Anda di halaman 1dari 27

MODUL PELATIHAN MATERI DASAR 1:

PENYAKIT YANG DAPAT DICEGAH DENGAN IMUNISASI (PD3I)

I. DESKRIPSI SINGKAT

Saat ini Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) masih merupakan salah satu masalah kesehatan yang mengancam dunia.

WHO menyatakan bahwa imunisasi saat ini mencegah 2-3 juta kematian setiap tahun akibat penyakit seperti difteri, tetanus, pertusis, influenza,

dan campak.

Terdapat berbagai vaksin untuk mencegah lebih dari 20 penyakit yang mengancam jiwa, membantu orang-orang dari segala usia hidup lebih

lama, hidup lebih sehat. Penyakit-penyakit ini dapat mengakibatkan kesakitan, kecacatan dan bahkan kematian terutama jika mengenai anak-

anak yang belum mendapatkan imunisasi rutin lengkap. Oleh karena itu maka diperlukan cakupan imunisasi yang tinggi dan merata untuk

mencegah individu dari PD3I dan mencegah penularan di masyarakat.

Untuk mencapai tujuan pelayanan imunisasi dengan baik, kita harus mengetahui penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) secara

benar, meliputi jenis dan gambaran klinis dari setiap PD3I tersebut. Selain itu beberapa PD3I yang saat ini menjadi perhatian dunia dan memiliki

komitmen global yang wajib diikuti oleh semua negara dalam pengendalian penyakitnya, yaitu antara lain eradikasi polio pada tahun 2026 dan

eliminisasi campak-Rubela/Congenital Rubella Syndrome (CRS) pada tahun 2023. Maka untuk memantau keberhasilan program imunisasi

nasional dalam mencapai target komitmen global PD3I tersebut harus dilakukan surveilans AFP dan PD3I lainnya.

Mata pelatihan ini membahas tentang deskripsi singkat PD3I berupa jenis-jenis, penyebab, gejala, cara penularan dan cara pencegahan, serta

surveilans PD3I meliputi pencatatan dan pelaporan serta respon KLB PD3I.

8
II. TUJUAN PEMBELAJARAN

Tujuan Pembelajaran Umum

Pada akhir sesi peserta mampu memahami Penyakit Yang Dapat Dicegah

Dengan Imunisasi (PD3I)

Tujuan Pembelajaran Khusus

Pada akhir sesi peserta mampu:

1. Menjelaskan deskripsi singkat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I)

2. Menjelaskan Surveilans PD3I

III. POKOK BAHASAN DAN SUB POKOK BAHASAN

1. Deskripsi singkat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I)

a. Penyebab

b. Gejala

c. Cara penularan

d. Cara pencegahan

2. Surveilans PD3I dan Respon KLB

a. Surveilans PD3I, termasuk pencatan dan pelaporan

b. Respons KLB PD3I

Surveilans AFP

Surveilans Campak Rubela

Surveilans CRS

Surveilans Difteri

Surveilans Pertusis

Surveilans TN

IV. METODE

Ceramah dan Tanya Jawab



Diskusi Kelompok

V. MEDIA DAN ALAT BANTU

a. Bahan Tayang

b. Modul

c. Laptop

d. LCD

e. ATK

VI. LANGKAH-LANGKAH PEMBELAJARAN

1. Pengajar menyampaikan tujuan pembelajaran dan memotivasi peserta pembelajar.

2. Pengajar menyajikan bahan ajar dalam bentuk ppt dan narasi.

3. Pengajar memberikan penugasan dan mengorganisasikan peserta pembelajar ke dalam kelompok-kelompok belajar.

9
4. Pengajar membimbing kelompok bekerja dan belajar selama penugasan.

5. Pengajar memberikan umpan balik dan evaluasi.

6. Pengajar memberikan penghargaan pada peserta.

7. Pengajar menyimpulkan hasil proses pembelajaran di akhir sesi.

VII. BAHAN BELAJAR

Indonesia, Kementerian Kesehatan RI. 2017. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 12 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Imunisasi. Ditjen

P2P Kemenkes RI: Jakarta.

Pedoman Surveilans Congenital Rubella Syndrome (CRS). Subdit Surveilans, Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan, Ditjen P2P, 2019

Pedoman Surveilans dan Penanggulangan Difteri. Subdit Surveilans, Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan, Ditjen P2P, 2019

Pedoman Surveilans Campak – Rubela. Subdit Surveilans, Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan, Ditjen P2P, 2019

Pedoman Surveilans AFP (Acute Flaccid Paralysis). Subdit Surveilans, DIrektorat Surveilans dan Karantina Kesehatan, Ditjen P2P, 2019

WHO. 2017. Imunisasi Praktis, Petunjuk Praktis untuk Petugas Kesehatan.

URAIAN MATERI

Materi Pokok 1 : Deskripsi singkat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I)

Penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi yang termasuk dalam imunisasi program sesuai dengan Peraturan Menteri

Kesehatan No. 12 Tahun 2017 di Indonesia adalah:

1. Difteri

2. Pertusis

3. Tetanus

4. Tuberkulosis

5. Campak

6. Rubela

7. Poliomielitis

8. Hepatitis B

9. Meningitis

10. Pneumokokus

11. Japanese Encephalitis

12. Human Papiloma Virus

13. Diare

Selain itu, terdapat juga PD3I lain yang tidak termasuk dalam imunisasi program namun masuk dalam imunisasi pilihan seperti Tifoid,

Influenza, Mumps, Varicela, Hepatitis A, dan Rabies. Petugas imunisasi diharapkan dapat bekerjasama dengan petugas surveilans untuk

menemukan, melacak, melaporkan dan menganalisa kejadian PD3I di wilayahnya. Analisa dilakukan dengan mempertimbangkan antara lain:

1. Status imunisasi kasus PD3I,

2. Cakupan imunisasi, kinerja surveilans PD3I, dan kejadian kasus PD3I di wilayah tersebut selama kurun waktu minimal 3 tahun

terakhir, serta

3. Mobilitas penduduk

Gambaran Klinis Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) adalah sebagai berikut.

1. Difteri

Difteri adalah salah satu penyakit yang sangat menular yang dapat dicegah dengan imunisasi, disebabkan oleh bakteri Corynebacterium

diptheriae strain toksigenik. Penyebarannya adalah melalui kontak fisik dan pernafasan. Penularan terjadi melalui droplet (percikan ludah) dari

batuk, bersin, muntah, melalui alat makan, atau kontak erat langsung dari lesi di kulit. Apabila tidak diobati dan kasus tidak mempunyai

kekebalan maka angka kematian sekitar 50%, sedangkan dengan terapi angka kematiannya sekitar 10%.

Penyakit difteri ditandai dengan gejala awal badan lemas, sakit tenggorok, pilek seperti infeksi saluran napas bagian atas pada umumnya.

Gejala ini dapat berlanjut adanya bercak darah pada cairan hidung, suara serak, batuk dan atau sakit menelan. Pada anak bisa terjadi air liur

menetes atau keluarnya lendir dari mulut. Pada kasus berat, akan terjadi napas berbunyi (stridor) dan sesak napas, dengan demam atau

10
tanpa demam. Kulit juga bisa terinfeksi dengan kuman difteri, secara klinis luka ditutupi selaput ke abu-abuan. Jika semakin parah maka

biasanya akan muncul pembengkakan pada leher atau sering disebut bullneck. Masa inkubasi penyakit difteri antara 1 – 10 hari dengan rata-

rata 2 - 5 hari.

Komplikasi difteri dipengaruhi oleh usia kasus, kecepatan & ketepatan pengobatan dan strain kuman difteri. Komplikasi difteri yang sering

terjadi adalah myocarditis (peradangan pada otot jantung) pada minggu kedua sakit. Komplikasi lainnya bisa terjadi pada 2 – 6 minggu sakit

yaitu kelumpuhan syaraf pusat dan perifer, bahkan gejala neuritis terus terjadi dalam jangka waktu yang lama meskipun penyakit difterinya

sudah sembuh. Neuritis sering terjadi pada syaraf hidung yang menyebabkan perubahan suara dan cairan hidung keluar terus menerus, pada

syaraf mata yang menyebabkan pandangan kabur, atau pada otot diafragma dan anggota gerak yang sering tidak bisa dibedakan dengan

GBS (Guillain-Barre Syndrome).

Diagnosis difteri dibuat secara klinis maupun laboratoris. Diagnosis klinis dibuat berdasarkan gambaran klinis kasus yaitu adanya gejala

faringitis, tonsilitis, laringitis, trakeitis, atau kombinasinya disertai demam ringan/sedang atau tanpa demam dan adanya pseudomembran putih

keabu-abuan yang sulit lepas, mudah berdarah apabila dilepas atau dilakukan manipulasi. Sedangkan diagnosis laboratoris berdasarkan hasil

pemeriksaan kultur kuman difteri pada sediaan apus tenggorok kasus.

Pengobatan penyakit difteri harus dilakukan sesegera mungkin setelah timbul gejala untuk menghindari komplikasi dan kematian. Pengobatan

berupa antibiotik untuk membunuh kuman dan anti difteri serum (ADS) untuk menetralisir exotoxin dari kuman difteri.

Penting untuk melakukan pelacakan kontak dari kasus difteri agar kontak erat dapat segera diperiksa dan diberikan obat pencegahan

(profilaksis). Cara yang paling efektif mencegah difteri adalah dengan mempertahankan cakupan imunisasi yang tinggi di masyarakat. Di

banyak negara, vaksin difteri diberikan bersamaan dengan vaksin tetanus dan pertusis dalam bentuk DTP. Di beberapa negara, vaksin difteri

dikombinasikan dalam bentuk vaksin pentavalen bersamaan dengan hepatitis B dan Haemophilus influenzae tipe b. Vaksin kombinasi

pentavalen (DPT-HB-Hib) ini dapat mengurangi jumlah suntikan yang harus diberikan kepada anak-anak.

Gambar 1. Manifestasi Klinis Difteri

2. Pertusis

Pertusis disebut juga batuk rejan, adalah penyakit saluran pernafasan yang disebabkan oleh bakteri Bordetella pertusis yang hidup dalam

rongga mulut, hidung, dan tenggorokan. Penyakit ini sangat menular, terutama menyerang anak-anak (khususnya usia di bawah 5 tahun)

yang belum di imunisasi. Pertusis sangat mudah ditularkan dari orang ke orang melalui percikan ludah dan lendir pada saat penderita batuk

dan bersin. Penderita yang tidak diobati bisa menularkan penyakit selama tiga minggu atau lebih sejak mulai timbulnya gejala pertussis

meskipun setelah stadium catarrhal potensi penularan menurun. Sedangkan penderita yang mendapatkan pengobatan antibiotika yang efektif

masih bisa menularkan hingga 5 hari sejak pengobatan dimulai.

Masa inkubasi pertusis umumnya adalah 9-10 hari (dengan kisaran 6-20 hari). Pertusis yang berat terjadi pada bayi muda yang belum pernah

diberi imunisasi. Setelah masa inkubasi 7-10 hari, anak timbul demam, biasanya disertai batuk dan keluar cairan hidung yang secara klinik

sulit dibedakan dari batuk dan pilek biasa. Pada minggu ke-2, timbul batuk paroksismal yang dapat dikenali sebagai pertusis. Batuk dapat

berlanjut sampai 3 bulan atau lebih. Anak yang terinfeksi dapat menularkan kepada orang lain selama 2 minggu sampai 3 bulan setelah

terjadinya penyakit. Gejala timbul pada umumnya dalam waktu 9-10 hari setelah terinfeksi.

Gambaran klinis dari pertusis tidak terlalu spesifik. Ketika bakteri menginfeksi lapisan tenggorokan, trakea dan saluran pernapasan maka

sebagai respon akan terjadi produksi lendir yang semakin banyak. Pada awalnya lendir encer, tetapi kemudian menjadi kental dan lengket.

