TUTORIAL D BLOK 25
Disusun oleh:
KELOMPOK L2
Anggota Kelompok:
Maulia Wisda Era C 04111001010
Rizki Permata Sari 04111001013
Melinda Rahmadianti 04111001014
Tiara Eka M 04111001035
Mary Gisca T 04111001036
Johannes Lie 04111001038
Nuraidah 04111001039
Fitri Maya Anggraini 04111001040
Agien Tri Wijaya 04111001041
Maghfiroh Rahayu N 04111001050
M. Hadley Aulia 04111001052
Dodi Maulana 04111001096
Muchtar Luthfi 04111001142
Sobarullah 04091001052
0
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT karena atas ridho dan karunia-Nya, laporan tutorial
Skenario D Blok 25 ini dapat terselesaikan dengan baik.
Adapun laporan ini bertujuan untuk memenuhi rasa ingin tahu akan penyelesaian dari
skenario yang diberikan, sekaligus sebagai tugas tutorial yang merupakan bagian dari sistem
pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Tim Penyusun mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan
laporan ini.
Tak ada gading yang tak retak. Tim Penyusun menyadari bahwa dalam pembuatan laporan ini
masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik pembaca akan sangat
bermanfaat bagi revisi yang senantiasa akan penyusun lakukan.
Tim Penyusun
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................................... 1
DAFTAR ISI.................................................................................................................... 2
I. SKENARIO......................................................................................................... 3
II. KLARIFIKASI ISTILAH.................................................................................... 4
III. IDENTIFIKASI MASALAH............................................................................... 4
IV. ANALISIS MASALAH...................................................................................... 5
V. SINTESIS............................................................................................................ 39
VI. KESIMPULAN.................................................................................................... 61
VII. DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 62
I. Skenario D Blok 25
2
Di Puskesmas Maju dengan penduduk 30.000 jiwa, dr. Bagus bersama timnya tidak
melakukan surveilan epidemiologi secara rutin, sehingga mereka tidak memahami riwayat
alamiah penyakit dan tahap perjalan penyakit yang berpotensi KLB. Pada bulan Januari s/d
Maret tahun 2013, terjadi peningkatan kasus DBD yang baru disadari setelah terjadi peningkatan
jumlah pasien yang dikirim ke RSU Daerah, karena perawatan darurat yang disiapkan di
puskesmas tidak bisa lagi menampung pasien yang indikasi dirawat. Puskesmas Maju
sebenarnya belum memiliki fasilitas untuk pasien rawat inap. Setelah mengalami peristiwa
tersebut dr. Bagus melakukan evaluasi dan menyadari bahwa stafnya belum memiliki
pemahaman dan keterampilan mengenai surveilans. Dr. Bagus mulai menyusun perencanaan
supaya kegiatan surveilans bisa dilakukan secara rutin, dan melatih tenaga perawat dan bidannya
memahami keterampilan penyelidikan wabah, studi epidemiologi, dan kegiatan statistika yang
terkait dengan surveilans dan penyelidikan wabah.
Tujuan Pembelajaran
3
3. Wabah : kejadian terjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang
jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi daripada keadaan yang lazim
pada waktu dan daerah tertentu, serta dapat menimbulkan malapetaka.
4. Studi epidemiologi : ilmu yang mempelajari distribusi dan determinan frekuwnsi
penyakit serta status kesehatan pada populasi manusia.
5. Kegiatan statistika : kegiatan tentang pengumpulan, pengolahan, penyajian serta
analisa data yang dilanjutkan dengan penarikan kesimpulan serta pembuatan
keputusan yang beralasan berdasarkan hasill analisa yang dilakukan.
Proses pengamatan secara teratur dan terus menerus terhadap semua aspek
penyakit tertentu, baik keadaan maupun penyebarannya dalam suatu masyarakat
tertentu untuk kepentingan pencegahan dan penanggulangan. Dalam sistem ini yang
dimaksud dengan surveilans epidemiologi adalah kegiatan analisis secara sistematis dan
terus menerus terhadap penyakit atau masalah-masalah kesehatan dan kondisi yang
mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau masalah-masalah
4
kesehatan tersebut, agar dapat melakukan tindakan penanggulangan secara efektif dan
efisien melalui proses pengumpulan data, pengolahan, analisis, interpreasi yang
sistematis dan penyebaran informasi epidemiologi kepada penyelenggara program
kesehatan.
Informasi yang dihasilkan berguna untuk perencanaan pelaksanaan dan penilaian
program atau upaya kesehatan masyarakat. Data surveilan dapat dipakai untuk menentukan
kebutuhan akan upaya kesehatan masyarakat atau menilai efektifitas dari
suatu program kesehatan masyarakat. Surveilans dipergunakan untuk mengetahui informasi
yang up to date mengenai penyakit di masyarakat, informasinya berguna untuk:
1. Memonitor program yang sedang berjalan
2. Mengevaluasi hasil program
Manfaat surveilans epidemiologi (a)Deteksi Perubahan akut dari penyakit yang terjadi
dan distribusinya (b).Identifikasi dan perhitungan trend dan pola penyakit (c).Identifikasi
kelompok risiko tinggi menurut waktu, orang dan tempat (d).Identifikasi faktor risiko dan
penyebab lainnya (e).Deteksi perubahan pelayanan kesehatan yang terjadi (f).Dapat
memonitoring kecenderungan penyakit endemis (g).Mempelajari riwayat alamiah penyakit
dan epidemiologinya (h).Memberikan informasi dan data dasar untuk proyeksi kebutuhan
pelayanan kesehatan dimasa datang (i).Membantu menetapkan masalah kesehatan prioritas
dan prioritas sasaran program pada tahap perencanaan. Inti kegiatan surveilans pada
akhirnya adalah bagaimana data yang sudah dikumpul, dianalisis, dan dilaporkan ke
stakeholder atau pemegang kebijakan untuk ditindaklanjuti dalam pembuatan program
intervensi yang lebih baik untuk menyelesaikan masalah kesehatan di Indonesia
a. Cara pengmbilan
Jawab :
Pengumpulan data merupakan awal dari rangkaian kegiatan untuk memproses data selanj
utnya. Data yang dikumpulkan memuat informasi epidemiologi yang dilaksanakan secara
teratur dan terus menerus dan dikumpulkan tepat waktu. Pengumpulan data dapat bersifat
pasif yang bersumber dari Rumah sakit, Puskesmas dan lain-lain, maupun aktif yang
6
diperoleh dari kegiatan survei (Budioro, 1997). Surveilans aktif dilakukan dengan cara
kunjungan ke unit sumber data di puskesmas, rumah sakit, laboratorium serta langsung di
masyarakat atau sumber data lainnya seperti pusat riset dan penelitian yang berkaitan
secara sistematik dan terus-menerus. Menurut WHO, sumber data surveilans antara lain:
1) Pencatatan angka kematian
2) Laporan penyakit
3) Laporan hasil pemeriksaan laboratorium
4) Penyelidikan atau laporan penyakit yang dilakukan secara perorangan
5) Survei
6) Penyelidikan distribusi vektor dan reservoir penyakit pada hewan
7) Data kependudukan dan lingkungan
8) Laporan wabah atau kejadian luar biasa (KLB)
9) Penggunaan obat-obatan dan bahan-bahan
10) Data lain serta catatan medik RS, absensi anak sekolah/ pekerja, survei rumah tangga
danlain-lain.
Sedangkan format laporan untuk pengumpulan data dari semua UPK, antara lain:
1) SP2TP :
- LB1 (laporan bulanan penyakit)
- LB2 (laporan kematian bulanan)
- LB3 (laporan cakupan program triwulan)
- LB4 (laporan obat dan logistik triwulan)
2) SP2RS :
- RL2a (laporan bulanan jenis penyakit rawat jalan)
- RL2b (laporan bulanan jenis penyakit rawat inap)
- RL2c (laporan bulanan PD3I yang dirawat)
3) W1 : laporan wabah atau KLB
4) W2 : laporan mingguan monitor penyakit KLB
5) SST : laporan bulanan dari surveilan sentinel penyakit tertentu
6) Laporan kegiatan sektor terkait
7) Laporan dari masyarakat
Dalam surveilans epidemiologi, data yang di dapat biasanya berupa masalah kesehat
an seperti kesakitan, sindrome, gangguan lingkungan sekitar atau masalah kesehatan lain
nya. Setelah itu data dapat dikumpulkan dengan dukungan berbagai sumber seperti lapor
an puskesmas, laporanrumah sakit, survey, laporan laboratorium. Pengumpulan data ini h
arus memperhatikan beberapa indikator, diantaranya jumlah atau rate ,angka kesakitan &
angka kematian, variabel yang diperlukan dan numerator serta denumerator yang dipakai.
