Anda di halaman 1dari 32

MATA PELATIHAN INTI 1

PENYAKIT YANG DAPAT DICEGAH


DENGAN IMUNISASI

PERHIMPUNAN AHLI EPIDEMIOLOGI INDONESIA


BEKERJASAMA DENGAN DIREKTORAT SURVEILANS DAN KARANTINA KESEHATAN
DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
2021

MODUL PD3I PELATIHAN PD3I BAGI PETUGAS SURVEILANS DI KAB-KOTA DAN PROV i
DAFTAR ISI
Halaman
I. Deskripsi Singkat ………………………………...….............. 1
II. Tujuan Pembelajaran …………………………..………….…. 2
A. Hasil Belajar ………………………………..……………..… 2
B. Indikator Hasil Belajar ……………………..…………….… 2
III. Materi Pokok dan Sub Materi Pokok ………...……….…… 3
IV. Metode …………………………………...……………………... 4
V. Media dan Alat Bantu ………………………………………… 5
VI. Langkah-langkah kegiatan pembelajaran………............... 6
VII. Uraian Materi …………………………………………….…….. 7
Materi Pokok 1. Jenis-jenis PD3I …….........…….........……... 7
Materi Pokok 2. Gambaran Klinis PD3I …….........……......... 8
Materi Pokok 3. Surveilans AFP dan PD3I Lainnya Yang
Memiliki Komitmen Global ……................... 26
VIII. Referensi ………………………………………………….….... 28

MODUL PD3I PELATIHAN PD3I BAGI PETUGAS SURVEILANS DI KAB-KOTA DAN PROV ii
1 DESKRIPSI SINGKAT
Saat ini Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) masih
merupakan salah satu masalah kesehatan yang mengancam dunia. WHO
menyatakan bahwa imunisasi saat ini mencegah 2-3 juta kematian setiap tahun
akibat penyakit seperti difteri, tetanus, pertusis, influenza, dan campak.

Terdapat berbagai vaksin untuk mencegah lebih dari 20 penyakit yang


mengancam jiwa, membantu orang-orang dari segala usia hidup lebih lama,
hidup lebih sehat. Penyakit-penyakit ini dapat mengakibatkan kesakitan,
kecacatan dan bahkan kematian terutama jika mengenai anak-anak yang
belum mendapatkan imunisasi rutin lengkap. Oleh karena itu maka diperlukan
cakupan imunisasi yang tinggi dan merata untuk mencegah individu dari
PD3I dan mencegah penularan di masyarakat.

Untuk mencapai tujuan pelayanan imunisasi dengan baik, kita harus


mengetahui penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) secara benar,
meliputi jenis dan gambaran klinis dari setiap PD3I tersebut. Selain itu beberapa
PD3I yang saat ini menjadi perhatian dunia dan memiliki komitmen global yang
wajib diikuti oleh semua negara dalam pengendalian penyakitnya, yaitu antara
lain eradikasi polio pada tahun 2026 dan eliminisasi campak-Rubela/Congenital
Rubella Syndrome (CRS) pada tahun 2023. Maka untuk memantau
keberhasilan program imunisasi nasional dalam mencapai target komitmen
global PD3I tersebut harus dilakukan surveilans AFP dan PD3I lainnya.
Mata pelatihan ini membahas tentang jenis-jenis PD3I, gambaran klinis
PD3I, serta surveilans AFP dan PD3I lainnya yang memiliki komitmen global.

MODUL PD3I PELATIHAN PD3I BAGI PETUGAS SURVEILANS DI KAB-KOTA DAN PROV 1
2 TUJUAN
PEMBELAJARAN

A. Hasil Belajar
Setelah mengikuti mata pelatihan ini, peserta mampu memahami penyakit yang
dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) sesuai pedoman yang ada.

B. Indikator Hasil Belajar


Setelah mengikuti mata pelatihan ini, peserta dapat:
1. Menjelaskan jenis-jenis PD3I
2. Menjelaskan gambaran klinis PD3I
3. Menjelaskan surveilans AFP dan PD3I lainnya yang memiliki komitmen global

Modul PD3I Pelatihan PD3I Bagi Petugas Surveilans di Kab-Kota dan Prov 2
3 MATERI POKOK dan
SUB MATERI POKOK
Materi pokok dan sub materi pokok pada mata pelatihan ini adalah:
A. Jenis-jenis Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi
B. Gambaran Klinis Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi
C. Surveilans AFP dan Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi Lainnya
Yang Memiliki Komitmen Global

Modul PD3I Pelatihan PD3I Bagi Petugas Surveilans di Kab-Kota dan Prov 3
4 METODE

A. Curah Pendapat
B. Ceramah Tanya Jawab

Modul PD3I Pelatihan PD3I Bagi Petugas Surveilans di Kab-Kota dan Prov 4
5 MEDIA DAN ALAT BANTU

A. Bahan Tanyang
B. Modul
C. Laptop
D. LCD
E. Pointer

Modul PD3I Pelatihan PD3I Bagi Petugas Surveilans di Kab-Kota dan Prov 5
6 LANGKAH-LANGKAH
KEGIATAN PEMBELAJARAN
Langkah-langkah kegiatan pembelajaran pada mata pelatihan ini adalah sebagai
berikut:
Sesi 1: Pengkondisian Peserta (5 menit)
Langkah proses pembelajaran sebagai berikut:
1. Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat. Apabila belum pernah
menyampaikan sesi di kelas, dimulai dengan perkenalan. Perkenalkan diri dengan
menyebutkan nama lengkap dan instansi tempat bekerja.
2. Fasilitator memulai kegiatan dengan melakukan bina suasana di kelas.
3. Fasilitator menyampaikan materi yang akan disampaikan, tujuan pembelajaran,
materi pokok/ sub materi pokok dengan menggunakan bahan tayang.
Sesi 2: Penyampaian Materi (80 menit)
Langkah proses pembelajaran sebagai berikut:
4. Fasilitator melakukan apersepsi.
5. Fasilitator melakukan curah pendapat dengan meminta peserta menjelaskan apa
yang mereka ketahui tentang penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi
(PD3I).
6. Fasilitator menyampaikan paparan seluruh materi sesuai urutan materi pokok
dengan menggunakan bahan tayang.
Materi Pokok 1: Jenis-jenis PD3I
Materi Pokok 2: Gambaran Klinis PD3I
Materi Pokok 3: Surveilans AFP dan PD3I Lainnya Yang Memiliki Komitmen
Global Fasilitator menyampaikan materi dengan metode curah pendapat,
ceramah tanya jawab.
Sesi 3: Evaluasi dan Kesimpulan (5 menit)
Langkah proses pembelajaran sebagai berikut:
7. Fasilitator melakukan evaluasi untuk mengetahui penyerapan peserta terhadap
materi yang disampaikan dan pencapaian tujuan pembelajaran
8. Fasiliator merangkum poin-poin tentang materi yang disampaikan
9. Fasilitator memberikan apresiasi dan motivasi kepada peserta
10. Fasilitator membuat kesimpulan bersama-sama peserta
11. Fasilitator menutup materi dengan mengucapkan terima kasih dan mengucapkan
salam

Modul PD3I Pelatihan PD3I Bagi Petugas Surveilans di Kab-Kota dan Prov 6
7 URAIAN MATERI

Materi Pokok 1: Jenis-jenis Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi


(PD3I)
Penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi yang termasuk dalam
imunisasi program sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. 12 Tahun 2017
di Indonesia adalah:
1. Difteri
2. Pertusis
3. Tetanus
4. Tuberkulosis
5. Campak
6. Rubela
7. Poliomielitis
8. Hepatitis B
9. Meningitis
10. Pneumokokus
11. Japanese Encephalitis
12. Human Papiloma Virus