Seseorang dinyatakan sebagai terduga/ suspek pertusisi jika orang tersebut batuk terus menerus (batuk paroksismus) yang berlangsung

minimal selama 2 minggu dengan ditemukan minimal 1 tanda berikut: a. Batuk rejan pada saat inspirasi atau napas dalam (inspiratory

whoop), b. Muntah setelah batuk (post-tussive vomiting), c. Muntah tanpa ada penyebab yang jelas atau kasus apneu (berhenti nafas) dengan

11
atau tanpa sianosis pada anak usia <1 tahun dengan batuk tanpa ada batasan durasi, atau Jika dokter menduga pertusis pada pasien dengan

batuk tanpa ada batasan durasi.

Komplikasi yang paling sering terjadi adalah pneumonia (radang paru). Sekitar 60% penderita pertusis di negara industri mengalami

komplikasi pneumonia. Komplikasi pneumonia pada bayi usia di bawah enam bulan, bisa empat kali lebih tinggi dibandingkan dengan

penderita pertusis usia lebih tua. Komplikasi lain seperti kejang dapat terjadi disebabkan oleh demam dan oleh karena otak kekurangan

oksigen pada saat batuk rejan.

Pengobatan dengan antibiotika dapat mengurangi gejala berat pertusis terutama jika diberikan pada fase awal – awal penyakit. Antibiotik yang

tepat dapat membunuh bakteri yang ada di hidung dan tenggorokan sehingga dapat mengurangi penularan penyakit kepada orang lain.

Upaya pencegahan penularan pertusis yang paling efektif adalah melalui imunisasi dengan vaksin pertusis, dalam bentuk kombinasi dengan

difteri dan tetanus (DPT). Imunisasi DPT telah dilakukan bertahun-tahun, saat ini pertusis diberikan dalam bentuk vaksin pentavalen, bersama

dengan hepatitis B dan Haemophilus influenzae type b (DPT-HB-Hib). Vaksin kombinasi pentavalen dapat mengurangi jumlah suntikan yang

harus diberikan kepada bayi yang diimunisasi.

Gambar 2. Manifestasi Klinis Pertusis

3. Tetanus

Tetanus adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh strain toksigenik dari bakteri Clostridium tetani (C. tetani). Spora C. tetani terdapat

di lingkungan (di dalam tanah, air liur, debu dan pupuk). Spora memasuki tubuh melalui luka kulit yang terkontaminasi atau cedera jaringan

termasuk luka tusuk. Toksin yang dilepaskan oleh bakteri tetanus dapat menyebabkan rasa sakit yang berat dan kejang pada otot yang dapat

menyebabkan kematian. Tetanus neonatorum pada bayi baru lahir (neonatus) dan tetanus pada ibu hamil merupakan masalah yang serius

yang terjadi akibat persalinan tidak dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan dan tanpa prosedur steril.

Gejala awal adalah kesulitan minum karena terjadinya trismus atau lock jaw (spasme otot pengunyah). Mulut mencucu seperti ikan

(karpermond), sehingga bayi tidak dapat minum dengan baik. Selain itu terdapat risus sardonicus atau wajah seperti senyum terpaksa dan alis

terangkat. Kemudian, dapat terjadi spasmus otot yang luas dan kejang umum, seperti opisthotonus atau tulang belakang seperti melengkung

ke belakang.

Tetanus tidak ditularkan dari orang ke orang. Semua usia dapat terinfeksi oleh bakteri tetanus yang masuk ke dalam luka melalui kuku yang

kotor, pisau, alat pemotong kayu, peralatan persalinan yang tidak steril pada saat bayi lahir, luka dalam akibat gigitan binatang. Bakteri

tetanus tumbuh baik pada luka yang dalam, luka bakar, dan luka terbuka. Bayi dan anak dapat terkena tetanus pada saat sirkumsisi apabila

alat yang digunakan tidak steril. Luka gores dan kulit yang tertusuk apabila dibersihkan secara tidak steril dengan menggunakan bahan yang

terkontaminasi dapat terjangkit penyakit tetanus.

Masa inkubasi sekitar 3 – 10 hari. Risiko kematian tinggi apabila masa inkubasi makin pendek. Pada anak dan orang dewasa gejala rahang

terkunci (trismus atau lock jaw), merupakan gejala yang umum terjadi. Diikuti oleh kaku pada otot leher, otot perut atau otot punggung

(opisthotonus), sulit menelan, kejang otot, berkeringat dan panas badan. Neonatus yang terkena tetanus, pada saat baru lahir tampak normal,

namun kesulitan menyusu pada usia 3-28 hari. Kemudian otot-ototnya kaku dan kejang- kejang.

Apabila otot pernafasan terkena, timbul kesulitan bernafas dan bisa berakhir dengan kematian. Neonatus dan orang dewasa mempunyai

risiko paling tinggi. Komplikasi pneumonia juga sering terjadi. Tulang belakang dan tulang lainnya dapat terpengaruh posturnya apabila otot

mengalami spasmus dan kejang. Kelainan saraf ditemukan pada orang-orang yang bertahan hidup dari tetanus neonatorum.

Tetanus yang menyerang semua usia adalah kedaruratan medis dan harus ditangani di RS rujukan. Pengobatannya adalah dengan

pemberian anti tetanus serum, antibiotik, perawatan luka dan pengobatan suportif.

12
Vaksin yang mengandung tetanus toksoid dapat mencegah penyakit tetanus. Bayi dan anak-anak dapat menerima vaksin kombinasi seperti

vaksin pentavalen (DPT-HB-Hib), DT atau Td. Mereka yang usianya di atas tujuh tahun diberikan vaksin Td, yang mengandung tetanus

toksoid dan antigen difteria titer rendah.

Tetanus neonatorum dapat dicegah dengan memberikan imunisasi tetanus. Seseorang khususnya wanita telah memiliki perlindungan

terhadap penyakit tetanus dalam jangka panjang jika telah memiliki status imunisasi tetanus T5 yang diperoleh sejak anak-anak. Pemberian

Td kepada ibu hamil atau kepada wanita usia subur sebelum kehamilan harus didahului dengan skrining atau penapisan riwayat imunisasi

tetanusnya terlebih dahulu oleh petugas kesehatan. Persalinan yang bersih dan steril tetap harus dilakukan walaupun ibu hamil tersebut

sudah mencapai status T5. Pemotongan dan perawatan tali pusat secara steril juga penting. Orang yang sembuh dari tetanus, tidak punya

kekebalan dan dapat terinfeksi kembali.

Gambar 3. Manifestasi Klinis Tetanus Neonatorum

4. Tuberkulosis

Tuberkulosis disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis yang biasanya menyerang paru-paru. Namun bisa juga menyerang bagian

tubuh yang lain seperti tulang, sendi, dan otak. Tidak semua orang yang terinfeksi bakteri tuberkulosis jatuh sakit. Infeksi tuberkulosis dapat

berlangsung seumur hidup, orang yang terinfeksi tersebut belum tentu jatuh sakit. Mereka yang terinfeksi dan tidak menunjukkan gejala sakit,

tidak menular kepada orang lain.

Tuberkulosis ditularkan dari orang ke orang melalui udara, pada saat penderita batuk atau bersin. Tuberkulosis menular sangat cepat

terutama pada orang-orang yang hidup di daerah padat dan kumuh, akses terhadap pelayanan kesehatan kurang, serta masyarakat yang

kurang gizi. Seseorang dapat tertular tuberkulosis bovinum dari sapi oleh karena minum susu mentah dari sapi. Tuberkulosis dapat

menginfeksi semua golongan umur, namun yang rentan terhadap infeksi tuberkulosis adalah anak usia di bawah tiga tahun dan orangtua.

Mereka yang dengan sistem kekebalan rendah seperti pada penderita HIV/AIDS, lebih mudah terserang tuberkulosis.

Waktu antara infeksi sampai timbul gejala klinis sekitar 4-12 minggu, dapat juga infeksi berlangsung beberapa bulan bahkan beberapa tahun

sebelum timbulnya gejala klinis. Seseorang yang terinfeksi dapat menularkan penyakit kepada orang lain beberapa minggu setelah mendapat

pengobatan. Gejala klinis seorang penderita tuberkulosis antara lain badan lemah, berat badan turun, demam dan keringat pada waktu

malam. Pada penderita tuberkulosis paru (TB paru), gejala klinisnya termasuk batuk terus menerus terkadang batuk darah disertai rasa nyeri

di dada. Pada anak-anak yang menderita TB, terjadi gangguan pertumbuhan. Tuberkulosis dapat menyerang organ lain selain paru-paru yang

kemudian disebut sebagai TB extraparu. Apabila infeksi tuberkulosis mengenai tulang dan sendi maka gejalanya dapat berupa

pembengkakan sendi, nyeri pada sendi dan gangguan pergerakan pada sendi, disertai rasa sakit misalnya pada sendi paha, lutut, dan tulang

belakang. Bahkan infeksi Tuberkulosis dapat terjadi pada organ otak.

Tuberkulosis dapat muncul dengan berbagai gejala sehingga sulit untuk mendiagnosis. Tuberkulosis paru yang tidak diobati dapat juga

menyebabkan kecacatan dan kematian. Kematian dapat cepat terjadi apabila yang bersangkutan juga menderita HIV/AIDS. Seseorang yang

menderita tuberkulosis harus mendapatkan pengobatan yang lengkap dengan obat tuberkulosis dalam 2 fase selama enam bulan. Cara

pengobatan ini disebut dengan directly observed treatment short-course (DOTS). Sayangnya, ada orang yang tidak mendapatkan pengobatan

yang diwajibkan atau tidak menyelesaikan jadwal pengobatan secara tuntas. Multi drug – resistant tuberkulosis (MDR-TB) yang berarti bakteri

TB sudah resisten terhadap obat yang diberikan juga dapat muncul akibat berbagai faktor salah satunya adalah ketidakpatuhan dalam

pengobatan. MDR-TB ini lebih berbahaya oleh karena pengobatannya makin sulit, dan dapat menular kepada orang lain. Orang yang

mendapat pengobatan tidak lengkap atau dengan obat yang tidak tepat, mereka akan tetap menular.

Pencegahan yang paling efektif adalah dengan dilakukan pemberian imunisasi BCG (Bacillus – Calmette – Guerin) pada bayi usia 1 bulan,

dapat mencegah terjadinya meningitis tuberkulosis dan tuberkulosis berat pada anak balita.

13
Gambar 4. Manifestasi Klinis Tuberkulosis

5. Campak

Penyakit campak adalah merupakan penyakit akut yang sangat menular disebabkan oleh virus RNA dari genus Morbillivirus dari keluarga

Paramyxoviridae. Virus tersebut mudah mati karena panas dan cahaya.

Virus campak ditularkan melalui droplet yang keluar dari hidung, mulut atau tenggorokan orang yang terinfeksi virus campak pada saat bicara,

batuk, bersin atau melalui sekresi hidung. Masa penularan adalah empat (4) hari sebelum timbul rash sampai dengan empat (4) hari setelah

timbul rash. Puncak penularan pada saat gejala awal (fase prodromal), yaitu pada 1-3 hari pertama sakit. Masa inkubasi penyakit campak

adalah 7 – 18 hari, rata-rata 10 hari.

