Surveilans
EPIDEMIOLOGI BAGI PETUGAS
PUSKESMAS
Penasehat
dr. Tri Nugroho, MQIH.
Kepala BBPK Ciloto
Penanggung Jawab
Budiman, ST., M.Kes.
Narasumber
Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia
Penyusun:
1. Isep Priatna, MAP
2. Tri Budi Gunawan
3. Saleh Budi SAntoso, M.Epid
4. Puhilan, M.Epid
5. Adang Mulyana, M.Epid
6. Tanti Lukitaningsih, M. Epid
7. Ferry Febriansyah. MKM
8. Tuti Mulyati, S.Kom
9. drg. Hetty Permatawati., MKM
10. drg. Rieka Siti Kadaria, M.Kes
11. Etna Saraswati, MKM
12. Agus Setiabudi, M.Kes
Tim Pembahas:
PESERTA SEMINAR KURIKULUM DAN MODUL
PELATIHAN SURVEILANS EPIDEMIOLOGI BAGI PETUGAS PUSKESMAS
Kata Pengantar
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa atas
selesainya Pengembangan Kurikulum dan Modul Pelatihan Surveilans
Epidemiologi bagi Petugas Puskesmas.
Kurikulum pelatihan surveilans bagi petugas puskesmas atau sejenisnya
sebetulnya sudah ada dan pernah beberapakali disusun dengan berbagai versi,
baik oleh beberapa organisasi maupun oleh instansi pelatihan termasuk BBPK
Ciloto pada tahun 2008. Setelah diidentifikasi berdasarkan adanya perubahan
kebijakan dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, diantaranya Permenkes Nomor 75 Tahun
2014 tentang Pusat Kesehatan Masyaratkat, Permenkes Nomor 44 Tahun 2016 Tentang Pedoman
Manajemen Puskesmas, serta Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga yang berbasis
siklus kehidupan, Sustainable Development Goals (SDG’s), dan dinamika permasalahan kesehatan yang
dihadapi masyarakat, maka dari itu diperlukan penyesuaian dan penyempurnaan kurikulum pelatihan
tersebut.
Dalam merespon hal tersebut, tahun 2018 Kementerian kesehatan melalui Pusat Pelatihan SDM
Kesehatan dan BBPK Ciloto, bekerjasama dengan unit program dan organisasi profesi Perhimpunan
Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) mengembangkan Kurikulum Pelatihan Surveilans Epidemiologi bagi
Petugas Puskesmas. Selanjutnya agar proses pelatihan dapat berjalan lebih efektif dan efisien, maka
dibutuhkan bahan ajar, rujukan dan referensi untuk membantu proses pembelajaran yang kemudian
dikembangkan dan disusun menjadi modul pelatihan.
Kami menyadari masih terdapat kekurangan dalam modul yang kami susun ini, oleh karena itu saran
perbaikan untuk penyempurnaannya sangat kami harapkan. Penghargaan dan ucapan terima kasih kami
sampaikan kepada semua pihak yang telah meluangkan waktu dan memberikan kontribusi pemikiran
yang komprehensif dalam mewujudkan Modul ini.
Semoga pengembangan modul ini dapat memberikan manfaat bagi bangsa dan negara.
1
MODUL INTI 1
KONSEP DASAR SURVEILANS EPIDEMIOLOGI
I. DESKRIPSI SINGKAT
Program pencegahan dan pemberantasan penyakit akan sangat efektif bila dapat didukung
oleh sistem surveilans yang efektif, karena fungsi surveilans yang utama adalah menyediakan
informasi epidemiologi yang peka terhadap perubahan yang terjadi dalam pelaksanaan
program pemberantasan penyakit yang menjadi prioritas pembangunan.
Dengan memahami konsep dasar surveilans epidemiologi, maka petugas kesehatan akan dapat
membantu untuk menjalankan fungsi – fungsi surveilans dan tercapainya tujuan surveilans
epidemiologi.
Beberapa modul yang akan anda pelajari ke depan, akan sangat membantu anda untuk
melakukan pencegahan dan penanggulangan penyakit di wilayah Puskesmas tempat Anda
bertugas. Sebelum Anda belajar lebih dalam dalam pelatihan Surveilans Epidemiologi bagi
Petugas Puskesmas ini, Anda harus mempelajari konsep dasar surveilans epidemiologi dalam
modul ini.
Pikiran terbuka dan niat yang baik adalah syarat utama agar Anda dapat memahami modul ini.
Pengalaman Anda terkait surveilans epidemiologi di Puskesmas tempat Anda bekerja
merupakan bahan kajian yang sangat penting dalam pelatihan ini.
2
II. TUJUAN PEMBELAJARAN
A. Tujuan Pembelajaran Umum
Setelah mengikuti pembelajaran, peserta mampu menjelaskan konsep dasar surveilans
epidemiologi
3
2) Dengan denominator
a) Proporsi
b) Rate
c) Ratio
b. Tipe Kuantitas Epidemiologis
1) Insidens
a) Insidens Kumulatif
b) Incidence Density (Incidence rate, Laju insidens, insidens orang – waktu)
2) Prevalens
a) Prevalensi Titik
b) Prevalens Periode
3) Mortalitas
a) Angka Kematian Kasar (Crude Death Rate = CDR)
b) Case Fatality Rate (CFR)
4
IV. URAIAN MATERI
POKOK BAHASAN 1
A. DEFENISI DAN ATRIBUT SURVEILANS
1. Pengertian Surveilans
Surveilans Kesehatan adalah kegiatan pengamatan yang sistematis dan terus menerus
terhadap data dan informasi tentang kejadian penyakit atau masalah kesehatan dan kondisi
yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau masalah
kesehatan untuk memperoleh dan memberikan informasi guna mengarahkan tindakan
pengendalian dan penanggulangan secara efektif dan efisien.
3. Tujuan Surveilans
a. Tersedianya informasi tentang situasi, kecenderungan penyakit, dan faktor risikonya
serta masalah kesehatan masyarakat dan faktor-faktor yang mempengaruhinya sebagai
bahan pengambilan keputusan;
b. Terselenggaranya kewaspadaan dini terhadap kemungkinan terjadinya KLB/Wabah dan
dampaknya;
c. Terselenggaranya investigasi dan penanggulangan KLB/Wabah; dan
d. Dasar penyampaian informasi kesehatan kepada para pihak yang berkepentingan sesuai
dengan pertimbangan kesehatan.
4. Bentuk Penyelenggaraan
Bentuk penyelenggaraan Surveilans Kesehatan terdiri: surveilans berbasis indikator dan
surveilans berbasis kejadian
a. Surveilans berbasis indikator
Surveilans berbasis indikator dilakukan untuk memperoleh gambaran penyakit, faktor risiko
dan masalah kesehatan dan/atau masalah yang berdampak terhadap kesehatan yang
menjadi indikator program dengan menggunakan sumber data yang terstruktur. Contoh:
penyelenggaraan surveilans AFP, CBMS, Surveilans Gizi, Surveilans penyakit TB, Surveilans
Penyakit Kustadll
5. Atribut Surveilans
5
Secara umum struktur Sistem Surveilans di Indonesia berbasis laporan Puskesmas, Rumah
Sakit dan Laboratorium dan dimanfaatkan di semua tingkatan pemerintahan di
kabupaten/kota, provinsi dan pusat yang masing-masing membentuk unit surveilans, baik
struktural atau fungsional.
Sistem surveilans memiliki karakteristik atau atribut, diantaranya yaitu: kesederhanaan,
fleksibilitas, akseptabilitas, sensitivitas, nilai prediktif positif, kerepresentatifan, ketepatan
waktu yang berkontribusi secara langsung terhadap kemampuan mencapai tujuan
spesifiknya. Kombinasi atribut surveilans ini akan menentukan kekuatan dan kelemahan
dari sistem surveilans, sehingga harus terdapat keseimbangan diantara atribut sistem
surveilans tersebut (Romaguera, R.A., et al, 2000: 181):
a. Kesederhanaan (Simplicity)
Kesederhanaan dari suatu sistem surveilans mencakup kesederhanaan dalam hal struktur
dan kemudahan pengopersiannya. Sistem surveilans sebaiknya dirancang sesederhana
mungkin, namun masih dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Kesederhanaan erat
kaitannya dengan ketepatan waktu, dan akan mempengaruhi jumlah sumber daya/sumber
dana yang dibutuhkan untuk melaksanakan sistem tersebut (Depkes RI, 2003: 30-31)
Sistem surveilans seharusnya sesederhana mungkin. Sistem surveilans sangat
sederhana dapat dicontohkan adanya unit kecil yang merumuskan definisi operasional
kasus dengan variabel yang mudah diperoleh, unit ini juga yang menemukan kasus,
merekam dan mengolah datanya, serta memanfaatkannya untuk kepentingan unit itu
sendiri.
Sistem surveilans sederhana jika definisi operasional kasus mudah untuk diterapkan dan
tidak memerlukan keahlian khusus, menjadi komplek jika diagnosis kasus memerlukan
wawancara dan pemeriksaan yang kompleks, memerlukan dukungan labotaroium yang
selalu tersedia, pengoperasiannya rumit, perlu tenaga dengan keahlian khusus dan
pelatihan atau pendidikan tertentu.
Secara umum, definisi operasional yang sederhana, akan cenderung menimbulkan
sensitifitas dan spesifitas rendah, tetapi definisi operasional yang ketat atau sulit
menimbulkan tingkat partisipasi rendah, butuh alat, pelatihan dan tenaga yang
memerlukan anggaran tidak sedikit.
Beberapa ukuran yang dapat digunakan untuk menentukan kesederhanaan sistem
surveilans (Klaucke cs dalam Principles hal 177):
1) Jumlah dan jenis informasi yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis sesuai definisi
operasional kasus
2) Jumlah dan jenis sumber data
3) Cara-cara untuk mengirimkan informasi adanya kasus dan pengiriman data
4) Pelatihan staff
5) Jenis dan kompleksitas melakukan analisis data
6) Jumlah sarana pendukung (paket sistem komputerisasi)
7) Cara-cara mempublikasikan laporan
8) Banyaknya waktu yang digunakan untuk melaksanakan sistem surveilans
6
9) Besarnya sumberdaya yang diperlukan (biaya dan sarana), semakin komplek semakin
mahal.
b. Fleksibilitas (Flexibility)
Suatu sistem surveilans yang fleksibel dapat menyesuaikan diri dengan perubahan informasi
yang dibutuhkan atau situasi pelaksanaan tanpa disertai peningkatan yang berarti akan
kebutuhan biaya, tenaga dan waktu. Sistem yang fleksibel dapat menerima perubahan
definisi kasus, dan variasi – variasi dari sumber pelaporan. Pada umumnya, makin sederhana
suatu sistem, makin fleksibel untuk diterapkan pada penyakit/masalah kesehatan lain serta
komponen yang harus diubah akan lebih sedikit.
Fleksibilitas juga dimaksudkan kemudahan sistem surveilans yang ada untuk menghadapi
munculnya penyakit baru, misalnya, ketika terjadi ancaman pandemi influenza ganas,
ancaman loncatan tipe virus influenza A H5N1, maka sistem deteksi dini dapat
direalisasikan dengan menumpang pada sistem pemantauan wilayah setempat kasus
potensi KLB yang masih aktif.
c. Akseptabilitas (Acceptability)
Akseptabilitas menggambarkan kemauan seseorang atau organisasi untuk berpartisipasi
dalam melaksanakan sistem surveilans. Akseptabilitas merupakan atribut yang sangat
subjektif yang mencakup kemauan pribadi dari orang – orang yang bertanggungjawab
terhadap pelaksanaan sistem surveilans untuk menyediakan data yang akurat, konsisten,
lengkap dan tepat waktu.
Sistem surveilans yang baik jika dapat diterima oleh semua pihak terkait dengan
penyelenggaraan sistem surveilans, baik unit kerja maupun oleh orang-orang yang
bertugas dalam penyelenggaraan sistem surveilans, baik unit sumber data, unit
surveilans, dan program terkait.
Beberapa variabel yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi tingkat partisipasi:
1) Adanya Surat Keputusan Kepala Puskesmas tentang struktur organisasi dan uraian tugas
program Surveilans yang memastikan adanya orang yang bertanggungjawab terhadap
penyelenggaraan surveilans
2) Dibentuknya unit pelaksana, kelompok kerja atau petugas yang bertanggungjawab
sesuai peran terhadap penyelenggaraan surveilans yang ditetapkan dalam suatu
keputusan formal
3) Terdapatnya rencana kerja pelaksanaan sistem surveilans dan anggaran sesuai dengan
peran dalam penyelenggaraan surveilans
4) Besarnya jumlah kelengkapan laporan dan laporan-laporan yang dikirimkan tepat waktu
5) Pada unit sumberdata surveilans dapat diidentifikasi
• keterlibatan dokter, perawat, petugas laboratorium dan unit-unit yang terlibat dalam
identifikasi kasus, perekaman dan pelaporan,
• Kelengkapan isi formulir isian, baik dalam penetapan kasus maupun variabel-variabel
yang diperlukan lainnya dan
7
• Perbandingan jumlah kasus terekam dalam dokumen rekam data surveilans dibanding
dengan jumlah kasus-kasus yang telah terdaftar, teridentifikasi atau tercatat di
register
Pengukuran dapat dilakukan kuantitatif, kualitatif atau melalui penelitian khusus sesuai
dengan jenis pengukuran yang dinilai.
d. Sensitivitas (Sensitivity)
Sensitivitas dari suatu sistem surveilans dapat dilihat pada dua tingkatan. Pertama, pada
tingkatan pengumpulan data, proporsi kasus dari suatu penyakit/masalah kesehatan yang
dideteksi oleh sistem surveilans. Kedua, sistem dapat dinilai akan kemampuannya untuk
mendeteksi KLB.
Secara praktis dapat dijelaskan, penekanan utama dalam menilai sensitivitas dengan asumsi
kasus – kasus yang dilaporkan sebagian besar diklasifikasikan dengan benar adalah
mengestimasi proporsi dari jumlah kasus di masyarakat yang dapat dideteksi oleh sistem
surveilans. Sistem surveilans dengan sensitifitas tidak terlalu tinggi masih berguna untuk
memantau trend selama sensitivitasnya konstan.
Sistem surveilans sensitif adalah mampu mendeteksi kejadian-kejadian kesehatan atau
obyek surveilans lain dengan tepat, baik pada keakuratan diagnosis, kelengkapan laporan
kasus, maupun ketepatan waktu terdeteksinya kejadian. Sensitif juga berarti mampu
mendeteksi adanya KLB dengan tepat.
8
antara orang – orang yang melaporkan kasus dan instansi yang menerima laporan akan
meningkatkan NPP.
Gambar 1.
Perhitungan Predictive Value Positive, Sensitifitas dan spesifisitas
Status Penyakit
Total
+ -
+ A B A+B
Hasil Test
- C D C+D
A+C B+D A+B+C+D
A = jumlah individu skrining tes positif dan benar sakit (true positive)
B = jumlah individu skrining tes positif tetapi sebenarnya tidak sakit (false positive)
C = jumlah individu skrining tes negatif tapi sebenarnya sakit (false negative)
D = jumlah individu skrining tes negatif dan benar tidak sakit (true negative)
f. Kerepresentatifan (Representativeness)
Suatu sistem surveilans yang representatif akan menggambarkan secara akurat kejadian
dari suatu peristiwa kesehatan dalam periode waktu tertentu dan distribusi peristiwa
tersebut dalam masyarakat menurut tempat dan orang.
Kerepresentatifan dinilai dengan membandingkan karakteristik dari kejadian – kejadian
yang dilaporkan dengan semua kejadian yang ada. Meskipun informasi kejadian yang
sebenarnya dalam masyarakat tidak diketahui, namun dapat ditentukan melalui studi
khusus.
Kualitas data merupakan bagian yang penting dari kerepresentatifan. Kualitas data ini
dipengaruhi oleh kejelasan dari formulir surveilans, kualitas pelatihan, supervisi terhadap
petugas surveilans dan ketelitian dalam penatalaksanaan data. Pengkajian hal –hal tersebut
akan memberikan ukuran tak langsung dari kualitas data.
Perhitungan presentase formulir surveilans atau kuesioner yang tidak diisi atau diisi dengan
“tak diketahui” merupakan ukuran langsung. Penilaian dari realibilitas dan validitas dari
jawaban/data memerlukan studi khusus.
9
Representatif bukan berarti jumlah kasus sama persis, representatif lebih berarti mewakili
atau dapat menggambarkan situasi di populasi dengan tepat. Representatif kejadian
kesehatan tertentu dapat ditunjukkan dengan tepat berdasarkan analisis kejadian-kejadian
kesehatan atau obyek surveilans lainnya yang telah teridentifikasi dengan karakteristiknya
menurut waktu, tempat dan orang.
i. Stability
Stabilitas sistem surveilans mengacu pada keandalan metode untuk memperoleh dan
mengelola data surveilans dan ketersediaan data tersebut. Karakteristik ini biasanya terkait
dengan keandalan sistem komputer yang mendukung surveilans tetapi mungkin juga
mencerminkan ketersediaan sumber daya dan personel untuk melakukan surveilans.
10
LATIHAN MATERI 1
Mengidentifikasi dan mendeskripsikan atribut
sistem surveilans yang sedang saudara kelola
saat ini
INSTRUKSI:
Peserta secara kelompok melakukan identifikasi atribut pada satu sistem surveilans yang sedang
dikelola oleh peserta (Contoh: sistem surveilans CBMS, AFP, gizi, HIV, TB, Penyakit Tidak Menular,
BDB, Kusta, dll)
11
POKOK BAHASAN 2
B. KONSEP DASAR EPIDEMIOLOGI
1. Epidemiologi Deskriprif dan Epidemiologi Analitik
a. Pengertian Epidemiologi
Epidemiologi adalah studi distribusi dan determinan kesehatan yang terkait keadaan atau
peristiwa dalam populasi tertentu, dan aplikasi studi ini untuk mengendalikan masalah
kesehatan (Last, 1988).
Studi epidemiologi dibagi menjadi dua kategori: yaitu (1) epidemiologi deskriptif; dan (2)
epidemiologi analitik.
b. Epidemiologi Deskriptif
Epidemiologi deskriptif bertujuan mendeskripsikan distribusi, pola, kecenderungan,
perjalanan, dan dampak penyakit menurut karakteristik populasi, letak geografis, dan
waktu. Epidemiologi deskriptif mempelajari penyebaran penyakit menurut orang (person),
tempat (place), dan waktu (time).
Tujuan dari studi epidemiologi deskriptif:
1) Untuk dapat menggambarkan karakteristik distribusi penyakit atau masalah
kesehatan lainnya pada sekelompok orang atau populasi
2) Untuk dapat memperhitungkan besar dan pentingnya masalah kesehatan pada
populasi
3) Untuk dapat mengidentifikasi dugaan faktor “determinant” atau faktor risiko timbulnya
penyakit atau masalah kesehatan yang dapat menjadi dasar menformulasikan hipotesa
12
Who (siapa): merupakan pertanyaan tentang faktor orang yang akan dijawab dengan
mengemukakan perihal mereka yang terkena masalah. Bisa mengenai variabel usia, jenis
kelamin, suku, agama, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan.
Where (dimana): pertanyaan mengenai faktor tempat dimana masyarakat tinggal atau
bekerja atau dimana saja kemungkinan mereka mengadapi masalah kesehatan.
Variabelnya dapat berupa urban (kota), rural (desa), pantai, pegunungan, pertanian,
perikanan, industri, pemukiman, tempat kerja, dll.
When (kapan): Pertanyaan ini berhubungan dengan kejadian penyakit dan waktu. Faktor
waktu dapat berupa jam, hari, minggu, bulan, tahun dan musim (musim hujan, musim
panas / kemarau, musim dingan).
Faktor Who, Where, When disebut sebagai variabel Epidemiologi deskriptif yaitu : (1)
variable orang, (2) Variabel waktu, (3) Variabel tempat.
1) Variabel Orang
Yang dimaksud variable orang adalah karakteristik individu yang ada kaitannya dengan
pemaparan atau kerentanan terhadap suatu penyakit. Karakteristik – karakteristik yang
ada pada variable orang antara lain: umur, jenis kelamin, agama, etnik grup, pekerjaan,
pendidikan, social ekonomi, dll
2) Variabel Waktu
Berdasarkan skala waktu perubahan frekuensi penyakit / masalah kesehatan menurut
waktu dapat dibagi menjadi tiga:
a) Variasi jangka panjang yang disebut “secular trend” , yaitu perubahan frekuensi
penyakit atau masalah kesehatan lainnya yang terjadi dalam jangka waktu yang lama,
bertahun – tahun, puluhan tahun.
b) Fluktuasi frekuensi penyakit atau masalah kesehatan yang terjadi secara periodik
disebut juga perubahan siklik
c) Fluktuasi frekuensi penyakit / masalah kesehatan yang terjadi secara singkat seperti
epidemi.
