I. DESKRIPSI SINGKAT
Saat ini Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) masih merupakan salah satu masalah kesehatan yang mengancam dunia.
WHO menyatakan bahwa imunisasi saat ini mencegah 2-3 juta kematian setiap tahun akibat penyakit seperti difteri, tetanus, pertusis, influenza,
dan campak.
Terdapat berbagai vaksin untuk mencegah lebih dari 20 penyakit yang mengancam jiwa, membantu orang-orang dari segala usia hidup lebih
lama, hidup lebih sehat. Penyakit-penyakit ini dapat mengakibatkan kesakitan, kecacatan dan bahkan kematian terutama jika mengenai anak-
anak yang belum mendapatkan imunisasi rutin lengkap. Oleh karena itu maka diperlukan cakupan imunisasi yang tinggi dan merata untuk
Untuk mencapai tujuan pelayanan imunisasi dengan baik, kita harus mengetahui penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) secara
benar, meliputi jenis dan gambaran klinis dari setiap PD3I tersebut. Selain itu beberapa PD3I yang saat ini menjadi perhatian dunia dan memiliki
komitmen global yang wajib diikuti oleh semua negara dalam pengendalian penyakitnya, yaitu antara lain eradikasi polio pada tahun 2026 dan
eliminisasi campak-Rubela/Congenital Rubella Syndrome (CRS) pada tahun 2023. Maka untuk memantau keberhasilan program imunisasi
nasional dalam mencapai target komitmen global PD3I tersebut harus dilakukan surveilans AFP dan PD3I lainnya.
Mata pelatihan ini membahas tentang deskripsi singkat PD3I berupa jenis-jenis, penyebab, gejala, cara penularan dan cara pencegahan, serta
surveilans PD3I meliputi pencatatan dan pelaporan serta respon KLB PD3I.
8
II. TUJUAN PEMBELAJARAN
Pada akhir sesi peserta mampu memahami Penyakit Yang Dapat Dicegah
1. Menjelaskan deskripsi singkat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I)
a. Penyebab
b. Gejala
c. Cara penularan
d. Cara pencegahan
Surveilans AFP
●
Surveilans Campak Rubela
●
Surveilans CRS
●
Surveilans Difteri
●
Surveilans Pertusis
●
Surveilans TN
●
IV. METODE
a. Bahan Tayang
b. Modul
c. Laptop
d. LCD
e. ATK
3. Pengajar memberikan penugasan dan mengorganisasikan peserta pembelajar ke dalam kelompok-kelompok belajar.
9
4. Pengajar membimbing kelompok bekerja dan belajar selama penugasan.
Indonesia, Kementerian Kesehatan RI. 2017. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 12 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Imunisasi. Ditjen
Pedoman Surveilans Congenital Rubella Syndrome (CRS). Subdit Surveilans, Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan, Ditjen P2P, 2019
Pedoman Surveilans dan Penanggulangan Difteri. Subdit Surveilans, Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan, Ditjen P2P, 2019
Pedoman Surveilans Campak – Rubela. Subdit Surveilans, Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan, Ditjen P2P, 2019
Pedoman Surveilans AFP (Acute Flaccid Paralysis). Subdit Surveilans, DIrektorat Surveilans dan Karantina Kesehatan, Ditjen P2P, 2019
URAIAN MATERI
Materi Pokok 1 : Deskripsi singkat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I)
Penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi yang termasuk dalam imunisasi program sesuai dengan Peraturan Menteri
1. Difteri
2. Pertusis
3. Tetanus
4. Tuberkulosis
5. Campak
6. Rubela
7. Poliomielitis
8. Hepatitis B
9. Meningitis
10. Pneumokokus
13. Diare
Selain itu, terdapat juga PD3I lain yang tidak termasuk dalam imunisasi program namun masuk dalam imunisasi pilihan seperti Tifoid,
Influenza, Mumps, Varicela, Hepatitis A, dan Rabies. Petugas imunisasi diharapkan dapat bekerjasama dengan petugas surveilans untuk
menemukan, melacak, melaporkan dan menganalisa kejadian PD3I di wilayahnya. Analisa dilakukan dengan mempertimbangkan antara lain:
2. Cakupan imunisasi, kinerja surveilans PD3I, dan kejadian kasus PD3I di wilayah tersebut selama kurun waktu minimal 3 tahun
terakhir, serta
3. Mobilitas penduduk
Gambaran Klinis Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) adalah sebagai berikut.
1. Difteri
Difteri adalah salah satu penyakit yang sangat menular yang dapat dicegah dengan imunisasi, disebabkan oleh bakteri Corynebacterium
diptheriae strain toksigenik. Penyebarannya adalah melalui kontak fisik dan pernafasan. Penularan terjadi melalui droplet (percikan ludah) dari
batuk, bersin, muntah, melalui alat makan, atau kontak erat langsung dari lesi di kulit. Apabila tidak diobati dan kasus tidak mempunyai
kekebalan maka angka kematian sekitar 50%, sedangkan dengan terapi angka kematiannya sekitar 10%.
Penyakit difteri ditandai dengan gejala awal badan lemas, sakit tenggorok, pilek seperti infeksi saluran napas bagian atas pada umumnya.
Gejala ini dapat berlanjut adanya bercak darah pada cairan hidung, suara serak, batuk dan atau sakit menelan. Pada anak bisa terjadi air liur
menetes atau keluarnya lendir dari mulut. Pada kasus berat, akan terjadi napas berbunyi (stridor) dan sesak napas, dengan demam atau
10
tanpa demam. Kulit juga bisa terinfeksi dengan kuman difteri, secara klinis luka ditutupi selaput ke abu-abuan. Jika semakin parah maka
biasanya akan muncul pembengkakan pada leher atau sering disebut bullneck. Masa inkubasi penyakit difteri antara 1 – 10 hari dengan rata-
rata 2 - 5 hari.
Komplikasi difteri dipengaruhi oleh usia kasus, kecepatan & ketepatan pengobatan dan strain kuman difteri. Komplikasi difteri yang sering
terjadi adalah myocarditis (peradangan pada otot jantung) pada minggu kedua sakit. Komplikasi lainnya bisa terjadi pada 2 – 6 minggu sakit
yaitu kelumpuhan syaraf pusat dan perifer, bahkan gejala neuritis terus terjadi dalam jangka waktu yang lama meskipun penyakit difterinya
sudah sembuh. Neuritis sering terjadi pada syaraf hidung yang menyebabkan perubahan suara dan cairan hidung keluar terus menerus, pada
syaraf mata yang menyebabkan pandangan kabur, atau pada otot diafragma dan anggota gerak yang sering tidak bisa dibedakan dengan
Diagnosis difteri dibuat secara klinis maupun laboratoris. Diagnosis klinis dibuat berdasarkan gambaran klinis kasus yaitu adanya gejala
faringitis, tonsilitis, laringitis, trakeitis, atau kombinasinya disertai demam ringan/sedang atau tanpa demam dan adanya pseudomembran putih
keabu-abuan yang sulit lepas, mudah berdarah apabila dilepas atau dilakukan manipulasi. Sedangkan diagnosis laboratoris berdasarkan hasil
Pengobatan penyakit difteri harus dilakukan sesegera mungkin setelah timbul gejala untuk menghindari komplikasi dan kematian. Pengobatan
berupa antibiotik untuk membunuh kuman dan anti difteri serum (ADS) untuk menetralisir exotoxin dari kuman difteri.
Penting untuk melakukan pelacakan kontak dari kasus difteri agar kontak erat dapat segera diperiksa dan diberikan obat pencegahan
(profilaksis). Cara yang paling efektif mencegah difteri adalah dengan mempertahankan cakupan imunisasi yang tinggi di masyarakat. Di
banyak negara, vaksin difteri diberikan bersamaan dengan vaksin tetanus dan pertusis dalam bentuk DTP. Di beberapa negara, vaksin difteri
dikombinasikan dalam bentuk vaksin pentavalen bersamaan dengan hepatitis B dan Haemophilus influenzae tipe b. Vaksin kombinasi
pentavalen (DPT-HB-Hib) ini dapat mengurangi jumlah suntikan yang harus diberikan kepada anak-anak.
2. Pertusis
Pertusis disebut juga batuk rejan, adalah penyakit saluran pernafasan yang disebabkan oleh bakteri Bordetella pertusis yang hidup dalam
rongga mulut, hidung, dan tenggorokan. Penyakit ini sangat menular, terutama menyerang anak-anak (khususnya usia di bawah 5 tahun)
yang belum di imunisasi. Pertusis sangat mudah ditularkan dari orang ke orang melalui percikan ludah dan lendir pada saat penderita batuk
dan bersin. Penderita yang tidak diobati bisa menularkan penyakit selama tiga minggu atau lebih sejak mulai timbulnya gejala pertussis
meskipun setelah stadium catarrhal potensi penularan menurun. Sedangkan penderita yang mendapatkan pengobatan antibiotika yang efektif
Masa inkubasi pertusis umumnya adalah 9-10 hari (dengan kisaran 6-20 hari). Pertusis yang berat terjadi pada bayi muda yang belum pernah
diberi imunisasi. Setelah masa inkubasi 7-10 hari, anak timbul demam, biasanya disertai batuk dan keluar cairan hidung yang secara klinik
sulit dibedakan dari batuk dan pilek biasa. Pada minggu ke-2, timbul batuk paroksismal yang dapat dikenali sebagai pertusis. Batuk dapat
berlanjut sampai 3 bulan atau lebih. Anak yang terinfeksi dapat menularkan kepada orang lain selama 2 minggu sampai 3 bulan setelah
terjadinya penyakit. Gejala timbul pada umumnya dalam waktu 9-10 hari setelah terinfeksi.