Gejala penyakit campak adalah sebagai berikut:

a. Panas badan biasanya > 38 C selama 3 hari atau lebih, disertai salah satu atau lebih gejala batuk, pilek, mata merah atau mata

berair;

b. Bercak kemerahan/rash/ruam yang dimulai dari belakang telinga berbentuk makulopapular selama 3 hari atau lebih, beberapa

hari kemudian (4-7 hari) akan menyebar ke seluruh tubuh;

c. Tanda khas (patognomonis) ditemukan Koplik’s spot atau bercak putih keabuan dengan dasar merah di pipi bagian dalam

(mucosa bucal);

d. Bercak kemerahan/rash/ruam makulopapular setelah 7 – 30 hari akan berubah menjadi kehitaman (hiperpigmentasi) dan disertai

kulit bersisik. Untuk kasus yang telah menunjukkan hiperpigmentasi maka perlu dilakukan anamnesis dengan teliti, dan apabila pada masa

akut (permulaan sakit) terdapat gejala-gejala yang telah disebutkan sebelumnya maka kasus tersebut merupakan kasus suspek campak.

Sebagian besar penderita campak akan sembuh tanpa pengobatan. Komplikasi sering terjadi pada anak usia 20 tahun. Kasus campak pada

penderita malnutrisi dan defisiensi vitamin A serta immune defisiency (HIV) dapat menyebabkan komplikasi campak yang lebih berat atau

fatal. Komplikasi yang sering terjadi yaitu: diare, bronchopneumonia, pneumonia, malnutrisi, otitis media, kebutaan, encephalitis, sub-acute

sclerosing panencephalitis (SSPE) dan ulkus mukosa mulut.

Untuk mendukung upaya eliminasi campak-Rubela/CRS, dilakukan surveilans campak-Rubela. Setiap ditemukan kasus suspek campak yaitu

setiap orang dari berbagai usia yang mengalami demam dan ruam/rash makulopapular harus dilaporkan dan diambil spesimen serumnya

untuk dikonfirmasi melalui pemeriksaan di laboratorium.

Komplikasi dan kematian.

Sebagian besar penderita campak akan sembuh tanpa pengobatan. Komplikasi sering terjadi pada anak usia <5 tahun dan penderita dewasa

usia >20 tahun. Kasus campak pada penderita malnutrisi dan defisiensi vitamin A serta immune defisiency (HIV) dapat menyebabkan komplikasi

campak yang lebih berat atau fatal. Komplikasi yang sering terjadi yaitu: diare, bronchopneumonia, pneumonia, malnutrisi, otitis media,

kebutaan, encephalitis, subacute sclerosing panencephalitis (SSPE) dan ulkus mukosa mulut.

Kematian penderita campak umumnya disebabkan karena komplikasinya seperti bronchopneumonia, diare berat dan gizi buruk serta

penanganan yang terlambat. Kematian campak adalah kematian pada seorang penderita campak pasti (terbukti melalui laboratorium maupun

hubungan epidemiologi) yang terjadi dalam 30 hari setelah timbul rash dan bukan disebabkan oleh hal-hal lain seperti trauma atau penyakit

kronik yang tidak berhubungan dengan komplikasi campak.

Gambar 5. Manifestasi Klinis Campak

14
6. Rubela

Rubela adalah penyakit yang disebabkan oleh togavirus jenis rubivirus dan termasuk golongan virus RNA. Virus Rubela cepat mati oleh sinar

ultra-violet, bahan kimia, bahan asam dan pemanasan. Virus Rubela dapat menembus sawar placenta dan menginfeksi janin. Akibat hal

tersebut dapat terjadi gangguan pertumbuhan janin, antara lain: abortus, lahir mati atau cacat berat kongenital (birth defects) yang dikenal

sebagai penyakit Congenital Rubella Syndrome (CRS).

Penyakit Rubela ditularkan melalui droplet saluran pernapasan saat batuk atau bersin. Virus dapat berkembang biak di nasofaring dan

kelenjar getah bening regional. Viremia terjadi pada 4–7 hari setelah virus masuk tubuh. Masa penularan diperkirakan terjadi pada 7 hari

sebelum hingga 7 hari setelah rash.

Masa inkubasi penyakit Rubela berkisar antara 14–21 hari. Gejala penyakit Rubela ditandai dengan demam ringan (37,2°C) dan bercak

merah/rash/ruam makulopapuler disertai pembesaran kelenjar getah bening (limfe) di belakang telinga, leher belakang dan sub occipital.

Rubela pada anak sering hanya menimbulkan gejala demam ringan atau bahkan tanpa gejala sehingga sering tidak terlaporkan. Sedangkan

Rubela pada wanita dewasa sering menimbulkan arthritis atau arthralgia.

Dampak infeksi Rubela pada wanita hamil, terutama pada kehamilan trimester pertama, dapat mengakibatkan abortus, lahir mati atau bayi

lahir dengan CRS. Ibu yang mengalami infeksi Rubela pada minggu 1-10 kehamilan akan melahirkan 90% bayi dengan CRS. Bentuk kelainan

pada CRS:

• Kelainan jantung: Patent Ductus Arteriosus (PDA), Defek Septum Atrial/Atrial Septal Defect (ASD), Defek Septum

Ventrikel/Ventricular Septal Defect (VSD), Stenosis Katup Pulmonal/Pulmonary Stenosis (PS);

• Kelainan pada mata: Katarak Kongenital, Glaukoma Kongenital, Pigmentary Retinopathy;

• Kelainan pendengaran: Tuli Sensouri Neural/ Sensouri Neural Hearing Loss (SNHL);

• Kelainan pada sistim saraf pusat: retardasi mental, mikrocephalia dan meningoensefalitis;

• Kelainan lain: purpura, splenomegali, ikterik yang muncul dalam 24 jam setelah lahir, radioluscent bone, serta gangguan

pertumbuhan.

Pencegahan Rubela dan CRS yang paling efektif adalah dengan memberikan imunisasi Rubela. Dalam program imunisasi rutin, imunisasi

yang mengandung antigen Rubela diintegrasikan dengan antigen campak menjadi imunisasi campak-Rubela dan diberikan dalam dua dosis.

Untuk mendukung upaya eliminasi campak-Rubela/CRS, dilakukan surveilans campak-Rubela. Setiap ditemukan kasus suspek campak yaitu

setiap orang dari berbagai usia yang mengalami demam dan ruam/rash makulopapular harus dilaporkan dan diambil spesimen serumnya

untuk dikonfirmasi melalui pemeriksaan di laboratorium. Selain itu juga terdapat surveilans CRS yang dilakukan secara sentinel di rumah

sakit-rumah sakit yang telah ditunjuk dan memenuhi syarat.

Gambar 6. Manifestasi Klinis Rubella

7. Polio

Poliomyelitis yang disebut juga dengan polio adalah penyakit infeksi yang sangat menular yang disebabkan oleh virus polio baik virus polio liar

(wild polio virus/WPV) ataupun virus polio dari vaksin yang bermutasi mendapatkan keganasannya kembali (vaccine-derived polio

virus/VDPV). Virus ini terdiri dari 3 tipe yaitu tipe 1, 2, atau 3. Virus polio dapat menginfeksi semua umur, terutama pada anak-anak. Satu dari

200 kejadian infeksi menyebabkan terjadinya kelumpuhan permanen (irreversible), apabila virus polio menyerang sel saraf sumsum tulang

belakang yang mengontrol pergerakan otot.

Penyebaran virus polio melalui rute fecal-oral. Di daerah dengan sanitasi lingkungan yang jelek kebanyakan penularan virus polio melalui

makanan dan minuman yang terkontaminasi oleh tinja / feses yang tercemar virus polio. Kebanyakan orang yang terinfeksi virus polio tidak

menunjukkan gejala, namun mereka dapat menularkan virus polio kepada orang lain.

15
Setelah seseorang terinfeksi virus polio maka sekitar 25% dari mereka akan menunjukkan gejala penyakit ringan seperti demam, nyeri kepala,

nyeri tenggorokan. Kelumpuhan terjadi pada 1% dari mereka yang terinfeksi. Kematian terjadi sekitar 5-10% dari mereka yang lumpuh.

Tidak ada pengobatan spesifik untuk polio. Pengobatan yang dilakukan hanya bersifat suportif. Untuk penderita polio yang mengalami

kesulitan bernafas, dapat dibantu dengan ventilator. Pengobatan ortopedik, pemakaian korset dapat mengurangi dampak kecacatan dalam

jangka panjang.

Polio dapat dicegah secara efektif dengan imunisasi menggunakan oral poliovirus vaccine (OPV) dan inactivated polio vaccine (IPV). WHO

menganjurkan semua negara menggunakan OPV dan minimal satu dosis IPV dalam program imunisasi rutin

Untuk mendukung upaya eradikasi polio, maka dilakukan surveilans AFP. Setiap anak yang berusia kurang dari 15 tahun yang mengalami

kelumpuhan mendadak dan bersifat layuh, serta bukan disebabkan oleh rudapaksa harus dilaporkan dan diambil spesimen tinjanya untuk

dikonfirmasi melalui pemeriksaan laboratorium.

Gambar 7. Manifestasi Klinis Polio

8. Hepatitis B

Penyakit hepatitis B disebabkan oleh virus hepatitis B yang menyerang hati. Orang dewasa yang terinfeksi virus hepatitis B (HB) 90% akan

sembuh sempurna namun apabila virus hepatitis B menginfeksi bayi saat lahir atau sebelum usia satu tahun maka 90% akan menjadi kronis.

Virus hepatitis B disebarkan melalui kontak langsung dengan darah atau cairan tubuh yang mengandung hepatitis B dalam berbagai situasi

seperti:

a. tertular dari ibunya saat proses melahirkan bayi;

b. penularan dari anak ke anak melalui luka kecil, karena teriris barang tajam, gigitan, garukan;

c. penularan melalui hubungan seksual;

d. melalui suntikan dengan jarum terkontaminasi atau transfusi darah yang berasal karier hepatitis B. Secara umum HepB, 50- 100

kali lebih infeksius dibandingkan HIV.

Infeksi hepatitis B akut tidak selamanya bergejala. Apabila menunjukkan gejala, penderita merasa lemah, mual, muntah, nyeri perut serta

kuning pada kulit dan sklera mata. Pada penderita hepatitis B kronis apabila penyakitnya bertambah berat oleh karena terjadi gagal hati, maka

gejalanya antara lain perut membesar (asites), perdarahan abnormal dan perubahan status mental.

Pada infeksi akut, sebagian kecil penderita dapat mengalami hepatitis fulminan dan berakhir dengan kematian. Komplikasi serius terjadi pada

penderita hepatitis B kronis berupa sirosis hati, kanker hati, kegagalan hati dan kematian.

Tidak ada terapi spesifik untuk hepatitis B. Penyakit hepatitis B kronis dapat diobati dengan antiviral dan interferon untuk kasus- kasus

tertentu.

Hepatitis B dapat dicegah dengan imunisasi. Semua bayi harus mendapatkan dosis pertama vaksin hepatitis B segera setelah lahir (dalam 24

jam) untuk memutuskan transmisi vertikal dari ibu pengidap ke bayinya. Setelah dosis pertama diberikan, maka dilanjutkan dengan pemberian

vaksin kombinasi DTPHB-Hib dalam bentuk vaksin pentavalent sesuai jadwal.

16
Gambar 8. Manifestasi Klinis Hepatitis B

9. Haemophilus Influenzae Tipe B

Haemophilus influenza adalah bakteri yang ditemukan di hidung dan tenggorokan anak. Ada enam jenis Haemophilus influenza yang memiliki

kapsul. Dari enam jenis ini, tipe-b adalah yang paling menjadi masalah. Haemophilus influenzae type b atau Hib, adalah penyebab 90% dari

semua infeksi oleh Haemophilus influenzae. Hib merupakan penyebab pneumonia akut, meningitis dan penyakit invasif lainnya, terutama

pada anak usia di bawah lima tahun.

Hib ditularkan dari orang ke orang melalui percikan ludah yang dilepaskan pada saat batuk atau bersin. Anak-anak dapat mempunyai bakteri

Hib dalam hidung dan tenggorokannya tanpa ada gejala sakit yang disebut sebagai karier, namun mereka dapat menularkan kepada orang

lain.