Selain itu, terdapat juga PD3I lain yang tidak termasuk dalam imunisasi program
namun masuk dalam imunisasi pilihan seperti Tifoid, Influenza, Rotavirus, Mumps,
Varicela, Hepatitis A, dan Rabies. Petugas imunisasi diharapkan dapat bekerjasama
dengan petugas surveilans untuk menemukan, melacak, melaporkan dan
menganalisa kejadian PD3I di wilayahnya. Analisa dilakukan dengan
mempertimbangkan antara lain:
13. Status imunisasi kasus PD3I,
14. Cakupan imunisasi, kinerja surveilans PD3I, dan kejadian kasus PD3I di wilayah
tersebut selama kurun waktu minimal 3 tahun terakhir, serta
15. Mobilitas penduduk

Modul PD3I Pelatihan PD3I Bagi Petugas Surveilans di Kab-Kota dan Prov 7
Materi Pokok 2: Gambaran Klinis Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan
Imunisasi (PD3I)

1. Difteri
Difteri adalah salah satu penyakit yang sangat menular yang dapat dicegah
dengan imunisasi, disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diptheriae strain
toksigenik. Penyebarannya adalah melalui kontak fisik dan pernafasan.
Penularan terjadi melalui droplet (percikan ludah) dari batuk, bersin, muntah,
melalui alat makan, atau kontak erat langsung dari lesi di kulit. Apabila tidak
diobati dan kasus tidak
mempunyai kekebalan maka angka kematian sekitar 50%, sedangkan dengan
terapi angka kematiannya sekitar 10%.

Penyakit difteri ditandai dengan gejala awal badan lemas, sakit tenggorok, pilek
seperti infeksi saluran napas bagian atas pada umumnya. Gejala ini dapat
berlanjut adanya bercak darah pada cairan hidung, suara serak, batuk dan
atau sakit menelan. Pada anak bisa terjadi air liur menetes atau keluarnya lendir
dari mulut. Pada kasus berat, akan terjadi napas berbunyi (stridor) dan sesak
napas, dengan demam atau tanpa demam. Kulit juga bisa terinfeksi dengan
kuman difteri, secara klinis luka ditutupi selaput ke abu-abuan. Jika semakin
parah maka biasanya akan muncul pembengkakan pada leher atau sering
disebut bullneck. Masa inkubasi penyakit difteri antara 1 – 10 hari dengan rata-
rata 2 - 5 hari.

Komplikasi difteri dipengaruhi oleh usia kasus, kecepatan & ketepatan pengobatan
dan strain kuman difteri. Komplikasi difteri yang sering terjadi adalah myocarditis
(peradangan pada otot jantung) pada minggu kedua sakit. Komplikasi lainnya bisa
terjadi pada 2 – 6 minggu sakit yaitu kelumpuhan syaraf pusat dan perifer, bahkan
gejala neuritis terus terjadi dalam jangka waktu yang lama meskipun penyakit
difterinya sudah sembuh. Neuritis sering terjadi pada syaraf hidung yang
menyebabkan perubahan suara dan cairan hidung keluar terus menerus, pada
syaraf mata yang menyebabkan pandangan kabur, atau pada otot diafragma dan
anggota gerak yang sering tidak bisa dibedakan dengan GBS (Guillain-Barre
Syndrome).

Diagnosis difteri dibuat secara klinis maupun laboratoris. Diagnosis klinis dibuat
berdasarkan gambaran klinis kasus yaitu adanya gejala faringitis, tonsilitis,
laringitis, trakeitis, atau kombinasinya disertai demam ringan/sedang atau tanpa
demam danModul adanyaPD3I Pelatihan PD3I Bagi
pseudomembran Petugas
putih Surveilansyang
keabu-abuan di Kab-Kota dan Prov
sulit lepas, 8
mudah
berdarah apabila dilepas atau dilakukan manipulasi. Sedangkan diagnosis
laboratoris berdasarkan hasil pemeriksaan kultur kuman difteri pada sediaan apus
tenggorok kasus.

Pengobatan penyakit difteri harus dilakukan sesegera mungkin setelah timbul


gejala untuk menghindari komplikasi dan kematian. Pengobatan berupa antibiotik
untuk membunuh kuman dan anti difteri serum (ADS) untuk menetralisir exotoxin
dari kuman difteri.

Penting untuk melakukan pelacakan kontak dari kasus difteri agar kontak erat
dapat segera diperiksa dan diberikan obat pencegahan (profilaksis). Cara yang
paling efektif mencegah difteri adalah dengan mempertahankan cakupan
imunisasi yang tinggi di masyarakat. Di banyak negara, vaksin difteri diberikan
bersamaan dengan vaksin tetanus dan pertusis dalam bentuk DTP. Di beberapa
negara, vaksin difteri dikombinasikan dalam bentuk vaksin pentavalen
bersamaan dengan hepatitis B dan Haemophilus influenzae tipe b. Vaksin
kombinasi pentavalen (DPT-HB-Hib) ini dapat mengurangi jumlah suntikan yang
harus diberikan kepada anak-anak.

Gambar 1. Manifestasi Klinis Difteri

2. Pertusis
Pertusis disebut juga batuk rejan, adalah penyakit saluran pernafasan yang
disebabkan oleh bakteri Bordetella pertusis yang hidup dalam rongga mulut,
hidung, dan tenggorokan. Penyakit ini sangat menular, terutama menyerang
anak- anak (khususnya usia di bawah 5 tahun) yang belum di imunisasi. Pertusis
sangat mudah ditularkan dari orang ke orang melalui percikan ludah dan lendir
pada saat penderita batuk dan bersin. Penderita yang tidak diobati bisa
menularkan penyakit selama tiga minggu atau lebih sejak mulai timbulnya
gejala pertussis meskipun setelah stadium catarrhal potensi penularan menurun.
Sedangkan penderita yang

Modul PD3I Pelatihan PD3I Bagi Petugas Surveilans di Kab-Kota dan Prov 9
mendapatkan pengobatan antibiotika yang efektif masih bisa menularkan hingga
5 hari sejak pengobatan dimulai.

Masa inkubasi pertusis umumnya adalah 9-10 hari (dengan kisaran 6-20 hari).
Pertusis yang berat terjadi pada bayi muda yang belum pernah diberi imunisasi.
Setelah masa inkubasi 7-10 hari, anak timbul demam, biasanya disertai batuk dan
keluar cairan hidung yang secara klinik sulit dibedakan dari batuk dan pilek biasa.
Pada minggu ke-2, timbul batuk paroksismal yang dapat dikenali sebagai pertusis.
Batuk dapat berlanjut sampai 3 bulan atau lebih. Anak yang terinfeksi dapat
menularkan kepada orang lain selama 2 minggu sampai 3 bulan setelah
terjadinya penyakit. Gejala timbul pada umumnya dalam waktu 9-10 hari setelah
terinfeksi.

Gambaran klinis dari pertusis tidak terlalu spesifik. Ketika bakteri menginfeksi
lapisan tenggorokan, trakea dan saluran pernapasan maka sebagai respon akan
terjadi produksi lendir yang semakin banyak. Pada awalnya lendir encer, tetapi
kemudian menjadi kental dan lengket. Seseorang dinyatakan sebagai terduga/
suspek pertusisi jika orang tersebut batuk terus menerus (batuk paroksismus)
yang berlangsung minimal selama 2 minggu dengan ditemukan minimal 1 tanda
berikut:
a. Batuk rejan pada saat inspirasi atau napas dalam (inspiratory whoop), b.
Muntah setelah batuk (post-tussive vomiting), c. Muntah tanpa ada penyebab
yang jelas atau kasus apneu (berhenti nafas) dengan atau tanpa sianosis pada
anak usia <1 tahun dengan batuk tanpa ada batasan durasi, atau Jika dokter
menduga pertusis pada pasien dengan batuk tanpa ada batasan durasi.

