Anda di halaman 1dari 60

LAPORAN

TUTORIAL D BLOK 25

Disusun oleh:
KELOMPOK L2

Anggota Kelompok:
Maulia Wisda Era C 04111001010
Rizki Permata Sari 04111001013
Melinda Rahmadianti 04111001014
Tiara Eka M 04111001035
Mary Gisca T 04111001036
Johannes Lie 04111001038
Nuraidah 04111001039
Fitri Maya Anggraini 04111001040
Agien Tri Wijaya 04111001041
Maghfiroh Rahayu N 04111001050
M. Hadley Aulia 04111001052
Dodi Maulana 04111001096
Muchtar Luthfi 04111001142
Sobarullah 04091001052

Tutor: dr. Msy. Rulan

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
TAHUN 2014

0
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT karena atas ridho dan karunia-Nya, laporan tutorial
Skenario D Blok 25 ini dapat terselesaikan dengan baik.
Adapun laporan ini bertujuan untuk memenuhi rasa ingin tahu akan penyelesaian dari
skenario yang diberikan, sekaligus sebagai tugas tutorial yang merupakan bagian dari sistem
pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Tim Penyusun mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan
laporan ini.
Tak ada gading yang tak retak. Tim Penyusun menyadari bahwa dalam pembuatan laporan ini
masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik pembaca akan sangat
bermanfaat bagi revisi yang senantiasa akan penyusun lakukan.

Tim Penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................... 1
DAFTAR ISI.................................................................................................................... 2
I. SKENARIO......................................................................................................... 3
II. KLARIFIKASI ISTILAH.................................................................................... 4
III. IDENTIFIKASI MASALAH............................................................................... 4
IV. ANALISIS MASALAH...................................................................................... 5
V. SINTESIS............................................................................................................ 39
VI. KESIMPULAN.................................................................................................... 61
VII. DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 62

I. Skenario D Blok 25

2
Di Puskesmas Maju dengan penduduk 30.000 jiwa, dr. Bagus bersama timnya tidak
melakukan surveilan epidemiologi secara rutin, sehingga mereka tidak memahami riwayat
alamiah penyakit dan tahap perjalan penyakit yang berpotensi KLB. Pada bulan Januari s/d
Maret tahun 2013, terjadi peningkatan kasus DBD yang baru disadari setelah terjadi peningkatan
jumlah pasien yang dikirim ke RSU Daerah, karena perawatan darurat yang disiapkan di
puskesmas tidak bisa lagi menampung pasien yang indikasi dirawat. Puskesmas Maju
sebenarnya belum memiliki fasilitas untuk pasien rawat inap. Setelah mengalami peristiwa
tersebut dr. Bagus melakukan evaluasi dan menyadari bahwa stafnya belum memiliki
pemahaman dan keterampilan mengenai surveilans. Dr. Bagus mulai menyusun perencanaan
supaya kegiatan surveilans bisa dilakukan secara rutin, dan melatih tenaga perawat dan bidannya
memahami keterampilan penyelidikan wabah, studi epidemiologi, dan kegiatan statistika yang
terkait dengan surveilans dan penyelidikan wabah.

Tujuan Pembelajaran

1. Menjelaskan pentingnya surveilans dan pendekatan epidemiologi


2. Menjelaskan investigasi/penyelidikan KLB/wabah
3. Menjelaskan desain epidemiologi
4. Menjelaskan tekhnik pencegahan dan penannggulangan KLB

II. Klarifikasi Istilah


1. Surveilans epidemiologi : pengumpulan dan analisa data epidemiologi yang akan
digunakan sebagai dasar dalam kegiatan-kegiatan dalam bidang pencegahan dan
penanggulangan penyakit
2. KLB : timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan atau kematian yang bermakna
secara epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu.

3
3. Wabah : kejadian terjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang
jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi daripada keadaan yang lazim
pada waktu dan daerah tertentu, serta dapat menimbulkan malapetaka.
4. Studi epidemiologi : ilmu yang mempelajari distribusi dan determinan frekuwnsi
penyakit serta status kesehatan pada populasi manusia.
5. Kegiatan statistika : kegiatan tentang pengumpulan, pengolahan, penyajian serta
analisa data yang dilanjutkan dengan penarikan kesimpulan serta pembuatan
keputusan yang beralasan berdasarkan hasill analisa yang dilakukan.

III. Identifikasi Masalah


1. Dr. Bagus bersama timnya tidak melakukan surveilans epidemiologi secara rutin,
sehingga mereka tidak memahami riwayat alamiah penyakit dan tahap perjalanan
penyakit yang berpotensi KLB di Puskesmas Maju dengan penduduk 30.000 jiwa.
2. Pada bulan Januari s/d Maret tahun 2013, terjadi peningkatan kasus DBD yang baru
disadari setelah terjadi peningkatan jumlah pasien yang dikirim ke RSU Daerah, karena
perawatan darurat yang disiapkan di puskesmas tidak bisa lagi menampung pasien yang
indikasi dirawat.
3. Puskesmas Maju sebenarnya belum memiliki fasilitas untuk pasien rawat inap.
4. Setelah mengalami peristiwa tersebut dr. Bagus melakukan evaluasi dan menyadari
bahwa stafnya belum memiliki pemahaman dan keterampilan mengenai surveilans.
5. Dr. Bagus mulai menyusun perencanaan supaya kegiatan surveilans bisa dilakukan secara
rutin, dan melatih tenaga perawat dan bidannya memahami keterampilan penyelidikan
wabah, studi epidemiologi, dan kegiatan statistika yang terkait dengan surveilans dan
penyelidikan wabah.

IV. Analisis Masalah


1. Bagaimana pentingnya surveilans epidemiologi ? Dan siapa yang mengaturnya ?
Jawab :

Proses pengamatan secara teratur dan terus menerus terhadap semua aspek
penyakit tertentu, baik keadaan maupun penyebarannya dalam suatu masyarakat
tertentu untuk kepentingan pencegahan dan penanggulangan. Dalam sistem ini yang
dimaksud dengan surveilans epidemiologi adalah kegiatan analisis secara sistematis dan
terus menerus terhadap penyakit atau masalah-masalah kesehatan dan kondisi yang
mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau masalah-masalah

4
kesehatan tersebut, agar dapat melakukan tindakan penanggulangan secara efektif dan
efisien melalui proses pengumpulan data, pengolahan, analisis, interpreasi yang
sistematis dan penyebaran informasi epidemiologi kepada penyelenggara program
kesehatan.
Informasi yang dihasilkan berguna untuk perencanaan pelaksanaan dan penilaian
program atau upaya kesehatan masyarakat. Data surveilan dapat dipakai untuk menentukan
kebutuhan akan upaya kesehatan masyarakat atau menilai efektifitas dari
suatu program kesehatan masyarakat. Surveilans dipergunakan untuk mengetahui informasi
yang up to date mengenai penyakit di masyarakat, informasinya berguna untuk:
1. Memonitor program yang sedang berjalan
2. Mengevaluasi hasil program

3. Sistim kewaspadaan dini (dengan form mingguan)

Dalam pengertian diatas maka surveillans adalah pengumpulan data atau


informasi untuk menentukan tindakan.

Tujuan surveilans epidemiologi tersedianya data dan informasi epidemiologi sebagai


dasar manajemen kesehatan untuk pengambilan keputusan dalam perencanaan,
pelaksanaan, pemantauan, evaluasi program kesehatan dan peningkatan
kewaspadaan serta respon kejadian luar biasa yang cepat dan tepat secara
menyeluruh

Manfaat surveilans epidemiologi (a)Deteksi Perubahan akut dari penyakit yang terjadi
dan distribusinya (b).Identifikasi dan perhitungan trend dan pola penyakit (c).Identifikasi
kelompok risiko tinggi menurut waktu, orang dan tempat (d).Identifikasi faktor risiko dan
penyebab lainnya (e).Deteksi perubahan pelayanan kesehatan yang terjadi (f).Dapat
memonitoring kecenderungan penyakit endemis (g).Mempelajari riwayat alamiah penyakit
dan epidemiologinya (h).Memberikan informasi dan data dasar untuk proyeksi kebutuhan
pelayanan kesehatan dimasa datang (i).Membantu menetapkan masalah kesehatan prioritas
dan prioritas sasaran program pada tahap perencanaan. Inti kegiatan surveilans pada
akhirnya adalah bagaimana data yang sudah dikumpul, dianalisis, dan dilaporkan ke
stakeholder atau pemegang kebijakan untuk ditindaklanjuti dalam pembuatan program
intervensi yang lebih baik untuk menyelesaikan masalah kesehatan di Indonesia

Contoh kerangka berfikir dalam surveilance :


5
2. Bagaimana cara melakukan surveilans epidemiologi berdasarkan :

a. Cara pengmbilan
Jawab :
Pengumpulan data merupakan awal dari rangkaian kegiatan untuk memproses data selanj
utnya. Data yang dikumpulkan memuat informasi epidemiologi yang dilaksanakan secara
teratur dan terus menerus dan dikumpulkan tepat waktu. Pengumpulan data dapat bersifat
pasif yang bersumber dari Rumah sakit, Puskesmas dan lain-lain, maupun aktif yang
6
diperoleh dari kegiatan survei (Budioro, 1997). Surveilans aktif dilakukan dengan cara
kunjungan ke unit sumber data di puskesmas, rumah sakit, laboratorium serta langsung di
masyarakat atau sumber data lainnya seperti pusat riset dan penelitian yang berkaitan
secara sistematik dan terus-menerus. Menurut WHO, sumber data surveilans antara lain:
1) Pencatatan angka kematian
2) Laporan penyakit
3) Laporan hasil pemeriksaan laboratorium
4) Penyelidikan atau laporan penyakit yang dilakukan secara perorangan
5) Survei
6) Penyelidikan distribusi vektor dan reservoir penyakit pada hewan
7) Data kependudukan dan lingkungan
8) Laporan wabah atau kejadian luar biasa (KLB)
9) Penggunaan obat-obatan dan bahan-bahan
10) Data lain serta catatan medik RS, absensi anak sekolah/ pekerja, survei rumah tangga
danlain-lain.
Sedangkan format laporan untuk pengumpulan data dari semua UPK, antara lain:
1) SP2TP :
- LB1 (laporan bulanan penyakit)
- LB2 (laporan kematian bulanan)
- LB3 (laporan cakupan program triwulan)
- LB4 (laporan obat dan logistik triwulan)
2) SP2RS :
- RL2a (laporan bulanan jenis penyakit rawat jalan)
- RL2b (laporan bulanan jenis penyakit rawat inap)
- RL2c (laporan bulanan PD3I yang dirawat)
3) W1 : laporan wabah atau KLB
4) W2 : laporan mingguan monitor penyakit KLB
5) SST : laporan bulanan dari surveilan sentinel penyakit tertentu
6) Laporan kegiatan sektor terkait
7) Laporan dari masyarakat

Dalam surveilans epidemiologi, data yang di dapat biasanya berupa masalah kesehat
an seperti kesakitan, sindrome, gangguan lingkungan sekitar atau masalah kesehatan lain
nya. Setelah itu data dapat dikumpulkan dengan dukungan berbagai sumber seperti lapor
an puskesmas, laporanrumah sakit, survey, laporan laboratorium. Pengumpulan data ini h
arus memperhatikan beberapa indikator, diantaranya jumlah atau rate ,angka kesakitan &
angka kematian, variabel yang diperlukan dan numerator serta denumerator yang dipakai.
Setelah dikumpulkan, data akan dilaporkan ke Pemerintah bidang kesehatan masyarakat.
7
Pelaporan data bisa dalam bentuk laporan harian, mingguan dan bulanan.Pengumpula
n data dilakukan dengan mengadakan pencatatan insidensi terhadap orang-orang yang
dianggap penderita malaria atau population at risk melalui kunjungan rumah (active
surveillance) atau pencatatan insidensi berdasarkan laporan sarana pelayanan kesehatan
yaitu dari laporan rutin poli umum setiap hari, laporan bulanan Puskesmas desa dan
Puskesmas pembantu, laporan petugas surveilans di lapangan, laporan harian dari
laboratorium dan laporan dari masyarakat serta petugas kesehatan lain (pasive
surveillance). Atau dengan kata lain, data dikumpulkan dari unit kesehatan sendiri dan
dari unit kesehatan yang paling rendah, misalnya laporan dari Pustu, Posyandu, Barkesra,
Poskesdes (Arias, 2010).
Proses pengumpulan data diperlukan sistem pencatatan dan pelaporan yang baik. Secara
umum pencatatan di Puskesmas adalah hasil kegiatan kunjungan pasien dan kegiatan luar
gedung. Sedangkan pelaporan dibuat dengan merekapitulasi data hasil pencatatan dengan
menggunakan formulir tertentu, misalnya form W1 Kejadian Luar Biasa (KLB) , form
W2 (laporan mingguan) dan lain-lain (Noor, 2000).

b. Cara pengolahan
Jawab :

Apabila datanya sederhana dan jumlah masing-masing variabel tidak terlalu banyak,
biasanya hanya dimanfaatkan tabel saja, sedangkan apabila datanya kompleks, maka
grafik dan peta dapat mempermudah memahami kecenderungan, variasi dan
perbandingan-perbandingan.

Data yang sudah terkumpul dari kegiatan diolah dan disajikan dalam bentuk tabel,
grafik (histogram, poligon frekuensi), chart (bar chart, peta/map area). Penggunaan
komputer sangat diperlukan untuk mempermudah dalam pengolahan data diantaranya
dengan menggunakan program (software) seperti epid info, SPSS, lotus, exceldan lain-
lain. Dalam melakukan pengolahan data surveillance terdapat empat kriteria pengolahan
data yang baik :

Pengolahan data merupakan proses yang sangat penting dalam penelitian. Oleh karena
itu, harus dilakukan dengan baik dan benar. Kegiatan dalam proses pengolahan data
adalah :

1. Memeriksa data (editing)

8
Editing ialah memeriksa data yang telah dikumpulkan dengan baikberupa daftar
pertanyaan, kartu atau buku register.

Yang dilakukan pada kegiatan memeriksa data ialah :


a. Menjumlah. Menjumlah ialah menghitung banyaknya lembaran daftar pertanyaan yang
telah diisi untuk mengetahui apakah sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan.
b. Koreksi. Yang termasuk dalam proses koreksi ialah proses membenarkan atau
menyelesaikan hal-hal yang salah atau kurang.

2. Memeriksa kode (coding)

Untuk mempermudaah pengolahan, sebaiknya semua variaberl diberi kode terutama


data klasifikasi, misalnya jenis kelamin diberi kode 1dan wanita diberi kode 2.