Penyakit serius yang paling sering terjadi disebabkan oleh Hib adalah pneumonia dan meningitis, meskipun Hib bukanlah satu- satunya

penyebab. Apabila ada anak dengan gejala pneumonia seperti demam, menggigil, batuk, nafas cepat dan dada tertarik ke dalam perlu

dipikirkan penyebabnya adalah Hib. Demikian pula anak dengan gejala meningitis seperti demam, nyeri kepala, sensitif terhadap cahaya,

kaku kuduk, delirium dan kesadaran menurun.

Hib dapat menimbulkan penyakit lain apabila menyerang bagian tubuh lainnya seperti:

Epiglotitis, yaitu radang pada pintu masuk larynx dengan gejala kesulitan bernafas dan nafas berbunyi/stridor.

Infeksi sistemik pada darah yang menyebabkan demam, menggigil diikuti penyebaran bakteri ke seluruh tubuh (bakteriemi).

Sekitar 40% dari anak yang terinfeksi Hib dapat menderita disabilitas neurologis termasuk kerusakan jaringan otak, hilangnya pendengaran

dan retardasi mental.

Penyakit yang disebabkan oleh Hib dapat diobati dengan antibiotika. Saat ini ditemukan Hib yang resisten terhadap antibiotika yang umum

dipakai di beberapa tempat di dunia.

Hib paling tepat dicegah melalui imunisasi dengan vaksin yang mengandung antigen Hib dalam bentuk vaksin kombinasi DTPHB-Hib kepada

bayi dan baduta sesuai jadwal. Imunisasi menjadi sangat penting pada saat makin seringnya ditemukan Hib yang resisten terhadap

antibiotika.

10. Pneumokokus

Infeksi pneumokokus disebabkan oleh bakteri Streptococcus pneumoniae (disebut juga sebagai bakteri pneumokokus) yang merupakan

penyebab utama pneumonia, yaitu penyakit infeksi saluran napas. Pneumonia merupakan penyebab utama kematian pada anak.

Pneumokokus juga menyebabkan meningitis (infeksi selaput otak dan sumsum tulang belakang), bakteriemia (infeksi aliran darah), otitis

media, sinusitis dan konjungtivitis terutama pada baduta dan lansia.

Faktor risiko yang dapat meningkatkan risiko terinfeksi pneumokokus antara lain umur (balita dan lansia lebih rentan), tidak mendapatkan

imunisasi lengkap, tidak mendapatkan ASI eksklusif, gizi buruk, polusi udara dalam ruangan (misalnya asap rokok), berat badan lahir rendah

(BBLR), kepadatan penghuni rumah serta kurang ventilasi dalam rumah.

Pneumokokus disebarkan dari orang ke orang melalui percikan ludah pada saat batuk, bersin, atau kontak erat. Pneumokokus ditularkan

secara langsung saat terpapar dengan lendir atau cairan yang berasal dari penderita, atau orang yang kelihatan sehat namun mengandung

pneumokokus dalam tenggorokannya (karier).

Demam dan menggigil terjadi hampir pada semua jenis infeksi pneumokokus. Pneumonia pada anak-anak gejalanya batuk, frekuensi nafas

cepat dan tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (TDDK). Pada anak-anak yang lebih tua, ada keluhan nafas pendek dan sakit pada

17
saat bernafas dan batuk. Penderita dengan meningitis dapat mengeluh nyeri kepala, sensitif terhadap sinar, kaku kuduk, kejang, delirium atau

menurunnya kesadaran. Pada otitis, penderita mengeluh rasa nyeri dan keluar cairan di daerah infeksi, begitu juga pada sinusitis.

Pneumonia dapat diikuti dengan komplikasi bakteriemia (infeksi aliran darah) dan atau empiema (ada pus atau nanah pada cavum pleural

yaitu ruangan antara paru dan selaput paru) dan atau abses paru. Penderita meningitis yang sembuh akan mengalami gejala sisa berupa

ketulian, retardasi mental, gangguan motorik dan kejang.

Pencegahan infeksi pneumokokus yang paling efektif adalah dengan imunisasi. Upaya lain adalah melalui perilaku hidup bersih dan sehat

seperti mencegah kepadatan hunian dan polusi di dalam rumah seperti mengurangi asap rokok, mengkonsumsi makanan bergizi dan promosi

ASI eksklusif bagi bayi pada usia enam bulan.

11. Japanase Encephalitis

Japanese Encephalitis (JE) adalah infeksi pada jaringan otak yang disebabkan oleh virus, yang ditemukan hampir di seluruh negara Asia,

kepulauan Pasifik dan bagian utara Australia. Walaupun selama ini JE dianggap sebagai penyakit anak namun dapat juga menyerang orang

dewasa, terutama kalau virus JE masuk ke daerah baru dan penduduk belum mempunyai kekebalan sebelumnya.

Virus JE disebarkan melalui gigitan nyamuk. Biasanya virus JE menginfeksi burung dan binatang peliharaan lainnya terutama burung dan babi

yang bertindak sebagai reservoir. Seseorang akan tertular apabila nyamuk telah menggigit binatang yang terinfeksi kemudian menggigit orang

tersebut.

Infeksi JE pada umumnya bergejala ringan bahkan tanpa gejala sama sekali. Secara umum hanya satu orang dari 250 orang yang terinfeksi

JE akan menunjukkan gejala, pada 4-14 hari setelah terinfeksi. Gejalanya seperti influenza, demam, menggigil, nyeri kepala, mual dan

muntah. Pada anak, gejala yang menonjol adalah nyeri perut terjadi pada saat awal infeksi. Tanda berupa bingung dan koma timbul 3-4 hari

kemudian. Penderita pada anak sering disertai kejang.

CFR (case fatality rate) JE sekitar 20-30%, anak usia muda (kurang dari 10 tahun) mempunyai risiko lebih tinggi terkena JE berat dengan

CFR yang lebih tinggi dibanding kelompok usia lain. Mereka yang lolos dari kematian 30-50% akan mengalami gangguan susunan syaraf

pusat sampai dengan paralisis.

Tidak ada pengobatan spesifik untuk JE. Oleh karena JE disebabkan oleh virus maka pemberian antibiotik tidaklah efektif. Pengobatan

suportif dapat mengurangi gejala.

Imunisasi adalah satu-satunya cara pencegahan JE yang paling efektif. Tidak ada cara manajemen lingkungan yang diketahui cukup efektif

untuk mencegah JE. Perbaikan status sosial ekonomi masyarakat dan perubahan cara pertanian dapat mengurangi penyebaran virus JE di

suatu daerah.

12. Human Papilloma Virus

Human Papilloma Virus (HPV) adalah virus yang ditularkan melalui hubungan seksual dan dapat menyebabkan condyloma dan kanker. Ada

lebih dari 100 jenis HPV, ada jenis tertentu yang hanya menyebabkan condyloma pada vagina, namun ada 13 jenis yang berbeda yang dapat

menimbulkan kanker. HPV dapat menyebabkan kanker pada anus, alat kelamin bagian luar, kanker mulut pada laki-laki dan perempuan.

Sedangkan pada perempuan 99% kanker serviks disebabkan oleh HPV. Kanker serviks adalah penyebab utama kematian pada perempuan

dewasa di negara berkembang. Merupakan jenis kanker nomor dua pada umumnya pada perempuan di seluruh dunia. Hampir 85% kematian

karena kanker serviks terjadi di negara berkembang.

HPV menyebar dengan sangat mudah melalui kontak kulit. Hampir semua orang yang aktif secara seksual telah pernah terinfeksi, pada

umumnya sudah terjadi saat awal kehidupan seksual mereka.

Infeksi HPV pada umumnya tanpa gejala sampai beberapa bulan. Hampir 90% baru menunjukkan gejala setelah 2 tahun, namun infeksi terus

berlanjut. Infeksi yang berlanjut dapat menyebabkan terjadinya kanker serviks terutama kalau terinfeksi oleh HPV terutama tipe 16 dan 18.

Butuh waktu sekitar 20 tahun untuk menjadi kanker serviks, dan baru timbul gejala saat stadium lanjut.

Gejala umum kanker serviks adalah terjadi perdarahan abnormal pada vagina (terutama setelah hubungan seksual atau perdarahan di antara

dua fase menstruasi. Rasa sakit pada panggul, pinggang/ punggung, tangan, keluar cairan dari vagina dan berat badan turun. Pada stadium

lanjut dapat terjadi anemia, gagal ginjal, fistula pada vagina

Strategi pencegahan dan pengendalian kanker serviks meliputi:

a. pencegahan primer dengan pemberian vaksinasi HPV kepada gadis usia 9-13 tahun. Kepada kelompok gadis dan remaja laki-

laki diberikan penyuluhan tentang bahaya rokok, pendidikan seks dan penggunaan kondom serta bagi anak laki-laki dianjurkan dilakukan

sirkumsisi;

18
b. pencegahan sekunder bagi perempuan usia 30-49 tahun dengan pendekatan temukan secara dini dan obati secara dini,

mengingat vaksinasi tidak melindungi terhadap semua tipe infeksi HPV penyebab kanker;

c. pencegahan tersier, dengan melakukan tindakan terhadap kanker invasif semua umur.

Vaksin HPV yang ada saat ini dapat mencegah terhadap dua jenis HPV yaitu tipe 16 dan 18 yang diketahui sebagai penyebab 70% kejadian

kanker serviks. Vaksinasi penting bagi negara yang sumber daya kesehatannya kurang untuk melakukan skrining yang efektif. Skrining

dengan Pap smear, HPV-DNA atau dengan IVA dianjurkan bagi perempuan usia 30 dan 49 tahun walaupun sebelumnya sudah pernah

mendapatkan vaksinasi HPV mengingat kanker serviks juga bisa disebabkan oleh HPV tipe lain. Pemakaian kondom dapat juga mencegah

terjadinya infeksi HPV. Untuk perempuan penderita HIV skrining harus dilakukan begitu diagnosis HIV ditegakkan tanpa memandang usia.

Vaksin HPV harus merupakan bagian dari strategi pencegahan kanker serviks yang komprehensif dan terkoordinasikan.

13. Diare

Penyakit diare merupakan masalah kesehatan di dunia termasuk Indonesia. Menurut WHO dan UNICEF, terjadi sekitar 2 milyar kasus diare di

seluruh dunia setiap tahun, dan sekitar 1,9 juta anak balita meninggal karena diare setiap tahun, sebagian besar terjadi di negara berkembang.

Dari semua kematian anak balita karena diare, 78% terjadi di wilayah Afrika dan Asia Tenggara.

Hasil kajian masalah kesehatan yang dilakukan oleh Litbangkes tahun 2011 menunjukkan penyebab utama kematian bayi usia 29 hari - 11

bulan adalah pnemonia (23,3%) dan diare (17,4%) serta penyebab utama kematian anak usia 1 - 4 tahun adalah pneumonia (20,5%) dan diare

(13,3%). Hasil Indonesia Sample Registration System(SRS) tahun 2014 yang dilakukan oleh Balitbangkes juga menyatakan bahwa diare

merupakan penyebab kematian utama nomor tiga pada bayi dan nomor satu pada balita usia 1 – 4 tahun.

Diare adalah salah satu penyakit tertinggi yang dijumpai pada balita. Diare akut adalah infeksi akut yang mengenai jaringan usus ditandai

dengan buang air besar yang frekuensinya lebih sering dari biasanya (pada umumnya 3 kali atau lebih) perhari dengan konsistensi cair dan

berlangsung kurang dari 7 hari.

Secara klinis penyebab diare akut dibagi dalam 4 kelompok yaitu infeksi, malabsorbsi, keracunan makanan dan diare terkait penggunaan

antibiotika.

