puskesmas X

13) Diagram Peta


Diagram ini juga disebut kartogram. Peta adalah suatu gambaran dari unsur-
unsur alam dan atau buatan manusia, yang berada di atas maupun di bawah per-
mukaan bumi yang digambarkan pada suatu bidang datar dengan skala tertentu.
Dalam pembuatannya digunakan peta geografi tempat data terjadi. Dengan
demikian diagram ini melukiskan keadaan dihubungkan dengan tempat
kejadian.
Syarat – syarat umum peta:
▪ Peta tidak boleh “membingungkan”
▪ Peta harus dapat dimengerti maksud dan maknanya oleh pembaca peta
▪ Peta harus memberikan gambaran yang sebenarnya sesuai dengan tujuannya
▪ Karena peta dilihat oleh :mata” maka “wajah” peta harus “sedap dipandang”
dalam arti harus bersih dan rapi.

Sedangkan syarat khusus sebuah peta yaitu:


• Kelengkapan peta, terdiri dari: Judul peta, keterangan / legenda, skala peta,
wilayah yang dipetakan
• Hal – hal yang penting dan perlu: warna, sombol, proyeksi.

33
LATIHAN MATERI 2
1. Melakukan pengolahan data dan
penyajian data berdasarkan data set yang
diberikan: (Kasus Campak, DBD, difteri)
yang dibagi dalam 5 kelompok

INSTRUKSI:
1. Buatlah menjadi 5 kelompok
2. Kelompok memilih data set yang diberikan
3. Lakukan proses pengolahan data berdasarkan data set yang diberikan sesuai
langkah – langkah pengolahan data.
4. Membuat tampilan data yang sesuai dengan sifat datanya.
5. Masing – masing kelompok mempresentasikan hasil kerja kelompoknya.

Apa yang Anda dapat simpulkan dari latihan tersebut ?

34
POKOK BAHASAN 3
C. ANALISIS DATA
Analisis data merupakan bagian yang amat penting dalam metode ilmiah, karena
dengan melakukan analisis, maka data yang sudah dikumpulkan dan diolah dapat
diinterpretasikan, sehingga berguna dalam memecahkan masalah kesehatan / surveilans.
Data surveilans kesehatan yang diperoleh kemudian dikelompok – kelompokkan,
dikategorikan, dan dimanipulasi serta diolah sedemikian rupa sehingga mempunyai makna
untuk menjawab masalah kesehatan / surveilans ataupun menguji hipotesis. Manipulasi
berarti mengubah data dari bentuk awalnya menjadi suatu bentuk yang dapat
memperlihatkan hubungan antar fenomena yang diteliti. Setelah hubungan yang terjadi
dianalisis, dibuat penafsiran terhadap hubungan antara fenomena tersebut, dan
dibandingkan dengan fenomena lain di luar penelitian.
Analisis data merupakan proses untuk pengorganisasian data dalam rangka
mendapatkan pola – pola atau bentuk – bentuk keteraturan. Sedangkan interpretasi data
adalah proses pemberian makna terhadap pola – pola atau keteraturan – keteraturan yang
ditemukan dalam sebuah penelitian.

Jenis analisis data:


1. Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif yaitu analisis yang dilakukan untuk melihat gambaran atau
mendeskripsikan nilai – nilai suatu variable data.
Analisis deskriptif adalah jenis statistik yang digunakan untuk menjelaskan atau
mengkarakteristikan data dengan meringkasnya agar lebih dipahami
(understandable ) tanpa kehilangan atau memutarbalikan informasi. Umumnya
menggunakan table, chart, frequency, percentage, dan ukuran – ukuran tendensi
sentral untuk menjelaskan karakteristik dasar dari sampel (Munro, 2005).
Terdapat tiga variable epidemiologi yang lazim dianalisis secara deskriptif, yaitu:
variable orang, waktu, dan tempat. Analisis deskriptif ini lebih sering memberikan
informasi kecenderungan dan penyebaran penyakit, masalah kesehatan, kondisi
lingkungan atau karakteristik populasi tertentu lainnya.
Analisis deskriptif umumnya dilakukan di awal analisis data sebelum analisis
analitik / inferensial dilakukan. Analisis deskriptif meliputi: nilai maksimum –
minimum, range, perhitungan tendensi sentral (mean, median, mode); standard
deviasi, varian, ratio, absolute, proporsi, rate.

a. Analisis Deskriptif Sebaran Data


1) Maksimum
Maksimum, merupakan nilai terbesar dari sekumpulan angka.

2) Minimum
Minimum, merupakan nilai terkecil dari sekumpulan angka.

35
3) Range
Range, merupakan perbedaan antara nilai yang terbesar (maksimum) dan nilai
yang terkecil (minimum) dari frekuensi distribusi.
Langkah – langkah identifikasi range

Step 1. Identifikasi nilai terendah (minimum)


dan nilai tertinggi (maksimum) dari
data yang diamati
Step 2. Secara epidemiologi, laporkan nilai
minimum dan nilai maksimum. Secara
statistik, nilai maksimum dikurangi
nilai minimum

Contoh:
Tentukan nilai range dari data masa inkubasi pada kasus KLB hepatitis A : 27,
31, 15, 30 dan 22 hari

Step 1. Identifikasi nilai minimum dan nilai


maksimum
Nilai minimum = 15, maksimum = 31

Step 2. Nilai maksimum dikurangi nilai


minimum
Range = 31 – 15 = 16 hari
Secara epidemiologi dapat dilaporkan bahwa range
masa inkubasi KLB Hepatitis minimum 15 hari dan
maksimum 31 hari dengan range masa inkubasi 16
hari.

4) Tendensi sentral (Mean, Median, Mode)


Tendensi sentral mencakup tiga perhitungan, yaitu mean, median, dan mode.
Dimana mean adalah nilai rata – rata, median adalah nilai tengah, serta mode
adalah nilai yang paling sering muncul (Merril and Timmreck, 2006).

2. Nilai rata – rata (mean)


Mean atau rerata atau average adalah hasil penjumlahan semua nilai observasi
dibagi dengan banyaknya observasi.

Rumus : ẋ = Ʃx
n
3. Median
36
Median adalah nilai yang membagi data set ke dalam dua bagian yang sama,
sehingga banyaknya nilai yang lebih besar atau sama dengan median adalah
sama dengan jumlah nilai yang kurang atau sama dengan median.

4. Mode
Nilai mode adalah data set yang memunculkan nilai yang memiliki frekuensi
paling tinggi atau nilai yang paling sering muncul

5) Standar Deviasi dan Varian


Standard deviasi adalah akar kuadrat dari varians, sedangkan varians adalah
standard deviasi pangkat dua atau S2

Contoh:
Berdasarkan data hasil penyelidikan epidemiologi KLB keracunan pangan di
Desa X, diketahui waktu dari mulai terpapar sampai timbulnya sakit (masa
inkubasi) sebagai berikut:
Untuk mencari nilai rata – rata, median, mode dan standard deviasi dengan
menggunakan rumus pada microsoft excel

Masa
Kasus Inkubasi
(menit)
1 30
2 45
3 25
4 35
5 60
6 50
7 30
8 20
9 40
10 70
11 15
12 10
13 30
14 35
15 30
16 45
17 50
18 30
19 40
20 25

HASIL CARA DI EXCEL


Rata - Rata 35,75 = AVERAGE (BLOK ATAU PILIH DATA YANG AKAN DICARI NILAINYA)
Min 10 = MIN (BLOK ATAU PILIH DATA YANG AKAN DICARI NILAINYA)
Max 70 = MAX (BLOK ATAU PILIH DATA YANG AKAN DICARI NILAINYA)
Mode 30 = MODE(BLOK ATAU PILIH DATA YANG AKAN DICARI NILAINYA)
SD 14,71 = STDEV (BLOK ATAU PILIH DATA YANG AKAN DICARI NILAINYA)

6) Ratio
Rasio adalah nilai perbandingan, misalnya X berbanding Y. Rasio merupakan
nilai X dan Y yang bersifat independen di mana X bukan bagian dari Y
Contoh:

37
Perbandingan atau rasio kasus difteri laki-laki dan perempuan di Puskesmas A.
Pasien laki – laki berjumlah 10 orang, sedangkan perempuan 5 orang. Rasionya
adalah 10 berbanding 5 atau 2:1 atau 2 kasus difteri laki-laki berbanding 1
kasus difteri perempuan.

7) Proporsi
Proporsi biasanya disebut juga sebagai persentase, dimana nilai X (nominator
atau pembilang) adalah bagian dari nilai Y (denominator atau penyebut) dengan
angka konstanta 100.
Proporsi digunakan untuk melihat kompisisi suatu variable dalam populasinya.
Perhitungan proporsi atau persentase sangat membantu dalam
membandingkan suatu situasi kesehatan tertentu, seperti perbandingan antar
wilayah, perbandingan antar unit pelayanan, perbandingan jenis kelamin,
kelompok umur, atau perbandingan yang sesuai dengan variabel epidemiologi
time, place dan person.
Contoh:
Tabel 6.
Distribusi Kasus Difteri Berdasarkan Golongan Umur Jenis Kelmin dan Desa di Puskesmas
X
Kabupaten Y Tahun 2017
Jumlah
Kategori Prosentase
(N = 25)
1. Kelompok Umur
< 1 th
1 - 4 th 6 24,0%
5 - 9 th 4 16,0%
10 - 14 th 3 12,0%
15 - 19 th 3 12,0%
20 - 44 th 6 24,0%
45 - 54 th 1 4,0%
55 - 59 th 2 8,0%
60 - 69 th 0 0
> 70 th 0 0

2. Jenis Kelamim
Laki - Laki 19 76,0%
Perempuan 6 24,0%

3. Desa
Desa A 4 16%
Desa B 6 24%
Desa C 8 32%
Desa D 4 16%
Desa E 3 12%

Catatan :
Sumber :

38
8) Rate
Untuk pembahasan rate dapat dilihat kembali pada modul 1 (ukuran dalam
epidemiologi).

b. Analisis Deskriptif Terhadap Varibel Epidemiologi


1) Analisis Deskriptif Terhadap Variabel Orang
Analisis deskriptif terhadap variabel orang pada sebuah data surveilans dapat
menggali atau menguraikan diantaranya yaitu:
a) Angka absolut jumlah kasus.
b) Proporsi dan ratio kasus berdasarkan jenis kelamin, kelompok umur,
pendidikan, pekerjaan, dll.
c) Nilai minimum, maksimum, rata – rata, median, range, standar deviasi
kasus dari data kontinu pada variabel orang (usia, berat badan, tinggi
badan, kadar Hb, dll).
d) Attack Rate per jenis kelamin, kelompok umur
e) Case Fatality Rate menurut jenis kelamin, kelompok usia, jenis penyakit, dll

2) Analisis Deskriptif Terhadap Variabel Waktu:


Analisis deskriptif terhadap variabel waktu pada sebuah data surveilans dapat
menggali atau menguraikan diantaranya yaitu:
a) Jumlah kasus berdasarkan: menit, jam, tanggal, minggu epidemiologi,
bulan, triwulan, semester, tahun.
b) Proporsi kasus berdasarkan waktu kejadian. dll.
c) Nilai minimum, maksimum, rata – rata, median, mode, range, standar
deviasi kasus dari data kontinu pada variabel waktu (waktu inkubasi, lama
masa perawatan, lama KLB).

3) Analisis Deskriptif Terhadap Variabel Tempat


Analisis deskriptif terhadap variabel tempat pada sebuah data surveilans dapat
menggali atau menguraikan diantaranya yaitu:
a) Angka absolut jumlah kasus berdasarkan tempat lokasi / wilayah
admistrasi.
b) Proporsi dan ratio kasus berdasarkan tempat / lokasi (berdasarkan wilayah
administrasi; RT, RW, dusun, desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi,
negara, berdasarkan geografi: pegunungan, pantai, berdasarkan
sosiodemografi; perkotaan, desa, industri, pertanian, perkebunan, dll).
c) Nilai minimum, maksimum, rata – rata, median, range, standar deviasi
kasus dari data kontinu pada variabel orang (usia, berat badan, tinggi
badan, kadar Hb, dll).
d) Attack Rate berdasarkan wilayah administrasi.
e) Case Fatality Rate menurut wilayah administrasi, dll.

39
Selain melakukan analisis deskriptif pada setiap variabel epidemiologi (orang,
tempat dan waktu), analisis deskriptif juga dapat dilakukan kombinasi antara
variabel orang dengan variabel waktu, variabel orang dengan variabel tempat,
ataupun secara bersamaan antara variabel orang, tempat dan waktu. Sehingga
dapat membantu menarik kesimpulan secara tepat dan akurat.

Contoh:
c. Analisis Deskriptif Terhadap Kecenderungan Kasus (variabel waktu).
Dengan menggunakan data tabel 7 berikut, dapat dilakukan analisis deskriptif
variabel waktu, yaitu:

Tabel 7.
Disribusi Kasus DBD di Kabupaten X Tahun 2013 - 2018
BULAN TOTAL CFR IR ABJ JML PDDK
TAHUN
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGU SEP OKT NOP DES P M % /100.000 %
2013 150 149 167 138 137 135 141 52 21 28 12 10 1140 17 1,5 54,6 81,2 2.088.660
2014 13 36 58 62 77 78 66 58 32 35 32 44 591 9 1,5 27,7 89.3 2.134.389
2015 54 31 24 9 23 22 22 13 13 12 15 11 249 2 0,8 11,5 89 2.167.023
2016 27 56 46 45 74 104 37 24 16 15 32 19 495 4 0,8 22,8 90 2.168.698
2017 50 52 93 143 111 114 65 69 28 11 5 17 758 7 0,9 34,3 90 2.207.181
2018 36 21 18 44 33 31 32 20 21 17 16 12 301 2 0,7 13,4 92 2.244.772

Catatan kaki :
Sumber : Laporan DBD Seksi Survilans Kab. K

1) Tujuan analisis surveilans : pola distribusi kasus Demam Berdarah Dengue


menurut bulan dan dan tahun di Kabupaten K
2) Desain analisis : analisis deskriptif dengan mencermati pola kurva pada grafik
perkembangan kasus demam berdarah dengue menurut bulan selama tahun :
2013 – 2017 yang dpergunakan untuk menilai pola penyakit DBD yang terjadi
pada tahun 2018.
Berdasarkan tabel 1. Tersebut dapat diuraikan nilai: minimum, maksimum,
range, mean.
Untuk mendapatkan pola nilai minimum, maksimum dan rata – rata (mean) 5
tahunan dilihat jumlah kasus terendah (nilai minimum) dan kasus tertinggi (nilai
maksimum) dan dihitung nilai rata – rata kasus dari tahun 2013 s/d 2017 pada
setiap bulannya (Jan s/d Des). Sehingga didapatkan hasil pada tabel 8:

40
Tabel 8.
Disribusi Pola Minimum dan Maksimum Kasus DBD di Kabupaten X Tahun 2013 - 2018
B U L A N TOTAL CFR IR ABJ JML PDDK
TAHUN
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGU SEP OKT NOP DES P M % /100.000 %
2013 150 149 167 138 137 135 141 52 21 28 12 10 1140 17 1,5 54,6 81,2 2.088.660
2014 13 36 58 62 77 78 66 58 32 35 32 44 591 9 1,5 27,7 89.3 2.134.389
2015 54 31 24 9 23 22 22 13 13 12 15 11 249 2 0,8 11,5 89 2.167.023
2016 27 56 46 45 74 104 37 24 16 15 32 19 495 4 0,8 22,8 90 2.168.698
2017 50 52 93 143 111 114 65 69 28 11 5 17 758 7 0,9 34,3 90 2.207.181
2018 36 21 18 44 33 31 32 20 21 17 16 12 301 2 0,7 13,4 92 2.244.772
MIN 13 21 18 9 23 22 22 13 13 11 5 11
MAX 150 149 167 143 137 135 141 69 32 35 32 44
MEAN 58,8 64,8 77,6 79,4 84,4 90,6 66,2 43,2 22 20,2 19,2 20,2
TARGET < 1 % <50/100000 95%

Catatan kaki :
Sumber : Laporan DBD Seksi Survilans Kab. X

3) Tampilan tabel dan grafik


Data kasus DBD tesebut ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik pola
minimum dan maksimum kasus DBD (grafik 2)

Gambar 9
Grafik Pola Minimum dan Maksimum Kasus DBD
di Kab. X Tahun 2018

Catatan Kaki :
Sumber :

4) Interpretasi dan penarikan kesimpulan


Berdasarkan pola minimum dan maksimum kasus DBD tahun 2013 s/d 2018
peningkatan kasus terjadi pada awal tahun (periode januari - April) dan
cederung mengalami penurunan mulai bulan Mei – Juni – Juli.

41
Kewaspadaan kasus DBD yang berpotensi KLB terjadi pada bulan Januari,
September dan Oktober, dikarenakan pola kasus mendekati dan melebihi pola
rata – rata kasusnya.
CFR dan Insidens Rate kasus DBD sudah memenuhi target masing – masing
yaitu: < 1% dan < 50 / 100.000 penduduk.
Kesimpulan: tren kasus DBD di Kabupaten K telah berhasil dikontrol sesuai
target, namun perlu peningkatan kewaspadaan pada awal tahun dan menjelang
akhir tahun dikarenakan ABJ yang masih belum mencapai target.

d. Analisis Deskriptif Terhadap Cakupan Imunisasi dan Kasus Campak Menurut


Tempat.
Dengan menggunakan data surveilans CBMS dan capaian program imunisasi, kita
akan melakukan analisis deskriptif antara variabel tempat dan variabel orang
(kasus campak).
1) Tujuan analisis surveilans : Distribusi cakupan imunisasi campak dan kasus
campak menurut tempat /desa di Puskesmas X tahun 2018.
2) Desain analisis : analisis deskriptif cakupan imunisasi campak dan kasus
campak menurut wilayah desa di Puskesmas X pada tahun 2018, dengan
menguraikan: proporsi cakupan imunisasi per desa, rate kasus campak per desa
3) Tampilan tabel dan peta distribusi.

4) Interpretasi dan penarikan kesimpulan


Berdasarkan data tersebut dapat diinterpretasikan bahwa kejadian kasus
campak masih cukup tinggi di kedua desa meskipun cakupan imunisasinya
terdapat perbedaan yang cukup signifikan. Cakupan imunisasi MR di Desa A
sudah memenuhi target, namun kasus campaknya juga masih tetap tinggi.
Sedangkan di Desa B cakupan imunisasinya rendah sehingga berpotensi untuk
timbulnya kejadian kasus campak. Kondisi di Desa A perlu dievaluasi berkaitan
dengan manajemen rantai dingin vaksin, karena meskipun cakupan imunisasi
campaknya tinggi, namun demikian kejadian kasus campak juga cukup tinggi.
Sedangkan di Desa B, perlu dilakukan peningkatan capaian cakupan imunisasi
campak dan mengevaluasi adanya kantong – kantong balita rentan campak.
Kesimpulan : Kejadian kasus campak masih relatif tinggi di ke dua desa dengan
salah satu faktornya masih rendahnya cakupan imunisasi campak dan
manajemen vaksinasi yang perlu ditingkatkan.

42
Tabel 10.
Distribusi Kasus Campak dan Rubella Konfirmasi Laboratorium Berdasarkan Wilayah
Desa dan Cakupan Imunisasi MR di Puskesmas X Kabupaten Y Tahun 2018
Jumlah Cakupa AR
Kasus n per
Populas
Desa Campak Imunisa 100
i Balita
Usia < 5 si MR balita
th
Desa A 40 95% 750 5,3
Desa B 110 75% 900 12,2
Catatan Kaki : AR=Attack Rate ; MR = Measles Rubella
Sumber : Laporan Surveilans Puskesmas X Tahun 2017

Diagram 13. Gambar 14.