Meskipun pemberian kode dapat mempermudah pengolahan, tetapi pekerjaan ini


harus dilakukan dengan seteliti mungkin karena mudah menimbulkan kesalahan dalam
pemberian kode atau dalam memasukkan data.

Pemberian kode dapat dilakukan sebelum atau sesudah pengumpulan data


dilaksanakan. Dalam pengolahan selanjutnya kode-kode tersebut dikembalikan lagi
pada variabel aslinya.

3. Menyusun data (tabulating)/data entry.

Penyusunan data merupakan pengorganisasian data sedemikian rupa agar dengan


mudah dapat dijumlah, disusun, dan ditata untuk disajikan dan dianalisis.

c. Perencanaan
Jawab :

Tahap perencanaan adalah tahap awal dalam melakukan surveilan epidemiologi. Tahap
ini dimulai dengan penetapan tujuan, penentuan definisi kasus, perencanaan perolehan
data, teknik pengumpulan data, teknik analisis dan mekanisme penyebarluasan informasi.

d. Sumber dan evaluasi


Jawab :

Sumber data Surveilans epidemiologi meliputi :


9
1) Data kesakitan yang dapat diperoleh dari unit pelayanan kesehatan dan masyarakat.

2) Data kematian yang dapat diperoleh dari unit pelayanan kesehatan serta laporan dari
kantor pemerintah dan masyarakat.

3) Data demografi yang dapat diperoleh dari unit statistik kependudukan dan masyarakat.

4) Data geografi yang dapat diperoleh dari Unit meteorologi dan Geofisika

5) Data laboratiorium yang dapat diperoleh dari unit pelayanan kesehatan dan masyarakat

6) Data Kondisi lingkungan

7) Laporan wabah

8) Laporan Penyelidikan wabah/KLB

9) Laporan hasil penyelidikan kasus perorangan

10) Studi epidemiologi dan haisl penelitian lainnya

11) Data hewan dan vektor sumber penularan penyakit yang dapat diperoleh dari unit
pelayanan kesehatan dan masyarakat.

12) Laporan kondisi pangan

13) Data dan informasi penting lainnya.

Evaluasi Surveilans Epidemiologi :


1. Menjamin bahwa permasalahan kesehatan dipantau secara efektif dan efisien
2. Mengetahui kualitas informasi yang dihasilkan oleh sistem surveilans
3. Mengetahui peran dan dampak surveilans dalam menunjang tujuan program kesehatan
dan pembuatan kebijakan
4. Mengetahui kelebihan dan kekurangan sistem surveilans yang sedang berjalan
5. Mengetahui manfaat surveilans bagi stakeholder.

e. Analisis data
Jawab :
Analisis merupakan langkah penting dalam surveilans epidemiologi karena akan
dipergunakan untuk perencanaan, monitoring dan evaluasi serta tindakan pencegahan dan
penanggulangan penyakit. Kegiatan ini menghasilkan ukuran-ukuran epidemiologi seperti
rate, proporsi, rasio dan lain-lain untuk mengetahui situasi, estimasi dan prediksi
penyakit. Data yang sudah diolah selanjutnya dianalisis dengan membandingkan data
bulanan atau tahun-tahun sebelumnya, sehingga diketahui ada peningkatan atau
10
penurunan, dan mencari hubungan penyebab penyakit DBD dengan faktor resiko yang
berhubungan dengan kejadian DBD.
Data yang terkumpul dari kegiatan surveilans epidemiologi diolah dan disajikan
dalam bentuk tabel situasi demam berdarah tiap puskesmas, RS maupun daerah. serta
tabel endemisitas dan grafik kasus DBD per minggu/bulan/tahun. Analisis dilakukan
dengan melihat pola maksimal-minimal kasus DBD, dimana jumlah penderita tiap
tahun ditampilkan dalam bentuk grafik sehingga tampak tahun dimana terjadi terdapat
jumlah kasus tertinggi (maksimal) dan tahun dengan jumlah kasus terendah (minimal).
Kasus tertinggi biasanya akan berulang setiap kurun waktu 35 tahun, sehingga
kapan akan terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) dapat diperkirakan. Analisis juga
dilakukan dengan membuat ratarata jumlah penderita tiap bulan selama 5 tahun, dimana
bulan dengan ratarata jumlah kasus terendah merupakan bulan yang tepat untuk
intervensi karena bulanberikutnya merupakan awal musim penularan.
Analisis merupakan langkah penting dalam surveilans epidemiologi karena akan
dipergunakan untuk perencanaan,monitoring dan evaluasi serta tindakan pencegahan dan
penanggulangan penyakit. Kegiatan ini menghasilkan ukuran-ukuran epidemiologi seperti
rate, proporsi, rasio dan lain-lain untuk mengetahui situasi, estimasi dan prediksi
penyakit.
Dalam program pemberantasan DBD dikenal beberapa indikator yang diperoleh dari
hasil analisis data yaitu:

1. Angka kesakitan / CFR (Case Fatality Rate) merupakan jumlah kasus DBD
disuatu wilayah tertentu selama 1 tahun tiap 100ribu penduduk.
2. Angka kematian / IR (Insidence Rate) adalah banyaknya penderita DBD yang
meninggal dari seluruh penderita DBD di suatu wilayah.
3. ABJ (Angka Bebas Jentik)/ Case fatality rate didefinisikan sebagai prosentase
rumah yang bebas dari jentik dari seluruh rumah yang diperiksa.
Puskesmas, Rumah Sakit, Laboratorium, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas
kesehatan Propinsi dan Ditjen PPM&PL Depkes berperan dalam penyelenggaraan
Surveilans Terpadu Penyakit bersumber data Puskesmas (STP Puskesmas), Rumah Sakit
(STP Rumah Sakit) dan Laboratorium (STP Laboratorium).
- Unit surveilans Puskesmas
- Unit surveilans Rumah Sakit
- Unit surveilans Laboratorium
- Unit surveilans Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
- Unit surveilans Dinas Kesehatan Propinsi
- Unit surveilans Ditjen PPM&PL Depkes
Interpretasi

11
Disamping menghasilkan informasi untuk pihak puskesmas dan DKK, informasi juga
harus disebarluaskan kepada stakeholder yang lain seperti Camat dan lurah,lembaga swadaya
masyarakat, Pokja/Pokjanal DBD dan lain-lain. Penyabarluasan informasi dapat berbentuk
laporan rutin mingguan wabah dan laporan insidentil bila terjadi KLB.

Implementasi
Data surveilans DBD didapatkan dari Ditjen PP & PL Depkes RI tahun 2009 yang
disajikan dalam bentuk tabel, grafik yang menjelaskan penyebaran penyakit DBD di
Indonesia. Penyebaran kasus DBD dilihat dari tahun 1968 2009 di seluruh provinsi di
Indonesia yang disajikan dalam bentuk tabel. Dari data surveilans tersebut juga dapat dilihat
Angka Insiden ( AI ) / Insident Rate ( IR ) berdasarkan 100.000 penduduk dari tahun 1968
2009. JIka terjadi peningkatan kasus DBD tiap tahunnya maka harus dilakukan program
pengendalian DBD dan menjadi perhatian utama pada tingkat Kota/Kabupaten maupun
Puskesmas.
Selain itu, dengan menggunakan data surveilans, Angka Insiden pada tahun 2009 di
setiap Provinsi dapat diketahui. Hasil analisi ini dapat disajikan menggunakan grafik sehingga
dapat diketahui Provinsi mana saja yang mengalami kasus DBD tertinggi maupun terendah.
Selain Analisis data surveilans DBD menurut tempat dan waktu, analisis juga dilakukan
menurut orang dengan menghitung Angka Insiden berdasarkan kelompok umur dan Jenis
Kelamin. Dari data yang ada, dapat dihitung pula Angka Kematian / Case Fatality Rate
( CFR ) berdasarkan provinsi di Indonesia.
Jika data surveilans didapatkan dari laporan kasus rawat inap dan kasus rawat jalan
pasien DBD di RS dari tahun 2004-2008 dan tidak diketahui jumlah rumah sakit yang
melaporkan dari tahun ke tahun, sehingga sulit menganalisis atau menginterpretasi data
tersebut. Dari data ini tampak cukup banyak pasien DBD yang di rawat jalan, sehingga perlu
dilakukan validasi data apakah pasien rawat jalan adalah pasien kontrol pasca rawat inap saja
atau pasien lama diitambah dengan pasien baru.
Selain laporan dari Puskesmas, RS, Dinkes dll. Analisis juga dapat menggunakan
faktor- faktor yang mempengaruhi kejadian DBD seperti perubahan iklim dapat
memperpanjang masa penularan penyakit yang ditularkan melalui vektor dan mengubah luas
geografinya, dengan kemungkinan menyebar ke daerah yang kekebalan populasinya rendah
atau dengan infrastruktur kesehatan masyarakat yang kurang. Selain perubahan iklim faktor
risiko yang mungkin mempengaruhi penularan DBD adalah faktor lingkungan, urbanisasi,
mobilitas penduduk, kepadatan penduduk dan transportasi.
12
Selain itu, laporan KLB yang didapatkan dari Puskesmas, RS, Dinkes dll dapat
digunakan untuk analisis hubungannya dengan IR maupun CFR pada setiap provinsi. Yang
kemudian hasil analisis ini dapat digunakan sebagai landasan atau acuan Puskesmas, RS,
Dinkes dll. Untuk membuat upaya program pencegahan DBD.

f. Penyebaran info dan penyimpanan


Jawab :
Penyebarluasan informasi dapat dilakukan ketingkat atas maupun ke bawah. Dalam
rangka kerja sama lintas sektoral instansi-instansi lain yang terkait dan masyarakat juga
menjadi sasaran kegiatan ini. Untuk diperlukan informasi yang informatif agar mudah
dipahami terutama bagi instansi diluar bidang kesehatan (Budioro, 1997).
Penyebarluasan informasi yang baik harus dapat memberikan informasi yang
mudah dimengerti dan dimanfaatkan dalam menentukan arah kebijakan kegiatan, upaya
pengendalian serta evaluasi program yang dilakukan. Cara penyebarluasan informasi
yang dilakukan yaitu membuat suatu laporan hasil kajian yang disampaikan kepada
atasan, membuat laporan kajian untuk seminar dan pertemuan, membuat suatu tulisan di
majalah rutin, memanfaatkan media internet yang setiap saat dapat di akses dengan
mudah.
3. Siapa yang berhak melakukan surveilans epidemiologi ?
Jawab :

Penyelenggaraan Surveilans Epidemiologi Kesehatan wajib dan berhak dilakukan


oleh setiap instansi kesehatan Pemerintah, instansi Kesehatan Propinsi, instansi kesehatan
kabupaten/kota dan lembaga masyarakat dan swasta baik secara fungsional atau
struktural. Surveilans idealnya dilakukan oleh seorang dokter atau epidemiologist yang
dibantu oleh staf kesehatan.

13
Pada kasus DBD yang bertangungjawab melakukan surveilans adalah petugas
kesehatan, juru pemantau jentik dan tim pemberantasan nyamuk di sekolah dan
masyarakat.

4. Apa saja faktor yang menghambat surveilans epidemiologi ?


Jawab :

1).Kerjasama lintas sektoral


Surveillens epidemiologi harus bekerjasama dengan berbagai sektor yang berkaitan
dengan kesehatan, kerjasama tersebut membutuhkan partisipasi yang penuh untuk
tercapainya pemecahan masalah kesehatan, kadang kala sektor yang lain mempunyai
pertisipasi yang rendah dalam kerjasama lintas sektoral tersebut.

2).Partisipasi masyarakat rendah

Surveillens epidemiologi yang memang menangani masalah kesehatan masyrakat


eharusnya benar-benar menggali informasi dari masyarakat dan penanganannyapun
hasrus dengan masyarakat, sering dijumpai partsipasi masyarakat dalam pengambilan
informasi dari petugas kesehatan berbelitbelit dan cenderung enutup-nutupi.

3).Sumber daya

- Jumlah tenaga yang kurang untuk mengcover kegiatan PE


- Banyaknya tugas rangkap.

4).Ilmu pengetahuan dan teknologi

Surveillans epidemiologi membutuhkan teknologi teknologi untuk mempercepat deteksi


din, analisis penanggulangan dan penanggulangan masalah kesehaatan, kondisi di
lapangan seringkali tenologi di laboratorium sering lambat sehingga mengganggu tahap
deteksi dini dan penanganan kasus akan terlambat.

5).Kebijakan

Seringkali kebijakan dari pemerintah dirasa masih menghambat dalam pelaksanaan


surveilans. Contohnya saja baru ditangani apabila memang sudah menjadi KLB.
Birokrasi pemerintahan yang rumit sering menjadi kendala dalam melakukan surveilans.

14
Kebijakan yang belum dipahami petugas juga menjadi kendala dalam pelaksanaan
surveilans.

6).Dana

Kegiatan surveilans ini tidak membutuhkan dana yang sedikit juga. Sering kali
permasalahan dana menjadi penghambat dalam melakukan surveilans.

7).Jarak dan Transportasi

Lokasi yang jauh dari perkotaan dan minimnya transportasi membuat kegiatan surveilans
terhambat. Sering kali jarak membuat kegiatan surveilans berlangsung berhari-hari
karena transportasi yang minim dan jarak yang jauh. Kondisi jalan juga mempengaruhi.

8). Laporan yang tidak lengkap.


Laporan kasus rawat inap dan kasus rawat jalan pasien DBD di RS dari tahun 2004-2008
tidak diketahui. jumlah rumah sakit yang melaporkan dari tahun ke tahun, sehingga sulit
menganalisis atau menginterpretasi data tersebut. Dari data ini tampak cukup banyak
pasien DBD yang di rawat jalan, sehingga perlu dilakukan validasi data apakah pasien
rawat jalan adalah pasien kontrol pasca rawat inap saja atau pasien lama diitambah
dengan pasien baru.

9). Sistem laporan yang belum terintegrasi.


Berdasarkan laporan yang bersumber dari Ditjen.PP&PL dan laporan yang bersumber
dari Ditjen.Yanmed tampak perbedaan jumlah kasus DBD yang dilaporkan. Hal ini
kemungkinan karena sistem laporan DBD belum terintegrasi dan belum ada mekanisme
tukar menukar (sinkronisasi) antara data Puskesmas dan data RS di Kab/Kota. Sistem
pelaporan kasus DBD perlu diperkuat agar bisa mendapatkan data yang valid, dengan
membangun sistem tukarmenukarndata antara data Puskesmas dan data RS.
Permasalahan yang dapat menghambat surveilans:
- Data tidak dianalisis
- Feedback pada sumber data sangat jarang
- Banyak beban pada sumber data
- Pengiriman data yang kurang cepat dan tepat

5. Apa saja faktor yang mendukung surveilans epidemiologi ?


Jawab :

15
Pendukung surveilans yaitu pelatihan dan supervisi, penguatan laboratorium, penyediaan
sumber daya manusia dan laboratoriumnya cukup,komunikasi yang baik, dan manajemen
sumber daya,kegiatan surveilans disupervisi.