Komplikasi yang paling sering terjadi adalah pneumonia (radang paru). Sekitar
60% penderita pertusis di negara industri mengalami komplikasi pneumonia.
Komplikasi pneumonia pada bayi usia di bawah enam bulan, bisa empat kali
lebih tinggi dibandingkan dengan penderita pertusis usia lebih tua. Komplikasi
lain seperti kejang dapat terjadi disebabkan oleh demam dan oleh karena otak
kekurangan oksigen pada saat batuk rejan.

Pengobatan dengan antibiotika dapat mengurangi gejala berat pertusis terutama


jika diberikan pada fase awal – awal penyakit. Antibiotik yang tepat dapat
membunuh bakteri yang ada di hidung dan tenggorokan sehingga dapat
mengurangi penularan penyakit kepada orang lain. Upaya pencegahan penularan
pertusis yang paling
Modul efektif
PD3I adalah
Pelatihan melalui
PD3I imunisasi
Bagi Petugas dengandivaksin
Surveilans pertusis,
Kab-Kota dan Provdalam
10
bentuk kombinasi dengan difteri dan tetanus (DPT). Imunisasi DPT telah
dilakukan
bertahun-tahun, saat ini pertusis diberikan dalam bentuk vaksin pentavalen,
bersama dengan hepatitis B dan Haemophilus influenzae type b (DPT-HB-Hib).
Vaksin kombinasi pentavalen dapat mengurangi jumlah suntikan yang harus
diberikan kepada bayi yang diimunisasi.

Gambar 2. Manifestasi Klinis Pertusis

3. Tetanus
Tetanus adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh strain toksigenik dari
bakteri Clostridium tetani (C. tetani). Spora C. tetani terdapat di lingkungan (di
dalam tanah, air liur, debu dan pupuk). Spora memasuki tubuh melalui luka kulit
yang terkontaminasi atau cedera jaringan termasuk luka tusuk. Toksin yang
dilepaskan oleh bakteri tetanus dapat menyebabkan rasa sakit yang berat dan
kejang pada otot yang dapat menyebabkan kematian. Tetanus neonatorum pada
bayi baru lahir (neonatus) dan tetanus pada ibu hamil merupakan masalah yang
serius yang terjadi akibat persalinan tidak dilakukan di fasilitas pelayanan
kesehatan dan tanpa prosedur steril.

Gejala awal adalah kesulitan minum karena terjadinya trismus atau lock jaw
(spasme otot pengunyah). Mulut mencucu seperti ikan (karpermond), sehingga
bayi tidak dapat minum dengan baik. Selain itu terdapat risus sardonicus atau
wajah seperti senyum terpaksa dan alis terangkat. Kemudian, dapat terjadi
spasmus otot yang luas dan kejang umum, seperti opisthotonus atau tulang
belakang seperti melengkung ke belakang.

Tetanus tidak ditularkan dari orang ke orang. Semua usia dapat terinfeksi oleh
bakteri tetanus yang masuk ke dalam luka melalui kuku yang kotor, pisau, alat
pemotong kayu, peralatan persalinan yang tidak steril pada saat bayi lahir, luka
dalam akibat gigitan binatang. Bakteri tetanus tumbuh baik pada luka yang dalam,

Modul PD3I Pelatihan PD3I Bagi Petugas Surveilans di Kab-Kota dan Prov 11
luka bakar, dan luka terbuka. Bayi dan anak dapat terkena tetanus pada saat
sirkumsisi apabila alat yang digunakan tidak steril. Luka gores dan kulit yang
tertusuk apabila dibersihkan secara tidak steril dengan menggunakan bahan yang
terkontaminasi dapat terjangkit penyakit tetanus.

Masa inkubasi sekitar 3 – 10 hari. Risiko kematian tinggi apabila masa inkubasi
makin pendek. Pada anak dan orang dewasa gejala rahang terkunci (trismus atau
lock jaw), merupakan gejala yang umum terjadi. Diikuti oleh kaku pada otot leher,
otot perut atau otot punggung (opisthotonus), sulit menelan, kejang otot,
berkeringat dan panas badan. Neonatus yang terkena tetanus, pada saat baru
lahir tampak normal, namun kesulitan menyusu pada usia 3-28 hari. Kemudian
otot- ototnya kaku dan kejang- kejang.

Apabila otot pernafasan terkena, timbul kesulitan bernafas dan bisa berakhir
dengan kematian. Neonatus dan orang dewasa mempunyai risiko paling tinggi.
Komplikasi pneumonia juga sering terjadi. Tulang belakang dan tulang lainnya
dapat terpengaruh posturnya apabila otot mengalami spasmus dan kejang.
Kelainan saraf ditemukan pada orang-orang yang bertahan hidup dari tetanus
neonatorum.

Tetanus yang menyerang semua usia adalah kedaruratan medis dan harus
ditangani di RS rujukan. Pengobatannya adalah dengan pemberian anti tetanus
serum, antibiotik, perawatan luka dan pengobatan suportif.

Vaksin yang mengandung tetanus toksoid dapat mencegah penyakit tetanus. Bayi
dan anak-anak dapat menerima vaksin kombinasi seperti vaksin pentavalen
(DPT- HB-Hib), DT atau Td. Mereka yang usianya di atas tujuh tahun diberikan
vaksin Td, yang mengandung tetanus toksoid dan antigen difteria titer rendah.

Tetanus neonatorum dapat dicegah dengan memberikan imunisasi tetanus.


Seseorang khususnya wanita telah memiliki perlindungan terhadap penyakit
tetanus dalam jangka panjang jika telah memiliki status imunisasi tetanus T5 yang
diperoleh sejak anak-anak. Pemberian Td kepada ibu hamil atau kepada wanita
usia subur sebelum kehamilan harus didahului dengan skrining atau penapisan
riwayat imunisasi tetanusnya terlebih dahulu oleh petugas kesehatan. Persalinan
yang bersih dan steril tetap harus dilakukan walaupun ibu hamil tersebut sudah
mencapai status T5. Pemotongan dan perawatan tali pusat secara steril juga
Modul PD3I Pelatihan PD3I Bagi Petugas Surveilans di Kab-Kota dan Prov 12
penting. Orang yang sembuh dari tetanus, tidak punya kekebalan dan dapat
terinfeksi kembali.

Gambar 3. Manifestasi Klinis Tetanus Neonatorum

4. Tuberkulosis

Tuberkulosis disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis yang biasanya


menyerang paru-paru. Namun bisa juga menyerang bagian tubuh yang lain
seperti tulang, sendi, dan otak. Tidak semua orang yang terinfeksi bakteri
tuberkulosis jatuh sakit. Infeksi tuberkulosis dapat berlangsung seumur hidup,
orang yang terinfeksi tersebut belum tentu jatuh sakit. Mereka yang
terinfeksi dan tidak menunjukkan gejala sakit, tidak menular kepada orang lain.

Tuberkulosis ditularkan dari orang ke orang melalui udara, pada saat penderita
batuk atau bersin. Tuberkulosis menular sangat cepat terutama pada orang-orang
yang hidup di daerah padat dan kumuh, akses terhadap pelayanan kesehatan
kurang, serta masyarakat yang kurang gizi. Seseorang dapat tertular tuberkulosis
bovinum dari sapi oleh karena minum susu mentah dari sapi. Tuberkulosis dapat
menginfeksi semua golongan umur, namun yang rentan terhadap infeksi
tuberkulosis adalah anak usia di bawah tiga tahun dan orangtua. Mereka yang
dengan sistem kekebalan rendah seperti pada penderita HIV/AIDS, lebih mudah
terserang tuberkulosis.