Gambaran klinis dari pertusis tidak terlalu spesifik. Ketika bakteri menginfeksi lapisan tenggorokan, trakea dan saluran pernapasan maka
sebagai respon akan terjadi produksi lendir yang semakin banyak. Pada awalnya lendir encer, tetapi kemudian menjadi kental dan lengket.
Seseorang dinyatakan sebagai terduga/ suspek pertusisi jika orang tersebut batuk terus menerus (batuk paroksismus) yang berlangsung
minimal selama 2 minggu dengan ditemukan minimal 1 tanda berikut: a. Batuk rejan pada saat inspirasi atau napas dalam (inspiratory
whoop), b. Muntah setelah batuk (post-tussive vomiting), c. Muntah tanpa ada penyebab yang jelas atau kasus apneu (berhenti nafas) dengan
11
atau tanpa sianosis pada anak usia <1 tahun dengan batuk tanpa ada batasan durasi, atau Jika dokter menduga pertusis pada pasien dengan
Komplikasi yang paling sering terjadi adalah pneumonia (radang paru). Sekitar 60% penderita pertusis di negara industri mengalami
komplikasi pneumonia. Komplikasi pneumonia pada bayi usia di bawah enam bulan, bisa empat kali lebih tinggi dibandingkan dengan
penderita pertusis usia lebih tua. Komplikasi lain seperti kejang dapat terjadi disebabkan oleh demam dan oleh karena otak kekurangan
Pengobatan dengan antibiotika dapat mengurangi gejala berat pertusis terutama jika diberikan pada fase awal – awal penyakit. Antibiotik yang
tepat dapat membunuh bakteri yang ada di hidung dan tenggorokan sehingga dapat mengurangi penularan penyakit kepada orang lain.
Upaya pencegahan penularan pertusis yang paling efektif adalah melalui imunisasi dengan vaksin pertusis, dalam bentuk kombinasi dengan
difteri dan tetanus (DPT). Imunisasi DPT telah dilakukan bertahun-tahun, saat ini pertusis diberikan dalam bentuk vaksin pentavalen, bersama
dengan hepatitis B dan Haemophilus influenzae type b (DPT-HB-Hib). Vaksin kombinasi pentavalen dapat mengurangi jumlah suntikan yang
3. Tetanus
Tetanus adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh strain toksigenik dari bakteri Clostridium tetani (C. tetani). Spora C. tetani terdapat
di lingkungan (di dalam tanah, air liur, debu dan pupuk). Spora memasuki tubuh melalui luka kulit yang terkontaminasi atau cedera jaringan
termasuk luka tusuk. Toksin yang dilepaskan oleh bakteri tetanus dapat menyebabkan rasa sakit yang berat dan kejang pada otot yang dapat
menyebabkan kematian. Tetanus neonatorum pada bayi baru lahir (neonatus) dan tetanus pada ibu hamil merupakan masalah yang serius
yang terjadi akibat persalinan tidak dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan dan tanpa prosedur steril.
Gejala awal adalah kesulitan minum karena terjadinya trismus atau lock jaw (spasme otot pengunyah). Mulut mencucu seperti ikan
(karpermond), sehingga bayi tidak dapat minum dengan baik. Selain itu terdapat risus sardonicus atau wajah seperti senyum terpaksa dan alis
terangkat. Kemudian, dapat terjadi spasmus otot yang luas dan kejang umum, seperti opisthotonus atau tulang belakang seperti melengkung
ke belakang.
Tetanus tidak ditularkan dari orang ke orang. Semua usia dapat terinfeksi oleh bakteri tetanus yang masuk ke dalam luka melalui kuku yang
kotor, pisau, alat pemotong kayu, peralatan persalinan yang tidak steril pada saat bayi lahir, luka dalam akibat gigitan binatang. Bakteri
tetanus tumbuh baik pada luka yang dalam, luka bakar, dan luka terbuka. Bayi dan anak dapat terkena tetanus pada saat sirkumsisi apabila
alat yang digunakan tidak steril. Luka gores dan kulit yang tertusuk apabila dibersihkan secara tidak steril dengan menggunakan bahan yang
Masa inkubasi sekitar 3 – 10 hari. Risiko kematian tinggi apabila masa inkubasi makin pendek. Pada anak dan orang dewasa gejala rahang
terkunci (trismus atau lock jaw), merupakan gejala yang umum terjadi. Diikuti oleh kaku pada otot leher, otot perut atau otot punggung
(opisthotonus), sulit menelan, kejang otot, berkeringat dan panas badan. Neonatus yang terkena tetanus, pada saat baru lahir tampak normal,
namun kesulitan menyusu pada usia 3-28 hari. Kemudian otot-ototnya kaku dan kejang- kejang.
Apabila otot pernafasan terkena, timbul kesulitan bernafas dan bisa berakhir dengan kematian. Neonatus dan orang dewasa mempunyai
risiko paling tinggi. Komplikasi pneumonia juga sering terjadi. Tulang belakang dan tulang lainnya dapat terpengaruh posturnya apabila otot
mengalami spasmus dan kejang. Kelainan saraf ditemukan pada orang-orang yang bertahan hidup dari tetanus neonatorum.
Tetanus yang menyerang semua usia adalah kedaruratan medis dan harus ditangani di RS rujukan. Pengobatannya adalah dengan
pemberian anti tetanus serum, antibiotik, perawatan luka dan pengobatan suportif.
12
Vaksin yang mengandung tetanus toksoid dapat mencegah penyakit tetanus. Bayi dan anak-anak dapat menerima vaksin kombinasi seperti
vaksin pentavalen (DPT-HB-Hib), DT atau Td. Mereka yang usianya di atas tujuh tahun diberikan vaksin Td, yang mengandung tetanus
Tetanus neonatorum dapat dicegah dengan memberikan imunisasi tetanus. Seseorang khususnya wanita telah memiliki perlindungan
terhadap penyakit tetanus dalam jangka panjang jika telah memiliki status imunisasi tetanus T5 yang diperoleh sejak anak-anak. Pemberian
Td kepada ibu hamil atau kepada wanita usia subur sebelum kehamilan harus didahului dengan skrining atau penapisan riwayat imunisasi
tetanusnya terlebih dahulu oleh petugas kesehatan. Persalinan yang bersih dan steril tetap harus dilakukan walaupun ibu hamil tersebut
sudah mencapai status T5. Pemotongan dan perawatan tali pusat secara steril juga penting. Orang yang sembuh dari tetanus, tidak punya
4. Tuberkulosis
Tuberkulosis disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis yang biasanya menyerang paru-paru. Namun bisa juga menyerang bagian
tubuh yang lain seperti tulang, sendi, dan otak. Tidak semua orang yang terinfeksi bakteri tuberkulosis jatuh sakit. Infeksi tuberkulosis dapat
berlangsung seumur hidup, orang yang terinfeksi tersebut belum tentu jatuh sakit. Mereka yang terinfeksi dan tidak menunjukkan gejala sakit,
Tuberkulosis ditularkan dari orang ke orang melalui udara, pada saat penderita batuk atau bersin. Tuberkulosis menular sangat cepat
terutama pada orang-orang yang hidup di daerah padat dan kumuh, akses terhadap pelayanan kesehatan kurang, serta masyarakat yang
kurang gizi. Seseorang dapat tertular tuberkulosis bovinum dari sapi oleh karena minum susu mentah dari sapi. Tuberkulosis dapat
menginfeksi semua golongan umur, namun yang rentan terhadap infeksi tuberkulosis adalah anak usia di bawah tiga tahun dan orangtua.
Mereka yang dengan sistem kekebalan rendah seperti pada penderita HIV/AIDS, lebih mudah terserang tuberkulosis.
Waktu antara infeksi sampai timbul gejala klinis sekitar 4-12 minggu, dapat juga infeksi berlangsung beberapa bulan bahkan beberapa tahun
sebelum timbulnya gejala klinis. Seseorang yang terinfeksi dapat menularkan penyakit kepada orang lain beberapa minggu setelah mendapat
pengobatan. Gejala klinis seorang penderita tuberkulosis antara lain badan lemah, berat badan turun, demam dan keringat pada waktu
malam. Pada penderita tuberkulosis paru (TB paru), gejala klinisnya termasuk batuk terus menerus terkadang batuk darah disertai rasa nyeri
di dada. Pada anak-anak yang menderita TB, terjadi gangguan pertumbuhan. Tuberkulosis dapat menyerang organ lain selain paru-paru yang
kemudian disebut sebagai TB extraparu. Apabila infeksi tuberkulosis mengenai tulang dan sendi maka gejalanya dapat berupa
pembengkakan sendi, nyeri pada sendi dan gangguan pergerakan pada sendi, disertai rasa sakit misalnya pada sendi paha, lutut, dan tulang
Tuberkulosis dapat muncul dengan berbagai gejala sehingga sulit untuk mendiagnosis. Tuberkulosis paru yang tidak diobati dapat juga
menyebabkan kecacatan dan kematian. Kematian dapat cepat terjadi apabila yang bersangkutan juga menderita HIV/AIDS. Seseorang yang
menderita tuberkulosis harus mendapatkan pengobatan yang lengkap dengan obat tuberkulosis dalam 2 fase selama enam bulan. Cara
pengobatan ini disebut dengan directly observed treatment short-course (DOTS). Sayangnya, ada orang yang tidak mendapatkan pengobatan
yang diwajibkan atau tidak menyelesaikan jadwal pengobatan secara tuntas. Multi drug – resistant tuberkulosis (MDR-TB) yang berarti bakteri
TB sudah resisten terhadap obat yang diberikan juga dapat muncul akibat berbagai faktor salah satunya adalah ketidakpatuhan dalam
pengobatan. MDR-TB ini lebih berbahaya oleh karena pengobatannya makin sulit, dan dapat menular kepada orang lain. Orang yang
mendapat pengobatan tidak lengkap atau dengan obat yang tidak tepat, mereka akan tetap menular.