3) Variabel Tempat
Variabel tempat mendeskrisikan dimana penyakit/masalah kesehatan terjadi yang
berhubungan dengan geografi. Metode analisis yang digunakan dapat membuat peta pola
penyakit dan membuat perbandingan antara area geografi dalam bentuk tabel, grafik, dan
diagram.
Hubungan lokasi dengan penyakit dapat digunakan sebagai dasar hipotesis etiologi
penyakit. Tujuan lainnya untuk membantu manager pelayanan kesehatan di dalam
mengidentifikasi daerah yang bermasalah.
Untuk menganalisa perubahan frekuensi penyakit / masalah kesehatan berdasarkan
tempat dapat dibandingkan sebagai berikut:
a) Berdasarkan perbandingan secara internasional atau antar negara; misalanya variasi
dan ketepatan diagnosis sistem pelaporan
13
b) Perbandingan dalam negara (perbandingan data penyakit antara satu provinsi dengan
provinsi lainnya, antar kabupaten / kota)
c) Perbandingan antara urban dan rural (kepadatan penduduk, suplai air, tingkat
industrialisasi, sanitasi lingkungan, tingkat pendidikan, dll).
d) Perbandingan antar tempat (batas alamiah: iklim, temperatur, pantai, pegunungan,
persawahan, tambak)
c. Epidemiologi Analitik
Epidemiologi analitik bertujuan untuk:
1) Menjelaskan faktor – faktor risiko dan kausa penyakit.
2) Memprediksi kejadian penyakit.
3) Memberikan saran strategi intervensi yang efektif untuk pengendalian penyakit.
Prinsip analisis dalam studi epidemiolgi analitik adalah membandingkan risiko terkena
penyakit antara dua atau lebih kelompok dengan menggunakan suatu desain studi,
misalnya: studi kasus kontrol, studi kohor, eksperimen terandomisasi, dan studi
laboratorium. Analisis tersebut memungkinkan pengujian hipotesis kausal.
Gambar 1.
Ringkasan Studi Epidemiologi
14
Gambar 2. Triad Epidemiologis
a. Faktor Agent
Agent penyebab penyakit menular dapat berupa organisme (virus, bakteri, rickettsia,
protozoa, cacing, fungus atau arthopoda) atau juga dapat berupa Agent fisik atau kimiawi
(toxin atau racun), maupun eksposure berupa sosial.
Bila Agent berupa organisme, maka Agent membutuhkan untuk melakukan multifikasi
untuk dapat bertransmisi ataupun bertahan/survival. Multifikasi Agent organisme dengan
dua metode, yaitu reproduksi aseksual dan reproduksi seksual.
Agent organisme dapat survive dengan cara menemukan host yang cocok
Untuk memperpanjang masa hidup Agent organisme melalui beberapa metode, yaitu:
• Reservoir adalah habitat alamiah dari sebuah Agent infeksius yang dapat meliputi
manusia, binatang/vektor dan sumber – sumber lingkungan (air, tanah).
• Persistence, digunakan oleh parasit sebagai upaya survive dengan cara membentuk
fase – fase yang bersifat spesial/khusus sehingga tahan terhadap kondisi lingkungan
yang merugikan atau membahayakan Agent.
• Latency, adalah tahapan Agent berada pada masa tidak memberikan efek infeksius
terhadap host baru
• Vektor, dengan memanfaatkan ada vektor, Agent dapat survive dengan berpindah dari
satu host ke host lainnya. Vektor juga dapat dikategorikan sebagai bagian dalam proses
transmisi.
• Intermediate host, beberapa jenis parasit membutuhkan host perantara dalam tahapan
perkembangannya, hingga dapat cukup untuk menginvasi target akhir hostnya.
Jika Agent dapat bertahan dan mengifeksi host baru, maka Agent akan memimbulkan
reaksi atau kesakitan pada host. Reaksi tergantung pada respon host dan Agent. Effek yang
ditimbulkan oleh Agent meliputi:
• Infeksi, adalah masuk dan berkembangnya atau bermultifikasinya sebuah Agent yang
infeksius di dalam host.
• Infeksivitas, adalah kemampuan dari Agent untk menginvasi dan memproduksi infeksi
dalam host.
• Dosis infektif dari sebuah Agent, adalah jumlah yang dibutuhkan untuk menimbulkan
infeksi pada subjek – subjek yang rentan.
15
• Patogenitas Agent, adalah kemampunnya dalam menghasilkan penyakit, yang dapat
diukur berdasarkan rasio dari jumlah orang – orang yang menderita penyakit klinik
terhadap jumlah dari orang – orang yang terpapar terhadap infeksi.
• Virulensi, adalah ukuran tentang tingkat keganasan penyakit, yang hal itu dapat
bervariasi dari rendah hingga amat tinggi. Jika virus telah dilemahkan di dalam
laboratorium dan mempunyai virulensi yang rendah, maka berarti virus dapat
digunakan untuk imunisasi, misalnya pada virus poliomielitis.
c. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan merupakan faktor eksternal yang mempengaruhi agent dan host dan
kesempatan untuk menjadi paparan. Pada umumnya, faktor lingkungan meliputi faktor
fisik seperti geologi dan iklim; faktor biologis seperti vektor serangga yang
menyampaikan agent, dan faktor sosioekonomi seperti kepadatan hunian, sanitasi dan
ketersediaan layanan kesehatan.
Faktor agent, host , dan lingkungan saling berhubungan dengan berbagai cara yang
kompleks sehingga dapat memyebabkan penyakit pada manusia. Satu penyakit yang
berbeda dihasilkan dari keseimbangan dan interaksi yang berbeda pula diantara ketiga
komponen tersebut.
Keaadan berpenyakit (gambar 3): karena jumlah agent bertambah banyak sehingga timbul
penyakit pada host.
16
Gambar 4. Hubungan Host – Agent – Lingkungan
Keadaan berpenyakit (gambar 4): karena kerentanan host bertambah berat (daya tahan
tuhbuh berkurang) sehingga timbul penyakit
Keadaan berpenyakit (gambar 6): karena Kerentanan (suseptibel) host bertambah berat
karena perubahan lingkungan.
Model segitiga Agent – Host – Lingkungan tersebut menjelaskan bahwa sakit pada
seseorang adalah hasil interaksi dari agent, host dan lingkungan. Agent penyakit bergerak
pindah keluar dari host (sumber penyakit) melalui jalan keluar (portal mininggalkan host ),
kemudian melalui berbagai cara penularan, agent penyakit masuk ke dalam tubuh host
baru yang rentan melalui pintu masuk (portal masuk ke host ).
17
Ada 6 (enam) unsure penting dalam rantai penularan penyakit menular, yaitu:
1) Agent (penyebab)
2) Reservoir dari agent
3) Portal dari agent untuk meninggalkan host
4) Cara penularan (tansmisi) dari agent ke host baru
5) Portal dari agent masuk ke host yang baru
6) Kerentanan host.
Transmisi ini dapat terjadi secara langsung atau tidak langsung. Transmisi secara langsung
merupakan pemindahan dari agent infeksius yang berasal dari host yang terinfeksi atau
reservoir ke suatu tempat yang tepat, yang mengakibatkan terjadinya infeksi pada
manusia.
Contoh transmisi secara langsung:
1) Sentuhan / rabaan
2) Ciuman
3) Hubungan kelamin
4) Kontak yang lainnya (Kelahiran bayi, prosedur medis, injeksi obat, menyusui bayi)
5) Penularan melalui udara, jarak pendek (melalui droplet bersin)
6) Transfusi darah
7) Transplasental
Transmisi tidak langsung adalah penularan melalui vehikel, penularan melalui vektor atau
penularan melalui udara.
18
Gambar 7.
Riwayat Alamiah Penyakit dan Level Pencegahan
a. Fase Rentan
Adalah tahap berlangsungnya proses etiologis, dimana “faktor penyebab pertama” untuk
pertama kalinya bertemu dengan penjamu / host dan belum menimbulkan penyakit.
Faktor penyebab pertama yang dimaksud adalah faktor risiko. Faktor risiko adalah faktor
yang kehadirannya meningkatkan probabilitas kejadian penyakit sebelum fase subklinis.
Menurut Last (2001), faktor risiko adalah perilaku
gaya hidup, paparan lingkungan (fisik, biologi, sosial, kultural);karakteristik bawaan
maupun keturunan, yang berdasarkan bukti – bukti epidemiologis diketahui memiliki
hubungan dengan penyakit dan kondisi kesehatan, sehingga dipandang penting untuk
dilakukan pencegahan.
Contoh:
Balita yang tidak mendapatkan vaksinasi MR pada populasi yang berkelompok akan
meningkatkan kerentanan untuk kejadian kasus campak ataupun rubella.
Faktor risiko dapat dibagi menjadi faktor risiko tetap dan faktor risiko berubah.
Contoh faktor risiko yang dapat berubah yaitu: jenis pekerjaan, kebiasaan makan,
kebiasaan merokok, konsumsi narkoba, konsumsi garam, pola tidur/istirahat, dll.
Contoh faktor risiko tetap, diantaranya yaitu: jenis kelamin, ras, riwayat keluarga, umur,
dll.
b. Fase Subklinis
Fase subklinis atau fase pre-simptomatis adalah tahap berlangsungnya proses perubahan
patologis yang diakhiri dengan keadaan irreversibel (yaitu, manifestasi penyakit tak dapat
dihindari lagi). Pada fase ini belum terjadi manifestasi penyakit, tetapi telah terjadi
tingkat perubahan patologis yang siap dideteksi tanda & gejalanya pada tahap berikutnya.
contoh: perubahan aterosklerosis arterio koronaria sebelum seseorang memperlihatkan
tanda dan gejala PJK, perubahan malignasi jaringan, dsb.
c. Fase Klinis
19
Adalah tahap dimana perubahan patologis pada organ telah cukup banyak, sehingga
tanda dan gejala penyakit mulai dapat dideteksi dan telah terjadi manifestasi klinis
penyakit. Pada fase klinis ini juga dipengaruhi oleh faktor pejamu, akses terhadap
pelayanan kesehatan, dan kecermatan diagnosa klinis yang menangani pasien.
Gambar 8.
Fenomena Gunung Es
Pada fenomena gunung es, dapat digambarkan bahwa fenomena kasus penyakit yang
terlaporkan atau terdeteksi oleh fasilitas pelayanan kesehatan layaknya gunung es.
Artinya masih banyak kasus lainnya yang belum terdeteksi / tidak berobat ke fasilitas
pelayanan kesehatan.
Beberapa istilah yang digunakan dalam riwayat alamiah penyakit diantaranya, yaitu:
• Susceptible / Rentan : seseorang yang mampu terkena penyakit
• Masa Inkubasi : adalah periode mulai dari paparan Agent sampai timbul gejala
pertama kali. Masa inkubasi penyakit sangat bervariasi, ada penyakit dengan masa
inkubasi sangat singkat dalam hitungan detik, menit atau jam hingga masa inkubasi
dalam hitungan hari, minggu atau tahunan.
• Periode laten : adalah peride antara mulai terjadi paparan sampai pada titik ketika
host dapat menularkan / infeksius
• Masa infeksi: adalah periode ketika host mampu menularkan penyakit
• Periode simptomatik : periode ketika host menunjukan gejala dan tanda penyakit.
• Carriers adalah seseorang yang tidak menunjukkan manisfestasi dari penyakitnya,
tetapi dapat menyebarkan Agent infeksiusnya. Tiga tipe carriers, yaitu: asymtomatik,
prodormal karier, konvalesen karier.
20
4. Ukuran Dasar Epidemiologi (Pengukuran Penyakit Dan Gambaran Penyakit)
Ukuran – ukuran yang digunakan dalam epidemiologis yaitu: (1) Tipe kuantitas matematis
dan (2) Tipe kuantitas epidemiologis.
2) Dengan denominator
a) Proporsi
Proporsi adalah suatu perbandingan dimana pembilang (numerator) selalu merupakan
bagian dari penyebut (denominator). Proporsi digunakan untuk melihat komposisi suatu
variabel dalam populasinya. Apabila angka dasar (konstanta) yang dipakainya adalah 100,
maka disebut prosentase.
Rumus:
X
X 100%
X+Y
Contoh:
Jumlah kasus TB wanita = 30
Jumlah kasus TB laki – laki = 70
b) Rate
Rate adalah ukuran proporsi yang memasukkan unsur periode waktu pengamatan dalam
denominatornya; sehingga ditulis a / [ a+b) x (waktu)].
Rate disebut juga laju. Rate adalah perbandingan antara jumlah suatu kejadian terhadap
jumlah penduduk yang mempunyai risiko terhadap kejadian tersebut menyangkut
interval waktu.
Rate digunakan untuk menyatakan dinamika atau kecepatan kejadian tertentu dalam
suatu masyarakat tertentu pula.
Contoh:
21
Pada tahun 2004, ada 100 kasus demam berdarah di suatu kota yang berpenduduk
1.250.000 orang. Berapa rate kasus demam berdarah di kota itu ?
Rate =
kasus =
100 kasus
=
1 kasus
Populasi 1.250.000 orang 12500 orang
c) Ratio
Ratio merupakan perbandingan antara dua kejadian dimana antara numerator dan
denominator tak ada sangkut pautnya
Contoh:
1) Sex ratio penduduk pria terhadap wanita, misalnya:
Jumlah Penduduk Laki-laki = 120.000 orang
Jumlah Penduduk wanita = 125.000 orang
Berarti rasionya adalah: 120.000 / 125.000 = 0,96 (artinya rasio penduduk laki – laki
dengan penduduk perempuan hampir seimbang (mendekati angka 1).
2) Ratio tenaga kesehatan epidemiolog terhadap jumlah penduduk
1) Insidens
Insidens merefleksikan jumlah kasus baru (insiden) yang berkembang dalam suatu periode
waktu di antara populasi yang berisiko. Yang dimaksud kasus baru adalah perubahan status
dari sehat menjadi sakit (kejadian / kasus penyakit yang baru saja memasuki fase klinik
dalam riwayat alamiah penyakit). Sedangkan periode waktu adalah jumlah waktu yang
diamati selama sehat hingga menjadi sakit. Ukuran frekuensi insidensi penyakit dapat
dibedakan menjadi dua macam: (1) Insidens Kumulatif; dan (2) Laju Insidensi (Insidance
Density).
a) Insidens Kumulatif
Nama lainnya adalah risk, proporsi insidens. Insidens kumulatif (cumulative incidence = CI)
adalah parameter yang menunjukkan taksiran probabilitas (risiko , risk) seseorang untuk
terkena penyakit (atau untuk hidup) dalam suatu jangka waktu. Memerlukan bahwa
22
semua non-kasus diamati selama seluruh periode pengamatan.
Insidens kumulatif merupakan proporsi orang yang terkena penyakit diantara semua
orang yang berisiko terkena penyakit tersebut. Karena probabilitas, maka insidens
kumulatif selalu bernilai antara 0 dan 1.
Rumus Insidens Kumulatif:
Jumlah kasus insidens selama periode waktu tertentu
Insidens kumulatif =
Jumlah orang berisiko pada permulaan waktu
Contoh perhitungan attack rate pada suatu kejadian keracunan pangan, yaitu:
Tabel 1.
Attack Rate Pada Kejadian Keracunan Pangan di Desa XX Puskesmas X Kab Y Pada Tanggal 21
April 2017
Makanan Makan Attack Rate Tidak Makan Attack Rate
Sakit Tidak Makan Sakit Tidak Tidak Makan
sakit Sakit
Ayam opor 30 70 30/100 5 35 5/40
Krecek 16 84 16/100 4 21 4/25
Catatan:
Sumber:
Kegunaan insidens kumulatif adalah: (1) sebagai ukuran alternatif incidence density / laju
insidens dalam mempelajari etiologi penyakit; (2) Mengetahui risiko populasi untuk
mengalami prognosis penyakit; (3) Mengetahui kelompok –kelompok dalam populasi
yang memerlukan intervensi kesehatan.
2) Prevalens
Prevalens merefleksikan jumlah kasus yang ada (kasus lama maupun kasus baru) dalam
populasi dalam suatu waktu atau periode waktu tertentu .
Prevalens juga merupakan probabilitas bahwa seorang individu menjadi kasus (atau menjadi
sakit) dalam waktu atau periode waktu tertentu.
Prevalensi adalah proporsi individu – individu yang berpenyakit dari suatu populasi, pada
satu titik waktu atau periode waktu. Ada dua jenis prevalensi: (1) prevalensi titik, dan (2)
prevalensi periode
a) Prevalensi Titik
adalah proporsi dari individu – individu dalam populasi yang terjangkit penyakit pada
suatu titik waktu.
23
Rumus prevalensi titik:
b) Prevalens Periode
merupakan perpaduan prevalensi titik dan insidensi. Prevalensi periode adalah
probabilitas individu dari populasi untuk terkena penyakit pada saat dimulainya
pengamatan, atau selama jangka waktu pengamatan.
Tabel 2.
Perbandingan Insidens dan Prevalens
INSIDENS PREVALENS
• Hanya menghitung • Menghitung kasus yang
kasus baru ada (kasus lama dan
• Tingkat tidak baru)
bergantung durasi rata- • Bergantung pada rata-
rata penyakit rata (durasi) sakit
• Dapat diukur sebagai • Selalu diukur sebagai
rate atau proporsi proporsi
• Merefleksikan • Merefleksikan
kemungkinan menjadi kemungkinan terjadi
penyakit sepanjang penyakit pada satu
waktu waktu tertentu
• Lebih disukai bila • Lebih disukai bila studi
melakukan studi etiologi utilisasi pelayanan
penyakit kesehatan.
Tabel 3.
Ringkasan Karakteristik Insidens dan Prevalens
24
Insidens Prevalens
3) Mortalitas
Merefleksikan jumlah kematian dalam suatu populasi
a) Angka Kematian Kasar (Crude Death Rate = CDR)
Rumus CDR:
Jumlah kematian per tahun
Jumlah Populasi rata – rata pada tahun itu X 100
Gambar 9.
Ringkasan Ukuran dalam Epidemiologi
25
Gambar 10.
Ringkasan Ukuran dalam Epidemiologi
Tipe Kuantitas Matematis
Gambar 11.
Ringkasan Ukuran dalam Epidemiologi
Ukuran Frekuensi Penyakit
LATIHAN MATERI 2
26
Latihan perhitungan ukuran
epidemiologi, tipe kuantitas matematis
dan ukuran frekuensi penyakit
INSTRUKSI:
1. Peserta secara berkelompok (5 kelompok) melakukan perhitungan ukuran epidemiologi, tipe
kuantitas matematis dan ukuran frekuensi penyakit pada data yang diberikan diatas, yaitu:
1) Hitung proporsi penduduk laki – laki di Kecamatan A & B
2) Hitung proporsi penduduk perempuan di Kecamatan A & B
3) Rasio jumlah penduduk laki - laki terhadap perempuan di Kecamatan A & B
4) Angka kematian kasar di Kecamatan A & B
5) Tingkat kematian bayi (< 1 th) di Kecamatan A & B
6) Tingkat kematian neonatal di Kecamatan A & B
7) CFR TB paru di Kecamatan A & B
8) Tingkat kematian ibu maternal di Kecamatan A & B
9) Proporsi penderita stroke laki – laki di Kecamatan A & B
10) Rasio penderita stroke laki - laki terhadap perempuan di Kecamatan A & B
11) CFR penderita stroke di Kecamatan A & B
12) Insiden komulatif penderita stroke di Kecamatan A & B
2. Peserta menuliskan jawaban pada format table dan mempresntasikan hasilnya dalam 1 slide
power point
27
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan RI. (2003). Panduan Praktis Surveilans Epidemiologi Penyakit (PEP). Edisi
I. Jakarta.
Gestman, B. Burt. (2003). Epidemiology Kept Simple: An Introduction to Traditional and Modern
Epidemiology (2nd Ed). New Jersey: Wiley-Liss.
Imari, Sholah. (2011). Surveilans Epidemiologi; Prinsip, Aplikasi, Manajemen Penyelenggaraan dan
Evaluasi Sistem Surveilans. FETP-Kementerian Kesehatan RI – WHO. Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. (2014). Peraturan Menteri Kesehatan nomor: 45 tahun 2014
tentang Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan. Jakarta.