Waktu antara infeksi sampai timbul gejala klinis sekitar 4-12 minggu, dapat juga
infeksi berlangsung beberapa bulan bahkan beberapa tahun sebelum timbulnya
Modul PD3I Pelatihan PD3I Bagi Petugas Surveilans di Kab-Kota dan Prov 13
gejala klinis. Seseorang yang terinfeksi dapat menularkan penyakit kepada orang
lain beberapa minggu setelah mendapat pengobatan. Gejala klinis seorang
penderita tuberkulosis antara lain badan lemah, berat badan turun, demam dan
keringat pada waktu malam. Pada penderita tuberkulosis paru (TB paru), gejala
klinisnya termasuk batuk terus menerus terkadang batuk darah disertai rasa nyeri
di dada. Pada anak-anak yang menderita TB, terjadi gangguan pertumbuhan.
Tuberkulosis dapat menyerang organ lain selain paru-paru yang kemudian disebut
sebagai TB extraparu. Apabila infeksi tuberkulosis mengenai tulang dan sendi
maka gejalanya dapat berupa pembengkakan sendi, nyeri pada sendi dan
gangguan pergerakan pada sendi, disertai rasa sakit misalnya pada sendi paha,
lutut, dan tulang belakang. Bahkan infeksi Tuberkulosis dapat terjadi pada organ
otak.

Tuberkulosis dapat muncul dengan berbagai gejala sehingga sulit untuk


mendiagnosis. Tuberkulosis paru yang tidak diobati dapat juga menyebabkan
kecacatan dan kematian. Kematian dapat cepat terjadi apabila yang bersangkutan
juga menderita HIV/AIDS. Seseorang yang menderita tuberkulosis harus
mendapatkan pengobatan yang lengkap dengan obat tuberkulosis dalam 2 fase
selama enam bulan. Cara pengobatan ini disebut dengan directly observed
treatment short-course (DOTS). Sayangnya, ada orang yang tidak mendapatkan
pengobatan yang diwajibkan atau tidak menyelesaikan jadwal pengobatan secara
tuntas. Multi drug – resistant tuberkulosis (MDR-TB) yang berarti bakteri TB sudah
resisten terhadap obat yang diberikan juga dapat muncul akibat berbagai faktor
salah satunya adalah ketidakpatuhan dalam pengobatan. MDR-TB ini lebih
berbahaya oleh karena pengobatannya makin sulit, dan dapat menular kepada
orang lain. Orang yang mendapat pengobatan tidak lengkap atau dengan obat
yang tidak tepat, mereka akan tetap menular.

Pencegahan yang paling efektif adalah dengan dilakukan pemberian imunisasi


BCG (Bacillus – Calmette – Guerin) pada bayi usia 1 bulan, dapat mencegah
terjadinya meningitis tuberkulosis dan tuberkulosis berat pada anak balita.

Modul PD3I Pelatihan PD3I Bagi Petugas Surveilans di Kab-Kota dan Prov 14
Gambar 4. Manifestasi Klinis Tuberkulosis

5. Campak
Penyakit campak adalah merupakan penyakit akut yang sangat menular
disebabkan oleh virus RNA dari genus Morbillivirus dari keluarga Paramyxoviridae.
Virus tersebut mudah mati karena panas dan cahaya.

Virus campak ditularkan melalui droplet yang keluar dari hidung, mulut atau
tenggorokan orang yang terinfeksi virus campak pada saat bicara, batuk, bersin
atau melalui sekresi hidung. Masa penularan adalah empat (4) hari sebelum
timbul rash sampai dengan empat (4) hari setelah timbul rash. Puncak
penularan pada saat gejala awal (fase prodromal), yaitu pada 1-3 hari pertama
sakit. Masa inkubasi penyakit campak adalah 7 – 18 hari, rata-rata 10 hari.

Gejala penyakit campak adalah sebagai berikut:

a. Panas badan biasanya > 38o C selama 3 hari atau lebih, disertai salah satu
atau lebih gejala batuk, pilek, mata merah atau mata berair;
b. Bercak kemerahan/rash/ruam yang dimulai dari belakang telinga berbentuk
makulopapular selama 3 hari atau lebih, beberapa hari kemudian (4-7 hari)
akan menyebar ke seluruh tubuh;
c. Tanda khas (patognomonis) ditemukan Koplik’s spot atau bercak putih
keabuan dengan dasar merah di pipi bagian dalam (mucosa bucal);
d. Bercak kemerahan/rash/ruam makulopapular setelah 7 – 30 hari akan
berubah
menjadi kehitaman (hiperpigmentasi) dan disertai kulit bersisik. Untuk kasus
yang telah menunjukkan hiperpigmentasi maka perlu dilakukan anamnesis
dengan teliti, dan apabila pada masa akut (permulaan sakit) terdapat gejala-
gejala yang telah disebutkan sebelumnya maka kasus tersebut merupakan
Modul PD3I Pelatihan PD3I Bagi Petugas Surveilans di Kab-Kota dan Prov 15
kasus suspek campak.

Sebagian besar penderita campak akan sembuh tanpa pengobatan. Komplikasi


sering terjadi pada anak usia 20 tahun. Kasus campak pada penderita malnutrisi
dan defisiensi vitamin A serta immune defisiency (HIV) dapat menyebabkan
komplikasi campak yang lebih berat atau fatal. Komplikasi yang sering terjadi
yaitu: diare, bronchopneumonia, pneumonia, malnutrisi, otitis media,
kebutaan, encephalitis, sub-acute sclerosing panencephalitis (SSPE) dan
ulkus mukosa mulut.

Untuk mendukung upaya eliminasi campak-Rubela/CRS, dilakukan surveilans


campak-Rubela. Setiap ditemukan kasus suspek campak yaitu setiap orang dari
berbagai usia yang mengalami demam dan ruam/rash makulopapular harus
dilaporkan dan diambil spesimen serumnya untuk dikonfirmasi melalui
pemeriksaan di laboratorium.

Komplikasi dan kematian.


Sebagian besar penderita campak akan sembuh tanpa pengobatan. Komplikasi
sering terjadi pada anak usia <5 tahun dan penderita dewasa usia >20 tahun.
Kasus campak pada penderita malnutrisi dan defisiensi vitamin A serta immune
defisiency (HIV) dapat menyebabkan komplikasi campak yang lebih berat atau
fatal. Komplikasi yang sering terjadi yaitu: diare, bronchopneumonia,
pneumonia, malnutrisi, otitis media, kebutaan, encephalitis, subacute sclerosing
panencephalitis (SSPE) dan ulkus mukosa mulut.

Kematian penderita campak umumnya disebabkan karena komplikasinya


seperti bronchopneumonia, diare berat dan gizi buruk serta penanganan yang
terlambat. Kematian campak adalah kematian pada seorang penderita campak
pasti (terbukti melalui laboratorium maupun hubungan epidemiologi) yang
terjadi dalam 30 hari setelah timbul rash dan bukan disebabkan oleh hal-hal lain
seperti trauma atau penyakit kronik yang tidak berhubungan dengan komplikasi
campak.

Modul PD3I Pelatihan PD3I Bagi Petugas Surveilans di Kab-Kota dan Prov 16
Gambar 5. Manifestasi Klinis Campak

6. Rubela
Rubela adalah penyakit yang disebabkan oleh togavirus jenis rubivirus dan
termasuk golongan virus RNA. Virus Rubela cepat mati oleh sinar ultra-violet,
bahan kimia, bahan asam dan pemanasan. Virus Rubela dapat menembus sawar
placenta dan menginfeksi janin. Akibat hal tersebut dapat terjadi gangguan
pertumbuhan janin, antara lain: abortus, lahir mati atau cacat berat kongenital
(birth defects) yang dikenal sebagai penyakit Congenital Rubella Syndrome
(CRS).