Pencegahan yang paling efektif adalah dengan dilakukan pemberian imunisasi BCG (Bacillus – Calmette – Guerin) pada bayi usia 1 bulan,
dapat mencegah terjadinya meningitis tuberkulosis dan tuberkulosis berat pada anak balita.
13
Gambar 4. Manifestasi Klinis Tuberkulosis
5. Campak
Penyakit campak adalah merupakan penyakit akut yang sangat menular disebabkan oleh virus RNA dari genus Morbillivirus dari keluarga
Virus campak ditularkan melalui droplet yang keluar dari hidung, mulut atau tenggorokan orang yang terinfeksi virus campak pada saat bicara,
batuk, bersin atau melalui sekresi hidung. Masa penularan adalah empat (4) hari sebelum timbul rash sampai dengan empat (4) hari setelah
timbul rash. Puncak penularan pada saat gejala awal (fase prodromal), yaitu pada 1-3 hari pertama sakit. Masa inkubasi penyakit campak
a. Panas badan biasanya > 38 C selama 3 hari atau lebih, disertai salah satu atau lebih gejala batuk, pilek, mata merah atau mata
berair;
b. Bercak kemerahan/rash/ruam yang dimulai dari belakang telinga berbentuk makulopapular selama 3 hari atau lebih, beberapa
c. Tanda khas (patognomonis) ditemukan Koplik’s spot atau bercak putih keabuan dengan dasar merah di pipi bagian dalam
(mucosa bucal);
d. Bercak kemerahan/rash/ruam makulopapular setelah 7 – 30 hari akan berubah menjadi kehitaman (hiperpigmentasi) dan disertai
kulit bersisik. Untuk kasus yang telah menunjukkan hiperpigmentasi maka perlu dilakukan anamnesis dengan teliti, dan apabila pada masa
akut (permulaan sakit) terdapat gejala-gejala yang telah disebutkan sebelumnya maka kasus tersebut merupakan kasus suspek campak.
Sebagian besar penderita campak akan sembuh tanpa pengobatan. Komplikasi sering terjadi pada anak usia 20 tahun. Kasus campak pada
penderita malnutrisi dan defisiensi vitamin A serta immune defisiency (HIV) dapat menyebabkan komplikasi campak yang lebih berat atau
fatal. Komplikasi yang sering terjadi yaitu: diare, bronchopneumonia, pneumonia, malnutrisi, otitis media, kebutaan, encephalitis, sub-acute
Untuk mendukung upaya eliminasi campak-Rubela/CRS, dilakukan surveilans campak-Rubela. Setiap ditemukan kasus suspek campak yaitu
setiap orang dari berbagai usia yang mengalami demam dan ruam/rash makulopapular harus dilaporkan dan diambil spesimen serumnya
Sebagian besar penderita campak akan sembuh tanpa pengobatan. Komplikasi sering terjadi pada anak usia <5 tahun dan penderita dewasa
usia >20 tahun. Kasus campak pada penderita malnutrisi dan defisiensi vitamin A serta immune defisiency (HIV) dapat menyebabkan komplikasi
campak yang lebih berat atau fatal. Komplikasi yang sering terjadi yaitu: diare, bronchopneumonia, pneumonia, malnutrisi, otitis media,
kebutaan, encephalitis, subacute sclerosing panencephalitis (SSPE) dan ulkus mukosa mulut.
Kematian penderita campak umumnya disebabkan karena komplikasinya seperti bronchopneumonia, diare berat dan gizi buruk serta
penanganan yang terlambat. Kematian campak adalah kematian pada seorang penderita campak pasti (terbukti melalui laboratorium maupun
hubungan epidemiologi) yang terjadi dalam 30 hari setelah timbul rash dan bukan disebabkan oleh hal-hal lain seperti trauma atau penyakit
14
6. Rubela
Rubela adalah penyakit yang disebabkan oleh togavirus jenis rubivirus dan termasuk golongan virus RNA. Virus Rubela cepat mati oleh sinar
ultra-violet, bahan kimia, bahan asam dan pemanasan. Virus Rubela dapat menembus sawar placenta dan menginfeksi janin. Akibat hal
tersebut dapat terjadi gangguan pertumbuhan janin, antara lain: abortus, lahir mati atau cacat berat kongenital (birth defects) yang dikenal
Penyakit Rubela ditularkan melalui droplet saluran pernapasan saat batuk atau bersin. Virus dapat berkembang biak di nasofaring dan
kelenjar getah bening regional. Viremia terjadi pada 4–7 hari setelah virus masuk tubuh. Masa penularan diperkirakan terjadi pada 7 hari
Masa inkubasi penyakit Rubela berkisar antara 14–21 hari. Gejala penyakit Rubela ditandai dengan demam ringan (37,2°C) dan bercak
merah/rash/ruam makulopapuler disertai pembesaran kelenjar getah bening (limfe) di belakang telinga, leher belakang dan sub occipital.
Rubela pada anak sering hanya menimbulkan gejala demam ringan atau bahkan tanpa gejala sehingga sering tidak terlaporkan. Sedangkan
Dampak infeksi Rubela pada wanita hamil, terutama pada kehamilan trimester pertama, dapat mengakibatkan abortus, lahir mati atau bayi
lahir dengan CRS. Ibu yang mengalami infeksi Rubela pada minggu 1-10 kehamilan akan melahirkan 90% bayi dengan CRS. Bentuk kelainan
pada CRS:
• Kelainan jantung: Patent Ductus Arteriosus (PDA), Defek Septum Atrial/Atrial Septal Defect (ASD), Defek Septum
• Kelainan pendengaran: Tuli Sensouri Neural/ Sensouri Neural Hearing Loss (SNHL);
• Kelainan pada sistim saraf pusat: retardasi mental, mikrocephalia dan meningoensefalitis;
• Kelainan lain: purpura, splenomegali, ikterik yang muncul dalam 24 jam setelah lahir, radioluscent bone, serta gangguan
pertumbuhan.
Pencegahan Rubela dan CRS yang paling efektif adalah dengan memberikan imunisasi Rubela. Dalam program imunisasi rutin, imunisasi
yang mengandung antigen Rubela diintegrasikan dengan antigen campak menjadi imunisasi campak-Rubela dan diberikan dalam dua dosis.
Untuk mendukung upaya eliminasi campak-Rubela/CRS, dilakukan surveilans campak-Rubela. Setiap ditemukan kasus suspek campak yaitu
setiap orang dari berbagai usia yang mengalami demam dan ruam/rash makulopapular harus dilaporkan dan diambil spesimen serumnya
untuk dikonfirmasi melalui pemeriksaan di laboratorium. Selain itu juga terdapat surveilans CRS yang dilakukan secara sentinel di rumah
7. Polio
Poliomyelitis yang disebut juga dengan polio adalah penyakit infeksi yang sangat menular yang disebabkan oleh virus polio baik virus polio liar
(wild polio virus/WPV) ataupun virus polio dari vaksin yang bermutasi mendapatkan keganasannya kembali (vaccine-derived polio
virus/VDPV). Virus ini terdiri dari 3 tipe yaitu tipe 1, 2, atau 3. Virus polio dapat menginfeksi semua umur, terutama pada anak-anak. Satu dari
200 kejadian infeksi menyebabkan terjadinya kelumpuhan permanen (irreversible), apabila virus polio menyerang sel saraf sumsum tulang
Penyebaran virus polio melalui rute fecal-oral. Di daerah dengan sanitasi lingkungan yang jelek kebanyakan penularan virus polio melalui
makanan dan minuman yang terkontaminasi oleh tinja / feses yang tercemar virus polio. Kebanyakan orang yang terinfeksi virus polio tidak
menunjukkan gejala, namun mereka dapat menularkan virus polio kepada orang lain.
15
Setelah seseorang terinfeksi virus polio maka sekitar 25% dari mereka akan menunjukkan gejala penyakit ringan seperti demam, nyeri kepala,
nyeri tenggorokan. Kelumpuhan terjadi pada 1% dari mereka yang terinfeksi. Kematian terjadi sekitar 5-10% dari mereka yang lumpuh.
Tidak ada pengobatan spesifik untuk polio. Pengobatan yang dilakukan hanya bersifat suportif. Untuk penderita polio yang mengalami
kesulitan bernafas, dapat dibantu dengan ventilator. Pengobatan ortopedik, pemakaian korset dapat mengurangi dampak kecacatan dalam
jangka panjang.