Murti, Bhisma. (1997). Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Cetakan Pertama. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Romaguera, R.A., German, R.R., Klauke, D.N., 2000. Evaluating Public Health Surveilans; Principles
and Practice of Public Health Surveillance. Second Edition. Oxford University Press.
Swarjana, I Ketut. (2016): Statistik Kesehatan. Edisi 1. Yogyakarta
U.S. Departement of Health and Human Services; CDC: Principles of Epidemiology in Public Health
Practice ; an Introduction to Applied Epidemiology and Biostatistics. Third Edition. Atlanta.
28
DAFTAR ISI
B. Pengolahan Data................................................................................................................... 14
1. Tujuan Pengolahan data ....................................................................................................... 14
2. Langkah – Langkah Pengolahan Data...................................................................................15
3. Penyajian Data .............................................................................................................................19
LATIHAN MATERI 2
LAMPIRAN - LAMPIRAN
1
MODUL INTI 2
MANAJEMEN DATA SURVEILANS EPIDEMIOLOGI
I. DESKRIPSI SINGKAT
Bila petugas Puskesmas tidak menguasai modul manajemen data surveilans ini, maka
kemungkinan akan berdampak rendahnya mutu kualitas data dan informasi yang
dihasilkannya di Puskesmas.
Modul ini akan membantu Anda petugas Puskesmas melakukan manajemen data di
Puskesmas tempat Anda bertugas. Modul ini diharapkan dapat melatih Anda
menghasilkan informasi data surveilans yang berkualitas pada setiap tahapan proses
menajemen data di Puskesmas.
2
II. TUJUAN PEMBELAJARAN
A. Tujuan Pembelajaran Umum
Setelah mengikuti pembelajaran, peserta mampu melakukan manajemen data surveilans
epidemiologi
B. Pengolahan data
1. Tujuan Pengolahan Data
a. Kompilasi / Perekaman Data
3
b. Verifikasi Data
c. Transformasi / Manipulasi Data
2. Langkah – Langkah Pengolahan Data
a. Melakukan Edit (Editing)
b. Pemberian Kode (Koding)
c. Melakukan Tabulasi (Tabulating)
3. Penyajian data
a. Penyajian Data Menggunakan Teks
b. Penyajian Data Menggunakan Tabel
c. Penyajian Data Menggunakan Grafik atau Gambar
C. Analisis data
1. Analisis Deskriptif
2. Analisis Analitik
3. Interpretasi Data
4
IV.URAIAN MATERI
POKOK BAHASAN 1
A. PENGUMPULAN DATA
1. Kualitas Pengumpulan data
Tahapan pengumpulan data merupakan tahapan yang paling menentukan
terhadap arah manajemen data selanjutnya, sehingga dalam proses
pengumpulannya diharapkan dapat menghasilkan data yang berkualitas, yaitu
data yang relevan (sesuai dengan tujuan pengumpulan data), valid (terbebas dari
kesalahan ekternal dan internal), reliabel (konsistensi hasil suatu alat menurut
waktu dan orang), lengkap dan tepat waktu.
Validitas adalah kemampuan sebuah tes untuk mengukur apa yang seharusnya
diukur. Sebagai contoh, bila penelitian tentang berat badan, maka alat ukur yang
valid adalah alat ukur yang mampu mengukur berat badan tersebut, yaitu
timbangan berat badan. Bruce (2008) menyebutkan bahwa validitas merupakan
kapasitas sebuah tes, intrumen atau pertanyaan untuk memberikan hasil yang
benar.
Reliabilitas berarti sejauh mana alat ukur mampu menghasilkan nilai yang sama
atau konsisten walaupun dilakukan pengukuran berulang atau beberapa kali
pengukuran pada subyek dan aspek yang sama, selama aspek dalam subyek
tersebut memang belum berubah.
a. Kelengkapan Data
Tingkat kelengkapan data yang sudah terkumpul harus jelas, karena menyangkut
bobot terhadap informasi yang dihasilkan. Semakin lengkap data terkumpul akan
semakin representatif untuk memberi gambaran sebenarnya, namun hal ini sangat
tidak mungkin. Beberapa ahli berpendapat bahwa angka 80% secara umum sudah
dapat mewakili, kecuali untuk data yang sifatnya khusus dengan kelengkapan
harus 100%. Kelengkapan data yang dimaksudkan disini mencakup isi laporan
(item pelaporan), semua jenis kegiatan, unit pelapor wilayah kerja.
Dengan adanya informasi tingkat kelengkapan data yang dikumpulkan, kita dapat
memperkirakan sejauh mana data yang diperoleh dapat mewakili atau memberi
gambaran keadaan yang sebenarnya.
b. Ketepatan Waktu
Semakin cepat data diperoleh maka akan semakin cepat pula kita dapat
mengetahui atau mendeteksi permasalahan yang dihadapi. Biasanya untuk
permasalahan yang sifatnya urgen dan memerlukan tindakan segera maka
ketepatan waktu penerimaan data sifatnya mutlak; karena bila terlambat
permaslahannya dikhawatirkan akan meluas dan mengancam banyak orang.
Misalnya pada peristiwa Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit tertentu yang
5
berpotensi menyebar secara luas dan cepat, maka semakin cepat data yang tersaji
maka akan semakin cepat upaya untuk mengendalikan penyebaran ataupun
pemutusan rantai penularannya.
2. Sumber Data
Secara umum data kesehatan yang dikumpulkan dapat dikelompokan ke dalam
tiga sumber utama, yaitu bersumber pada masyarakat (Community base),
bersumber pada fasilitas kesehatan (facility base) dan dari sektor – sektor diluar
kesehatan (kependudukan, BMKG, peternakan, dll). Untuk yang berbasis pada
masyarakat biasanya diperoleh melalui berbagai kegiatan riset yang dilakukan
sesuai dengan kebutuhan, ataupun berita rumor kejadian di masyarakat (dugaan
kejadian luar biasa penyakit / keracunan). Sedangkan data kesehatan yang berasal
dari fasilitas kesehatan diperoleh melalui berbagai kegiatan program yang
dikerjakan secara rutin (misalnya: hasil diagnosis, pemberian pelayanan, dll).
3. Jenis Data
a. Data Primer
Data primer adalah data yang didapatkan secara langsung melalui sumber
utamnya. Misalnya: kalau seorang peneliti ingin mengetahui berat badan
responden, maka peneliti tersebut langsung melakukan pengukuran berat badan
responden tersebut.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang didapatkan melalui pihak tertentu atau pihak lain,
dimana data tersebut umumnya telah diolah oleh pihak tersebut. Misalnya:
peneliti ingin mengetahui kadar Hb ibu hamil di Desa A, maka peneliti tersebut
dapat mendatangi puskesmas yang mewilayahi desa tersebut untuk mendapatkan
data Hb ibu hamil yang ada di desa tersebut. Umumnya, puskesmas telah memiliki
data tersebut karena setiap ibu hamil diperiksa Hb – nya dan tercatat di
puskesmas.
b. Pasif
Yaitu dengan menerima data dan informasi dari sumber data.
6
Pengukuran dengan metode fisiologis atau biologis sebetulnya sangat umum
dilakukan, terutama pada tatanan nyata pelayanan kesehatan, baik di klinik,
rumah sakit maupun puskesmas. Metode ini sering digunakan oleh perawat, bidan
maupun dokter saat melakukan pemeriksaan kesehatan pasiennya. Beberapa
contoh pengukurannya (data) seperti pengukuran tekan darah, nadi, suhu tubuh,
berat badan, dll.
b. Observasional
Salah satu metode pengumpulan data yang umum digunakan yaitu metode
observasi. Misalnya: petugas melakukan observasi pada pola perilaku / kebiasaan
masyarakat di daerah endemis DBD, pola perilaku higeine sanitasi pengolahan
penjaja makanan jajanan, observasi pemberian pengobatan kasus tertentu,
obervasi teknik pengambilan spesimen, dll.
Observasi dapat dilakukan secara terstruktur maupun secara tidak terstruktur.
c. Wawancara
Wawancara merupakan metode pengumpulan data dalam bentuk personal yang
dilaksanakan oleh pewawancara yang telah terlatih (Swarjana, 2013). Interview
atau wawancara ini dapat dilaksanakan di banyak tempat, misalnya: di ruang
periksa atau rawat inap pasien, di lokasi KLB penyakit/keracunan, di rumah
kontak kasus difteri, di sekolah, tempat kerja kasus dan kontak, atau tempat
lainnya yang kondusif untuk dilaksanakannya interview.
Pengumpulan data melalui interview umumnya dapat dibagi mejadi tiga, yaitu:
personal interview, telephone interview, dan group interview.
Metode interview juga dapat dibedakan berdasarkan jenis pertanyaanya, yaitu:
structured interview dan unstructured interview
d. Kuesioner
Kuesioner adalah sederet pertanyaan – pertanyaan yang telah disiapkan oleh
peneliti yang akan digunakan sebagai alat untuk mengumpulkan data penelitian
(Swajarna, 2016). Pertanyaan pada kuesioner yang digunakan sangat beragam
diantaranya: Pertanyaan yang bersifat tertutup, pertanyaan terbuka dan
pertanyaan setengah terbuka.
Macam – macam kuesioner:
1) Kuesiner tertutup
Setiap pertanyaan telah disertai sejumlah pilihan jawaban, responden hanya
memilih jawaban yang paling sesuai
2) Kuesioner terbuka
7
Dimana tidak terdapat pilihan jawaban sehingga responden harus
memformulasikan jawabannya sendiri
8
2) Data Numerikal;
Data numerikal merupakan data yang bersifat numerik atau berupa angka.
Misalnya angka atau data berat badan, tinggi badan, sistole – diastole, kadar
Hb, kadar gula darah sewaktu, kadar kolesterol, kadar hematrokrit, kadar
leukosit, IMT, suhu badan, angka kebisingan, dll.
Data numerikal ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a) Data Deskrit
Data deskrit merupakan data mumerik yang hanya memiliki angka atau
bilangan bulat mulai dari satu dan seterusnya
Contoh:
Puskesmas A saat ini memiliki tenaga kesehatan yang terdiri dari: 2 orang
epidemiolog kesehatan, 2 orang dokter, dan 10 perawat. Tidak mungkin
mengatakan: 2,5 orang epidemiolog kesehatan, 2,7 dokter dan 10,
perawat.
b) Data Kontinu
Data kontinu merupakan data numerik hasil pengukuran yang selalu ada
diantara dua angka.
Contoh:
Hasil pengukuran berat badan balita pada kejadian KLB Campak di Desa A,
yaitu:
Balita 1 : 15 kg
Balita 2 : 17 kg
Balita 3 : 15,52 kg
Balita 4 : 17,54 Kg
Balita 5 : 18 kg
dst
b. Skala Data
Salah satu data yang paling umum digunakan dalam penelitian / pengolahan dan
analisa data adalah data yang dibedakan berdasarkan skalanya. Dalam statistik
dikenal adanya data yang bersifat kategorikal, (nominal dan ordinal), serta data
numerik (interval dan rasio) atau dikenal juga dengan data kontimu dan diskrit.
1) Data Nominal
Berikut adalah beberapa ciri dari data yang berskala nominal:
• Merupakan kualitatif atau bukan berupa angka
• Data tidak dapat kuantifisir (tidak bisa dikali, dibagi, ditambah, dikurangi)
• Bersifat kategorikal bukan numerikal
• Berkaitan dengan “name”
• Data merupakan unordered atau tidak berjenjang
• Data nominal merupakan data yang berada pada level yang sama.
• Digunakan terutama untuk statistik non parametrik
9
Contoh data skala nominal:
Jenis kelamin : (laki – laki – perempuan)
Agama : (Islam, Kristen, Budha, Hindu, dll)
Golongan darah : (A, B, AB, O)
2) Data Ordinal
Beberapa ciri dari data ordinal, yaitu:
• Merupakan data kualitatif
• Data tidak dapat kuantifisir (tidak bisa dikali, dibagi, ditambah, dikurangi)
• Merujuk pada ordered atau “rank” atau berjenjang
• Data yang satu dengan yang lainnya tidak se-level, yang satu lebih tinggi
atau lebih rendah dari yang lain.
• Jenjang dapat diurutkan dari yang paling rendah ke yang paling tiniggi atau
sebaliknya atau dikenal juga dengan “ranked data”.
Contoh:
Tingkat pendidikan: rendah, sedang, tinggi
Tingkat pendapatan : rendah, sedang, tinggi
Tingkat pengetahuan ibu tentang manfaat vaksinasi dasar : rendah, sedang,
tinggi.
3) Data Interval
Beberapa ciri dari data interval, yaitu:
• Merupakan data kuantitatif
• Data dapat dikuantifisir (dikali, dibagi, ditambah, dikurangi)
• Data bersifat numerik
• Tidak memiliki nol absolut, artinya dimungkinkan untuk memiliki nilai nol
atau bahkan di bawah nol atau minus
Contoh data skala interval:
Suhu.
4) Data Rasio
Beberapa ciri dari data rasio, yaitu:
• Merupakan data kuantitatif
• Data dapat dikuantifisir (dikali, dibagi, ditambah, dikurangi)
• Data bersifat numerik
• Memiliki nol absolut, artinya tidak memiliki nilai nol atau nilai di bawah nol.
Contoh:
Berat badan, tinggi badan, kadar Hb, dlll
10
Skala pengukuran ini dikenal sebagai level tertinggi (the hingest level) dan
independent scale. Misalnya data tentang berat badan (kg), tinggi badan (cm),
jumlah eritrosit, leuikosit, dan lain – lain. Dengan demikian apabila memungkinkan
sebaiknya carilah data scale atau kontinu dibandingan dengan data ordinal atau
nominal
b. Ordinal
Data ordinal ini dikenal sebagai the next level atau second level. Data ini
merupakan data rangking dan tidak termasuk independent measurement, sehingga
data ini dikatakan lebih rendah dibandingkan dengan data scale atau kontinu.
Contohnya adalah tingkat kecemasan, tingkat nyeri, dll.
c. Nominal
Data nominal dikenal sebagai the lowest atau level yang pengukuran datanya
paling rendah. Data ini juga dikenal sebagai data kualitatif. Contohnya data jenis
kelamin (laki – perempuan), golongan darah (A, B, AB, O), an lain – lain.
11
LATIHAN MATERI 1
Menelaah instrumen pengumpulan dan
pelaporan data yang sudah ada dari
pelaporan:
1. Kasus campak
2. Keracunan Pangan
3. Kasus Difteri
4. Kasus DBD
5. Keluarga Sejahtera
INSTRUKSI:
1. Kerjakan secara berkelompok (5 kelompok)
2. Dari format instrumen data tersebut, identifikasi (uraikan) kualitas data yang
diperlukan, sumber data, sifat data, cara pengumpulan data, metode pengumpulan data,
waktu pelaporan, skala data.
3. Tuliskan hasil diskusi ke dalam format power point dan masing – masing kelompok
mempresentasikannya
12
POKOK BAHASAN 2
B. PENGOLAHAN DATA
Data dikumpulkan melalui proses pengumpulan data. Data yang terkumpul
tersebut tidak bisa secara otomatis dianalisis. Untuk dapat menganalisis data,
diperlukan pengolahan data secara cermat melalui proses atau tahapan. Tahapan
ini dimaksudkan untuk menyiapkan data agar data dapat ditangani dengan mudah
saat analisis, serta terbebas dari berbagai kesalahan yang dilakukan pada saat
pengumpulan dan perekaman data. Pengolahan data merupakan landasan atau
dasar dari tahapan kegiatan analisis berikutnya, sehingga dalam proses
pengolahan data ini diperlukan ketekunan sekaligus kejujuran dalam men-sikapi
hasil yang diperoleh.
Bila hasil pengolahan data menunjukkan adanya inkonsistensi, kita perlu
melakukan pelacakan untuk mencari kejelasan atas terjadinya inkonsistensi
tersebut, sekaligus berupaya mencari terapi untuk menjaga konsistensinya,
misalnya melihat data dasarnya, melakukan klarifikasi pada sumbernya, dsb.
Secara garis besar pengolahan data dapat dilakukan secara manual atau
komputerisasi dengan menggunakan software tertentu bergantung pada tujuan
pengolahannya.
1. Tujuan Pengolahan Data
a. Kompilasi / Perekaman Data
Proses kompilasi/perekaman data sebagian tahap awal pemrosesan data baik
secara manual maupun komputer. Langkah awal dari tahapan ini adalah
melakukan perhitungan data sesuai dengan karakteristik yang diinginkan.
b. Verifikasi Data
Langkah ini dimaksudkan untuk menjamin agar data yang telah dikompilasikan
telah terbebas dari kesalahan dan semaksimal mungkin validitasnya bisa dijamin.
Kegiatan ini dimulai dengan pembersihan data yang sebaiknya dilakukan sejak
penjumlahan data dari buku register, bila pada tahapan ini dijumpai adanya
kejanggalan nilai yang dihasilkan maka perlu segera dilakukan koreksi untuk
kegiatan perekaman data,
Verifikasi data dilakukan setelah proses kompilasi/perekaman selesai dikerjakan
untuk melihat tingkat “missing data” dan konsistensinya. Kegiatan ini biasanya
dilakukan dengan cara membuat distribusi frekuensi dari variabel yang hendak
dinilai menurut beberapa karakteristiknya.
Bila hasil verifikasi diatas semua data sudah konsisten, dapat dinyatakan bahwa
data siap untuk dilakukan proses selanjutnya. Namun bila ada dari verifikasi masih
dijumpai adanya inkonsistensi, maka perlu dilakukan pengecekan ulang terhadap
kelengkapan datanya, perhitungannya, data dasar (sumber datanya),
pertimbangkan ratio pemakaian sarana/ bahan
13
c. Transformasi / Manipulasi Data
Transformasi / manipulasi data adalah mengubah bentuk nilai – nilai variabel awal
menjadi bentuk baru sesuai dengan rencana analisis, sedangkan nilai variabel
aslinya masih ada.
Pengubah variabel ke dalam bentuk baru tersebut, sedapat mungkin menjaga
aspek ilmiahnya, antara lain dengan menggunakan ukuran “Gold Standart” (standar
emas) yang merupakan kesepakan para ahli atau kegiatan ilmiah sebelumnya. Jika
nilai Gold Standart tidak didapatkan, maka kita dapat menetapkan nilai standar
sendiri dengan menguraikan justifikasinya.
2) Tempat Kode
Kode dapat dibuat pada IBM coding sheet, pada kartu tabulasi ataupun pada
daftar pertanyaan itu sendiri. Jika data ingin diolah dengan computer, maka kode
harus dibuat pada coding sheet.
Coding dapat dilakukan sebelum atau sesudah pengumpulan data dilakukan.
Untuk keperluan tertentu, coding dalam jumlah yang banyak perlu dibuatkan
buku kode sebagai petunjuk peng-kode-an.
Contoh:
Coding variabel jenis kelamin:
• Laki-laki, diberikan kode : 1
• Perempuan, diberikan kode : 2
Tabulasi data tidak lain adalah memasukkan data ke dalam tabel – tabel dan
mengatur angka – angka, atau menyajikan data dalam bentuk tabel untuk
memudahkan analisis maupun pelaporan.
Penyusunan data ini menjadi sangat penting karena akan mempermudah dalam
analisis data secara statistik, baik menggunakan statistik deskriptif maupun
analisis dengan statistik inferensial.
Tabulasi dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain:
1) Metode Tally (turus), yaitu dengan membuat coretan garis tegak sebanyak 4
buah dan diikuti garis melintang yang memotong keempat garis tegak (cross
five).
2) Menggunakan kartu, yaitu dengan menggunakan kartu tanpa lubang atau
dengan kartu berlubang.
3) Menggunakan komputer
Cara ini adalah yang paling umum digunakan saat ini. Tabulasi menggunakan
komputer ini merupakan metode tabulasi dengan memasukkan data yang telah
diberi kode tertentu (untuk kategorikal) atau langsung memasukan angka yang
16
sudah ada (bila data bersifat numerik). Ada beberapa cara yang dapat
digunakan untuk melakukan tabulasi data yang lebih dikenal sebagai data entry.
Misalnya dengan menggunakan Microsoft Excel, SPSS, STATA, dll.