Distribusi Attack Rate Distribusi Cakupan
Kasus Campak Menurut Imunisasi MR Menurut
Desa di Puskesmas X Desa di Puskesmas X
tahun 2018
tahun 2018

Catatan : Catatan :
Sumber : Sumber :

e. Analisis Deskriptif Terhadap Penyebaran Kasus Menurut Karakteristik Variabel


Orang.
Dengan menggunakan data surveilans CBMS pada variabel umur dan klasifikasi
hasil pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan analisis deskritif sebagai berikut:

43
Tabel 11.
Distribusi Kasus CBMS Berdasarkan Kelompok Umur dan Konfirmasi Hasil
Laboratorium di Puskesmas X Kabupaten Y Tahun 2018
Campak Klinis Campak Positif Negatif Rubella Positif
Usia Jumlah Jumlah Jumlah Total*
Jumlah Kasus % % % %
Kasus Kasus Kasus
< 1 th 6 10 1 4,2 3 30 0 0 10
1 - 4 th 30 50 11 45,8 1 10 1 7,1 43
5 - 9 th 14 23,3 9 37,5 3 30 12 85,7 38
10 - 14 th 5 8,3 2 8,3 3 30 1 7,1 11
> 15 th 5 8,3 1 4,2 0 0 0 0 6
Total 60 55,6 24 22,2 10 9,3 14 13 108

Catatan Kaki : tidak ada kasus kematian campak dan rubella


Sumber : Laporan Surveilans CBMD Puskesmas X Tahun 2018

1) Tujuan analisis surveilans : Distribusi kasus campak menurut golongan umur


dan klasifikasi kasus di Kabupaten X tahun 2017.
2) Desain analisis : Analisis diskriptif dangan menggambarkan distribusi kasus
campak berdasarkan golongan umur dan klasifikasi hasil pemeriksaan
laboratorium di Kabupaten X pada tahun 2017.
Hal yang dapat dideskripsikan diantaranya yaitu: usia minimum - maksimum,
range, proporsi kasus per golongan umur, proporsi klasifikasi kasus.
3) Tampilan data berupa table
4) Interpretasi dan penarikan kesimpulan
Berdasarkan data tersebut dapat diinterpretasikan bahwa sebagian besar
kasus campak positif terdistribusi pada kelompok umur anak – anak < 10
tahun. Begitupula pada kasus rubella. Kasus campak klinis juga masih banyak
yang belum dilakukan konfirmasi pemeriksaan laboratorium, hal ini
menunjukkan masih kurang kuatnya kinerja surveilans campak dalam
penemuan kasus campak yang harus dilakukan pengambilan spesimen dan
konformasi laboratorium.
Kesimpulan: Kasus campak dan rubella sebagian besar masih terdistribusi pada
kelompok anak = anak usia sekolah < 10 th.

2. Analisis Analitik
Analisis yang dilakukan untuk melihat hubungan antara variable terikat
(dependent variable) dengan variable bebas (independent variable ). Dalam melihat
hubungan antar variable tersebut metode statistic dibedakan menjadi dua
kelompok, yaitu analisis bivariat, dan analisis multivariate.
Berikut adalah contoh tampilan data analisis bivariat antara hubungan status
imunisasi campak balita terhadap kejadian KLB campak di Desa A Puskesmas X
pada tahun 2014

44
Tabel 16.
Hubungan Status Imunisasi Campak Balita Terhadap Kejadian KLB Campak di Desa
A Puskesmas X Pada Bulan Januari 2014
KLB Campak
Sakit Campak Tidak Sakit Campak
Variabel Total OR 95% CI P Value
n % n %

Status Imunisasi Campak


Tidak diimunisasi 52 77,6% 70 59,3% 122 2,37 1,15 - 5,06 0,01
Imunisasi campak 15 22,4% 48 40,7% 63
Total 67 118 185
Catatan Kaki : OR = Odds Ratio; CI=Confidance Interval
Sumber : Laporan Penyelidikan Epidemiologi KLB Campak Puskesmas X

3. Interpretasi Data
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, interpretasi diartikan sebagai
pemberian kesan, pendapat, atau pandangan teoritis terhadap sesuatu, tafsiran.
Interpretasi data adalah proses memberi arti dan signifikansi terhadap analisis yang
dilakukan, menjelaskan pola – pola deskriptif, mencari hubungan dan keterkaitan
antar deskripsi – deskripsi data yang ada (Barnsley & Elis , 1992). Interpretasi data
tidak dapat dipisahkan dari analisis data sehingga interpretasi juga merupakan aspek
tertentu dari analisis.
Analisis data dan interpretasi data merupakan hal yang saling terkait. Analisis data
merupakan proses untuk pengorganisasian data dalam rangka mendapatkan pola –
pola atau bentuk – bentuk keteraturan. Sedangkan interpretasi data adalah proses
pemberian makna terhadap pola – pola atau keteraturan – keteraturan yang
ditemukan dalam sebuah penelitian atau data surveilans.

45
LATIHAN MATERI 3
1. Membuat analisis deskriptif dari data set
yang diberikan: (Kasus Campak, DBD,
difteri) yang dibagi dalam 5 kelompok
2. Membuat interpretasi dari hasil analisis
data set sebelumnya

INSTRUKSI:
1. Tugas dikerjakan secara berkelompok (buat menjadi 5 kelompok)
2. Buatlah analisis secara deskriptif berdasarkan data yang dibuat pada latihan 2
3. Kemudian buat interpretasi dari hasil analisis dekriptif yang telah dilakukan.
4. Masing – masing kelompok mempresentasikan hasil kerja kelompoknya.

Apa yang Anda dapat simpulkan dari latihan tersebut ?

46
POKOK BAHASAN 4
E. DISEMINASI INFORMASI
(CATATAN PELAPORAN SURVEILANS)
Dari hasil analisis data dibuat rekomendasi untuk rencana tindak lanjut, baik
berupa pengutan surveilans, penelitian atau intervensi program.
Kunci keberhasilan surveilans adalah memberikan umpan balik kepada sumber –
sumber data surveilans agar mudah memberikan kesadaran kepada sumber data
tentang pentingnya proses pengumpulan data. Bentuk umpan balik biasanya
ringkasan informasi atau korektif laporan yang dikirimkan.
Seringkali diseminasi informasi diartikan sebagai memberikan data dalam bentuk
tabel, grafik dan peta tanpa disertai komentar atau interpretasi tertentu,
segihingga cara ini kurang memberikan manfaat yang diharapkan. Diseminasi
yang baik harus dapat memberikan informasi yang mudah dimengerti dan
dimanfaatkan dalam menentukan arah kebijakan kegiatan, upayapengendalian
serta evaluasi program yang dilakukan.
Data yang telah diolah diinformasikan kepada program yang terkait dan kepada
pimpinan, penyebaran informasi dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara
lain:
1. Menyampikan tabel, grafik atau peta, baik laporan khusus, ataupun laporan
tahunan dalam sebuah buku data surveilans epidemiologi
2. Menyampikan laporan khusus hasil analisis lanjut kepada program terkait atau
penelitian
3. Menyampaikan paper hasil analisis pada suatu seminar
4. Menyampaikan paper hasil analisis pada suatu bulletin, baik media cetak,
maupun media elektronik
5. Tim teknis surveilans terlibat dalam perencanaan, pengendalian, monitoring
dan evaluasi program atau penelitian.

Tahapan Penyampaian Informasi


Tahapan Pertanyaan
Menetapkan informasi Informasi apa yang
disampaikan?
Mendefinisikan sasaran Siapa yang akan menerima
informasi informasi?
Memilih media komunikasi Informasi akan
untuk menyampaikan disampaikan dengan apa?
informasi
Memasarkan informasi Bagaimana caranya
informasi akan
disampaikan?
Evaluasi dampak Apa yang akan dilakukan

47
penyampaian informasi oleh penerima informasi?

48
LATIHAN MATERI 2
Membuat desiminasi data surveilans (sesuai
tahapan penyampaian informasi)
berdasarkan hasil pengolahan, analisis &
interpetasi data dengan menggunakan data
set latihan analisis data sebelumnya.

INSTRUKSI:

1. Tugas dikerjakan secara berkelompok (buat menjadi 5 kelompok)


2. Membuat desiminasi data surveilans yang akan di sampaikan kepada unit – unit
yang terkait.
3. Identifikasi tahapan penyampaian informasi dari desiminasi yang Saudara buat.
4. Masing – masing kelompok mempresentasikan hasil kerja kelompoknya.

Apa yang Anda dapat simpulkan dari latihan tersebut ?

49
REFERENSI

Departemen Kesehatan RI. (2003). Panduan Praktis Surveilans Epidemiologi Penyakit


(PEP). Edisi I. Jakarta.
Gestman, B. Burt. (2003). Epidemiology Kept Simple: An Introduction to Traditional and
Modern Epidemiology (2nd Ed). New Jersey: Wiley-Liss.
Herrhyanto, Nar., Gantini, Tuti. (2015). Analisis Data Kuantitatif dengan Statistika
Deskriptif. Cetakan 1. Bandung.
Kementerian Kesehatan R.I.(2017). Buku Pedoman; Penyelidikan dan Penanggulangan
Kejadian Luar Biasa Penyakit Menular dan Keracunan Pangan. Edisi Revisi 2017.
Jakarta.
Kuzma, Jan W., Bohnenblust, Stephen. (2005). Basic Statistics for the Health Sciences.
Fifth Edition. Mc Graw-Hill. New York.
Merril,R.M., Timmreck, R.M.M.T.C. (2006). Introduction to Epidemiology. Jones &
Bartlett Learning.
Murti, Bhisma. (1997). Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Cetakan Pertama.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sabri, Luknis.,Hastono,Susanto P. (2006). Statistik Kesehatan. Edisi Revisi. Jakarta.
Swarjana, I Ketut. (2016): Statistik Kesehatan. Edisi 1. Yogyakarta

U.S. Departement of Health and Human Services; CDC: Principles of Epidemiology in Public
Health Practice ; an Introduction to Applied Epidemiology and Biostatistics. Third Edition.
Atlanta.

50
DAFTAR ISI
DESKRIPSI SINGKAT …………………………………………………………………………….. 2
TUJUAN PEMBELAJARAN …………………………………………………………………... ... 4
A. Tujuan Pembelajaran Umum …………………………………………………………………………. 4
B. Tujuan Pembelajaran Khusus ………………………………………………………………………… 4
URAIAN MATERI
A. Konsep Kewaspadaan Diri …………………………………………………………… 5
1. Berbasis Indikator ……………………………………………………………………………………. 6
2. Berbasis Kejadian ……………………………………………………………………………………. 11
LATIHAN MATERI 1
B. Kajian Sistematis Berbagai PenyakitPotensi KLB …………………………….. 15
1. Deteksi Dini Kondisi Retan …………………………………………………………………….. 15
2. Pemantauan Wilayah Setempat Kondisi Rentan KLB …………………………….. 16
LATIHAN MATERI 2
C. Peringatan Kewaspadaan Dini KLB ………………………………………………. 19
LATIHAN MATERI 3
DAFTAR PUSTAKA

1
MODUL 3
MODUL INTI 3
DETEKSI DINI KEJADIAN LUAR BIASA

I. DESKRIPSI SINGKAT
Setelah anda melakukan aktivitas surveilans, apa yang harus dilakukan oleh anda sebagai
petugas surveilans di Puskesmas? Menurut anda apakah aktivitas surveilans rutin dapat
mendeteksi kemungkinan adanya KLB atau tidak?
Deteksi dini KLB dan pemantauan faktor-faktor yang memungkinkan timbulnya KLB
serta cara-cara pencegahan dan penanggulangannya sehingga dapat mengurangi
kerugian dan dampak yang lebih luas.
Melalui modul ini anda akan mempelajari apa dan bagaimana deteksi dini atau
kewaspadaan dini terhadap Kejadian Luar Biasa (KLB). Deteksi dini KLB merupakan
kewaspadaan terhadap kemungkinan terjadinya KLB dengan cara melakukan
intensifikasi pemantauan secara terus menerus dan sistematis terhadap perkembangan
penyakit berpotensi KLB dan perubahan kondisi rentan KLB agar dapat mengetahui
secara dini terjadinya KLB.

Apa manfaat bagi Anda sebagai tenaga surveilans di puskesmas jika anda tuntas berlatih dari
materi pada modul ini? Manfaatnya bagi anda yaitu:
1. Dapat menentukan kelompok populasi yang paling berisiko, baik berdasarkan
wilayah, umur, jenis kelamin, ras, pekerjaan, dan lain-lain
2. Dapat menentukan jenis dari kuman atau agent penyebab sakit dan karakteristiknya
3. Dapat menentukan reservoir kuman
4. Dapat memastikan keadaan-keadaan yang yang dapat menyebabkan terjadinya
transmisi penyakit.
5. Dapat mencatat kejadian penyakit
6. Dapat memastikan sifat dasar dari wabah, sumber dan cara penularan serta
penyebaran menurut wilayah atau kelompok-kelompok populasi dsb.

2
MODUL 3
Apa dampak bagi Anda sebagai tenaga surveilans di puskesmas jika anda TIDAK berlatih
materi modul ini?
1. Tidak dapat melakukan deteksi dini KLB
2. Tidak dapat berfikir sistematis terhadap deteksi dini KLB
3. Tidak mempunyai peta resiko KLB
4. Terlambat melakukan aksi penanggulangan KLB

Agar anda semakin menjadi petugas Puskesmas yang mantap dan Puskesmas anda lebih
bermanfaat, mari kita berlatih dengan niat yang baik.
Selamat Belajar…!

3
MODUL 3
II. TUJUAN PEMBELAJARAN
A. Tujuan Pembelajaran Umum
Setelah mengikuti pembelajaran, peserta mampu melakukan kewaspadaan dini Kejadian
Luar Biasa.

B. Tujuan Pembelajaran Khusus:


Setelah mengikuti pembelajaran, peserta dapat:
1. Menjelaskan Konsep Kewaspadaan Dini
2. Mengkaji secara sistematis terhadap berbagai jenis penyakit berpotensi KLB
3. Membuat peringatan kewaspadaan dini KLB di wilayah Puskesmas untuk jangka
pendek atau jangka Panjang

III. POKOK BAHASAN


A. Konsep Kewaspadaan Dini
1. Berbasis Indikator
2. Berbasis Kejadian

B. Kajian Sistematis Berbagai Penyakit Potensi Klb Penyakit/Keracunan


1. Deteksi dini kondisi rentan (identifikasi kondisi rentan KLB)
2. Pemantauan wilayah setempat kondisi rentan KLB, penyelidikian dugaan kondisi
rentan KLB)

C. Peringatan Kewaspadaan Dini KLB

4
MODUL 3
IV. URAIAN MATERI
POKOK BAHASAN 1
A. KONSEP KEWASPADAAN DINI

Konsep Kewaspadaan Dini adalah kondisi kepekaan, kesiap-siagaan dan antisipasi


masyarakat memantau perkembangan trend suatu penyakit menular potensial KLB/wabah
dari waktu ke waktu.

Kewaspadaan Dini adalah suatu tatanan pengamatan yang mendukung sikap tanggap
terhadap suatu perubahan/penyimpangan dalam masyarakat berkaitan dengan
kecenderungan terjadinya kesakitan / kematian, pencemaran makanan/lingkungan sehingga
dapat dilakukan tindakan yang cepat dan tepat.

Dugaan terhadap suatu KLB mungkin muncul ketika aktifitas surveilans rutin mendeteksi
adanya isolat mikroba atau kluster kasus yang tidak biasa, atau terjadinya peningkatan
jumlah kasus yang signifikan dari jumlah yang biasa. Gambar dibawah menunjukan bentuk
kurva epidemi, deteksi dini KLB dapat menjelaskan kemungkinan adanya peningkatan sejak
ditemukan kasus pertama bahkan sebelum kasus pertama di temukan dengan melihat faktor
resiko atau tanda-tanda epidemiologi kasus tertentu.

Kasus Sampel
Kasus Respon
pertama di Laporan diambil Sampel
pertama dilakukan
Pkm dikirim
90 R
80
70
e
masalah

60 p
Kasus

50
40
o
Kasus
30 rt dapat di
kontrol
20
10
0
1

9
11

13

15

17

19

21

23

25

27

29

31

33

35

37

39

Gambar 1. Deteksi dini KLB dan besaran masalah jika tidak dilakukan antisipasi KLB

Gambar diatas menunjukan betapa pentingnya deteksi dini KLB. Semakin awal dapat
mendeteksi potensi KLB, makin besar potensi dampak negatif akibat KLB yang dapat
dicegah.
Waspada & amati Kejadian antara lain:
• Penyakit
• Gejala/tanda (AFP, bercak merah)
• Masalah Kesehatan (gizi buruk, perilaku)
5
MODUL 3
• Kondisi Lingkungan (vektor, udara, air)
• Prilaku

1. Berbasis Indikator
Seperti halnya dengan surveilans berbasis indikator maka kewaspadaan berbasis indikator
merupakan cara rutin pelaporan penyakit ke Dinas Kesehatan. Jadi data yang dilaporkan
rutin oleh puskesmas merupakan indikator yang diamati di puskesmas. Data yang
disampaikan merupakan data terstruktur karena ada standarisasi dalam penyampaian
laporan. Diantara sitem kewaspadaan dini yang sedang diimplementasikan adalah SKDR.

Surveilans berbasis indikator dilakukan untuk memperoleh gambaran penyakit, faktor risiko
dan masalah kesehatan dan/atau masalah yang berdampak terhadap kesehatan yang
menjadi indikator program dengan menggunakan sumber data yang terstruktur. Contoh:
penyelenggaraan surveilans AFP, CBMS, Surveilans Gizi dll.
a. Laporan Mingguan
Laporan mingguan yang digunakan adalah Sistem kewaspadaan Dini dan Respon
(SKDR) atau dalam aplikasi yang biasa digunakan adalah Early Warning Alert and
Respon System (EWARS). EWARS. EWARS merupakan laporan mingguan berbasis
web.
EWARS merupakan salah satu perangkat dalam surveilans untuk mengetahui secara
dini keberadaan sinyal peringatan/ ancaman penyakit menular potensial KLB.
Sebagian besar penyakit menular yang masuk dalam sistem kewaspadaan dini adalah
penyakit menular dengan rata-rata masa inkubasi selama 1 minggu.
1) SKDR Berbasis Website
Pada saat ini SKDR sudah berbasis website. SKDR Berbasis Website untuk
memudahkan dalam operasional pelaporan, analisis dan penyimpanan data.
Beberapa kemudahan tersebut diantaranya menggunakan :
• Komputer dengan Browser internet (direkomendasikan menggunakan Mozilla
FireFox)
• Komputer Tablet/ Smartphone :
o Android dengan Browser Mozilla Fireox for Android.
o iOS dengan Browser Safari
• Internet

Akses Aplikasi SKDR Berbasis website melalui alamat : http://skdr.surveilans.org/


Tampilan halaman utama SKDR Berbasis Website

6
MODUL 3
2) Analisa Data – Alert
Analisa data alert untuk mengetahui ada tidaknya potensi KLB. Sebelum dianalisis,
alert harus diverifikasi terlebih dahulu untuk mengetahui benar tidaknya laporan
tersebut. Setelah diverifikasi, kemudian dilakukan analisis alert.

7
MODUL 3
Data Verifikasi untuk mengetahui:
• Temuan Dilapangan
• Rencana Tindak Lanjut
• Status Verifikasi (Ya/Tidak)
• KLB (Ya/Tidak)
• Respon kurang dari 24 jam (Ya/Tidak)

8
MODUL 3
Tampilan setelah verifikasi

Analisis data dilakukan dengan melihat menu analisis data. Menu analisis data
menampilkan analisa berupa tabel, grafik, dan peta.

Tampilan Grafik

9
MODUL 3
Tampilan Trend Penyakit

b. Laporan Bulanan
Laporan bulanan yang rutin adalah laporan surveilns terpadu penyakit (STP). Surveilans
Terpadu Penyakit adalah pelaksanaan surveilans epidemiologi penyakit menular dan
surveilans epidemiologi penyakit tidak menular dengan metode pelaksanaan surveilans
epidemiologi rutin terpadu beberapa penyakit yang bersumber data Puskesmas, Rumah
Sakit, Laboratorium dan Dinas Kesehatan Kabupaten/kota.
Memperoleh informasi epidemiologi penyakit menular & PTM tertentu dan terdistribusinya
informasi tersebut kepada program terkait, pusat-pusat kajian dan pusat penelitian serta
unit surveilans lain.

Ruang Lingkup STP


• STP bersumber data puskesmas
• STP bersumber data Rumah Sakit
• STP bersumber data Laboratorium
• STP bersumber data KLB Penyakit dan Keracunan Makanan Dinkes
Kabupaten / Kota
• STP bersumber data Puskesmas Sentinel
• STP bersumber data Rumah Sakit Sentinel

Pembahasan pada modul ini akan terfokus pada STP bersumber data puskesmas.
Contoh laporan STP.

10
MODUL 3
2. Berbasis Kejadian
Seperti halnya dengan surveilans berbasis kejadian Kewaspadaan dini berbasis kejadian
dimaksud dilakukan untuk menangkap dan memberikan informasi secara cepat tentang
suatu penyakit, faktor risiko, dan masalah kesehatan dengan menggunakan sumber data
berdasarkan kejadian.
Misalnya: pada rumor ataupun kejadian KLB keracunan pangan atau penyakit.

a. Berbasis Kejadian KLB


Data KLB dianalisis dan digunakan untuk mengetahui pola KLB yang terjadi sebelumnya.
Analisis di lakukan menurut orang tempat dan waktu. Contoh kejadin KLB makanan
setelah dianalisis lebih banyak terjadi pada waktu bulan haji ( Djulhijah), karana pada
waktu tersebut budaya sekitar banyak melakukan keduri pernikahan. Sehingga setiap
menjelang bulan tersebut kita sudah dapat melakukan antisipasi / deteksi awal. Tampilan
data KLB dalam bentuk tabel dan peta. Tabel menunjukan besaran kasus dan peta dapat
melihat sebaran kasus.
b. Tabel

11
MODUL 3
c. Peta
2.

b. Berbasis Faktor Resiko


1) Faktor resiko lingkungan
Lingkungan mempunyai pengaruh relatif besar terhadap derajat kesehatan
masyarakat, disamping faktor perilaku, pelayanan dan faktor keturunannya.