Setelah dikumpulkan, data akan dilaporkan ke Pemerintah bidang kesehatan masyarakat.
7
Pelaporan data bisa dalam bentuk laporan harian, mingguan dan bulanan.Pengumpula
n data dilakukan dengan mengadakan pencatatan insidensi terhadap orang-orang yang
dianggap penderita malaria atau population at risk melalui kunjungan rumah (active
surveillance) atau pencatatan insidensi berdasarkan laporan sarana pelayanan kesehatan
yaitu dari laporan rutin poli umum setiap hari, laporan bulanan Puskesmas desa dan
Puskesmas pembantu, laporan petugas surveilans di lapangan, laporan harian dari
laboratorium dan laporan dari masyarakat serta petugas kesehatan lain (pasive
surveillance). Atau dengan kata lain, data dikumpulkan dari unit kesehatan sendiri dan
dari unit kesehatan yang paling rendah, misalnya laporan dari Pustu, Posyandu, Barkesra,
Poskesdes (Arias, 2010).
Proses pengumpulan data diperlukan sistem pencatatan dan pelaporan yang baik. Secara
umum pencatatan di Puskesmas adalah hasil kegiatan kunjungan pasien dan kegiatan luar
gedung. Sedangkan pelaporan dibuat dengan merekapitulasi data hasil pencatatan dengan
menggunakan formulir tertentu, misalnya form W1 Kejadian Luar Biasa (KLB) , form
W2 (laporan mingguan) dan lain-lain (Noor, 2000).
b. Cara pengolahan
Jawab :
Apabila datanya sederhana dan jumlah masing-masing variabel tidak terlalu banyak,
biasanya hanya dimanfaatkan tabel saja, sedangkan apabila datanya kompleks, maka
grafik dan peta dapat mempermudah memahami kecenderungan, variasi dan
perbandingan-perbandingan.
Data yang sudah terkumpul dari kegiatan diolah dan disajikan dalam bentuk tabel,
grafik (histogram, poligon frekuensi), chart (bar chart, peta/map area). Penggunaan
komputer sangat diperlukan untuk mempermudah dalam pengolahan data diantaranya
dengan menggunakan program (software) seperti epid info, SPSS, lotus, exceldan lain-
lain. Dalam melakukan pengolahan data surveillance terdapat empat kriteria pengolahan
data yang baik :
Pengolahan data merupakan proses yang sangat penting dalam penelitian. Oleh karena
itu, harus dilakukan dengan baik dan benar. Kegiatan dalam proses pengolahan data
adalah :
8
Editing ialah memeriksa data yang telah dikumpulkan dengan baikberupa daftar
pertanyaan, kartu atau buku register.
c. Perencanaan
Jawab :
Tahap perencanaan adalah tahap awal dalam melakukan surveilan epidemiologi. Tahap
ini dimulai dengan penetapan tujuan, penentuan definisi kasus, perencanaan perolehan
data, teknik pengumpulan data, teknik analisis dan mekanisme penyebarluasan informasi.
2) Data kematian yang dapat diperoleh dari unit pelayanan kesehatan serta laporan dari
kantor pemerintah dan masyarakat.
3) Data demografi yang dapat diperoleh dari unit statistik kependudukan dan masyarakat.
4) Data geografi yang dapat diperoleh dari Unit meteorologi dan Geofisika
5) Data laboratiorium yang dapat diperoleh dari unit pelayanan kesehatan dan masyarakat
7) Laporan wabah
11) Data hewan dan vektor sumber penularan penyakit yang dapat diperoleh dari unit
pelayanan kesehatan dan masyarakat.
e. Analisis data
Jawab :
Analisis merupakan langkah penting dalam surveilans epidemiologi karena akan
dipergunakan untuk perencanaan, monitoring dan evaluasi serta tindakan pencegahan dan
penanggulangan penyakit. Kegiatan ini menghasilkan ukuran-ukuran epidemiologi seperti
rate, proporsi, rasio dan lain-lain untuk mengetahui situasi, estimasi dan prediksi
penyakit. Data yang sudah diolah selanjutnya dianalisis dengan membandingkan data
bulanan atau tahun-tahun sebelumnya, sehingga diketahui ada peningkatan atau
10
penurunan, dan mencari hubungan penyebab penyakit DBD dengan faktor resiko yang
berhubungan dengan kejadian DBD.
Data yang terkumpul dari kegiatan surveilans epidemiologi diolah dan disajikan
dalam bentuk tabel situasi demam berdarah tiap puskesmas, RS maupun daerah. serta
tabel endemisitas dan grafik kasus DBD per minggu/bulan/tahun. Analisis dilakukan
dengan melihat pola maksimal-minimal kasus DBD, dimana jumlah penderita tiap
tahun ditampilkan dalam bentuk grafik sehingga tampak tahun dimana terjadi terdapat
jumlah kasus tertinggi (maksimal) dan tahun dengan jumlah kasus terendah (minimal).
Kasus tertinggi biasanya akan berulang setiap kurun waktu 35 tahun, sehingga
kapan akan terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) dapat diperkirakan. Analisis juga
dilakukan dengan membuat ratarata jumlah penderita tiap bulan selama 5 tahun, dimana
bulan dengan ratarata jumlah kasus terendah merupakan bulan yang tepat untuk
intervensi karena bulanberikutnya merupakan awal musim penularan.
Analisis merupakan langkah penting dalam surveilans epidemiologi karena akan
dipergunakan untuk perencanaan,monitoring dan evaluasi serta tindakan pencegahan dan
penanggulangan penyakit. Kegiatan ini menghasilkan ukuran-ukuran epidemiologi seperti
rate, proporsi, rasio dan lain-lain untuk mengetahui situasi, estimasi dan prediksi
penyakit.
Dalam program pemberantasan DBD dikenal beberapa indikator yang diperoleh dari
hasil analisis data yaitu:
1. Angka kesakitan / CFR (Case Fatality Rate) merupakan jumlah kasus DBD
disuatu wilayah tertentu selama 1 tahun tiap 100ribu penduduk.
2. Angka kematian / IR (Insidence Rate) adalah banyaknya penderita DBD yang
meninggal dari seluruh penderita DBD di suatu wilayah.
3. ABJ (Angka Bebas Jentik)/ Case fatality rate didefinisikan sebagai prosentase
rumah yang bebas dari jentik dari seluruh rumah yang diperiksa.
Puskesmas, Rumah Sakit, Laboratorium, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas
kesehatan Propinsi dan Ditjen PPM&PL Depkes berperan dalam penyelenggaraan
Surveilans Terpadu Penyakit bersumber data Puskesmas (STP Puskesmas), Rumah Sakit
(STP Rumah Sakit) dan Laboratorium (STP Laboratorium).
- Unit surveilans Puskesmas
- Unit surveilans Rumah Sakit
- Unit surveilans Laboratorium
- Unit surveilans Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
- Unit surveilans Dinas Kesehatan Propinsi
- Unit surveilans Ditjen PPM&PL Depkes
Interpretasi
11
Disamping menghasilkan informasi untuk pihak puskesmas dan DKK, informasi juga
harus disebarluaskan kepada stakeholder yang lain seperti Camat dan lurah,lembaga swadaya
masyarakat, Pokja/Pokjanal DBD dan lain-lain. Penyabarluasan informasi dapat berbentuk
laporan rutin mingguan wabah dan laporan insidentil bila terjadi KLB.
Implementasi
Data surveilans DBD didapatkan dari Ditjen PP & PL Depkes RI tahun 2009 yang
disajikan dalam bentuk tabel, grafik yang menjelaskan penyebaran penyakit DBD di
Indonesia. Penyebaran kasus DBD dilihat dari tahun 1968 2009 di seluruh provinsi di
Indonesia yang disajikan dalam bentuk tabel. Dari data surveilans tersebut juga dapat dilihat
Angka Insiden ( AI ) / Insident Rate ( IR ) berdasarkan 100.000 penduduk dari tahun 1968
2009. JIka terjadi peningkatan kasus DBD tiap tahunnya maka harus dilakukan program
pengendalian DBD dan menjadi perhatian utama pada tingkat Kota/Kabupaten maupun
Puskesmas.