Penyakit Rubela ditularkan melalui droplet saluran pernapasan saat batuk atau
bersin. Virus dapat berkembang biak di nasofaring dan kelenjar getah bening
regional. Viremia terjadi pada 4–7 hari setelah virus masuk tubuh. Masa
penularan diperkirakan terjadi pada 7 hari sebelum hingga 7 hari setelah rash.

Masa inkubasi penyakit Rubela berkisar antara 14–21 hari. Gejala penyakit
Rubela ditandai dengan demam ringan (37,2°C) dan bercak
merah/rash/ruam makulopapuler disertai pembesaran kelenjar getah bening
(limfe) di belakang telinga, leher belakang dan sub occipital.

Rubela pada anak sering hanya menimbulkan gejala demam ringan atau bahkan
tanpa gejala sehingga sering tidak terlaporkan. Sedangkan Rubela pada wanita
dewasa sering menimbulkan arthritis atau arthralgia.

Dampak infeksi Rubela pada wanita hamil, terutama pada kehamilan trimester
pertama, dapat mengakibatkan abortus, lahir mati atau bayi lahir dengan CRS.
Ibu yang mengalami infeksi Rubela pada minggu 1-10 kehamilan akan melahirkan
90% bayi dengan CRS.Pelatihan
Modul PD3I Bentuk kelainan
PD3I Bagi pada CRS:
Petugas Surveilans di Kab-Kota dan Prov 17
• Kelainan jantung: Patent Ductus Arteriosus (PDA), Defek Septum Atrial/Atrial
Septal Defect (ASD), Defek Septum Ventrikel/Ventricular Septal Defect
(VSD), Stenosis Katup Pulmonal/Pulmonary Stenosis (PS);
• Kelainan pada mata: Katarak Kongenital, Glaukoma Kongenital, Pigmentary
Retinopathy;
• Kelainan pendengaran: Tuli Sensouri Neural/ Sensouri Neural Hearing Loss
(SNHL);
• Kelainan pada sistim saraf pusat: retardasi mental, mikrocephalia dan
meningoensefalitis;
• Kelainan lain: purpura, splenomegali, ikterik yang muncul dalam 24 jam setelah
lahir, radioluscent bone, serta gangguan pertumbuhan.

Pencegahan Rubela dan CRS yang paling efektif adalah dengan memberikan
imunisasi Rubela. Dalam program imunisasi rutin, imunisasi yang mengandung
antigen Rubela diintegrasikan dengan antigen campak menjadi imunisasi campak-
Rubela dan diberikan dalam dua dosis.

Untuk mendukung upaya eliminasi campak-Rubela/CRS, dilakukan surveilans


campak-Rubela. Setiap ditemukan kasus suspek campak yaitu setiap orang dari
berbagai usia yang mengalami demam dan ruam/rash makulopapular harus
dilaporkan dan diambil spesimen serumnya untuk dikonfirmasi melalui
pemeriksaan di laboratorium. Selain itu juga terdapat surveilans CRS yang
dilakukan secara sentinel di rumah sakit-rumah sakit yang telah ditunjuk dan
memenuhi syarat.

Gambar 6. Manifestasi Klinis Rubella

7. Polio
Poliomyelitis yang disebut juga dengan polio adalah penyakit infeksi yang sangat
menular yang disebabkan oleh virus polio baik virus polio liar (wild polio
virus/WPV) ataupun virus polio dari vaksin yang bermutasi mendapatkan
keganasannya
Modul PD3I Pelatihan PD3I Bagi Petugas Surveilans di Kab-Kota dan Prov 18
kembali (vaccine-derived polio virus/VDPV). Virus ini terdiri dari 3 tipe yaitu tipe 1,
2, atau 3. Virus polio dapat menginfeksi semua umur, terutama pada anak-anak.
Satu dari 200 kejadian infeksi menyebabkan terjadinya kelumpuhan permanen
(irreversible), apabila virus polio menyerang sel saraf sumsum tulang belakang
yang mengontrol pergerakan otot.

Penyebaran virus polio melalui rute fecal-oral. Di daerah dengan sanitasi


lingkungan yang jelek kebanyakan penularan virus polio melalui makanan dan
minuman yang terkontaminasi oleh tinja / feses yang tercemar virus polio.
Kebanyakan orang yang terinfeksi virus polio tidak menunjukkan gejala, namun
mereka dapat menularkan virus polio kepada orang lain.

Setelah seseorang terinfeksi virus polio maka sekitar 25% dari mereka akan
menunjukkan gejala penyakit ringan seperti demam, nyeri kepala, nyeri
tenggorokan. Kelumpuhan terjadi pada 1% dari mereka yang terinfeksi. Kematian
terjadi sekitar 5-10% dari mereka yang lumpuh.

Tidak ada pengobatan spesifik untuk polio. Pengobatan yang dilakukan hanya
bersifat suportif. Untuk penderita polio yang mengalami kesulitan bernafas, dapat
dibantu dengan ventilator. Pengobatan ortopedik, pemakaian korset dapat
mengurangi dampak kecacatan dalam jangka panjang.

Polio dapat dicegah secara efektif dengan imunisasi menggunakan oral poliovirus
vaccine (OPV) dan inactivated polio vaccine (IPV). WHO menganjurkan semua
negara menggunakan OPV dan minimal satu dosis IPV dalam program imunisasi
rutin

Untuk mendukung upaya eradikasi polio, maka dilakukan surveilans AFP. Setiap
anak yang berusia kurang dari 15 tahun yang mengalami kelumpuhan mendadak
dan bersifat layuh, serta bukan disebabkan oleh rudapaksa harus dilaporkan dan
diambil spesimen tinjanya untuk dikonfirmasi melalui pemeriksaan laboratorium.

Modul PD3I Pelatihan PD3I Bagi Petugas Surveilans di Kab-Kota dan Prov 19
Gambar 7. Manifestasi Klinis Polio

8. Hepatitis B
Penyakit hepatitis B disebabkan oleh virus hepatitis B yang menyerang hati.
Orang dewasa yang terinfeksi virus hepatitis B (HB) 90% akan sembuh sempurna
namun apabila virus hepatitis B menginfeksi bayi saat lahir atau sebelum usia
satu tahun maka 90% akan menjadi kronis.
Virus hepatitis B disebarkan melalui kontak langsung dengan darah atau cairan
tubuh yang mengandung hepatitis B dalam berbagai situasi seperti:
a. tertular dari ibunya saat proses melahirkan bayi;
b. penularan dari anak ke anak melalui luka kecil, karena teriris barang tajam,
gigitan, garukan;
c. penularan melalui hubungan seksual;
d. melalui suntikan dengan jarum terkontaminasi atau transfusi darah yang
berasal karier hepatitis B. Secara umum HepB, 50- 100 kali lebih infeksius
dibandingkan HIV.

Infeksi hepatitis B akut tidak selamanya bergejala. Apabila menunjukkan gejala,


penderita merasa lemah, mual, muntah, nyeri perut serta kuning pada kulit dan
sklera mata. Pada penderita hepatitis B kronis apabila penyakitnya bertambah
berat oleh karena terjadi gagal hati, maka gejalanya antara lain perut membesar
(asites), perdarahan abnormal dan perubahan status mental.

Pada infeksi akut, sebagian kecil penderita dapat mengalami hepatitis fulminan
dan berakhir dengan kematian. Komplikasi serius terjadi pada penderita
hepatitis B kronis berupa sirosis hati, kanker hati, kegagalan hati dan kematian.