6. Apa saja syarat puskesmas untuk memiliki ruang Rawat Inap ?


Jawab :

Beberapa kriteria Puskesmas Rawat Inap, sebagai sebuah Pusat Rujukan Antara bagi
penderita gawat darurat sebelum dibawa ke RS, antara lain sebagai berikut:

Puskesmas terletak kurang lebih 20 km dari Rumah Sakit


Puskesmas mudah dicapai dengan kendaraan bermotor
Puskesmas dipimpin oleh dokter dan telah mempunyai tenaga yang memadai
Jumlah kunjungan Puskesmas minimal 100 orang per hari
Penduduk wilayah kerja Puskesmas dan penduduk wilayah 3 Pus kesmas di sekitarnya
minimal 20.000 jiwa per Puskesmas
Pemerintah Daerah bersedia menyediakan dana rutin yang memadai.

7. Jelaskan perbedaan KLB dan Wabah!


Jawab :
Wabah merupakan kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular di masyarakat yang
jumlah penderitanya secara nyata meningkat melebihi dari pada keadaan yang lazim pada
waktu dan daerah tertentu serta menimbulkan malapetaka (UU N0 4, 1984). Di dalam
membahas wabah ditemukan istilah Herd Immunity. Herd Immunity menjelaskan
bentuk kekebalan yang terjadi ketika vaksinasi dari sebagian besar dari penduduk (atau
kelompok) memberikan ukuran perlindungan bagi individu yang belum mengembangkan
kekebalan. Teori kekebalan Herd menyatakan bahwa dalam penyakit menular yang
ditularkan dari individu ke individu rantai infeksi mungkin akan terganggu ketika sejumlah
besar populasi kebal terhadap penyakit. Semakin besar proporsi individu yang kebal,
semakin kecil kemungkinan bahwa individu rentan akan datang ke dalam kontak dengan
individu menular.
Status Kejadian Luar Biasa diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
949/MENKES/SK/VII/2004 yaitu timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan atau
kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu
tertentu. Suatu penyakit atau keracunan dapat dikatakan KLB apabila memenuhi kriteria
sebagai berikut :
16
1. Timbulnya suatu penyakit/penyakit menular yang sebelumnya tidak ada/tidak dikenal.
2. Peningkatan kejadian penyakit/kematian terus-menerus selama 3 kurun waktu
berturut-turut menurut jenis penyakitnya (jam, hari, minggu, bulan, tahun).

3. Peningkatan kejadian penyakit/kematian, dua kali atau lebih dibandingkan dengan


periode sebelumnya (hari, minggu, bulan, tahun).

4. Jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukkan kenaikan dua kali lipat atau
lebih bila dibandingkan dengan angka rata-rata perbulan dalam tahun sebelumnya.

5. Angka rata-rata perbulan selama satu tahun menunjukkan kenaikan dua kali lipat atau
lebih dibandingkan dengan angka rata-rata per bulan dari tahun sebelumnya.

6. Case Fatality Rate (CFR) dari suatu penyakit dalam suatu kurun waktu tertentu
menunjukkan kenaikan 50% atau lebih dibanding dengan CFR dari periode sebelumnya.

7. Propotional rate (PR) penderita baru dari suatu periode tertentu menunjukkan
kenaikan dua kali atau lebih dibanding periode yang sama dan kurun waktu atau tahun
sebelumnya.

8. Beberapa penyakit khusus : kolera, DHF/DSS

Setiap peningkatan kasus dari periode sebelumnya (pada daerah endemis).

Terdapat satu atau lebih penderita baru dimana pada periode 4 minggu
sebelumnya daerah tersebut dinyatakan bebas dari penyakit yang bersangkutan.

9. Beberapa penyakit yang dialami 1 atau lebih penderita :

Keracunan makanan

Keracunan pestisida

Wabah harus mencakup:

- Jumlah kasus yang besar.

- Daerah yang luas .

- Waktu yang lebih lama.

17
- Dampak yang timbulkan lebih berat.

8. Bagaimana cara penyelidikan KLB dan Wabah ?


Jawab :

Langkah Investigasi wabah

Langkah melakukan investigsi wabah dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang


sistemik yang terdiri dari :

4. Persiapan Investigasi di Lapangan

Persiapan dapat dikelompokkan dalam 3 kategori yaitu:

a) Investigasi : pengetahuan ilmiah perlengkapan dan alat

b) Administrasi : prosedur administrasi termasuk izin dan pengaturan perjalanan

c) Konsultasi : peran masing masing petugas yang turun kelapangan

5. Pemastian Adanya Wabah

Dalam mementukan apakah wabah, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :

a) Dengan membandingkan jumlah yang ada saat itu dengan jumlah beberapa minggu atau
bulan sebelumnya.

b) Menentukan apakah jumlah kasus yang ada sudah melampaui jumlah yang diharapkan.

c) Sumber informasi bervariasi bergantung pada situasinya

Catatan hasil surveilans

Catatan keluar dari rumah sakit, statistic kematian, register, dan lain-lain.

Bila data local tidak ada, dapat digunakan rate dari wilayah di dekatnya atau data
nasional.

Boleh juga dilaksanakan survey di masyarakat menentukan kondisi penyakit yang


biasanya ada.

18
d) Pseudo endemik ( jumlah kasus yang dilaporkan belum tentu suatu wabah ) :

Perubahan cara pencatatan dan pelaporan penderita

Adanya cara diagnosis baru

Bertambahnya kesadaran penduduk untuk berobat

Adanya penyakit lain dengan gejala yang serupa

Bertambahnya jumlah penduduk yang rentan

6. Pemastian Diagnosis

Semua temuan secara klinis harus dapat memastikan diagnosis wabah, hal yang harus
diperhatikan adalah sebagai berikut :

a) Untuk memastikan bahwa masalah tersebut telah didiagnosis dengan patut

b) Untuk menyingkirkan kesalahan laboraturium yang menyebabkan peningkatan kasus


yang dilaporkan

c) Semua temuan klinis harus disimpulakan dalam distribusi frekuensi

d) Kunjungan terhadap satu atau dua penderita

7. Pembuatan Definisi Kasus

Pembuatan definisi kasus adalah seperangkat criteria untuk menentukan apakah seseorang
harus dapat diklasifikasikan sakit atau tidak. Kriteria klinis dibatasi oleh waktu, tempat, dan
orang. Penyelidikan sering membagi kasus menjadi
pasti ( compirmed), mungkin ( probable), meragukan ( possible ), sensivitasdan spefsifitas.

8. Penemuan dan Penghitungan Kasus

Metoda untuk menemukan kasus yang harus sesuai dengan penyakit dan kejadian yang
diteliti di fasilitas kesehatan yang mampu memberikan diagnosis. Informasi berikut ini
dikumpulakan dari setiap kasus :

a) Data identifikasi ( nama, alamat, nomor telepon )

b) Data demografi ( umur, jenis kelamin, ras, dan pekerjaan )

19
c) Data klinis

d) Faktor risiko, yang harus dibuat khusus untuk tiap penyakit

e) Informasi pelapor untuk mendapatkan informasi tambahan atau member umpan balik

2. Epidemiologi Deskriptif

Gambaran wabah berdasarkan waktu

Perjalanan wabah berdasarkan waktu digamabarkan dengan grafik histogram yang


berbentuk kurva epidemic, gambaran ini membantu :

a) Member informasi samapai dimana proses wabah itu dan bagaimana kemungkinan
kelanjutannya

b) Memperkirakan kapan pemaparan terjadi dan memusatkan penyelidikan pada periode


tersebut, bila telah diketahui penyakit dan masa inkubasinya.

c) Menarik kesimpulan tentang pola kejadian, dengan demikian mengetahui apakah


bersumber tunggal, ditularkan dari orang ke orang, atau campuran keduanya

Kemungkinan periode pemaparan dapat dilakukan dengan :

a) Mencari masa inkubasi terpanjang, terpendek, dan rata-rata

b) Menentukan puncak wabah atau kasus mediannya, dan menghitung mundur satu masa
inkubasi rata-rata

c) Dari kasus paling awal kejadian wabah, dihitung mundur masa inkubasi terpendek

Masa inkubasi penyakit adalah waktu antara masuknya agens penyakit sampai timbulnya
gejala pertama. Informasi tentang masa inkubasi bermanfaat billa penyakit belum diketahui
sehingga mempersempit diagnosis diferensial dam memperikan periode pemaparan. Cara
menghitung median masa inkubasi :

a) Susunan teratur ( array) berdasarkan waktu kejadiannya

b) Buat frekuensi kumulatifnya

c) Tentukan posisi kasus paling tengah

d) Tentukan kelas median


20
e) Median masa inkubasiditentukan dengan menghitung jarak antara waktu pemaparan
dan kasus median

Gambaran wabah berdasarkan tempat

Gambaran wabah berdasarkan tempat menggunakan gambaran grafik berbentuk Spot map.
Grafik ini menunjukkan kejadian dengan titik/symbol tempat tertentu yang menggambarkan
distribusi geografi suatu kejadian menurut golongan atau jenis kejadian namun mengabaikan
populasi.

Gambaran wabah berdasarkan ciri orang

Variable orang dalam epidemiologi adalah karakteristik individu yang ada hubungannya
dengan keterpajanan atau kerentanan terhadapa suatu penyakit.Misalnya karakteristik inang
( umur, jenis kelamin, ras/suku, status kesehatan) atau berdasarkan pemaparan ( pekerjaan,
penggunaan obat-obatan)

3. Pembuatan Hipotesis

Dalam pembuatan suatu hipotesis suatu wabah, hendaknya petugas memformulasikan


hipotesis meliputi sumber agens penyakit, cara penularan, dan pemaparan yang
mengakibatkan sakit.

a) Mempertimbangkan apa yang diketahui tentang penyakit itu:

Apa reservoir utama agen penyakitnya?

Bagaimana cara penularannya?

Bahan apa yang biasanya menjadi alat penularan?

Apa saja faktor yang meningkatkan risiko tertular?

b) Wawancara dengan beberapa penderita

c) mengumpulkan beberapa penderita mencari kesamaan pemaparan.

d) Kunjungan rumah penderita

e) Wawancara dengan petugas kesehatan setempat

f) Epidemiologi diskriptif

21
4. Penilaian Hipotesis

Dalam penyelidikan lapangan, hipotesis dapat dinilai dengan salah satu dari dua cara

a) Dengan membandingkan hipotesis dengan fakta yang ada, atau

b) Dengan analisis epidemiologi untuk mengkuantifikasikan hubungan dan menyelidiki


peran kebetulan.

c) Uji kemaknaan statistik, Kai kuadrat.

5. Perbaikan hipotesis dan penelitian tambahan

Dalam hal ini penelitian tambahan akan mengikuti hal dibawah ini

a) Penelitian Epidemiologi ( epidemiologi analitik )

b) Penelitian Laboratorium ( pemeriksaan serum ) dan Lingkungan (pemeriksaan tempat


pembuangan tinja )

6. Pengendalian dan Pencegahan

Pengendalian seharusnya dilaksanakan secepat mungkin upaya penanggulangan biasanya


hanya dapat diterapkan setelah sumber wabah diketahui Pada umumnya, upaya
pengendalian diarahkan pada mata rantai yang terlemah dalam penularan penyakit. Upaya
pengendalian mungkin diarahkan pada agen penyakit, sumbernya, atau reservoirnya.

7. Penyampaian Hasil Penyelidikan

Penyampaian hasil dapat dilakukan dengan dua cara pertama Laporan lisan pada pejabat
setempat dilakukan di hadapan pejabat setempat dan mereka yang bertugas mengadakan
pengendalian dan pencegahan dan yang kedua laporan tertulis.Penyamapin penyelidikan
diantaranya

a) Laporan harus jelas, meyakinkan, disertai rekomendasi yang tepat dan beralasan

b) Sampaikan hal-hal yang sudah dikerjakan secara ilmiah; kesimpulan dan saran harus
dapat dipertahankan secara ilmiah

c) Laporan lisan harus dilengkapi dengan laporan tertulis, bentuknya sesuai dengan tulisan
ilmiah (pendahuluan, latar belakang, metodologi, hasil, diskusi, kesimpulan, dan saran)

22
d) Merupakan cetak biru untuk mengambil tindakan

e) Merupakan catatan dari pekerjaan, dokumen dari isu legal, dan merupakan bahan
rujukan apabila terjadi hal yang sama di masa datang .

9. Bagaimana cara pelaporan KLB ?


Jawab :

Laporan kewaspadaan KLB adalah cara deteksi dini adanya KLB merupakan laporan
adanya seorang atau sekelompok penderita atau tersangka penderita penyakit berpotensi
KLB pada suatu daerah atau lokasi tertentu. lsi laporan kewaspadaan terdiri dari jenis
penyakit: gejala-gejala penyakit; desa/lurah' kecamatan dan kabupaten/kota tempat
kejadian; waktu kejadian; jumlah penderita dan jumlah meninggal.
Perorangan dan organisasi yang wajib membuat Laporan Kewaspadaan KLB antara
lain :
(1). Orang yang mengetahui adanya penderita atau tersangka penderita penyakit berpotensi
KLB, yaitu orang tua penderita atau tersangka penderita, orang dewasa yang tinggal
serumah dengan penderita atau tersangka penderita' Ketua Rukun Tetangga, Ketua
Rukun Warga, Ketua Rukun Kampung atau Kepala Dukuh yang mengetahui adanya
penderita atau tersangka penderita tersebut.
(2). Petugas kesehatan yang memeriksa penderita' atau memeriksa bahan-bahan
pemeriksaan penderita penyakit berpotensi KLB yaitu dokter atau petugas kesehatan,
dokter hewan yang memeriksa hewan sumber penyakit menular berpotensi KLB dan
petugas laboratorium yang memeriksa spesirllen penderita tau tersangka penderita
penyakit berpotensi KLB.
(3). Kepala stasiun kereta api, kepala pelabuhan laut, kepala Bandar udara, kepala terminal
kendaraan bermotor' kepala asrama. kepala sekolah, pimpinan perusahaan, kepala
kantor pemerintah dan swasta, kepala Unit Pelayanan Kesehatan.
(4). Nakhoda kapal, pilot pesawat terbang, dan pengemudi angkutan darat

Laporan kewaspadaan dini DBD (KD/RS DBD) adalah laporan segera (paling lambat
dikirimkan dalam 24 jam setelah penegakkan diagnosis) tentang adanya penderita
termasuk tersangka DBD agar segera dapat dilakukan tindakan atau langkah-langkah
penanggulangan seperlunya.