Selain itu, dengan menggunakan data surveilans, Angka Insiden pada tahun 2009 di
setiap Provinsi dapat diketahui. Hasil analisi ini dapat disajikan menggunakan grafik sehingga
dapat diketahui Provinsi mana saja yang mengalami kasus DBD tertinggi maupun terendah.
Selain Analisis data surveilans DBD menurut tempat dan waktu, analisis juga dilakukan
menurut orang dengan menghitung Angka Insiden berdasarkan kelompok umur dan Jenis
Kelamin. Dari data yang ada, dapat dihitung pula Angka Kematian / Case Fatality Rate
( CFR ) berdasarkan provinsi di Indonesia.
Jika data surveilans didapatkan dari laporan kasus rawat inap dan kasus rawat jalan
pasien DBD di RS dari tahun 2004-2008 dan tidak diketahui jumlah rumah sakit yang
melaporkan dari tahun ke tahun, sehingga sulit menganalisis atau menginterpretasi data
tersebut. Dari data ini tampak cukup banyak pasien DBD yang di rawat jalan, sehingga perlu
dilakukan validasi data apakah pasien rawat jalan adalah pasien kontrol pasca rawat inap saja
atau pasien lama diitambah dengan pasien baru.
Selain laporan dari Puskesmas, RS, Dinkes dll. Analisis juga dapat menggunakan
faktor- faktor yang mempengaruhi kejadian DBD seperti perubahan iklim dapat
memperpanjang masa penularan penyakit yang ditularkan melalui vektor dan mengubah luas
geografinya, dengan kemungkinan menyebar ke daerah yang kekebalan populasinya rendah
atau dengan infrastruktur kesehatan masyarakat yang kurang. Selain perubahan iklim faktor
risiko yang mungkin mempengaruhi penularan DBD adalah faktor lingkungan, urbanisasi,
mobilitas penduduk, kepadatan penduduk dan transportasi.
12
Selain itu, laporan KLB yang didapatkan dari Puskesmas, RS, Dinkes dll dapat
digunakan untuk analisis hubungannya dengan IR maupun CFR pada setiap provinsi. Yang
kemudian hasil analisis ini dapat digunakan sebagai landasan atau acuan Puskesmas, RS,
Dinkes dll. Untuk membuat upaya program pencegahan DBD.
13
Pada kasus DBD yang bertangungjawab melakukan surveilans adalah petugas
kesehatan, juru pemantau jentik dan tim pemberantasan nyamuk di sekolah dan
masyarakat.
3).Sumber daya
5).Kebijakan
14
Kebijakan yang belum dipahami petugas juga menjadi kendala dalam pelaksanaan
surveilans.
6).Dana
Kegiatan surveilans ini tidak membutuhkan dana yang sedikit juga. Sering kali
permasalahan dana menjadi penghambat dalam melakukan surveilans.
Lokasi yang jauh dari perkotaan dan minimnya transportasi membuat kegiatan surveilans
terhambat. Sering kali jarak membuat kegiatan surveilans berlangsung berhari-hari
karena transportasi yang minim dan jarak yang jauh. Kondisi jalan juga mempengaruhi.
15
Pendukung surveilans yaitu pelatihan dan supervisi, penguatan laboratorium, penyediaan
sumber daya manusia dan laboratoriumnya cukup,komunikasi yang baik, dan manajemen
sumber daya,kegiatan surveilans disupervisi.
Beberapa kriteria Puskesmas Rawat Inap, sebagai sebuah Pusat Rujukan Antara bagi
penderita gawat darurat sebelum dibawa ke RS, antara lain sebagai berikut:
4. Jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukkan kenaikan dua kali lipat atau
lebih bila dibandingkan dengan angka rata-rata perbulan dalam tahun sebelumnya.
5. Angka rata-rata perbulan selama satu tahun menunjukkan kenaikan dua kali lipat atau
lebih dibandingkan dengan angka rata-rata per bulan dari tahun sebelumnya.
6. Case Fatality Rate (CFR) dari suatu penyakit dalam suatu kurun waktu tertentu
menunjukkan kenaikan 50% atau lebih dibanding dengan CFR dari periode sebelumnya.
7. Propotional rate (PR) penderita baru dari suatu periode tertentu menunjukkan
kenaikan dua kali atau lebih dibanding periode yang sama dan kurun waktu atau tahun
sebelumnya.
Terdapat satu atau lebih penderita baru dimana pada periode 4 minggu
sebelumnya daerah tersebut dinyatakan bebas dari penyakit yang bersangkutan.
Keracunan makanan
Keracunan pestisida
17
- Dampak yang timbulkan lebih berat.
a) Dengan membandingkan jumlah yang ada saat itu dengan jumlah beberapa minggu atau
bulan sebelumnya.
b) Menentukan apakah jumlah kasus yang ada sudah melampaui jumlah yang diharapkan.
Catatan keluar dari rumah sakit, statistic kematian, register, dan lain-lain.
Bila data local tidak ada, dapat digunakan rate dari wilayah di dekatnya atau data
nasional.
18
d) Pseudo endemik ( jumlah kasus yang dilaporkan belum tentu suatu wabah ) :
6. Pemastian Diagnosis
Semua temuan secara klinis harus dapat memastikan diagnosis wabah, hal yang harus
diperhatikan adalah sebagai berikut :
Pembuatan definisi kasus adalah seperangkat criteria untuk menentukan apakah seseorang
harus dapat diklasifikasikan sakit atau tidak. Kriteria klinis dibatasi oleh waktu, tempat, dan
orang. Penyelidikan sering membagi kasus menjadi
pasti ( compirmed), mungkin ( probable), meragukan ( possible ), sensivitasdan spefsifitas.
Metoda untuk menemukan kasus yang harus sesuai dengan penyakit dan kejadian yang
diteliti di fasilitas kesehatan yang mampu memberikan diagnosis. Informasi berikut ini
dikumpulakan dari setiap kasus :
19
c) Data klinis
e) Informasi pelapor untuk mendapatkan informasi tambahan atau member umpan balik
2. Epidemiologi Deskriptif
a) Member informasi samapai dimana proses wabah itu dan bagaimana kemungkinan
kelanjutannya
b) Menentukan puncak wabah atau kasus mediannya, dan menghitung mundur satu masa
inkubasi rata-rata
c) Dari kasus paling awal kejadian wabah, dihitung mundur masa inkubasi terpendek
Masa inkubasi penyakit adalah waktu antara masuknya agens penyakit sampai timbulnya
gejala pertama. Informasi tentang masa inkubasi bermanfaat billa penyakit belum diketahui
sehingga mempersempit diagnosis diferensial dam memperikan periode pemaparan. Cara
menghitung median masa inkubasi :
Gambaran wabah berdasarkan tempat menggunakan gambaran grafik berbentuk Spot map.
Grafik ini menunjukkan kejadian dengan titik/symbol tempat tertentu yang menggambarkan
distribusi geografi suatu kejadian menurut golongan atau jenis kejadian namun mengabaikan
populasi.
Variable orang dalam epidemiologi adalah karakteristik individu yang ada hubungannya
dengan keterpajanan atau kerentanan terhadapa suatu penyakit.Misalnya karakteristik inang
( umur, jenis kelamin, ras/suku, status kesehatan) atau berdasarkan pemaparan ( pekerjaan,
penggunaan obat-obatan)
3. Pembuatan Hipotesis
f) Epidemiologi diskriptif
21
4. Penilaian Hipotesis
Dalam penyelidikan lapangan, hipotesis dapat dinilai dengan salah satu dari dua cara
Dalam hal ini penelitian tambahan akan mengikuti hal dibawah ini
Penyampaian hasil dapat dilakukan dengan dua cara pertama Laporan lisan pada pejabat
setempat dilakukan di hadapan pejabat setempat dan mereka yang bertugas mengadakan
pengendalian dan pencegahan dan yang kedua laporan tertulis.Penyamapin penyelidikan
diantaranya
a) Laporan harus jelas, meyakinkan, disertai rekomendasi yang tepat dan beralasan
b) Sampaikan hal-hal yang sudah dikerjakan secara ilmiah; kesimpulan dan saran harus
dapat dipertahankan secara ilmiah
c) Laporan lisan harus dilengkapi dengan laporan tertulis, bentuknya sesuai dengan tulisan
ilmiah (pendahuluan, latar belakang, metodologi, hasil, diskusi, kesimpulan, dan saran)
22
d) Merupakan cetak biru untuk mengambil tindakan
e) Merupakan catatan dari pekerjaan, dokumen dari isu legal, dan merupakan bahan
rujukan apabila terjadi hal yang sama di masa datang .