Modul PD3I Pelatihan PD3I Bagi Petugas Surveilans di Kab-Kota dan Prov 20
Tidak ada terapi spesifik untuk hepatitis B. Penyakit hepatitis B kronis dapat
diobati dengan antiviral dan interferon untuk kasus- kasus tertentu.

Hepatitis B dapat dicegah dengan imunisasi. Semua bayi harus mendapatkan


dosis pertama vaksin hepatitis B segera setelah lahir (dalam 24 jam) untuk
memutuskan transmisi vertikal dari ibu pengidap ke bayinya. Setelah dosis
pertama diberikan, maka dilanjutkan dengan pemberian vaksin kombinasi
DTPHB-Hib dalam bentuk vaksin pentavalent sesuai jadwal.

Gambar 8. MAnifestasi Klinis Hepatitis B

9. Haemophilus Influenzae Tipe B


Haemophilus influenza adalah bakteri yang ditemukan di hidung dan tenggorokan
anak. Ada enam jenis Haemophilus influenza yang memiliki kapsul. Dari enam
jenis ini, tipe-b adalah yang paling menjadi masalah. Haemophilus influenzae type
b atau Hib, adalah penyebab 90% dari semua infeksi oleh Haemophilus
influenzae. Hib merupakan penyebab pneumonia akut, meningitis dan penyakit
invasif lainnya,
terutama pada anak usia di bawah lima tahun.

Hib ditularkan dari orang ke orang melalui percikan ludah yang dilepaskan pada
saat batuk atau bersin. Anak-anak dapat mempunyai bakteri Hib dalam hidung
dan tenggorokannya tanpa ada gejala sakit yang disebut sebagai karier, namun
mereka dapat menularkan kepada orang lain.

Penyakit serius yang paling sering terjadi disebabkan oleh Hib adalah pneumonia
dan meningitis, meskipun Hib bukanlah satu- satunya penyebab. Apabila ada
anak dengan gejala pneumonia seperti demam, menggigil, batuk, nafas cepat dan
dada tertarik ke dalam perlu dipikirkan penyebabnya adalah Hib. Demikian pula
anak dengan gejala meningitis seperti demam, nyeri kepala, sensitif terhadap
cahaya, kaku kuduk,
Modul PD3Idelirium dan
Pelatihan kesadaran
PD3I menurun.
Bagi Petugas Surveilans di Kab-Kota dan Prov 21
Hib dapat menimbulkan penyakit lain apabila menyerang bagian tubuh lainnya
seperti:
 Epiglotitis, yaitu radang pada pintu masuk larynx dengan gejala kesulitan
bernafas dan nafas berbunyi/stridor.
 Infeksi sistemik pada darah yang menyebabkan demam, menggigil diikuti
penyebaran bakteri ke seluruh tubuh (bakteriemi).

Sekitar 40% dari anak yang terinfeksi Hib dapat menderita disabilitas neurologis
termasuk kerusakan jaringan otak, hilangnya pendengaran dan retardasi mental.

Penyakit yang disebabkan oleh Hib dapat diobati dengan antibiotika. Saat ini
ditemukan Hib yang resisten terhadap antibiotika yang umum dipakai di beberapa
tempat di dunia.

Hib paling tepat dicegah melalui imunisasi dengan vaksin yang mengandung
antigen Hib dalam bentuk vaksin kombinasi DTPHB-Hib kepada bayi dan baduta
sesuai jadwal. Imunisasi menjadi sangat penting pada saat makin seringnya
ditemukan Hib yang resisten terhadap antibiotika.

10. Pneumokokus
Infeksi pneumokokus disebabkan oleh bakteri Streptococcus pneumoniae (disebut
juga sebagai bakteri pneumokokus) yang merupakan penyebab utama pneumonia,
yaitu penyakit infeksi saluran napas. Pneumonia merupakan penyebab utama
kematian pada anak. Pneumokokus juga menyebabkan meningitis (infeksi selaput
otak dan sumsum tulang belakang), bakteriemia (infeksi aliran darah), otitis
media, sinusitis dan konjungtivitis terutama pada baduta dan lansia.

Faktor risiko yang dapat meningkatkan risiko terinfeksi pneumokokus antara lain
umur (balita dan lansia lebih rentan), tidak mendapatkan imunisasi lengkap, tidak
mendapatkan ASI eksklusif, gizi buruk, polusi udara dalam ruangan (misalnya asap
rokok), berat badan lahir rendah (BBLR), kepadatan penghuni rumah serta kurang
ventilasi dalam rumah.

Pneumokokus disebarkan dari orang ke orang melalui percikan ludah pada saat
batuk, bersin, atau kontak erat. Pneumokokus ditularkan secara langsung saat

Modul PD3I Pelatihan PD3I Bagi Petugas Surveilans di Kab-Kota dan Prov 22
terpapar dengan lendir atau cairan yang berasal dari penderita, atau orang yang
kelihatan sehat namun mengandung pneumokokus dalam tenggorokannya (karier).

Demam dan menggigil terjadi hampir pada semua jenis infeksi pneumokokus.
Pneumonia pada anak-anak gejalanya batuk, frekuensi nafas cepat dan tarikan
dinding dada bagian bawah ke dalam (TDDK). Pada anak-anak yang lebih tua,
ada keluhan nafas pendek dan sakit pada saat bernafas dan batuk. Penderita
dengan meningitis dapat mengeluh nyeri kepala, sensitif terhadap sinar, kaku
kuduk, kejang, delirium atau menurunnya kesadaran. Pada otitis, penderita
mengeluh rasa nyeri dan keluar cairan di daerah infeksi, begitu juga pada
sinusitis.

Pneumonia dapat diikuti dengan komplikasi bakteriemia (infeksi aliran darah) dan
atau empiema (ada pus atau nanah pada cavum pleural yaitu ruangan antara
paru dan selaput paru) dan atau abses paru. Penderita meningitis yang sembuh
akan mengalami gejala sisa berupa ketulian, retardasi mental, gangguan
motorik dan kejang.

Pencegahan infeksi pneumokokus yang paling efektif adalah dengan imunisasi.


Upaya lain adalah melalui perilaku hidup bersih dan sehat seperti mencegah
kepadatan hunian dan polusi di dalam rumah seperti mengurangi asap rokok,
mengkonsumsi makanan bergizi dan promosi ASI eksklusif bagi bayi pada usia
enam bulan.

11. Japanase Encephalitis


Japanese Encephalitis (JE) adalah infeksi pada jaringan otak yang disebabkan oleh
virus, yang ditemukan hampir di seluruh negara Asia, kepulauan Pasifik dan
bagian utara Australia. Walaupun selama ini JE dianggap sebagai penyakit anak
namun dapat juga menyerang orang dewasa, terutama kalau virus JE masuk ke
daerah baru dan penduduk belum mempunyai kekebalan sebelumnya.

Virus JE disebarkan melalui gigitan nyamuk. Biasanya virus JE menginfeksi


burung dan binatang peliharaan lainnya terutama burung dan babi yang bertindak
sebagai reservoir. Seseorang akan tertular apabila nyamuk telah menggigit
binatang yang terinfeksi kemudian menggigit orang tersebut.

Infeksi JE pada umumnya bergejala ringan bahkan tanpa gejala sama sekali.
Secara umum
Modulhanya satu orang
PD3I Pelatihan dariPetugas
PD3I Bagi 250 orang yang
Surveilans terinfeksi
di Kab-Kota danJE
Provakan
23
menunjukkan gejala, pada 4-14 hari setelah terinfeksi. Gejalanya seperti
influenza, demam, menggigil, nyeri kepala, mual dan muntah. Pada anak,
gejala yang menonjol adalah nyeri perut terjadi pada saat awal infeksi. Tanda
berupa bingung dan koma timbul 3-4 hari kemudian. Penderita pada anak sering
disertai kejang.