Contoh faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit batuk dan nafas cepat
pada balita adalah kualitas rumah seperti dinding, kepadatan hunian dan jenis bahan
bakar yang dipakai.

Dengan mengetahui faktor resio lingkungan, kita dapat melakukan deteksi awal
terhadap enyakit yang berkaitan dengan lingkungan tersebut. Data faktor resiko
penyakit sangat penting untuk deteksi dini KLB.

2) Faktor Resiko Perilaku


Faktor Resiko Perilaku adalah kebiasaan yang dilakukan sehari-hari yang dapat
mempengaruhi terjadinya penularan dan mempengaruhi penyakit. Yang termasuk

12
MODUL 3
faktor resiko perilaku diantaranya kebiasaan merokok, pola asuh anak, Pola Hidup
Bersih dan sehat (PHBS).

Data faktor resiko perilaku sangat penting untuk deteksi dini KLB penyakit yang
diakibatkan oleh perilaku yang tidak sehat seperti diare, pneumonia, ISPA dll.

13
MODUL 3
LATIHAN MATERI 1

Buat alert / sinyal KLB berdasarkan laporan


mingguan dan bulanan

INSTRUKSI:
1. Baca bahan bacaan Pedoman Sitem Kewaspadaan Dini dan Respon
2. Dengan menggunakan Komputer/Tablet/Smartphone. Buka web SKDR di daerah
masing-masing (http://skdr.surveilans.org/). Coba lakukan verifikasi melalui computer
tablet/smartphone anda untuk setiap peringatan dini yang muncul buat alert penyakit
dan simpulkan apakah alert menunjukan kemungkinan adanya KLB.
3. Buat pola penyakit berdasarkan laporan bulanan / data STP.

Apa yang Anda dapat simpulkan dari latihan tersebut ?

14
MODUL 3
POKOK BAHASAN 2
B. KAJIAN SISTEMATIS BERBAGAI PENYAKIT POTENSI
KLB PENYAKIT/KERACUNAN

1. Deteksi Dini Kondisi Rentan (Identifikasi Kondisi Rentan KLB)


Kondisi rentan KLB adalah kondisi masyarakat, lingkungan-perilaku, dan penyelenggaraan
pelayanan kesehatan yang merupakan faktor risiko terjadinya KLB.

Deteksi dini kondisi rentan KLB merupakan kewaspadaan terhadap timbulnya kerentanan
masyarakat, kerentanan lingkungan-perilaku, dan kerentanan pelayanan kesehatan
terhadap KLB dengan menerapkan cara-cara surveilans epidemiologi atau Pemantauan
Wilayah Setempat (PWS) kondisi rentan KLB.

Identifikasi timbulnya kondisi rentan KLB dapat mendorong upaya-upaya pencegahan


terjadinya KLB dan meningkatkan kewaspadaan berbagai pihak terhadap KLB.

Identifikasi Kondisi Rentan KLB mengidentifikasi secara terus menerus perubahan kondisi
lingkungan, kualitas dan kuantitas pelayanan kesehatan, kondisi status kesehatan
masyarakat yang berpotensi menimbulkan KLB di daerah.

Identifikasi Kasus Berpotensi KLB adalah setiap kasus berpotensi KLB yang datang ke Unit
Pelayanan Kesehatan, diwawancarai kemungkinan adanya penderita lain di sekitar tempat
tinggal, lingkungan sekolah, lingkungan perusahaan atau asrama yang kemudian dapat
disimpulkan dugaan adanya KLB. Adanya dugaan KLB pada suatu lokasi tertentu diikuti
dengan penyelidikan.

Contoh: Pada daerah dengan cakupan imunisasi campak yang rendah, maka setiap anak
yang berobat dengan gejala demam dan bintik merah harus diwawancarai mendalam yang

15
MODUL 3
mengarah pada penyakit campak.

2. Pemantauan Wilayah Setempat Kondisi Rentan KLB


(penyelidikian dugaan kondisi rentan KLB)

Setiap Sarana Pelayanan Kesehatan merekam data perubahan kondisi rentan KLB menurut
desa atau kelurahan atau lokasi tertentu lainnya, menyusun tabel dan grafik pemantauan
wilayah setempat kondisi rentan KLB. Setiap kondisi rentan KLB dianalisis terus menerus
dan sistematis untuk mengetahui secara dini adanya ancaman KLB.

Pemantauan Wilayah Setempat Penyakit Berpotensi KLB dilakukan dengan merekam data
epidemiologi penderita penyakit berpotensi KLB menurut desa atau kelurahan oleh setiap
Unit Pelayanan Kesehatan. Setiap Unit Pelayanan Kesehatan menyusun tabel dan grafik
pemantauan wilayah setempat KLB. Setiap Unit Pelayanan Kesehatan melakukan analisis
terus menerus dan sistematis terhadap perkembangan penyakit yang berpotensi KLB di
daerahnya untuk mengetahui secara dini adanya KLB. Adanya dugaan peningkatan penyakit
dan faktor resiko yang berpotensi KLB diikuti dengan penyelidikan.

Unit surveilans puskesmas melakukan analisis mingguan terhadap penyakit potensial wabah
di daerahnya dalam bentuk tabel menurut desa/kelurahan dan grafik kecenderungan
mingguan, kemudian menginformasikan hasil analisis kepada kepala puskesmas, sebagai
pelaksanaan pemantauan wilayah setempat (PWS) atau sisem kewaspadaan dini penyakit
potensial wabah di puskesmas. Jika ditemukan peningkatan penyakit tertentu maka kepala
puskesmas melakukan penyelidikan epidemiologi dan menginformasikan ke dinas
kesehatan kabupaten/kota.

Unit surveilans puskesmas melakukan analisis tahunan perkembangan penyakit dan


menghubungkannya dengan fakor risiko, perubahan lingkungan, serta perencanaan dan
keberhasilan program.

Pengumpulan data ditingkat puskesmas melibatkan bidan atau bidan desa, masyarakat
(posyandu lansia, balita) data dikumpulkan ke bidan diwilayah kerjanya, dokter praktek,
petugas imunisasi, dan petugas program di P2PL puskesmas (penyakit kolera, tipus perut
klinis, disentri, diare, TBC paru BTA +, Tersangka TBC Paru, Kusta PB, Kusta MB, Tetanus,
Difteri, Batuk rejan, Sifilis, Gonorhoe, Frambusia, DBD, Demam Dengue, Campak, Hepatitis
Klinis, Malaria Falsiparum, Malaria Vivax, Malaria Mix, Malaria klinis, Filariasis, Diabetes
Milites, Hipertensi, Influensa, Pneumonia).

16
MODUL 3
Contoh:

17
MODUL 3
LATIHAN MATERI 2
Buat pola minimal maksimal penyakit DBD, Diare
dan Campak di tempat kerja saudara

INSTRUKSI:
1. Kumpulkan data kasus DBD, Diare dan Campak di tempat kerja saudara.
2. Buat pola minimal maksimal kasus DBD, Diare dan Campak

Apa yang Anda dapat simpulkan dari latihan tersebut ?

18
MODUL 3
POKOK BAHASAN 3
C. PERINGATAN KEWASPADAAN DINI KLB

Peringatan kewaspadaan dini KLB dan atau terjadinya peningkatan KLB pada daerah
tertentu dibuat untuk jangka pendek (periode 3-6 bulan yang akan datang) dan disampaikan
kepada semua unit terkait di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, sektor terkait dan anggota
masyarakat, sehingga mendorong peningkatan kewaspadaan dan kesiapsiagaan terhadap
KLB di Unit Pelayanan Kesehatan dan program terkait serta peningkatan kewaspadaan
masyarakat perorangan dan kelompok. Peringatan kewaspadaan dini KLB dapat juga
dilakukan terhadap penyakit berpotensi KLB dalam jangka panjang (periode 5 tahun yang
akan datang), agar terjadi kesiapsiagaan yang lebih baik serta dapat menjadi acuan
perumusan perencanaan strategis program penanggulangan KLB.
Contoh pola minimal maksimal.

Contoh
Mendeteksi KLB disentri dengan cara memonitor Jumlah kasus diare berdarah

Dalam mendeteksi suatu KLB harus diperhatikan beberapa hal diantaranya:

19
MODUL 3
1. Gambaran klinis penyakit yang diamati. Gejala klinis adalah ganguan atau keluhan yang
dirasakan penderita seperti deman, rash, diare dll. Setiap penyakit mempunyai gejala klinis
yang khas. Sehingga pengamatan klinis bisa terfous pada gejala khas penyakit tertentu.
2. Etiologi penyakit yang diamati. Bisa juga disebut riwayat alamiah penyakit.
3. Masa inkubasi penyakit yang diamati periode waktu dari pemaparan sampai timbulnya
gejala penyakit.
Contoh. Hepatitis A 2-6 minggu
➢ Pada periode ini mungkin dapat dideteksi perubahan patologik melalui
⚫ Laboratorium
⚫ Radiografik
⚫ atau metode skrining yang lain

4. Sumber penularan penyakit yang diamati adalah tempat hama penyakit hidup dan
berkembang biak secara alamiah.
Contoh. Bakteri antraks yang hidup di kambing

5. Cara Penularan penyakit yang diamati


Berdasarkan cara penularan penyakit, dibagi menjadi :
a. Penularan Langsung
1) Melalui Udara => Daroplet Nuclei, keluar melalui mulut / hidung, dapat
bertahan di debu, lantai, tempat tidur dalam waktu yang lama dan mempunyai
daya tahan yang kuat terhadap lingkungan dan kekeringan.
2) Melalui asupan makanan => penyakit saluran pencernaan.
b. Penularan tidak langsung
1) Water Borne Disesase (Air), Port D’entry nya mulut & kulit
2) Food Borne Disease (makanan)
3) Milkborne Disease (susu)
4) Melalui vektor
5) Mekanik, menempel (tikus)
6) Biologis, masuk dalam tubuh vektor (nyamuk)

20
MODUL 3
6. Epidemiologi penyakit yang diamati.
Faktor agen, pejamu, dan lingkungan saling berkaitan dalam berbagai cara yang kompleks
untuk dapat menyebabkan penyakit pada manusia.

7. Kewaspadaan dini penyakit yang diamati.


Suatu sistem yang dapat memantau perkembangan trend suatu penyakit menular potensial
KLB/wabah yang diamati dari waktu ke waktu (periode mingguan) dan memberikan sinyal
peringatan (alert) kepada pengelola program bila kasus tersebut melebihi nilai ambang
batasnya sehingga mendorong program untuk melakukan respons. Alert atau signal yang
muncul pada system bukan berarti sudah terjadi KLB tetapi merupakan pra-KLB yang
mengharuskan petugas untuk melakukan respons cepat agar tidak terjadi KLB.

8. Faktor resiko lingkungan, vektor dan sosial penyakit yang diamati.


Faktor-faktor yang berkaitan dengan timbulnya penyakit yang kita amati.
Contoh. Sanitasi yang buruk terhadap terjadinya penyakit diare, hepatitis dll.

9. Status imunisasi untuk penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.


Cakupan imunisasi yang kita pantau selama paling tidak 5 tahun atau pada saat kejadian
yang berkaitan dengan timbulnya penyakit yang kita amati.
Contoh. Pengamatan terhadap cakupan imunisasi campak dalam 5 tahun terakhir untuk
melihat adanya sasaran yang tidak diimunisasi yang terakumulasi selama 5 tahun juga
melihat sasaran tersebut mengklaster atau tidak.

Untuk deteksi dini KLB penyakit dapat digunakan matriks yang memuat beberapa
pertimbangan seperti diatas. Contoh pengisian matriks pada lampiran.

21
MODUL 3
LATIHAN MATERI 3
1. Buat matrik
2. Buat kesimpulan
3. Buat keputusan kasus mengarah KLB atau
bukan

INSTRUKSI:
1. Baca bahan bacaan
2. Isi matrik sesuai bahan bacaan

Apa yang Anda dapat simpulkan dari latihan tersebut ?

22
MODUL 3
LAMPIRAN
CONTOH MATRIKS DETEKSI DINI KLB
1. MATRIKS DETEKSI DINI KASUS ANTRAKS
No Despkripsi Kasus Kondisi Kesimpulan
Lapangan
Saat Ini
ADA TIDAK
A Gambaran kasus
1 GAMBARAN
KLINIS
Antraks Kulit rasa gatal tanpa disertai rasa sakit,
yang dalam waktu 2-3 hari
membesar menjadi vesikel berisi
cairan kemerahan, kemudian
haemoragik dan menjadi jaringan
nekrotik berbentuk ulsera yang
ditutupi kerak berwarna hitam,
kering yang disebut Eschar
(patognomonik)
Antraks Saluran rasa sakit perut hebat, mual,
Pencernaan muntah, tidak nafsu makan,
demam, konstipasi, gastroenteritis
akut yang kadang-kadang disertai
darah, hematemesis
Antraks Paru- tanda-tanda bronchitis dalam
Paru waktu 2-4 hari gejala semakin
berkembang dengan gangguan
respirasi berat, demam, sianosis,
dispneu, stridor, keringat
berlebihan, detak jantung
meningkat, nadi lemah dan cepat.
Kematian biasanya terjadi 2-3 hari
setelah gejala klinis timbul.
Antraks lesi primer yang berkembang
Meningitis menjadi meningitis hemoragik dan
kematian dapat terjadi antara 1-6
hari. Gambaran klinisnya mirip
dengan meningitis purulenta akut
yaitu demam, nyeri kepala hebat,
kejang-kejang umum, penurunan
kesadaran dan kaku kuduk

2 ETIOLOGI Bacillus anthracis, Basil Antraks


dapat keluar dari bangkai hewan

23
MODUL 3
dan suhu luar di atas 20°C,
kelembaban tinggi basil tersebut
cepat berubah menjadi spora yang
tahan hidup selama bertahun-
tahun. Bila suhu rendah maka basil
antraks akan membentuk spora
secara perlahan - lahan
3 MASA INKUBASI

Antraks Kulit Adakah laporan kasus pada


manusia mirip antraks kulit 5 hari
terakhir
Antraks Saluran Adakah laporan kasus pada
Pencernaan manusia mirip antraks Pencernaan
5 hari terakhir
Antraks Paru- Adakah laporan kasus pada
paru manusia mirip antraks paru-paru 5
hari terakhir
Antraks Adakah laporan kasus pada
Meningitis manusia mirip antraks meningitis 6
hari terakhir
4 SUMBER 1. Pemotongan hewan, peternak
PENULARAN kambing, sapi dll

2. Pekerja pada pemotongan


hewan, peternakan kambing, sapi
dll

5 CARA 1. Sanitasi yang baik pada tempat


PENULARAN pemotongan hewan, peternak
kambing, sapi dll

2. Pekerja menggunakan APD


pada pemotongan hewan,
peternakan kambing, sapi dll

6 EPIDEMIOLOGI 1. Pemotongan hewan, peternak


kambing, sapi dll

2. Pekerja pada pemotongan


hewan, peternakan kambing, sapi
dll

7 KEWASPADAAN 1. Kelengkapan Laporan EWARS >


DINI 90%

2. Ketepatan Laporan EWARS >

24
MODUL 3
80%

3. Kelengkapan Laporan STP >


90%

4. Ketepatan Laporan STP > 80%

5. Laporan kematian hewan


herbivora, kambing, sapi dll

B FAKTOR RESIKO

1 LINGKUNGAN 1. Kelembaban tinggi

2. Perubahan musim (dari


Kemarau ke penghujan)

2 VECTOR

3 SOSIAL 1. Pasar hewan

2. Peternakan hewan herbivora

3. Perayaan dengan menggunakan


hewan herbivora (Idul adha dll)

4 IMUNISASI

FORMAT MATRIKS DETEKSI DINI

1. MATRIKS DETEKSI DINI KASUS …………………………..

No Despkripsi Kasus Kondisi Kesimpulan


Lapangan
Saat Ini
ADA TIDAK
A GAMBARAN KASUS

1 GAMBARAN KLINIS

25
MODUL 3
2 ETIOLOGI

3 MASA INKUBASI

4 SUMBER
PENULARAN

5 CARA PENULARAN

6 EPIDEMIOLOGI

7 KEWASPADAAN
DINI

B FAKTOR RESIKO

1 LINGKUNGAN

2 VECTOR

3 SOSIAL

4 IMUNISASI

REFERENSI

Depkes RI. Kepmenkes Nomor 1479/SK/X/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan


Sistem Epidemiologi Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular, 2003.

Depkes RI. Permenkes Nomor 949/Menkes/SK/VIII/2004, Tentang Pedoman


Penyelenggaraan Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa (KLB), 2004.

Depkes RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


No.1501/MENKES/PER/X/2010 Tentang Jenis Penyakit Menular Yang Dapat
Menimbulkan Wabah Dan Upaya Penanggulangan. Jakarta : Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2010.

26
MODUL 3
Kemenkes RI, Pedoman Sistem Kewaspadaan Dini dan Respon, 2012

Page RM, Cole GE, Timmreck TC. Basic Epidemiological Methods and Biostatistics. A
Practical Guidebook. Jones and Barlett Publisher. Boston, London. 1995.

Mc Mahon Brian, M.D., PhD., Trichopoulos Dimitras, M.D.,


M.D. 1996. Epidemiology Principles and Methods. Little Brown Company Boston, New york,
Toronto, London

27
MODUL 3
DAFTAR ISI

DESKRIPSI SINGKAT ......................................................................................................................................... 2


TUJUAN PEMBELAJARAN............................................................................................................................... 3
A. Tujuan Pembelajaran Umum ....................................................................... 3
B. Tujuan Pembelajaran Khusus .................................................................................................... 3
URAIAN MATERI ....................................................................................................................................................
A. Prinsip penyelidikan KLB........................................................................................................... 4
1. Pengertian Wabah dan KLB....................................................................................................... 4
2. Kriteria kerja KLB .................................................................................................................................. 6
3. Penetapan kerja KLB ............................................................................................................................ 9
4. Prinsip penyelidikan KLB ...........................................................................................................10
LATIHAN MATERI 1

B. Penyelidikan KLB.................................................................................................................. 16
LATIHAN MATERI 2

C. Penanggulangan KLB ............................................................................................................ 44


1. Prinsip penanggulangan KLB...................................................................................................44
2. Penanggulangan KLB .................................................................................................................44
LATIHAN MATERI 3

REFERENSI

1
MODUL INTI 4
PENYELIDIKAN KEJADIAN LUAR BIASA

I. DESKRIPSI SINGKAT

Penyelidikan kejadian luar biasa (KLB) adalah suatu kegiatan untuk memastikan adanya
KLB, mengetahui penyebab, mengetahui sumber penyebaran, mengetahui faktor resiko
dan menetapkan program penanggulangan KLB. Penanggulangan KLB adalah suatu
kegiatan yang bertujuan menangani penderita, mencegah perluasan KLB, mencegah
terjadinya penderita/kematian baru pada saat terjadinya KLB.
Secara khusus manfaat bagi tenaga puskesmas adalah meningkatnya kompetensi dalam
melakukan penyelidikan dan penanggulangan KLB terutama dalam merespon KLB sesuai
kewenangan dan pada situasi/kondisi yang tepat. Banyaknya KLB dan keracunan
makanan /minuman yang terjadi saat ini karena petugas puskesmas tidak mengetahui
KLB yang akan, sedang dan atau telah terjadi, serta terlambatnya membaca signal , tidak
mampu merespon adanya KLB.
Untuk mempelajari modul ini petugas Surveilans puskesmas harus memahami dahulu
tentang pengertian wabah, KLB, prinsip prinsip penyelidikan epidemiologi,
penanggulangan KLB, termasuk kriteria kerja KLB dan keracunan pangan, dan beberapa
penjelasan lainnya.

Selamat Belajar !!!

2
II. TUJUAN PEMBELAJARAN
A. Tujuan Pembelajaran Umum

Setelah mengikuti pembelajaran, peserta mampu melakukan penyelidikan dan


penanggulangan KLB

B. Tujuan Pembelajaran Khusus:

Setelah mengikuti pembelajaran, peserta dapat:


1. Menjelaskan prinsip penyelidikan KLB
2. Melakukan penyelidikan KLB
3. Melakukan penanggulangan KLB

III. POKOK BAHASAN

A. Prinsip penyelidikan KLB


1. Pengertian Wabah dan KLB
2. Kriteria kerja KLB
3. Prinsip penyelidikan KLB

B. Penyelidikan KLB

C. Penanggulangan KLB
1. Prinsip penanggulangan KLB
2. Penanggulangan KLB

3
IV. URAIAN MATERI

POKOK BAHASAN 1
A. PRINSIP PENYELIDIKAN KEJADIAN LUAR BIASA (KLB)
1. Pengertian Wabah dan KLB
Pengertian Wabah
Wabah Penyakit Menular yang selanjutnya disebut wabah adalah kejadian
berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya
meningkat secara nyata melebihi dari pada keadaan yang lazim pada waktu dan
daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka (UU no.4, 1984). Wabah
ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.