Laporan kewaspadaan KLB adalah cara deteksi dini adanya KLB merupakan laporan
adanya seorang atau sekelompok penderita atau tersangka penderita penyakit berpotensi
KLB pada suatu daerah atau lokasi tertentu. lsi laporan kewaspadaan terdiri dari jenis
penyakit: gejala-gejala penyakit; desa/lurah' kecamatan dan kabupaten/kota tempat
kejadian; waktu kejadian; jumlah penderita dan jumlah meninggal.
Perorangan dan organisasi yang wajib membuat Laporan Kewaspadaan KLB antara
lain :
(1). Orang yang mengetahui adanya penderita atau tersangka penderita penyakit berpotensi
KLB, yaitu orang tua penderita atau tersangka penderita, orang dewasa yang tinggal
serumah dengan penderita atau tersangka penderita' Ketua Rukun Tetangga, Ketua
Rukun Warga, Ketua Rukun Kampung atau Kepala Dukuh yang mengetahui adanya
penderita atau tersangka penderita tersebut.
(2). Petugas kesehatan yang memeriksa penderita' atau memeriksa bahan-bahan
pemeriksaan penderita penyakit berpotensi KLB yaitu dokter atau petugas kesehatan,
dokter hewan yang memeriksa hewan sumber penyakit menular berpotensi KLB dan
petugas laboratorium yang memeriksa spesirllen penderita tau tersangka penderita
penyakit berpotensi KLB.
(3). Kepala stasiun kereta api, kepala pelabuhan laut, kepala Bandar udara, kepala terminal
kendaraan bermotor' kepala asrama. kepala sekolah, pimpinan perusahaan, kepala
kantor pemerintah dan swasta, kepala Unit Pelayanan Kesehatan.
(4). Nakhoda kapal, pilot pesawat terbang, dan pengemudi angkutan darat
Laporan kewaspadaan dini DBD (KD/RS DBD) adalah laporan segera (paling lambat
dikirimkan dalam 24 jam setelah penegakkan diagnosis) tentang adanya penderita
termasuk tersangka DBD agar segera dapat dilakukan tindakan atau langkah-langkah
penanggulangan seperlunya.
c. Umpan Balik
b. Patogenesitas
Kemampuan bibit penyakit untuk menimbulkan reaksi pada pejamu sehingga timbul
sakit.
27
2. Penyakit potensi wabah/KLB yang menjalar dalam waktu cepat atau mempunyai
mortalitas tinggi, dan penyakit yang telah masuk program eradikasi/eliminasi dan
memerlukan tindakan segera:
Malaria Frambosia Influenza
Anthrax Hepatitis Typhus abdominalis
Meningitis Keracunan Encephalitis
Tetanus
3. Penyakit-penyakit potensial wabah/KLB lainnya dan beberapa penyakit penting.
Penyakit-penyakit menular yang tidak berpotensi menimbulkan wabah dan KLB tetapi
diprogramkan, ditingkat kecamatan dilaporkan secara bulanan melalui RR terpadu
Puskesmas ke Kabupaten, dan seterusnya secara berjenjang sampai ke tingkat pusat.
Penyakit-penyakit tersebut meliputi : Cacing, Lepra, Tuberculosa, Syphilis, Gonorhoe,
Filariasis & AIDS, dll. Sehingga petugas Poskesdes diharapkan melaporkan kejadian-
kejadian penyakit ini ke tingkat Kecamatan/Puskesmas jika.
Dari penyakit-penyakit diatas, pada keadaan tidak ada wabah/KLB secara rutin
hanya yang termasuk kelompok 1 dan kelompok 2 yang perlu dilaporkan secara mingguan.
Bagi penyakit kelompok 3 dan kelompok 4 bersama-sama penyakit kelompok 1 dan 2
secara rutin dilaporkan bulanan ke Puskesmas.
Jika peristiwa KLB atau wabah dari penyakit yang bersangkutan sudah berhenti
(incidence penyakit sudah kembali pada keadaan normal), maka penyakit tersebut tidak
perlu dilaporkan secara mingguan lagi. Sementara itu, laporan penyakit setiap bulan perlu
dilaporkan ke Puskesmas oleh Bidan desa/petugas di Poskesdes.
28
melakukan pemantuan jentik dan pencarian tersangka kasus DBD, karena ada warga
yang tidak mau untuk berpartisipasi.
e. Sumber Daya
f. Kemampuan Laboratorium
Belum semua Puskesmas mampu untuk melakukan diagnosa kasus DBD secara
berdasarkan hasil Laboratorium. Sarana Laboratorium dan tenaga laboran masih terbatas.
Kondisi ini akan menyebabkan kemampuan deteksi dini kasus DBD menjadi rendah,
yang pada akhirnya penanganan kasus DBD secara intensif terlambat. Mengingat Kota
Semarang merupakan daerah endemis tinggi penyakit DBD, maka sebaiknya seluruh
Puskesmas laboratorium yang mempunyai kemampuan mendeteksi penyakit DBD secara
serologis.
g. Keterlambatan pelaporan tentang kasus KLB
h. Kekurang pengetahuan masyarakat tentang KLB
i. Kurangnya kerjasama masyarakat dengan petugas kesehatan
Tujuan Umum :
Tujuan khusus :
29
Dalam statistik dikenal ada banyak data yang bias kita peroleh dalam proses
pengupulan data yaitu
- Data mentah dan data terorganisir
- Data kuantitatif dan kualitatif
- Data kontinyu dan data diskrit
- Data numeric dan data nominal
- Data dikotomi dan data kategori banyak
- Data primer dan data sekunder
Dalam kegiatan surveilans biasanya digunakan data dua bentuk data yaitu data
primer yang diperoleh langsung dari subjek penelitian dengan menggunakan alat
pengukuran atau alat pengambil data seperti survei-survei, dan lain-lain (suerveilans
aktif) dan data sekunder yaitu data yang dipeoleh dari pihak lain, misal Rumah Sakit,
Puskesmas (surveilans pasif)
Metode Pengumpulan Data
1.wawancara/interview
2.observasi (dilakukan dengan penciuman, penglihatan, pendengaran, peraba dan
pengecap. Kegiatan observasi meliputi mencatat, pertimbangan, dan penilaian.
Instrumen observasi berupa format atau blanko pengamatan. Format berisi item-item
tentang kejadian atau tingkah laku yang digambarkan akan terjadi. Alat yang
digunakan dalam melakukan obervasi adalah
a. check list : daftar pengecek, berisi subjek dan identitas lain dar sasaran pengamatan
b. Skala penilaian : daftar berisi ciri-ciri tingkah laku c. Daftar riwayat
kelakuan/ancdotal scale : catatan tingkah laku seseorang yang khas dibuat oleh guru,
direktur, pendeta, kepala setempat d. Alat-alat mekanik : kamera, film, tape recorder.
televisi)
3.dokumentasi (kegiatan mencari data atau variabel dai sumber berupa catatan,
tranksrip, buku, surat kabar, majalah, prasasri, notulen rapat, agenda, dsb. Yang
diamati adalah benda mati.
4.pemeriksaan (pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan lanjutan)
5.diskusi kelompok ( menggunakan penelitian kuantitatif. Diskusi dilakukan untuk
menggali informasi secara mendalam mengenai topik tertentu)
6.tes/ujian ( pengetahuan seorang individu tentang suatu hal/penyakit tertetntu)
Alat pengumpul Data
1. Angket
a. Angket terbuka : memberi kesempatan responden menjawab kalimatnya
sendiri
b. Angket tertutup : responden tinggal memilih jawaban
2. Kuisioner
Terdapat pengujian atas validitas( menunjukkan alat ukur benar-benar mengukur
apa yang dikur anak bb nya 20 kg, maka timbangan yang digunakan untuk
menimbang anak itu menunjukkan berat 20 kg bukan 19.5 atau 20.5) dan
30
reliabilitas (sejauh mana alat pngukur dapat dipercaya bila tinggi seorang anak
diukur 140 cm, maka bila diukur berkali-kali hasil tetap akan sama).