Infeksi dapat disebabkan oleh bakteri, virus, fungi, parasit (protozoa, cacing). Dari berbagai penyebab tersebut, yang sering ditemukan adalah

diare yang disebabkan oleh infeksi virus.

Rotavirus adalah penyebab paling umum rawat inap dan kematian akibat diare pada anak di bawah usia 5 tahun. Anak-anak dengan diare

rotavirus datang dengan diare dan muntah proyektil yang sering menyebabkan dehidrasi dan parah jika tindakan rehidrasi yang tepat tidak

diambil. Infeksi tertinggi terjadi pada anak-anak berusia 3 bulan hingga 2 tahun. Lebih dari 2 juta anak di seluruh dunia dirawat di rumah sakit

karena infeksi rotavirus setiap tahun (Parashar et al., 2003).

Beban global rotavirus sangat tinggi sehingga pada usia 5 tahun, hampir setiap anak akan mengalami episode rotavirus gastroenteritis, 1 dari 5

akan mengunjungi fasilitas pelayanan kesehatan, 1 dari 65 akan dirawat di rumah sakit, dan sekitar 1 dari 293 akan meninggal. Pada tahun

2004, WHO memperkirakan bahwa 527.000 anak balita meninggal setiap tahun akibat infeksi rotavirus, terutama dari negara-negara

berpenghasilan rendah (WHO Rotavirus, 2014). Hasil ini menunjukkan bahwa rotavirus masih menjadi penyebab diare yang sangat umum di

seluruh dunia dan bertanggung jawab atas beban diare nonfatal yang substansial secara global. Temuan ini menyerukan upaya baru untuk

mencegah infeksi rotavirus melalui peningkatan upaya untuk meningkatkan cakupan vaksinasi, air dan sanitasi, serta akses dan kualitas

perawatan medis. Pemerintah, donor, dan profesional perawatan kesehatan harus menggunakan temuan ini untuk mengurangi beban rotavirus

di tingkat negara, regional, dan global (Troeger C, et al, 2018).

Hasil surveilans diare rotavirus di Indonesia pada tahun 2006-2008 menunjukkan bahwa penyebab utama diare cair akut pada anak usia balita

adalah rotavirus dengan proporsi 60% untuk yang dirawat inap dan 41% untuk yang dirawat jalan. Genotype yang paling banyak ditemukan

adalah G1P6 sebesar 34% dan G9P6 sebesar 21% (Soenarto et al, 2009). Pada tahun 2010-2016 rotavirus juga ditemukan sebagai penyebab

utama diare 4 cair akut pada anak usia balita di Indonesia yaitu 47,5% dengan proporsi dalam setiap masing-masing tahun mencapai 53,7%,

53,3%, 45,2%, 41,7% ,38,7%, 52,5%, dan 42,6%. Prevalensi diare rotavirus ditemukan pada anak dalam kelompok usia 6-23 bulan. Genotype

terbanyak yang ditemukan adalah G1P8 pada tahun 2010, 2011, dan 2012 sebesar 63,2%, 64,1% dan 74,6% berturut-turut. Pada tahun 2013,

2014, dan 2015 ditemukan G3P8 masing-masing 49,7%, 82,5%, dan 84,4% (Mulyani et al, 2018). Hasil penelitian tahun 2017 dengan

menggunakan Taqmann Array Card (TAC) untuk mendeteksi semua pathogen juga menunjukkan bahwa rotavirus tetap menempati urutan

pertama sebagai penyebab diare cair akut pada anak usia balita yaitu 39,24% disusul adenovirus yang hampir mencapai 30% dan norovirus GII

19
sebesar 10,1% (Nirwati et al, 2020). Surveilans diare rotavirus yang dilakukan di Indonesia ini tergabung dalam Global Pediatric Diarrheal

Surveillance(GPDS) dari WHO.

Materi Pokok 2 : Surveilans PD3I

KEGIATAN SURVEILANS PD3I

Kegiatan surveilans Penyakit yang dapat Dicegah Dengan Imunisasi yang dibahas dalam lampiran ini adalah surveilans Acute Flaccid Paralysis

(AFP), surveilans campak-rubela, surveilans CRS surveilans difteri, surveilans pertusis, surveilans polio, dan surveilans tetanus neonatorum.

1. SURVEILANS AFP

Surveilans AFP merupakan pengamatan yang dilakukan terhadap semua kasus kelumpuhan yang terjadi secara akut dan sifatnya layu (lumpuh

layu akut/Acute Flaccid Paralysis) pada anak usia < 15 tahun bukan karena trauma atau ruda paksa. Surveilans AFP yang sentivitasnya tinggi

akan mendukung mempertahankan Indonesia Bebas Polio dan mewujudkan Dunia Bebas Polio.

Mewujudkan Dunia Bebas Polio disusun dengan menggunakan Strategi Pemberatasan Polio 2022–2026 atau dikenal dengan Polio

Eradication Strategy 2022–2026 dengan tujuan sebagai berikut: Tujuan Pertama, menghentikan semua transmisi virus polio secara

permanen di negara-negara endemik dengan cara; peningkatan komitmen pemerintah dan semua sektor dalam pemberantasan polio,

kemitraan di wilayah beresiko tinggi, program yang berjalan dengan baik, memprioritaskan pemberian pelayanan terpadu, pendanaan yang

berkelanjutan dan peningkatan pengawasan dan pendeteksian penyakit. Tujuan Kedua, menghentikan penularan circulating vaccine-derived

poliovirus/cVDPV dan pencegahan KLB di negara non-endemik dengan cara; mengadvokasi dan mengkoordinasikan untuk memiliki

kesiapsiagaan KLB Polio, adanya struktur komando KLB dan pengambilan keputusan cepat sebagai respon terhadap KLB peningkatan

kapasitas surveilans dan respon KLB; untuk mengurangi penyebaran KLB, meningkatkan keterlibatan mitra dan meningkatkan penggunaan

vaksin polio oral tipe 2 (novel oral polio vaccine type 2/nOPV2)

Menghadapi Polio Endgame, maka diharapkan tidak hanya virus polio liar yang dibasmi, tetapi juga tidak boleh lagi ditemukan virus yang

berasal dari vaksin (VDPV) sehingga dilakukan penarikan OPV secara bertahap yang dimulai dengan penggantian dari trivalent Oral Polio

Vaccine (tOPV) yang mengandung antigen virus polio tipe 1, 2, dan 3, menjadi bivalent Oral Polio Vaccine (bOPV) yang hanya mengandung

antigen virus polio tipe 1 dan 3.

1.1 Pelaksanaan Surveilans AFP

Pelaksanaan Surveilans AFP dilakukan dengan tahapan penemuan kasus AFP, pelacakan kasus AFP, pengumpulan dan pengiriman spesimen

kasus AFP, penemuan kasus hot case, pelaporan dan peningkatan jejaring laboratorium, dan kunjungan KU 60

a. Penemuan Kasus AFP

Target Surveilans AFP harus dapat menemukan semua kasus AFP dalam suatu wilayah yang diperkirakan minimal 2 kasus AFP dari 100.000

penduduk usia < 15 tahun per tahun (Non-Polio AFP rate minimal 2/100.000 per tahun

b. Pelacakan Kasus AFP

Setiap kasus AFP yang ditemukan harus Segera dilacak dan dilaporkan ke unit pelaporan yang lebih tinggi selambat-lambatnya dalam waktu 24

jam setelah pelaporan diterima

c. Pengumpulan dan Pengiriman Spesimen Kasus AFP

Spesimen yang diperlukan dari penderita AFP adalah spesimen tinja dan tergantung dari lamanya kelumpuhan kasus AFP. Pengumpulan dan

pengiriman spesimen kasus AFP harus memperhatikan prosedur yang ditetapkan. Prosedur dan pengiriman spesimen kasus AFP dijelaskan

secara rinci dalam Pedoman Surveilans AFP

d. Penemuan Hot Case

Kasus-kasus yang sangat menyerupai polio yang ditemukan < 6 bulan sejak kelumpuhan dan spesimennya tidak adekuat (Hot Case) perlu

dilakukan pengambilan sampel kontak. Hal ini dilakukan untuk menghindari lolosnya Virus Polio Liar (VPL) dan menjamin sensitivitas sistem

Surveilans

e. Pelaporan dan Peningkatan Jejaring Laboratorium

20
Setiap kasus AFP yang ditemukan harus dilaporkan menggunakan formulir-formulir pelaporan kasus AFP secara akurat dan terperinci. Setiap

spesimen yang dikirimkan ke laboratorium harus dapat diperiksa dan disampaikan hasilnya kepada Direktorat Imunisasi Kementerian

Kesehatan RI, Dinas Kesehatan Provinsi Kabupaten/Kota, Puskesmas.

f. Kunjungan KU 60

Pada kasus AFP dengan spesimen yang tidak adekuat dan hasil pemeriksaan laboratorium negatif, maka belum bisa dipastikan bahwa kasus

tersebut bukan polio. Untuk itu diperlukan informasi penunjang secara klinis pada kunjungan ulang 60 hari.

Pada kasus AFP dengan hasil virus polio vaksin positif, diperlukan KU 60 hari sebagai bahan pertimbangan kelompok kerja ahli dalam

menentukan apakah ada hubungan antara kelumpuhan dengan virus polio vaksin yang ditemukan.

Skema__ Pelaksanaan Surveilans AFP

1.2 Respon Kejadian Luar Biasa

KLB/Wabah polio ditetapkan apabila ditemukan :

▪ Virus polio liar atau cVDPV pada manusia kecuali orang yang memiliki riwayat terpapar virus polio tipe 2 di laboratorium atau

fasilitas produsen vaksin atau

▪ WPV atau VDPV pada lebih dari satu sampel lingkungan terpisah (sampel dikumpulkan lebih dari satu lokasi pengambilan

sampel yang berbeda atau sampel diambil pada lokasi yang sama namun jarak pengambilan sampel lebih dari dua bulan.

Strategi respon KLB

1. Penyelidikan epidemiologi dan memperkuat surveilans polio

2. Mencegah beratnya cacat melalui penemuan, penatalaksanan dini dan rehabilitasi penderita

3. Menghentikan transmisi virus polio


a. Pengendalian infeksi melalui penemuan dini dan penatalaksanaan kasus polio
b. Respon Imunisasi Polio Terbatas

▪ Respon Imunisasi Polio Terbatas merupakan upaya pemberian imunisasi polio tambahan kepada sasaran tanpa melihat

status imunisasi polio sebelumnya yang dilaksanakan selambat-lambatnya 14 hari setelah teridentifikasi virus polio liar maupun VDPV
melalui konfirmasi laboratorium rujukan nasional. Kelompok sasaran merupakan seluruh anak usia kurang dari 5 tahun (balita) atau
kelompok usia lainnya berdasarkan kajian epidemiologi.

▪ Upaya respon imunisasi polio terbatas dilakukan dengan menjangkau minimal 500.000 sasaran balita. Bila yang terdeteksi

adalah virus polio liar atau cVDPV tipe 1 atau 3 maka digunakan vaksin bOPV, sedangkan bila cVDPV tipe 2 maka vaksin yang
digunakan adalah mOPV2. Mekanisme penyediaan mOPV2 dilakukan melalui koordinasi Ditjen Farmalkes, Ditjen P2P dengan WHO dan
Badan POM.