Pengertian Kejadian Luar Biasa (KLB)


Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan
dan atau kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu daerah dalam
kurun waktu tertentu, dan merupakan keadaan yang dapat menjurus pada
terjadinya wabah. Disamping penyakit menular, penyakit yang juga dapat
menimbulkan KLB adalah penyakit tidak menular dan keracunan serta keadaan
tertentu yang rentan terjadinya KLB adalah keadaan bencana dan keadaan
kedaruratan. (Permenkes RI No.1501/MENKES/PER/X/2010).

Istilah lain yang sering disebut adalah Cluster kasus, yaitu terdapatnya sejumlah
penderita penyakit yang berhubungan satu dengan yang lainnya, baik karena
keterkaitan dalam rangkaian penularan agen penyakit, atau karena adanya
keterkaitan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya penyakit.

Biasanya ada batas antara KLB dan cluster, pada cluster masih belum jelas populasi
berisikonya, sehingga attack rate belum bisa diperkirakan atau belum bisa
dinyatakan terjadi peningkatan jumlah kasus atau tidak.

Penyakit menular tertentu yang berpotensi wabah /KLB dan Public Health
Emergency International Concern (PHEIC)

Penyakit menular tertentu yang berpotensi wabah /KLB

4
Beberapa penyakit menular tertentu yang dapat menimbulkan wabah telah
ditetapkan dengan didasarkan pada pertimbangan epidemiologis, sosial budaya,
keamanan,ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan menyebabkan dampak
malapetaka di masyarakat (Permenkes RI No1501/MENKES/PER/X/2010).

Penyakit-penyakit menular yang wajib dilaporkan adalah penyakit-penyakit yang


memerlukan kewaspadaan ketat yang merupakan penyakit-penyakit wabah atau
yang berpotensi wabah atau yang dapat menimbulkan kejadian luar biasa (KLB).
Penyakit-penyakit yang berpotensi wabah /KLB tersebut adalah:
1) Kolera
2) Pes
3) Demam Berdarah Dengue (DHF)
4) Campak
5) Polio
6) Pertusis
7) Difteri
8) Rabies
9) Malaria
10) Influenza (termasuk Avian Influenza H5N1 dan Flu Baru H1N1)
11) Anthrax
12) Leptospirosis
13) Hepatitis
14) Meningitis
15) Encephalitis
16) Yellofever
17) Chikungunya

Dan penyakit penyakit menular tertentu lainnya yang dapat menimbulkan wabah
ditetapkan oleh Menteri (ps 4,PMK RI No 1501/MENKES/PER/X/2010 )

PHEIC (Public Health Emergency International Concern)

5
PHEIC yaitu penyakit-penyakit yang dapat menimbulkan emergency secara
internasional sehingga menjadi perhatian internasional, dapat menjadi ancaman
kesehatan bagi negara lain dan kemungkinan membutuhkan koordinasi
internasional dalam penanggulangannya.
Penyakit yang termasuk dalam PHEIC ini harus dilaporkan kepada Badan
Kesehatan Dunia (WHO) sesuai dengan International Health Regulation (IHR).
International Health Regulation mengatur tindakan yang dilakukan terhadap
berbagai penyakit yang bisa menjadi masalah antar negara. Pada tahun 2005
diterbitkan IHR revisi 2005, yang meminta negara-negara merealisasikan
tindakan terhadap penyakit-penyakit yang masuk sebagai PHEIC.
Tujuan IHR 2005 adalah mencegah, melindungi terhadap dan menanggulangi
penyebaran penyakit antar negara tanpa pembatasan perjalanan dan
perdagangan yang tidak perlu. Penyakit yang dimaksud ialah penyakit menular
yang sudah ada, baru dan yang muncul kembali serta penyakit tidak menular. yang
bisa menyebabkan PHEIC / Kedaruratan Kesehatan yang meresahkan dunia

2. Kriteria Kerja Kejadian Luar Biasa (KLB)


Pada Permenkes RI Nomor 1501/ MENKES/PER/X/2010, tentang Jenis Penyakit
Menular tertentu yang dapat menimbulkan Wabah Dan Upaya Penanggulangan,
menetapkan suatu daerah dapat dinyatakan dalam keadaan KLB, apabila
memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut :
2. Timbulnya suatu penyakit menular tertentu yang sebelumnya tidak ada atau
tidak dikenal pada suatu daerah.
Contoh : Avian influenza (influenza A-H5N1), Flu baru (influenza A-H1N1).

2. Peningkatan kejadian kesakitan terus menerus selama 3 (tiga) kurun waktu


dalam jam, hari atau minggu berturut-turut menurut jenis penyakitnya

12 KLB
JML KASUS

0
05 06 07 08 09
MINGGU

Gambar 1. Distribusi DBD, Puskesmas X, 2011

6
Sumber : Modul PJJ-PAEL,MI-3 : PE-KLB

3. Peningkatan kejadian kesakitan 2 ( dua) kali atau lebih dibandingkan dengan


periode sebelumnya

60 KLB
JML KASUS

40

20

0
05 06 07 08 09
MINGGU

Gambar 2. Distribusi Diare Puskesmas X, 2011

Sumber : Modul PJJ-PAEL,MI-3 : PE-KLB

4. Jumlah penderita baru dalam periode waktu satu bulan menunjukkan kenaikan
dua kali atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata per bulan dalam tahun
sebelumnya

40
KLB
30
JML KASUS

Rata-rata jumlah kasus


20 per bulan tahun 2010

10

0
05 06 07 08 09
MINGGU
Gambar 3. Distribusi Tifus, Kec. Suku, 2011 Sumber : Modul PJJ-PAEL,MI-3 :
PE-KLB

5. Rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan selama 1 (satu) tahun


menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan rata-rata
jumlah kejadian kesakitan per bulan pada tahun sebelumnya.

7
KLB

30

JML KASUS
20

10

0
2007 2008 2009 2010
TAHUN

Gambar 4. Rata-rata Jumlah Kematian Bayi Baru Lahir


di RS Sehat, 2007-2010

Sumber : Modul PJJ-PAEL,MI-3 : PE-KLB

6. Angka kematian kasus suatu penyakit (Case Fatality Rate) dalam 1 (satu)
kurun waktu tertentu menunjukkan kenaikan 50% (lima puluh persen) atau
lebih dibandingkan dengan angka kematian kasus suatu penyakit periode
sebelumnya dalam kurun waktu yang sama.

1.5
KLB

KLB
JML KASUS

0.5

0
Mei Juni Juli Agst Sept
MINGGU

Gambar 5. CFR (%) DBD Kab. Nagari, 2010 Sumber : Modul PJJ-
PAEL,MI-3 : PE-KLB

7. Angka proporsi penyakit (Proportional Rate) penderita baru pada satu


periode menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibanding satu periode
sebelumnya dalam kurun waktu yang sama.

8
18 KLB
12
% KASUS
DIARE

CAMPAK
0
Jul Ags Sep Okt Nop
BULAN
Gambar 6. Prosentase Kunjungan Berobat Campak
dan Diare di Puskesmas, Kab. Nagari Sumber : Modul PJJ-
PAEL,MI-3 : PE-KLB

3. Penetapan Daerah Kejadian Luar Biasa/KLB.

Sesuai Permenkes RI Nomor 1501/ MENKES/PER/X/2010, tentang Jenis


Penyakit Menular tertentu yang dapat menimbulkan Wabah dan Upaya
Penanggulangannya, penetapan suatu daerah dapat dinyatakan dalam keadaan
KLB, dapat dijelaskan sbb :

a) Kadinkes Kab/Kota, Kadinkes Prov, atau Menteri Kesehatan dapat


menetapkan daerah dalam keadaan KLB, apabila suatu daerah memenuhi
salah satu kriteria diatas.
b) Kadinkes Kab/Kota atau Kadinkes Prov. menetapkan suatu daerah dalam
keadaan KLB di wilayah kerjanya masing-masing dengan menerbitkan
laporan KLB.
c) Dalam hal Kadinkes Kab./Kota tidak menetapkan suatu daerah di wilayahnya
dalam keadaan KLB, Kadinkes Prov. dapat menetapkan daerah tersebut
dalam keadaan KLB.
d) Dalam hal Kadinkes Prov. atau Kadinkes Kab./kota tidak menetapkan suatu
daerah di wilayahnya dalam keadaan KLB, Menteri menetapkan daerah
tersebut dalam keadaan KLB.
Pencabutan status KLB/Wabah di dapat dilakukan oleh Menteri Kesehatan,
Kadinkes Provinsi dan Kadinkes Kab/Kota apabila dalam 2 kali masa inkubasi
penyakit KLB wilayah tersebut tidak ditemukan lagi insiden serupa.
9
4. Prinsip Penyelidikan Kejadian Luar Biasa

Penyelidikan epidemiologi adalah rangkaian kegiatan berdasarkan cara-cara


epidemiologi untuk memastikan adanya KLB, mengetahui penyebab KLB,
gambaran penyebaran, sumber dan cara penularan dan mengetahui cara-cara
penanggulangan KLB.
Tujuan dilaksanakan penyelidikan epidemiologi paling tidak adalah untuk:

a. Mengetahui gambaran epidemiologi KLB;


b. Mengetahui kelompok masyarakat yang terancam penyakit KLB;
c.Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya penyakit KLB termasuk
sumber dan cara penularan penyakitnya; dan
d. Menentukan cara penanggulangan KLB.

Penyelidikan KLB dilakukan untuk mengidentifikasi cara penanggulangan transmisi


penyakit agar tidak meluas.
Pengungkapan awal adanya KLB yang sering dilakukan atau didapatkan adalah
dengan deteksi dini dari analisis data surveilans rutin Puskesmas atau adanya
laporan petugas, pamong atau warga yang peduli terhadap kejadian penyakit yang
ada di masyarakat (Pada MI-3 sebelumnya sudah dibahas dengan jelas tentang
SKD-KLB)

Alasan dilakukannya penyelidikan adanya kemungkinan KLB adalah:

- Untuk melakukan penanggulangan dan pencegahan

10
Alasan utama pengendalian KLB adalah untuk mencegah KLB terjadi berlanjut
dan mencegah terjadinya kasus tambahan.

- Adanya kesempatan mengadakan penelitian dan pelatihan


Beberapa penyakit infeksi pertama kali ditemukan melalui penyelidikan KLB.
Hal ini juga dapat dilakukan untuk mengetahui sifat agen demi mencegah KLB
dengan sumber yang mirip. Selain itu, penyelidikan KLB juga dapat menjadi
sarana yang tepat untuk melatih kemampuan staf PUSKESMAS untuk
menganalisis situasi. Melakukan penyelidikan KLB rutin dengan skala kecil dapat
membantu staf PUSKESMAS memperoleh pengalaman dan kepercayaan diri
untuk menangani kasus dengan skala besar.

- Pertimbangan Program
Dengan melakukan penyelidikan KLB, informasi yang diperoleh dapat
memberikan kewaspadaan dini terhadap mekanisme transmisi penyakit. Hal ini
dapat memberikan pertimbangan terhadap program untuk mencegah
tersebarnya infeksi.
- Kepentingan Umum, Ekonomi, Politik dan Hukum
Penyelidikan KLB yang dilakukan segera akan memberikan keuntungan secara
ekonomi dengan menekan biaya perawatan dan fasilitas kesehatan untuk pasien
yang terkena infeksi.

Penyelidikan epidemiologi dilakukan melalui kegiatan-kegiatan :

a. Pengumpulan data kesakitan dan kematian penduduk menurut waktu,


tempat dan ciri-ciri orang;
b. Pemeriksaan klinis, fisik, laboratorium dan penegakan diagnosis;
c. Pengamatan terhadap penduduk, pemeriksaan terhadap makhluk hidup lain
dan benda-benda yang ada di suatu wilayah yang diduga mengandung
penyebab penyakit KLB.

Metode utama yang digunakan dalam penyelidikan epidemiologi , yaitu metode


epidemiologi deskriptif, dan metode epidemiologi analitik. Selain itu diperlukan
juga penerapan metode lain sesuai profesi yang diperlukan, misalnya metode
11
kedokteran (pemeriksaan penderita, metode laboratorium (melakukan uji
specimen), serta melibatkan ahli lain sesuai metodologi yang digunakan seperti
entomolog (memeriksa vektor penular), ahli lingkungan (memeriksa status
lingkungan) dan sebagainya.

Penyelidikan epidemiologi biasanya diselenggarakan dalam keterbatasan waktu


untuk persiapan, kurangnya informasi awal sebelum dilakukan kegiatan
lapangan, dan keterbatasan sumber daya yang bisa digerakkan, sehingga
perkiraan situasi lapangan tidak cukup kuat yang berdampak pada baik
buruknya rencana kerja penyelidikan. Dengan adanya keterbatasan ini, bukan
berarti penyelidikan epidemiologi tidak memerlukan persiapan dan perumusan
metode-metode penyelidikan yang baik, justru kecepatan mempersiapkan
metode dan kerja tim yang baik, dalam situasi serba terbatas tersebut, menjadi
persyaratan utama seseorang akan melakukan penyelidikan epidemiologi.

12
LATIHAN POKOK BAHASAN 1

Contoh kasus terjadinya KLB di Puskesmas


 Peserta dibagi 4 kelompok
 Setiap kelompok mengkaji kasus berbeda
 Apakah kasus tersebut merupakan KLB atau bukan ?
 Sebutkan kriteria kerja KLB apa saja yang ada dalam salah satu kasus
yang diangkat setiap kelompok hingga ditetapkan menjadi KLB

Kasus 1 :
Pada hari ini, di Poliklinik Puskesmas ditemukan 3 anak berobat yang
didiagnosis dokter sebagai penderita campak (belum ada konfirmasi
pemeriksaan Laboratorium). Satu anak diantaranya dirawat inap di Puskesmas
karena sesak nafas berat. Ketiga anak tersebut berasal dari Desa Sumbermulya
Petugas Imunisasi menginformasikan kalau Desa Kawula memiliki cakupan
imunisasi campak rendah rata-rata 40 % selama 5 tahun terakhir ini.

Kasus 2:
Dinkes Kab.Margoparung mendapatkan informasi dari Ka.Puskesmas
Sukasuka, bahwa dalam waktu 24 jam menerima kunjungan pasien diare yang
awalnya 5 kasus menjadi 30 kasus. Semua penderita berasal dari Kp.Sukasari
Desa sukamanah, mengeluhkan gejala diare, cair,mules dan muntah-muntah
setelah menghadiri hajatan di rumah pamiodongdesa di Kampung tersebut.
Sebagai petugas Surveilans yang kompeten, bagaimana sdr memberikan
gambaran kejadian tersebut , diskusikan dalam kelompok .

13
Kasus 3:
Di Barak pengungsian gempa terjadi peningkatan kejadian kesakitan. Dalam
sejak periode minggu kedua menempati barak peningkatan kasus terjadi sangat
signifikan, dari 12 orang di minggu sebelumnya menjadi 31 orang penderita,
Gejala kesakitan di duga penemonia. Petugas menduga ini adalah KLB. Apakah
Kriteria kerja yang paling tepat menjadi acuan penetapan KLB pnemonia di
barak pengungsian ini sesuai dengan Permenkes nomor 1501 tahun 2010 :

Kasus 4:
Berdasarkan wawancara semua penduduk di daerah yang diduga terjadi KLB
ditemukan peningkatan sangat tajam jumlah anak yang menderita demam
menggigil dalam 5 hari terakhir dibandingkan keadaan hari-hari sebelumnya.
Apakah Kriteria kerja KLB yang paling tepat menjadi acuan penetapan KLB

Apa yang Anda dapat simpulkan dari latihan tersebut ?

14
POKOK BAHASAN 2
B. PENYELIDIKAN KLB
Setiap informasi yang mengarah munculnya kasus penyakit berpotensi KLB harus
ditindaklanjuti dengan proses verifikasi segera dengan melakukan penyelidikan
epidemiologis.
Tim epidemiologi lapangan harus sesegera mungkin diterjunkan ke lapangan untuk
mengambil sampel penderita, melakukan verifikasi laboratorium, yang apabila
memungkinkan dengan menggunakan tes cepat (rapid test), agar verifikasi
diagnosa dapat dilakukan pada saat itu juga.
Hasil penyelidikan epidemiologi, kemudian di diseminasikan pada rapat koordinasi
sektor kesehatan, agar semua program dan sektor terkait yang berada di wilayah
kerja mempunyai informasi tentang risiko penyebaran penyakit di wilayahnya.

Namun sebelum melakukan penyelidikan KLB, sebagai petugas surveilans


puskesmas perlu mempelajari dan mempertimbangkan yang harus dilakukan
apakah melakukan investigasi dan atau melakukan penanggulangan penyakit.
KLB/ Wabah seyogyanya dapat terdeteksi melalui

1. Analisis data surveilans rutin , misalnya dengan Early Warning Alert Response and
System EWARS ; dan/atau
2. Laporan petugas kesehatan (puskesmas), pamong atau masyarakat .

Berdasarkan sumber penularan dan agen penyebab penyakit, maka dapat ditentukan
skala prioritas antara melakukan investigasi dan/ atau melakukan penanggulangan
(kontrol) penyakit, sesuai dengan tabel berikut:

15
SUMBER CARA PENULARAN
INVESTIGASI WABAH /
KLB

Diketahui Tidak diketahui

Investigasi+
Investigasi+++
Diketahui
Control +++
Control +

AGEN
PENYEBAB
Investigasi+++ Investigasi+++
Tidak
diketahui

Control +++ Control +

Sumber :

Dari matriks di atas, dalam rangka menentukan apakah lebih dahulu dilakukan
investigasi atau penanggulangan penyakit, maka dapat ditentukan:

Bila sumber/cara penularan dan agen penyebab penyakit


SAMA-SAMA DIKETAHUI, tindakan yang disarankan adalah
lebih mengutamakan PENANGGULANGAN penyakit
dibanding investigasi wabah

Bila sumber/cara penularan TIDAK DIKETAHUI, serta


dalam kondisi agen penyebab DIKETAHUI maupun TIDAK
DIKETAHUI, maka tindakan INVESTIGASI wabah lebih
diutamakan dibanding pengendalian penyakit;

Bila sumber/cara penularan DIKETAHUI dan agen


penyebab penyakit tidak DIKETAHUI, tindakan yang
disarankan adalah sama-sama mengutamakan INVESTIGASI
wabah dan PENANGGULANGAN penyakit.

Uraian diatas menyebutkan bahwa apabila sumber/cara penularan Tidak diketahui,


serta dalam kondisi agen penyebab Diketahui maupun Tidak diketahui, maka
tindakan Ivestigasi wabah lebih diutamakan.

16
Langkah langkah dalam penyelidikan epidemiologi KLB adalah sbb:

1. Penerimaan informasi adanya indikasi KLB

Pada waktu menerima informasi awal adanya indikasi KLB penyakit, maka hal hal
yang perlu dilakukan adalah :

1) Bersikap tenang dan tetap tanggap. Artinya terus menggali sebanyak mungkin
informasi dari pelapor/ informan .

2) Memulai melakukan penyelidikan epidemiologi KLB,dengan mengumpulkan


informasi awal (PE tidak dimulai saat petugas sudah di lapangan)

3) Perlu mencatat nama pelapor, tempat tugas dan telepon, email dan komunikasi
lain yang bisa digunakan. Mencatat tanggal dan jam komunikasi dengan pelapor.

4) Menggali dan menanyakan pada pelapor dan mencatat :

a. lokasi dan waktu kejadian.

Sedapat mungkin peroleh tanggal mulai sakit setiap penderita yang dicurigai,
sehingga diperoleh tanggal mulai sakit kasus pertama dan terakhir dari data
yang diperoleh,

b. jumlah kasus, jumlah kasus meninggal.

Cermati gejala yang selalau ada pada setiap kasus, gejala-gejala yang jarang, dan
jumlah kasus-kasus yang dirawat inap atau meninggal.

c. Perkirakan jenis penyakit penyebab KLB (etiologi KLB), tempat dan luas lokasi
kejadian, dan kecenderungannya.

Data yang diperoleh dari pelapor tersebut dimanfaatkan untuk :

17
1) memperkuat kepastian adanya KLB penyakit
2) membuat dugaan satu etiologi KLB penyakit, atau dengan diagnosis banding
etiologi KLB penyakit yang lain jika masih ada keraguan dengan satu diagnosis
etiologi KLB penyakit
3) memperkirakan tempat kejadian, luasnya dan waktu mulai dan masih ada
tidaknya kasus saat laporan diterima
4) memperkirakan beratnya situasi KLB penyakit dan menentukan seberapa
cepat tim penanggulangan harus segera bergerak ke lapangan,
Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian :
 Memastikan apakah kejadian ini merupakan KLB atau bukan KLB.
 Melihat dan atau membandingkan data dasar penyakit yang ada.
 Apakah ada sebab lain ?
 Apakah ada peningkatan hasil pemeriksaan (uji laboratorium) ?
 Apakah ada kesalahan pemeriksaan laboratorium (laboratorium error ) ?
 Apakah ada peningkatan kejadian (kesakitan dan atau kematian) di populasi ?
 Melakukan verifikasi diagnosis baik klinis maupun laboratorium.