Data yang didapatkan lalu diolah berdasarkan desain penelitian dalam statistik. Ada
beberapa desain penelitian yang biasa digunakan dalam proses pengolahan data
1. Observasional
a. Studi potong lintang (cross sectional)
Peneliti hanya melakukan observasi dan pengukuran variabel pada satu saat
tertentu saja.
b. Studi kasus kontrol (case control)
Membandingkan dua kelompok yaitu kelompok kasus dan kontrol, kemudian
ditelusuri secara retrospektif(pengukuran efek lebih dahulu, baru menuntut ke
belakang untuk mengukur variabel bebas/faktor risiko) ada tidaknya faktor
risiko yang berperan. Kelompok kasus merupakan penderita penyakit/efek
positif, sedangkan kelompok kontrol merupakan kelompok yang tidak
menderita penyakit/efek negatif.
c. Studi kohort
Kebalikan dengan studi kasus kontrol yang dimulai dengan identifikasi efek,
studi kohort dimulai dengan mengidentifikasi faktor risiko timbulnya efek.
Selanjutnya diikuti selama periode waktu tertenu untuk mencari ada tidaknya
efek. Terdapat dua kelompok yang sebanding yaitu kelompok terpajan sebagai
subjek yang diteliti dan kelompok yang tidak terpajan sebagai kontrol
2. Eksperimental
a. Pra eksperimen
- One shot case study (x) >------ O
- One grup pre and posttest design O>----(x)>-----O
- Static group comparison
(X) >---- O
(-) >----- O
b. Eksperimen murni (true eksperimen)
- Rancangan eksperimen sederhana (posttest only with control group
design) acak
(X) >---- O
(-) >----- O
- Rancangan eksperimen Ulang (pretest-posttest with control group design
acak
O1>----(x)>-----O2
O3>----(-)>-----O4
- Rancangan eksperimen salomon four hroup design acak
O1>----(x)>-----O2
O3>----(-)>-----O4
(x)>-----O5
31
(-)>-----O6
c. Eksperimen Semu (Quasi eksperimen)
- Rancangan eksperimen Ulang Non-random ( Nonrandomized pretest-
posttest with control group design)
O1>----(x)>-----O2
O3>----(-)>-----O4
- Rancangan eksperimen Seri (Time series design )
O>---- O>---- O>----(x)>----- O>---- O>---- O>----
- Rancangan eksperimen Seri Ganda(Multipe time series design)
O>---- O>---- O>----(x)>----- O>---- O>---- O>----
O>---- O>---- O>----(x)>----- O>---- O>---- O>----
3. Desain khusus
a. Uji diagnostik
b. Meta analisis
c. Analisis kesintasan (survival analisis)
32
Berdasarkan survey kebutuhan dan analisis system terhadap system surveilans dan
cara pencatatan dan pelaporan penyakit demam berdarah mulai dari masyarakat,
Puskesmas dan kemudian ke Dinas Kesehatan maka sistem yang dikembangkan adalah
suatu system informasi surveilans epidemiologi yang bersifat multi user dengan model
modular. Adapun model tersebut mencakup modul pemasukan kasus, modul pemasukan
pengamatan, modul masukan pengamatan jentik berkala, modul penyelidikan
Epidemiologi (PE), modul pencatatan fogging, modu lPokja DBD, modulpemasukan data
jumlahpendudukdanmodulpelaporan.
Hasil pemasukan data dari modul modul diatas akan menghasilkan laporan laporan
yaitu: angka bebas jentik(ABJ), proporsi penyakit DBD per jenis kelamin, proporsi
penyakit DBD per golongan umur, laporan House indek, laporan incidency rate DBD,
laporan case fatality rate, laporan pelaksanaan PSN, laporan hasil PE dan laporan
pelaksanaan fogging.
a. Tahap Pre-Patogenesa
Pada tahap ini telah terjadi interaksi antara pejamu dengan bibit penyakit. Tetapi
interaksi ini masih diluar tubuh manusia, dalam arti bibit penyakit berada di luar tubuh
manusia dan belum masuk kedalam tubuh pejamu.
33
Pada keadaan ini belum ditemukan adanya tanda tanda penyakit dan daya
tahan tubuh pejamu masih kuat dan dapat menolak penyakit. Keadaan ini disebut sehat.
b. Tahap Patogenesa
1) Tahap Inkubasi
Tahap inkubasi adalah masuknya bibit penyakit kedalam tubuh pejamu, tetapi
gejala- gejala penyakit belum nampak.
Tiap-tiap penyakit mempunyai masa inkubasi yang berbeda, ada yang bersifat
seperti influenza, penyakit kolera masa inkubasinya hanya 1- 2 hari, penyakit Polio
mempunyai masa inkubasi 7 - 14 hari, tetapi ada juga yang bersifat menahun misalnya
kanker paru-paru, AIDS dan sebagainya.
Jika daya tahan tubuh tidak kuat, tentu penyakit akan berjalan terus yang
mengakibatkan terjadinya gangguan pada bentuk dan fungsi tubuh.
Pada suatu saat penyakit makin bertambah hebat, sehingga timbul gejalanya.
Garis yang membatasi antara tampak dan tidak tampaknya gejala penyakit disebut
dengan horison klinik.
Tahap penyakit dini dihitung mulai dari munculnya gejala-gejala penyakit, pada
tahap ini pejamu sudah jatuh sakit tetapi sifatnya masih ringan. Umumnya penderita
masih dapat melakukan pekerjaan sehari-hari dan karena itu sering tidak berobat.
Selanjutnya, bagi yang datang berobat umumnya tidak memerlukan perawatan, karena
penyakit masih dapat diatasi dengan berobat jalan.
Tahap penyakit dini ini sering menjadi masalah besar dalam kesehatan
masyarakat, terutama jika tingkat pendidikan penduduk rendah, karena tubuh masih
kuat mereka tidak datang berobat, yang akan mendatangkan masalah lanjutan, yaitu
telah parahnya penyakit yang di derita, sehingga saat datang berobat sering talah
terlambat.
34
Apabila penyakit makin bertambah hebat, penyakit masuk dalam tahap penyakit
lanjut. Pada tahap ini penderita telah tidak dapat lagi melakukan pekerjaan dan jika
datang berobat, umumnya telah memerlukan perawatan.
-Sembuh sempurna : penyakit berakhir karena pejamu sembuh secara sempurna, artinya
bentuk dan fungsi tubuh kembali kepada keadaan sebelum menderita penyakit.
-Sembuh tetapi cacat : penyakit yang diderita berakhir dan penderita sembuh.
Sayangnya kesembuhan tersebut tidak sempurna, karena ditemukan cacat pada pejamu.
-Karier : pada karier, perjalanan penyakit seolah-olah terhenti, karena gejala penyakit
memang tidak tampak lagi. Padahal dalam diri pejamu masih ditemukan bibit penyakit
yang pada suatu saat.
-Kronis : perjalanan penyakit tampak terhenti karena gejala penyakit tidak berubah,
dalam arti tidak bertambah berat dan ataupun tidak bertambah ringan.
-Meninggal dunia : terhentinya perjalanan penyakit disini, bukan karena sembuh, tetapi
karena pejamu meninggal dunia.
V. Sintesis
Surveilans adalah upaya/ sistem/ mekanisme yang dilakukan secara terus menerus
dari suatu kegiatan pengumpulan, analisi, interpretasi,dari suatu data spesifik yang digunakan
untuk perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program ( Manajemen program kesehatan)
Istilah surveilans digunakan untuk dua hal yang berbeda.
Mengenal Epidemiologi Penyakit berarti mengenal apa yang kita hadapi dan
mengenal perencanaan program yang baik.
36
3. Penanggulangan wabah Kejadian Luar Biasa.
2. Terdapat tindakan masyarakat yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut
4. Hasil yang diperoleh sepadan dengan upaya yang dilakukan ( pertimbangan efisiensi ).
b. Pengelolaan data
Data yang diperoleh biasanya masih dalam bentuk data mentah (row data) yang masih
perlu disusun sedemikian rupa sehingga mudah dianalisis. Data yang terkumpul dapat diolah
37
dalam bentuk tabel, bentuk grafik maupun bentuk peta atau bentuk lainnya. Kompilasi data
tersebut harus dapat memberikan keterangan yang berarti.
Data yang telah disusun dan dikompilasi, selanjutnya dianalisis dan dilakukan
interpretasi untuk memberikan arti dan memberikan kejelasan tentang situasi yang ada dalam
masyarakat.