Polio dapat dicegah secara efektif dengan imunisasi menggunakan oral poliovirus vaccine (OPV) dan inactivated polio vaccine (IPV). WHO
menganjurkan semua negara menggunakan OPV dan minimal satu dosis IPV dalam program imunisasi rutin
Untuk mendukung upaya eradikasi polio, maka dilakukan surveilans AFP. Setiap anak yang berusia kurang dari 15 tahun yang mengalami
kelumpuhan mendadak dan bersifat layuh, serta bukan disebabkan oleh rudapaksa harus dilaporkan dan diambil spesimen tinjanya untuk
8. Hepatitis B
Penyakit hepatitis B disebabkan oleh virus hepatitis B yang menyerang hati. Orang dewasa yang terinfeksi virus hepatitis B (HB) 90% akan
sembuh sempurna namun apabila virus hepatitis B menginfeksi bayi saat lahir atau sebelum usia satu tahun maka 90% akan menjadi kronis.
Virus hepatitis B disebarkan melalui kontak langsung dengan darah atau cairan tubuh yang mengandung hepatitis B dalam berbagai situasi
seperti:
b. penularan dari anak ke anak melalui luka kecil, karena teriris barang tajam, gigitan, garukan;
d. melalui suntikan dengan jarum terkontaminasi atau transfusi darah yang berasal karier hepatitis B. Secara umum HepB, 50- 100
Infeksi hepatitis B akut tidak selamanya bergejala. Apabila menunjukkan gejala, penderita merasa lemah, mual, muntah, nyeri perut serta
kuning pada kulit dan sklera mata. Pada penderita hepatitis B kronis apabila penyakitnya bertambah berat oleh karena terjadi gagal hati, maka
gejalanya antara lain perut membesar (asites), perdarahan abnormal dan perubahan status mental.
Pada infeksi akut, sebagian kecil penderita dapat mengalami hepatitis fulminan dan berakhir dengan kematian. Komplikasi serius terjadi pada
penderita hepatitis B kronis berupa sirosis hati, kanker hati, kegagalan hati dan kematian.
Tidak ada terapi spesifik untuk hepatitis B. Penyakit hepatitis B kronis dapat diobati dengan antiviral dan interferon untuk kasus- kasus
tertentu.
Hepatitis B dapat dicegah dengan imunisasi. Semua bayi harus mendapatkan dosis pertama vaksin hepatitis B segera setelah lahir (dalam 24
jam) untuk memutuskan transmisi vertikal dari ibu pengidap ke bayinya. Setelah dosis pertama diberikan, maka dilanjutkan dengan pemberian
16
Gambar 8. Manifestasi Klinis Hepatitis B
Haemophilus influenza adalah bakteri yang ditemukan di hidung dan tenggorokan anak. Ada enam jenis Haemophilus influenza yang memiliki
kapsul. Dari enam jenis ini, tipe-b adalah yang paling menjadi masalah. Haemophilus influenzae type b atau Hib, adalah penyebab 90% dari
semua infeksi oleh Haemophilus influenzae. Hib merupakan penyebab pneumonia akut, meningitis dan penyakit invasif lainnya, terutama
Hib ditularkan dari orang ke orang melalui percikan ludah yang dilepaskan pada saat batuk atau bersin. Anak-anak dapat mempunyai bakteri
Hib dalam hidung dan tenggorokannya tanpa ada gejala sakit yang disebut sebagai karier, namun mereka dapat menularkan kepada orang
lain.
Penyakit serius yang paling sering terjadi disebabkan oleh Hib adalah pneumonia dan meningitis, meskipun Hib bukanlah satu- satunya
penyebab. Apabila ada anak dengan gejala pneumonia seperti demam, menggigil, batuk, nafas cepat dan dada tertarik ke dalam perlu
dipikirkan penyebabnya adalah Hib. Demikian pula anak dengan gejala meningitis seperti demam, nyeri kepala, sensitif terhadap cahaya,
Hib dapat menimbulkan penyakit lain apabila menyerang bagian tubuh lainnya seperti:
Epiglotitis, yaitu radang pada pintu masuk larynx dengan gejala kesulitan bernafas dan nafas berbunyi/stridor.
●
Infeksi sistemik pada darah yang menyebabkan demam, menggigil diikuti penyebaran bakteri ke seluruh tubuh (bakteriemi).
●
Sekitar 40% dari anak yang terinfeksi Hib dapat menderita disabilitas neurologis termasuk kerusakan jaringan otak, hilangnya pendengaran
Penyakit yang disebabkan oleh Hib dapat diobati dengan antibiotika. Saat ini ditemukan Hib yang resisten terhadap antibiotika yang umum
Hib paling tepat dicegah melalui imunisasi dengan vaksin yang mengandung antigen Hib dalam bentuk vaksin kombinasi DTPHB-Hib kepada
bayi dan baduta sesuai jadwal. Imunisasi menjadi sangat penting pada saat makin seringnya ditemukan Hib yang resisten terhadap
antibiotika.
10. Pneumokokus
Infeksi pneumokokus disebabkan oleh bakteri Streptococcus pneumoniae (disebut juga sebagai bakteri pneumokokus) yang merupakan
penyebab utama pneumonia, yaitu penyakit infeksi saluran napas. Pneumonia merupakan penyebab utama kematian pada anak.
Pneumokokus juga menyebabkan meningitis (infeksi selaput otak dan sumsum tulang belakang), bakteriemia (infeksi aliran darah), otitis
Faktor risiko yang dapat meningkatkan risiko terinfeksi pneumokokus antara lain umur (balita dan lansia lebih rentan), tidak mendapatkan
imunisasi lengkap, tidak mendapatkan ASI eksklusif, gizi buruk, polusi udara dalam ruangan (misalnya asap rokok), berat badan lahir rendah
Pneumokokus disebarkan dari orang ke orang melalui percikan ludah pada saat batuk, bersin, atau kontak erat. Pneumokokus ditularkan
secara langsung saat terpapar dengan lendir atau cairan yang berasal dari penderita, atau orang yang kelihatan sehat namun mengandung
Demam dan menggigil terjadi hampir pada semua jenis infeksi pneumokokus. Pneumonia pada anak-anak gejalanya batuk, frekuensi nafas
cepat dan tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (TDDK). Pada anak-anak yang lebih tua, ada keluhan nafas pendek dan sakit pada
17
saat bernafas dan batuk. Penderita dengan meningitis dapat mengeluh nyeri kepala, sensitif terhadap sinar, kaku kuduk, kejang, delirium atau
menurunnya kesadaran. Pada otitis, penderita mengeluh rasa nyeri dan keluar cairan di daerah infeksi, begitu juga pada sinusitis.
Pneumonia dapat diikuti dengan komplikasi bakteriemia (infeksi aliran darah) dan atau empiema (ada pus atau nanah pada cavum pleural
yaitu ruangan antara paru dan selaput paru) dan atau abses paru. Penderita meningitis yang sembuh akan mengalami gejala sisa berupa
Pencegahan infeksi pneumokokus yang paling efektif adalah dengan imunisasi. Upaya lain adalah melalui perilaku hidup bersih dan sehat
seperti mencegah kepadatan hunian dan polusi di dalam rumah seperti mengurangi asap rokok, mengkonsumsi makanan bergizi dan promosi
Japanese Encephalitis (JE) adalah infeksi pada jaringan otak yang disebabkan oleh virus, yang ditemukan hampir di seluruh negara Asia,
kepulauan Pasifik dan bagian utara Australia. Walaupun selama ini JE dianggap sebagai penyakit anak namun dapat juga menyerang orang
dewasa, terutama kalau virus JE masuk ke daerah baru dan penduduk belum mempunyai kekebalan sebelumnya.
Virus JE disebarkan melalui gigitan nyamuk. Biasanya virus JE menginfeksi burung dan binatang peliharaan lainnya terutama burung dan babi
yang bertindak sebagai reservoir. Seseorang akan tertular apabila nyamuk telah menggigit binatang yang terinfeksi kemudian menggigit orang
tersebut.
Infeksi JE pada umumnya bergejala ringan bahkan tanpa gejala sama sekali. Secara umum hanya satu orang dari 250 orang yang terinfeksi
JE akan menunjukkan gejala, pada 4-14 hari setelah terinfeksi. Gejalanya seperti influenza, demam, menggigil, nyeri kepala, mual dan
muntah. Pada anak, gejala yang menonjol adalah nyeri perut terjadi pada saat awal infeksi. Tanda berupa bingung dan koma timbul 3-4 hari
CFR (case fatality rate) JE sekitar 20-30%, anak usia muda (kurang dari 10 tahun) mempunyai risiko lebih tinggi terkena JE berat dengan
CFR yang lebih tinggi dibanding kelompok usia lain. Mereka yang lolos dari kematian 30-50% akan mengalami gangguan susunan syaraf
Tidak ada pengobatan spesifik untuk JE. Oleh karena JE disebabkan oleh virus maka pemberian antibiotik tidaklah efektif. Pengobatan
Imunisasi adalah satu-satunya cara pencegahan JE yang paling efektif. Tidak ada cara manajemen lingkungan yang diketahui cukup efektif
untuk mencegah JE. Perbaikan status sosial ekonomi masyarakat dan perubahan cara pertanian dapat mengurangi penyebaran virus JE di
suatu daerah.