Sumber Informasi KLB

Berikut adalah uraian tentang sumber informasi yang yang terkait dengan kondisi
KLB. Sumber informasi adanya KLB tersebut dapat berasal dari :

(1) Surveilans Pasif


Surveilans pasif, adalah penyelenggaraan surveilans epidemiologi dimana unit
surveilans mengumpulkan data dengan cara menerima data tersebut dari unit
pelayanan kesehatan, masyarakat atau sumber data lainnya.

(2) Surveilans Aktif


Surveilans aktif, adalah penyelenggaraan surveilans epidemilogi dimana unit
surveilans mengumpulkan data dengan cara mendatangi unit pelayanan
kesehatan, masyarakat atau sumber data lainnya.

18
(3) Surveilans sentinel
Suatu sistem yang mengandalkan laporan semua kasus penyakit tertentu dari
fasilitas kesehatan, laboratorium, atau anggota komunitas, pada lokasi
tertentu, disebut surveilans sentinel. Pelaporan sampel melalui sistem
surveilans sentinel merupakan cara yang baik untuk memonitor masalah
kesehatan dengan menggunakan sumber daya yang terbatas (DCP2, 2008;
Erme dan Quade, 2010).
Pada surveilans sentinel, pengumpulan data yang dilakukan terbatas pada
bidang-bidang tertentu. Survei ini tidak dapat digunakan dalam sebuah
populasi karena dianggap tidak mewakili sebuah kelompok populasi, akan
tetapi dapat digunakan untuk memonitor tren penyakit dan dalam
mengumpulkan informasi yang lebih terperinci (Prof. Bhisma Murti, Jenis
surveilans Epidemiologi,Oktober 2011)

(4) Surveilans Syndrome


Syndromic surveillance (multiple disease surveillance) melakukan
pengawasan terus-menerus terhadap sindroma (kumpulan gejala) penyakit,
bukan masing-masing penyakit. Surveilans sindromik mengandalkan deteksi
indikator-indikator kesehatan individual maupun populasi yang bisa diamati
sebelum konfirmasi diagnosis. Surveilans sindromik mengamati indikator-
indikator individu sakit, seperti pola perilaku, gejala-gejala, tanda, atau
temuan laboratorium, yang dapat ditelusuri dari aneka sumber, sebelum
diperoleh konfirmasi laboratorium tentang suatu penyakit.

Surveilans sindromik dapat dikembangkan pada level lokal, regional, maupun


nasional. Sebagai contoh, Centers for Disease Control and Prevention (CDC)
menerapkan kegiatan surveilans sindromik berskala nasional terhadap
penyakit-penyakit yang mirip influenza (flu-like illnesses) berdasarkan
laporan berkala praktik dokter di AS. Dalam surveilans tersebut, para dokter
yang berpartisipasi melakukan skrining pasien berdasarkan definisi kasus
sederhana (demam dan batuk atau sakit tenggorok) dan membuat laporan

19
mingguan tentang jumlah kasus, jumlah kunjungan menurut kelompok umur
dan jenis kelamin, dan jumlah total kasus yang teramati. Surveilans tersebut
berguna untuk memonitor aneka penyakit yang menyerupai influenza,
termasuk flu burung, dan antraks, sehingga dapat memberikan peringatan
dini dan dapat digunakan sebagai instrumen untuk memonitor krisis yang
tengah berlangsung (Mandl et al., 2004; Sloan et al., 2006).
(5) Lain-lain , seperti berikut:
- Media cetak (Surat Kabar),
- Media TV,
- Face Book,
- Telepon,
- Whats Apps (WA)

Berikut adalah gambar tentang sumber informasi kondisi KLB:

Sumber : CDC : Outbreak investigation-astep by step aproach.

Pada saat menerima informasi adanya dugaan KLB, maka tim penyelidikan KLB
segera melakukan konfirmasi atau penyelidikan dugaan adanya KLB, dengan
langkah-langkah:

a. Melakukan kajian data yang ada di unit pelayanan, baik di Puskesmas,


Puskesmas Pembantu, Rumah Sakit dan laboratorium. Kajian data juga dapat

20
dilakukan di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota berdasarkan data Laporan
Mingguan Wabah (PWS Penyakit/W2) per Desa.

b. Konfirmasi adanya peningkatan jumlah orang sakit atau meninggal serta


dugaan adanya KLB penyakit tertentu kepada para dokter, perawat atau
petugas lain yang merawat di unit pelayanan sendiri atau unit pelayanan lain,
termasuk dokter praktek, dan sekaligus mencocokkan dengan temuan pada
langkah pertama.

c. Menanyakan pada setiap orang yang datang konsultasi ke Puskesmas, Rumah


Sakit atau Puskesmas Pembantu tentang adanya peningkatan jumlah orang
sakit atau meninggal di desa, sekolah, asrama, perusahaan atau lokasi
tertentu. Makna peningkatan jumlah orang sakit atau meninggal adalah
menurut pandangan orang-orang yang diwawancarai dengan
membandingkannya dengan keadaan normal sebelumnya di lokasi tersebut.

d. Apabila kecurigaan semakin kuat, maka tim penyelidikan KLB harus


melakukan konfirmasi lapangan untuk membuktikan adanya peningkatan
kesakitan atau kematian tersebut. Konfirmasi dugaan adanya KLB tersebut
didiskusikan dengan kepala desa, kepala dusun, tokoh-tokoh masyarakat dan
keluarga-keluarga yang dicurigai adanya penderita atau kematian.

Biasanya, adanya peningkatan kesakitan atau kematian dapat diketahui


dengan lebih baik pada saat dibuka kegiatan pelayanan pengobatan. Cara
terakhir ini, bahkan dapat mengidentifikasi lebih teliti menurut daerah, umur
dan jenis kelamin, serta gejala-gejala penyakit yang ada.
Bagaimanapun, apabila peningkatan kesakitan atau kematian sangat
mencolok, maka petugas kesehatan sudah dapat menduga kuat adanya KLB
penyakit tertentu. Apabila tidak jelas penyebab atau etiologi KLB, maka nama
KLB disebut saja dengan gejala klinis yang menonjol.

e. Kepala Puskesmas, Kepala Rumah Sakit dan Kepala Laboratorium yang


mengetahui adanya KLB, membuat ”laporan awal” adanya dugaan KLB
dengan menggunakan format Laporan KLB 24 jam (W1). Pengiriman laporan
dapat dilakukan dengan menggunakan telepon, faksimili, email atau cara-cara
lain yang cepat. Laporan KLB (W1) sudah dapat dibuat apabila berdasarkan
21
kajian data di Puskesmas atau wawancara lapangan sudah menunjukkan
kecurigaan yang kuat adanya KLB penyakit. Laporan KLB 24 jam (W1)
dibahas pada bab tersendiri

f. Adanya laporan KLB 24 jam (W1) tersebut, maka penyelidikan epidemiologi


dan penanggulangan KLB berada dibawah koordinasi tim penanggulangan
KLB Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Korban dan risiko penyebaran
penyakit pada KLB penyakit menular dan KLB keracunan dapat melintasi
wilayah antar Puskesmas, dan korban KLB bisa berobat keberbagai unit
pelayanan Puskesmas, Rumah Sakit dan pos-pos kesehatan terdekat.

g. Kriteria dan tatacara memastikan dugaan adanya KLB berbeda-beda untuk


setiap jenis penyakit menular. Peningkatan jumlah penderita dapat
dibandingkan dengan perkiraan angka kesakitan penyakit yang sama di
daerah tersebut atau berdasarkan data angka kesakitan nasional per 1.000
populasi berisiko per hari.
Jadi untuk memastikan adanya KLB/wabah dapat dilihat apakah dari
beberapa kriteria wabah/KLB sudah termasuk kategori wabah/KLB.

2. Penetapan adanya KLB

Kejadian adanya KLB penyakit dapat ditetapkan jika benar terjadi peningkatan
jumlah kasus yang bermakna secara epidemiologi.
Kondisi KLB penyakit merupakan keadaan darurat kesehatan, yaitu keadaan
gawat (ancaman jiwa) dan mendesak, yang dapat dijelaskan sebagai berikut :

 Adanya perkembangan penyakit pada suatu wilayah tertentu yang jumlah


penderitanya meningkat dengan cepat dan setiap penderita berisiko fatal
 Munculnya penderita pada lingkungan yang mendukung terjadinya
penularan, sehingga dalam waktu singkat akan terjadi peningkatan jumlah
penderita

22
Keadaan tersebut diatas, memang membutuhkan keahlian sebagai seorang yang
berkemampuan epidemiologis dan dukungan pemeriksaan medis untuk
memutuskan sebagai keadaan KLB penyakit atau bukan.
Secara teknis, penetapan KLB penyakit berdasarkan pada kriteria teknis KLB
penyakit menular, tetapi bagaimanapun juga, ketetapan final tergantung
keputusan yang didasarkan pada analisis epidemiologis.

Sumber : CDC : Outbreak investigation-astep by step aproach

Intinya KLB atau Out break adalah sebuah epidemi penyakit tertentu, dimana
jumlah kasus yang melebihi kejadian dari biasanya (apa yang
diperkirakan/diharapkan sebelumnya pada satuan waktu tertentu (lihat pokok
bahasan sebelumnya tentang kriteria kerja KLB)

3. Persiapan sebelum ke lapangan


Sebelum dilakukan penyelidikan KLB pada tahap persiapan dapat dilakukan
kegiatan berupa:
1) Persiapan administrasi, transportasi dan menghubungi petugas atau orang-
orang yang akan ditemui di lapangan, menyusun tim penyelidikan, persiapan
peralatan,sarana (formulir penyelidikan, komputer, peralatan laboratorium,
perlengkapan diagnostic)
2) Mendapatkan informasi lebih lengkap tentang situasi KLB penyakit dengan
memeriksa dokumen yang tersedia di klinik Puskesmas, melengkapi data

23
sekunder, terutama data faktor risiko KLB penyakit, menanyai orang-orang
yang berada di daerah KLB, dan menghimpun hasil penyelidikan sebelumnya

3) Merumuskan rencana kerja penyelidikan epidemiologi (proposal) yang berisi


metode dan instrumen penyelidikan.Proposal yang baik, akan memudahkan
penyelidikan di lapangan yang sistematis dan infromasi yang diperlukan dapat
diperoleh lebih baik

4. Penetapan etiologi KLB


Penetapan etiologi KLB oleh epidemiolog berdasarkan pada gambaran distribusi
gejala dan tanda penyakit, gambaran epidemiologi dan hasil pemeriksaan
pendukung lainnya, terutama dengan ditemukannya agen penyakit penyebab KLB
pada beberapa kasus yang dicurigai. Pada KLB penyakit menular, biasanya
etiologi KLB sudah jelas, tetapi bagaimanapun juga, penyelidikan harus tetap
memastikan etiologi KLB yang sedang terjadi.
Faktor Penyebab KLB

Mengidentifikasi sumber penularan KLB yang bersumber dari makanan, air,


udara, tanah atau dari hewan bahkan manusia.Dan mencari etiologi dari sumber
penularan KLBnya seperti kimia, bakteri, virus, parasite

Untuk memastikan apa penyebab yang paling mungkin dari KLB ini, misalnya
agent penyebab pathogen,apakah berupa V.Cholera (air yang terkontaminasi)
atau Salmonella (telur atau daging), perlu dikembangkan hypothesis. Untuk diuji
(test) analytic dengan metode Epi, study kasus,kohort,kasus kontrol.

24
Sumber : CDC : Outbreak investigation-astep by step aproach.

Dari uji hypothesis tersebut akan diketahui faktor penyebab dari KLB yang
terjadi. Dengan dikembangkan investigasi lingkungan akan diketahui faktor
yang berasal dari lingkungan ,apakah karena terkontaminasi telur,tempat
penyimpanan makanan yang sesuai atau kebersihan makanan.
Selain itu pelu dikembangkan juga pemeriksaan laboratorium yang
merupakan informasi microbiologi yang sangat berguna.

Identifikasi populasi yang mempunyai peningkatan resiko inveksi

Mengidentifikasi, menghitung, mendata orang yang beresiko dalam suatu


kejadian KLB

5. Penetapan kasus dan variabel yang akan dikumpulkan.


Penetapan kasus dan variabel sebaiknya ditetapkan pada saat persiapan,
merupakan bagian dari proposal penyelidikan epidemiologi KLB penyakit atau
dalam daftar pertanyaan. Dalam penetapan kasus adalah memastikan :
a. Definisi operasional kasus
b. Cara-cara menemukan kasus
c. Cara-cara data kasus tersebut direkam dan dilaporkan.

25
Setiap kasus yang sesuai dengan definisi operasional kasus, akan dilakukan
wawancara dan pemeriksaan. Wawancara ditujukan untuk mendapatkan data
sesuai variabel atau informasi yang diperlukan, antara lain identitas diri kasus,
tanggal mulai sakit, umur, jenis kelamin dan variabel lain yang diperlukan untuk
analisis situasi KLB.

Variabel mana yang diperlukan, disesuaikan dengan tujuan penyelidikan


epidemiologi, dan desain analisis yang diperlukan untuk memenuhi tujuan
penyelidikan tersebut.

Misal pada KLB campak. Kasus campak adalah seseorang menderita sakit antara
tanggal 1 januari 2013 sampai saat penyelidikan, dengan gejala demam, ruam dan
salah satu gejala batuk, pilek, mata merah. Cara menemukan kasus di rumah sakit
dan Puskesmas .(lihat pada Penemuan dan Perekaman Data Kasus KLB)

6. Penemuan dan Perekaman Data Kasus KLB

Penemuan dan perekaman data kasus KLB ini memanfaatkan “definisi operasional
kasus”, “cara-cara menemukan kasus” dan “cara-cara merekam dan membuat
laporan” di lapangan.
Penemuan dan perekaman data kasus KLB dapat dilakukan pada salah satu atau
semua lokasi :

1) Pendataan kasus-kasus di unit pelayanan


2) Pendataan kasus-kasus yang ada di tengah masyarakat
3) Pendataan kasus-kasus melalui wawacara dan pemeriksaan kelompok
berisiko tinggi
Perekaman data kasus KLB tersebut menggunakan “Instrumen Wawancara Dan
Pemeriksaan Kasus” yang sudah disiapkan sebelum ke lapangan.
Seringkali, epidemiolog yang bertugas, melakukan wawancara bebas kepada
beberapa kasus yang dicurigai untuk memahami lebih lanjut tentang proses
terjadi sakit dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, juga bisa memahami
aspek manajemen penanggulangan KLB yang sedang terjadi.

Gambaran kejadian KLB

26
Pada tahap gambaran kejadian KLB ini di kembangkan informasi terkait :
 Siapa yang menjadi kasus (kesakitan dan atau kematian) ?
 Ditetapkan definisi kasus berdasarkan pemeriksaan klinis dan atau
konfirmasi laboratorium. Di jelaskan berdasarkan katagori Waktu (Time)
,Tempat (Place) dan Orang (Person).
 Apakah semua kasus sudah ditemukan ? Untuk itu secara sistematis
dikembangkan kuesioner

Sumber : CDC : Outbreak investigation-astep by step aproach.

Tujuan memastikan diagnosis kasus adalah:


a. Untuk memastikan bahwa masalah tersebut telah didiagnosis dengan
patut
b. Untuk menyingkirkan kemungkinan kesalahan laboratorium yang
menyebabkan peningkatan kasus yang dilaporkan.
Semua temuan klinis harus disimpulkan dalam distribusi frekuensi untuk
mengambarkan spektrum penyakit, menentukan diagnosis dan
mengembangkan definisi kasus.
Definisi kasus meliputi kriteria klinis dan terutama dalam penyelidikan wabah
dibatasi oleh orang, waktu dan tempat. Bila penyakitnya belum terdiagnosis,
diagnosis kerja dibuat berdasarkan gejala yang paling banyak diderita,

27
sedapat mungkin yang dapat mengambarkan proses penyakit yang
patognomonis, dan cukup spesifik. Mengunjungi terhadap satu atau dua
penderita dan dilakukan pemeriksaan laboratorium/autopsi verbal.
Untuk membuat penghitungan kasus secara teliti guna keperluan analisis di
tahapan berikutnya maka perlu memastikan diagnosis dari kasus-kasus yang
dilaporkan terhadap KLB yang dicurigai.

Alasan mengapa langkah ini penting adalah:

1) Adanya kemungkinan kesalahan dalam diagnosis


2) Memastikan adanya tersangka atau adanya orang yang mempunyai
sindroma tertentu.
3) Informasi bukan kasus (kasus-kasus yang dilaporkan tetapi diagnosisnya
tidak dapat dipastikan) harus dikeluarkan dari informasi kasus yang
digunakan untuk memastikan ada/tidaknya suatu KLB.

Pemeriksaan laboratorium untuk memastikan diagnosis penting untuk


ketepatan diagnosis. Namun karena beberapa konfirmasi laboratorium
membutuhkan waktu, maka kriteria tanda-tanda dan gejala-gejala suatu
penyakit seperti pada daftar dibawah dapat dipertimbangkan untuk
menetapkan diagnosis lapangan. Selanjutnya dapat ditetapkan orang-orang
yang memenuhi kriteria/gejala berdasarkan di agnosis lapangan dapat
dikategorikan sebagai kasus, sebaliknya orang-orang yang tidak memenuhi
kriteria/gejala dapat dikeluarkan dari kasus.
Menghitung jumlah kasus

Apabila dicurigai terjadi suatu KLB, harus dilakukan penghitungan awal dari
kasus-kasus yang tengah berjalan (orang-orang yang infeksinya atau
keracunannya terjadi di dalam periode KLB) untuk memastikan adanya
frekuensi kasus baru yang "berlebihan". Pada saat penghitungan awal itu
mungkin tidak terdapat cukup informasi mengenai setiap kasus untuk
memastikan diagnosis. Dalam keadaan ini, yang paling baik dilakukan adalah
memastikan bahwa setiap kasus benar-benar memenuhi kriteria kasus yg telah
ditetapkan.

28
Konfirmasi hasil pemeriksaan penunjang sering memerlukan waktu yang
lama, oleh karena pada penyelidikan KLB pemastian diagnostik ini sangat
diperlukan untuk keperluan identifikasi kasus dan kelanjutan penyelidikan ini
maka pada tahap ini paling tidak dibuat distribusi frekuensi gejala klinis.

Cara menghitung distribusi frekuensi dari tanda-tanda dan gejala-gejala yang


ada pada kasus sebagai berikut :

a. Buat daftar gejala yang ada pada kasus


b. Hitung persen kasus yang mempunyai gejala tersebut
c. Susun kebawah menurut urutan frekuensinya

Untuk identifikasi dan menghitung jumlah kasus dapat dilakukan dengan cara
menghitung angka insidens kasus tersebut saat ini. Mengetahui angka insidens
kasus tersebut pada saat biasa (angka standar). Membandingkan angka insidens
kasus dengan angka standar apakah berbeda secara bermakna, berbeda tidak
bermakna, apakah dibawah angka standar. Dengan cara melihat trend
(kecenderungan) angka kesakitan. Data-data tersebut dapat dilakukan melalui
pengumpulan data kasus berupa:
a) Data identitas meliputi nama, alamat, nomor telpon
b) Data demografi (umur, jenis kelamin, ras, dan pekerjaan)
c) Data klinis (gejala, pengobatan dll)
d) Faktor risiko harus dibuat khusus untuk tiap penyakit

Menggambarkan karakteristik KLB variable waktu tempat dan orang

Dalam mengambarkan Variabel waktu, Variabel tempat dan Variabel orang


dilakukan analisis deskriptif ,dengan uraian sbb:
Variabel waktu
Variabel waktu diperlukan untuk mengetahui kapan mulai wabah/KLB, kapan
berakhir, periode serangan, periode paparan, masa inkubasi terpendek-
terpanjang, sumber penularan common source/propagated source. Variabel
waktu harus digambarkan dalam bentuk grafik

29
 Variabel Waktu
Jumlah kasus berdasarkan Waktu (Time).
Jumlah kasus yang ditemukan ini akan dapat digunakan untuk
mengembangkan kejadian KLB berdasarkan waktu, yaitu dengan membuat
kurve epidemi ,menganalisa jumlah kasus pada setiap satuan waktu.

Sumber : CDC : Outbreak investigation-astep by step aproach.

Dari gambaran kurve epidemic dapat diuraikan apakah KLB tersebut


merupakan “Point Source” atau “ Propagated Source”

“Point Source” adalah : sumber penularan berasal dari satu titik tertentu (biasa
digunakan untuk titik sumber pencemaran air/limbah, polutan) , sering juga
dalam epidemiologi disebut sebagai “common source epidemic”

Common Source Epidemic


Adalah suatu letusan penyakit yang disebabkan oleh terpaparnya sejumlah
orang dalam suatu kelompok secara menyeluruh dan terjadi dalam waktu
sama dan singkat. Biasanya ditemui pada penyakit-penyakit yang ditularkan
melalui air dan makanan (misalnya kolera, typoid) menggambarkan satu
puncak epidemi, jarak antara satu kasus dengan kasus, selanjutnya hanya
dalam hitungan jam,tidak ada angka serangan ke dua.