CFR (case fatality rate) JE sekitar 20-30%, anak usia muda (kurang dari 10
tahun) mempunyai risiko lebih tinggi terkena JE berat dengan CFR yang lebih
tinggi dibanding kelompok usia lain. Mereka yang lolos dari kematian 30-50%
akan mengalami gangguan susunan syaraf pusat sampai dengan paralisis.

Tidak ada pengobatan spesifik untuk JE. Oleh karena JE disebabkan oleh virus
maka pemberian antibiotik tidaklah efektif. Pengobatan suportif dapat mengurangi
gejala.

Imunisasi adalah satu-satunya cara pencegahan JE yang paling efektif. Tidak ada
cara manajemen lingkungan yang diketahui cukup efektif untuk mencegah JE.
Perbaikan status sosial ekonomi masyarakat dan perubahan cara pertanian dapat
mengurangi penyebaran virus JE di suatu daerah.

12. Human Papilloma Virus


Human Papilloma Virus (HPV) adalah virus yang ditularkan melalui hubungan
seksual dan dapat menyebabkan condyloma dan kanker. Ada lebih dari 100 jenis
HPV, ada jenis tertentu yang hanya menyebabkan condyloma pada vagina,
namun
ada 13 jenis yang berbeda yang dapat menimbulkan kanker. HPV dapat
menyebabkan kanker pada anus, alat kelamin bagian luar, kanker mulut pada
laki- laki dan perempuan. Sedangkan pada perempuan 99% kanker serviks
disebabkan oleh HPV. Kanker serviks adalah penyebab utama kematian pada
perempuan dewasa di negara berkembang. Merupakan jenis kanker nomor
dua pada umumnya pada perempuan di seluruh dunia. Hampir 85% kematian
karena kanker serviks terjadi di negara berkembang.

HPV menyebar dengan sangat mudah melalui kontak kulit. Hampir semua orang
yang aktif secara seksual telah pernah terinfeksi, pada umumnya sudah terjadi
saat awal kehidupan seksual mereka.

Infeksi HPVModul
padaPD3I Pelatihantanpa
umumnya PD3I Bagi Petugas
gejala Surveilans
sampai beberapadi Kab-Kota
bulan. dan Prov 90%
Hampir 24
baru menunjukkan gejala setelah 2 tahun, namun infeksi terus berlanjut. Infeksi
yang berlanjut dapat menyebabkan terjadinya kanker serviks terutama kalau
terinfeksi oleh HPV terutama tipe 16 dan 18. Butuh waktu sekitar 20 tahun untuk
menjadi kanker serviks, dan baru timbul gejala saat stadium lanjut.

Gejala umum kanker serviks adalah terjadi perdarahan abnormal pada vagina
(terutama setelah hubungan seksual atau perdarahan di antara dua fase
menstruasi. Rasa sakit pada panggul, pinggang/ punggung, tangan, keluar cairan
dari vagina dan berat badan turun. Pada stadium lanjut dapat terjadi anemia,
gagal ginjal, fistula pada vagina

Strategi pencegahan dan pengendalian kanker serviks meliputi:


a. pencegahan primer dengan pemberian vaksinasi HPV kepada gadis usia 9-13
tahun. Kepada kelompok gadis dan remaja laki-laki diberikan penyuluhan
tentang bahaya rokok, pendidikan seks dan penggunaan kondom serta bagi
anak laki-laki dianjurkan dilakukan sirkumsisi;
b. pencegahan sekunder bagi perempuan usia 30-49 tahun dengan pendekatan
temukan secara dini dan obati secara dini, mengingat vaksinasi tidak
melindungi terhadap semua tipe infeksi HPV penyebab kanker;
c. pencegahan tersier, dengan melakukan tindakan terhadap kanker invasif
semua umur.

Vaksin HPV yang ada saat ini dapat mencegah terhadap dua jenis HPV yaitu tipe
16 dan 18 yang diketahui sebagai penyebab 70% kejadian kanker serviks.
Vaksinasi penting bagi negara yang sumber daya kesehatannya kurang untuk
melakukan skrining yang efektif. Skrining dengan Pap smear, HPV-DNA atau
dengan IVA dianjurkan bagi perempuan usia 30 dan 49 tahun walaupun
sebelumnya sudah pernah mendapatkan vaksinasi HPV mengingat kanker serviks
juga bisa disebabkan oleh HPV tipe lain. Pemakaian kondom dapat juga
mencegah terjadinya infeksi HPV. Untuk perempuan penderita HIV skrining harus
dilakukan begitu diagnosis HIV ditegakkan tanpa memandang usia. Vaksin
HPV harus merupakan bagian dari strategi pencegahan kanker serviks yang
komprehensif dan terkoordinasikan.

Modul PD3I Pelatihan PD3I Bagi Petugas Surveilans di Kab-Kota dan Prov 25
Materi Pokok 3: Surveilans AFP dan PD3I Lainnya Yang Memiliki Komitmen
Global
Beberapa PD3I memiliki komitmen global dalam pengendalian penyakitnya, yaitu
tercapainya eradikasi polio pada tahun 2016 dan eliminisasi campak-
Rubela/Congenital Rubella Syndrome (CRS) pada tahun 2023. Untuk memantau
keberhasilan program imunisasi nasional dalam mencapai target komitmen global PD3I
tersebut harus dilakukan surveilans AFP (Acute Flaccid Paralysis) dan PD3I lainnya,
meliputi surveilans campak-Rubela dan surveilans CRS.

1. Surveilans AFP (Acute Flaccid Paralysis)


Salah satu PD3I yang memiliki komitmen global adalah poliomyelitis.
Sebagaimana kita ketahui, sebagian besar kasus poliomyelitis bersifat non-
paralitik atau tidak disertai manifestasi klinis yang jelas. Sebagian kecil (1
%) saja dari kasus poliomielitis yang menimbulkan kelumpuhan
(Poliomielitis paralitik). Dalam surveilans AFP, pengamatan difokuskan pada
kasus poliomielitis yang mudah diidentifikasikan, yaitu poliomielitis paralitik.
Ditemukannya kasus poliomielitis paralitik di suatu wilayah menunjukkan adanya
penyebaran virus-polio di wilayah tersebut.

Untuk meningkatkan sensitifitas penemuan kasus polio, maka pengamatan


dilakukan pada semua kelumpuhan yang terjadi secara akut dan sifatnya flaccid
(layuh), seperti sifat kelumpuhan pada poliomielitis. Penyakit-penyakit ini yang
mempunyai sifat kelumpuhan seperti poliomyelitis disebut kasus Acute Flaccid
Paralysis (AFP) dan pengamatannya disebut sebagai Surveilans AFP (SAFP).
Surveilans AFP adalah pengamatan yang dilakukan terhadap:
a. Semua anak usia < 15 tahun (yang merupakan kelompok yang rentan
terhadap penyakit polio);
b. Lumpuh yang sifatnya lemas/layuh (flaccid);
c. Terjadi mendadak dalam 1 – 14 hari (akut).
d. Bukan disebabkan oleh ruda paksa / trauma.