Human Papilloma Virus (HPV) adalah virus yang ditularkan melalui hubungan seksual dan dapat menyebabkan condyloma dan kanker. Ada
lebih dari 100 jenis HPV, ada jenis tertentu yang hanya menyebabkan condyloma pada vagina, namun ada 13 jenis yang berbeda yang dapat
menimbulkan kanker. HPV dapat menyebabkan kanker pada anus, alat kelamin bagian luar, kanker mulut pada laki-laki dan perempuan.
Sedangkan pada perempuan 99% kanker serviks disebabkan oleh HPV. Kanker serviks adalah penyebab utama kematian pada perempuan
dewasa di negara berkembang. Merupakan jenis kanker nomor dua pada umumnya pada perempuan di seluruh dunia. Hampir 85% kematian
HPV menyebar dengan sangat mudah melalui kontak kulit. Hampir semua orang yang aktif secara seksual telah pernah terinfeksi, pada
Infeksi HPV pada umumnya tanpa gejala sampai beberapa bulan. Hampir 90% baru menunjukkan gejala setelah 2 tahun, namun infeksi terus
berlanjut. Infeksi yang berlanjut dapat menyebabkan terjadinya kanker serviks terutama kalau terinfeksi oleh HPV terutama tipe 16 dan 18.
Butuh waktu sekitar 20 tahun untuk menjadi kanker serviks, dan baru timbul gejala saat stadium lanjut.
Gejala umum kanker serviks adalah terjadi perdarahan abnormal pada vagina (terutama setelah hubungan seksual atau perdarahan di antara
dua fase menstruasi. Rasa sakit pada panggul, pinggang/ punggung, tangan, keluar cairan dari vagina dan berat badan turun. Pada stadium
a. pencegahan primer dengan pemberian vaksinasi HPV kepada gadis usia 9-13 tahun. Kepada kelompok gadis dan remaja laki-
laki diberikan penyuluhan tentang bahaya rokok, pendidikan seks dan penggunaan kondom serta bagi anak laki-laki dianjurkan dilakukan
sirkumsisi;
18
b. pencegahan sekunder bagi perempuan usia 30-49 tahun dengan pendekatan temukan secara dini dan obati secara dini,
mengingat vaksinasi tidak melindungi terhadap semua tipe infeksi HPV penyebab kanker;
c. pencegahan tersier, dengan melakukan tindakan terhadap kanker invasif semua umur.
Vaksin HPV yang ada saat ini dapat mencegah terhadap dua jenis HPV yaitu tipe 16 dan 18 yang diketahui sebagai penyebab 70% kejadian
kanker serviks. Vaksinasi penting bagi negara yang sumber daya kesehatannya kurang untuk melakukan skrining yang efektif. Skrining
dengan Pap smear, HPV-DNA atau dengan IVA dianjurkan bagi perempuan usia 30 dan 49 tahun walaupun sebelumnya sudah pernah
mendapatkan vaksinasi HPV mengingat kanker serviks juga bisa disebabkan oleh HPV tipe lain. Pemakaian kondom dapat juga mencegah
terjadinya infeksi HPV. Untuk perempuan penderita HIV skrining harus dilakukan begitu diagnosis HIV ditegakkan tanpa memandang usia.
Vaksin HPV harus merupakan bagian dari strategi pencegahan kanker serviks yang komprehensif dan terkoordinasikan.
13. Diare
Penyakit diare merupakan masalah kesehatan di dunia termasuk Indonesia. Menurut WHO dan UNICEF, terjadi sekitar 2 milyar kasus diare di
seluruh dunia setiap tahun, dan sekitar 1,9 juta anak balita meninggal karena diare setiap tahun, sebagian besar terjadi di negara berkembang.
Dari semua kematian anak balita karena diare, 78% terjadi di wilayah Afrika dan Asia Tenggara.
Hasil kajian masalah kesehatan yang dilakukan oleh Litbangkes tahun 2011 menunjukkan penyebab utama kematian bayi usia 29 hari - 11
bulan adalah pnemonia (23,3%) dan diare (17,4%) serta penyebab utama kematian anak usia 1 - 4 tahun adalah pneumonia (20,5%) dan diare
(13,3%). Hasil Indonesia Sample Registration System(SRS) tahun 2014 yang dilakukan oleh Balitbangkes juga menyatakan bahwa diare
merupakan penyebab kematian utama nomor tiga pada bayi dan nomor satu pada balita usia 1 – 4 tahun.
Diare adalah salah satu penyakit tertinggi yang dijumpai pada balita. Diare akut adalah infeksi akut yang mengenai jaringan usus ditandai
dengan buang air besar yang frekuensinya lebih sering dari biasanya (pada umumnya 3 kali atau lebih) perhari dengan konsistensi cair dan
Secara klinis penyebab diare akut dibagi dalam 4 kelompok yaitu infeksi, malabsorbsi, keracunan makanan dan diare terkait penggunaan
antibiotika.
Infeksi dapat disebabkan oleh bakteri, virus, fungi, parasit (protozoa, cacing). Dari berbagai penyebab tersebut, yang sering ditemukan adalah
Rotavirus adalah penyebab paling umum rawat inap dan kematian akibat diare pada anak di bawah usia 5 tahun. Anak-anak dengan diare
rotavirus datang dengan diare dan muntah proyektil yang sering menyebabkan dehidrasi dan parah jika tindakan rehidrasi yang tepat tidak
diambil. Infeksi tertinggi terjadi pada anak-anak berusia 3 bulan hingga 2 tahun. Lebih dari 2 juta anak di seluruh dunia dirawat di rumah sakit
Beban global rotavirus sangat tinggi sehingga pada usia 5 tahun, hampir setiap anak akan mengalami episode rotavirus gastroenteritis, 1 dari 5
akan mengunjungi fasilitas pelayanan kesehatan, 1 dari 65 akan dirawat di rumah sakit, dan sekitar 1 dari 293 akan meninggal. Pada tahun
2004, WHO memperkirakan bahwa 527.000 anak balita meninggal setiap tahun akibat infeksi rotavirus, terutama dari negara-negara
berpenghasilan rendah (WHO Rotavirus, 2014). Hasil ini menunjukkan bahwa rotavirus masih menjadi penyebab diare yang sangat umum di
seluruh dunia dan bertanggung jawab atas beban diare nonfatal yang substansial secara global. Temuan ini menyerukan upaya baru untuk
mencegah infeksi rotavirus melalui peningkatan upaya untuk meningkatkan cakupan vaksinasi, air dan sanitasi, serta akses dan kualitas
perawatan medis. Pemerintah, donor, dan profesional perawatan kesehatan harus menggunakan temuan ini untuk mengurangi beban rotavirus
Hasil surveilans diare rotavirus di Indonesia pada tahun 2006-2008 menunjukkan bahwa penyebab utama diare cair akut pada anak usia balita
adalah rotavirus dengan proporsi 60% untuk yang dirawat inap dan 41% untuk yang dirawat jalan. Genotype yang paling banyak ditemukan
adalah G1P6 sebesar 34% dan G9P6 sebesar 21% (Soenarto et al, 2009). Pada tahun 2010-2016 rotavirus juga ditemukan sebagai penyebab
utama diare 4 cair akut pada anak usia balita di Indonesia yaitu 47,5% dengan proporsi dalam setiap masing-masing tahun mencapai 53,7%,
53,3%, 45,2%, 41,7% ,38,7%, 52,5%, dan 42,6%. Prevalensi diare rotavirus ditemukan pada anak dalam kelompok usia 6-23 bulan. Genotype
terbanyak yang ditemukan adalah G1P8 pada tahun 2010, 2011, dan 2012 sebesar 63,2%, 64,1% dan 74,6% berturut-turut. Pada tahun 2013,
2014, dan 2015 ditemukan G3P8 masing-masing 49,7%, 82,5%, dan 84,4% (Mulyani et al, 2018). Hasil penelitian tahun 2017 dengan
menggunakan Taqmann Array Card (TAC) untuk mendeteksi semua pathogen juga menunjukkan bahwa rotavirus tetap menempati urutan
pertama sebagai penyebab diare cair akut pada anak usia balita yaitu 39,24% disusul adenovirus yang hampir mencapai 30% dan norovirus GII
19
sebesar 10,1% (Nirwati et al, 2020). Surveilans diare rotavirus yang dilakukan di Indonesia ini tergabung dalam Global Pediatric Diarrheal
Kegiatan surveilans Penyakit yang dapat Dicegah Dengan Imunisasi yang dibahas dalam lampiran ini adalah surveilans Acute Flaccid Paralysis
(AFP), surveilans campak-rubela, surveilans CRS surveilans difteri, surveilans pertusis, surveilans polio, dan surveilans tetanus neonatorum.
1. SURVEILANS AFP
Surveilans AFP merupakan pengamatan yang dilakukan terhadap semua kasus kelumpuhan yang terjadi secara akut dan sifatnya layu (lumpuh
layu akut/Acute Flaccid Paralysis) pada anak usia < 15 tahun bukan karena trauma atau ruda paksa. Surveilans AFP yang sentivitasnya tinggi
akan mendukung mempertahankan Indonesia Bebas Polio dan mewujudkan Dunia Bebas Polio.