Setelah analisis dan interpretasi data serta telah memiliki keterangan yang cukup jelas
dan sudah disimpulkan dalam suatu kesimpulan, selanjutnya dapat disebarluaskan kepada
semua pihak yang berkepentingan, agar informasi ini dapat dimanfaatkan sebagai mana
mestinya.
e. Evaluasi
Hasil evaluasi terhadap data sistem surveilans selanjutnya dapat digunakan untuk
perencanaan, penanggulangan khusus serta program pelaksanaannya, untuk kegiatan tindak
lanjut (follow up), untuk melakukan koreksi dan perbaikan-perbaikan program dan
pelaksanaan program, serta untuk kepentingan evaluasi maupun penilaian hasil kegiatan.
3) Sumber daya
Hambatan yang paling menonjol dari hasil penelitian ini adalah sumber daya
manusia. Hambatan yang berhasil di identifikasi berdasarkan persepsi renponden adlah
sebagai berikut ;
5) Kebijakan
6) Dana
Kegiatan surveilans ini tidak membutuhkan dana yang sedikit juga. Sering kali
permasalahan dana menjadi penghambat dalam melakukan surveilans.
39
Lokasi yang jauh dari perkotaan dan minimnya transportasi membuat kegiatan
surveilans terhambat. Sering kali jarak membuat kegiatan surveilans berlangsung berhari-hari
karena transportasi yang minim dan jarak yang jauh. Kondisi jalan juga mempengaruhi.
Penyakit demam berdarah dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit menular
yang sering menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) di Indonesia. Penyakit ini mempunyai
perjalanan penyakit yang cepat, mudah menyebar dan dapat menyebabkan kematian dalam
waktu singkat. Prediksi kejadian demam berdarah dengue di suatu wilayah, selama ini
dilakukan berdasarkan stratifikasi endemisitas, pola maksimalminimal dan siklus 35 tahun
sesuai dari data Surveilans epidemiologi. Cara prediksi ini terdapat kelemahan karena
berubahnya data menjelang musim penularan DBD dan belum adanya data faktor risiko
terkini, sehingga prediksi sering tidak tepat. Data faktor risiko DBD dapat digunakan untuk
menentukan jenis intervensi, sehingga kejadian DBD dapat dicegah sesuai konsep
kewaspadaan dini.
Data surveilans epidemiologi yang dihasilkan, sebagian masih diolah secara manual
dan semi otomatis dengan penyajian masih terbatas dalam bentuk tabel dan grafik, sedangkan
penyajian dalam bentuk peta belum dilakukan. Berdasarkan kenyataan tersebut,
dikembangkan sistem surveilans epidemiologi DBD untuk kewaspadaan dini berbasis Sistem
Informasi Geografis (SIG).
Pada sistem ini, dilakukan pendataan faktor risiko DBD melalui Rapid Survey pada
saat menjelang musim penularan untuk mendapatkan data terbaru untuk menentukan jenis
intervensi. Dengan SIG, dapat dihasilkan peta faktor risiko, peta kasus dan peta kegiatan lain,
dan dengan teknik overlayer dapat dilakukan perencanaan maupun evaluasi program
pemberantasan DBD.
Dalam masalah penyakit DBD, surveilans penyakit mencakup empat aspek yaitu
(1)surveilans kasus, (2) vektor (termasuk ekologinya), (3) peran serta masyarakat dan (4)
tindakan pengendalian. Program surveilans epidemiologi DBD meliputi surveilans penyakit
yang dilakukan dengan cara meminta laporan kasus dari rumah sakit dan sarana kesehatan
serta surveilans vektor yang dilakukan dengan melakukan penelitian epidemiologi di daerah
yang terjangkit DBD. Pelaksanaan surveilans epidemiologi vektor DBD untuk deteksi dini
biasanya dilakukan penelitian di tempat-tempat umum; sarana air bersih; pemukiman dan
40
lingkungan perumahan; dan limbah industri, RS serta kegiatan lain. Kegiatan di atas
dilakukan oleh petugas kesehatan, juru pemantau jentik dan tim pemberantasan nyamuk di
sekolah dan masyarakat. Sebagai indikator keberhasilan program tersebut adalah Angka
Bebas Jentik (ABJ). Surveilans epidemiologi penyakit DBD memegang peranan penting
dalam upaya memutus mata rantai penyakit DBD. Namun, pada kenyataanya belum berjalan
dengan baik disebabkan karena faktor eksternal dan internal, misalnya petugas puskesmas
tidak menjalankan tugas dengan sebagaimana mestinya dalam melakukan Pemantauan Jentik
Berkala (PJB).
42
Berdasarkan Permenkes RI No.1501/Menkes/Per/X/2010 Bab II pasal 2 penyakit tertentu
yang menimbulkan KLB :
a) Kholera g) m) Hepatitis
b) Pes Pertusis n) Influenza
c) Demam h) Rabies H1N1
berdarah i) o) Meningitis
d) Campak Malaria p) Yellow
e) Polio j) Avian Fever
f) Difteri Influenza H5N1 q)
k) Chikungunya
Antraks
l)
Leptospirosis
43
3. Endotoxin
2) Infeksi
1. Virus
2. Bacteri
3. Protozoa
4. Cacing
3) Toxin Biologis
1. Racun jamur.
2. Alfatoxin
3. Plankton
4. Racun ikan
5. Racun tumbuh-tumbuhan
4) Toxin Kimia
1. Zat kimia organik: logam berat (seperti air raksa, timah), logam-logam lain cyanida, nitrit,
pestisida.
2. Gas-gas beracun: CO, CO2, HCN, dan sebagainya
(Bustan, 2002).
b) Berdasarkan sumber
1) Sumber dari manusia
Misalnya: jalan napas, tangan, tinja, air seni, muntahan seperti : salmonella, shigella,
hepatitis.
2) Bersumber dari kegiatan manusia
Misalnya : toxin dari pembuatan tempe bongkrek, penyemprotan pencemaran lingkungan.
3) Bersumber dari binatang
Misalnya : binatang peliharaan, rabies dan binatang mengerat
4) Bersumber pada serangga (lalat, kecoak )
Misalnya : salmonella, staphylococcus, streptococcus
5) Bersumber dari udara
Misalnya : staphylococcus, streptococcus virus
6) Bersumber dari permukaan benda-benda atau alat-alat
Misalnya : salmonella
7) Bersumber dari makanan dan minuman
Misalnya : keracunan singkong, jamur, makanan dalam kaleng
(Bustan, 2002).
44
E. Pelaksanaan Penyelidikan Kejadian Luar Biasa (KLB)
Tujuan umum dari pelaksanaan Penyelidikan Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah untuk
mendapatkan informasi dalam rangka penanggulangan dan pengendalian Penyelidikan
Kejadian Luar Biasa (KLB). Untuk mencapai tujuan umum tersebut, maka dirumuskan
tujuan khusus sebagai berikut :
a) Memastikan diagnosis penyakit
Dalam memastikan diagnosis penyakit, terlebih dahulu dijelaskan tingkatan kasus penyakit
yang bersangkutan
1) Kepastian diagnosis
1. Kasus pasti : adanya kepastian laboratorium serologi, bakteriologi, virologi atau parasitologi
dengan atau tanpa gejala klinis.
2. Kasus mungkin : Tanda atau gejala sesuai penyakitnya tanpa dukungan laboratrium
3. Kasus tersangka : Tanda atau gejala sesuai penyakitnya tetapi pemeriksaan laboratorium
negatif
2) Hubungan epidemiologi
1. Kasus primer : kasus yang sakit karena paparan pertama
2. Kasus sekunder : kasus yang sakit karena adanya kontrak dengan kasus primer
3. Kasus tak ada : terjadinya sakit bukan karena paparan pertama ataupun hubungan kontrak
dengan kasus
3) Pada waktu melakukan penyelidikan Kejadian Luar Biasa (KLB) dilapangan,
diagnosis penyakit hanya didasarkan pada penyesuaian dari gejala dan tanda penyakit yang
bersangkutan
yang sudah dipelajari dari kepustakaan atau oleh guru/dosen yang bersangkutan. Namun
tidak begitu mudah memastikan diagnosis penyakit atas dasar penyesuaian gejala dan tanda
ini. Karena itu di lapangan pemastian diagnosis penyakit didasarkan pada :
1. Urutan frekuensi tertinggi sampai terendah dari gejala dan tanda penyakit
2. Gejala atau tanda patognomosis yaitu gejala dan tanda yang khusus untuk penyakit tertentu
3. Perimbangan antara sensitivitas dan spesitifitas
b) Penetapan Penyelidikan Kejadian Luar Biasa (KLB)
1) Distribusi kasus menurut waktu
Bila dibuat kurve dimana waktu merupakan absisnya dan frekuensi kasus merupakan
ordinatnya, maka ada tiga jenis kurve epidemi yaitu :
1. Common source epidemic, yang menunjukan adanya sumber penyakit yang sama.
45
2. Propagated epidemic, yang menunjukan terjadinya penyebaran penyakit dari orang ke orang
secara langsung atau melalui lingkungan.