Alur pelaporan Demam Berdarah Dengue yaitu : (Depkes RI, 2005).


23
a. Pelaporan Rutin
0 1. Pelaporan dari unit pelayanan kesehatan (selain puskesmas)
1 2. Pelaporan dari puskesmas ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
2 3. Pelaporan dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota ke Dinas Kesehatan Propinsi.
3 4.Pelaporan dari Dinas Kesehatan Propinsi ke Pusat (Subdit Arbovirus, Ditjen P2M&PL).
4
b. Pelaporan dalam Situasi Kejadian Luar Biasa
1. Pelaporan dari unit pelayanan kesehatan (selain puskesmas)
2. Pelaporan dari puskesmas ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
3. Pelaporan dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota ke Dinas Kesehatan Propinsi.
4. Pelaporan dari dinas Kesehatan Propinsi ke Pusat (Subdit Arbovirus, Ditjen
P2M&PL).

c. Umpan Balik

Umpan balik pelaporan perlu dilaksanakan guna meningkatkan kualitas dan


memelihara kesinambungan pelaporan, kelengkapan dan ketepatan waktu pelaporan
serta analisis terhadap laporan. Frekuensi umpan balik oleh masing-masing tingkat
administrasi dilaksanakan setiap tiga bulan minimal dua kali dalam setahun.
Penilaian kinerja program pencegahan penyakit DBD indikator kinerja :

1) Jumlah penderita DBD yang ditangani sesuai standar


X 100%
Jumlah penderita DBD dalam kurun waktu yang sama

2) Jumlah tersangka DBD yang ditangani sesuai kriteria


X 100%

Jumlah tersangka DBD dalam kurun waktu yang sama

10. Jelaskan tugas wajib dokter puskesmas mengenai KLB ?


Jawab :

Melakukan penatalaksanaan masalah kesehatan individu, keluarga dan Masyarakat yaitu


membuat surat keterangan medis seperti laporan kejadian luar biasa ,surat keterangan
sakit, sehat,kematian, , laporan medikolegal serta keterangan medis lain sesuai
kewenangannya termasuk visum et repertum dan identifikasi jenasah.

11. Faktor yang menyebabkan KLB ???


Jawab :
24
a. Herd Immunity yang rendah
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya KLB/Wabah adalah Herd
Immunity. Secara umum dapat dikatakan bahwa herd immunity ialah kekebalan yang
dimiliki oleh sebagian penduduk yang dapat menghalangi penyebaran. Hal ini dapat
disamakan dengan tingkat kekebalan individu yaitu makin tinggi tingkat kekebalan
seseorang, makin sulit terkena penyakit tersebut. Demikian pula dengan herd immunity,
makin banyak proporsi penduduk yang kebal berarti makin tinggi tingkat herd immunity-
nya hingga penyebaran penyakit menjadi semakin sulit.

Kemampuan mengadakan perlingangan atau tingginya herd immunity untuk menghindari


terjadi epidemi bervariasi untuk tiap penyakit tergantung pada:

Proporsi penduduk yang kebal,

Kemampuan penyebaran penyakit oleh kasus atau karier, dan

Kebiasaan hidup penduduk.

Pengetahuan tentang herd immunity bermanfaat untuk mengetahui bahwa menghindarkan


terjadinya epidemi tidak perlu semua penduduk yang rentan tidak dapat dipastikan, tetapi
tergantung dari jenis penyakitnya, misalnya variola dibutuhkan 90%-95% penduduk
kebal.

b. Patogenesitas
Kemampuan bibit penyakit untuk menimbulkan reaksi pada pejamu sehingga timbul
sakit.

c. Lingkungan Yang Buruk


Seluruh kondisi yang terdapat di sekitar organisme tetapi mempengaruhi kehidupan
ataupun perkembangan organisme tersebut. (Notoatmojo, 2003)

12. Bagaiman cara penanggulangan dan pencegahan KLB ?


Jawab :
a) Masa pra KLB
Informasi kemungkinan akan terjadinya KLB/wabah adalah dengan melaksanakan Sistem
Kewaspadaan Dini secara cermat, selain itu melakukan langkah-langkah lainnya :
25
1) Meningkatkan kewaspadaan dini di puskesmas baik SKD, tenaga dan logistik.
2) Membentuk dan melatih TIM Gerak Cepat puskesmas.
3) Mengintensifkan penyuluhan kesehatan pada masyarakat
4) Memperbaiki kerja laboratorium
5) Meningkatkan kerjasama dengan instansi lain
b) Tim Gerak Cepat (TGC)
Sekelompok tenaga kesehatan yang bertugas menyelesaikan pengamatan dan
penanggulangan wabah di lapangan sesuai dengan data penderita puskesmas atau data
penyelidikan epideomologis. Tugas /kegiatan :
1) Pencarian penderita lain yang tidak datang berobat.
2) Pengambilan usap dubur terhadap orang yang dicurigai terutama anggota
keluarga. Pengambilan contoh air sumur, sungai, air pabrik dan lain-lain yang diduga
tercemari dan sebagai sumber penularan.
3) Pelacakan kasus untuk mencari asal usul penularan dan mengantisipasi
penyebarannya. Pencegahan dehidrasi dengan pemberian oralit bagi setiap penderita
yang ditemukan di lapangan.
4) Penyuluhan baik perorang maupun keluarga dan membuat laporan tentang
kejadian wabah dan cara penanggulangan secara lengkap.
c) Upaya penanggulangan wabah dapat meliputi:
1) Penyelidikan epidemiologis;
1. Mengetahui sebab-sebab penyakit wabah
2. Menentukan faktor penyebab timbulnya wabah
3. Mengetahui kelompok masyarakat yang terancam terkena wabah
4. Menentukan cara penanggulangan wabah
Kegiatan yang dilakukan dengan penyelidikan epidemiologis adalah sebagai berikut :
Mengumpulkan data morbiditas dan mortalitas penduduk
Pemeriksaan klinis, fisik, laboratorium dan penegakan diagnosis
Pengamatan terhadap penduduk, pemeriksaan, terhadap makhluk hidup dan benda-
benda yang ada di suatu wilayah yang diduga mengandung penyebab penyakit wabah

2) Pemeriksaan, pengobatan, perawatan, dan isolasi penderita, termasuk tindakan


karantina, tujuannya adalah :
1. Memberikan pertolongan medis kepada penderita agar sembuh dan mencegah
agar mereka tidak menjadi sumber penularan.
26
2. Menemukan dan mengobati orang yang tampaknya sehat, tetapi mengandung
penyebab penyakit sehingga secara potensial dapat menularkan penyakit (carrier).
3) Pencegahan dan pengebalan ; tindakan-tindakan yang dilakukan untuk
memberi perlindungan kepada orang-orang yang belum sakit, tetapi mempunyai
resiko terkena penyakit.
4) Pemusnahan penyebab penyakit, terutama pemusnahan terhadap bibit
penyakit/kuman dan hewan tumbuh-tumbuhan atau benda yang mengandung bibit
penyakit.
5) Penanganan jenazah akibat wabah ; penanganan jenazah yang kematiannya
disebabkan oleh penyakit yang menimbulkan wabah atau jenazah yang merupakan
sumber penyakit yang dapat menimbulkan wabah harus dilakukan secara khusus
menurut jenis penyakitnya tanpa meninggalkan norma agama serta harkatnya sebagai
manusia. Penanganan secara khusus itu meliputi pemeriksaan jenazah oleh petugas
kesehatan dan perlakuan terhadap jenazah serta sterilisisasi bahan-bahan dan alat yang
digunakan dalam penanganan jenazah diawasi oleh pejabat kesehatan.
6) Penyuluhan kepada masyarakat, yaitu kegiatan komunikasi yang bersifat
persuasif edukatif tentang penyakit yang dapat menimbulkan wabah agar mereka
mengerti sifat-sifat penyakit, sehingga dapat melindungi diri dari penyakit tersebut
dan apabila terkena, tidak menularkannya kepada orang lain. Penyuluhan juga
dilakukan agar masyarakat dapat berperan serta aktif dalam menanggulangi wabah.
7) Upaya penanggulangan lainya adalah tindakan-tindakan khusus masing-masing
penyakit yang dilakukan dalam rangka penanggulangan wabah.

13. Penyakit apa saja yang berpotensi sbg KLB ?


Jawab :

Penyakit-penyakit menular yang wajib dilaporkan adalah penyakit-penyakit yang


memerlukan kewaspadaan ketat yang merupakan penyakit-penyakit wabah atau yang
berpotensi wabah atau yang dapat menimbulkan kejadian luar biasa (KLB).
Penyakit-penyakit menular dikelompokkan sebagai berikut:

1. Penyakit karantina atau penyakit wabah penting antara lain adalah:


DHF Campak Rabies
Tetanus Neonatorum Diare Pertusis
Poliomyelitis

27
2. Penyakit potensi wabah/KLB yang menjalar dalam waktu cepat atau mempunyai
mortalitas tinggi, dan penyakit yang telah masuk program eradikasi/eliminasi dan
memerlukan tindakan segera:
Malaria Frambosia Influenza
Anthrax Hepatitis Typhus abdominalis
Meningitis Keracunan Encephalitis
Tetanus
3. Penyakit-penyakit potensial wabah/KLB lainnya dan beberapa penyakit penting.
Penyakit-penyakit menular yang tidak berpotensi menimbulkan wabah dan KLB tetapi
diprogramkan, ditingkat kecamatan dilaporkan secara bulanan melalui RR terpadu
Puskesmas ke Kabupaten, dan seterusnya secara berjenjang sampai ke tingkat pusat.
Penyakit-penyakit tersebut meliputi : Cacing, Lepra, Tuberculosa, Syphilis, Gonorhoe,
Filariasis & AIDS, dll. Sehingga petugas Poskesdes diharapkan melaporkan kejadian-
kejadian penyakit ini ke tingkat Kecamatan/Puskesmas jika.
Dari penyakit-penyakit diatas, pada keadaan tidak ada wabah/KLB secara rutin
hanya yang termasuk kelompok 1 dan kelompok 2 yang perlu dilaporkan secara mingguan.
Bagi penyakit kelompok 3 dan kelompok 4 bersama-sama penyakit kelompok 1 dan 2
secara rutin dilaporkan bulanan ke Puskesmas.
Jika peristiwa KLB atau wabah dari penyakit yang bersangkutan sudah berhenti
(incidence penyakit sudah kembali pada keadaan normal), maka penyakit tersebut tidak
perlu dilaporkan secara mingguan lagi. Sementara itu, laporan penyakit setiap bulan perlu
dilaporkan ke Puskesmas oleh Bidan desa/petugas di Poskesdes.

14. Apa saja faktor penghambat penyelidikan KLB ?


Jawab :
a. Kelengkapan keakuratan data yang kurang karena biasanya pengisian formulir
dilakukan secara manual.
b. Validasi data yang lama karena alur data yang ada.
c. Partisipasi lintas sektor masih rendah. Rumah sakit merupakan sumber utama data kasus
DBD, karena fasilitas laboratoriumnya mampu mendeteksi kasus DBD dengan lebih
baik. Namun seringnya kasus DBD yang dilaporkan terlambat ke Dinas Kesehatan atau
Puskesmas, sehingga kegiatan PE yang seharusnya dilakukan maksimal 2 x 24 jam
menjadi terlambat. Dukungan sektor lain seperti sekolah, kecamatan dan kelurahan dalam
menggerakkan masyarakatnya untuk melakukan kegiatan pemberantasan sarang nyamuk
belum optimal.
d. Partisipasi Masyarakat: Hampir semua puskesmas pernah mengalami kesulitan untuk
melakukan PE ke Masyarakat, petugas kesulitan masuk ke rumah rumah warga untuk

28
melakukan pemantuan jentik dan pencarian tersangka kasus DBD, karena ada warga
yang tidak mau untuk berpartisipasi.
e. Sumber Daya
f. Kemampuan Laboratorium
Belum semua Puskesmas mampu untuk melakukan diagnosa kasus DBD secara
berdasarkan hasil Laboratorium. Sarana Laboratorium dan tenaga laboran masih terbatas.
Kondisi ini akan menyebabkan kemampuan deteksi dini kasus DBD menjadi rendah,
yang pada akhirnya penanganan kasus DBD secara intensif terlambat. Mengingat Kota
Semarang merupakan daerah endemis tinggi penyakit DBD, maka sebaiknya seluruh
Puskesmas laboratorium yang mempunyai kemampuan mendeteksi penyakit DBD secara
serologis.
g. Keterlambatan pelaporan tentang kasus KLB
h. Kekurang pengetahuan masyarakat tentang KLB
i. Kurangnya kerjasama masyarakat dengan petugas kesehatan

15. Apa tujuan penyelidikan KLB ?


Jawab :

Tujuan Umum :

Mencegah meluasnya (penanggulangan).

Mencegah terulangnya KLB di masa yang akan datang (pengendalian).

Tujuan khusus :

Diagnosis kasus yang terjadi dan mengidentifikasi enyebab penyakit .