Mewujudkan Dunia Bebas Polio disusun dengan menggunakan Strategi Pemberatasan Polio 2022–2026 atau dikenal dengan Polio
Eradication Strategy 2022–2026 dengan tujuan sebagai berikut: Tujuan Pertama, menghentikan semua transmisi virus polio secara
permanen di negara-negara endemik dengan cara; peningkatan komitmen pemerintah dan semua sektor dalam pemberantasan polio,
kemitraan di wilayah beresiko tinggi, program yang berjalan dengan baik, memprioritaskan pemberian pelayanan terpadu, pendanaan yang
berkelanjutan dan peningkatan pengawasan dan pendeteksian penyakit. Tujuan Kedua, menghentikan penularan circulating vaccine-derived
poliovirus/cVDPV dan pencegahan KLB di negara non-endemik dengan cara; mengadvokasi dan mengkoordinasikan untuk memiliki
kesiapsiagaan KLB Polio, adanya struktur komando KLB dan pengambilan keputusan cepat sebagai respon terhadap KLB peningkatan
kapasitas surveilans dan respon KLB; untuk mengurangi penyebaran KLB, meningkatkan keterlibatan mitra dan meningkatkan penggunaan
vaksin polio oral tipe 2 (novel oral polio vaccine type 2/nOPV2)
Menghadapi Polio Endgame, maka diharapkan tidak hanya virus polio liar yang dibasmi, tetapi juga tidak boleh lagi ditemukan virus yang
berasal dari vaksin (VDPV) sehingga dilakukan penarikan OPV secara bertahap yang dimulai dengan penggantian dari trivalent Oral Polio
Vaccine (tOPV) yang mengandung antigen virus polio tipe 1, 2, dan 3, menjadi bivalent Oral Polio Vaccine (bOPV) yang hanya mengandung
Pelaksanaan Surveilans AFP dilakukan dengan tahapan penemuan kasus AFP, pelacakan kasus AFP, pengumpulan dan pengiriman spesimen
kasus AFP, penemuan kasus hot case, pelaporan dan peningkatan jejaring laboratorium, dan kunjungan KU 60
Target Surveilans AFP harus dapat menemukan semua kasus AFP dalam suatu wilayah yang diperkirakan minimal 2 kasus AFP dari 100.000
penduduk usia < 15 tahun per tahun (Non-Polio AFP rate minimal 2/100.000 per tahun
Setiap kasus AFP yang ditemukan harus Segera dilacak dan dilaporkan ke unit pelaporan yang lebih tinggi selambat-lambatnya dalam waktu 24
Spesimen yang diperlukan dari penderita AFP adalah spesimen tinja dan tergantung dari lamanya kelumpuhan kasus AFP. Pengumpulan dan
pengiriman spesimen kasus AFP harus memperhatikan prosedur yang ditetapkan. Prosedur dan pengiriman spesimen kasus AFP dijelaskan
Kasus-kasus yang sangat menyerupai polio yang ditemukan < 6 bulan sejak kelumpuhan dan spesimennya tidak adekuat (Hot Case) perlu
dilakukan pengambilan sampel kontak. Hal ini dilakukan untuk menghindari lolosnya Virus Polio Liar (VPL) dan menjamin sensitivitas sistem
Surveilans
20
Setiap kasus AFP yang ditemukan harus dilaporkan menggunakan formulir-formulir pelaporan kasus AFP secara akurat dan terperinci. Setiap
spesimen yang dikirimkan ke laboratorium harus dapat diperiksa dan disampaikan hasilnya kepada Direktorat Imunisasi Kementerian
f. Kunjungan KU 60
Pada kasus AFP dengan spesimen yang tidak adekuat dan hasil pemeriksaan laboratorium negatif, maka belum bisa dipastikan bahwa kasus
tersebut bukan polio. Untuk itu diperlukan informasi penunjang secara klinis pada kunjungan ulang 60 hari.
Pada kasus AFP dengan hasil virus polio vaksin positif, diperlukan KU 60 hari sebagai bahan pertimbangan kelompok kerja ahli dalam
menentukan apakah ada hubungan antara kelumpuhan dengan virus polio vaksin yang ditemukan.
▪ Virus polio liar atau cVDPV pada manusia kecuali orang yang memiliki riwayat terpapar virus polio tipe 2 di laboratorium atau
▪ WPV atau VDPV pada lebih dari satu sampel lingkungan terpisah (sampel dikumpulkan lebih dari satu lokasi pengambilan
sampel yang berbeda atau sampel diambil pada lokasi yang sama namun jarak pengambilan sampel lebih dari dua bulan.
2. Mencegah beratnya cacat melalui penemuan, penatalaksanan dini dan rehabilitasi penderita
▪ Respon Imunisasi Polio Terbatas merupakan upaya pemberian imunisasi polio tambahan kepada sasaran tanpa melihat
status imunisasi polio sebelumnya yang dilaksanakan selambat-lambatnya 14 hari setelah teridentifikasi virus polio liar maupun VDPV
melalui konfirmasi laboratorium rujukan nasional. Kelompok sasaran merupakan seluruh anak usia kurang dari 5 tahun (balita) atau
kelompok usia lainnya berdasarkan kajian epidemiologi.
▪ Upaya respon imunisasi polio terbatas dilakukan dengan menjangkau minimal 500.000 sasaran balita. Bila yang terdeteksi
adalah virus polio liar atau cVDPV tipe 1 atau 3 maka digunakan vaksin bOPV, sedangkan bila cVDPV tipe 2 maka vaksin yang
digunakan adalah mOPV2. Mekanisme penyediaan mOPV2 dilakukan melalui koordinasi Ditjen Farmalkes, Ditjen P2P dengan WHO dan
Badan POM.
▪ Tujuan dilakukannya upaya ini yaitu untuk mencegah penularan virus polio pada kontak erat serumah, teman sepermainan
dan penularan melalui pencemaran virus polio secara fekal-oral (risiko tinggi pada seseorang dengan status imunisasi polio tidak lengkap
dan/atau status higiene tidak baik). Setelah dilaksanakan Respon Imunisasi Polio Terbatas, dilakukan SubPIN untuk sasaran yang lebih
besar dan wilayah yang lebih luas.
c. SubPIN atau PIN Polio
SubPIN merupakan pemberian imunisasi polio tambahan kepada sasaran sebanyak 3 putaran, tanpa melihat status imunisasi polio
sebelumnya, pada daerah yang berisiko tinggi terjadi transmisi virus polio. Putaran pertama dilaksanakan selambat-lambatnya 4 minggu
setelah pelaksanaan respon imunisasi polio terbatas. Kelompok sasaran merupakan seluruh anak usia kurang dari 5 tahun (balita) atau
kelompok usia lainnya berdasarkan kajian epidemiologi. Tujuan dilaksanakannya SubPIN adalah untuk memutus rantai penularan virus
polio. SubPIN harus dilakukan dengan perencanaan (mikroplaning) yang rinci dan pemantauan yang ketat.
21
Luas wilayah SubPIN ditetapkan berdasarkan hasil penyelidikan epidemiologi, terutama dengan pertimbangan mobilitas penduduk,
kondisi kesehatan lingkungan, cakupan imunisasi rutin dan performa surveilans AFP. Apabila masih ditemukan virus polio atau masih
terjadi transmisi virus polio atau adanya penyebaran virus polio ke lokasi yang lebih luas, maka SubPIN dilakukan kembali pasca
penemuan kasus atau virus polio terakhir.
Apabila penyebaran virus polio sudah meluas dan secara epidemiologi dibuktikan bahwa transmisi dapat terjadi pada skala nasional
maka harus dilakukan PIN Polio. PIN Polio dilaksanakan di seluruh wilayah di Indonesia, juga sebanyak 3 putaran, tanpa terkecuali.
Upaya ini bahkan juga dapat dilaksanakan bersamaan dengan negara-negara perbatasan terkait apabila dilaporkan adanya transmisi
virus polio di daerah-daerah berbatasan dengan negara lain.
d. Pengendalian Infeksi laboratorium
e. Pengendalian lingkungan
Indonesia juga berkomitmen dalam mencapai dan mempertahankan eliminasi campak dan rubela dari transmisi virus campak dan rubella di
semua negara dan wilayah di Asia Tenggara pada tahun 2023. Eliminasi Campak-Rubela adalah tidak ditemukan wilayah endemis campak-
rubela selama >36 bulan dan tidak ada transmisi virus campak dan rubela (zero transmission), dengan pelaksanaan surveilans campak-rubela
Adapun beberapa strategi yang perlu diupayakan untuk mencapai eliminasi tersebut adalah sebagai berikut:
a. Mempertahankan dan mencapai kekebalan imunitas dengan mencapai cakupan imunisasi 95% dengan memberikan 2 dosis
campak rubela di semua wilayah kabupaten/kota melalui imunisasi rutin dan imunisasi tambahan.
b. Mengembangkan dan mempertahankan sensitivitas dan ketepatan Surveilans campak, rubela, dan CRS di setiap wilayah.
e. Memperkuat dukungan dan jaringan untuk mencapai strategi ini dengan cara perencanaan, monitoring capaian, advokasi, sosial
Upaya untuk tercapainya eliminasi campak rubela seperti disebutkan di atas, sangat didukung oleh surveilans campak rubela yang baik.
Surveilans campak rubela merupakan pemantauan secara terus menerus dan sistematis terhadap penyakit campak dan rubela dimulai dari
pengumpulan, pengolahan, analisis, dan interpretasi data serta diseminasi informasi sehingga menghasilkan rekomendasi.