3. Kombinasi Common source epidemic dan Propagated epidemic.
(Lapau, Buchari. 2009).
Epidemiologi adalah studi tentang distribusi dan determinan penyakit pada populasi. Studi
epidemiologi dibedakan menjadi dua kategori: (1) epidemiologi deskriptif; dan (2)
epidemiologi analitik (Gambar 1).
46
Contoh, case series merupakan studi epidemiologi deskriptif tentang serangkaian kasus,
yang berguna untuk mendeskripsikan spektrum penyakit, manifestasi klinis, perjalanan
klinis, dan prognosis kasus. Case series banyak dijumpai dalam literatur kedokteran klinik.
Tetapi desain studi ini lemah untuk memberi-kan bukti kausal, sebab pada case series tidak
dilakukan perbandingan kasus dengan non-kasus. Case series dapat digunakan untuk
merumuskan hipotesis yang akan diuji dengan desain studi analitik.
Case report (laporan kasus) merupakan studi kasus yang bertujuan mendeskripsikan
manifestasi klinis, perjalanan klinis, dan prognosis kasus. Case report mendeskripsikan cara
klinisi mendiagnosis dan memberi terapi kepada kasus, dan hasil klinis yang diperoleh.
Selain tidak terdapat kasus pembanding, hasil klinis yang diperoleh mencerminkan variasi
biologis yang lebar dari sebuah kasus, sehingga case report kurang andal (reliabel) untuk
memberikan bukti empiris tentang gambaran klinis penyakit.
Dua asumsi melatari epidemiologi analitik. Pertama, keadaan kesehatan dan penyakit pada
populasi tidak terjadi secara random melainkan secara sistematis yang dipengaruhi oleh
faktor risiko/ kausa/ faktor pencegah/ faktor protektif (Hennekens dan Buring, 1987; Gordis,
2000). Kedua, faktor risiko atau kausa tersebut dapat diubah sehingga dapat dilakukan
upaya pencegahan penya-kit pada level individu dan populasi (Risser dan Risser, 2002).
47
(1) Arah pengusutan; (2) Jenis data; (3) Desain pemilihan sampel; (4) Peran peneliti dalam
memberikan intervensi.
Arah pengusutan
48
Prospektif. Arah pengusutan dikatakan prospektif (forward direction) jika peneliti
menentukan dulu status paparan atau intervensi lalu mengikuti ke depan efek yang
diharapkan. Studi epidemiologi yang bersifat prospektif adalah studi kohor dan eksperimen.
Pada studi potong lintang, karena bersifat non-directional, peneliti tidak bisa
menghitung insidensi (kasus baru), yang menunjukkan risiko terjadinya penyakit dalam
suatu periode waktu. Jadi pada studi potong lintang, peneliti tidak bisa menghitung risiko
dan risiko relatif (RR). Data yang diperoleh studi potong lintang adalah prevalensi, terdiri
atas kasus baru dan lama. Prevalensi adalah jumlah kasus yang ada di suatu saat dibagi
dengan jumlah populasi studi. Jika prevalensi penyakit pada kelompok terpapar dibagi
dengan prevalensi penyakit pada kelompok tak terpapar, maka diperoleh Prevalence Ratio
(PR). Demikian pula jika odd penyakit pada kelompok terpapar dibagi dengan odd penyakit
pada kelompok tak terpapar, diperoleh Prevalence Odds Ratio (POR).
Berbeda dengan studi kohor, pada studi kasus kontrol, peneliti tidak mengikuti suatu
kohor subjek penelitian yang belum sakit ke depan, tidak mengamati terjadinya penyakit,
49
tidak dapat menghitung insidensi (kasus baru) dalam suatu periode waktu. Pada studi kasus
kontrol, peneliti menggunakan kasus-kasus yang sudah ada dan memilih kontrol (non-kasus)
yang sebanding. Lalu peneliti mencari informasi status (riwayat) paparan masing-masing
subjek kasus dan kontrol. Jadi pada studi kasus kontrol peneliti tidak bisa menghitung risiko
dan risiko relatif (RR). Sebagai ganti risiko, pada studi kasus kontrol peneliti menggunakan
odd. What is odd? Odd adalah probabilitas dua peristiwa yang berkebalikan, misalnya sakit
verus sehat, mati versus hidup, terpapar versus tak terpapar. Pada studi kasus kontrol, odd
pada kasus adalah rasio antara jumlah kasus yang terpapar dibagi tidak terpapar. Odd pada
kontrol adalah rasio antara jumlah kontrol terpapar dibagi tidak terpapar. Jika odd pada
kasus dibagi dengan odd pada kontrol, diperoleh Odds ratio (OR). OR digunakan pada studi
kasus kontrol sebagai pengganti RR.
Jenis data
Data sewaktu. Data sewaktu (concurrent data, contemporary data) adalah data tentang status
paparan, status penyakit, dan variabel lainnya, yang dikumpulkan bersamaan dengan waktu
penelitian. Karena umumnya dikumpulkan sendiri oleh peneliti maka data sewaktu sering
kali merupakan data primer.
Data historis. Data historis (historical data) adalah data tentang status paparan, status
penyakit, dan variabel lainnya, yang dikumpulkan pada waktu sebelum dimulainya
penelitian. Data historis dapat berasal dari sumber sekunder, yaitu catatan yang sudah
tersedia, misalnya catatan kelahiran dan kematian, rekam medis, data sensus, survei
kesehatan rumah tangga (SKRT), riwayat pekerjaan. Tetapi data historis dapat juga berasal
dari sumber primer, diperoleh dari wawancara dengan subjek penelitian, keluarga, atau
teman (dise-but surrogates), untuk mengingat kembali (recall) peristiwa masa lalu.
50
Data campuran. Data campuran adalah data yang dikumpulkan sebagian bera-sal dari masa
lalu dan sebagian berasal dari waktu yang sama dengan waktu penelitian. Nested case
control study merupakan contoh sebuah desain studi yang menggunakan data campuran.
Pada nested case-control study diidentifikasi kasus yang terjadi dari sebuah kohor. Untuk
masing-masing kasus kemudian dipilihkan dan dibandingkan dengan anggota kohor yang
tidak mengalami penyakit sebagai kontrol, dan memiliki tingkat faktor perancu yang sama
dengan kasus (disebut matched control) (Wikipedia, 2011).
Data perlu dibedakan menurut kronologi pengumpulan data. Mengapa? Pertama, jenis data
menurut kronologi pengumpulan menentukan kualitas data. Pada umumnya data sewaktu
lebih reliabel daripada data historis, karena validasi data bisa dilakukan langsung oleh
peneliti (Gerstman, 1998). Kedua, jenis data menurut kronologi berguna untuk
mengelaborasi lebih lanjut jenis desain studi. Jenis data tidak tergantung arah pengusutan.
Implikasinya, desain studi yang arah pengusutannya prospektif dapat saja menggunakan
data historis. Studi kohor yang menggunakan data historis disebut studi kohor historis (studi
kohor retrospektif). Studi kohor yang menggunakan data sewaktu disebut studi kohor
(prospektif) (Bosma et al., 1997; Okasha et al., 2002; Rothman, 2002).
Sebaliknya, desain studi yang arah pengusutannya retrospektif dapat menggunakan data
sewaktu. Studi kasus kontrol yang menggunakan data sewaktu disebut studi kasus kontrol
prospektif. Studi kasus kontrol yang menggunakan data historis disebut studi kasus kontrol
(retrospektif) (Rothman, 2002). Studi kasus kontrol yang menggunakan data historis dan
data sewaktu, yakni data primer yang berasal dari studi kohor sebagai penelitian induk,
disebut nested case control study atau ambidirectional staudy. Desain nested case-
control study membutuhkan biaya dan upaya pengumpulan data yang lebih rendah
51
daripada studi yang sepenuhnya menggunakan pendekatan kohor (Wikipedia,2011). Tabel 1
menyajikan perbedaan antara ketiga studi observasional sejumlah kriteria.