Tabel terdiri dari kolom dan baris (jajar). Tabel yang sederhana mempunyai 4 bagian
penting. Keempat bagian penting itu antara lain :
1) Nomor dan judul tabel
2) Stub
3) Box Head
4) Body (badan)
Nomor atau judul tabel terletak di bagian paling atas dari table. Judul harus jelas,
lengkap, sesuai dengan isi table dan tidak terlalu panjang. Isi tabel harus menyatakan
: apa, dimana dan bagaimana dari hal hal yang dinyatakan dalam tabel. Stub adalah
bagian yang paling kiri dari tabel, termasuk kepala kolom, tetapi tidak termasuk jajar
(baris) total. Dalam Stub, terdapat keterangan-keterangan yang menjelaskan secara
terperinci tentang hal-hal dan gambaran yang terdapat pada tiap kolom badan tabel
(body). Body (badan tabel) terdiri atas kolom-kolom yang berisi angka-angka
3. Penyajian Data
Setelah data dikumpulkan dan diolah, hal penting lainnya adalah bagaimana
memahami cara penyajian data yang benar. Penyajian data tidak hanya sekedar
menyajikan angka, tetapi menyajikan data akan bermanfaat untuk menarik
kesimpulan dengan cepat dan tepat, serta mempercepat mengambil keputusan
(Swarjana, 2016). Data surveilans dapat disajikan dengan berbagai cara, diantaranya
data disajikan dalam bentuk tabel, grafik, maupun dalam bentuk teks. Pemilihan
salah satu cara tersebut sangat tergantung dari tujuan penyajian tersebut.
Melalui penyajian data dapat memudahkan dalam menjelaskan, membandingkan
atau mengkontraskan variabel, menunjukan hubungan antar variabel.
Contoh:
Total kasus difteri yang diketemukan dan ditangani pada periode Januari –
Desember 2017 di Puskesmas X, Kabupaten Y yaitu sebanyak 25 kasus, tidak ada
kasus kematian pada saat kasus di rawat di rumah sakit ataupun 10 hari paska
17
kepulangan (CFR = 0 %). Upaya penanggulangan yang telah dilakukan diantaranya
yaitu: penanganan kasus di (pengobatan dan perawatan, isolasi kasus), penyelidikan
epidemiologi, pemberian profilaksis kontak kasus, pengambilan dan pemeriksaan
spesimen kasus kontak, edukasi kasus, keluarga dan masyarakat, penguatan cakupan
imunisasi DPT, Td, DT, serta melakukan kajian untuk pelaksanaan ORI difteri.
Menurut Lang(2012), terdapat minimal enam komponen yang sebaiknya ada pada
tabel, yaitu:
1) Nomor tabel
2) Judul tabel
3) Judul kolom
4) Judul baris
5) Data pada tabel
6) Garis horisontal
7) Singkatandalam tabel
8) Sumber pada tabel
Ada banyak jenis tabel, namun yang umum digunakan diantaranya tabel induk, tabel
distribusi frekuensi, dan tabel silang.
1) Tabel Induk
18
Tabel induk atau sering disebut sebagai master tabel adalah tabel yang
menyajikan seluruh data atau angka berdasarkan variabel yang dimiliki. Misalnya
data dari beberapa variabel (tempat tinggal, jenis kelamin, umur, status
perkawinan, pendidikan, jenis pekerjaan, status imunisasi, tanggal mulai sakit,
gejala, dll).
Master tabel ini umumnya dibuat untuk dapat mempresentasikan semua data
(data mentah) yang dikumpulkan dalam penelitian, survei, penyelidikan
epidemiologi atau kegiatan surveilans rutin.
Tabel 1.
Data Kasus Campak di Wilayah Puskesmas X Kabupeten Y pada Tahun 2018
N Nam Usi Jenis Ala Tang Tgl Status
o a a kela mat gal Timb Imuni
Kasu (th) min Dema ul sasi
s m Rush Camp
ak
Jumlah
Catatan kaki :................
Sumber :................
19
Contoh tabel distribusi frekuensi:
Tabel 2.
Distribusi Frekuensi Kasus Campak berdasarkan wilayah Desa di Puskesmas X Kabupeten
Y pada Tahun 2018
No Desa Frekuensi (f) Persentase
1 Desa A 26 21,3%
2 Desa B 35 28,7
3 Desa C 61 50%
Jumlah 122
Catatan kaki :................
Sumber :................
Apabila dalam penyajian suatu data memerlukan beberapa kelas dan lebar
interval kelas, tahapan dan rumusnya adalah sebagai berikut.
Contoh:
Bila diketahui data masa inkubasi dalam satuan menit penderita pada sebuah KLB
keracunan pangan di Desa X yaitu:
30 45 25 35 60 50 30 20 40 70
15 10 30 35 30 45 50 30 40 25
20
10 + 10 = 20
i. Tentukan ujung atas interval kelas kedua, yaitu: 20 + 10 – 1 = 29
j. Seterusnya hingga kelas ke enam
k. Kemudian hitung/isi data tiap kelas intevalnya
Tabel 3.
Distribusi Masa Inkubasi pada KLB Keracunan Pangan di Desa B Puskesmas X Kabupeten
Y pada Tahun 2018
Masa Presentase
Frekuensi
Inkubasi Persentase Komulatif
(f)
(menit)
10 – 19 2 10% 10%
20 – 29 3 15% 25%
30 - 39 7 35% 60%
40 – 49 4 20% 80%
50 – 59 2 10% 90%
60 - 70 2 10% 100%
Jumlah 20
Catatan kaki :................
Sumber :................
3) Tabel Silang
Tabel silang atau cross tabulation adalah sebuah metode penyajian data melalui
tabel silang, dimana data yang disajikan merupakan data dari dua atau lebih
variabel yang disajikan dalam waktu yang sama.
Tabel silang tersebut berisikan data kategorikal yang ditempatkan pada rows
(baris) dan columns (kolom) yang disilingkan.
Jumlah masing – masing baris maupun kolom sangat bergantung daribanyaknya
kategori dan variabel data surveilans. Bila ada dua variabel yang disilangkan dan
masing – masing variabel terdiri dari dua kategori, maka tabel demikian disebut
tabel silang 2x2 atau dikenal sebagai two by two table.
Bila baris nya tiga kategori sedangkan kolomnya juga tiga kategori, hal ini
dikatakan sebagai tabel silang 3x3.
Pada umumnya variabel yang ditempatkan sebagai baris adalah variabel bebas
(independant variable) dan pada kolom adalah variabel terikat (dependant variable).
Berikut adalah contoh tabel silang
21
Tabel 4.
Tabel Silang Status Imunisasi Campak Balita Terhadap Kejadian KLB Campak di Desa A
Puskesmas X Kabupeten Y pada Tahun 2018
Status Campak
Imunisasi Sakit Total
Tidak Sakit
Campak Campak
Tidak
A B A+B
Diimunisasi
Di Imunisasi C D C+D
Total A+C B+D A+B+C+D
Catatan kaki :................
Sumber :................
Pemilihan jenis diagram atau grafik sangat penting dilakukan agar grafik yang dipilih
tersebut tepat sesuai dengan data dan tujuan penyajiannya. Berikut adalah beberapa
jenis penyajian data menggunakan grafik atau diagram:
1) Bar Chart
Diagram batang atau bar chart digunakan untuk menyajikan data dengan tujuan
untuk menunjukan frekuensi kejadian dan menekankan kategori tertingi dan
terendah untuk suatu variabel (frekuensi umumnya disajikan secara vertikal
dan kategori disajikan secara horisontal). Diagram batang juga ditujukan untuk
menunjukan kecenderungan (trend) satu variabel dari waktu ke waktu
(frekuensi biasanya disajikan secara vertikal dan periode waktu disajikan secara
horisontal)
23
Contoh diagram batang:
Diagram1.
Trend Kasus Difteri di Wilayah Puskesmas X Kabupaten Y Tahun 2017 - 2018
2) Pie Chart
Diagram lingkaran (pie chart) dugunakan bila kita bermaksud menunjukkan
proporsi sebuah variable di setiap kategori. Total nilai data disajikan kembali
oleh area of the circle (pie). Apabila seluruh segmen persentasenya dijumlah akan
mendapatkan nilai 100%. Penyajian data melalui pie chart sangat mudah untuk
membandingkan satu segmen dengan segmen lainnya. Namun, sebaiknya
segmen yang ada dalam pie chart tidak lebih dari delapan segemen. Semakin
kecil proporsi dari segmen, maka warnanya dibuat semakin gelap.
Contoh diagram lingkaran / pie chart :
Diagram 2.
Proporsi Kasus Gonore Berdasarkan Jenis Kelamin
yang Berobat ke Puskesmas X Kabuapten Y
Tahun 2014
24
3) Line Diagram / Chart
Line diagram merupakan penyajian data yang menunjukkan kejadian dari waktu
ke waktu dan juga menunjukkan kecenderungan yang digambarkan dalam
sebuah garis. Pada line diagram, horizontal axis mempresentasikan waktu,
sedangkan vertical axis menunjukkan frekuensi dan data values untuk periode
waktunya menyatu pada sebuah garis.
Diagram 3.
Grafik Insiden Kasus Campak Positif di Puskesmas X Kabupten Y pada Tahun 2014 –
2018
Catatan :
Sumber : Laporan CBMS Puskesmas X tahun 2014-2018
25
Diagram 4.
Grafik Jumlah Kasus DBD Berdasarkan Wilayah Desa di Puskesmas X tahun 2018
5) Scatter Diagram
Scatter diagram atau scatter plot sangat umum digunakan oleh peneliti dalam
menyajikan hasil analisisnya. Diagram ini dapat menunjukkan hubungan dari
dua variable. Satu variable dijadikan sebagai X – axis dan satu variable lagi
digunakan sebagai Y – axis. Diagram ini digunakan pada statistik inferensial
terutama correlation dan linier regression.
Misalnya: korelasi antara berat badan ibu hamil dengan berat badan lahir bayi.
Diagram 5.
Diagram Scatter Berat Badan Ibu terhadap Berat Badan Bayi Lahir di Puskesmas X
Kabupaten Y Tahun 2018
6) Histogram
Penyajian data menggunakan histogram digunakan bila kita bermaksud
menekankan nilai tertinggi dan terendah atau distribusi nilai untuk satu
26
variable. Pada umumnya frekuensi normalnya disajikan secara vertical dan
kategori disajikan secara horizontal. Sebelum membuat histogram, perlu
disiapkan terlebih dahulu kelompok data yang skalanya bersifat kontinu
(misalnya: data pengukuran berat badan, tinggi badan, kadar Hb, dll).
Histogram adalah grafik yang sering digunakan untuk menggambarkan ditribusi
frekuensi. Pada histogram, batang-batangnya saling melekat atau berhimpitan.
Grafik dibuat dengan cara menarik garis dari satu titik tengah batang histogram
ke titik tengah batang histogram yang lain. Agar supaya diperoleh grafik yang
tertutup harus dibuat dua kelas baru dengan panjang kelas sama dengan
frekuensi nol pada kedua ujungnya di kiri dan kanan. Pada pembuatan
histogram digunakan sistem salib sumbu. Sumbu mendatar (sumbu X)
menyatakan interval kelas (batas bawah dan batas atas masing-masing kelas)
dan sumbu tegak (sumbu Y) menyatakan frekuensi.
Langkah-langkah dalam menggambarkan Histogram dan Poligon Frekuensi:
a. Buat dua sumbu, yaitu sumbu datar dan sumbu tegak. Pada sumbu datar
memuat bilangan yang merupakan batas-batas semua interval kelas(bias juga
titik tengah untuk setiap interval kelas). Sumbu tegaknya mengenai nilai
frekuensi dari data yang didapat.
b. Untuk kelas interval pertama, pada sumbu datar dibatasi oleh batas bawahnya
dan batas atasnya. Pada batas bawah dan batas atas masing-masing ditarik garis
tegak lurus keatas sampai menunjukkan bilangan yang sesuai dengan frekuensi
pada sumbu tegak. Selanjutnya hubungkan kedua ujungnya, maka akan
terbentuk sebuah batang yang berupa empat persegi panjang.
c. Hal yang sama juga dilakukan untuk kelas interval selanjutnya sampai
akhir.sehingga akan diperoleh batang-batang yang saling berhi,pit, grafik inilah
yang dinamakan histogram.
d. Apabila dari histogram ini , titik-titik tengah sisi atas persegi panjang
dihubungkan satu sama lain dan hubungan sisi atas pertama dengan setengah
jarak dari panjang kelas yang diulurkan ke kiri batas bawah kelas interval
pertama, serta hubungkan sisi atas terakhir dengan setengah jarak dari panjang
kelas yang diulurkan ke kanan batas atas kelas interval terakhir, maka akan
diperoleh polygon frekuensi.
27
Contoh diagram histogram:
Diagram 6.
Histogram Masa Inkubasi (menit) pada KLB Keracunan Pangan di Desa XX Puskesmas X
05 Oktober 2018
7) Frequency Polygon
Penyajian data menggunakan frequency polygon hamper mirip dengan histogram.
Penyajian data ini memberikan sebuah perkiraan atau estimasi kasar dari
bentuk distribusi. Jenis penyajian data ini dibentuk menggunakan histogram.
Pertama tempatkan sebuah titik di tengah setiap kelas interval dari sebuah bar
atau batang di atas histogram tersebut. Kedua, titik – titik tersebut dihubungkan
satu dengan yang lainnya menggunakan garis lurus. Sedangkan yang ketiga,
histogram menjadi terhapus dan menjadi frekuensi polygon yang memberikan
estimasi kasar dari bentuk distribusi data. Dengan demikian ketika kita ingin
membandingkan perbedaan distribusi frekuensi, lebih mudah bila menggunakan
frequency polygon dibandingkan dengan histogram.
Untuk membuat grafik poligon, sebenarnya tidak ada perbedaan penting antara
grafik histogram dengan grafik poligon. Perbedaannya terletak pada :
a. Grafik histogram “lazimnya” dibuat dengan mengunakan batas nyata,
sedangkan grafik poligon selalu menggunakan titik tengah.
b. Grafik histogram berwujud segiempat-segiempat, sedang grafik poligon
berwujud garis-garis atau kurve (garis-garis yang sudah dilicinkan).
c. Grafik poligon disebut juga grafik poligon frekuensi , dibuat dengan
menghubungkan titik koordinat secara berturut-turut.
28
Contoh diagram poligon:
Diagram 7.
Diagram Poligon Masa Inkubasi KLB Keracunan Pangan di Puskesmas X Kabupaten Y
pada 05 Oktober 2018
29
Tabel 5
Distribusi Interval Masa Inkubasi KLB Keracunan Pangan di Desa XX Puskesmas X
Kabupaten Y
pada 05 Oktober 2018
Masa Frekuensi Frekuensi
Inkubasi Frekuensi Kurang Lebih dari
(menit) (f) dari
10 – 19 2 2 18
20 – 29 3 5 15
30 - 39 7 12 8
40 – 49 4 16 4
50 – 59 2 18 2
60 - 70 2 20 0
Jumlah 20
Catatan :Total kasus: 20 orang
Sumber :Data Penyelidikan Epidemiologi Puskesmas X
Diagram 8.
Diagram Ogive Masa Inkubasi KLB Keracunan Pangan di Desa XX Puskesmas X
Kabupaten Y pada 05 Oktober 2018
30
Contoh radar chart:
Diagram 9.
Diagram Kinerja Surveilans DBD di Puskesmas X Kabupaten Y Tahun 2018
Catatan :
Sumber : Laporan Program DBD Puskesmas X
10) Box Plot
Box plot sangat umum digunakan untuk menyajikan atau menunjukkan sebaran
atau distribusi data penelitian. Beberapa yang dapat dilihat pada box plot
diantaranya nilai minimum, 1st quartile, median, 3 rd quartile, dan nilai maksimum.
Selain itu box plot juga dapat digunakan untuk melihat distribusi data yang
ekstrim (outlier).
Contoh box plot diagram:
Diagram 10.
Diagram Box Plot Masa Inkubasi pada KLB Keracunan Pangan di Desa XX
Puskesmas X Kabupaten Y pada
05 Oktober 2018
31
dengan stem (batang) dan leaf (daun). Apabila kita lihat contoh diagram stem and
leaf ada 3 bagian, yaitu f, stem, leaf. Bagian pertama adalah nilai frekuensinya (f)
yang diletakkan diletakkan paling kiri, selanjutnya diikuti dengan stem
(ditengah) dan terakhir leaf (dibagian kanan).
Tujuan utama Stem-and-leaf plot adalah untuk hal berikut ini:
• Apakah pola pengamatan simetris.
• Penyebaran atau variasi dari data pengamatan.
• Apakah terdapat pencilan (outlier, nilai-nilai yang berada jauh dari yang
lainnya).
• Titik pemusatan data.
• Ada Lokasi yang merupakan gap (kesenjangan dalam data)
Diagram 11.
Stem-and-Leaf Masa Inkubasi KLB Keracunan Pangan di Desa XX Puskesmas X
Kabupaten Y pada
05 Oktober 2018
Berdasarkan data stem and leaf tersebut dapat dibaca sebagai berikut:
• Pada stem 1, masa inkubasi 10 menit ada 1 kasus dan 15 menit ada 1 kasus,
jadi pada stem 1 total ada 2 kasus (frekuensi).
• Pada stem 2, masa inkubasi 20 menit ; terdapat 1 kasus, 25 menit; 2 kasus,
jadi pada stem 2 total ada 3 kasus (frekuensi). Dan seterusnya hingga stem 7.
• Modus terbanyak pada masa inkubasi 30 an menit.
• Data masa inkubasi 60 dan 70 menit kemungkinan merupakan masa inkubasi
outlier
33
LATIHAN MATERI 2
1. Melakukan pengolahan data dan
penyajian data berdasarkan data set yang
diberikan: (Kasus Campak, DBD, difteri)
yang dibagi dalam 5 kelompok
INSTRUKSI:
1. Buatlah menjadi 5 kelompok
2. Kelompok memilih data set yang diberikan
3. Lakukan proses pengolahan data berdasarkan data set yang diberikan sesuai
langkah – langkah pengolahan data.
4. Membuat tampilan data yang sesuai dengan sifat datanya.
5. Masing – masing kelompok mempresentasikan hasil kerja kelompoknya.
34
POKOK BAHASAN 3
C. ANALISIS DATA
Analisis data merupakan bagian yang amat penting dalam metode ilmiah, karena
dengan melakukan analisis, maka data yang sudah dikumpulkan dan diolah dapat
diinterpretasikan, sehingga berguna dalam memecahkan masalah kesehatan / surveilans.
Data surveilans kesehatan yang diperoleh kemudian dikelompok – kelompokkan,
dikategorikan, dan dimanipulasi serta diolah sedemikian rupa sehingga mempunyai makna
untuk menjawab masalah kesehatan / surveilans ataupun menguji hipotesis. Manipulasi
berarti mengubah data dari bentuk awalnya menjadi suatu bentuk yang dapat
memperlihatkan hubungan antar fenomena yang diteliti. Setelah hubungan yang terjadi
dianalisis, dibuat penafsiran terhadap hubungan antara fenomena tersebut, dan
dibandingkan dengan fenomena lain di luar penelitian.
Analisis data merupakan proses untuk pengorganisasian data dalam rangka
mendapatkan pola – pola atau bentuk – bentuk keteraturan. Sedangkan interpretasi data
adalah proses pemberian makna terhadap pola – pola atau keteraturan – keteraturan yang
ditemukan dalam sebuah penelitian.
2) Minimum
Minimum, merupakan nilai terkecil dari sekumpulan angka.
35
3) Range
Range, merupakan perbedaan antara nilai yang terbesar (maksimum) dan nilai
yang terkecil (minimum) dari frekuensi distribusi.
Langkah – langkah identifikasi range
Contoh:
Tentukan nilai range dari data masa inkubasi pada kasus KLB hepatitis A : 27,
31, 15, 30 dan 22 hari
Rumus : ẋ = Ʃx
n
3. Median
36
Median adalah nilai yang membagi data set ke dalam dua bagian yang sama,
sehingga banyaknya nilai yang lebih besar atau sama dengan median adalah
sama dengan jumlah nilai yang kurang atau sama dengan median.
4. Mode
Nilai mode adalah data set yang memunculkan nilai yang memiliki frekuensi
paling tinggi atau nilai yang paling sering muncul
Contoh:
Berdasarkan data hasil penyelidikan epidemiologi KLB keracunan pangan di
Desa X, diketahui waktu dari mulai terpapar sampai timbulnya sakit (masa
inkubasi) sebagai berikut:
Untuk mencari nilai rata – rata, median, mode dan standard deviasi dengan
menggunakan rumus pada microsoft excel
Masa
Kasus Inkubasi
(menit)
1 30
2 45
3 25
4 35
5 60
6 50
7 30
8 20
9 40
10 70
11 15
12 10
13 30
14 35
15 30
16 45
17 50
18 30
19 40
20 25
6) Ratio
Rasio adalah nilai perbandingan, misalnya X berbanding Y. Rasio merupakan
nilai X dan Y yang bersifat independen di mana X bukan bagian dari Y
Contoh:
37
Perbandingan atau rasio kasus difteri laki-laki dan perempuan di Puskesmas A.