Untuk mengidentifikasi adanya ancaman KLB
Memastikan bahwa keadaan tersebut merupakan KLB
Mengidentifikasikan sumber dan cara penularan
Mengidentifikasi keadaan yang menyebabkan KLB Terselenggaranya kesiagaan
menghadapi kemungkinan KLB
Untuk mendeteksi dari adanya kondisi rentan KLB
Untuk mendeteksi secara dini adanya KLB
Terselenggara penyelidikan dugaan KLB.
Untuk mengetahui populasi resiko tinggi
Untuk merencanakan tindakan / penanggulangan selanjutnya
Untuk merencanakan tindakan pencegahan.
Mengidentifikasikan populasi yang rentan atau daerah yang beresiko akan terjadi
KLB .
16. Kegiatan statistik apa yang terkait dengan surveilans ?
Jawab :
a. PENGUMPULAN DATA

29
Dalam statistik dikenal ada banyak data yang bias kita peroleh dalam proses
pengupulan data yaitu
- Data mentah dan data terorganisir
- Data kuantitatif dan kualitatif
- Data kontinyu dan data diskrit
- Data numeric dan data nominal
- Data dikotomi dan data kategori banyak
- Data primer dan data sekunder
Dalam kegiatan surveilans biasanya digunakan data dua bentuk data yaitu data
primer yang diperoleh langsung dari subjek penelitian dengan menggunakan alat
pengukuran atau alat pengambil data seperti survei-survei, dan lain-lain (suerveilans
aktif) dan data sekunder yaitu data yang dipeoleh dari pihak lain, misal Rumah Sakit,
Puskesmas (surveilans pasif)
Metode Pengumpulan Data
1.wawancara/interview
2.observasi (dilakukan dengan penciuman, penglihatan, pendengaran, peraba dan
pengecap. Kegiatan observasi meliputi mencatat, pertimbangan, dan penilaian.
Instrumen observasi berupa format atau blanko pengamatan. Format berisi item-item
tentang kejadian atau tingkah laku yang digambarkan akan terjadi. Alat yang
digunakan dalam melakukan obervasi adalah
a. check list : daftar pengecek, berisi subjek dan identitas lain dar sasaran pengamatan
b. Skala penilaian : daftar berisi ciri-ciri tingkah laku c. Daftar riwayat
kelakuan/ancdotal scale : catatan tingkah laku seseorang yang khas dibuat oleh guru,
direktur, pendeta, kepala setempat d. Alat-alat mekanik : kamera, film, tape recorder.
televisi)
3.dokumentasi (kegiatan mencari data atau variabel dai sumber berupa catatan,
tranksrip, buku, surat kabar, majalah, prasasri, notulen rapat, agenda, dsb. Yang
diamati adalah benda mati.
4.pemeriksaan (pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan lanjutan)
5.diskusi kelompok ( menggunakan penelitian kuantitatif. Diskusi dilakukan untuk
menggali informasi secara mendalam mengenai topik tertentu)
6.tes/ujian ( pengetahuan seorang individu tentang suatu hal/penyakit tertetntu)
Alat pengumpul Data
1. Angket
a. Angket terbuka : memberi kesempatan responden menjawab kalimatnya
sendiri
b. Angket tertutup : responden tinggal memilih jawaban
2. Kuisioner
Terdapat pengujian atas validitas( menunjukkan alat ukur benar-benar mengukur
apa yang dikur anak bb nya 20 kg, maka timbangan yang digunakan untuk
menimbang anak itu menunjukkan berat 20 kg bukan 19.5 atau 20.5) dan
30
reliabilitas (sejauh mana alat pngukur dapat dipercaya bila tinggi seorang anak
diukur 140 cm, maka bila diukur berkali-kali hasil tetap akan sama).
Data yang didapatkan lalu diolah berdasarkan desain penelitian dalam statistik. Ada
beberapa desain penelitian yang biasa digunakan dalam proses pengolahan data
1. Observasional
a. Studi potong lintang (cross sectional)
Peneliti hanya melakukan observasi dan pengukuran variabel pada satu saat
tertentu saja.
b. Studi kasus kontrol (case control)
Membandingkan dua kelompok yaitu kelompok kasus dan kontrol, kemudian
ditelusuri secara retrospektif(pengukuran efek lebih dahulu, baru menuntut ke
belakang untuk mengukur variabel bebas/faktor risiko) ada tidaknya faktor
risiko yang berperan. Kelompok kasus merupakan penderita penyakit/efek
positif, sedangkan kelompok kontrol merupakan kelompok yang tidak
menderita penyakit/efek negatif.
c. Studi kohort
Kebalikan dengan studi kasus kontrol yang dimulai dengan identifikasi efek,
studi kohort dimulai dengan mengidentifikasi faktor risiko timbulnya efek.
Selanjutnya diikuti selama periode waktu tertenu untuk mencari ada tidaknya
efek. Terdapat dua kelompok yang sebanding yaitu kelompok terpajan sebagai
subjek yang diteliti dan kelompok yang tidak terpajan sebagai kontrol
2. Eksperimental
a. Pra eksperimen
- One shot case study (x) >------ O
- One grup pre and posttest design O>----(x)>-----O
- Static group comparison
(X) >---- O
(-) >----- O

b. Eksperimen murni (true eksperimen)
- Rancangan eksperimen sederhana (posttest only with control group
design) acak
(X) >---- O
(-) >----- O
- Rancangan eksperimen Ulang (pretest-posttest with control group design
acak
O1>----(x)>-----O2
O3>----(-)>-----O4
- Rancangan eksperimen salomon four hroup design acak
O1>----(x)>-----O2
O3>----(-)>-----O4
(x)>-----O5

31
(-)>-----O6
c. Eksperimen Semu (Quasi eksperimen)
- Rancangan eksperimen Ulang Non-random ( Nonrandomized pretest-
posttest with control group design)
O1>----(x)>-----O2
O3>----(-)>-----O4
- Rancangan eksperimen Seri (Time series design )
O>---- O>---- O>----(x)>----- O>---- O>---- O>----

- Rancangan eksperimen Seri Ganda(Multipe time series design)
O>---- O>---- O>----(x)>----- O>---- O>---- O>----
O>---- O>---- O>----(x)>----- O>---- O>---- O>----

3. Desain khusus
a. Uji diagnostik
b. Meta analisis
c. Analisis kesintasan (survival analisis)

b. PENGOLAHAN DATA dan PENYAJIAN DATA


Data disajikan dalam bentuk :
1. Tekstular
2. Tabular
3. Grafikal
c. ANALISA DATA
Melakukan analisis data berdasarkan uji statistic. Terdapat tida macam analisis data :
1. Analisis univariat
Data yang diperoleh dari hasil pengumpulan dapat disajikan dalam entuk table
distribusi frekuensi, ukuran tendensi sentral atau grafik.
2. Analisis bivariate
Analisis untuk mengetahui interaksi Antara dua variable, baik berupa komparatif,
asositif maupun korelatif
3. Analisis multivariat
Uji multivariate yang sering digunakan adalah anova(analysis of varian), regresi
berganda(multiple) dan regresi logistic.
Uji anova mengetahui perbedaan antarhal dengan jumlah kelompok atau
perlakuan lebih dari dua macam, dan skala pengukuran numeric.
Uji regresi berganda memperediksi nilai variable terikat bilavariabel bebas
yang jumlah lebih dari satu telah diketahui
Uji regresi logistic mengetahui faktor yang paling dominan mempengaruhi
variable terikat

17. Kegiatan statistik apa yang terkait dengan penyelidik wabah ?


Jawab :

32
Berdasarkan survey kebutuhan dan analisis system terhadap system surveilans dan
cara pencatatan dan pelaporan penyakit demam berdarah mulai dari masyarakat,
Puskesmas dan kemudian ke Dinas Kesehatan maka sistem yang dikembangkan adalah
suatu system informasi surveilans epidemiologi yang bersifat multi user dengan model
modular. Adapun model tersebut mencakup modul pemasukan kasus, modul pemasukan
pengamatan, modul masukan pengamatan jentik berkala, modul penyelidikan
Epidemiologi (PE), modul pencatatan fogging, modu lPokja DBD, modulpemasukan data
jumlahpendudukdanmodulpelaporan.

Hasil pemasukan data dari modul modul diatas akan menghasilkan laporan laporan
yaitu: angka bebas jentik(ABJ), proporsi penyakit DBD per jenis kelamin, proporsi
penyakit DBD per golongan umur, laporan House indek, laporan incidency rate DBD,
laporan case fatality rate, laporan pelaksanaan PSN, laporan hasil PE dan laporan
pelaksanaan fogging.

18. Bagaimana tahap tahap timbulnya penyaki ?


Jawab :

Tahapan Riwayat alamiah perjalanan penyakit :

a. Tahap Pre-Patogenesa

Pada tahap ini telah terjadi interaksi antara pejamu dengan bibit penyakit. Tetapi
interaksi ini masih diluar tubuh manusia, dalam arti bibit penyakit berada di luar tubuh
manusia dan belum masuk kedalam tubuh pejamu.

33
Pada keadaan ini belum ditemukan adanya tanda tanda penyakit dan daya
tahan tubuh pejamu masih kuat dan dapat menolak penyakit. Keadaan ini disebut sehat.

b. Tahap Patogenesa

1) Tahap Inkubasi

Tahap inkubasi adalah masuknya bibit penyakit kedalam tubuh pejamu, tetapi
gejala- gejala penyakit belum nampak.

Tiap-tiap penyakit mempunyai masa inkubasi yang berbeda, ada yang bersifat
seperti influenza, penyakit kolera masa inkubasinya hanya 1- 2 hari, penyakit Polio
mempunyai masa inkubasi 7 - 14 hari, tetapi ada juga yang bersifat menahun misalnya
kanker paru-paru, AIDS dan sebagainya.

Jika daya tahan tubuh tidak kuat, tentu penyakit akan berjalan terus yang
mengakibatkan terjadinya gangguan pada bentuk dan fungsi tubuh.

Pada suatu saat penyakit makin bertambah hebat, sehingga timbul gejalanya.
Garis yang membatasi antara tampak dan tidak tampaknya gejala penyakit disebut
dengan horison klinik.

2) Tahap Penyakit Dini

Tahap penyakit dini dihitung mulai dari munculnya gejala-gejala penyakit, pada
tahap ini pejamu sudah jatuh sakit tetapi sifatnya masih ringan. Umumnya penderita
masih dapat melakukan pekerjaan sehari-hari dan karena itu sering tidak berobat.
Selanjutnya, bagi yang datang berobat umumnya tidak memerlukan perawatan, karena
penyakit masih dapat diatasi dengan berobat jalan.

Tahap penyakit dini ini sering menjadi masalah besar dalam kesehatan
masyarakat, terutama jika tingkat pendidikan penduduk rendah, karena tubuh masih
kuat mereka tidak datang berobat, yang akan mendatangkan masalah lanjutan, yaitu
telah parahnya penyakit yang di derita, sehingga saat datang berobat sering talah
terlambat.

3) Tahap Penyakit Lanjut

34
Apabila penyakit makin bertambah hebat, penyakit masuk dalam tahap penyakit
lanjut. Pada tahap ini penderita telah tidak dapat lagi melakukan pekerjaan dan jika
datang berobat, umumnya telah memerlukan perawatan.

4) Tahap Akhir Penyakit

Perjalanan penyakit pada suatu saat akan berakhir. Berakhirnya perjalanan


penyakit tersebut dapat berada dalam lima keadaan, yaitu :

-Sembuh sempurna : penyakit berakhir karena pejamu sembuh secara sempurna, artinya
bentuk dan fungsi tubuh kembali kepada keadaan sebelum menderita penyakit.

-Sembuh tetapi cacat : penyakit yang diderita berakhir dan penderita sembuh.
Sayangnya kesembuhan tersebut tidak sempurna, karena ditemukan cacat pada pejamu.

-Karier : pada karier, perjalanan penyakit seolah-olah terhenti, karena gejala penyakit
memang tidak tampak lagi. Padahal dalam diri pejamu masih ditemukan bibit penyakit
yang pada suatu saat.

-Kronis : perjalanan penyakit tampak terhenti karena gejala penyakit tidak berubah,
dalam arti tidak bertambah berat dan ataupun tidak bertambah ringan.

-Meninggal dunia : terhentinya perjalanan penyakit disini, bukan karena sembuh, tetapi
karena pejamu meninggal dunia.

V. Sintesis

I. SURVEILAN DAN PENDEKATAN EPIDEMIOLOGI

Definisi dari Surveilans Epidemiologi

Surveilans adalah upaya/ sistem/ mekanisme yang dilakukan secara terus menerus
dari suatu kegiatan pengumpulan, analisi, interpretasi,dari suatu data spesifik yang digunakan
untuk perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program ( Manajemen program kesehatan)
Istilah surveilans digunakan untuk dua hal yang berbeda.

Pertama, surveilans dapat diartikan sebagai pengawasan secara terus-menerus


terhadap faktor penyebab kejadian dan sebaran penyakit, dan yang berkaitan dengan keadaan
35
sehat atau sakit. Surveilans ini meliputi pengumpulan, analisis, penafsiran, dan penyebaran
data yang terkait, dan dianggap sangat berguna untuk penanggulangan dan pencegahan secara
efektif. Definisi yang demikian luas itu mirip dengan surveilans pada sistem informasi
kesehatan rutin, dan karena itu keduanya dapat dianggap berperan bersama-sama.

Kedua yaitu menyangkut sistem pelaporan khusus yang diadakan untuk


menanggulangi masalah kesehatan utama atau penyakit, misalnya penyebaran penyakit
menahun suatu bencana alam. Sistem surveilans ini sering dikelola dalam jangka waktu yang
terbatas dan terintegrasi secara erat dengan pengelolaan program intervensi kesehatan. Bila
informasi tentang insidens sangat dibutuhkan dengan segera, sedangkan sistem informasi
rutin tidak dapat diandalkan maka sistem ini dapat digunakan. (Vaughan, 1993).

Defenisi Surveilans epidemiologi adalah pengumpulan dan pengamatan secara


sistematik berkesinambungan, analisa dan interprestasi data kesehatan dalam proses
menjelaskan dan memonitoring kesehatan dengan kata lain surveilans epidemiologi
merupakan kegiatan pengamatan secara teratur dan terus menerus terhadap semua aspek
kejadian penyakit dan kematian akibat penyakit tertentu, baik keadaan maupun
penyebarannya dalam suatu masyarakat tertentu untuk kepentingan pencegahan dan
penanggulangan. (Noor,1997). Surveilans epidemiologi adalah pengamatan yang terus
menerus atas distribusi, dan kecenderungan suatu penyakit melalui pengumpulan data yang
sistematis agar dapat ditentukan penanggulangannya yang secepat-cepatnya (Gunawan,
2000).

Surveilans Epidemiologi adalah pengumpulan dan analisa data epidemiologi yang


akan digunakan sebagai dasar dari kegiatan-kegiatan dalam bidang pencegahan dan
penanggulangan penyakit yang meliputi kegiatan :

1. Perencanaan Program Pemberantasan Penyakit.

Mengenal Epidemiologi Penyakit berarti mengenal apa yang kita hadapi dan
mengenal perencanaan program yang baik.

2. Evaluasi Program Pemberantasan Penyakit.

Bagaimana keadaan sebelum dan sesudah dan sesudah program dilaksanakan


sehingga dapat diukur keberhasilannya menggunakan data sueveilans epidemiologi.

36
3. Penanggulangan wabah Kejadian Luar Biasa.

Penyelenggaraan Surveilans Epidemiologi Kesehatan wajib dilakukan oleh setiap


instansi kesehatan Pemerintah, instansi Kesehatan Propinsi, instansi kesehatan
kabupaten/kota dan lembaga masyarakat dan swasta baik secara fungsional atau struktural.
Mekanisme kegiatan Surveilans epidemiologi Kesehatan merupakan kegiatan yang
dilaksanakan secara sistematis dan terus menerus. Surveilans beralasan untuk dilakukan jika
dilatari oleh kondisi kondisi berikut ( WHO, 2002 ) :

1. Beban Penyakit ( Burden of Disease ) tinggi, sehingga merupakan masalah penting


kesehatan masyarakat.

2. Terdapat tindakan masyarakat yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut

3. Data yang relevan mudah diperoleh

4. Hasil yang diperoleh sepadan dengan upaya yang dilakukan ( pertimbangan efisiensi ).

Dengan system surveilans yang peka terhadap perubahan-perubahan pola penayakit


di suatu daerah tertentu dapat mengantisipasi kecenderungan penyakit di suatu daerah.