30
Sumber : Modul PE KLB ,PAEL 2011

“ Propagated Source” :
Bentuk epidemi dengan cara penularan melalui kontak dari orang ke orang.
Terlihat adanya beberapa puncak. Jarak antara puncak sistematis, kurang
lebih sebesar masa inkubasi rata-rata penyakit tersebut.

 Jumlah kasus berdasarkan Tempat (Place).


Jumlah kasus yang ditemukan ini akan dapat digunakan untuk
mengembangkan kejadian KLB berdasarkan tempat , yaitu dengan membuat
peta (map) ,menganalisa jumlah kasus pada satuan wilayah geografi .
Apakah penyebaran kasus dalam wilayah geografi yang sama ,apakah
merupakan cluster –cluster. Untuk menggambarkan peta kejadian ini
tersedia alat (tools) seperti Epi map, Geographic Information System (GIS)

Sumber : CDC : Outbreak investigation-astep by step aproach.

31
Jumlah kasus berdasarkan Orang (Person).
Jumlah kasus yang ditemukan ini akan dapat digunakan untuk
mengembangkan kejadian KLB berdasarkan orang, yaitu dengan menganalisa
jumlah kasus pada karakteristik individu,seperti : Umur, Jenis kelamin,
pekerjaan, Suku, Ras, untuk mengetahui risiko dari orang orang yang
terpapar atau terjangkit penyakit (KLB), seperti pada gambar berikut:

Sumber : CDC : Outbreak investigation-astep by step aproach.

Selain itu informasi tentang jumlah kasus yang ditemukan dapat


menggambarkan besaran masalah, dengan menggunakan ukuran-ukuran
epidemiologi yang ada (Rate, Proporsi dan ratio). Dapat dihitung Insiden rate,
Attack rate, Angka kematian (CFR) atau angka –angka lain sesuai kebutuhan
informasi.

7. Analisis epidemiologi deskriptif data KLB

Setelah data diperoleh, maka analisis epidemiologi deskriptif dapat segera


dilakukan sesuai tujuan penyelidikan epidemiologi. Analisis epidemiologi
deskriptif dapat berupa tabel, grafik dan peta sebagai bahan analisis dan sekaligus
membuat intepretasi yang sesuai. Analisis epidemiologi deskriptif dibuat sesuai
karakteristik epidemiologi menurut waktu, tempat dan orang dan dihubungkan
dengan faktor risiko seseorang menjadi kasus

Contoh: pada KLB campak, kasus dideskripsikan berdasarkan waktu (kurva


epidemic), umur, jenis kelamin, desa dan status imunisasi.

32
8. Menentukan sumber dan cara penularan

Sumber penularan adalah tempat agen penyakit berada dan dapat menular ke
orang lain.

Penentuan sumber dan cara penularan diperoleh berdasarkan :


1) Analisis deskriptif yang ditujukan untuk identikasi faktor risiko terjadinya KLB,
2) Melakukan penelusuran kontak kasus satu dengan kasus lain sesuai dengan
masa inkubasinya pada penyakit menular langsung, seperti campak, influenza,
difteri, dan
3) Identifikasi lingkungan yang diduga sebagai tempat agen penyakit berada dan
menularkan pada seseorang pada penyakit berbasis lingkungan, seperti kolera,
tifus perut, dan sebagainya.

9. Rekomendasi Penanggulangan KLB


Secara umum terdapat empat langkah penanggulangan :

a. penyelidikan epidemiologi,
b. surveilans,
c. tindakan terhadap kasus dalam rangka penyembuhan dan menghilangkan
sumber penularan, dan
d. upaya pencegahan melalui imunisasi, perilaku atau manipulasi lingkungan.

Penanggulangan dapat diperluas dengan tindakan isolasi, karantina, penanganan


spesimen kasus, penanganan jenazah dan sebainya. Penanggulangan juga
memerlukan penyuluhan dan penggerakan partisipasi masyarakat.

Setiap temuan hasil penyelidikan epidemiologi dan surveilans, segera


disampaikan pada tim penanggulangan, disamping itu, setiap tindakan
penanggulangan perlu dimonitor dan evaluasi berdasarkan kerja surveilans atau
penyelidikan untuk itu

Pengendalian dan Penanggulangan KLB

Apabila sumber dan cara penularan telah dipastikan, maka orang-orang yang
mempunyai risiko paparan yang meningkat harus ditentukan, dan tindakan-

33
tindakan penanggulangan serta pencegahan yang sesuai harus dilaksanakan.
Siapa yang sesungguhnya mempunyai risiko paparan meningkat tergantung
pada penyebab penyakit, sifat sumbernya, cara penularannya, dan berbagai ciri-
ciri orang- orang rentan yang meningkatkan kemungkinannya terpapar.

Apakah populasi yang mempunyai risiko telah diidentifikasikan seluruhnya atau


belum, dapat diketahui apabila salah satu dari dua kondisi ini terjadi : kasus-
kasus baru yang timbul dari sumbernya hanya terjadi pada populasi yang
diperkirakan mempunyai risiko tinggi, atau lebih baik lagi, tindakan
penanggulangan yang ditujukan khususnya kepada populasi ini mencegah
terjadinya kasus-kasus baru.

Tindakan penanggulangan tertentu dapat dimulai sedini


tahap diagnosis kasus. Contohnya, pemberian globulin serum imun pada anggota
keluarga kasus Hepatitis A. Tindakan-tindakan lain dapat dimulai pada berbagai
titik. Bila menyangkut makanan tercemar, makanan itu dapat dimusnahkan.

Jika didapatkan (atau dicurigai) air sebagai sumber infeksi, penggunaan air
dapat dihentikan sampai sumber air dan sistem penyalurannya dibersihkan dari
pencemaran atau air dapat diteruskan dengan peringatan kepada masyarakat
agar mendidihkan air sebelum diminum. Jika menyangkut kontak dengan
sumber pencemaran, dapat diambil langkah-Iangkah untuk mencegah kontak
dengan sumber sampai sumber itu dapat dihilangkan. Imunisasi, diagnosis dini,
dan pengobatan merupakan cara-cara penanggulangan lainnya yang dapat
dipakai sesuai kebutuhan situasi.

Penerapan tindakan penanggulangan yang praktis dan efisien secara cepat


merupakan cara paling berharga untuk menilai keberhasilanpenyelidikan
epidemiologi.

Pengendalian dan penanggulangan KLB dapat dilakukan pada setiap tahap


penyelidikan yang sedang berjalan ,dengan memperhatikan jalur transmisi melalui
agent, host dan environtment (lingkungan).
Intervensi dapat dilakukan melalui perilaku ( dengan menggunakan repelent
mencegah gigitan nyamuk/serangga, vaccinasi (misal: vaksin campak),
pengobatan, pengelolaan lingkungan (penyemprotan, fogging), pengendalian

34
infeksi (alat pelindung diri seperti sarung tangan dsb), pendidikan kesehatan
(penyuluhan) kepada sasaran yang tepat

Sumber : CDC : Outbreak investigation-astep by step aproach.

Akhir dari pengendalian dan penanggulangan (control) ini adalah


dilakukannya surveilans saat KLB dan surveilans pasca KLB.

10. Pembuatan laporan


Penyelidikan epidemiologi dapat dilakukan saat awal terjadinya KLB, ditengah-
tengah terjadinya KLB karena adanya kebutuhan khusus, atau setelah KLB
berakhir untuk memperoleh data epidemiologi lebih lengkap.
Setiap penyelidikan epidemiologi KLB yang telah dilaksanakan, harus dibuat
laporan tertulis dan disampaikan pada pejabat yang bertanggungjawab terhadap
wilayah kejadian, terutama pada tim penanggulangan KLB.
Laporan dibuat dalam 3 bentuk, laporan untuk pejabat (laporan eksekutif),
abstrak dan laporan lengkap. Seringkali laporan dibuat sebagai laporan sementara
yang kemudian diikuti dengan laporan lengkap.

Laporan hasil penyelidikan epidemiologi, sebaiknya disampaikan segera setelah


penyelidikan epidemiologi dilakukan (kurang dari 24 jam). Laporan penyelidikan

35
epidemiologi yang disampaikan setelah KLBnya berakhir, tidak membantu
penanggulangan KLB yang sedang berlangsung.

11. Penyebarluasan hasil penyelidikan KLB.

Penyebarluasan hasil penyelidikan epidemiologi suatu KLB dapat mendorong


tindakan penanggulangan yang tepat dan partisipasi semua pihak. Tetapi dapat
juga dapat menimbulkan kepanikan, dan dampak sosial ekonomi.

Oleh karena itu, penyebarluasan hasil penyelidikan epidemiologi memerlukan


kearifan dan kemampuan menyampaikannya, sehingga dapat dimengerti dan
tidak salah tafsir serta mendorong timbulnya kewaspadaan dan partisipasi semua
pihak.

Komunikasi risiko merupakan bentuk respon yang sangat penting dilakukan pada
setiap terjadi outbreak atau KLB.

Komunikasi disampaikan dengan akurat dan tepat waktu secara internal


(individu yang terkena KLB) dan eksternal pada masyarakat serta organisasi
lainnya, yang bertujuan untuk melindungi dan merubah perilaku, pemantauan
,surveilans serta mengurangi kecemasan, kebingungan, mis informasi.
Penyebar luasan

36
Secara ringkas tahapan dalam investigasi KLB dapat diuraikan mulai dari
konfimasi kejadian KLB,gambaran KLB,faktor penyebab serta pengendalian
dan penanggulangan,sbb:

Sumber : CDC : Outbreak investigation-astep by step aproach.

37
LATIHAN POKOK BAHASAN 2

Latihan 1

Pada KLB keracunan, kegiatan manakah yang menjadi bagian penting dari
upaya penanggulangannya ?

Latihan 2
Di Puskesmas Pandanwangi terjadi peningkatan kunjungan pasien yang
datang berobat ke fasilitas pelayanan kesehatan sejak tanggal 1 Desember
2017 dengan gejala yang sama yaitu demam, dan bercak kemerahan . Tim
surveilans puskesmas lalu melakukan penyelidikan epidemiologi dan
memastikan telah terjadi KLB dengan dugaan sementara sebagai kasus
campak.
Bagaimana pendapat sdr tentang kejadian ini ? Jelaskan jawaban saudara,
Bagaimana Tim dapat memastikan kejadian ini sebagai KLB campak ?

Latihan 3
Sesudah hajatan dirumah Ketua RW Sukasari , 10 tamu dibawa ke Rumah
Sakit karena tiba-tiba mual, muntah dan lemes. Ternyata di Rumah sakit juga
sudah dirawat 22 orang yang sudah pulang dari hajatan yang sama. Hasil
analisis riwayat makan rame-rame sebelum sakit, hanya acara hajatan Ketua
RW Sukasari ini, sehingga dilakukan wawancara terhadap jenis makanan yang
dimakan pengunjung hajatan yang menjadi korban keracunan

Jika sumber keracunan hanya berasal dari satu jenis makanan saja, jenis
makanan manakah yang masih diduga kuat sebagai sumber keracunan. Menu
hajatan tersebut terdiri dari Mie goreng, Sambel goreng krecek, Gado-gado
dan Lemper.

a. Dari 20 korban yang diwawancara, 10 korbannya saja makan Mie Goreng


b. Dari semua korban , ada 12 korban yang tidak makan dengan sambal goreng
krecek .
c. Dari 10 korban yang sempat diwawancara, ternyata hanya satu orang yang
tidak makan gado gado
d. Dari wawancara semua korban, hanya ada 12 korban yang tidak makan

38
lemper

INSTRUKSI:

1. Kelas dibagi 3 kelompok


2. Diskusikan latihan diatas
3. Presentasikan hasil diskusi tersebut !

Apa yang Anda dapat simpulkan dari latihan tersebut ?

39
POKOK BAHASAN 3
C. PENANGGULANGAN KLB.
1. Prinsip prinsip penanggulangan KLB

Dalam penanggulangan KLB ada beberapa prinsip yang yang harus


diperhatikan,antara lain sbb:

1. Sikap dan tindakan dalam upaya penanggulangan KLB penyakit


2. Prinsip-prinsip penyelidikan epidemiologi
3. Prinsip-prinsip surveilans selama periode KLB
4. Prinsip-prinsip penatalaksanaan penderita
5. Prinsip pencegahan dan pengebalan
6. Prinsip-prinsip pemusnahan penyebab penyakit
7. Prinsip-prinsip penanganan jenazah
8. Prinsip-prinsip penyuluhan masyarakat

2. Melakukan Penanggulangan KLB

a. Sikap dan tindakan dalam upaya penanggulangan KLB penyakit.

Sikap tanggap dan respon cepat dalam upaya penanggulangan KLB


merupakan hal penting yang harus dilakukan setiap menghadapi kejadian
luar biasa. Bersikap tenang dan bertindak menyeluruh, terpadu dan focus
adalah prinsip prinsip yang harus diterapkan oleh petugas pelaksana yang
melakukan upaya penanggulangan KLB.
Respon KLB

Respon terhadap KLB adalah upaya untuk merespon sebuah kejadian luar
biasa (penyakit) yang bertujuan untuk menganalisis besaran masalah,
mengetahui gambaran epidemiologi, cara-cara penularan, sumber penyebab
dan faktor risikonya.
Adapun respon terhadap KLB ini dapat berupa investigasi KLB atau upaya
pengendalian (control) dan penanggulangan atau kedua duanya , ini sangat

40
tergantung pada apakah agent penyebab dan sumber penularannya
belum/tidak diketahui atau sudah diketahui, seperti uraian sebelumnya.

Ada empat langkah praktis penanggulangan KLB yang harus dikuasai untuk
merespon,yaitu :

a. Melaksanakan penyelidikan KLB.


b. Melaksanakan surveilans ketat selama periode KLB.
c. Melaksanakan pertolongan korban KLB.
d. Melaksanakan kegiatan pencegahan, termasuk pengendalian faktor risiko.
Langkah langkah praktis penanggulangan KLB tersebut dilaksanakan segera,
sistematis, focus dan terkoordinasi saling memperkuat hasil guna
penanggulangan KLB. Secara skematis dapat digambarkan sebagai berikut :

Yang dimaksud segera adalah merespon dengan cepat KLB. Respon cepat adalah
suatu tindakan atau kegiatan yang dilakukan secara cepat setelah mengetahui
adanya sinyal bahaya agar suatu keadaan tidak menjadi lebih buruk. Tindakan
yang dimaksud dapat berupa pencegahan maupun pengendalian

b. Prinsip-prinsip penyelidikan epidemiologi

Penyelidikan epidemiologi dilaksanakan sesuai dengan perkembangan penyakit


dan kebutuhan upaya penanggulangan KLB.

41
Tujuan dilaksanakan penyelidikan epidemiologi telah diuraikan pada pokok
bahasan sebelumnya dengan jelas. Paling tidak penyelidikan epidemiologi
bertujuan untuk :
a) Mengetahui gambaran epidemiologi KLB;
b) Mengetahui kelompok masyarakat yang terancam penyakit KLB;
c) Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya penyakit KLB
termasuk sumber dan cara penularan penyakitnya;
d) Menentukan cara penanggulangan KLB.

Penyelidikan epidemiologi dilaksanakan sesuai dengan tatacara penyelidikan


epidemiologi untuk mendukung upaya penanggulangan KLB, termasuk tatacara
perlindungan diri bagi petugas penyelidikan epidemiologi agar terhindar dari
penularan penyakit wabah.

c. Prinsip-prinsip surveilans selama KLB.

Dalam periode KLB di daerah terjangkit dan daerah-daerah yang berisiko


terjadi KLB dilaksanakan surveilans dengan lebih ketat/ intensif.
Tujuan Surveilans ini adalah untuk mengetahui perkembangan penyakit
berdasarkan karakteristik epidemiologi menurut waktu, tempat dan orang,
serta dimanfaatkan untuk mendukung upaya penanggulangan yang sedang
dilaksanakan.

Kegiatan Surveilans selama periode KLB meliputi :


a) Menghimpun data kasus baru pada kunjungan berobat di pos-pos
kesehatan dan unit-unit kesehatan lainnya, membuat tabel, grafik dan
pemetaan dan melakukan analisis kecenderungan KLB penyakit dari
waktu ke waktu dan analisis data menurut tempat, RT, RW, desa dan
kelompok-kelompok masyarakat tertentu lainnya.
b) Mengadakan pertemuan berkala petugas lapangan dengan kepala desa,
kader dan masyarakat untuk membahas perkembangan penyakit dan hasil
upaya penanggulangan KLB penyakit yang telah dilaksanakan.

42
c) Memastikan hasil surveilans tersebut bermanfaat dalam upaya
penanggulangan KLB penyakit.

Hasil penyelidikan epidemiologi dan surveilans secara teratur disampaikan


kepada tim penanggulangan KLB penyakit dan pemangku program terkait,
terutama Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Sesuai undang-undang,
tanggungjawab operasional penanggulangan KLB penyakit di
Kabupaten/Kota adalah Bupati/Walikota dengan tanggungjawab teknis
adalah Kepala Dinas Kesehatan setempat.

1). Peran Puskesmas dalam pelaporan kewaspadaan KLB


Laporan kewaspadaan disampaikan kepada lurah atau kepala desa dan atau
fasilitas pelayanan kesehatan terdekat selambat-lambatnya 24 jam sejak
mengetahui adanya penderita atau tersangka penderita (KLB), baik dengan
cara lisan, maupun tertulis. Penyampaian secara lisan dilakukan dengan tatap
muka, melalui telepon, radio, dan alat komunikasi lainnya.
Penyampaian secara tertulis dapat dilakukan dengan surat, faksimili, dan
sebagainya.
Isi laporan kewaspadaan antara lain :
1. Nama penderita atau yang meninggal;
2. Golongan umur;
3. Tempat dan alamat kejadian;
4. Waktu kejadian;
5. Jumlah yang sakit dan meninggal.

Laporan kewaspadaan tersebut selanjutnya harus diteruskan kepada kepala

puskesmas setempat. Adapun alur pelaporan kewaspadaan tersebut dapat

dilihat pada bagan berikut:

43
Sumber : Lampiran Permenkes no 1501 tahun 2010

2). Peran Puskesmas dalam pelaporan KLB .


Kepala puskesmas yang menerima laporan kewaspadaan harus segera
memastikan adanya KLB. Bila dipastikan telah terjadi KLB, kepala puskesmas
harus segera membuat laporan KLB, melaksanakan penyelidikan
epidemiologis, dan penanggulangan KLB. Laporan KLB disampaikan secara
lisan dan tertulis. Penyampaian secara lisan dilakukan dengan tatap muka,
melalui telepon, radio, dan alat komunikasi lainnya. Penyampaian secara
tertulis dapat dilakukan dengan surat, faksimili, dan sebagainya.

Laporan KLB puskesmas dikirimkan secara berjenjang kepada Menteri


dengan berpedoman pada format laporan KLB (Formulir W1).
Formulir Laporan KLB (Formulir W1) adalah sama untuk puskesmas,
kabupaten/kota dan provinsi, namun dengan kode yang berbeda.
Formulir berisi:
- Nama daerah KLB (desa, kecamatan, kabupaten/kota dan nama
puskemas),
- Jumlah penderita dan meninggal pada saat laporan,
- Nama penyakit dan gejala-gejala umum yang ditemukan diantara
penderita, dan
- langkah-langkah yang sedang dilakukan.

44
Satu formulir W1 berlaku untuk satu jenis penyakit saja.
Alur laporan KLB dapat dilihat dalam bagan berikut :

Sumber : Lampiran Permenkes no 1501 tahun 2010

3). Early Warning Alert Response and System (EWARS) di Puskesmas.