Pasien laki – laki berjumlah 10 orang, sedangkan perempuan 5 orang. Rasionya
adalah 10 berbanding 5 atau 2:1 atau 2 kasus difteri laki-laki berbanding 1
kasus difteri perempuan.
7) Proporsi
Proporsi biasanya disebut juga sebagai persentase, dimana nilai X (nominator
atau pembilang) adalah bagian dari nilai Y (denominator atau penyebut) dengan
angka konstanta 100.
Proporsi digunakan untuk melihat kompisisi suatu variable dalam populasinya.
Perhitungan proporsi atau persentase sangat membantu dalam
membandingkan suatu situasi kesehatan tertentu, seperti perbandingan antar
wilayah, perbandingan antar unit pelayanan, perbandingan jenis kelamin,
kelompok umur, atau perbandingan yang sesuai dengan variabel epidemiologi
time, place dan person.
Contoh:
Tabel 6.
Distribusi Kasus Difteri Berdasarkan Golongan Umur Jenis Kelmin dan Desa di Puskesmas
X
Kabupaten Y Tahun 2017
Jumlah
Kategori Prosentase
(N = 25)
1. Kelompok Umur
< 1 th
1 - 4 th 6 24,0%
5 - 9 th 4 16,0%
10 - 14 th 3 12,0%
15 - 19 th 3 12,0%
20 - 44 th 6 24,0%
45 - 54 th 1 4,0%
55 - 59 th 2 8,0%
60 - 69 th 0 0
> 70 th 0 0
2. Jenis Kelamim
Laki - Laki 19 76,0%
Perempuan 6 24,0%
3. Desa
Desa A 4 16%
Desa B 6 24%
Desa C 8 32%
Desa D 4 16%
Desa E 3 12%
Catatan :
Sumber :
38
8) Rate
Untuk pembahasan rate dapat dilihat kembali pada modul 1 (ukuran dalam
epidemiologi).
39
Selain melakukan analisis deskriptif pada setiap variabel epidemiologi (orang,
tempat dan waktu), analisis deskriptif juga dapat dilakukan kombinasi antara
variabel orang dengan variabel waktu, variabel orang dengan variabel tempat,
ataupun secara bersamaan antara variabel orang, tempat dan waktu. Sehingga
dapat membantu menarik kesimpulan secara tepat dan akurat.
Contoh:
c. Analisis Deskriptif Terhadap Kecenderungan Kasus (variabel waktu).
Dengan menggunakan data tabel 7 berikut, dapat dilakukan analisis deskriptif
variabel waktu, yaitu:
Tabel 7.
Disribusi Kasus DBD di Kabupaten X Tahun 2013 - 2018
BULAN TOTAL CFR IR ABJ JML PDDK
TAHUN
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGU SEP OKT NOP DES P M % /100.000 %
2013 150 149 167 138 137 135 141 52 21 28 12 10 1140 17 1,5 54,6 81,2 2.088.660
2014 13 36 58 62 77 78 66 58 32 35 32 44 591 9 1,5 27,7 89.3 2.134.389
2015 54 31 24 9 23 22 22 13 13 12 15 11 249 2 0,8 11,5 89 2.167.023
2016 27 56 46 45 74 104 37 24 16 15 32 19 495 4 0,8 22,8 90 2.168.698
2017 50 52 93 143 111 114 65 69 28 11 5 17 758 7 0,9 34,3 90 2.207.181
2018 36 21 18 44 33 31 32 20 21 17 16 12 301 2 0,7 13,4 92 2.244.772
Catatan kaki :
Sumber : Laporan DBD Seksi Survilans Kab. K
40
Tabel 8.
Disribusi Pola Minimum dan Maksimum Kasus DBD di Kabupaten X Tahun 2013 - 2018
B U L A N TOTAL CFR IR ABJ JML PDDK
TAHUN
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGU SEP OKT NOP DES P M % /100.000 %
2013 150 149 167 138 137 135 141 52 21 28 12 10 1140 17 1,5 54,6 81,2 2.088.660
2014 13 36 58 62 77 78 66 58 32 35 32 44 591 9 1,5 27,7 89.3 2.134.389
2015 54 31 24 9 23 22 22 13 13 12 15 11 249 2 0,8 11,5 89 2.167.023
2016 27 56 46 45 74 104 37 24 16 15 32 19 495 4 0,8 22,8 90 2.168.698
2017 50 52 93 143 111 114 65 69 28 11 5 17 758 7 0,9 34,3 90 2.207.181
2018 36 21 18 44 33 31 32 20 21 17 16 12 301 2 0,7 13,4 92 2.244.772
MIN 13 21 18 9 23 22 22 13 13 11 5 11
MAX 150 149 167 143 137 135 141 69 32 35 32 44
MEAN 58,8 64,8 77,6 79,4 84,4 90,6 66,2 43,2 22 20,2 19,2 20,2
TARGET < 1 % <50/100000 95%
Catatan kaki :
Sumber : Laporan DBD Seksi Survilans Kab. X
Gambar 9
Grafik Pola Minimum dan Maksimum Kasus DBD
di Kab. X Tahun 2018
Catatan Kaki :
Sumber :
41
Kewaspadaan kasus DBD yang berpotensi KLB terjadi pada bulan Januari,
September dan Oktober, dikarenakan pola kasus mendekati dan melebihi pola
rata – rata kasusnya.
CFR dan Insidens Rate kasus DBD sudah memenuhi target masing – masing
yaitu: < 1% dan < 50 / 100.000 penduduk.
Kesimpulan: tren kasus DBD di Kabupaten K telah berhasil dikontrol sesuai
target, namun perlu peningkatan kewaspadaan pada awal tahun dan menjelang
akhir tahun dikarenakan ABJ yang masih belum mencapai target.
42
Tabel 10.
Distribusi Kasus Campak dan Rubella Konfirmasi Laboratorium Berdasarkan Wilayah
Desa dan Cakupan Imunisasi MR di Puskesmas X Kabupaten Y Tahun 2018
Jumlah Cakupa AR
Kasus n per
Populas
Desa Campak Imunisa 100
i Balita
Usia < 5 si MR balita
th
Desa A 40 95% 750 5,3
Desa B 110 75% 900 12,2
Catatan Kaki : AR=Attack Rate ; MR = Measles Rubella
Sumber : Laporan Surveilans Puskesmas X Tahun 2017
Catatan : Catatan :
Sumber : Sumber :
43
Tabel 11.
Distribusi Kasus CBMS Berdasarkan Kelompok Umur dan Konfirmasi Hasil
Laboratorium di Puskesmas X Kabupaten Y Tahun 2018
Campak Klinis Campak Positif Negatif Rubella Positif
Usia Jumlah Jumlah Jumlah Total*
Jumlah Kasus % % % %
Kasus Kasus Kasus
< 1 th 6 10 1 4,2 3 30 0 0 10
1 - 4 th 30 50 11 45,8 1 10 1 7,1 43
5 - 9 th 14 23,3 9 37,5 3 30 12 85,7 38
10 - 14 th 5 8,3 2 8,3 3 30 1 7,1 11
> 15 th 5 8,3 1 4,2 0 0 0 0 6
Total 60 55,6 24 22,2 10 9,3 14 13 108
2. Analisis Analitik
Analisis yang dilakukan untuk melihat hubungan antara variable terikat
(dependent variable) dengan variable bebas (independent variable ). Dalam melihat
hubungan antar variable tersebut metode statistic dibedakan menjadi dua
kelompok, yaitu analisis bivariat, dan analisis multivariate.
Berikut adalah contoh tampilan data analisis bivariat antara hubungan status
imunisasi campak balita terhadap kejadian KLB campak di Desa A Puskesmas X
pada tahun 2014
44
Tabel 16.
Hubungan Status Imunisasi Campak Balita Terhadap Kejadian KLB Campak di Desa
A Puskesmas X Pada Bulan Januari 2014
KLB Campak
Sakit Campak Tidak Sakit Campak
Variabel Total OR 95% CI P Value
n % n %
3. Interpretasi Data
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, interpretasi diartikan sebagai
pemberian kesan, pendapat, atau pandangan teoritis terhadap sesuatu, tafsiran.
Interpretasi data adalah proses memberi arti dan signifikansi terhadap analisis yang
dilakukan, menjelaskan pola – pola deskriptif, mencari hubungan dan keterkaitan
antar deskripsi – deskripsi data yang ada (Barnsley & Elis , 1992). Interpretasi data
tidak dapat dipisahkan dari analisis data sehingga interpretasi juga merupakan aspek
tertentu dari analisis.
Analisis data dan interpretasi data merupakan hal yang saling terkait. Analisis data
merupakan proses untuk pengorganisasian data dalam rangka mendapatkan pola –
pola atau bentuk – bentuk keteraturan. Sedangkan interpretasi data adalah proses
pemberian makna terhadap pola – pola atau keteraturan – keteraturan yang
ditemukan dalam sebuah penelitian atau data surveilans.
45
LATIHAN MATERI 3
1. Membuat analisis deskriptif dari data set
yang diberikan: (Kasus Campak, DBD,
difteri) yang dibagi dalam 5 kelompok
2. Membuat interpretasi dari hasil analisis
data set sebelumnya
INSTRUKSI:
1. Tugas dikerjakan secara berkelompok (buat menjadi 5 kelompok)
2. Buatlah analisis secara deskriptif berdasarkan data yang dibuat pada latihan 2
3. Kemudian buat interpretasi dari hasil analisis dekriptif yang telah dilakukan.
4. Masing – masing kelompok mempresentasikan hasil kerja kelompoknya.
46
POKOK BAHASAN 4
E. DISEMINASI INFORMASI
(CATATAN PELAPORAN SURVEILANS)
Dari hasil analisis data dibuat rekomendasi untuk rencana tindak lanjut, baik
berupa pengutan surveilans, penelitian atau intervensi program.
Kunci keberhasilan surveilans adalah memberikan umpan balik kepada sumber –
sumber data surveilans agar mudah memberikan kesadaran kepada sumber data
tentang pentingnya proses pengumpulan data. Bentuk umpan balik biasanya
ringkasan informasi atau korektif laporan yang dikirimkan.
Seringkali diseminasi informasi diartikan sebagai memberikan data dalam bentuk
tabel, grafik dan peta tanpa disertai komentar atau interpretasi tertentu,
segihingga cara ini kurang memberikan manfaat yang diharapkan. Diseminasi
yang baik harus dapat memberikan informasi yang mudah dimengerti dan
dimanfaatkan dalam menentukan arah kebijakan kegiatan, upayapengendalian
serta evaluasi program yang dilakukan.
Data yang telah diolah diinformasikan kepada program yang terkait dan kepada
pimpinan, penyebaran informasi dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara
lain:
1. Menyampikan tabel, grafik atau peta, baik laporan khusus, ataupun laporan
tahunan dalam sebuah buku data surveilans epidemiologi
2. Menyampikan laporan khusus hasil analisis lanjut kepada program terkait atau
penelitian
3. Menyampaikan paper hasil analisis pada suatu seminar
4. Menyampaikan paper hasil analisis pada suatu bulletin, baik media cetak,
maupun media elektronik
5. Tim teknis surveilans terlibat dalam perencanaan, pengendalian, monitoring
dan evaluasi program atau penelitian.
47
penyampaian informasi oleh penerima informasi?
48
LATIHAN MATERI 2
Membuat desiminasi data surveilans (sesuai
tahapan penyampaian informasi)
berdasarkan hasil pengolahan, analisis &
interpetasi data dengan menggunakan data
set latihan analisis data sebelumnya.
INSTRUKSI:
49
REFERENSI
U.S. Departement of Health and Human Services; CDC: Principles of Epidemiology in Public
Health Practice ; an Introduction to Applied Epidemiology and Biostatistics. Third Edition.
Atlanta.
50
DAFTAR ISI
DESKRIPSI SINGKAT …………………………………………………………………………….. 2
TUJUAN PEMBELAJARAN …………………………………………………………………... ... 4
A. Tujuan Pembelajaran Umum …………………………………………………………………………. 4
B. Tujuan Pembelajaran Khusus ………………………………………………………………………… 4
URAIAN MATERI
A. Konsep Kewaspadaan Diri …………………………………………………………… 5
1. Berbasis Indikator ……………………………………………………………………………………. 6
2. Berbasis Kejadian ……………………………………………………………………………………. 11
LATIHAN MATERI 1
B. Kajian Sistematis Berbagai PenyakitPotensi KLB …………………………….. 15
1. Deteksi Dini Kondisi Retan …………………………………………………………………….. 15
2. Pemantauan Wilayah Setempat Kondisi Rentan KLB …………………………….. 16
LATIHAN MATERI 2
C. Peringatan Kewaspadaan Dini KLB ………………………………………………. 19
LATIHAN MATERI 3
DAFTAR PUSTAKA
1
MODUL 3
MODUL INTI 3
DETEKSI DINI KEJADIAN LUAR BIASA
I. DESKRIPSI SINGKAT
Setelah anda melakukan aktivitas surveilans, apa yang harus dilakukan oleh anda sebagai
petugas surveilans di Puskesmas? Menurut anda apakah aktivitas surveilans rutin dapat
mendeteksi kemungkinan adanya KLB atau tidak?
Deteksi dini KLB dan pemantauan faktor-faktor yang memungkinkan timbulnya KLB
serta cara-cara pencegahan dan penanggulangannya sehingga dapat mengurangi
kerugian dan dampak yang lebih luas.
Melalui modul ini anda akan mempelajari apa dan bagaimana deteksi dini atau
kewaspadaan dini terhadap Kejadian Luar Biasa (KLB). Deteksi dini KLB merupakan
kewaspadaan terhadap kemungkinan terjadinya KLB dengan cara melakukan
intensifikasi pemantauan secara terus menerus dan sistematis terhadap perkembangan
penyakit berpotensi KLB dan perubahan kondisi rentan KLB agar dapat mengetahui
secara dini terjadinya KLB.
Apa manfaat bagi Anda sebagai tenaga surveilans di puskesmas jika anda tuntas berlatih dari
materi pada modul ini? Manfaatnya bagi anda yaitu:
1. Dapat menentukan kelompok populasi yang paling berisiko, baik berdasarkan
wilayah, umur, jenis kelamin, ras, pekerjaan, dan lain-lain
2. Dapat menentukan jenis dari kuman atau agent penyebab sakit dan karakteristiknya
3. Dapat menentukan reservoir kuman
4. Dapat memastikan keadaan-keadaan yang yang dapat menyebabkan terjadinya
transmisi penyakit.
5. Dapat mencatat kejadian penyakit
6. Dapat memastikan sifat dasar dari wabah, sumber dan cara penularan serta
penyebaran menurut wilayah atau kelompok-kelompok populasi dsb.
2
MODUL 3
Apa dampak bagi Anda sebagai tenaga surveilans di puskesmas jika anda TIDAK berlatih
materi modul ini?
1. Tidak dapat melakukan deteksi dini KLB
2. Tidak dapat berfikir sistematis terhadap deteksi dini KLB
3. Tidak mempunyai peta resiko KLB
4. Terlambat melakukan aksi penanggulangan KLB
Agar anda semakin menjadi petugas Puskesmas yang mantap dan Puskesmas anda lebih
bermanfaat, mari kita berlatih dengan niat yang baik.
Selamat Belajar…!
3
MODUL 3
II. TUJUAN PEMBELAJARAN
A. Tujuan Pembelajaran Umum
Setelah mengikuti pembelajaran, peserta mampu melakukan kewaspadaan dini Kejadian
Luar Biasa.
4
MODUL 3
IV. URAIAN MATERI
POKOK BAHASAN 1
A. KONSEP KEWASPADAAN DINI
Kewaspadaan Dini adalah suatu tatanan pengamatan yang mendukung sikap tanggap
terhadap suatu perubahan/penyimpangan dalam masyarakat berkaitan dengan
kecenderungan terjadinya kesakitan / kematian, pencemaran makanan/lingkungan sehingga
dapat dilakukan tindakan yang cepat dan tepat.
Dugaan terhadap suatu KLB mungkin muncul ketika aktifitas surveilans rutin mendeteksi
adanya isolat mikroba atau kluster kasus yang tidak biasa, atau terjadinya peningkatan
jumlah kasus yang signifikan dari jumlah yang biasa. Gambar dibawah menunjukan bentuk
kurva epidemi, deteksi dini KLB dapat menjelaskan kemungkinan adanya peningkatan sejak
ditemukan kasus pertama bahkan sebelum kasus pertama di temukan dengan melihat faktor
resiko atau tanda-tanda epidemiologi kasus tertentu.
Kasus Sampel
Kasus Respon
pertama di Laporan diambil Sampel
pertama dilakukan
Pkm dikirim
90 R
80
70
e
masalah
60 p
Kasus
50
40
o
Kasus
30 rt dapat di
kontrol
20
10
0
1
9
11
13
15
17
19
21
23
25
27
29
31
33
35
37
39
Gambar 1. Deteksi dini KLB dan besaran masalah jika tidak dilakukan antisipasi KLB
Gambar diatas menunjukan betapa pentingnya deteksi dini KLB. Semakin awal dapat
mendeteksi potensi KLB, makin besar potensi dampak negatif akibat KLB yang dapat
dicegah.
Waspada & amati Kejadian antara lain:
• Penyakit
• Gejala/tanda (AFP, bercak merah)
• Masalah Kesehatan (gizi buruk, perilaku)
5
MODUL 3
• Kondisi Lingkungan (vektor, udara, air)
• Prilaku
1. Berbasis Indikator
Seperti halnya dengan surveilans berbasis indikator maka kewaspadaan berbasis indikator
merupakan cara rutin pelaporan penyakit ke Dinas Kesehatan. Jadi data yang dilaporkan
rutin oleh puskesmas merupakan indikator yang diamati di puskesmas. Data yang
disampaikan merupakan data terstruktur karena ada standarisasi dalam penyampaian
laporan. Diantara sitem kewaspadaan dini yang sedang diimplementasikan adalah SKDR.
Surveilans berbasis indikator dilakukan untuk memperoleh gambaran penyakit, faktor risiko
dan masalah kesehatan dan/atau masalah yang berdampak terhadap kesehatan yang
menjadi indikator program dengan menggunakan sumber data yang terstruktur. Contoh:
penyelenggaraan surveilans AFP, CBMS, Surveilans Gizi dll.
a. Laporan Mingguan
Laporan mingguan yang digunakan adalah Sistem kewaspadaan Dini dan Respon
(SKDR) atau dalam aplikasi yang biasa digunakan adalah Early Warning Alert and
Respon System (EWARS). EWARS. EWARS merupakan laporan mingguan berbasis
web.
EWARS merupakan salah satu perangkat dalam surveilans untuk mengetahui secara
dini keberadaan sinyal peringatan/ ancaman penyakit menular potensial KLB.
Sebagian besar penyakit menular yang masuk dalam sistem kewaspadaan dini adalah
penyakit menular dengan rata-rata masa inkubasi selama 1 minggu.
1) SKDR Berbasis Website
Pada saat ini SKDR sudah berbasis website. SKDR Berbasis Website untuk
memudahkan dalam operasional pelaporan, analisis dan penyimpanan data.
Beberapa kemudahan tersebut diantaranya menggunakan :
• Komputer dengan Browser internet (direkomendasikan menggunakan Mozilla
FireFox)
• Komputer Tablet/ Smartphone :
o Android dengan Browser Mozilla Fireox for Android.
o iOS dengan Browser Safari
• Internet
6
MODUL 3
2) Analisa Data – Alert
Analisa data alert untuk mengetahui ada tidaknya potensi KLB. Sebelum dianalisis,
alert harus diverifikasi terlebih dahulu untuk mengetahui benar tidaknya laporan
tersebut. Setelah diverifikasi, kemudian dilakukan analisis alert.
7
MODUL 3
Data Verifikasi untuk mengetahui:
• Temuan Dilapangan
• Rencana Tindak Lanjut
• Status Verifikasi (Ya/Tidak)
• KLB (Ya/Tidak)
• Respon kurang dari 24 jam (Ya/Tidak)
8
MODUL 3
Tampilan setelah verifikasi
Analisis data dilakukan dengan melihat menu analisis data. Menu analisis data
menampilkan analisa berupa tabel, grafik, dan peta.