Semua kasus AFP akan dilakukan pengambilan spesimen tinja dan dilakukan
pemeriksaan laboratorium untuk kemudian dipastikan hasilnya termasuk kasus
poliomyelitis atau bukan. Jika kita menemukan kasus lumpuh layuh akut pada
anak usia < 15 tahun maka segera laporkan ke petugas surveilans setempat agar
kasus tersebut dapat segera ditindaklanjuti melalui sistem surveilans AFP yang
telah ditetapkan.
Modul PD3I Pelatihan PD3I Bagi Petugas Surveilans di Kab-Kota dan Prov 26
2. Surveilans Campak-Rubela
Komitmen global lainnya yaitu eliminasi campak-Rubela/CRS. Pencapaian
eliminasi campak-Rubela/CRS salah satunya dinilai melalui surveilans campak-
Rubela yang sensitif dan berkualitas. Surveilans campak selama ini dalam
pelaksanaannya terintegrasi dengan surveilans Rubela, melalui surveilans campak
berbasis kasus individu/ Case Based Measles Surveillance (CBMS), yaitu
penemuan setiap kasus suspek campak untuk kemudian dilaporkan, dilakukan
investigasi dalam waktu 2 x 24 jam setelah laporan diterima, dilakukan
pemeriksaan laboratorium dan dicatat secara individual.

Suspek campak adalah setiap kasus dengan gejala minimal demam dan ruam
maculopapular, kecuali sudah terbukti secara laboratorium disebabkan oleh
penyebab lain. Setiap kasus suspek campak akan dilakukan pengambilan
spesimen serum dan dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk kemudian
dipastikan hasilnya termasuk kasus campak atau Rubela atau bukan campak-
bukan Rubela.

Jika kita menemukan kasus suspek campak pada semua usia maka segera
laporkan ke petugas surveilans setempat agar kasus tersebut dapat segera
ditindaklanjuti melalui sistem surveilans CBMS yang telah ditetapkan.

3. Surveilans Congenital Rubella Syndrome (CRS)


Pencapaian eliminasi campak-Rubela/CRS juga dapat dinilai melalui surveilans
CRS yang sensitif dan berkualitas. Surveilans CRS di Indonesia dilakukan secara
sentinel di beberapa Rumah Sakit yang telah ditetapkan. Saat ini surveilans CRS
yang dilaksanakan di Indonesia baru melalui deteksi suspek CRS pada bayi usia
<12 bulan.

Suspek CRS adalah setiap bayi berusia <12 bulan dan memiliki minimal satu
manifestasi klinis berupa: gangguan pendengaran, penyakit jantung bawaan
(Patent Ductus Arteriosus/PDA, Defek Septum Atrial/Atrial Septal Defect/ASD,
Defek Septum Ventrikel/Ventricular Septal Defect/VSD, Stenosis Katup
Pulmonal/Pulmonary Stenosis/PS), katarak atau kongenital dan pigmentary
retinopathy. Jika kita menemukan kasus suspek CRS pada bayi usia < 12 bulan
maka segera laporkan ke petugas surveilans setempat agar kasus tersebut dapat
segera ditindaklanjuti melalui sistem surveilans CRS yang telah ditetapkan.

Modul PD3I Pelatihan PD3I Bagi Petugas Surveilans di Kab-Kota dan Prov 27
7 REFERENSI
1. Indonesia, Kementerian Kesehatan RI. 2017. Peraturan Menteri Kesehatan
RI No. 12 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Imunisasi. Ditjen P2P
Kemenkes RI: Jakarta.
2. Pedoman Surveilans Congenital Rubella Syndrome (CRS). Subdit
Surveilans, Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan, Ditjen P2P,
2019
3. Pedoman Surveilans dan Penanggulangan Difteri. Subdit Surveilans,
Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan, Ditjen P2P, 2019
4. Indonesia, Kementerian Kesehatan RI. 2017. Peraturan Menteri Kesehatan
RI No. 12 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Imunisasi. Ditjen P2P
Kemenkes RI: Jakarta.
5. World Health Organization. 2017. Imunization in Practice : A Practical Guide
for Health Staff -- 2004 Update. World Health Organization : Geneva,
Switzerland.
6. Epidemiology and Prevention of Vaccine Preventable Disease CDC, 6 th
edition, 2000
7. Ditjen P2P, Kementerian Kesehatan. 2017. Petunjuk Teknis Introduksi
Imunisasi Measles Rubella (MR), Indonesia.
8. Ditjen P2P, Kementerian Kesehatan. 2017. Petunjuk Teknis Introduksi
Imunisasi Japanese Encephalitis, Indonesia.
9. Ditjen P2P, Kementerian Kesehatan. 2019. Pedoman Surveilans Campak-
Rubela, Indonesia.
10. Ditjen P2P, Kementerian Kesehatan. 2019. Pedoman Surveilans Congenital
Rubella Syndrome (CRS), Indonesia.
11. Ditjen P2P, Kementerian Kesehatan. 2019. Pedoman Surveilans dan
Penanggulangan Difteri, Indonesia.
12. Ditjen P2P, Kementerian Kesehatan. 2019. Pedoman Surveilans Acute
Flaccid Paralysis (AFP), Indonesia.

Modul PD3I Pelatihan PD3I Bagi Petugas Surveilans di Kab-Kota dan Prov 28
TIM PENYUSUN

Dewan Pengarah:
1. Plt Dirjen P2P : Dr. dr. Maxi Rein Rondonuwu, DHSM., MARS
2. Plt Direktur Surkarkes : dr. Prima Yosephine BTH., MKM.

Penanggung jawab : Dr. dr. Hariadi Wibisosno, MPH


Ketua : Tanty Lukitaningsih, SKM, M.Kes
Anggota :
1. Dr. dr. Tri Yunis Miko Wahyono, SKM, M.Sc
2. Dr. drg. Siti Nur Anisah, MPH
3. dr. Hernani Djarir, MPH
4. Alib Birwin, SKM, M.Epid
5. Hilwaty, SKM, M.Kes

Kontributor :
Puslat SDMK, BPPSDMK, Kemenkes
6. Dra Oos Fatimah Roosiyati, M.Kes
7. Nusli Imansyah, SKM., M.Kes
8. Roostiati SW., SKM., MKM
9. Dewi Pusparani, SKM., MKM
10. Dr. Sari Hayuningtyas, MKM.

Balai Besar Pelatihan Kesehatan (BBPK) Ciloto


11. Syamsul Arifin, SKM, M.Epid
12. Ani Anisah, SKM, M.KM

Ditjen P2P, Kemenkes


13. drh. Endang Burni Prasetyowati, M. Kes
14. dr Triya Novita Dinihari
15. dr Sherli Karolina, MKM
16. Abdurrahman SKM, MKes
17. Muammar Muslih, SKM., M. Epid
18. Vivi Voronika, SKM., M.Kes
19. dr. Cornelia Kelyombar
20. dr. Irma Gusmi Ratih., M. Epid
21. dr. Febry Emmanuela
22. Rubiyo
23. dr. Endang Budi Hastuti
24. dr. Fristika Mildya, M.K.K.K
25. dr. Solihah Widyastuti, M.Epid
26. Berkat Putra, SKM
27. dr. Bie Novirenallia Umar, MARS
28. Anggun Pratiwi, SKM, M.Epid
29. Dini Surgayanti, SKM
30. dr. Iqbal Djakaria
31. Lulu Ariyantheny Dewi, SKM., MIPH
32. dr. Tri Setyanti, M. Epid
33. dr. Mushtofa Kamal, M.Sc

Modul PD3I Pelatihan PD3I Bagi Petugas Surveilans di Kab-Kota dan Prov 29
22. Ni’mah Hanifah, S.Gz
23. Yeni Handayani

Sekretariat :
1. Hilwaty, SKM, M.Kes
2. Hikmah Nur Febriana, SS
3. Irpan Hadianto

Modul PD3I Pelatihan PD3I Bagi Petugas Surveilans di Kab-Kota dan Prov 30

Anda mungkin juga menyukai