▪ Tujuan dilakukannya upaya ini yaitu untuk mencegah penularan virus polio pada kontak erat serumah, teman sepermainan

dan penularan melalui pencemaran virus polio secara fekal-oral (risiko tinggi pada seseorang dengan status imunisasi polio tidak lengkap
dan/atau status higiene tidak baik). Setelah dilaksanakan Respon Imunisasi Polio Terbatas, dilakukan SubPIN untuk sasaran yang lebih
besar dan wilayah yang lebih luas.
c. SubPIN atau PIN Polio

SubPIN merupakan pemberian imunisasi polio tambahan kepada sasaran sebanyak 3 putaran, tanpa melihat status imunisasi polio
sebelumnya, pada daerah yang berisiko tinggi terjadi transmisi virus polio. Putaran pertama dilaksanakan selambat-lambatnya 4 minggu
setelah pelaksanaan respon imunisasi polio terbatas. Kelompok sasaran merupakan seluruh anak usia kurang dari 5 tahun (balita) atau
kelompok usia lainnya berdasarkan kajian epidemiologi. Tujuan dilaksanakannya SubPIN adalah untuk memutus rantai penularan virus
polio. SubPIN harus dilakukan dengan perencanaan (mikroplaning) yang rinci dan pemantauan yang ketat.

21
Luas wilayah SubPIN ditetapkan berdasarkan hasil penyelidikan epidemiologi, terutama dengan pertimbangan mobilitas penduduk,
kondisi kesehatan lingkungan, cakupan imunisasi rutin dan performa surveilans AFP. Apabila masih ditemukan virus polio atau masih
terjadi transmisi virus polio atau adanya penyebaran virus polio ke lokasi yang lebih luas, maka SubPIN dilakukan kembali pasca
penemuan kasus atau virus polio terakhir.

Apabila penyebaran virus polio sudah meluas dan secara epidemiologi dibuktikan bahwa transmisi dapat terjadi pada skala nasional
maka harus dilakukan PIN Polio. PIN Polio dilaksanakan di seluruh wilayah di Indonesia, juga sebanyak 3 putaran, tanpa terkecuali.
Upaya ini bahkan juga dapat dilaksanakan bersamaan dengan negara-negara perbatasan terkait apabila dilaporkan adanya transmisi
virus polio di daerah-daerah berbatasan dengan negara lain.
d. Pengendalian Infeksi laboratorium
e. Pengendalian lingkungan

2. SURVEILANS CAMPAK RUBELA

Indonesia juga berkomitmen dalam mencapai dan mempertahankan eliminasi campak dan rubela dari transmisi virus campak dan rubella di

semua negara dan wilayah di Asia Tenggara pada tahun 2023. Eliminasi Campak-Rubela adalah tidak ditemukan wilayah endemis campak-

rubela selama >36 bulan dan tidak ada transmisi virus campak dan rubela (zero transmission), dengan pelaksanaan surveilans campak-rubela

yang adekuat. (WHO SEARO, 2019) sedangkan Endemis Campak-Rubela


adalah adanya penularan virus campak dan/atau virus rubela secara terus-menerus, yang terjadi selama 12 bulan di suatu wilayah

Adapun beberapa strategi yang perlu diupayakan untuk mencapai eliminasi tersebut adalah sebagai berikut:

a. Mempertahankan dan mencapai kekebalan imunitas dengan mencapai cakupan imunisasi 95% dengan memberikan 2 dosis

campak rubela di semua wilayah kabupaten/kota melalui imunisasi rutin dan imunisasi tambahan.

b. Mengembangkan dan mempertahankan sensitivitas dan ketepatan Surveilans campak, rubela, dan CRS di setiap wilayah.

c. Mengembangkan dan mempertahankan jejaring laboratorium yang terakreaditasi

d. Memastikan ketersediaan respon cepat dan penanggulangan KLB

e. Memperkuat dukungan dan jaringan untuk mencapai strategi ini dengan cara perencanaan, monitoring capaian, advokasi, sosial

mobilisasi, komunikasi, integrasi, penelitian, dan pengembangan.

Upaya untuk tercapainya eliminasi campak rubela seperti disebutkan di atas, sangat didukung oleh surveilans campak rubela yang baik.

Surveilans campak rubela merupakan pemantauan secara terus menerus dan sistematis terhadap penyakit campak dan rubela dimulai dari

pengumpulan, pengolahan, analisis, dan interpretasi data serta diseminasi informasi sehingga menghasilkan rekomendasi.

Dalam surveilans campak dapat dilakukan surveilans campak berbasis kasus individu (Case Based Measles Rubella/CBMS). Case Based

Measles Rubella adalah setiap kasus suspek campak dilaporkan, dilakukan investigasi dalam waktu 2 x 24 jam setelah laporan diterima,

dilakukan pemeriksaan laboratorium dan dicatat secara individual.

Case Based Measles Rubella yang sensitif sangat penting dalam memonitor kemajuan program eliminasi campak dan mempertahankan kondisi

eliminasi campak-rubela. Tujuan CBMS adalah untuk mendeteksi, investigasi, mengklasifikasi semua kasus suspek, melakukan respon

terhadap KLB dan pemeriksaan laboratorium untuk konfirmasi kasus. CBMS dibutuhkan untuk memonitor kemajuan eliminasi campak-rubela.

2.1 Pelaksanaan Surveilans Campak dan Rubela

Surveilans campak-rubela dilaksanakan di setiap tingkat sesuai dengan peran dan kewenangan masing-masing.

22
2.2 Respon Kejadian Luar Biasa

a. KLB Suspek Campak

Adanya lima (5) atau lebih kasus suspek campak-rubela dalam waktu empat (4) minggu berturut-turut dan ada hubungan epidemiologi.

b. KLB Campak Pasti

Apabila hasil pemeriksaan laboratorium, minimum dua (2) spesimen positif IgM campak dari hasil pemeriksaan kasus pada KLB suspek

campak-rubela atau hasil pemeriksaan kasus pada CBMS ditemukan minimum dua (2) spesimen positif IgM campak dan ada hubungan

epidemiologi.

c. KLB Rubela Pasti

Apabila hasil pemeriksaan laboratorium, minimum dua (2) spesimen positif IgM rubela dari hasil pemeriksaan kasus pada KLB suspek campak-

rubela atau hasil pemeriksaan kasus pada CBMS ditemukan minimum dua (2) spesimen positif IgM rubela dan ada hubungan epidemiologi.

Penanggulangan KLB suspek campak-rubela didasarkan analisis dan rekomendasi hasil penyelidikan KLB, dilakukan sesegera mungkin untuk
meminimalisasi jumlah kasus.

Tujuan Penanggulangan :

a. Memutuskan rantai penularan KLB di wilayah terjangkit dan wilayah sekitarnya

b. Mencegah komplikasi dan kematian

c. Memperpendek periode KLB

d. Mencari penyebab/faktor risiko terjadinya KLB

e. Menentukan langkah-langkah penanggulangan

f. Untuk pengambilan keputusan dalam penanggulangan dan pengendalian

Langkah-langkah Penanggulangan

a. Tata laksana kasus (lihat bagian Penyelidikan Epidemiologi).

b. Lakukan komunikasi risiko kepada masyarakat dan para pengambil keputusan.

c. Pelaksanaan Respon Imunisasi Segera (Outbreak Response Immunization /ORI) berdasarkan hasil kajian epidemiologi.

ORI dilakukan untuk menghentikan transmisi campak dan/atau rubela dengan cara meningkatkan kekebalan masyarakat terhadap kedua

penyakit tersebut sehingga KLB dapat ditanggulangi.

ORI dilaksanakan melalui dua strategi yaitu selektif dan massal.

ORI SELEKTIF

ORI selektif dilakukan bila KLB terjadi pada wilayah dengan risiko sedang yaitu bila cakupan imunisasi >95% atau jumlah balita rentan belum

mendekati jumlah kohort bayi satu tahun.

ORI selektif dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

1) Lengkapi status imunisasi campak-rubela seluruh anak usia 9 – 59 bln (riwayat imunisasi campak-rubela dapat diperoleh

berdasarkan kartu/catatan). Upaya melengkapi status imunisasi campak-rubela pada kelompok usia lainnya yang lebih dewasa dapat

dipertimbangkan, disesuaikan dengan hasil kajian epidemiologi.

2) Tentukan luas wilayah ORI selektif sesuai hasil kajian epidemiologi.

3) Target cakupan ORI massal adalah 95%, merata di seluruh desa/kelurahan. Selanjutnya, bila KLB sudah dapat ditanggulangi,

harus dicapai cakupan imunisasi rutin campak-rubela yang tinggi dan merata.

4) Lakukan evaluasi, apabila KLB berlanjut, pertimbangkan untuk melaksanakan ORI massal di wilayah KLB dan desa/kelurahan

sekitarnya yang mempunyai hubungan epidemiologi.

ORI MASSAL

ORI massal dilakukan bila KLB terjadi pada wilayah daerah risiko tinggi, yaitu daerah dengan pertimbangan hal-hal sebagai berikut :
- Daerah dengan cakupan imunisasi rendah (< 95%) atau jumlah balita rentan telah mendekati jumlah kohort bayi satu tahun

- Mobilitas penduduk tinggi

23
- Daerah rawan gizi

- Daerah pengungsi maupun daerah padat dan kumuh.

ORI massal dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

1) Berikan imunisasi campak-rubela kepada seluruh anak usia 9 – 59 bln, tanpa memandang status imunisasi sebelumnya. Sasaran

kelompok usia lainnya yang lebih dewasa dapat dipertimbangkan, disesuaikan dengan hasil kajian epidemiologi.

2) Tentukan luas wilayah ORI massal sesuai hasil kajian epidemiologi.

3) ORI massal dilaksanakan sesegera mungkin, sebaiknya pada saat belum terjadi penularan secara luas.

Target cakupan ORI massal adalah 95%, merata di seluruh desa/kelurahan.Selanjutnya, bila KLB sudah dapat ditanggulangi, harus dicapai

cakupan imunisasi rutin campak-rubela yang tinggi dan merata.

KLB dinyatakan berhenti apabila tidak ditemukan kasus baru dalam waktu dua (2) kali masa inkubasi atau rata-rata satu (1) bulan

setelah kasus terakhir

3. SURVEILANS CONGENITAL RUBELLA SYNDROME

Surveilans Congenital Rubella Syndrome/CRS adalah pemantauan secara terus menerus dan sistematis terhadap kasus Congenital Rubella

Syndrome (CRS). Untuk mendiagnosis kasus CRS perlu diketahui kumpulan manifestasi klinis yang dibagi dalam dua kelompok besar yaitu

kelompok A dan kelompok B.

KELOMPOK A KELOMPOK B

Gangguan pendengaran Purpura

Splenomegali
Penyakit jantung kongenital*
Mikrosefali Retardasi mental

Meningoensefalitis
Katarak atau Glaukoma kongenital**
Kelainan “Radiolucent bone”

Pigmentary retinopathy Ikterik yang muncul dalam waktu 24 jam setelah lahir

3.1

Catatan:

*Penyakit jantung kongenital yang termasuk ke dalam kriteris suspek CRS adalah minimal salah satu dari :

Patent Ductus Arteriosus (PDA)

Khusus PDA pada bayi premature jika PDA tidak menutup spontan sampai bayi berusia 2 bulan, maka dikategorikan

suspek CRS.