Tampilan Grafik
9
MODUL 3
Tampilan Trend Penyakit
b. Laporan Bulanan
Laporan bulanan yang rutin adalah laporan surveilns terpadu penyakit (STP). Surveilans
Terpadu Penyakit adalah pelaksanaan surveilans epidemiologi penyakit menular dan
surveilans epidemiologi penyakit tidak menular dengan metode pelaksanaan surveilans
epidemiologi rutin terpadu beberapa penyakit yang bersumber data Puskesmas, Rumah
Sakit, Laboratorium dan Dinas Kesehatan Kabupaten/kota.
Memperoleh informasi epidemiologi penyakit menular & PTM tertentu dan terdistribusinya
informasi tersebut kepada program terkait, pusat-pusat kajian dan pusat penelitian serta
unit surveilans lain.
Pembahasan pada modul ini akan terfokus pada STP bersumber data puskesmas.
Contoh laporan STP.
10
MODUL 3
2. Berbasis Kejadian
Seperti halnya dengan surveilans berbasis kejadian Kewaspadaan dini berbasis kejadian
dimaksud dilakukan untuk menangkap dan memberikan informasi secara cepat tentang
suatu penyakit, faktor risiko, dan masalah kesehatan dengan menggunakan sumber data
berdasarkan kejadian.
Misalnya: pada rumor ataupun kejadian KLB keracunan pangan atau penyakit.
11
MODUL 3
c. Peta
2.
Contoh faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit batuk dan nafas cepat
pada balita adalah kualitas rumah seperti dinding, kepadatan hunian dan jenis bahan
bakar yang dipakai.
Dengan mengetahui faktor resio lingkungan, kita dapat melakukan deteksi awal
terhadap enyakit yang berkaitan dengan lingkungan tersebut. Data faktor resiko
penyakit sangat penting untuk deteksi dini KLB.
12
MODUL 3
faktor resiko perilaku diantaranya kebiasaan merokok, pola asuh anak, Pola Hidup
Bersih dan sehat (PHBS).
Data faktor resiko perilaku sangat penting untuk deteksi dini KLB penyakit yang
diakibatkan oleh perilaku yang tidak sehat seperti diare, pneumonia, ISPA dll.
13
MODUL 3
LATIHAN MATERI 1
INSTRUKSI:
1. Baca bahan bacaan Pedoman Sitem Kewaspadaan Dini dan Respon
2. Dengan menggunakan Komputer/Tablet/Smartphone. Buka web SKDR di daerah
masing-masing (http://skdr.surveilans.org/). Coba lakukan verifikasi melalui computer
tablet/smartphone anda untuk setiap peringatan dini yang muncul buat alert penyakit
dan simpulkan apakah alert menunjukan kemungkinan adanya KLB.
3. Buat pola penyakit berdasarkan laporan bulanan / data STP.
14
MODUL 3
POKOK BAHASAN 2
B. KAJIAN SISTEMATIS BERBAGAI PENYAKIT POTENSI
KLB PENYAKIT/KERACUNAN
Deteksi dini kondisi rentan KLB merupakan kewaspadaan terhadap timbulnya kerentanan
masyarakat, kerentanan lingkungan-perilaku, dan kerentanan pelayanan kesehatan
terhadap KLB dengan menerapkan cara-cara surveilans epidemiologi atau Pemantauan
Wilayah Setempat (PWS) kondisi rentan KLB.
Identifikasi Kondisi Rentan KLB mengidentifikasi secara terus menerus perubahan kondisi
lingkungan, kualitas dan kuantitas pelayanan kesehatan, kondisi status kesehatan
masyarakat yang berpotensi menimbulkan KLB di daerah.
Identifikasi Kasus Berpotensi KLB adalah setiap kasus berpotensi KLB yang datang ke Unit
Pelayanan Kesehatan, diwawancarai kemungkinan adanya penderita lain di sekitar tempat
tinggal, lingkungan sekolah, lingkungan perusahaan atau asrama yang kemudian dapat
disimpulkan dugaan adanya KLB. Adanya dugaan KLB pada suatu lokasi tertentu diikuti
dengan penyelidikan.
Contoh: Pada daerah dengan cakupan imunisasi campak yang rendah, maka setiap anak
yang berobat dengan gejala demam dan bintik merah harus diwawancarai mendalam yang
15
MODUL 3
mengarah pada penyakit campak.
Setiap Sarana Pelayanan Kesehatan merekam data perubahan kondisi rentan KLB menurut
desa atau kelurahan atau lokasi tertentu lainnya, menyusun tabel dan grafik pemantauan
wilayah setempat kondisi rentan KLB. Setiap kondisi rentan KLB dianalisis terus menerus
dan sistematis untuk mengetahui secara dini adanya ancaman KLB.
Pemantauan Wilayah Setempat Penyakit Berpotensi KLB dilakukan dengan merekam data
epidemiologi penderita penyakit berpotensi KLB menurut desa atau kelurahan oleh setiap
Unit Pelayanan Kesehatan. Setiap Unit Pelayanan Kesehatan menyusun tabel dan grafik
pemantauan wilayah setempat KLB. Setiap Unit Pelayanan Kesehatan melakukan analisis
terus menerus dan sistematis terhadap perkembangan penyakit yang berpotensi KLB di
daerahnya untuk mengetahui secara dini adanya KLB. Adanya dugaan peningkatan penyakit
dan faktor resiko yang berpotensi KLB diikuti dengan penyelidikan.
Unit surveilans puskesmas melakukan analisis mingguan terhadap penyakit potensial wabah
di daerahnya dalam bentuk tabel menurut desa/kelurahan dan grafik kecenderungan
mingguan, kemudian menginformasikan hasil analisis kepada kepala puskesmas, sebagai
pelaksanaan pemantauan wilayah setempat (PWS) atau sisem kewaspadaan dini penyakit
potensial wabah di puskesmas. Jika ditemukan peningkatan penyakit tertentu maka kepala
puskesmas melakukan penyelidikan epidemiologi dan menginformasikan ke dinas
kesehatan kabupaten/kota.
Pengumpulan data ditingkat puskesmas melibatkan bidan atau bidan desa, masyarakat
(posyandu lansia, balita) data dikumpulkan ke bidan diwilayah kerjanya, dokter praktek,
petugas imunisasi, dan petugas program di P2PL puskesmas (penyakit kolera, tipus perut
klinis, disentri, diare, TBC paru BTA +, Tersangka TBC Paru, Kusta PB, Kusta MB, Tetanus,
Difteri, Batuk rejan, Sifilis, Gonorhoe, Frambusia, DBD, Demam Dengue, Campak, Hepatitis
Klinis, Malaria Falsiparum, Malaria Vivax, Malaria Mix, Malaria klinis, Filariasis, Diabetes
Milites, Hipertensi, Influensa, Pneumonia).
16
MODUL 3
Contoh:
17
MODUL 3
LATIHAN MATERI 2
Buat pola minimal maksimal penyakit DBD, Diare
dan Campak di tempat kerja saudara
INSTRUKSI:
1. Kumpulkan data kasus DBD, Diare dan Campak di tempat kerja saudara.
2. Buat pola minimal maksimal kasus DBD, Diare dan Campak
18
MODUL 3
POKOK BAHASAN 3
C. PERINGATAN KEWASPADAAN DINI KLB
Peringatan kewaspadaan dini KLB dan atau terjadinya peningkatan KLB pada daerah
tertentu dibuat untuk jangka pendek (periode 3-6 bulan yang akan datang) dan disampaikan
kepada semua unit terkait di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, sektor terkait dan anggota
masyarakat, sehingga mendorong peningkatan kewaspadaan dan kesiapsiagaan terhadap
KLB di Unit Pelayanan Kesehatan dan program terkait serta peningkatan kewaspadaan
masyarakat perorangan dan kelompok. Peringatan kewaspadaan dini KLB dapat juga
dilakukan terhadap penyakit berpotensi KLB dalam jangka panjang (periode 5 tahun yang
akan datang), agar terjadi kesiapsiagaan yang lebih baik serta dapat menjadi acuan
perumusan perencanaan strategis program penanggulangan KLB.
Contoh pola minimal maksimal.
Contoh
Mendeteksi KLB disentri dengan cara memonitor Jumlah kasus diare berdarah
19
MODUL 3
1. Gambaran klinis penyakit yang diamati. Gejala klinis adalah ganguan atau keluhan yang
dirasakan penderita seperti deman, rash, diare dll. Setiap penyakit mempunyai gejala klinis
yang khas. Sehingga pengamatan klinis bisa terfous pada gejala khas penyakit tertentu.
2. Etiologi penyakit yang diamati. Bisa juga disebut riwayat alamiah penyakit.
3. Masa inkubasi penyakit yang diamati periode waktu dari pemaparan sampai timbulnya
gejala penyakit.
Contoh. Hepatitis A 2-6 minggu
➢ Pada periode ini mungkin dapat dideteksi perubahan patologik melalui
⚫ Laboratorium
⚫ Radiografik
⚫ atau metode skrining yang lain
4. Sumber penularan penyakit yang diamati adalah tempat hama penyakit hidup dan
berkembang biak secara alamiah.
Contoh. Bakteri antraks yang hidup di kambing
20
MODUL 3
6. Epidemiologi penyakit yang diamati.
Faktor agen, pejamu, dan lingkungan saling berkaitan dalam berbagai cara yang kompleks
untuk dapat menyebabkan penyakit pada manusia.
Untuk deteksi dini KLB penyakit dapat digunakan matriks yang memuat beberapa
pertimbangan seperti diatas. Contoh pengisian matriks pada lampiran.
21
MODUL 3
LATIHAN MATERI 3
1. Buat matrik
2. Buat kesimpulan
3. Buat keputusan kasus mengarah KLB atau
bukan
INSTRUKSI:
1. Baca bahan bacaan
2. Isi matrik sesuai bahan bacaan
22
MODUL 3
LAMPIRAN
CONTOH MATRIKS DETEKSI DINI KLB
1. MATRIKS DETEKSI DINI KASUS ANTRAKS
No Despkripsi Kasus Kondisi Kesimpulan
Lapangan
Saat Ini
ADA TIDAK
A Gambaran kasus
1 GAMBARAN
KLINIS
Antraks Kulit rasa gatal tanpa disertai rasa sakit,
yang dalam waktu 2-3 hari
membesar menjadi vesikel berisi
cairan kemerahan, kemudian
haemoragik dan menjadi jaringan
nekrotik berbentuk ulsera yang
ditutupi kerak berwarna hitam,
kering yang disebut Eschar
(patognomonik)
Antraks Saluran rasa sakit perut hebat, mual,
Pencernaan muntah, tidak nafsu makan,
demam, konstipasi, gastroenteritis
akut yang kadang-kadang disertai
darah, hematemesis
Antraks Paru- tanda-tanda bronchitis dalam
Paru waktu 2-4 hari gejala semakin
berkembang dengan gangguan
respirasi berat, demam, sianosis,
dispneu, stridor, keringat
berlebihan, detak jantung
meningkat, nadi lemah dan cepat.
Kematian biasanya terjadi 2-3 hari
setelah gejala klinis timbul.
Antraks lesi primer yang berkembang
Meningitis menjadi meningitis hemoragik dan
kematian dapat terjadi antara 1-6
hari. Gambaran klinisnya mirip
dengan meningitis purulenta akut
yaitu demam, nyeri kepala hebat,
kejang-kejang umum, penurunan
kesadaran dan kaku kuduk
23
MODUL 3
dan suhu luar di atas 20°C,
kelembaban tinggi basil tersebut
cepat berubah menjadi spora yang
tahan hidup selama bertahun-
tahun. Bila suhu rendah maka basil
antraks akan membentuk spora
secara perlahan - lahan
3 MASA INKUBASI
24
MODUL 3
80%
B FAKTOR RESIKO
2 VECTOR
4 IMUNISASI
1 GAMBARAN KLINIS
25
MODUL 3
2 ETIOLOGI
3 MASA INKUBASI
4 SUMBER
PENULARAN
5 CARA PENULARAN
6 EPIDEMIOLOGI
7 KEWASPADAAN
DINI
B FAKTOR RESIKO
1 LINGKUNGAN
2 VECTOR
3 SOSIAL
4 IMUNISASI
REFERENSI
26
MODUL 3
Kemenkes RI, Pedoman Sistem Kewaspadaan Dini dan Respon, 2012
Page RM, Cole GE, Timmreck TC. Basic Epidemiological Methods and Biostatistics. A
Practical Guidebook. Jones and Barlett Publisher. Boston, London. 1995.
27
MODUL 3
DAFTAR ISI
B. Penyelidikan KLB.................................................................................................................. 16
LATIHAN MATERI 2
REFERENSI
1
MODUL INTI 4
PENYELIDIKAN KEJADIAN LUAR BIASA
I. DESKRIPSI SINGKAT
Penyelidikan kejadian luar biasa (KLB) adalah suatu kegiatan untuk memastikan adanya
KLB, mengetahui penyebab, mengetahui sumber penyebaran, mengetahui faktor resiko
dan menetapkan program penanggulangan KLB. Penanggulangan KLB adalah suatu
kegiatan yang bertujuan menangani penderita, mencegah perluasan KLB, mencegah
terjadinya penderita/kematian baru pada saat terjadinya KLB.
Secara khusus manfaat bagi tenaga puskesmas adalah meningkatnya kompetensi dalam
melakukan penyelidikan dan penanggulangan KLB terutama dalam merespon KLB sesuai
kewenangan dan pada situasi/kondisi yang tepat. Banyaknya KLB dan keracunan
makanan /minuman yang terjadi saat ini karena petugas puskesmas tidak mengetahui
KLB yang akan, sedang dan atau telah terjadi, serta terlambatnya membaca signal , tidak
mampu merespon adanya KLB.
Untuk mempelajari modul ini petugas Surveilans puskesmas harus memahami dahulu
tentang pengertian wabah, KLB, prinsip prinsip penyelidikan epidemiologi,
penanggulangan KLB, termasuk kriteria kerja KLB dan keracunan pangan, dan beberapa
penjelasan lainnya.
2
II. TUJUAN PEMBELAJARAN
A. Tujuan Pembelajaran Umum
B. Penyelidikan KLB
C. Penanggulangan KLB
1. Prinsip penanggulangan KLB
2. Penanggulangan KLB
3
IV. URAIAN MATERI
POKOK BAHASAN 1
A. PRINSIP PENYELIDIKAN KEJADIAN LUAR BIASA (KLB)
1. Pengertian Wabah dan KLB
Pengertian Wabah
Wabah Penyakit Menular yang selanjutnya disebut wabah adalah kejadian
berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya
meningkat secara nyata melebihi dari pada keadaan yang lazim pada waktu dan
daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka (UU no.4, 1984). Wabah
ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.
Istilah lain yang sering disebut adalah Cluster kasus, yaitu terdapatnya sejumlah
penderita penyakit yang berhubungan satu dengan yang lainnya, baik karena
keterkaitan dalam rangkaian penularan agen penyakit, atau karena adanya
keterkaitan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya penyakit.
Biasanya ada batas antara KLB dan cluster, pada cluster masih belum jelas populasi
berisikonya, sehingga attack rate belum bisa diperkirakan atau belum bisa
dinyatakan terjadi peningkatan jumlah kasus atau tidak.
Penyakit menular tertentu yang berpotensi wabah /KLB dan Public Health
Emergency International Concern (PHEIC)
4
Beberapa penyakit menular tertentu yang dapat menimbulkan wabah telah
ditetapkan dengan didasarkan pada pertimbangan epidemiologis, sosial budaya,
keamanan,ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan menyebabkan dampak
malapetaka di masyarakat (Permenkes RI No1501/MENKES/PER/X/2010).
Dan penyakit penyakit menular tertentu lainnya yang dapat menimbulkan wabah
ditetapkan oleh Menteri (ps 4,PMK RI No 1501/MENKES/PER/X/2010 )
5
PHEIC yaitu penyakit-penyakit yang dapat menimbulkan emergency secara
internasional sehingga menjadi perhatian internasional, dapat menjadi ancaman
kesehatan bagi negara lain dan kemungkinan membutuhkan koordinasi
internasional dalam penanggulangannya.
Penyakit yang termasuk dalam PHEIC ini harus dilaporkan kepada Badan
Kesehatan Dunia (WHO) sesuai dengan International Health Regulation (IHR).
International Health Regulation mengatur tindakan yang dilakukan terhadap
berbagai penyakit yang bisa menjadi masalah antar negara. Pada tahun 2005
diterbitkan IHR revisi 2005, yang meminta negara-negara merealisasikan
tindakan terhadap penyakit-penyakit yang masuk sebagai PHEIC.
Tujuan IHR 2005 adalah mencegah, melindungi terhadap dan menanggulangi
penyebaran penyakit antar negara tanpa pembatasan perjalanan dan
perdagangan yang tidak perlu. Penyakit yang dimaksud ialah penyakit menular
yang sudah ada, baru dan yang muncul kembali serta penyakit tidak menular. yang
bisa menyebabkan PHEIC / Kedaruratan Kesehatan yang meresahkan dunia
12 KLB
JML KASUS
0
05 06 07 08 09
MINGGU
6
Sumber : Modul PJJ-PAEL,MI-3 : PE-KLB
60 KLB
JML KASUS
40
20
0
05 06 07 08 09
MINGGU
4. Jumlah penderita baru dalam periode waktu satu bulan menunjukkan kenaikan
dua kali atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata per bulan dalam tahun
sebelumnya
40
KLB
30
JML KASUS
10
0
05 06 07 08 09
MINGGU
Gambar 3. Distribusi Tifus, Kec. Suku, 2011 Sumber : Modul PJJ-PAEL,MI-3 :
PE-KLB
7
KLB
30
JML KASUS
20
10
0
2007 2008 2009 2010
TAHUN
6. Angka kematian kasus suatu penyakit (Case Fatality Rate) dalam 1 (satu)
kurun waktu tertentu menunjukkan kenaikan 50% (lima puluh persen) atau
lebih dibandingkan dengan angka kematian kasus suatu penyakit periode
sebelumnya dalam kurun waktu yang sama.
1.5
KLB
KLB
JML KASUS
0.5
0
Mei Juni Juli Agst Sept
MINGGU
Gambar 5. CFR (%) DBD Kab. Nagari, 2010 Sumber : Modul PJJ-
PAEL,MI-3 : PE-KLB
8
18 KLB
12
% KASUS
DIARE
CAMPAK
0
Jul Ags Sep Okt Nop
BULAN
Gambar 6. Prosentase Kunjungan Berobat Campak
dan Diare di Puskesmas, Kab. Nagari Sumber : Modul PJJ-
PAEL,MI-3 : PE-KLB
10
Alasan utama pengendalian KLB adalah untuk mencegah KLB terjadi berlanjut
dan mencegah terjadinya kasus tambahan.
- Pertimbangan Program
Dengan melakukan penyelidikan KLB, informasi yang diperoleh dapat
memberikan kewaspadaan dini terhadap mekanisme transmisi penyakit. Hal ini
dapat memberikan pertimbangan terhadap program untuk mencegah
tersebarnya infeksi.
- Kepentingan Umum, Ekonomi, Politik dan Hukum
Penyelidikan KLB yang dilakukan segera akan memberikan keuntungan secara
ekonomi dengan menekan biaya perawatan dan fasilitas kesehatan untuk pasien
yang terkena infeksi.
12
LATIHAN POKOK BAHASAN 1
Kasus 1 :
Pada hari ini, di Poliklinik Puskesmas ditemukan 3 anak berobat yang
didiagnosis dokter sebagai penderita campak (belum ada konfirmasi
pemeriksaan Laboratorium). Satu anak diantaranya dirawat inap di Puskesmas
karena sesak nafas berat. Ketiga anak tersebut berasal dari Desa Sumbermulya
Petugas Imunisasi menginformasikan kalau Desa Kawula memiliki cakupan
imunisasi campak rendah rata-rata 40 % selama 5 tahun terakhir ini.
Kasus 2:
Dinkes Kab.Margoparung mendapatkan informasi dari Ka.Puskesmas
Sukasuka, bahwa dalam waktu 24 jam menerima kunjungan pasien diare yang
awalnya 5 kasus menjadi 30 kasus. Semua penderita berasal dari Kp.Sukasari
Desa sukamanah, mengeluhkan gejala diare, cair,mules dan muntah-muntah
setelah menghadiri hajatan di rumah pamiodongdesa di Kampung tersebut.