Dalam surveilans campak dapat dilakukan surveilans campak berbasis kasus individu (Case Based Measles Rubella/CBMS). Case Based
Measles Rubella adalah setiap kasus suspek campak dilaporkan, dilakukan investigasi dalam waktu 2 x 24 jam setelah laporan diterima,
Case Based Measles Rubella yang sensitif sangat penting dalam memonitor kemajuan program eliminasi campak dan mempertahankan kondisi
eliminasi campak-rubela. Tujuan CBMS adalah untuk mendeteksi, investigasi, mengklasifikasi semua kasus suspek, melakukan respon
terhadap KLB dan pemeriksaan laboratorium untuk konfirmasi kasus. CBMS dibutuhkan untuk memonitor kemajuan eliminasi campak-rubela.
Surveilans campak-rubela dilaksanakan di setiap tingkat sesuai dengan peran dan kewenangan masing-masing.
22
2.2 Respon Kejadian Luar Biasa
Adanya lima (5) atau lebih kasus suspek campak-rubela dalam waktu empat (4) minggu berturut-turut dan ada hubungan epidemiologi.
Apabila hasil pemeriksaan laboratorium, minimum dua (2) spesimen positif IgM campak dari hasil pemeriksaan kasus pada KLB suspek
campak-rubela atau hasil pemeriksaan kasus pada CBMS ditemukan minimum dua (2) spesimen positif IgM campak dan ada hubungan
epidemiologi.
Apabila hasil pemeriksaan laboratorium, minimum dua (2) spesimen positif IgM rubela dari hasil pemeriksaan kasus pada KLB suspek campak-
rubela atau hasil pemeriksaan kasus pada CBMS ditemukan minimum dua (2) spesimen positif IgM rubela dan ada hubungan epidemiologi.
Penanggulangan KLB suspek campak-rubela didasarkan analisis dan rekomendasi hasil penyelidikan KLB, dilakukan sesegera mungkin untuk
meminimalisasi jumlah kasus.
Tujuan Penanggulangan :
Langkah-langkah Penanggulangan
c. Pelaksanaan Respon Imunisasi Segera (Outbreak Response Immunization /ORI) berdasarkan hasil kajian epidemiologi.
ORI dilakukan untuk menghentikan transmisi campak dan/atau rubela dengan cara meningkatkan kekebalan masyarakat terhadap kedua
ORI SELEKTIF
●
ORI selektif dilakukan bila KLB terjadi pada wilayah dengan risiko sedang yaitu bila cakupan imunisasi >95% atau jumlah balita rentan belum
1) Lengkapi status imunisasi campak-rubela seluruh anak usia 9 – 59 bln (riwayat imunisasi campak-rubela dapat diperoleh
berdasarkan kartu/catatan). Upaya melengkapi status imunisasi campak-rubela pada kelompok usia lainnya yang lebih dewasa dapat
3) Target cakupan ORI massal adalah 95%, merata di seluruh desa/kelurahan. Selanjutnya, bila KLB sudah dapat ditanggulangi,
harus dicapai cakupan imunisasi rutin campak-rubela yang tinggi dan merata.
4) Lakukan evaluasi, apabila KLB berlanjut, pertimbangkan untuk melaksanakan ORI massal di wilayah KLB dan desa/kelurahan
ORI MASSAL
●
ORI massal dilakukan bila KLB terjadi pada wilayah daerah risiko tinggi, yaitu daerah dengan pertimbangan hal-hal sebagai berikut :
- Daerah dengan cakupan imunisasi rendah (< 95%) atau jumlah balita rentan telah mendekati jumlah kohort bayi satu tahun
23
- Daerah rawan gizi
1) Berikan imunisasi campak-rubela kepada seluruh anak usia 9 – 59 bln, tanpa memandang status imunisasi sebelumnya. Sasaran
kelompok usia lainnya yang lebih dewasa dapat dipertimbangkan, disesuaikan dengan hasil kajian epidemiologi.
3) ORI massal dilaksanakan sesegera mungkin, sebaiknya pada saat belum terjadi penularan secara luas.
Target cakupan ORI massal adalah 95%, merata di seluruh desa/kelurahan.Selanjutnya, bila KLB sudah dapat ditanggulangi, harus dicapai
KLB dinyatakan berhenti apabila tidak ditemukan kasus baru dalam waktu dua (2) kali masa inkubasi atau rata-rata satu (1) bulan
Surveilans Congenital Rubella Syndrome/CRS adalah pemantauan secara terus menerus dan sistematis terhadap kasus Congenital Rubella
Syndrome (CRS). Untuk mendiagnosis kasus CRS perlu diketahui kumpulan manifestasi klinis yang dibagi dalam dua kelompok besar yaitu
KELOMPOK A KELOMPOK B
Splenomegali
Penyakit jantung kongenital*
Mikrosefali Retardasi mental
Meningoensefalitis
Katarak atau Glaukoma kongenital**
Kelainan “Radiolucent bone”
Pigmentary retinopathy Ikterik yang muncul dalam waktu 24 jam setelah lahir
3.1
Catatan:
*Penyakit jantung kongenital yang termasuk ke dalam kriteris suspek CRS adalah minimal salah satu dari :
Khusus PDA pada bayi premature jika PDA tidak menutup spontan sampai bayi berusia 2 bulan, maka dikategorikan
suspek CRS.
a. Penemuan Kasus
24
Pada umumnya kasus CRS datang ke RS sesuai keluhan yang ada di divisi Anak (jantung, tumbuh kembang, neurologi, infefksi), divisi THT dan
divisi Mata (mata anak). Dokter yang ada di divisi tersebut bertanggung jawab melaporkan setian suspek CRS ke coordinator di masing-masing
unit.
Semua suspek CRS akan dilakukan tatalaksana surveilans CRS yang meliputi :
▪ Melakukan pemeriksaan adanya kelainan pada jantung, mata, THT atau kelainan minor lainnya (konsultasi kasus ke
▪ Memastikan kasus telah diperiksa di setiap divisi Anak, THT dan Mata
▪ Memastikan specimen serum telah diperiksa serologi di laboratorium RS (jika laboratorium RS telah terakreditasi)
▪ Berkoordinasi dengan petugas surveilans PD3I provinsi untuk pengiriman specimen serum ke laboratorium nasional campak-rubela
(jika belum diperiksa di laboratorium RS) dan pengambilan dan pemeriksaan specimen darah kedua (jika diperlukan)
Pada umumnya kasus CRS datang ke RS sesuai keluhan yang ada ke divisi Anak (jantung, tumbuh kembang, neurologi, neonatologi, infeksi),
25
Gambar ….. Diagram Alur Pelaksanaan Surveilans CRS di RS
4. SURVEILANS DIFTERI
Surveilans Difteri adalah kegiatan pengamatan yang sistematis dan terus menerus berdasarkan data dan informasi tentang kejadian penyakit
Difteri, serta kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit Difteri, untuk memperoleh dan memberikan informasi
guna mengarahkan tindakan pengendalian dan penanggulangan Difteri secara efektif dan efisien.
Suspek Difteri adalah seseorang dengan gejala faringitis, tonsilitis, laringitis, trakeitis, atau kombinasinya disertai demam atau tanpa demam
dan adanya pseudomembran putih keabu-abuan yang sulit lepas, mudah berdarah apabila dilepas atau dilakukan manipulasi.
Setiap kasus observasi difteri yang ditemukan tersebut akan dilakukan skrining oleh klinisi untuk menetapkan diagnosis suspek difteri atau
bukan. Klinisi tersebut adalah spesialis Anak, Penyakit Dalam dan THT yang menjadi anggota Komite Ahli Difteri dan telah mendapat sosialisasi
Penemuan kasus dilaksanakan di semua fasilitas pelayanan kesehatan baik tingkat primer sampai tingkat rujukan akhir, baik pemerintah
maupun swasta.
Pada kasus Difteri tatalaksana dimulai dengan pemberian Anti Difteri Serum (ADS) dan antibiotik tanpa menunggu hasil
▪
laboratorium (kultur baik swab/apus tenggorok).
Untuk pemberian ADS kepada penderita maka perlu dikonsultasikan dengan Komite Ahli difteri Dokter Spesialis (Anak, THT,
▪
Penyakit Dalam).
26
Kasus Difteri dirawat di ruang isolasi (terpisah dengan penderita lain).
▪
Penderita Difteri yang dirawat dan sudah tidak menunjukkan gejala klinis maka dapat dipertimbangkan untuk dipulangkan tanpa
▪
menunggu hasil laboratorium, namun pemberian antibiotik diteruskan sampai 14 hari.
Kontak erat adalah semua orang yang pernah kontak dengan kasus suspek difteri sejak 10 hari sebelum timbul gejala sakit menelan sampai 2
Tatalaksana kontak erat meliputi monitoring timbulnya gejala sakit tenggorok sampai 10 hari yang akan datang dan pemberian
antibiotik sebagai profilaksis/kemoprofilaksis. Setiap kelompok kontak erat memiliki Pemantau Minum Obat (PMO) yang bertugas
Pemberian imunisasi difteri kepada kontak erat dilakukan pada saat penyelidikan epidemiologi, sesuai umur dan status Imunisasi, dengan
< 3 dosis atau tidak diketahui <1 tahun Segara lengkapi imunisasi dasar sesuai jadwal
lanjutan.