Pulmonary Stenosis (PS)

Artrial Septal Defect (ASD)

Ventricular Septal Defect (VSD)

**Satu atau keduanya dihitung sebagai satu

Pelaksanaan Surveilans CRS

a. Penemuan Kasus

24
Pada umumnya kasus CRS datang ke RS sesuai keluhan yang ada di divisi Anak (jantung, tumbuh kembang, neurologi, infefksi), divisi THT dan

divisi Mata (mata anak). Dokter yang ada di divisi tersebut bertanggung jawab melaporkan setian suspek CRS ke coordinator di masing-masing

unit.

b. Tata laksana Surveilans CRS

Semua suspek CRS akan dilakukan tatalaksana surveilans CRS yang meliputi :

Dokter yang pertama menemukan kasus melakukan:

▪ Pencatatan pada form CRS1

▪ Mengambil specimen darah 1 cc (merujuk ke laboratorium RS)

▪ Melakukan pemeriksaan adanya kelainan pada jantung, mata, THT atau kelainan minor lainnya (konsultasi kasus ke

divisi/KSM Anak, THT dan Mata)

▪ Menghubungi Koordinator Data dan atau Koordinator TIM CRS RS

Koordinator Data melakukan:

▪ Memastikan kasus telah diperiksa di setiap divisi Anak, THT dan Mata

▪ Memastikan form CRS 1 telah dilengkapi

▪ Memastikan kasus telah diambil specimen serum

▪ Memastikan specimen serum telah diperiksa serologi di laboratorium RS (jika laboratorium RS telah terakreditasi)

▪ Berkoordinasi dengan petugas surveilans PD3I provinsi untuk pengiriman specimen serum ke laboratorium nasional campak-rubela

(jika belum diperiksa di laboratorium RS) dan pengambilan dan pemeriksaan specimen darah kedua (jika diperlukan)

▪ Pelaporan menggunakan web PD3I atau form list CRS 1

▪ Berkoordinasi dengan Koordinator Tim CRS RS untuk klasifikasi kasus

▪ Pengolahan dan analisis data

Pada umumnya kasus CRS datang ke RS sesuai keluhan yang ada ke divisi Anak (jantung, tumbuh kembang, neurologi, neonatologi, infeksi),

divisi THT dan divisi Mata (mata anak).

25
Gambar ….. Diagram Alur Pelaksanaan Surveilans CRS di RS

4. SURVEILANS DIFTERI

Surveilans Difteri adalah kegiatan pengamatan yang sistematis dan terus menerus berdasarkan data dan informasi tentang kejadian penyakit

Difteri, serta kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit Difteri, untuk memperoleh dan memberikan informasi

guna mengarahkan tindakan pengendalian dan penanggulangan Difteri secara efektif dan efisien.

Suspek Difteri adalah seseorang dengan gejala faringitis, tonsilitis, laringitis, trakeitis, atau kombinasinya disertai demam atau tanpa demam

dan adanya pseudomembran putih keabu-abuan yang sulit lepas, mudah berdarah apabila dilepas atau dilakukan manipulasi.

Setiap kasus observasi difteri yang ditemukan tersebut akan dilakukan skrining oleh klinisi untuk menetapkan diagnosis suspek difteri atau

bukan. Klinisi tersebut adalah spesialis Anak, Penyakit Dalam dan THT yang menjadi anggota Komite Ahli Difteri dan telah mendapat sosialisasi

tentang diagnosa serta tatalaksana penyakit difteri.

4.2 Kegiatan Surveilans dan Penanggulangan Difteri

a. Deteksi dini kasus

Penemuan kasus dilaksanakan di semua fasilitas pelayanan kesehatan baik tingkat primer sampai tingkat rujukan akhir, baik pemerintah

maupun swasta.

b. Tatalaksana Kasus Difteri

Dokter memutuskan penderita Difteri dirawat berdasarkan gejala klinis.


Pada kasus Difteri tatalaksana dimulai dengan pemberian Anti Difteri Serum (ADS) dan antibiotik tanpa menunggu hasil

laboratorium (kultur baik swab/apus tenggorok).

Untuk pemberian ADS kepada penderita maka perlu dikonsultasikan dengan Komite Ahli difteri Dokter Spesialis (Anak, THT,

Penyakit Dalam).

26
Kasus Difteri dirawat di ruang isolasi (terpisah dengan penderita lain).

Dilakukan pengambilan spesimen swab tenggorokan dan hidung


Pemberian obat antibiotik yang sesuai dan obat suportif lainnya


Penderita Difteri yang dirawat dan sudah tidak menunjukkan gejala klinis maka dapat dipertimbangkan untuk dipulangkan tanpa

menunggu hasil laboratorium, namun pemberian antibiotik diteruskan sampai 14 hari.

Observasi jantung ada/tidaknya miocarditis, gangguan ginjal


4.3 Identifikasi/Penelusuran kontak erat Kasus

Kontak erat adalah semua orang yang pernah kontak dengan kasus suspek difteri sejak 10 hari sebelum timbul gejala sakit menelan sampai 2

hari setelah pengobatan (masa penularan).

Kategori kontak erat adalah:

Kontak erat satu rumah: tidur satu atap



Kontak erat satu kamar di asrama

Kontak erat teman satu kelas, guru, teman bermain

Kontak erat satu ruang kerja

Kontak erat tetangga, kerabat, pengasuh yang secara teratur mengunjungi rumah

Petugas kesehatan di lapangan dan di RS

Pendamping kasus selama dirawat

4.4 Tatalaksana Kontak Erat Kasus

Tatalaksana kontak erat meliputi monitoring timbulnya gejala sakit tenggorok sampai 10 hari yang akan datang dan pemberian

antibiotik sebagai profilaksis/kemoprofilaksis. Setiap kelompok kontak erat memiliki Pemantau Minum Obat (PMO) yang bertugas

memastikan obat diminum setiap hari.

Pemberian imunisasi difteri kepada kontak erat dilakukan pada saat penyelidikan epidemiologi, sesuai umur dan status Imunisasi, dengan

ketentuan seperti pada tabel berikut ini:

Riwayat Status Imunisasi (Dosis Imunisasi Pertusis Usia Anak Tatalaksana

atau DPT-HB-Hib yang telah diterima anak)

< 3 dosis atau tidak diketahui <1 tahun Segara lengkapi imunisasi dasar sesuai jadwal

1 - 6 tahun Lengkapi imunisasi dasar (3 dosis) dan imunisasi

lanjutan.

Berikan 3 dosis dengan interval waktu 1 bulan antara



dosis pertama dan kedua, dan 6 bulan antara dosis
7 tahun
kedua dan ketiga.

27
3 dosis, dosis terakhir < 5 tahun Anak yang belum mendapat imunisasi difteri dosis ke

4: berikan dosis ke 4,

anak yang sudah mendapat imunisasi difteri dosis ke

4: tidak perlu diberikan imunisasi

3 dosis, dosis terakhir > 5 tahun Berikan 1 dosis imunisasi ulangan difteri

4.5 Respon KLB Difteri

Suatu wilayah kab/kota dinyatakan KLB Difteri jika ditemukan satu suspek difteri dengan konfirmasi laboratorium kultur positif ATAU Jika

ditemukan Suspek Difteri yang mempunyai hubungan epidemiologi dengan kasus kultur positif. Penetapan KLB ditetapkan oleh Kepala Dinas

Kesehatan Kabupaten/Kota. Dinas Kesehatan Provinsi. atau Menteri Kesehatan.

Strategi Penanggulangan KLB Difteri

Penanggulangan KLB difteri dilakukan untuk mencegah penyebaran KLB difteri pada area yang lebih luas dan menghentikan KLB melalui

kegiatan:

1. Penyelidikan epidemiologi KLB difteri

2. Pencegahan penyebaran KLB difteri dengan:

a. Perawatan dan Pengobatan kasus secara adekuat

b. Penemuan & Pengobatan kasus tambahanan

c. Tatalaksana terhadap kontak erat erat dari kasus suspek difteri

3. Komunikasi risiko tentang difteri dan pencegahannya kepada masyarakat

4. Pelaksanaan Outbreak Response Immunization (ORI)

a. ORI dilaksanakan setelah dilakukan kajian epidemiologi. Luas wilayah ORI adalah satu (1) kab/kota tetapi jika tidak memungkinkan

karena sesuatu hal maka ORI minimal dilakukan satu (1) kecamatan. Jadwal ORI 3 kali dengan interval 0-1-6 bulan, tanpa mempertimbangkan

cakupan imunisasi di wilayah KLB.

b. Jenis vaksin yang digunakan tergantung kelompok umur sebagai berikut:

anak usia 1 - < 5 tahun menggunakan vaksin DPT-HB-Hib,



anak usia 5 - <7 tahun menggunakan vaksin DT

● anak usia 7 tahun menggunakan vaksin Td

c. Pelaksanaan ORI diperlukan persiapan yang komprehensif agar hasilnya efektif dan optimal, persiapan meliputi:

Logistik (vaksin & alat suntik) serta distribusi sampai ke lapangan



SDM sebagai pelaksana di lapangan dan supervisor

Mobilisasi sasaran

d. Untuk dapat memberikan kekebalan komunitas yang optimal maka cakupan ORI harus mencapai minimal 90%.

5. SURVEILANS PERTUSIS

Pemantauan secara terus menerus dan sistematis terhadap penyakit pertusis dimulai dari pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi

data serta diseminasi informasi sehingga menghasilkan rekomendasi. Surveilans pertusis dilaksanakan di setiap tingkat sesuai dengan peran

dan kewenangan masing-masing.

28
5.1 Pelaksanaan Surveilans Pertusis

a. Penemuan Kasus

Setiap penderita dengan batuk lebih dari 2 minggu yang datang ke puskesmas/RS/Faskes lainnya harus dicari gejala tambahan dan

ditentukan apakah memenuhi kriteria suspek pertusis.

Bila penderita datang dengan batuk yang kurang dari 2 minggu diupayakan untuk dimonitor perjalanan penyakitnya serta dicari gejala

tambahan pertussis lainnya.

Bila kasus memenuhi kriteria klinis pertusis, catat dalam formulir investigasi kasus pertusis dan lakukan penyelidikan epidemiologi untuk

mencari kasus tambahan.

Bila memenuhi kriteria KLB maka dilakukan penyelidikan KLB


Bila ditemukan kasus pertusis di RS, petugas surveilans RS harus melaporkan dalam waktu kurang dari 24 jam kepada petugas surveilans

dinas kesehatan kabupaten/kota. Setiap minggu petugas dinas kesehatan kabupaten/kota mengunjungi rumah sakit di wilayah kerjanya untuk

mencari dan menemukan secara aktif kasus pertusis (diintegrasikan dengan surveilans AFP, campak, Difteri).

b. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen

Kasus suspek pertusis dapat juga didiagnosa secara laboratoris dengan mengambil sampel berupa apus nasofaring. Spesimen dikirimkan

segera/secepatnya ke laboratorium rujukan yang ditentukan.

c. Pencatatan dan Pelaporan

Puskesmas mencatat setiap kasus pertusis ke dalam formulir PERT 01 dan dilaporkan ke dinas kesehatan kab/kota serta dilakukan rekapitulasi

mingguan. Dinas Kesehatan Kab/Kota merekap dan mengirim dalam bentuk laporan mingguan dan bulanan ke Dinas Kesehatan Provinsi dan

Dinas Kesehatan Provinsi merekap dan mengirimkan ke Kementerian Kesehatan.

5.2 Kejadian Luar Biasa

Suatu wilayah kab/kota dinyatakan KLB Pertusis jika ditemukan satu suspek pertusis dengan konfirmasi laboratorium PCR/kultur positif atau jika

ditemukan Suspek Pertusis yang mempunyai hubungan epidemiologi dengan kasus PCR/kultur positif. Satu suspek pertusis dilakukan

penanganan lebih dini untuk mencegah penyebaran pertusis yang lebih luas. Semua kasus suspek pertusis tetap ditatalaksana sesuai dengan

penanganan KLB (dilakukan PE dan penanggulangan sesuai SOP). Deteksi dini suspek pertusis dilakukan oleh tenaga kesehatan melalui

penemuan kasus di fasilitas kesehatan. Status KLB pertusis dicabut jika tidak ditemukan lagi kasus pertusis selama 2 kali masa inkubasi

terpanjang dihitung sejak dari kasus terakhir (28 hari).

5.3 Penanggulangan KLB Pertusis

Penanggulangan KLB pertusis didasarkan analisis dan rekomendasi hasil penyelidikan KLB, dilakukan sesegera mungkin untuk meminimalisasi

jumlah penderita.