Sebagai petugas Surveilans yang kompeten, bagaimana sdr memberikan
gambaran kejadian tersebut , diskusikan dalam kelompok .
13
Kasus 3:
Di Barak pengungsian gempa terjadi peningkatan kejadian kesakitan. Dalam
sejak periode minggu kedua menempati barak peningkatan kasus terjadi sangat
signifikan, dari 12 orang di minggu sebelumnya menjadi 31 orang penderita,
Gejala kesakitan di duga penemonia. Petugas menduga ini adalah KLB. Apakah
Kriteria kerja yang paling tepat menjadi acuan penetapan KLB pnemonia di
barak pengungsian ini sesuai dengan Permenkes nomor 1501 tahun 2010 :
Kasus 4:
Berdasarkan wawancara semua penduduk di daerah yang diduga terjadi KLB
ditemukan peningkatan sangat tajam jumlah anak yang menderita demam
menggigil dalam 5 hari terakhir dibandingkan keadaan hari-hari sebelumnya.
Apakah Kriteria kerja KLB yang paling tepat menjadi acuan penetapan KLB
14
POKOK BAHASAN 2
B. PENYELIDIKAN KLB
Setiap informasi yang mengarah munculnya kasus penyakit berpotensi KLB harus
ditindaklanjuti dengan proses verifikasi segera dengan melakukan penyelidikan
epidemiologis.
Tim epidemiologi lapangan harus sesegera mungkin diterjunkan ke lapangan untuk
mengambil sampel penderita, melakukan verifikasi laboratorium, yang apabila
memungkinkan dengan menggunakan tes cepat (rapid test), agar verifikasi
diagnosa dapat dilakukan pada saat itu juga.
Hasil penyelidikan epidemiologi, kemudian di diseminasikan pada rapat koordinasi
sektor kesehatan, agar semua program dan sektor terkait yang berada di wilayah
kerja mempunyai informasi tentang risiko penyebaran penyakit di wilayahnya.
1. Analisis data surveilans rutin , misalnya dengan Early Warning Alert Response and
System EWARS ; dan/atau
2. Laporan petugas kesehatan (puskesmas), pamong atau masyarakat .
Berdasarkan sumber penularan dan agen penyebab penyakit, maka dapat ditentukan
skala prioritas antara melakukan investigasi dan/ atau melakukan penanggulangan
(kontrol) penyakit, sesuai dengan tabel berikut:
15
SUMBER CARA PENULARAN
INVESTIGASI WABAH /
KLB
Investigasi+
Investigasi+++
Diketahui
Control +++
Control +
AGEN
PENYEBAB
Investigasi+++ Investigasi+++
Tidak
diketahui
Sumber :
Dari matriks di atas, dalam rangka menentukan apakah lebih dahulu dilakukan
investigasi atau penanggulangan penyakit, maka dapat ditentukan:
16
Langkah langkah dalam penyelidikan epidemiologi KLB adalah sbb:
Pada waktu menerima informasi awal adanya indikasi KLB penyakit, maka hal hal
yang perlu dilakukan adalah :
1) Bersikap tenang dan tetap tanggap. Artinya terus menggali sebanyak mungkin
informasi dari pelapor/ informan .
3) Perlu mencatat nama pelapor, tempat tugas dan telepon, email dan komunikasi
lain yang bisa digunakan. Mencatat tanggal dan jam komunikasi dengan pelapor.
Sedapat mungkin peroleh tanggal mulai sakit setiap penderita yang dicurigai,
sehingga diperoleh tanggal mulai sakit kasus pertama dan terakhir dari data
yang diperoleh,
Cermati gejala yang selalau ada pada setiap kasus, gejala-gejala yang jarang, dan
jumlah kasus-kasus yang dirawat inap atau meninggal.
c. Perkirakan jenis penyakit penyebab KLB (etiologi KLB), tempat dan luas lokasi
kejadian, dan kecenderungannya.
17
1) memperkuat kepastian adanya KLB penyakit
2) membuat dugaan satu etiologi KLB penyakit, atau dengan diagnosis banding
etiologi KLB penyakit yang lain jika masih ada keraguan dengan satu diagnosis
etiologi KLB penyakit
3) memperkirakan tempat kejadian, luasnya dan waktu mulai dan masih ada
tidaknya kasus saat laporan diterima
4) memperkirakan beratnya situasi KLB penyakit dan menentukan seberapa
cepat tim penanggulangan harus segera bergerak ke lapangan,
Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian :
Memastikan apakah kejadian ini merupakan KLB atau bukan KLB.
Melihat dan atau membandingkan data dasar penyakit yang ada.
Apakah ada sebab lain ?
Apakah ada peningkatan hasil pemeriksaan (uji laboratorium) ?
Apakah ada kesalahan pemeriksaan laboratorium (laboratorium error ) ?
Apakah ada peningkatan kejadian (kesakitan dan atau kematian) di populasi ?
Melakukan verifikasi diagnosis baik klinis maupun laboratorium.
Berikut adalah uraian tentang sumber informasi yang yang terkait dengan kondisi
KLB. Sumber informasi adanya KLB tersebut dapat berasal dari :
18
(3) Surveilans sentinel
Suatu sistem yang mengandalkan laporan semua kasus penyakit tertentu dari
fasilitas kesehatan, laboratorium, atau anggota komunitas, pada lokasi
tertentu, disebut surveilans sentinel. Pelaporan sampel melalui sistem
surveilans sentinel merupakan cara yang baik untuk memonitor masalah
kesehatan dengan menggunakan sumber daya yang terbatas (DCP2, 2008;
Erme dan Quade, 2010).
Pada surveilans sentinel, pengumpulan data yang dilakukan terbatas pada
bidang-bidang tertentu. Survei ini tidak dapat digunakan dalam sebuah
populasi karena dianggap tidak mewakili sebuah kelompok populasi, akan
tetapi dapat digunakan untuk memonitor tren penyakit dan dalam
mengumpulkan informasi yang lebih terperinci (Prof. Bhisma Murti, Jenis
surveilans Epidemiologi,Oktober 2011)
19
mingguan tentang jumlah kasus, jumlah kunjungan menurut kelompok umur
dan jenis kelamin, dan jumlah total kasus yang teramati. Surveilans tersebut
berguna untuk memonitor aneka penyakit yang menyerupai influenza,
termasuk flu burung, dan antraks, sehingga dapat memberikan peringatan
dini dan dapat digunakan sebagai instrumen untuk memonitor krisis yang
tengah berlangsung (Mandl et al., 2004; Sloan et al., 2006).
(5) Lain-lain , seperti berikut:
- Media cetak (Surat Kabar),
- Media TV,
- Face Book,
- Telepon,
- Whats Apps (WA)
Pada saat menerima informasi adanya dugaan KLB, maka tim penyelidikan KLB
segera melakukan konfirmasi atau penyelidikan dugaan adanya KLB, dengan
langkah-langkah:
20
dilakukan di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota berdasarkan data Laporan
Mingguan Wabah (PWS Penyakit/W2) per Desa.
Kejadian adanya KLB penyakit dapat ditetapkan jika benar terjadi peningkatan
jumlah kasus yang bermakna secara epidemiologi.
Kondisi KLB penyakit merupakan keadaan darurat kesehatan, yaitu keadaan
gawat (ancaman jiwa) dan mendesak, yang dapat dijelaskan sebagai berikut :
22
Keadaan tersebut diatas, memang membutuhkan keahlian sebagai seorang yang
berkemampuan epidemiologis dan dukungan pemeriksaan medis untuk
memutuskan sebagai keadaan KLB penyakit atau bukan.
Secara teknis, penetapan KLB penyakit berdasarkan pada kriteria teknis KLB
penyakit menular, tetapi bagaimanapun juga, ketetapan final tergantung
keputusan yang didasarkan pada analisis epidemiologis.
Intinya KLB atau Out break adalah sebuah epidemi penyakit tertentu, dimana
jumlah kasus yang melebihi kejadian dari biasanya (apa yang
diperkirakan/diharapkan sebelumnya pada satuan waktu tertentu (lihat pokok
bahasan sebelumnya tentang kriteria kerja KLB)
23
sekunder, terutama data faktor risiko KLB penyakit, menanyai orang-orang
yang berada di daerah KLB, dan menghimpun hasil penyelidikan sebelumnya
Untuk memastikan apa penyebab yang paling mungkin dari KLB ini, misalnya
agent penyebab pathogen,apakah berupa V.Cholera (air yang terkontaminasi)
atau Salmonella (telur atau daging), perlu dikembangkan hypothesis. Untuk diuji
(test) analytic dengan metode Epi, study kasus,kohort,kasus kontrol.
24
Sumber : CDC : Outbreak investigation-astep by step aproach.
Dari uji hypothesis tersebut akan diketahui faktor penyebab dari KLB yang
terjadi. Dengan dikembangkan investigasi lingkungan akan diketahui faktor
yang berasal dari lingkungan ,apakah karena terkontaminasi telur,tempat
penyimpanan makanan yang sesuai atau kebersihan makanan.
Selain itu pelu dikembangkan juga pemeriksaan laboratorium yang
merupakan informasi microbiologi yang sangat berguna.
25
Setiap kasus yang sesuai dengan definisi operasional kasus, akan dilakukan
wawancara dan pemeriksaan. Wawancara ditujukan untuk mendapatkan data
sesuai variabel atau informasi yang diperlukan, antara lain identitas diri kasus,
tanggal mulai sakit, umur, jenis kelamin dan variabel lain yang diperlukan untuk
analisis situasi KLB.
Misal pada KLB campak. Kasus campak adalah seseorang menderita sakit antara
tanggal 1 januari 2013 sampai saat penyelidikan, dengan gejala demam, ruam dan
salah satu gejala batuk, pilek, mata merah. Cara menemukan kasus di rumah sakit
dan Puskesmas .(lihat pada Penemuan dan Perekaman Data Kasus KLB)
Penemuan dan perekaman data kasus KLB ini memanfaatkan “definisi operasional
kasus”, “cara-cara menemukan kasus” dan “cara-cara merekam dan membuat
laporan” di lapangan.
Penemuan dan perekaman data kasus KLB dapat dilakukan pada salah satu atau
semua lokasi :
26
Pada tahap gambaran kejadian KLB ini di kembangkan informasi terkait :
Siapa yang menjadi kasus (kesakitan dan atau kematian) ?
Ditetapkan definisi kasus berdasarkan pemeriksaan klinis dan atau
konfirmasi laboratorium. Di jelaskan berdasarkan katagori Waktu (Time)
,Tempat (Place) dan Orang (Person).
Apakah semua kasus sudah ditemukan ? Untuk itu secara sistematis
dikembangkan kuesioner
27
sedapat mungkin yang dapat mengambarkan proses penyakit yang
patognomonis, dan cukup spesifik. Mengunjungi terhadap satu atau dua
penderita dan dilakukan pemeriksaan laboratorium/autopsi verbal.
Untuk membuat penghitungan kasus secara teliti guna keperluan analisis di
tahapan berikutnya maka perlu memastikan diagnosis dari kasus-kasus yang
dilaporkan terhadap KLB yang dicurigai.
Apabila dicurigai terjadi suatu KLB, harus dilakukan penghitungan awal dari
kasus-kasus yang tengah berjalan (orang-orang yang infeksinya atau
keracunannya terjadi di dalam periode KLB) untuk memastikan adanya
frekuensi kasus baru yang "berlebihan". Pada saat penghitungan awal itu
mungkin tidak terdapat cukup informasi mengenai setiap kasus untuk
memastikan diagnosis. Dalam keadaan ini, yang paling baik dilakukan adalah
memastikan bahwa setiap kasus benar-benar memenuhi kriteria kasus yg telah
ditetapkan.
28
Konfirmasi hasil pemeriksaan penunjang sering memerlukan waktu yang
lama, oleh karena pada penyelidikan KLB pemastian diagnostik ini sangat
diperlukan untuk keperluan identifikasi kasus dan kelanjutan penyelidikan ini
maka pada tahap ini paling tidak dibuat distribusi frekuensi gejala klinis.
Untuk identifikasi dan menghitung jumlah kasus dapat dilakukan dengan cara
menghitung angka insidens kasus tersebut saat ini. Mengetahui angka insidens
kasus tersebut pada saat biasa (angka standar). Membandingkan angka insidens
kasus dengan angka standar apakah berbeda secara bermakna, berbeda tidak
bermakna, apakah dibawah angka standar. Dengan cara melihat trend
(kecenderungan) angka kesakitan. Data-data tersebut dapat dilakukan melalui
pengumpulan data kasus berupa:
a) Data identitas meliputi nama, alamat, nomor telpon
b) Data demografi (umur, jenis kelamin, ras, dan pekerjaan)
c) Data klinis (gejala, pengobatan dll)
d) Faktor risiko harus dibuat khusus untuk tiap penyakit
29
Variabel Waktu
Jumlah kasus berdasarkan Waktu (Time).
Jumlah kasus yang ditemukan ini akan dapat digunakan untuk
mengembangkan kejadian KLB berdasarkan waktu, yaitu dengan membuat
kurve epidemi ,menganalisa jumlah kasus pada setiap satuan waktu.
“Point Source” adalah : sumber penularan berasal dari satu titik tertentu (biasa
digunakan untuk titik sumber pencemaran air/limbah, polutan) , sering juga
dalam epidemiologi disebut sebagai “common source epidemic”
30
Sumber : Modul PE KLB ,PAEL 2011
“ Propagated Source” :
Bentuk epidemi dengan cara penularan melalui kontak dari orang ke orang.
Terlihat adanya beberapa puncak. Jarak antara puncak sistematis, kurang
lebih sebesar masa inkubasi rata-rata penyakit tersebut.
31
Jumlah kasus berdasarkan Orang (Person).
Jumlah kasus yang ditemukan ini akan dapat digunakan untuk
mengembangkan kejadian KLB berdasarkan orang, yaitu dengan menganalisa
jumlah kasus pada karakteristik individu,seperti : Umur, Jenis kelamin,
pekerjaan, Suku, Ras, untuk mengetahui risiko dari orang orang yang
terpapar atau terjangkit penyakit (KLB), seperti pada gambar berikut:
32
8. Menentukan sumber dan cara penularan
Sumber penularan adalah tempat agen penyakit berada dan dapat menular ke
orang lain.
a. penyelidikan epidemiologi,
b. surveilans,
c. tindakan terhadap kasus dalam rangka penyembuhan dan menghilangkan
sumber penularan, dan
d. upaya pencegahan melalui imunisasi, perilaku atau manipulasi lingkungan.
Apabila sumber dan cara penularan telah dipastikan, maka orang-orang yang
mempunyai risiko paparan yang meningkat harus ditentukan, dan tindakan-
33
tindakan penanggulangan serta pencegahan yang sesuai harus dilaksanakan.
Siapa yang sesungguhnya mempunyai risiko paparan meningkat tergantung
pada penyebab penyakit, sifat sumbernya, cara penularannya, dan berbagai ciri-
ciri orang- orang rentan yang meningkatkan kemungkinannya terpapar.
Jika didapatkan (atau dicurigai) air sebagai sumber infeksi, penggunaan air
dapat dihentikan sampai sumber air dan sistem penyalurannya dibersihkan dari
pencemaran atau air dapat diteruskan dengan peringatan kepada masyarakat
agar mendidihkan air sebelum diminum. Jika menyangkut kontak dengan
sumber pencemaran, dapat diambil langkah-Iangkah untuk mencegah kontak
dengan sumber sampai sumber itu dapat dihilangkan. Imunisasi, diagnosis dini,
dan pengobatan merupakan cara-cara penanggulangan lainnya yang dapat
dipakai sesuai kebutuhan situasi.
34
infeksi (alat pelindung diri seperti sarung tangan dsb), pendidikan kesehatan
(penyuluhan) kepada sasaran yang tepat
35
epidemiologi yang disampaikan setelah KLBnya berakhir, tidak membantu
penanggulangan KLB yang sedang berlangsung.
Komunikasi risiko merupakan bentuk respon yang sangat penting dilakukan pada
setiap terjadi outbreak atau KLB.
36
Secara ringkas tahapan dalam investigasi KLB dapat diuraikan mulai dari
konfimasi kejadian KLB,gambaran KLB,faktor penyebab serta pengendalian
dan penanggulangan,sbb:
37
LATIHAN POKOK BAHASAN 2
Latihan 1
Pada KLB keracunan, kegiatan manakah yang menjadi bagian penting dari
upaya penanggulangannya ?
Latihan 2
Di Puskesmas Pandanwangi terjadi peningkatan kunjungan pasien yang
datang berobat ke fasilitas pelayanan kesehatan sejak tanggal 1 Desember
2017 dengan gejala yang sama yaitu demam, dan bercak kemerahan . Tim
surveilans puskesmas lalu melakukan penyelidikan epidemiologi dan
memastikan telah terjadi KLB dengan dugaan sementara sebagai kasus
campak.
Bagaimana pendapat sdr tentang kejadian ini ? Jelaskan jawaban saudara,
Bagaimana Tim dapat memastikan kejadian ini sebagai KLB campak ?
Latihan 3
Sesudah hajatan dirumah Ketua RW Sukasari , 10 tamu dibawa ke Rumah
Sakit karena tiba-tiba mual, muntah dan lemes. Ternyata di Rumah sakit juga
sudah dirawat 22 orang yang sudah pulang dari hajatan yang sama. Hasil
analisis riwayat makan rame-rame sebelum sakit, hanya acara hajatan Ketua
RW Sukasari ini, sehingga dilakukan wawancara terhadap jenis makanan yang
dimakan pengunjung hajatan yang menjadi korban keracunan
Jika sumber keracunan hanya berasal dari satu jenis makanan saja, jenis
makanan manakah yang masih diduga kuat sebagai sumber keracunan. Menu
hajatan tersebut terdiri dari Mie goreng, Sambel goreng krecek, Gado-gado
dan Lemper.
38
lemper
INSTRUKSI:
39
POKOK BAHASAN 3
C. PENANGGULANGAN KLB.
1. Prinsip prinsip penanggulangan KLB
Respon terhadap KLB adalah upaya untuk merespon sebuah kejadian luar
biasa (penyakit) yang bertujuan untuk menganalisis besaran masalah,
mengetahui gambaran epidemiologi, cara-cara penularan, sumber penyebab
dan faktor risikonya.
Adapun respon terhadap KLB ini dapat berupa investigasi KLB atau upaya
pengendalian (control) dan penanggulangan atau kedua duanya , ini sangat
40
tergantung pada apakah agent penyebab dan sumber penularannya
belum/tidak diketahui atau sudah diketahui, seperti uraian sebelumnya.
Ada empat langkah praktis penanggulangan KLB yang harus dikuasai untuk
merespon,yaitu :
Yang dimaksud segera adalah merespon dengan cepat KLB. Respon cepat adalah
suatu tindakan atau kegiatan yang dilakukan secara cepat setelah mengetahui
adanya sinyal bahaya agar suatu keadaan tidak menjadi lebih buruk. Tindakan
yang dimaksud dapat berupa pencegahan maupun pengendalian
41
Tujuan dilaksanakan penyelidikan epidemiologi telah diuraikan pada pokok
bahasan sebelumnya dengan jelas. Paling tidak penyelidikan epidemiologi
bertujuan untuk :
a) Mengetahui gambaran epidemiologi KLB;
b) Mengetahui kelompok masyarakat yang terancam penyakit KLB;
c) Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya penyakit KLB
termasuk sumber dan cara penularan penyakitnya;
d) Menentukan cara penanggulangan KLB.
42
c) Memastikan hasil surveilans tersebut bermanfaat dalam upaya
penanggulangan KLB penyakit.
43
Sumber : Lampiran Permenkes no 1501 tahun 2010
44
Satu formulir W1 berlaku untuk satu jenis penyakit saja.
Alur laporan KLB dapat dilihat dalam bagan berikut :
45
terjadinya KLB. Sistem EWARS mencakup 23 penyakit yang berpotensi KLB
(Depkes RI, 2012)
Indikator keberhasilan pelaksanaan EWARS adalah berupa ketepatan dan
kelengkapan pelaporan oleh seluruh puskesmas. Ketepatan dan kelengkapan
pelaporan menjadi alat untuk mengukur kinerja puskesmas dalam
melaksanakan EWARS karena ketepatan dan kelengkapan laporan
Puskesmas yang dilaporkan sangat mempengaruhi deteksi penyakit. Dengan
ketepatan laporan yang tinggi akan mempercepat sinyal peringatan dini
terhadap KLB dan dengan kelengkapan yang tinggi pula maka akan
memperluas sinyal peringatan dini terhadap KLB. Target kelengkapan
pelaporan sebesar 90% dan ketepatan pelaporan sebesar 80% (Kemenkes RI,
2015).