Penyidikan KLB selalu dilakukan :Pengkajian terhadap sistim surveilens yang ada,
untuk mengetahui kemampuannya sebagai alat deteksi dini adanya KLB, kecepatan informasi
dan pemenuhan kewajiban pelaksanaan sistim surveilens.
PENYUSUNAN REKOMENDASI
1. Tujuan utama penyidikan KLB adalah merumuskan tindakan untuk mengakhiri KLB pada
situasi yang dihadapi (penanggulangan) dan mencegah terulangnya KLB dimasa mendatang
(pengendalian).
52
2.Tindakan penanggulangan KLB didasari atas diketahuinya : etiologis, sumber dan cara
penularan
Salah satu upaya mengurangi kerugian akibat yang ditimbulkan oleh letusan Kejadian
Luar Biasa (KLB) suatu penyakit adalah melakukan pengamatan yang intensif dan dikenal
dengan Sistem Kewaspaspadaan Dini (SKD) terhadap penyakit potensial KLB. Kegiatan
dalam SKD diarahkan terhadap pengendalian mata rantai dan faktor-faktor yang
memungkinkan timbulnya penyakit, serta cara intervensinya sehingga dapat mengurangi
kerugian. Pelaksanaan SKD KLB yang dilakukan paa tingkat Puskesmas akan memiliki
manfaat yang besar dalam pencegahan KLB penyakit.
Dalam pelaksanaan SKD-KLB ini secara legalitas ditunjang oleh Undang- Undang
Nomor 4 tahun 1984, PP Nomor 40 tahun 1991 serta Permenkes Nomor 560 tahun 1989 dan
Permenkes Nomor 453 Tahun 1983, sehingga perumusan SKD-KLB menggunakan
pendekatan legalitas, epidemiologi dan kesisteman(5).
Sistem Kewaspadaan Dini KLB adalah sutau tatanan pengamatan yang mendukung
sikap tanggap terhadap suatu perubahan dalam masyarakat atau penyimpangan. Persyaratan
yang berkaitan dengan kecenderungan terjadinya kesakitan/kematian atau pencemaran
makanan/lingkungan sehingga dapat segera melakukan tindakan dengan cepat dan tepat untuk
mencegah/mengurangi terjadinya jatuh korban.
SKD adalah suatu tatanan pengamatan yang cermat dan teliti terhadap distribusi dan
faktor-faktor risiko kejadian yang memungkinkan terbangunnya sikap tanggap terhadap
perubahan sehingga dapat dilakukan antisipasi seperlunya .
2. Indikator
53
Adalah faktor-faktor atau tanda-tanda yang berpengaruh terhadap terjadinya
kesakitan/kematian yang dipantau terus menerus untuk mengetahui terjadinya perubahan atau
penyimpangan persyaratan.
3. Variabel SKD
Kegiatan SKD :Pengumpulan data, pengolahan, analisa data dan penyebarluasan informasi.
Tujuan SKD
3. Reaksi cepat : sebagai pedoman/ staff terlatih/bahan dan tersedia sebelum KLB
4. Effective Response : metoda penanggulangan yang tepat dan sumber daya dan logistik
yang memadai
Pelaksanaan SKD
Statistik morbiditas & mortalitas dikumpulkan oleh semua jenjang pelayanan kesehatan,
sehingga idealnya wabah dapat terdeteksi oleh jenjang pelayanan terkecil.
Namun mungkin sulit karena jumlah pasien yang diperiksa sedikit dengan wilayah terbatas.
Mana kala ada satu atau dua pasien dengan gejala tertentu tidak memperoleh perhatian dan
tidak disadari sebenarnya wabah sedang mulai berlangsung.
Biasanya terdeteksi pada level Kabupaten , sehingga perlu kriteria lokal dan tiap kasus
diplot bersama dengan data dasar dari surveilans rutin tahun sebelumnya misalnya saja variasi
54
musiman. Kriteria nilai ambang epidemik perlu ditetapkan , sehingga unit pelayanan
kesehatan di bawah tahu persis kapan harus lapor segera tentang adanya kejadian penyakit .
Hal-Hal yang dapat dilakukan untuk mencegah KLB adalah dengan jalan sebagai berikut 3):
1. Persiapan
a. Konfirmasi informasi
55
Informasi yang didapat kadang-kadang tidak lengkap bahkan tidak jelas, untuk itu
diperlukan upaya konfirmasi tentang kejelasan informasi.
- Sumber informasi dapat diperoleh dari masyarakat baik lisan maupun tulisan dan fasilitas
kesehatan.
- Gambaran tentang kasus meliputi gejala, pemeriksaan yang dilakukan untuk diagnosis dan
hasil konfirmasi ada tidaknya komplikasi, kecacatan, kelumpuhan bahkan kematian.
1. Definisi kasus
Definisi kasus sangat berguna untuk mengarahkan pencarian kasus, paling baik
ditentukan berdasarkan hasil konfirmasi laboratorium. Perumusan diagnosis kasus dalam
kalimat yang jelas merupakan hal yang penting oleh karena itu akan menjadi pedoman bagi
tim penyelidikan lapangan dalam penemuan kasus.
3. data /informasi yang diperlukan misalnya jumlah kasus, jumlah penduduk, kebiasaan
penduduk, data lingkungan.
kegiatan ini dapat dilakukan dengan mengunakan data fasilitas pelayanan kesehatan,
mencari informasi di instansi non kesehatan, dan melalui survey di masyarakat.
5. Tim dan sarana yang diperlukan sesuai dengan jenis KLB, misal sanitasi, entomolog, analis
dll
2. Pelaksanaan
a. Penegakan diagnosis
56
Penegakan diagnosis dilakukan dengan cara menghitung distribusi frekuensi dari
tanda dan gejala yang ditemukan pada kasus dengan membuat daftar gejala yang ada pada
kasus dan menghitung persentasenya. Susunan berdasarkan pada frekuensi gejala dan tanda
penderita kemudian dicocokan dengan tanda dan gejala klinis penderita penyakit tertentu,
sehingga kejadian ini dapat dikelompokan menjadi kasus atau bukan. Penentuan laboratorium
diperlukan untuk konfirmasi diagnosis dan menentukan type prganisme penyebab sakit serta
pengobatan yang cepat dan tepat.
b. Penentuan KLB
Penentuan KLB bertujuan menetapkan apakah kejadian tesebut merupakan KLB atau
bukan, dilakukan dengan membandingkan insiden penyakit yang telah berjalan dengan
insiden penyakit dalam keadaan biasa pada populasi yang berisiko pada tempat dan waktu
tertentu. Hal ini dapat dilakukan dengan melihat pola maksimum dan minimum 5 tahunan
atan 3 tahunan, membandingkan penyakit pada minggu.bulan/tahun sebelumya. Untuk
memastikan KLB sebaiknya dilakukan pola analisis secara komperhensif tidak hanya kasus
tetapi termasuk informasi fektor, lingkungan dan prilaku penduduk.
Identifikasi kasus yang paling baik adalah berdasarkan hasil konfirmasi laboratorium,
namun demikian berdasarkan gejala klinis dapat dipakai sebagai identifikasi kasus di
lapangan saat penyidikakan. Identifikasi paparan dapat ditentukan melalui analisis kurva
epidemic sehingga dapat diperkirakan indeks kasus (siapa yang pertama kali terkena) dan
waktu paparan (kapan penularan itu terjadi). Informasi yang penting adalah landasan teori
tentang cara penularan penyakit. Identifikasi paparan akan membantu mengidentifikasi
penularan serta membantu mendiagnosa dengan lebih baik.
e. Merumuskan hipotesis
57
Setelah di ketahui adanya laporan kemudian diambil hipotesis dengan merujuk teoro
yang telah ada.
VI. Kesimpulan
Dr. Bagus sebagai dokter di Puskesmas Maju tidak melakukan surveilans epidemiologi
secara rutin sehingga terjadi KLB (Kejadian Luar Biasa).
DAFTAR PUSTAKA
John TJ, Samuel R.2000.Herd Immunity and Herd Effect: New Insights and Definitions. Eur. J.
Epidemiol. 16 (7): 6016.
History and Epidemiology of Global Smallpox Eradication From the training course titled
Smallpox: Disease, Prevention, and Intervention. The CDC and the World Health
Organization. Slide 16-17.pdf
59