2. Prinsip Surveilans Epidemiologi

a. Pengumpulan data Pencatatan insidensi terhadap population at risk.

Pencatatan insidensi berdasarkan laporan rumah sakit, puskesmas, dan sarana


pelayanan kesehatan lain, laporan petugas surveilans di lapangan, laporan masyarakat, dan
petugas kesehatan lain; Survei khusus; dan pencatatan jumlah populasi berisiko terhadap
penyakit yang sedang diamati. Tehnik pengumpulan data dapat dilakukan dengan wawancara
dan pemeriksaan. Tujuan pengumpulan data adalah menentukan kelompok high risk;
Menentukan jenis dan karakteristik (penyebabnya); Menentukan reservoir; Transmisi;
Pencatatan kejadian penyakit; dan KLB.

b. Pengelolaan data

Data yang diperoleh biasanya masih dalam bentuk data mentah (row data) yang masih
perlu disusun sedemikian rupa sehingga mudah dianalisis. Data yang terkumpul dapat diolah

37
dalam bentuk tabel, bentuk grafik maupun bentuk peta atau bentuk lainnya. Kompilasi data
tersebut harus dapat memberikan keterangan yang berarti.

c. Analisis dan interpretasi data untuk keperluan kegiatan

Data yang telah disusun dan dikompilasi, selanjutnya dianalisis dan dilakukan
interpretasi untuk memberikan arti dan memberikan kejelasan tentang situasi yang ada dalam
masyarakat.

d. Penyebarluasan data dan keterangan termasuk umpan balik

Setelah analisis dan interpretasi data serta telah memiliki keterangan yang cukup jelas
dan sudah disimpulkan dalam suatu kesimpulan, selanjutnya dapat disebarluaskan kepada
semua pihak yang berkepentingan, agar informasi ini dapat dimanfaatkan sebagai mana
mestinya.

e. Evaluasi

Hasil evaluasi terhadap data sistem surveilans selanjutnya dapat digunakan untuk
perencanaan, penanggulangan khusus serta program pelaksanaannya, untuk kegiatan tindak
lanjut (follow up), untuk melakukan koreksi dan perbaikan-perbaikan program dan
pelaksanaan program, serta untuk kepentingan evaluasi maupun penilaian hasil kegiatan.

3. Hambatan yang terjadi dalam surveilans epidemiologi

Ada beberapa hambatan surveillans epidemiologi, dintaranya:

1) Kerjasama lintas sektoral

Surveillens epidemiologi harus bekerjasama dengan berbagai sektor yang berkaitan


dengan kesehatan, kerjasama tersebut membutuhkan partisipasi yang penuh untuk tecapainya
pemecahan masalah kesehatan, kadang kala sektor yang lain mempunyai pertisipasi yang
rendah dalam kerjasama lintas sektoral tersebut.

2) Partisipasi masyarkat rendah

Surveillens epidemiologi yang memang menangani masalah kesehatan masyrakat


eharusnya benar-benar menggali informasi dari masyarakat dan penanganannyapun hasrus
38
dengan masyarakat, sering dijumpai partsipasi masyarakat dalam pengambilan informasi dari
petugas kesehatan berbelitbelit dan cenderung enutup-nutupi.

3) Sumber daya

Hambatan yang paling menonjol dari hasil penelitian ini adalah sumber daya
manusia. Hambatan yang berhasil di identifikasi berdasarkan persepsi renponden adlah
sebagai berikut ;

- Jumlah tenaga yang kurang untuk mengcover kegiatan PE

- Banyaknya tugas rangkap.

- Sarana Komputer, biasanya komputer bergantian untuk menyelesaikan tugas lain.

4) Ilmu pengetahuan dan teknologi

Surveillans epidemiologi membutuhkan teknologi teknologi untuk mempercepat


deteksi din, analisis penanggulangan dan penanggulangan masalah kesehaatan, kondisi di
lapangan seringkali tenologi di laboratorium sering lambat sehingga mengganggu tahap
deteksi dini dan penanganan kasus akan terlambat.

5) Kebijakan

Seringkali kebijakan dari pemerintah dirasa masih menghambat dalam pelaksanaan


surveilans. Contohnya saja baru ditangani apabila memang sudah menjadi KLB. Birokrasi
pemerintahan yang rumit sering menjadi kendala dalam melakukan surveilans. Kebijakan
yang belum dipahami petugas juga menjadi kendala dalam pelaksanaan surveilans.

6) Dana

Kegiatan surveilans ini tidak membutuhkan dana yang sedikit juga. Sering kali
permasalahan dana menjadi penghambat dalam melakukan surveilans.

7) Jarak dan Transportasi

39
Lokasi yang jauh dari perkotaan dan minimnya transportasi membuat kegiatan
surveilans terhambat. Sering kali jarak membuat kegiatan surveilans berlangsung berhari-hari
karena transportasi yang minim dan jarak yang jauh. Kondisi jalan juga mempengaruhi.

4. Surveilans Penyakit DHF/DBD.

Penyakit demam berdarah dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit menular
yang sering menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) di Indonesia. Penyakit ini mempunyai
perjalanan penyakit yang cepat, mudah menyebar dan dapat menyebabkan kematian dalam
waktu singkat. Prediksi kejadian demam berdarah dengue di suatu wilayah, selama ini
dilakukan berdasarkan stratifikasi endemisitas, pola maksimalminimal dan siklus 35 tahun
sesuai dari data Surveilans epidemiologi. Cara prediksi ini terdapat kelemahan karena
berubahnya data menjelang musim penularan DBD dan belum adanya data faktor risiko
terkini, sehingga prediksi sering tidak tepat. Data faktor risiko DBD dapat digunakan untuk
menentukan jenis intervensi, sehingga kejadian DBD dapat dicegah sesuai konsep
kewaspadaan dini.

Data surveilans epidemiologi yang dihasilkan, sebagian masih diolah secara manual
dan semi otomatis dengan penyajian masih terbatas dalam bentuk tabel dan grafik, sedangkan
penyajian dalam bentuk peta belum dilakukan. Berdasarkan kenyataan tersebut,
dikembangkan sistem surveilans epidemiologi DBD untuk kewaspadaan dini berbasis Sistem
Informasi Geografis (SIG).

Pada sistem ini, dilakukan pendataan faktor risiko DBD melalui Rapid Survey pada
saat menjelang musim penularan untuk mendapatkan data terbaru untuk menentukan jenis
intervensi. Dengan SIG, dapat dihasilkan peta faktor risiko, peta kasus dan peta kegiatan lain,
dan dengan teknik overlayer dapat dilakukan perencanaan maupun evaluasi program
pemberantasan DBD.

Dalam masalah penyakit DBD, surveilans penyakit mencakup empat aspek yaitu
(1)surveilans kasus, (2) vektor (termasuk ekologinya), (3) peran serta masyarakat dan (4)
tindakan pengendalian. Program surveilans epidemiologi DBD meliputi surveilans penyakit
yang dilakukan dengan cara meminta laporan kasus dari rumah sakit dan sarana kesehatan
serta surveilans vektor yang dilakukan dengan melakukan penelitian epidemiologi di daerah
yang terjangkit DBD. Pelaksanaan surveilans epidemiologi vektor DBD untuk deteksi dini
biasanya dilakukan penelitian di tempat-tempat umum; sarana air bersih; pemukiman dan
40
lingkungan perumahan; dan limbah industri, RS serta kegiatan lain. Kegiatan di atas
dilakukan oleh petugas kesehatan, juru pemantau jentik dan tim pemberantasan nyamuk di
sekolah dan masyarakat. Sebagai indikator keberhasilan program tersebut adalah Angka
Bebas Jentik (ABJ). Surveilans epidemiologi penyakit DBD memegang peranan penting
dalam upaya memutus mata rantai penyakit DBD. Namun, pada kenyataanya belum berjalan
dengan baik disebabkan karena faktor eksternal dan internal, misalnya petugas puskesmas
tidak menjalankan tugas dengan sebagaimana mestinya dalam melakukan Pemantauan Jentik
Berkala (PJB).

II. INVESTIGASI KLB / WABAH


A. Definisi Kejadian Luar Biasa (KLB)
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 949/Menkes/SK/VIII/2004), Kejadian Luar
Biasa (KLB) adalah suatu kejadian kesakitan/kematian dan atau meningkatnya suatu
kejadian kesakitan/kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu kelompok
penduduk dalam kurun waktu tertentu (Lapau, Buchari. 2009). Kejadian Luar Biasa (KLB)
yaitu munculnya penyakit di luar kebiasaan (base line condition) yang terjadi dalam waktu
relatif singkat serta memerlukan upaya penanggulangan secepat mungkin, karena
dikhawatirkan akan meluas, baik dari segi jumlah kasus maupun wilayah yang terkena
persebaran penyakit tersebut. Kejadian luar biasa juga disebut sebagai peningkatan kejadian
kasus penyakit yang lebih banyak daripada eksternal normal di suatu area atau kelompok
tertentu, selama suatu periode tertentu. Informasi tentang potensi KLB biasanya datang dari
sumber-sumber masyarakat, yaitu laporan pasien (kasus indeks), keluarga pasien, kader
kesehatan, atau warga masyarakat. Tetapi informasi tentang potensi KLB bisa juga berasal
dari petugas kesehatan, hasil analisis atau surveilans, laporan kematian, laporan hasil
pemeriksaan laboratorium, atau media lokal (Tamher. 2004).

B. Kriteria Kejadia Luar Biasa (KLB)


Suatu kejadian penyakit atau keracunan dapat dikatakan KLB apabila memenuhi kriteria
sebagai berikut:
a) Timbulnya suatu penyakit/kesakitan yang sebelumnya tidak ada/tidak diketahui.
b) Peningkatan kejadian penyakit/kematian terus menerus selama 3 kurun waktu
berturut-turut menurut jenis penyakitnya (jam, hari, minggu, dst)
c) Peningkatan kejadian penyakit/kematian 2 kali atau lebih dibandingkan periode
sebelumnya (jam, hari, minggu, bulan, tahun).
41
d) Jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukkan kenaikan 2 kali lipat atau lebih
bila dibandingkan dengan angka rata-rata per bulan dalam tahun sebelumnya.
e) Angka rata-rata per bulan selama satu tahun menunjukkan kenaikan 2 kali lipat atau
lebih dibandingkan dengan angka rata-rata per bulan dalam tahun sebelumnya.
f) Case fatality rate dari suatu penyakit dalam kurun waktu tertentu menunjukkan 50%
atau lebih dibandingkan CFR dari periode sebelumnya.
g) Proporsional rate (PR) penderita baru dari periode tertentu menunjukkan kenaikan 2
kali lipat atau lebih dibandingkan periode yang sama dalam kurun waktu/tahun sebelumnya.
h) Setiap peningkatan kasus dari periode sebelumnya (pada daerah endemis)
i) Terdapat satu atau lebih penderita baru dimana pada periode 4 minggu sebelumnya
daerah tersebut dinyatakan bebas dari penyakit yang bersangkutan.
j) Beberapa penyakit yang dialami 1 (satu) atau lebih penderita : keracunan makanan
dan keracunan pestisida.
k) Dalam menentukan apakah ada wabah, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut
dengan membandingkan jumlah yang ada saat itu dengan jumlah beberapa minggu atau
bulan sebelumnya.
l) Menentukan apakah jumlah kasus yang ada sudah melampaui jumlah yang
diharapkan.
1) Sumber informasi bervariasi :
1. Catatan hasil surveilans
2. Catatan keluar rumah sakit statistik kematian, register, dan lain-lain.
3. Bila data local tidak ada dapat digunakan rate dari wilayah di dekatnya atau data nasional
4. Boleh juga dilaksanakan survey di masyarakat menentukan kondisi penyakit yang biasanya
ada.
2) Pseudo-epidemik :
1. Perubahan cara pencatatan dan pelaporan penderita
2. Adanya cara diagnosis baru
3. Bertambahnya kesadaran penduduk untuk berobat
4. Adanya penyakit lain dengan gejala yang serupa
5. Bertambahnya jumlah penduduk yang rentan
(Efendi, Ferry. 2009).

C. Penyakit Tertentu Yang Menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB)

42
Berdasarkan Permenkes RI No.1501/Menkes/Per/X/2010 Bab II pasal 2 penyakit tertentu
yang menimbulkan KLB :
a) Kholera g) m) Hepatitis
b) Pes Pertusis n) Influenza
c) Demam h) Rabies H1N1
berdarah i) o) Meningitis
d) Campak Malaria p) Yellow
e) Polio j) Avian Fever
f) Difteri Influenza H5N1 q)
k) Chikungunya
Antraks
l)
Leptospirosis

Penyakit-Penyakit berpotensi Wabah/KLB :


a) Penyakit karantina/penyakit wabah penting: Kholera, Pes, Yellow Fever.
b) Penyakit potensi wabah/KLB yang menjalar dalam waktu cepat/mempunyai
memerlukan tindakan segera : DHF, Campak, Rabies, Tetanus neonatorum, Diare, Pertusis,
Poliomyelitis
c) Penyakit potensial wabah/KLB lainnya dan beberapa penyakit penting : Malaria,
Frambosia, Influenza, Anthrax, Hepatitis, Typhus abdominalis, Meningitis, Keracunan,
Encephalitis, Tetanus.
d) Penyakit-penyakit menular yang tidak berpotensi wabah dan atau KLB, tetapi masuk
program : Kecacingan, Kusta, Tuberkulosa, Syphilis, Gonorrhoe, Filariasis, dan lain-lain.