Tujuan Penanggulangan:

1. Mencegah komplikasi dan kematian

2. Memperpendek periode KLB

3. Memutuskan rantai penularan KLB di wilayah terjangkit dan wilayah sekitarnya

Langkah – langkah penanggulangan:

a. Tatalaksana/Pengobatan :

Kasus klinis/konfirmasi laboratorium diberikan antibiotika eritromisin selama 7-14 hari (maks 3 minggu) dengan dosis untuk anak-anak 40-50

mg/kgbb/hari, dewasa 2 gram/hari yang masing-masing dibagi dalam 4 dosis.

29
b. Lakukan pemisahan terhadap kontak yang tidak pernah diimunisasi atau yang tidak diimunisasi lengkap. Pemisahan tersebut

berlaku sampai dengan 21 hari sejak terpajan dengan penderita atau sampai dengan saat penderita dan kontak sudah menerima antibiotika

minimal 5 hari dari 14 hari yang diharuskan.

c. Melaksanakan RCA (Rapid Convenience Assessment) atau survei cepat status imunisasi DPT-HB-Hib anak usia <5 tahun pada

wilayah lokasi terjangkit dan wilayah sekitarnya yang berisiko tinggi. Penentuan wilayah sekitar yang berisiko tinggi dilakukan dengan

melakukan analisa terhadap kriteria wilayah, akses terhadap layanan imunisasi, trend cakupan imunisasi difteri serta performa surveilans.

Wilayah sekitar yang berisiko tinggi adalah wilayah dengan kriteria sebagai berikut:

Wilayah padat penduduk, kumuh, terdapat pekerja migran, kelompok marjinal dan pengungsi yang berdomisili, wilayah pedesaan

dan sulit secara geografis

atau wilayah pemukiman baru

Status gizi dan PHBS masyarakat secara umum kurang baik



Kegiatan pelayanan imunisasi di puskesmas atau fasilitas pelayanan

kesehatan dilaksanakan kurang dari 2 kali setiap minggu dan pelayanan

imunisasi di posyandu tidak dilaksanakan rutin 1 kali setiap bulan

Trend cakupan imunisasi rutin DPT-HB-Hib1, DPT-HB-Hib2, DPT-HB-Hib3 dan

DPT-HB-Hib4 (dosis lanjutan) selama 3 tahun terakhir kurang dari 80%

6. SURVEILANS TETANUS NEONATORUM

Surveilans Tetanus neonatorum (TN) adalah kegiatan pengumpulan, pengolahan, dan analisis data penyakit tetanus yang terjadi pada neonatus

(usia < 28 hari) yang disebabkan oleh Clostridium tetani sehingga dihasilkan informasi guna tindak lanjut investigasi. Semua suspek TN harus

dilakukan investigasi. Penentuan kriteria kasus konfirmasi TN tidak berdasarkan pemeriksaan laboratorium tetapi berdasarkan gejala klinis dan

diagnosis dokter atau tenaga kesehatan terlatih.

6.1 Pelaksanaan Surveilans TN

a. Penemuan Kasus

Penemuan kasus secara aktif melalui Surveilans Aktif di Masyarakat (Fasilitas kesehatan tingkat pertama/FKTP seperti Puskesmas, Klinik

Swasta dan FKTP Lainnya (BPM), yaitu:

Setiap minggu petugas surveilans melakukan surveilans aktif dengan mereview register MTBM (Manajemen Terpadu Bayi Muda)

Diagnosa dari semua suspek TN yang berobat ke fasilitas pelayanan kesehatan ditetapkan oleh Dokter.

Penemuan kasus melalui kegiatan kegiatan kunjungan neonatal (KN1, KN2 dan KN3) dengan menggunakan form atau bagan

MTBM. Jika ditemukan kasus dengan klasifikasi infeksi bakteri berat perlu ditelusuri riwayat persalinan ibu atau hal lainnya yang mengarah

kepada suspek TN dan segera dilaporkan ke petugas surveilans.

Bila tidak ditemukan kasus dalam kunjungan ke puskesmas maka puskesmas melakukan laporan nihil/ / “ Zero Report" mingguan

melalui laporan rutin.

Penemuan suspek TN terutama pada daerah dengan risiko tinggi dilakukan melalui koordinasi dengan tokoh masyarakat, tokoh

agama dan kader, karena itu diperlukan pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan edukatif dan partisipatif dalam penemuan suspek

30
tetanus neonatorum.

Jika ditemukan suspek TN atau kematian bayi usia 3-28 hari segera lapor ke puskesmas atau rumah sakit terdekat yang ada di

wilayahnya.

b. Tatalaksana kasus sebelum dilakukan rujukan

Jika ditemukan kasus TN, maka tatalaksana kasus sebelum dilakukan rujukan ke rumah sakit, sebagai berikut:

Tata laksana spasme, alternatif pertama dengan pemberian diazepam rectal 5 mg atau diberikan diazepam IM dengan dosis

1-2 mg setiap 3 s.d 4 jam.

Debridement luka, perawatan tali pusat.


Pemberian human tetanus immunoglobulin/HTIG diberikan IM dengan dosis 500 IU atau ATS 100.000 IU dengan pemberian

50% IM dan 50% IV

Pemberian antibiotik yang sesuai yaitu metronidazole 15 mg/kg/BB di berikan secara IV atau oral.

Monitoring yang perlu dilakukan terhadap spasme diafragma, aspirasi, kejang, apneu, gangguan otonom.

Segera dirujuk ke rumah sakit


c. Investigasi Kasus TN

Setiap suspek TN harus diinvestigasi sesegera mungkin dalam waktu 24 jam setelah ada alert di SKDR. Cara melakukan investigasi :

▪ Menggunakan formulir investigasi TN ( form TN-01)

▪ Melakukan wawancara terhadap orang tua kasus, penolong persalinan dan tenaga kesehatan pemberi pelayanan antenatal untuk

mendapatkan informasi faktor risiko kasus TN

▪ Menanyakan identitas bayi, riwayat kelahiran dan riwayat kesakitan/kematian bayi.

▪ Kemudian dengan menggunakan kriteria diagnosis, dilakukan penetapan diagnosis TN dan faktor risikonya sesuai dengan definisi

operasional.

▪ Semua suspek TN atau kematian yang dilaporkan harus diselidiki dengan menggunakan formulir investigasi (Form TN-01)

d. Pencarian Kasus Tambahan

Pencarian kasus tambahan dilakukan dengan :

Melacak persalinan yang ditolong selama 3 bulan terakhir di fasilitas pelayanan kesehatan atau diluar fasilitas pelayanan

kesehatan dengan formulir TN-01.

Melacak kasus tersangka TN yang ditolong 3 bulan terakhir oleh penolong persalinan yang sama

31
Menanyakan kepada masyarakat setempat, tokoh masyarakat dan kader setempat apakah ada kematian bayi umur 3-28 hari atau

kasus yang sama disekitar tempat tinggal kasus yang tidak ketahui penyebabnya

Apabila ditemukan kasus tambahan atau kematian bayi umur 3-28 hari dalam periode 3 bulan terakhir, maka dilakukan kunjungan

dan wawancara dengan menggunakan formulir TN-02.

Mengumpulkan data cakupan imunisasi Td2+ pada ibu hamil di tingkat desa, persalinan di fasyankes dan kunjungan neonatal desa

kasus bersumber dari Puskesmas.

Lakukan Rapid Community Assessment dengan mewawancara minimal 7 atau lebih ibu yang melahirkan dalam 2 tahun terakhir

untuk mendapatkan informasi status imunisasi, tempat dan orang yang membantu dalam persalinan, penggunaan alat-alat yang tidak higienis

dalam memotong tali pusat, penggunaan ramuan/bahan yang tidak higienis pada perawatan tali pusat, dan status imunisasi anak.

32
REFERENSI

i.Indonesia, Kementerian Kesehatan RI. 2017. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 12 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Imunisasi. Ditjen
P2P Kemenkes RI: Jakarta.

ii.World Health Organization. 2017. Imunization in Practice : A Practical Guide for Health Staff -- 2004 Update. World Health Organization :

Geneva, Switzerland.

iii.Epidemiology and Prevention of Vaccine Preventable Disease CDC, 6 th edition, 2000


iv.Ditjen P2P, Kementerian Kesehatan. 2017. Petunjuk Teknis Introduksi Imunisasi Measles Rubella (MR), Indonesia.
v.Ditjen P2P, Kementerian Kesehatan. 2017. Petunjuk Teknis Introduksi Imunisasi Japanese Encephalitis, Indonesia.

vi.Ditjen P2P, Kementerian Kesehatan. 2017. Petunjuk Teknis Penanggulangan Wabah Polio, Indonesia.

vii.Ditjen P2P, Kementerian Kesehatan. 2019. Pedoman Surveilans Campak-Rubela, Indonesia.

viii.Ditjen P2P, Kementerian Kesehatan. 2022. Pedoman Surveilans Congenital Rubella Syndrome (CRS), Indonesia.

ix.Ditjen P2P, Kementerian Kesehatan. 2019. Pedoman Surveilans dan Penanggulangan Difteri, Indonesia.

x.Ditjen P2P, Kementerian Kesehatan. 2019. Pedoman Surveilans Acute Flaccid Paralysis (AFP), Indonesia.

xi.Ditjen P2P, Kementerian Kesehatan. 2021. Petunjuk Teknis Surveilans Tetanus Neonatorum, Indonesia.

xii.Ditjen P2P, Kementerian Kesehatan. 2021. Petunjuk Teknis Surveilans Pertusis untuk Petugas Surveilans, Indonesia.

xiii.Ditjen P2P, Kementerian Kesehatan. 2023. Pedoman Upaya Mempertahankan Eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal, Indonesia.

Penugasan Mata Pelatihan Inti 1 (MPI1) Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I)

Tujuan

Setelah melakukan diskusi kelompok ini, peserta mampu :

1. Menjelaskan gejala dan tanda dari PD3I

2. Menjelaskan respon yang dilakukan saat terjadi KLB PD3I

Alat dan Bahan

1. Panduan Diskusi

2. Lembar penugasan/Instruksi

3. Alat tulis

4. Laptop

Langkah-langkah:

33
1. Peserta dibagi ke dalam 3 kelompok. Masing-masing kelompok 10 orang

2. Fasilitator menjelaskan langkah-langkah diskusi kelompok tentang Materi Mata Pelatihan Inti 1(3 menit)

3. Peserta mendiskusikan sesuai instruksi fasilitator dalam kelompok (18 menit)

4. Fasilitator meminta semua kelompok bergantian menyajikan hasil diskusi kelompoknya dan juga beri kesempatan untuk tanya

jawab (@7 menit)

5. Fasilitator memberikan pembulatan (3 menit)

Waktu : 1 jpl (45 menit)

Lembar Penugasan (IHB 1.1 dan 1.2)

Di Desa Simpang Siur ditemukan kasus sebanyak 4 anak dengan gejala demam, nyeri telan dan ada pseudomembran di tenggorokan.
Keempat kasus merupakan teman satu sekolah. Berdasarkan informasi dari sekolah terdapat 1 anak lainnya yang mengeluh dengan gejala
yang sama namun si Anak berdomisili di Desa Maju Mundur. Kedua desa tersebut masuk kedalam wilayah kerja Puskesmas Satelit. Petugas
Surveilans Puskesmas Satelit telah mengambil specimen seluruh kasus serta kontak eratnya.

Penugasan :

1. Berdasarkan gejala tersebut diatas, Penyakit apa yang mungkin diderita oleh anak - anak tersebut ? Sebutkan alasannya
2. Sebagai petugas Imunisasi, langkah - langkah apa yang akan anda lakukan ? Jelaskan

34

Anda mungkin juga menyukai