Sistem Kewaspadaan Dini dan Respon (SKDR) atau EWARS adalah suatu
kegiatan yang bertujuan untuk memantau pergerakan suatu penyakit
menular tertentu dalam suatu periode dan memunculkan sinyal sebagai
tanda peringatan, apabila terjadi peningkatan kasus yang melebihi nilai
ambang batas yang telah ditentukan (Depkes RI, 2008).
Pelaksanaan EWARS dilakukan rutin secara berjenjang mulai dari unit
pelayanan kesehatan paling bawah hingga tingkat pusat. Pelaporan EWARS
dilakukan secara mingguan dengan berbasis komputer, yang menampilkan
sinyal alert atau peringatan dini apabila terjadi peningkatan kasus penyakit
melebihi ambang batas di suatu wilayah. Alert yang muncul pada sistem
bukan berarti telah terjadi KLB namun menjadi tanda atau potensi KLB
sehingga pengelola program harus melakukan respon cepat untuk mencegah

45
terjadinya KLB. Sistem EWARS mencakup 23 penyakit yang berpotensi KLB
(Depkes RI, 2012)
Indikator keberhasilan pelaksanaan EWARS adalah berupa ketepatan dan
kelengkapan pelaporan oleh seluruh puskesmas. Ketepatan dan kelengkapan
pelaporan menjadi alat untuk mengukur kinerja puskesmas dalam
melaksanakan EWARS karena ketepatan dan kelengkapan laporan
Puskesmas yang dilaporkan sangat mempengaruhi deteksi penyakit. Dengan
ketepatan laporan yang tinggi akan mempercepat sinyal peringatan dini
terhadap KLB dan dengan kelengkapan yang tinggi pula maka akan
memperluas sinyal peringatan dini terhadap KLB. Target kelengkapan
pelaporan sebesar 90% dan ketepatan pelaporan sebesar 80% (Kemenkes RI,
2015).
Pelaksanakan EWARS bertujuan untuk melakukan pemantauan secara
periodik dalam satu minggu terhadap suatu penyakit menular yang memiliki
potensi untuk terjadi KLB/wabah.
Penyakit yang dipantau dalam EWARS adalah penyakit menular dengan
jumah 23 penyakit. Alur pelaporan data EWARS dimulai pada unit pelayanan
kesehatan paling bawah. Pengumpulan data dilakukan oleh unit pelayanan
kesehatan di wilayah kerja puskesmas seperti puskesmas pembantu, bidan
desa dan klinik swasta serta puskesmas tersebut. Data yang dikumpulkan
oleh unit pelayanan kesehatan di wilayah kerja puskesmas berupa jumlah
kasus setiap penyakit menular yang masuk dalam sistem EWARS. Data
tersebut kemudian akan dikirim melalui SMS ke petugas puskesmas induk.
Petugas puskesmas induk akan melakukan pengiriman data melalui SMS ke
pusat.
Data yang sudah dikirim ke pusat secara otomatis akan muncul pada website
EWARS dan apabila terjadi peningkatan kasus suatu penyakit yang melebihi
ambang batas akan muncul alert atau peringatan dini yang menandakan
potensi terjadi KLB. Informasi penting lain seperti alert yang telah direspon,
alert yang menimbulkan KLB dan alert yang direspon <24 jam ,menjadi
indikator kinerja

Berikut adalah bagan alur pelaksanaan EWARS :


46
Sumber : Pedoman SKDR,2012

d. Prinsip-prinsip penatalaksanaan penderita

Penatalaksanaan penderita meliputi penemuan penderita, pemeriksaan,


pengobatan, dan perawatan. Penatalaksaan penderita juga sebagai upaya
pencegahan penularan penyakit, isolasi dan tindakan karantina

Penderita penyakit menular tertentu dapat menjadi sumber penularan, oleh


karena itu, penatalaksanaan penderita dapat bermanfaat sebagai upaya
pencegahan penularan penyakit dengan menemukan sedini mungkin penderita,
pengobatan tuntas sampai tidak menular, tindakan isolasi.

Penatalaksanaan penderita dilaksanakan di fasilitas pelayanan kesehatan, baik


di rumah sakit, puskesmas, pos pelayanan kesehatan atau tempat lain yang
sesuai untuk penatalaksanaan penderita.

Langkah praktis penatalaksanaan penderita


1) Mendekatkan sarana pelayanan kesehatan sedekat mungkin dengan tempat
tinggal penduduk di daerah wabah, sehingga penderita dapat berobat setiap
saat.

47
2) Melengkapi sarana kesehatan tersebut dengan tenaga dan peralatan untuk
pemeriksaan, pengobatan dan perawatan, pengambilan spesimen dan sarana
pencatatan penderita berobat serta rujukan penderita.
3) Mengatur tataruang dan mekanisme kegiatan di sarana kesehatan agar tidak
terjadi penularan penyakit, baik penularan langsung maupun penularan tidak
langsung. Penularan tidak langsung dapat terjadi karena adanya pencemaran
lingkungan oleh bibit/kuman penyakit atau penularan melalui hewan penular
penyakit.
4) Penyuluhan kepada masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan dan
berperan aktif dalam penemuan dan penatalaksanaan penderita di
masyarakat.
5) Menggalang kerjasama pimpinan daerah dan tokoh masyarakat serta lembaga
swadaya masyarakat untuk melaksanakan penyuluhan kepada masyarakat.

Apabila diperlukan dapat dilakukan tindakan isolasi, evakuasi dan karantina.

1) Isolasi penderita atau tersangka penderita dengan cara memisahkan seorang


penderita agar tidak menjadi sumber penyebaran penyakit selama penderita
atau tersangka penderita tersebut dapat menyebarkan penyakit kepada
orang lain. Isolasi dilaksanakan di rumah sakit, puskesmas, rumah atau
tempat lain yang sesuai dengan kebutuhan.
2) Evakuasi dengan memindahkan seseorang atau sekelompok orang dari suatu
lokasi di daerah KLB agar terhindar dari penularan penyakit. Evakuasi
ditetapkan oleh bupati/walikota atas usulan tim penanggulangan KLB
berdasarkan indikasi medis dan epidemiologi.
3) Tindakan karantina dengan melarang keluar atau masuk orang dari dan ke
daerah rawan KLB untuk menghindari terjadinya penyebaran penyakit.
Karantina ditetapkan oleh bupati/walikota atas usulan tim penanggulangan
KLB penyakit berdasarkan indikasi medis dan epidemiologi.

e. Prinsip pencegahan dan pengebalan

48
Tindakan pencegahan dan pengebalan dilakukan terhadap orang, masyarakat
dan lingkungannya yang mempunyai risiko terkena penyakit KLB agar jangan
sampai terjangkit penyakit. Orang, masyarakat, dan lingkungannya yang
mempunyai risiko terkena penyakit KLB ditentukan berdasarkan
penyelidikan epidemiologi.

Tindakan pencegahan dan pengebalan dilaksanakan sesuai dengan jenis


penyakit KLB serta hasil penyelidikan epidemiologi, antara lain:
1) Pengobatan penderita sedini mungkin agar tidak menjadi sumber
penularan penyakit, termasuk tindakan isolasi dan karantina.
2) Peningkatan daya tahan tubuh dengan perbaikan gizi dan imunisasi.
3) Pelaksanaan ORI (Outbreak Respon Imunisasi) terhadap KLB Diftheri
yang baru baru ini dilaksanakan serentak di beberapa wilayah adalah
merupakan upaya pencegahan dan pengebalan terhadap KLB Diftheri.
4) Perlindungan diri dari penularan penyakit, termasuk menghindari kontak
dengan penderita, sarana dan lingkungan tercemar, penggunaan alat
proteksi diri, perilaku hidup bersih dan sehat, penggunaan obat profilaksis.
5) Pengendalian sarana, lingkungan dan hewan pembawa penyakit untuk
menghilangkan sumber penularan dan memutus mata rantai penularan.

f. Prinsip-prinsip pemusnahan penyebab penyakit

1) Tindakan pemusnahan penyebab penyakit wabah dilakukan terhadap bibit


penyakit/ kuman penyebab penyakit, hewan, tumbuhan dan atau benda
yang mengandung penyebab penyakit tersebut.
2) Tindakan pemusnahan bibit penyakit/kuman penyebab penyakit dilakukan
pada permukaan tubuh manusia atau hewan atau pada benda mati lainnya,
termasuk alat angkut, yang dapat menimbulkan risiko penularan sesuai
prinsip hapus hama (desinfeksi) menurut jenis bibit penyakit/kuman.
Pemusnahan bibit penyakit/kuman penyebab penyakit dilakukan tanpa
merusak lingkungan hidup.
3) Pemusnahan hewan dan tumbuhan yang mengandung bibit
penyakit/kuman penyebab penyakit dilakukan dengan cara yang tidak
49
menyebabkan tersebarnya penyakit, yaitu dengan dibakar atau dikubur
sesuai jenis hewan/tumbuhan. Pemusnahan hewan dan tumbuhan
merupakan upaya terakhir dan dikoordinasikan dengan sektor terkait
dibidang peternakan dan tanaman.

g. Prinsip-prinsip penanganan jenazah

Penanganan jenazah akibat penyakit KLB, perlu penanganan secara khusus


menurut jenis penyakitnya untuk menghindarkan penularan penyakit pada
orang lain. Penanganan jenazah yang dimaksud adalah Penanganan jenazah
secara umum mengikuti ketentuan sebagai berikut:
1) Harus memperhatikan norma agama, kepercayaan, tradisi, dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2) Pemeriksaan terhadap jenazah dilakukan oleh petugas kesehatan.
3) Penghapushamaan bahan-bahan dan alat yang digunakan dalam
penanganan jenazah dilakukan oleh petugas kesehatan.

Penanganan jenazah secara khusus mengikuti ketentuan sebagai berikut:


Di tempat pemulasaraan/ pengelolaan jenazah:

1) Seluruh petugas yang menangani jenazah telah mempersiapkan


kewaspadaan standar.
2) Mencuci tangan dengan sabun sebelum memakai dan setelah melepas
sarung tangan.
3) Perlakuan terhadap jenazah: luruskan tubuh; tutup mata, telinga, dan
mulut dengan kapas/plester kedap air; lepaskan alat kesehatan yang
terpasang; setiap luka harus diplester dengan rapat.
4) Jika diperlukan memandikan jenazah atau perlakuan khusus berdasarkan
pertimbangan norma agama, kepercayaan, dan tradisi, dilakukan oleh
petugas khusus dengan tetap memperhatikan kewaspadaan universal
(universal precaution). Air untuk memandikan jenazah harus dibubuhi
disinfektan.
5) Jika diperlukan otopsi, otopsi hanya dapat dilakukan oleh petugas khusus
setelah mendapatkan izin dari pihak keluarga dan direktur rumah sakit.

50
6) Jenazah tidak boleh dibalsem atau disuntik pengawet.
7) Jenazah dibungkus dengan kain kafan dan/atau bahan kedap air.
8) Jenazah yang sudah dibungkus tidak boleh dibuka lagi.
9) Jenazah disemayamkan tidak lebih dari 4 jam di tempat pemulasaraan
jenazah.
10) Jenazah dapat dikeluarkan dari tempat pemulasaraan jenazah
untuk dimakamkan setelah mendapat ijin dari direktur rumah sakit.
11) Jenazah sebaiknya diantar/diangkut oleh mobil jenazah ketempat
pemakaman.

Di tempat pemakaman:
1) Setelah semua ketentuan penanganan jenazah di tempat pemulasaraan
jenazah dilaksanakan, keluarga dapat turut dalam pemakaman jenazah.
2) Pemakaman dapat dilakukan di tempat pemakaman umum.

h. Prinsip-prinsip penyuluhan masyarakat


Penyuluhan kepada masyarakat dilakukan oleh petugas kesehatan dengan
mengikut sertakan instansi terkait lain, pemuka agama, pemuka masyarakat,
lembaga swadaya masyarakat menggunakan berbagai media komunikasi massa
agar terjadi peningkatan kewaspadaan dan peran aktif masyarakat dalam upaya
penanggulangan KLB.
(Lihat juga referensi tentang Komunikasi Risiko KLB)

51
LATIHAN POKOK BAHASAN 3

Latihan 1

Pada KLB keracunan makanan , kegiatan –kegiatan apa yang menjadi bagian
penting dari upaya penanggulangannya ? Jelaskan jawaban saudara.

Latihan 2

Di Kecamatan Sukamulia, Kotabara, selama sebulan ini ditemukan 12


penderita tifus perut dengan kematian 6 orang. Padahal biasanya di
Kecamatan tersebut terdapat sekitar 15-18 kasus perbulan dengan kematian
<2 orang perbulan. Bagaimana sdr menyatakan kondisi masalah kesehatan
diwilayah tersebut ? Apakah sudah dapat dinyatakan sebagai KLB ? Apa yang
kemudian dilakukan oleh petugas ?

Latihan 3
Di Wilayah Puskesmas Bukit hijau, telah terjadi kenaikan kasus Diare, KLB
diare ini merupakan keadaan darurat, karena banyaknya korban dalam
waktu yang singkat , petugas surveilans langsung turun kelapangan tanpa
menyusun rencana penyelidikan ,karena membuat proposal penyelidikan
dengan metode penyelidikan tidak dimungkinkan dan buang-buang waktu.
Bagaimana pendapat sdr tentang rencana metode penyelidikan epidemiologi
pada kondisi seperti ini ?
Jelaskan jawaban sdr !

52
INSTRUKSI:

1.Kelas dibagi 3 kelompok


2,Diskusikan latihan tersebut diatas ?
3. Presentasikan hasil diskusi tersebut !

Apa yang Anda dapat simpulkan dari latihan tersebut ?

53
DAFTAR PUSTAKA

1. UU RI Nomor 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular.


2. Greg, Michael B. , Edisi ketiga: Epidemiologi Lapangan (Field Epidemiology) Oxford
University Press, New York.
3. Kemenkes RI, Permenkes RI Nomor 82 tahun 2014 tentang Penanggulangan
Penyakit Menular.
4. Kemenkes RI ,Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1501 Tahun
2010 tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu Yang Dapat Menimbulkan Wabah
Dan Upaya Penanggulangan.
5. Kemenkes RI ,Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 39 Tahun
2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat dengan
Pendekatan Keluarga.
6. Kemenkes RI ,Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 27 Tahun
2017 tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan
7. Kemenkes RI ,Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 45 Tahun
2014 tentang Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan.
8. Kemenkes RI, Pusdiklat Aparatur,Badan PPSDM Kesehatan, Modul LJJ-PAEL , 2015
9. Nur Nasry Noor,Prof,Dr, MPH, EPIDEMIOLOGI, Edisi revisi, Rineka Cipta,2008.
10. Badan PPSDM Kesehatan,Depkes RI, Modul Pelatihan Jabatan Fungsional Ahli,
Jakarta 2010.
11. Badan PPSDM Kesehatan,Kemenkes RI, Modul-PJJ PAEL,Jakarta 2014.

54
DAFTAR ISI

DESKRIPSI SINGKAT....................................................................................................................................... 2
TUJUAN PEMBELAJARAN ............................................................................................................................ 4
A. Tujuan Pembelajaran Umum ......................................................................................................... 4
B. Tujuan Pembelajaran Khusus .................................................................................................. 4
URAIAN MATERI .................................................................................................................................................
A. KONSEP DAN DEFENISI JEJARING SURVEILANS
EPIDEMIOLOGI .......................................................................................................................... 5
1. Defenisi Jejaring Surveilans Kesehatan .................................................................................... 5
2. Tujuan Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan .................................................................... 6
LATIHAN MATERI 1

B. MELAKUKAN KOORDINASI DENGAN JEJARING


SURVEILANS KESEHATAN ................................................................................................... 11
1. Koordinasi dengan Swasta ........................................................................................................... 11
LATIHAN MATERI 2 (Campak, DBD, Keracunan makanan)

2. Koordinasi dengan Puskesmas yang Berbatasan ................................................................... 15


LATIHAN MATERI 3

REFERENSI

1
MODUL INTI 1
KOORDINASI SURVEILANS EPIDEMIOLOGI

I. DESKRIPSI SINGKAT
Pengertian Koordinasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh berbagai pihak yang
sederajat untuk saling memberikan informasi dan bersama mengatur atau menyepakati
sesuatu, sehingga di satu sisi proses pelaksanaan tugas dan keberhasilan pihak yang satu
tidak mengganggu proses pelaksanaan tugas dan keberhasilan pihak yang lainnya.
Sementara pada sisi lain yang satu langsung atau tidak langsung mendukung pihak yang
lain.
Koordinasi adalah suatu proses untuk mencapai kesatuan tindakan di antara
kegiatan yang saling bergantungan (Menurut James G March dan Herben A Simon).
Koordinasi adalah suatu sinkronisasi yang tertib dalam upaya untuk memberikan
jumlah yang tepat, waktu dan mengarahkan pelaksanaan yang mengakibatkan harmonis
dan tindakan terpadu untuk tujuan lain (Menurut Terry).
Jika dilihat dari sudut normatifnya, maka koordinasi diartikan sebagai kewenangan
untuk menggerakkan, menyelaraskan, menyerasikan dan menyeimbangkan kegiatan-
kegiatan yang spesifik atau berbeda, agar nantinya semua terarah pada pencapaian tujuan
tertentu pada waktu yang telah ditetapkan. Dari sudut fungsionalnya, koordinasi
dilakukan guna mengurangi dampak negatif spesialisasi dan mengefektifkan pembagian
kerja.
Dari pengertian koordinasi yang diungkapkan di atas, dapat disimpulkan
bahwa Pengertian Koordinasi adalah proses penyepakatan bersama yang mengikat
berbagai kegiatan atau unsur yang berbeda-beda sedemikian rupa, sehingga di sisi yang
satu semua kegiatan atau unsur tersebut terarah pada pencapaian suatu tujuan yang telah
ditetapkan dan di sisi lain keberhasilan kegiatan yang satu tidak merusak keberhasilan
kegiatan yang lain.

Tujuan koordinasi sebagai berikut:

2
1. Untuk menciptakan dan memelihara efektivitas organisasi setinggi mungkin melalui
sinkronisasi, penyerasian, kebersamaan dan keseimbangan antara berbagai kegiatan
dependen suatu organisasi.
2. Dapat mencegah konflik dan menciptakan efisiensi setinggi-tingginya di setiap kegiatan
interdependen yang berbeda-beda melalui kesepakatan yang mengikat semua pihak
yang bersangkutan.
3. Untuk menciptakan dan memelihara iklim dan sikap saling responsif-antisipatif di
kalangan unit kerja interdependen dan independen yang berbeda-beda, agar
keberhasilan unit kerja yang satu tidak dirusak oleh keberhasilan unit kerja yang
lainnya, melalui jaringan informasi dan komunikasi efektif.

Dalam rangka penyelenggaraan Surveilans Kesehatan, dibangun dan


dikembangkan koordinasi, jejaring kerja, dan kemitraan antar instansi pemerintah dan
pemangku kepentingan baik di pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota bahkan sampai
level kecamatan (puskesmas). Koordinasi, jejaring kerja, dan kemitraan sebagaimana
dimaksud bertujuan untuk :
1. Identifikasi masalah kesehatan dan/atau masalah yang berdampak terhadap kesehatan;
2. Kelancaran pelaksanaan investigasi dan respon cepat;
3. Keberhasilan pelaksanaan penanggulangan KLB/wabah;
4. Peningkatan dan pengembangan kapasitas teknis dan manajemen sumber daya
manusia;
5. Pengelolaan sumber pendanaan.

3
II. TUJUAN PEMBELAJARAN
A. Tujuan Pembelajaran Umum
Setelah mengikuti pembelajaran, peserta mampu melakukan koordinasi surveilans
epidemiologi

B. Tujuan Pembelajaran Khusus:


Setelah mengikuti pembelajaran, peserta dapat:
1. Menjelaskan jejaring surveilans kesehatan
2. Melakukan koordinasi dengan jejaring surveilans epidemiologi

4
III. POKOK BAHASAN 1
A. KONSEP DAN DEFENISI JEJARING SURVEILANS
EPIDEMIOLOGI
1. DEFENISI JEJARING
Jejaring kerja surveilans adalah suatu mekanisme koordinasi kerja antar unit
penyelenggara Surveilans Kesehatan, sumber-sumber data, pusat penelitian, pusat
kajian dan penyelenggara program kesehatan, meliputi tata hubungan Surveilans
Kesehatan antar wilayah Kabupaten/Kota, Provinsi dan Pusat. Penyelenggaraan
Surveilans Kesehatan dilaksanakan melalui jejaring kerja Surveilans Kesehatan
antara unit surveilans dengan sumber data, pusat penelitian dan kajian, program
intervensi kesehatan, dan unit surveilans lainnya. Jejaring kerja Surveilans
Kesehatan bertujuan untuk menguatkan kapasitas surveilans, tersedianya data dan
informasi yang komperehensif, meningkatkan kemampuan respon cepat terhadap
kejadian penyakit dan faktor risiko dalam rangka menurunkan angka kesakitan,
kematian serta kecacatan. Jejaring kerja Surveilans Kesehatan diselenggarakan oleh
seluruh unit penyelenggara Surveilans Kesehatan baik di pusat, provinsi, dan
kabupaten/kota berupa pertukaran data dan informasi epidemiologi, serta
peningkatan kemampuan Surveilans Kesehatan yang terdiri dari :
1. Jaringan kerjasama antara unit-unit surveilans dengan penyelenggara pelayanan
kesehatan, laboratorium dan unit penunjang lainnya.
2. Jaringan kerjasama antara unit-unit Surveilans Kesehatan dengan pusat-pusat
penelitian dan kajian, program intervensi kesehatan dan unit-unit surveilans
lainnya.
3. Jaringan kerjasama unit-unit Surveilans Kesehatan antara kabupaten/kota,
provinsi dan nasional.
4. Jaringan kerjasama unit surveilans dengan berbagai sektor terkait nasional,
bilateral negara, regional, dan internasional.
Penyelenggaraan jejaring kerja Surveilans Kesehatan dilaksanakan oleh unit
penyelenggara Surveilans Kesehatan baik di unit-unit utama pusat dan UPT
pusat (UPT Kementerian Kesehatan), pusat-pusat penelitian dan
pengembangan, pusat-pusat data dan informasi, Dinas Kesehatan Provinsi dan

5
UPT Dinas Kesehatan Provinsi, serta Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan UPT
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, baik pada kondisi normal maupun sedang
terjadi KLB atau wabah.