D. Klasifikasi Kejadian Luar Biasa (KLB)


Berdasarkan klasifikasinya Kejadian Luar Biasa dibagi berdasarkan penyebab dan
sumbernya, yakni sebagai berikut :
a) Berdasarkan Penyebab
1) Toxin
1. Entero toxin, misal yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus, Vibrio, Kholera,
Eschorichia, Shigella
2. Exotoxin (bakteri), misal yang dihasilkan oleh Clostridium botulinum, Clostridium
perfringens

43
3. Endotoxin
2) Infeksi
1. Virus
2. Bacteri
3. Protozoa
4. Cacing
3) Toxin Biologis
1. Racun jamur.
2. Alfatoxin
3. Plankton
4. Racun ikan
5. Racun tumbuh-tumbuhan
4) Toxin Kimia
1. Zat kimia organik: logam berat (seperti air raksa, timah), logam-logam lain cyanida, nitrit,
pestisida.
2. Gas-gas beracun: CO, CO2, HCN, dan sebagainya
(Bustan, 2002).
b) Berdasarkan sumber
1) Sumber dari manusia
Misalnya: jalan napas, tangan, tinja, air seni, muntahan seperti : salmonella, shigella,
hepatitis.
2) Bersumber dari kegiatan manusia
Misalnya : toxin dari pembuatan tempe bongkrek, penyemprotan pencemaran lingkungan.
3) Bersumber dari binatang
Misalnya : binatang peliharaan, rabies dan binatang mengerat
4) Bersumber pada serangga (lalat, kecoak )
Misalnya : salmonella, staphylococcus, streptococcus
5) Bersumber dari udara
Misalnya : staphylococcus, streptococcus virus
6) Bersumber dari permukaan benda-benda atau alat-alat
Misalnya : salmonella
7) Bersumber dari makanan dan minuman
Misalnya : keracunan singkong, jamur, makanan dalam kaleng
(Bustan, 2002).
44
E. Pelaksanaan Penyelidikan Kejadian Luar Biasa (KLB)
Tujuan umum dari pelaksanaan Penyelidikan Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah untuk
mendapatkan informasi dalam rangka penanggulangan dan pengendalian Penyelidikan
Kejadian Luar Biasa (KLB). Untuk mencapai tujuan umum tersebut, maka dirumuskan
tujuan khusus sebagai berikut :
a) Memastikan diagnosis penyakit
Dalam memastikan diagnosis penyakit, terlebih dahulu dijelaskan tingkatan kasus penyakit
yang bersangkutan
1) Kepastian diagnosis
1. Kasus pasti : adanya kepastian laboratorium serologi, bakteriologi, virologi atau parasitologi
dengan atau tanpa gejala klinis.
2. Kasus mungkin : Tanda atau gejala sesuai penyakitnya tanpa dukungan laboratrium
3. Kasus tersangka : Tanda atau gejala sesuai penyakitnya tetapi pemeriksaan laboratorium
negatif
2) Hubungan epidemiologi
1. Kasus primer : kasus yang sakit karena paparan pertama
2. Kasus sekunder : kasus yang sakit karena adanya kontrak dengan kasus primer
3. Kasus tak ada : terjadinya sakit bukan karena paparan pertama ataupun hubungan kontrak
dengan kasus
3) Pada waktu melakukan penyelidikan Kejadian Luar Biasa (KLB) dilapangan,
diagnosis penyakit hanya didasarkan pada penyesuaian dari gejala dan tanda penyakit yang
bersangkutan
yang sudah dipelajari dari kepustakaan atau oleh guru/dosen yang bersangkutan. Namun
tidak begitu mudah memastikan diagnosis penyakit atas dasar penyesuaian gejala dan tanda
ini. Karena itu di lapangan pemastian diagnosis penyakit didasarkan pada :
1. Urutan frekuensi tertinggi sampai terendah dari gejala dan tanda penyakit
2. Gejala atau tanda patognomosis yaitu gejala dan tanda yang khusus untuk penyakit tertentu
3. Perimbangan antara sensitivitas dan spesitifitas
b) Penetapan Penyelidikan Kejadian Luar Biasa (KLB)
1) Distribusi kasus menurut waktu
Bila dibuat kurve dimana waktu merupakan absisnya dan frekuensi kasus merupakan
ordinatnya, maka ada tiga jenis kurve epidemi yaitu :
1. Common source epidemic, yang menunjukan adanya sumber penyakit yang sama.

45
2. Propagated epidemic, yang menunjukan terjadinya penyebaran penyakit dari orang ke orang
secara langsung atau melalui lingkungan.
3. Kombinasi Common source epidemic dan Propagated epidemic.
(Lapau, Buchari. 2009).

III. DESAIN EPIDEMIOLOGI

EPIDEMIOLOGI DESKRIPTIF DAN ANALITIK

Epidemiologi adalah studi tentang distribusi dan determinan penyakit pada populasi. Studi
epidemiologi dibedakan menjadi dua kategori: (1) epidemiologi deskriptif; dan (2)
epidemiologi analitik (Gambar 1).

Epidemiologi deskriptif. Epidemiologi deskriptif mendeskripsikan distribusi penyakit pada


populasi, berdasarkan karakteristik dasar individu, seperti umur, jenis kelamin, pekerjaan,
kelas sosial, status perkawinan, tempat tinggal dan sebagainya, serta waktu. Epidemiologi
deskriptif juga dapat digunakan untuk mempelajari perjalanan alamiah penyakit. Tujuan
epidemiologi deskriptif: (1) Memberikan informasi tentang distribusi penyakit, besarnya
beban penyakit (disease burden), dan kecenderungan (trend) penyakit pada populasi, yang
berguna dalam perencanaan dan alokasi sumber daya untuk intervensi kesehat-an; (2)
Memberikan pengetahuan tentang riwayat alamiah penyakit; (3) Merumuskan hipotesis
tentang paparan sebagai faktor risiko/ kausa penyakit.

46
Contoh, case series merupakan studi epidemiologi deskriptif tentang serangkaian kasus,
yang berguna untuk mendeskripsikan spektrum penyakit, manifestasi klinis, perjalanan
klinis, dan prognosis kasus. Case series banyak dijumpai dalam literatur kedokteran klinik.
Tetapi desain studi ini lemah untuk memberi-kan bukti kausal, sebab pada case series tidak
dilakukan perbandingan kasus dengan non-kasus. Case series dapat digunakan untuk
merumuskan hipotesis yang akan diuji dengan desain studi analitik.

Case report (laporan kasus) merupakan studi kasus yang bertujuan mendeskripsikan
manifestasi klinis, perjalanan klinis, dan prognosis kasus. Case report mendeskripsikan cara
klinisi mendiagnosis dan memberi terapi kepada kasus, dan hasil klinis yang diperoleh.
Selain tidak terdapat kasus pembanding, hasil klinis yang diperoleh mencerminkan variasi
biologis yang lebar dari sebuah kasus, sehingga case report kurang andal (reliabel) untuk
memberikan bukti empiris tentang gambaran klinis penyakit.

Studi potong-lintang (cross-sectional study, studi prevalensi, survei) berguna untuk


mendeskripsikan penyakit dan paparan pada populasi pada satu titik waktu tertentu. Data
yang dihasilkan dari studi potong-lintang adalah data prevalensi. Tetapi studi potong-lintang
dapat juga digunakan untuk meneliti hubungan paparan-penyakit, meskipun bukti yang
dihasilkan tidak kuat untuk menarik kesimpulan kausal antara paparan dan penyakit, karena
tidak dengan desain studi ini tidak dapat dipastikan bahwa paparan mendahului penyakit.

Epidemiologi analitik. Epidemiologi analitik menguji hipotesis dan menaksir


(mengestimasi) besarnya hubungan/ pengaruh paparan terhadap penyakit. Tujuan
epidemiologi analitik: (1) Menentukan faktor risiko/ faktor pencegah/ kausa/ determinan
penyakit, (2) Menentukan faktor yang mempengaruhi prognosis kasus; (3) Menentukan
efektivitas intervensi untuk mencegah dan mengendalikan penyakit pada populasi.

Dua asumsi melatari epidemiologi analitik. Pertama, keadaan kesehatan dan penyakit pada
populasi tidak terjadi secara random melainkan secara sistematis yang dipengaruhi oleh
faktor risiko/ kausa/ faktor pencegah/ faktor protektif (Hennekens dan Buring, 1987; Gordis,
2000). Kedua, faktor risiko atau kausa tersebut dapat diubah sehingga dapat dilakukan
upaya pencegahan penya-kit pada level individu dan populasi (Risser dan Risser, 2002).

ASPEK KUNCI DESAIN STUDI EPIDEMIOLOGI

Desain studi epidemiologi dapat dibedakan berdasarkan beberapa aspek kunci


berikut (Kleinbaum et al, 1982; Kramer dan Baivin, 1987; Kothari, 1990; Gerst-man, 1998):

47
(1) Arah pengusutan; (2) Jenis data; (3) Desain pemilihan sampel; (4) Peran peneliti dalam
memberikan intervensi.

Arah pengusutan

Berdasarkan arah pengusutan (direction of inquiry) status paparan dan penyakit,


studi epidemiologi dibedakan menjadi 3 kategori (Gerstman, 1998): (1) Non-directional; (2)
Prospektif; (3) Retrospektif (Gambar 2).

Non-directional. Arah pengusutan disebut non-directional jika peneliti mengamati paparan


dan penyakit pada waktu yang sama. Studi potong lintang (cross sectional) bersifat non-
directional sebab hubungan antara paparan dan penyakit pada populasi diteliti pada satu
waktu yang sama. Cara studi potong lintang meneliti hubungan antara paparan dan penyakit:
(1) membandingkan prevalensi penyakit pada berbagai subpopulasi yang berbeda status
paparannya; (2) membandingkan status paparan pada berbagai subpopulasi yang berbeda
status penyakitnya.

Retrospektif. Arah pengusutan dikatakan retrospektif (backward direction) jika peneliti


menentukan status penyakit dulu, lalu mengusut riwayat paparan ke belakang. Arah
pengusutan seperti itu bisa dikatakan anti-logis, sebab peneliti mengamati akibatnya dulu
lalu meneliti penyebabnya, sementara yang terjadi sesungguhnya penyebab selalu
mendahului akibat. Studi epidemiologi yang bersifat retrospektif adalah studi kasus kontrol.

48
Prospektif. Arah pengusutan dikatakan prospektif (forward direction) jika peneliti
menentukan dulu status paparan atau intervensi lalu mengikuti ke depan efek yang
diharapkan. Studi epidemiologi yang bersifat prospektif adalah studi kohor dan eksperimen.

Terdapat sejumlah alasan mengapa perlu membedakan arah pengusutan. Pertama,


arah pengusutan suatu desain studi menunjukkan logika inferensi kausal. Sebagai contoh,
salah satu kriteria Hill yang harus dipenuhi untuk menarik kesimpulan kausal tentang
hubungan/ pengaruh variabel adalah sekuensi temporal. Kriteria ini menegaskan, agar dapat
dikatakan kausa, maka paparan harus mendahului penyakit, atau intervensi harus
mendahului variabel hasil (Ibrahim et al., 2001; Last, 2001). Sifat non-directional dari studi
potong-lintang menyebabkan desain studi itu kurang baik untuk digunakan memastikan
hubungan kausal. Sebaliknya sifat prospektif studi kohor dan eksperimen membuat desain
studi itu tepat untuk membantu memastikan hubungan kausal. Sedang sifat retrospektif dan
antilogis dari studi kasus kontrol membuat desain studi tersebut kurang kuat dibandingkan
dengan studi kohor untuk memberikan bukti kausal, meskipun lebih baik dibandingkan
dengan studi potong lintang.

Kedua, arah pengusutan berimplikasi kepada kemampuan desain studi dalam


menggunakan ukuran frekuensi penyakit (menunjukkan risiko terjadinya penyakit), maupun
ukuran asosiasi paparan-penyakit (menunjukkan risiko relatif terjadinya penyakit). Pada
studi prospektif, yaitu studi kohor dan eksperimen, peneliti mengikuti sekelompok subjek
(disebut kohor) dan mengamati terjadinya penyakit atau variabel hasil yang diteliti. Dengan
studi kohor dan eksperimen peneliti dapat menghitung risiko (insidensi), sehingga dapat
menghitung RR (studi kohor dan eksperimen), maupun RRR, ARR, dan NNT (eksperimen).

Pada studi potong lintang, karena bersifat non-directional, peneliti tidak bisa
menghitung insidensi (kasus baru), yang menunjukkan risiko terjadinya penyakit dalam
suatu periode waktu. Jadi pada studi potong lintang, peneliti tidak bisa menghitung risiko
dan risiko relatif (RR). Data yang diperoleh studi potong lintang adalah prevalensi, terdiri
atas kasus baru dan lama. Prevalensi adalah jumlah kasus yang ada di suatu saat dibagi
dengan jumlah populasi studi. Jika prevalensi penyakit pada kelompok terpapar dibagi
dengan prevalensi penyakit pada kelompok tak terpapar, maka diperoleh Prevalence Ratio
(PR). Demikian pula jika odd penyakit pada kelompok terpapar dibagi dengan odd penyakit
pada kelompok tak terpapar, diperoleh Prevalence Odds Ratio (POR).

Berbeda dengan studi kohor, pada studi kasus kontrol, peneliti tidak mengikuti suatu
kohor subjek penelitian yang belum sakit ke depan, tidak mengamati terjadinya penyakit,
49
tidak dapat menghitung insidensi (kasus baru) dalam suatu periode waktu. Pada studi kasus
kontrol, peneliti menggunakan kasus-kasus yang sudah ada dan memilih kontrol (non-kasus)
yang sebanding. Lalu peneliti mencari informasi status (riwayat) paparan masing-masing
subjek kasus dan kontrol. Jadi pada studi kasus kontrol peneliti tidak bisa menghitung risiko
dan risiko relatif (RR). Sebagai ganti risiko, pada studi kasus kontrol peneliti menggunakan
odd. What is odd? Odd adalah probabilitas dua peristiwa yang berkebalikan, misalnya sakit
verus sehat, mati versus hidup, terpapar versus tak terpapar. Pada studi kasus kontrol, odd
pada kasus adalah rasio antara jumlah kasus yang terpapar dibagi tidak terpapar. Odd pada
kontrol adalah rasio antara jumlah kontrol terpapar dibagi tidak terpapar. Jika odd pada
kasus dibagi dengan odd pada kontrol, diperoleh Odds ratio (OR). OR digunakan pada studi
kasus kontrol sebagai pengganti RR.

Jenis data

Berdasarkan kronologi pengumpulan data, data studi epidemiologi dapat dibedakan


menjadi 3 jenis (Gerstman, 1998): (1) data sewaktu; (2) data historis; dan (3) data campuran
(Gambar 3).

Data sewaktu. Data sewaktu (concurrent data, contemporary data) adalah data tentang status
paparan, status penyakit, dan variabel lainnya, yang dikumpulkan bersamaan dengan waktu
penelitian. Karena umumnya dikumpulkan sendiri oleh peneliti maka data sewaktu sering
kali merupakan data primer.

Data historis. Data historis (historical data) adalah data tentang status paparan, status
penyakit, dan variabel lainnya, yang dikumpulkan pada waktu sebelum dimulainya
penelitian. Data historis dapat berasal dari sumber sekunder, yaitu catatan yang sudah
tersedia, misalnya catatan kelahiran dan kematian, rekam medis, data sensus, survei
kesehatan rumah tangga (SKRT), riwayat pekerjaan. Tetapi data historis dapat juga berasal
dari sumber primer, diperoleh dari wawancara dengan subjek penelitian, keluarga, atau
teman (dise-but surrogates), untuk mengingat kembali (recall) peristiwa masa lalu.