Pelaksanakan EWARS bertujuan untuk melakukan pemantauan secara
periodik dalam satu minggu terhadap suatu penyakit menular yang memiliki
potensi untuk terjadi KLB/wabah.
Penyakit yang dipantau dalam EWARS adalah penyakit menular dengan
jumah 23 penyakit. Alur pelaporan data EWARS dimulai pada unit pelayanan
kesehatan paling bawah. Pengumpulan data dilakukan oleh unit pelayanan
kesehatan di wilayah kerja puskesmas seperti puskesmas pembantu, bidan
desa dan klinik swasta serta puskesmas tersebut. Data yang dikumpulkan
oleh unit pelayanan kesehatan di wilayah kerja puskesmas berupa jumlah
kasus setiap penyakit menular yang masuk dalam sistem EWARS. Data
tersebut kemudian akan dikirim melalui SMS ke petugas puskesmas induk.
Petugas puskesmas induk akan melakukan pengiriman data melalui SMS ke
pusat.
Data yang sudah dikirim ke pusat secara otomatis akan muncul pada website
EWARS dan apabila terjadi peningkatan kasus suatu penyakit yang melebihi
ambang batas akan muncul alert atau peringatan dini yang menandakan
potensi terjadi KLB. Informasi penting lain seperti alert yang telah direspon,
alert yang menimbulkan KLB dan alert yang direspon <24 jam ,menjadi
indikator kinerja
47
2) Melengkapi sarana kesehatan tersebut dengan tenaga dan peralatan untuk
pemeriksaan, pengobatan dan perawatan, pengambilan spesimen dan sarana
pencatatan penderita berobat serta rujukan penderita.
3) Mengatur tataruang dan mekanisme kegiatan di sarana kesehatan agar tidak
terjadi penularan penyakit, baik penularan langsung maupun penularan tidak
langsung. Penularan tidak langsung dapat terjadi karena adanya pencemaran
lingkungan oleh bibit/kuman penyakit atau penularan melalui hewan penular
penyakit.
4) Penyuluhan kepada masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan dan
berperan aktif dalam penemuan dan penatalaksanaan penderita di
masyarakat.
5) Menggalang kerjasama pimpinan daerah dan tokoh masyarakat serta lembaga
swadaya masyarakat untuk melaksanakan penyuluhan kepada masyarakat.
48
Tindakan pencegahan dan pengebalan dilakukan terhadap orang, masyarakat
dan lingkungannya yang mempunyai risiko terkena penyakit KLB agar jangan
sampai terjangkit penyakit. Orang, masyarakat, dan lingkungannya yang
mempunyai risiko terkena penyakit KLB ditentukan berdasarkan
penyelidikan epidemiologi.
50
6) Jenazah tidak boleh dibalsem atau disuntik pengawet.
7) Jenazah dibungkus dengan kain kafan dan/atau bahan kedap air.
8) Jenazah yang sudah dibungkus tidak boleh dibuka lagi.
9) Jenazah disemayamkan tidak lebih dari 4 jam di tempat pemulasaraan
jenazah.
10) Jenazah dapat dikeluarkan dari tempat pemulasaraan jenazah
untuk dimakamkan setelah mendapat ijin dari direktur rumah sakit.
11) Jenazah sebaiknya diantar/diangkut oleh mobil jenazah ketempat
pemakaman.
Di tempat pemakaman:
1) Setelah semua ketentuan penanganan jenazah di tempat pemulasaraan
jenazah dilaksanakan, keluarga dapat turut dalam pemakaman jenazah.
2) Pemakaman dapat dilakukan di tempat pemakaman umum.
51
LATIHAN POKOK BAHASAN 3
Latihan 1
Pada KLB keracunan makanan , kegiatan –kegiatan apa yang menjadi bagian
penting dari upaya penanggulangannya ? Jelaskan jawaban saudara.
Latihan 2
Latihan 3
Di Wilayah Puskesmas Bukit hijau, telah terjadi kenaikan kasus Diare, KLB
diare ini merupakan keadaan darurat, karena banyaknya korban dalam
waktu yang singkat , petugas surveilans langsung turun kelapangan tanpa
menyusun rencana penyelidikan ,karena membuat proposal penyelidikan
dengan metode penyelidikan tidak dimungkinkan dan buang-buang waktu.
Bagaimana pendapat sdr tentang rencana metode penyelidikan epidemiologi
pada kondisi seperti ini ?
Jelaskan jawaban sdr !
52
INSTRUKSI:
53
DAFTAR PUSTAKA
54
DAFTAR ISI
DESKRIPSI SINGKAT....................................................................................................................................... 2
TUJUAN PEMBELAJARAN ............................................................................................................................ 4
A. Tujuan Pembelajaran Umum ......................................................................................................... 4
B. Tujuan Pembelajaran Khusus .................................................................................................. 4
URAIAN MATERI .................................................................................................................................................
A. KONSEP DAN DEFENISI JEJARING SURVEILANS
EPIDEMIOLOGI .......................................................................................................................... 5
1. Defenisi Jejaring Surveilans Kesehatan .................................................................................... 5
2. Tujuan Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan .................................................................... 6
LATIHAN MATERI 1
REFERENSI
1
MODUL INTI 1
KOORDINASI SURVEILANS EPIDEMIOLOGI
I. DESKRIPSI SINGKAT
Pengertian Koordinasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh berbagai pihak yang
sederajat untuk saling memberikan informasi dan bersama mengatur atau menyepakati
sesuatu, sehingga di satu sisi proses pelaksanaan tugas dan keberhasilan pihak yang satu
tidak mengganggu proses pelaksanaan tugas dan keberhasilan pihak yang lainnya.
Sementara pada sisi lain yang satu langsung atau tidak langsung mendukung pihak yang
lain.
Koordinasi adalah suatu proses untuk mencapai kesatuan tindakan di antara
kegiatan yang saling bergantungan (Menurut James G March dan Herben A Simon).
Koordinasi adalah suatu sinkronisasi yang tertib dalam upaya untuk memberikan
jumlah yang tepat, waktu dan mengarahkan pelaksanaan yang mengakibatkan harmonis
dan tindakan terpadu untuk tujuan lain (Menurut Terry).
Jika dilihat dari sudut normatifnya, maka koordinasi diartikan sebagai kewenangan
untuk menggerakkan, menyelaraskan, menyerasikan dan menyeimbangkan kegiatan-
kegiatan yang spesifik atau berbeda, agar nantinya semua terarah pada pencapaian tujuan
tertentu pada waktu yang telah ditetapkan. Dari sudut fungsionalnya, koordinasi
dilakukan guna mengurangi dampak negatif spesialisasi dan mengefektifkan pembagian
kerja.
Dari pengertian koordinasi yang diungkapkan di atas, dapat disimpulkan
bahwa Pengertian Koordinasi adalah proses penyepakatan bersama yang mengikat
berbagai kegiatan atau unsur yang berbeda-beda sedemikian rupa, sehingga di sisi yang
satu semua kegiatan atau unsur tersebut terarah pada pencapaian suatu tujuan yang telah
ditetapkan dan di sisi lain keberhasilan kegiatan yang satu tidak merusak keberhasilan
kegiatan yang lain.
2
1. Untuk menciptakan dan memelihara efektivitas organisasi setinggi mungkin melalui
sinkronisasi, penyerasian, kebersamaan dan keseimbangan antara berbagai kegiatan
dependen suatu organisasi.
2. Dapat mencegah konflik dan menciptakan efisiensi setinggi-tingginya di setiap kegiatan
interdependen yang berbeda-beda melalui kesepakatan yang mengikat semua pihak
yang bersangkutan.
3. Untuk menciptakan dan memelihara iklim dan sikap saling responsif-antisipatif di
kalangan unit kerja interdependen dan independen yang berbeda-beda, agar
keberhasilan unit kerja yang satu tidak dirusak oleh keberhasilan unit kerja yang
lainnya, melalui jaringan informasi dan komunikasi efektif.
3
II. TUJUAN PEMBELAJARAN
A. Tujuan Pembelajaran Umum
Setelah mengikuti pembelajaran, peserta mampu melakukan koordinasi surveilans
epidemiologi
4
III. POKOK BAHASAN 1
A. KONSEP DAN DEFENISI JEJARING SURVEILANS
EPIDEMIOLOGI
1. DEFENISI JEJARING
Jejaring kerja surveilans adalah suatu mekanisme koordinasi kerja antar unit
penyelenggara Surveilans Kesehatan, sumber-sumber data, pusat penelitian, pusat
kajian dan penyelenggara program kesehatan, meliputi tata hubungan Surveilans
Kesehatan antar wilayah Kabupaten/Kota, Provinsi dan Pusat. Penyelenggaraan
Surveilans Kesehatan dilaksanakan melalui jejaring kerja Surveilans Kesehatan
antara unit surveilans dengan sumber data, pusat penelitian dan kajian, program
intervensi kesehatan, dan unit surveilans lainnya. Jejaring kerja Surveilans
Kesehatan bertujuan untuk menguatkan kapasitas surveilans, tersedianya data dan
informasi yang komperehensif, meningkatkan kemampuan respon cepat terhadap
kejadian penyakit dan faktor risiko dalam rangka menurunkan angka kesakitan,
kematian serta kecacatan. Jejaring kerja Surveilans Kesehatan diselenggarakan oleh
seluruh unit penyelenggara Surveilans Kesehatan baik di pusat, provinsi, dan
kabupaten/kota berupa pertukaran data dan informasi epidemiologi, serta
peningkatan kemampuan Surveilans Kesehatan yang terdiri dari :
1. Jaringan kerjasama antara unit-unit surveilans dengan penyelenggara pelayanan
kesehatan, laboratorium dan unit penunjang lainnya.
2. Jaringan kerjasama antara unit-unit Surveilans Kesehatan dengan pusat-pusat
penelitian dan kajian, program intervensi kesehatan dan unit-unit surveilans
lainnya.
3. Jaringan kerjasama unit-unit Surveilans Kesehatan antara kabupaten/kota,
provinsi dan nasional.
4. Jaringan kerjasama unit surveilans dengan berbagai sektor terkait nasional,
bilateral negara, regional, dan internasional.
Penyelenggaraan jejaring kerja Surveilans Kesehatan dilaksanakan oleh unit
penyelenggara Surveilans Kesehatan baik di unit-unit utama pusat dan UPT
pusat (UPT Kementerian Kesehatan), pusat-pusat penelitian dan
pengembangan, pusat-pusat data dan informasi, Dinas Kesehatan Provinsi dan
5
UPT Dinas Kesehatan Provinsi, serta Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan UPT
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, baik pada kondisi normal maupun sedang
terjadi KLB atau wabah.
Untuk mencapai tujuan surveilans tersebut, terutama pada tingkat puskesmas, maka
diperlukan kordinasi yang baik antara puskesmas dengan jejaring surveilans di
wilayahnya yang meliputi: koordinasi dengan jejaring internal puskesmas, dokter
praktek swasta, sarana pelayanan kesehatan mandiri / swasta, maupun koordinasi
epidemiologi antar puskesmas yang berbatasan.
6
3) Membuat daftar nomor kontak person jejaring surveilans di wilayahnya
maupun kontak person petugas vertikal (Dinas Kesehatan).
4) Melakukan identifikasi data surveilans epidemiologi apa saja yang akan
dikoordinasikan dengan jejaring surveilans tersebut.
Contoh:
Data kasus suspect campak.
Data kasus campak ini diperlukan oleh puskesmas untuk menjaring kasus
suspect campak yang ditangani oleh dokter, bidan di klinik swasta yang ada di
wilayah kerja puskesmas. Oleh karena itu puskesmas berkepentingan untuk
menginformasikan dan menjalin koordinasi dengan jejaring surveilannya
untuk dapat menjaring kasus suspect campak yang berobat ke dokter, bidan
dan klinik swasta di wilayahnya.
7
LATIHAN MATERI 1
Mengidentifikasi jejaring surveilans epidemiologi di wilayah kerjanya
dan mengidentifikasi data surveilans yang akan dikoordinasikan
dengan unit jejaring surveilansnya.
INSTRUKSI:
1) Peserta secara kelompok melakukan identifikasi jejaring surveilans di unit
kerjanya
2) Dengan menggunakan data latihan Materi Inti 2. Manajemen Data, Peserta
mengidentifikasi data surveilans yang akan dikoordinasikan dengan jejaring
surveilansnya.
8
POKOK BAHASAN 2
9
pimpinan dan pegawai Puskesmas maupun masyarakat yang menjadi sasaran
cakupan wilayah Puskesmas.
Dari beberapa masalah terkait koordinasi terdapat masalah yang besar maupun yang
terkesan sepele. Justru masalah yang terkesan sepel kadang memiliki dampak yang
cukup berat terhadap keberlangsungan sebuah kegiatan koordinasi. Maka dari itu mari
kita mulai untuk koordinasi dan komunikasi baik di internal Puskesmas maupun
eksternal.
Koordinasi dengan internal puskesmas yang terlibat dalam pelaksanaan surveilans
penyakit juga sangat diperlukan, sebelum melakukan koordinasi dengan swasta
maupun puskesmas perbatasan. Koordinasi internal ini berkaitan dengan informasi
kasus yang memerlukan penanganan lintas program kesehatan di lingkungan
puskesmas.
Contohnya pada suatu Kejadian Luar Biasa keracunan pangan:
Satuan internal puskesmas yang menanganani kondisi KLB keracunan ini tidak hanya
oleh petugas surveilans, tetapi memerlukan keterlibatan internal dan koordinasi
dengan:
1) Tim Medis dan Paramedis dalam penatalaksanaan kasus
2) Petugas Sanitarian dalam hal audit hiegene sanitasi pangan dan penilaian
faktor risiko
3) Petugas promosi kesehatan.
4) Petugas Obat
5) Dan lainnya yang diperlukan untuk penanggulangan
10
saling menguntungkan dengan disertai pembinaan dan pengembangan secara
timbal balik. Dalam hal kesehatan, koordinasi diperlukan untuk melaksanakan
program kesehatan hingga mencapai tujuan yang diharapkan. Untuk
mengembangkan koordinasi di bidang Surveilans Kesehatan secara konsep terdiri 3
tahap:
1) Koordinasi lintas program di lingkungan sektor kesehatan sendiri.
2) Koordinasi lintas sektor di lingkungan institusi pemerintah
3) Membangun kemitraan yang lebih luas, lintas program, lintas sector, lintas
bidang dan lintas organisasi yang mencakup : Unsur pemerintah, Unsur swasta
atau dunia usaha, Unsur LSM dan organisasi masa dan Unsur organisasi profesi.
Koordinasi dengan swasta seperti dengan praktek dokter swasta, praktek bidan
swasta, klinik swasta dan rumah sakit swasta sangat perlu dilakukan dalam
rangka pertukaran informasi dan sharing data terhadap masalah kesehatan yang
ada diwilayah puskesmas.
11
1) Puskesmas tidak cepat dalam respon bila terjadi kejadian luar biasa karena
tidak mendapatkan informasi
2) Puskesmaas tidak mengetahui dengan pasti lokasi dan wilayah mana saja
yang perlu intervensi segera karena kehialngan informasi data-data yang
diperlukan
3) Puskesmas tidak dapat segera bertindak untuk mengatasi masalah
kesehatan di masyarakat
4) Puskesmas akan mendapat rumor atau berita/informasi dari pihak lain
(wartawan atau pemerhati lainnya) karena informasi lebih diketahui oleh
bukan petugas kesehatan.
Berdasarkan point a sampai d diatas tentunya puskesmas tidak ingin hal tersebut
di atas terjadi sehingga betapa penting membangun jejaring surveilans sehingga
informasi masalah kesehatan yang terjadi dimasyarakat dengan cepat diketahui,
untuk itu diharapkan petugas surveilans puskesmas perlu melakukan koordinasi
dengan jejaring puskesmas di wilayah kerjanya.
Dengan adanya koordinasi antara puskesmas dan Klinik Swasta tersebut, tentunya
puskesmas dapat menggali lebih dalam lagi berkaitan data kasus campak tersebut,
diantaranya yaitu berkaitan dengan variable tempat (apakah ter cluster, di asrama,
lembaga pendidikan), variable orang (status imunisasi, kondisi kasus) dan variable
waktu (tanggal rush kasus).
Beberapa keuntungan yang di dapat dengan adanya koordinasi ini yaitu: diantaranya:
12
1) Puskesmas dapat melakukan respon penanggulangan secara cepat dan akurat
berdasarkan data hasil koordinasi tersebut.
2) Membantu mencapai target eleminasi campak melalui penemuan kasus
(discarded kasus campak).
Langkah yang lebih jauh lagi, yaitu bagaimana puskesmas mampu berkoordinasi
dengan Klinik Swasta untuk tidak hanya sekedar memberikan laporan rutin secara
lengkap dan tepat waktu, tetapi Klinik Swasta dapat dikoordinasikan dalam hal
pengambilan dan pengiriman spesimen kasus..
13
Latihan Materi 2
(Campak, DBD, Keracunan makanan)
Di wilayah kerja saudara banyak terdapat bidan praktek swasta, praktek dokter swasta dan
klinik swasta.
Coba anda membuat dalam rangka pertukaran informasi data-data yang terkait dengan
surveilans dan bagaimana caranya.
Di era serba canggih sangat mudah melakukan kolaborasi, apakah mungkin Anda
sebagai petugas Puskesmas masih beranggapan bahwa kegiatan koordinasi tidak
dianggap penting?
Nah mari bantu jawab, menurut Anda apa kira-kira dampaknya jika Puskesmas
tempat Anda bertugas tidak pernah melakukan koordinasi?
14
Setelah anda menjawab pertanyaan tersebut dengan bijaksana, mari kita
kuatkan jawaban Anda tersebut atas pertanyaan diatas tadi, kemungkinan besar
yang akan terjadi jika Puskesmas tidak melakukan koordinasi dengan Puskesmas
yang berbatasan adalah:
1. Puskesmas yang berbatasan tidak bisa melakukan respon cepat bila terjadi
ancaman akan terjadinya kejadian luar biasa
2. Puskesmas yang berbatasan tidak bisa cepat melakukan upaya pencegahan
dan penanggulangan terhadap penyebaran penyakit atau masalah kesehatan
3. Puskesmas yang berbatasan akan mengalami keterlambatan dalam tindakan
pencegahan.
15
LANGKAH-LANGKAH CROSS NOTIFIKASI
Contoh:
Laporan kasus suspect difteri yang berobat di Puskesmas A, sedangkan domisili
kasus ada di dalam wilayah puskesmas B. Untuk melakukan koordinasi dan
crossnotifikasi kasusnya dapat dilakukan via media teknologi yang mudah dan
cepat. Salah satu media yang dapat digunakan yaitu aplikasi WhatsApp atau
dengan memperhatikan juga kaidah datanya yang ditentukan oleh Komite Ahli
Difteri.
16
Laporan cross notification melalui aplikasi whaatapps dapat mempermudah dan
mempercepat pertukaran data, namun demikian juga harus diperhatikan variabel
utama yang dibutuhkan, minimal data yang dibutuhnya diataranya yaitu:
nama kasus, usia, jenis kelamin, alamat domisili, nama penyakit/diagnosis, tgl
berobat, tgl sakit.
18
LATIHAN MATERI 3
Ada 1 kasus penderita difteri usia sekolah dasar (8 tahun) berobat ke puskesmas
saudara, sedangkan tempat tinggal penderita termasuk wilayah puskesmas B
yang berbatasan langsung dengan wilayah kerja puskesmas saudara dari wilayah
kabupaten yang berbeda. Berdasarkan hasil penelurusan kontak erat kasus,
didapatkan data bahwa kontak erat kasus ada yang tinggal di wilayah puskesmas
B dan ada juga yang tinggal diwilayah puskesmas saudara yang berbatasan
langsung dalam wilayah kabupaten yang berbeda, apa yang akan anda lakukan
sebagai petugas surveilans bila menemui kasus tersebut?
(bagaimana membuat Crossnotification)
INSTRUKSI:
19
REFERENSI
1. Permenkes Nomor 1501 Tahun 2010 tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu
Yang Dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangan
2. Permenkes Nomor 45 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Surveilans
Kesehatan
3. Buku Pedoman Penyelidikan Epidemiologi dan Keracunan Makanan Edisi Revisi
Tahun 2017
4. http://www.pengertianpakar.com/2015/07/pengertian-koordinasi-dan-tujuan-
koordinasi.html
20