2. TUJUAN PENYELENGGARAAN SURVEILANS KESEHATAN


Pasal 2 Permenkes No 45 th 2014 Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan
merupakan prasyarat program kesehatan dan bertujuan untuk:
• Tersedianya informasi tentang situasi, kecenderungan penyakit, dan faktor
risikonya serta masalah kesmas & faktor-faktor yang mempengaruhinya sebagai
bahan pengambilan keputusan
• Terselenggaranya kewaspadaan dini terhadap kemungkinan terjadinya
KLB/Wabah dan dampaknya
• Terselenggaranya investigasi dan penanggulangan KLB/Wabah
• Dasar penyampaian informasi kesehatan kepada para pihak yang
berkepentingan sesuai dengan pertimbangan kesehatan

Untuk mencapai tujuan surveilans tersebut, terutama pada tingkat puskesmas, maka
diperlukan kordinasi yang baik antara puskesmas dengan jejaring surveilans di
wilayahnya yang meliputi: koordinasi dengan jejaring internal puskesmas, dokter
praktek swasta, sarana pelayanan kesehatan mandiri / swasta, maupun koordinasi
epidemiologi antar puskesmas yang berbatasan.

Berikut ini beberapa langkah – langkah puskesmas untuk mengetahui jejaring


jejaring surveilans epidemiologi di wilayahnya:
1) Puskesmas melakukan identifikasi jejaring surveilans di wilayahnya dengan
melakukan pendataan atau melihat kembali data dokter praktek swasta, bidan
praktek mandiri, klinik ataupun rumah sakit swasta yang berada di wilayah
kerjanya.
2) Puskesmas mengidentifikasi wilayah puskesmas yang berbatasan langsung
dengan wilayah kerjanya, baik dalam satu wilayah kecamatan, berbeda
kecamatan, berbeda/berbatasan dengan kabupaten/kota,
berbeda/berbatasan dengan provinsi/negara lain.

6
3) Membuat daftar nomor kontak person jejaring surveilans di wilayahnya
maupun kontak person petugas vertikal (Dinas Kesehatan).
4) Melakukan identifikasi data surveilans epidemiologi apa saja yang akan
dikoordinasikan dengan jejaring surveilans tersebut.
Contoh:
Data kasus suspect campak.
Data kasus campak ini diperlukan oleh puskesmas untuk menjaring kasus
suspect campak yang ditangani oleh dokter, bidan di klinik swasta yang ada di
wilayah kerja puskesmas. Oleh karena itu puskesmas berkepentingan untuk
menginformasikan dan menjalin koordinasi dengan jejaring surveilannya
untuk dapat menjaring kasus suspect campak yang berobat ke dokter, bidan
dan klinik swasta di wilayahnya.

Harapannya adalah unit jejaring surveilans puskesmas tersebut dapat secara


cepat dan rutin dalam memberikan laporan kasus, maupun dalam koordinasi
tatalaksana/penanganan kasus baik secara klinis maupun penanganan kasus di
komunitas.

7
LATIHAN MATERI 1
Mengidentifikasi jejaring surveilans epidemiologi di wilayah kerjanya
dan mengidentifikasi data surveilans yang akan dikoordinasikan
dengan unit jejaring surveilansnya.

INSTRUKSI:
1) Peserta secara kelompok melakukan identifikasi jejaring surveilans di unit
kerjanya
2) Dengan menggunakan data latihan Materi Inti 2. Manajemen Data, Peserta
mengidentifikasi data surveilans yang akan dikoordinasikan dengan jejaring
surveilansnya.

Apa yang Anda dapat simpulkan dari latihan tersebut ?

8
POKOK BAHASAN 2

A. MELAKUKAN KOORDINASI DENGAN JEJARING


SURVEILANS KESEHATAN
Kesehatan diarahkan untuk menyelaraskan, mengintegrasikan, mensinergikan dan
memaksimalkan pengelolaan data dan/atau informasi agar proses pengambilan
keputusan dalam rangka intervensi lebih berhasil dan berdaya guna. Koordinasi dalam
penyelenggaraan Surveilans Kesehatan dilakukan oleh seluruh unit surveilans
kesehatan, maupun antar unit di instansi pemerintah serta pihak pihak tertentu yang
memiliki peran yang relevan dengan kegiatan surveilans.
Masalah-masalah dalam koordinasi yang mempersulit tugas pengkorordinasian
menurut Paul R. Lawrence dan Jay W. Lorch (Handoko, 2003:197) beberapa hal yaitu:
- Perbedaan dalam orientasi terhadap tujuan
Para anggota dari unit di Puskesmas memiliki pandangan berbeda-beda terkait
orientasi terhadap tujuan Puskesmas. Kelompok Upaya Kesehatan Perseorang di
Puskesmas bisa saja memiliki tujuan berbeda dengan kelompok Upaya Kesehatan
Masyarakat, hal ini menjadi masalah dalam Manajemen Puskesmas. Perbedaan
orientasi ini masih lingkup internal Puskesmas, nah lalu bagaimana dengan
stakeholder lain yang tentu saja memiliki orientasi terhadap tujuan yang berbeda?
Maka dari itu perlu dikuatkan dan dimantapkan apa orientasi tujuan bersamanya.
- Perbedaaan dalam orientasi waktu
Kelompok UKM memang bersentuhan dengan masyarakat yang mendapatkan
pelayanan Puskesmas namun kegiatan UKM (promotif, preventif, surveilans)
terkesan banyak yang dilakukan secara tidak langsung sehingga terkesan hasil
kinerja atau efektivitasnya tidak dapat langsung terlihat bahkan dapat terlihat
dengan waktu yang cukup lama. Berbeda dengan kelompok UKP yang memang
pelayanannya (kuratif) dilakukan dengan orientasi waktu secara langsung yang
bersentuhan dengan masyarakat yang “sakit”. Hal inipun menjadi masalah yang
harus diselesaikan, masalah ini terkesan sepele karena hanya terkait dengan
sebuah asumsi pekarjaan. Namun kesalahan suatu pandangan (asumsi) ini baik
disengaja maupun secara tridak sengaja terbentuk harus tetap diluruskan oleh

9
pimpinan dan pegawai Puskesmas maupun masyarakat yang menjadi sasaran
cakupan wilayah Puskesmas.
Dari beberapa masalah terkait koordinasi terdapat masalah yang besar maupun yang
terkesan sepele. Justru masalah yang terkesan sepel kadang memiliki dampak yang
cukup berat terhadap keberlangsungan sebuah kegiatan koordinasi. Maka dari itu mari
kita mulai untuk koordinasi dan komunikasi baik di internal Puskesmas maupun
eksternal.
Koordinasi dengan internal puskesmas yang terlibat dalam pelaksanaan surveilans
penyakit juga sangat diperlukan, sebelum melakukan koordinasi dengan swasta
maupun puskesmas perbatasan. Koordinasi internal ini berkaitan dengan informasi
kasus yang memerlukan penanganan lintas program kesehatan di lingkungan
puskesmas.
Contohnya pada suatu Kejadian Luar Biasa keracunan pangan:
Satuan internal puskesmas yang menanganani kondisi KLB keracunan ini tidak hanya
oleh petugas surveilans, tetapi memerlukan keterlibatan internal dan koordinasi
dengan:
1) Tim Medis dan Paramedis dalam penatalaksanaan kasus
2) Petugas Sanitarian dalam hal audit hiegene sanitasi pangan dan penilaian
faktor risiko
3) Petugas promosi kesehatan.
4) Petugas Obat
5) Dan lainnya yang diperlukan untuk penanggulangan

Pada kondisi KLB tersebut, petugas surveilans memberikan / mengkoordinasikan data-


data hasil penyelidikan epidemiologi agar upaya yang dilakukan oleh lintas program
dapat sinergi dan tepat sasaran.

1. KOORDINASI DENGAN SWASTA


(praktek dokter, bidan swasta dan unit pelayanan kesehatan yang berada
diwilayah kerjanya).

Koordinasi merupakan hubungan kerjasama antar berbagai pihak yang strategis,


bersifat sukarela, dan berdasar prinsip saling membutuhkan, saling mendukung, dan

10
saling menguntungkan dengan disertai pembinaan dan pengembangan secara
timbal balik. Dalam hal kesehatan, koordinasi diperlukan untuk melaksanakan
program kesehatan hingga mencapai tujuan yang diharapkan. Untuk
mengembangkan koordinasi di bidang Surveilans Kesehatan secara konsep terdiri 3
tahap:
1) Koordinasi lintas program di lingkungan sektor kesehatan sendiri.
2) Koordinasi lintas sektor di lingkungan institusi pemerintah
3) Membangun kemitraan yang lebih luas, lintas program, lintas sector, lintas
bidang dan lintas organisasi yang mencakup : Unsur pemerintah, Unsur swasta
atau dunia usaha, Unsur LSM dan organisasi masa dan Unsur organisasi profesi.

Koordinasi dengan swasta seperti dengan praktek dokter swasta, praktek bidan
swasta, klinik swasta dan rumah sakit swasta sangat perlu dilakukan dalam
rangka pertukaran informasi dan sharing data terhadap masalah kesehatan yang
ada diwilayah puskesmas.

Puskesmas yang tidak pernah melakukan koordinasi tentunya akan kehilangan


informasi data-data kesehatan diwilayah kerjanya. seperti data cakupan
imunisasi yang dilakukan di bidan praktek swasta, klinik swasta dll. Sedangkan
puskesmas yang melakukan koordinasi dengan swasta dengan baik akan cepat
mendapat informasi-informasi kesehatan yang ada diwilayah kerjanya. seperti
adanya informasi kasus demam berdarah, GHPR (gigitan hewan penular rabies)
ataupun masalah kesehatan lainnya. Informasi ini dapat diperoleh langsung dari
klinik swasta, bidan praktek swasta, rumah sakit swasta ataupun bisa dari
masyarakat melalui Lurah, Camat atau Kepala desa kalau koordinasi sudah
dibangun dengan baik.
Apa yang terjadi bilamana Puskesmas tidak melakukan koordinasi dengan
jejaring puskesmas apabila terjadi masalah kesehatan diwilayah kerja puskesmas
yang bersangkutan maupun wilayah kerja puskesmas yang berada diperbatasan
langsung dengan wilayah kerja puskesmas tersbeut ? Yang terjadi adalah :

11
1) Puskesmas tidak cepat dalam respon bila terjadi kejadian luar biasa karena
tidak mendapatkan informasi
2) Puskesmaas tidak mengetahui dengan pasti lokasi dan wilayah mana saja
yang perlu intervensi segera karena kehialngan informasi data-data yang
diperlukan
3) Puskesmas tidak dapat segera bertindak untuk mengatasi masalah
kesehatan di masyarakat
4) Puskesmas akan mendapat rumor atau berita/informasi dari pihak lain
(wartawan atau pemerhati lainnya) karena informasi lebih diketahui oleh
bukan petugas kesehatan.

Berdasarkan point a sampai d diatas tentunya puskesmas tidak ingin hal tersebut
di atas terjadi sehingga betapa penting membangun jejaring surveilans sehingga
informasi masalah kesehatan yang terjadi dimasyarakat dengan cepat diketahui,
untuk itu diharapkan petugas surveilans puskesmas perlu melakukan koordinasi
dengan jejaring puskesmas di wilayah kerjanya.

Contoh kasus koordinasi dengan swasta.


Pada laporan mingguan dari Klinik Swasta yang berada di wilayah puskesmas B
melaporkan bahwa terdapat kasus campak sebanyak 10 kasus pada minggu ke 35.
Laporan kasus ini didapatkan oleh puskesmas B, oleh karena adanya koordinasi
jejaring surveilans dengan unit swasta yang ada di wilayahnya.

Dengan adanya koordinasi antara puskesmas dan Klinik Swasta tersebut, tentunya
puskesmas dapat menggali lebih dalam lagi berkaitan data kasus campak tersebut,
diantaranya yaitu berkaitan dengan variable tempat (apakah ter cluster, di asrama,
lembaga pendidikan), variable orang (status imunisasi, kondisi kasus) dan variable
waktu (tanggal rush kasus).
Beberapa keuntungan yang di dapat dengan adanya koordinasi ini yaitu: diantaranya:

12
1) Puskesmas dapat melakukan respon penanggulangan secara cepat dan akurat
berdasarkan data hasil koordinasi tersebut.
2) Membantu mencapai target eleminasi campak melalui penemuan kasus
(discarded kasus campak).

Langkah yang lebih jauh lagi, yaitu bagaimana puskesmas mampu berkoordinasi
dengan Klinik Swasta untuk tidak hanya sekedar memberikan laporan rutin secara
lengkap dan tepat waktu, tetapi Klinik Swasta dapat dikoordinasikan dalam hal
pengambilan dan pengiriman spesimen kasus..

Dapat dibayangkan apabila Puskesmas B belum menjalin koordinasi yang baik,


tentunya kasus yang ada tidak terdeteksi dan penyebaran kasus akan semakin tidak
terkendali dan target eleminasi campak akan terbengkalai.

13
Latihan Materi 2
(Campak, DBD, Keracunan makanan)
Di wilayah kerja saudara banyak terdapat bidan praktek swasta, praktek dokter swasta dan
klinik swasta.
Coba anda membuat dalam rangka pertukaran informasi data-data yang terkait dengan
surveilans dan bagaimana caranya.

INSTRUKSI: Skenario Bermain peran


Koordinasi dilakukan oleh pa Agung, petugas surveilans puskesmas Sukasari dengan ibu Rosa bidan
praktek swasta, pa Amir seorang dokter praktek swasta dan pa Budi pengelola klinik swasta yang
berada di wilayah kerja puskesmas Sukasari. Pertemuan dilakukan saat kegiatan lokakarya mini
(Lokmin) bulanan puskesmas yang juga dihadiri oleh para karyawan puskemas. Pada surat
undangan pertemuan lokmin, jejaring puskesmas diminta untuk membawa laporan kunjungan
pasien penderita campak atau penyakit lainnya. Laporan jejaring puskesmas terkait 17 macam
penyakit yang berpotensi menimbulkan KLB/Wabah selama ini tidak pernah disampaikan kepada
puskesmas. Pada saat lokmin ini dibuat kesepakatan pelaporan terutama penyakit yang mungkin
terjadi di wilayah puskesmas.

Apa yang Anda dapat simpulkan dari latihan tersebut ?

2. KOORDINASI DENGAN PUSKESMAS YANG BERBATASAN


Koordinasi dengan puskesmas berbatasan dalam rangka pertukaran informasi masalah
kesehatan dan sharing data dalam rangka notifikasi masalah kesehatan pelayanan
kesehatan di wilayah kerja puskesmas yang terletak di perbatasan. Pertukaran data dan
notifikasi (cross notification)

Di era serba canggih sangat mudah melakukan kolaborasi, apakah mungkin Anda
sebagai petugas Puskesmas masih beranggapan bahwa kegiatan koordinasi tidak
dianggap penting?
Nah mari bantu jawab, menurut Anda apa kira-kira dampaknya jika Puskesmas
tempat Anda bertugas tidak pernah melakukan koordinasi?

14
Setelah anda menjawab pertanyaan tersebut dengan bijaksana, mari kita
kuatkan jawaban Anda tersebut atas pertanyaan diatas tadi, kemungkinan besar
yang akan terjadi jika Puskesmas tidak melakukan koordinasi dengan Puskesmas
yang berbatasan adalah:
1. Puskesmas yang berbatasan tidak bisa melakukan respon cepat bila terjadi
ancaman akan terjadinya kejadian luar biasa
2. Puskesmas yang berbatasan tidak bisa cepat melakukan upaya pencegahan
dan penanggulangan terhadap penyebaran penyakit atau masalah kesehatan
3. Puskesmas yang berbatasan akan mengalami keterlambatan dalam tindakan
pencegahan.

Puskesmas yang wilayah kerjanya berbatasan dengan wilayah kerja puskesmas


lain harus melakukan koordinasi apabila ada masalah kesehatan yang terjadi
didaerah yang berbatasan langsung dengan wilayah kerja puskemas masing-
masing dengan harapan apabila ada informasi terkait penyakit potensi KLB/Wabah
dengan cepat dapat dilakukan pertukaran informasi. Pertukaran informasi ini
berupa data-data penyakit atau masalah kesehatan lainnya yang dapat dilakukan
melalui email, sms, whaatsapp ataupun melalui surat resmi yang ditujukan kepada
puskesmas yang bersangkutan dengan tembusan Dinkes kab/kota yang
merupakan wilayah kerjanya.

15
LANGKAH-LANGKAH CROSS NOTIFIKASI

1. Masing-masing puskesmas yang berbatasan membuat


jejaring surveilans
2. Melakukan koordinasi dalam hal pertukaran informasi
data-data kesehatan melalui jejaring surveilans
3. Masing-masing puskesmas yang berbatasan akan
menindaklanjuti terkait data-data atau masalah
kesehatan yang wilayah puskesmas yang berbatasan.
4. Melakukan pengendalian dan pencegahan dengan
menggunakan pendekatan surveilans epidemiologi di
wilayah puskesmas yang berbatasan dengan dilakukan
secara bersama-sama atau dapat dilakukan sendiri oleh
puskesmas yang bersangkutan.
5. Setelah dilakukan pengendalian pencegahan penyakit
hasil yang didapat akan dilakukan desiminasi
informasi/berbagi informasi antara puskesmas yang
berbatasan.

Contoh:
Laporan kasus suspect difteri yang berobat di Puskesmas A, sedangkan domisili
kasus ada di dalam wilayah puskesmas B. Untuk melakukan koordinasi dan
crossnotifikasi kasusnya dapat dilakukan via media teknologi yang mudah dan
cepat. Salah satu media yang dapat digunakan yaitu aplikasi WhatsApp atau
dengan memperhatikan juga kaidah datanya yang ditentukan oleh Komite Ahli
Difteri.

16
Laporan cross notification melalui aplikasi whaatapps dapat mempermudah dan
mempercepat pertukaran data, namun demikian juga harus diperhatikan variabel
utama yang dibutuhkan, minimal data yang dibutuhnya diataranya yaitu:
nama kasus, usia, jenis kelamin, alamat domisili, nama penyakit/diagnosis, tgl
berobat, tgl sakit.

Untuk selanjutnya, laporan kasus cross notification juga dapat dilakukan/dilengkapi


dengan mengirimkan format laporan kasus yang sudah formal, misalnya: format
laporan kasus campak (C1 Campak), format laporan kasus DBD, TB, STP, dll
kepada puskesmas perbatasan melalui koordinasi Dinas Kesehatan setempat.

Dalam melakukan koordinasi dan desiminasi informasi data-data surveilans,


baik yang dilakukan dengan jejaring surveilans di wilayah kerjanya maupun dengan
Dinas Kesehatan setempat, tentunya memerlukan komunikasi yang efektif.
Komunikasi ini dapat dibangun /dilakukan dengan melakukan:
1) Pertemuan rutin jejaring surveilans epidemiologi ditingkat puskesmas dengan
memanfaatkan pertemuan bulanan ataupun triwulanan di tingkat kecamatan
dengan mengundang seluruh unit jejaring surveilansnya.
17
2) Memberikan umpan balik kepada unit jejaring surveilansnya baik melalui surat
dinas, email, dll.
3) Melaporkan kepada puskesmas perbatasan dengan menggunakan media
informasi (email, telpon, whatsapp, dll) berkaitan adanya kasus potensial
KLB/Wabah atau masalah kesehatan lainya yang terjaring di wilayah
puskesmas terlapor.
4) Berkoordinasi dengan petugas surveilans Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota
berkaitan adanya cross notification, baik melalui telpon, email, whatsapp
maupun secara tertulis yang disertai dengan data dukung permasalahan
kesehatan yang ada dalam rangka desiminasi informasi untuk melakukan
respon dalam rangka pencegahan dan penanggulangan yang cepat dan tepat.

18
LATIHAN MATERI 3
Ada 1 kasus penderita difteri usia sekolah dasar (8 tahun) berobat ke puskesmas
saudara, sedangkan tempat tinggal penderita termasuk wilayah puskesmas B
yang berbatasan langsung dengan wilayah kerja puskesmas saudara dari wilayah
kabupaten yang berbeda. Berdasarkan hasil penelurusan kontak erat kasus,
didapatkan data bahwa kontak erat kasus ada yang tinggal di wilayah puskesmas
B dan ada juga yang tinggal diwilayah puskesmas saudara yang berbatasan
langsung dalam wilayah kabupaten yang berbeda, apa yang akan anda lakukan
sebagai petugas surveilans bila menemui kasus tersebut?
(bagaimana membuat Crossnotification)

INSTRUKSI:

Apa yang Anda dapat simpulkan dari latihan tersebut ?

19
REFERENSI
1. Permenkes Nomor 1501 Tahun 2010 tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu
Yang Dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangan
2. Permenkes Nomor 45 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Surveilans
Kesehatan
3. Buku Pedoman Penyelidikan Epidemiologi dan Keracunan Makanan Edisi Revisi
Tahun 2017
4. http://www.pengertianpakar.com/2015/07/pengertian-koordinasi-dan-tujuan-
koordinasi.html

20

Anda mungkin juga menyukai