50

Data campuran. Data campuran adalah data yang dikumpulkan sebagian bera-sal dari masa
lalu dan sebagian berasal dari waktu yang sama dengan waktu penelitian. Nested case
control study merupakan contoh sebuah desain studi yang menggunakan data campuran.
Pada nested case-control study diidentifikasi kasus yang terjadi dari sebuah kohor. Untuk
masing-masing kasus kemudian dipilihkan dan dibandingkan dengan anggota kohor yang
tidak mengalami penyakit sebagai kontrol, dan memiliki tingkat faktor perancu yang sama
dengan kasus (disebut matched control) (Wikipedia, 2011).

Data perlu dibedakan menurut kronologi pengumpulan data. Mengapa? Pertama, jenis data
menurut kronologi pengumpulan menentukan kualitas data. Pada umumnya data sewaktu
lebih reliabel daripada data historis, karena validasi data bisa dilakukan langsung oleh
peneliti (Gerstman, 1998). Kedua, jenis data menurut kronologi berguna untuk
mengelaborasi lebih lanjut jenis desain studi. Jenis data tidak tergantung arah pengusutan.
Implikasinya, desain studi yang arah pengusutannya prospektif dapat saja menggunakan
data historis. Studi kohor yang menggunakan data historis disebut studi kohor historis (studi
kohor retrospektif). Studi kohor yang menggunakan data sewaktu disebut studi kohor
(prospektif) (Bosma et al., 1997; Okasha et al., 2002; Rothman, 2002).

Sebaliknya, desain studi yang arah pengusutannya retrospektif dapat menggunakan data
sewaktu. Studi kasus kontrol yang menggunakan data sewaktu disebut studi kasus kontrol
prospektif. Studi kasus kontrol yang menggunakan data historis disebut studi kasus kontrol
(retrospektif) (Rothman, 2002). Studi kasus kontrol yang menggunakan data historis dan
data sewaktu, yakni data primer yang berasal dari studi kohor sebagai penelitian induk,
disebut nested case control study atau ambidirectional staudy. Desain nested case-
control study membutuhkan biaya dan upaya pengumpulan data yang lebih rendah

51
daripada studi yang sepenuhnya menggunakan pendekatan kohor (Wikipedia,2011). Tabel 1
menyajikan perbedaan antara ketiga studi observasional sejumlah kriteria.

IV. PENCEGAHAN & PENANGGULANGAN KLB

Setiap Penyidikan KLB sebaiknya - KLB, digunakan sebagai sarana mendapatkan


informasi untuk perbaikan program kesehatan pada umumnya dan program pencegahan dan
pemberantasan penyakit menular dan sistim surveilens pada khususnya.

Penyidikan KLB selalu dilakukan :Pengkajian terhadap sistim surveilens yang ada,
untuk mengetahui kemampuannya sebagai alat deteksi dini adanya KLB, kecepatan informasi
dan pemenuhan kewajiban pelaksanaan sistim surveilens.

PENYUSUNAN REKOMENDASI

1. Tujuan utama penyidikan KLB adalah merumuskan tindakan untuk mengakhiri KLB pada
situasi yang dihadapi (penanggulangan) dan mencegah terulangnya KLB dimasa mendatang
(pengendalian).

52
2.Tindakan penanggulangan KLB didasari atas diketahuinya : etiologis, sumber dan cara
penularan

Sistem Surveilens diperlukan untuk :

* Untuk evaluasi terhadap tindakan penanggulangan yang dijalankan .

* Sistim surveilans penyakit di masyarakat (menggunakan tenaga masyarakat) biasanya lebih


dapat dipergunakan untuk memantau kasus baru dan komplikasinya.

SISTEM KEWASPADAAN DINI KEJADIAN LUAR BIASA (SKD)

Salah satu upaya mengurangi kerugian akibat yang ditimbulkan oleh letusan Kejadian
Luar Biasa (KLB) suatu penyakit adalah melakukan pengamatan yang intensif dan dikenal
dengan Sistem Kewaspaspadaan Dini (SKD) terhadap penyakit potensial KLB. Kegiatan
dalam SKD diarahkan terhadap pengendalian mata rantai dan faktor-faktor yang
memungkinkan timbulnya penyakit, serta cara intervensinya sehingga dapat mengurangi
kerugian. Pelaksanaan SKD KLB yang dilakukan paa tingkat Puskesmas akan memiliki
manfaat yang besar dalam pencegahan KLB penyakit.

Dalam pelaksanaan SKD-KLB ini secara legalitas ditunjang oleh Undang- Undang
Nomor 4 tahun 1984, PP Nomor 40 tahun 1991 serta Permenkes Nomor 560 tahun 1989 dan
Permenkes Nomor 453 Tahun 1983, sehingga perumusan SKD-KLB menggunakan
pendekatan legalitas, epidemiologi dan kesisteman(5).

1. Pengertian Sistem Kewaspaaan Dini KLB

Sistem Kewaspadaan Dini KLB adalah sutau tatanan pengamatan yang mendukung
sikap tanggap terhadap suatu perubahan dalam masyarakat atau penyimpangan. Persyaratan
yang berkaitan dengan kecenderungan terjadinya kesakitan/kematian atau pencemaran
makanan/lingkungan sehingga dapat segera melakukan tindakan dengan cepat dan tepat untuk
mencegah/mengurangi terjadinya jatuh korban.

SKD adalah suatu tatanan pengamatan yang cermat dan teliti terhadap distribusi dan
faktor-faktor risiko kejadian yang memungkinkan terbangunnya sikap tanggap terhadap
perubahan sehingga dapat dilakukan antisipasi seperlunya .

2. Indikator

53
Adalah faktor-faktor atau tanda-tanda yang berpengaruh terhadap terjadinya
kesakitan/kematian yang dipantau terus menerus untuk mengetahui terjadinya perubahan atau
penyimpangan persyaratan.

3. Variabel SKD

Dalam menerapkan SKD-KLB digunakan pendekatan resiko sebagai penyebab


timbulnya KLB penyakit. Beberapa variabel indikator faktor resiko dari penyakit adalah
sebagai berikut :

Upaya penanggulangan meliputi pencegahan KLB, termasuk pengawasan usaha


pencegahan tersebut dan pemberantasan penyakitnya.

Inti SKD adalah surveilans

Kegiatan SKD :Pengumpulan data, pengolahan, analisa data dan penyebarluasan informasi.

Tujuan SKD

1. Antisipasi/prediksi,sehingga KLB dapat dicegah

2. Deteksi dini : untuk mengetahui kapan ada masalah

3. Reaksi cepat : sebagai pedoman/ staff terlatih/bahan dan tersedia sebelum KLB

4. Effective Response : metoda penanggulangan yang tepat dan sumber daya dan logistik
yang memadai

Pelaksanaan SKD

1. Surveilans epidemiologi rutin

Statistik morbiditas & mortalitas dikumpulkan oleh semua jenjang pelayanan kesehatan,
sehingga idealnya wabah dapat terdeteksi oleh jenjang pelayanan terkecil.

Namun mungkin sulit karena jumlah pasien yang diperiksa sedikit dengan wilayah terbatas.
Mana kala ada satu atau dua pasien dengan gejala tertentu tidak memperoleh perhatian dan
tidak disadari sebenarnya wabah sedang mulai berlangsung.

Biasanya terdeteksi pada level Kabupaten , sehingga perlu kriteria lokal dan tiap kasus
diplot bersama dengan data dasar dari surveilans rutin tahun sebelumnya misalnya saja variasi

54
musiman. Kriteria nilai ambang epidemik perlu ditetapkan , sehingga unit pelayanan
kesehatan di bawah tahu persis kapan harus lapor segera tentang adanya kejadian penyakit .

2. Surveilans epidemiologi aktif

Pencarian kasus-kasus tertentu secara tuntas.Pengaturan permanen diperlukan agar


kasus yang dicurigai dapat segera diselidiki lebih lanjut, dan harus dinilai dengan selang
waktu tertentu melalui pemeriksaan kasus, laboratorium atau reservoir.Hal ini penting dari
sisi kesehatan masyarakat yang berkaitan dengan endemisitas atau berkaitan fokus aktif di
wilayah lain. Juga pada daerah dimana dimungkinkan tingkat kekebalan penduduk belum
baik, atau adanya serangga penular yang berperan. Basis surveilans biasanya pada lembaga
kesehatan dan masyarakat. Contoh nyata pelaksanaan ini adalah SURVEILANS AKTIF AFP.

3.Surveilans epidemiologi Mobile / lapangan

Lazim dikenal sebagai penyelidikan epidemiologi.Pencarian kasus-kasus tambahan,


sifat-sifat penyebab,faktor yang mempengaruhi kejadian dan tindakan seperlunya

Instrumen SKD,Indikator yang diwujudkan dalam : Tabel,PWS,grafik.

Beberapa cara dalam penanggulangan KLB

1.Menghilangkan Sumber penularan

- Menjauhkan sumber penularan dari orang,membunuh bakteri pada sumber penularan,


melakukan isolasi atau pengobatan pada orang yang diduga sebagai sumber Penularan

2.Memutus rantai penularan

- Strelilisasi sumber pencemaran,mengendalikan vektor,dan peningkatan hygiene perorangan

3.Merubah respon orang terhadap penyakit

-Melakukan immunisasi dan mengadakan pengobatan

Hal-Hal yang dapat dilakukan untuk mencegah KLB adalah dengan jalan sebagai berikut 3):

1. Persiapan

a. Konfirmasi informasi

55
Informasi yang didapat kadang-kadang tidak lengkap bahkan tidak jelas, untuk itu
diperlukan upaya konfirmasi tentang kejelasan informasi.

- Sumber informasi dapat diperoleh dari masyarakat baik lisan maupun tulisan dan fasilitas
kesehatan.

- Gambaran tentang kasus meliputi gejala, pemeriksaan yang dilakukan untuk diagnosis dan
hasil konfirmasi ada tidaknya komplikasi, kecacatan, kelumpuhan bahkan kematian.

- Situasi geografi dan sarana transportasi yang ada.

b. Pembuatan rencana kerja

Kegiatan ini meliputi;

1. Definisi kasus

Definisi kasus sangat berguna untuk mengarahkan pencarian kasus, paling baik
ditentukan berdasarkan hasil konfirmasi laboratorium. Perumusan diagnosis kasus dalam
kalimat yang jelas merupakan hal yang penting oleh karena itu akan menjadi pedoman bagi
tim penyelidikan lapangan dalam penemuan kasus.

2. Hipotesis mengenai penyakit, penyebab, sumber dan cara penularan.

3. data /informasi yang diperlukan misalnya jumlah kasus, jumlah penduduk, kebiasaan
penduduk, data lingkungan.

4. cara memperoleh data/ informasi

kegiatan ini dapat dilakukan dengan mengunakan data fasilitas pelayanan kesehatan,
mencari informasi di instansi non kesehatan, dan melalui survey di masyarakat.

5. Tim dan sarana yang diperlukan sesuai dengan jenis KLB, misal sanitasi, entomolog, analis
dll

2. Pelaksanaan

a. Penegakan diagnosis

56
Penegakan diagnosis dilakukan dengan cara menghitung distribusi frekuensi dari
tanda dan gejala yang ditemukan pada kasus dengan membuat daftar gejala yang ada pada
kasus dan menghitung persentasenya. Susunan berdasarkan pada frekuensi gejala dan tanda
penderita kemudian dicocokan dengan tanda dan gejala klinis penderita penyakit tertentu,
sehingga kejadian ini dapat dikelompokan menjadi kasus atau bukan. Penentuan laboratorium
diperlukan untuk konfirmasi diagnosis dan menentukan type prganisme penyebab sakit serta
pengobatan yang cepat dan tepat.

b. Penentuan KLB

Penentuan KLB bertujuan menetapkan apakah kejadian tesebut merupakan KLB atau
bukan, dilakukan dengan membandingkan insiden penyakit yang telah berjalan dengan
insiden penyakit dalam keadaan biasa pada populasi yang berisiko pada tempat dan waktu
tertentu. Hal ini dapat dilakukan dengan melihat pola maksimum dan minimum 5 tahunan
atan 3 tahunan, membandingkan penyakit pada minggu.bulan/tahun sebelumya. Untuk
memastikan KLB sebaiknya dilakukan pola analisis secara komperhensif tidak hanya kasus
tetapi termasuk informasi fektor, lingkungan dan prilaku penduduk.

c. Identifikasi kasus dan paparan

Identifikasi kasus yang paling baik adalah berdasarkan hasil konfirmasi laboratorium,
namun demikian berdasarkan gejala klinis dapat dipakai sebagai identifikasi kasus di
lapangan saat penyidikakan. Identifikasi paparan dapat ditentukan melalui analisis kurva
epidemic sehingga dapat diperkirakan indeks kasus (siapa yang pertama kali terkena) dan
waktu paparan (kapan penularan itu terjadi). Informasi yang penting adalah landasan teori
tentang cara penularan penyakit. Identifikasi paparan akan membantu mengidentifikasi
penularan serta membantu mendiagnosa dengan lebih baik.

d. Diskripsi menurut orang, tempat, dan waktu

Dari hasil pengumpulan data penderita kemudian dikelompokan. Pengelompokan


menurut tempat mengambarkan dimana mereka terkena, yang perlu mengelompokan tidak
harus tempat tinggal, bisa sekolah, tempat kerja, desa atau kota, gunung dan pantai dll.
Pengelompokan berdasarkan orang seperti umur, sex, jenis kelamin, jenis pekerjaan, perilaku.

e. Merumuskan hipotesis

57
Setelah di ketahui adanya laporan kemudian diambil hipotesis dengan merujuk teoro
yang telah ada.

VI. Kesimpulan
Dr. Bagus sebagai dokter di Puskesmas Maju tidak melakukan surveilans epidemiologi
secara rutin sehingga terjadi KLB (Kejadian Luar Biasa).

DAFTAR PUSTAKA

Nomor 1116 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan,


Jakarta : Departemen Kesehatan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2003, Keputusan Menteri Kesehatan Republik


Indonesia
58
Tjekyan, Suryadi. 2013. Pengantar Epidemiologi. Palembang: Unsri Press.

UU No.4 Th 1984 tentang Wabah Penyakit Menular

Peraturan Mentri Kesehatan RI, No, 560/MENKES/PER/VII/1989

John TJ, Samuel R.2000.Herd Immunity and Herd Effect: New Insights and Definitions. Eur. J.
Epidemiol. 16 (7): 6016.

History and Epidemiology of Global Smallpox Eradication From the training course titled
Smallpox: Disease, Prevention, and Intervention. The CDC and the World Health
Organization. Slide 16-17.pdf

Budiarto, Eko.2003. Pengantar Epidemiologi, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

Bustan MN ( 2002 ). Pengantar Epidemiologi, Jakarta, Rineka Cipta

59

Anda mungkin juga menyukai