27
3 dosis, dosis terakhir < 5 tahun Anak yang belum mendapat imunisasi difteri dosis ke
▪
4: berikan dosis ke 4,
3 dosis, dosis terakhir > 5 tahun Berikan 1 dosis imunisasi ulangan difteri
▪
Suatu wilayah kab/kota dinyatakan KLB Difteri jika ditemukan satu suspek difteri dengan konfirmasi laboratorium kultur positif ATAU Jika
ditemukan Suspek Difteri yang mempunyai hubungan epidemiologi dengan kasus kultur positif. Penetapan KLB ditetapkan oleh Kepala Dinas
Penanggulangan KLB difteri dilakukan untuk mencegah penyebaran KLB difteri pada area yang lebih luas dan menghentikan KLB melalui
kegiatan:
a. ORI dilaksanakan setelah dilakukan kajian epidemiologi. Luas wilayah ORI adalah satu (1) kab/kota tetapi jika tidak memungkinkan
karena sesuatu hal maka ORI minimal dilakukan satu (1) kecamatan. Jadwal ORI 3 kali dengan interval 0-1-6 bulan, tanpa mempertimbangkan
c. Pelaksanaan ORI diperlukan persiapan yang komprehensif agar hasilnya efektif dan optimal, persiapan meliputi:
5. SURVEILANS PERTUSIS
Pemantauan secara terus menerus dan sistematis terhadap penyakit pertusis dimulai dari pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi
data serta diseminasi informasi sehingga menghasilkan rekomendasi. Surveilans pertusis dilaksanakan di setiap tingkat sesuai dengan peran
28
5.1 Pelaksanaan Surveilans Pertusis
a. Penemuan Kasus
Setiap penderita dengan batuk lebih dari 2 minggu yang datang ke puskesmas/RS/Faskes lainnya harus dicari gejala tambahan dan
●
ditentukan apakah memenuhi kriteria suspek pertusis.
Bila penderita datang dengan batuk yang kurang dari 2 minggu diupayakan untuk dimonitor perjalanan penyakitnya serta dicari gejala
●
tambahan pertussis lainnya.
Bila kasus memenuhi kriteria klinis pertusis, catat dalam formulir investigasi kasus pertusis dan lakukan penyelidikan epidemiologi untuk
●
mencari kasus tambahan.
Bila ditemukan kasus pertusis di RS, petugas surveilans RS harus melaporkan dalam waktu kurang dari 24 jam kepada petugas surveilans
●
dinas kesehatan kabupaten/kota. Setiap minggu petugas dinas kesehatan kabupaten/kota mengunjungi rumah sakit di wilayah kerjanya untuk
mencari dan menemukan secara aktif kasus pertusis (diintegrasikan dengan surveilans AFP, campak, Difteri).
Kasus suspek pertusis dapat juga didiagnosa secara laboratoris dengan mengambil sampel berupa apus nasofaring. Spesimen dikirimkan
Puskesmas mencatat setiap kasus pertusis ke dalam formulir PERT 01 dan dilaporkan ke dinas kesehatan kab/kota serta dilakukan rekapitulasi
mingguan. Dinas Kesehatan Kab/Kota merekap dan mengirim dalam bentuk laporan mingguan dan bulanan ke Dinas Kesehatan Provinsi dan
Suatu wilayah kab/kota dinyatakan KLB Pertusis jika ditemukan satu suspek pertusis dengan konfirmasi laboratorium PCR/kultur positif atau jika
ditemukan Suspek Pertusis yang mempunyai hubungan epidemiologi dengan kasus PCR/kultur positif. Satu suspek pertusis dilakukan
penanganan lebih dini untuk mencegah penyebaran pertusis yang lebih luas. Semua kasus suspek pertusis tetap ditatalaksana sesuai dengan
penanganan KLB (dilakukan PE dan penanggulangan sesuai SOP). Deteksi dini suspek pertusis dilakukan oleh tenaga kesehatan melalui
penemuan kasus di fasilitas kesehatan. Status KLB pertusis dicabut jika tidak ditemukan lagi kasus pertusis selama 2 kali masa inkubasi
Penanggulangan KLB pertusis didasarkan analisis dan rekomendasi hasil penyelidikan KLB, dilakukan sesegera mungkin untuk meminimalisasi
jumlah penderita.
Tujuan Penanggulangan:
a. Tatalaksana/Pengobatan :
Kasus klinis/konfirmasi laboratorium diberikan antibiotika eritromisin selama 7-14 hari (maks 3 minggu) dengan dosis untuk anak-anak 40-50
29
b. Lakukan pemisahan terhadap kontak yang tidak pernah diimunisasi atau yang tidak diimunisasi lengkap. Pemisahan tersebut
berlaku sampai dengan 21 hari sejak terpajan dengan penderita atau sampai dengan saat penderita dan kontak sudah menerima antibiotika
c. Melaksanakan RCA (Rapid Convenience Assessment) atau survei cepat status imunisasi DPT-HB-Hib anak usia <5 tahun pada
wilayah lokasi terjangkit dan wilayah sekitarnya yang berisiko tinggi. Penentuan wilayah sekitar yang berisiko tinggi dilakukan dengan
melakukan analisa terhadap kriteria wilayah, akses terhadap layanan imunisasi, trend cakupan imunisasi difteri serta performa surveilans.
Wilayah sekitar yang berisiko tinggi adalah wilayah dengan kriteria sebagai berikut:
Wilayah padat penduduk, kumuh, terdapat pekerja migran, kelompok marjinal dan pengungsi yang berdomisili, wilayah pedesaan
▪
dan sulit secara geografis
Surveilans Tetanus neonatorum (TN) adalah kegiatan pengumpulan, pengolahan, dan analisis data penyakit tetanus yang terjadi pada neonatus
(usia < 28 hari) yang disebabkan oleh Clostridium tetani sehingga dihasilkan informasi guna tindak lanjut investigasi. Semua suspek TN harus
dilakukan investigasi. Penentuan kriteria kasus konfirmasi TN tidak berdasarkan pemeriksaan laboratorium tetapi berdasarkan gejala klinis dan
a. Penemuan Kasus
Penemuan kasus secara aktif melalui Surveilans Aktif di Masyarakat (Fasilitas kesehatan tingkat pertama/FKTP seperti Puskesmas, Klinik
Setiap minggu petugas surveilans melakukan surveilans aktif dengan mereview register MTBM (Manajemen Terpadu Bayi Muda)
▪
Diagnosa dari semua suspek TN yang berobat ke fasilitas pelayanan kesehatan ditetapkan oleh Dokter.
▪
Penemuan kasus melalui kegiatan kegiatan kunjungan neonatal (KN1, KN2 dan KN3) dengan menggunakan form atau bagan
▪
MTBM. Jika ditemukan kasus dengan klasifikasi infeksi bakteri berat perlu ditelusuri riwayat persalinan ibu atau hal lainnya yang mengarah
Bila tidak ditemukan kasus dalam kunjungan ke puskesmas maka puskesmas melakukan laporan nihil/ / “ Zero Report" mingguan
▪
melalui laporan rutin.
Penemuan suspek TN terutama pada daerah dengan risiko tinggi dilakukan melalui koordinasi dengan tokoh masyarakat, tokoh
▪
agama dan kader, karena itu diperlukan pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan edukatif dan partisipatif dalam penemuan suspek
30
tetanus neonatorum.
Jika ditemukan suspek TN atau kematian bayi usia 3-28 hari segera lapor ke puskesmas atau rumah sakit terdekat yang ada di
▪
wilayahnya.
Jika ditemukan kasus TN, maka tatalaksana kasus sebelum dilakukan rujukan ke rumah sakit, sebagai berikut:
Tata laksana spasme, alternatif pertama dengan pemberian diazepam rectal 5 mg atau diberikan diazepam IM dengan dosis
▪
1-2 mg setiap 3 s.d 4 jam.
Pemberian human tetanus immunoglobulin/HTIG diberikan IM dengan dosis 500 IU atau ATS 100.000 IU dengan pemberian
▪
50% IM dan 50% IV
Pemberian antibiotik yang sesuai yaitu metronidazole 15 mg/kg/BB di berikan secara IV atau oral.
▪
Monitoring yang perlu dilakukan terhadap spasme diafragma, aspirasi, kejang, apneu, gangguan otonom.
▪
c. Investigasi Kasus TN
Setiap suspek TN harus diinvestigasi sesegera mungkin dalam waktu 24 jam setelah ada alert di SKDR. Cara melakukan investigasi :
▪ Melakukan wawancara terhadap orang tua kasus, penolong persalinan dan tenaga kesehatan pemberi pelayanan antenatal untuk
▪ Kemudian dengan menggunakan kriteria diagnosis, dilakukan penetapan diagnosis TN dan faktor risikonya sesuai dengan definisi
operasional.
▪ Semua suspek TN atau kematian yang dilaporkan harus diselidiki dengan menggunakan formulir investigasi (Form TN-01)
Melacak persalinan yang ditolong selama 3 bulan terakhir di fasilitas pelayanan kesehatan atau diluar fasilitas pelayanan
▪
kesehatan dengan formulir TN-01.
Melacak kasus tersangka TN yang ditolong 3 bulan terakhir oleh penolong persalinan yang sama
▪
31
Menanyakan kepada masyarakat setempat, tokoh masyarakat dan kader setempat apakah ada kematian bayi umur 3-28 hari atau
▪
kasus yang sama disekitar tempat tinggal kasus yang tidak ketahui penyebabnya
Apabila ditemukan kasus tambahan atau kematian bayi umur 3-28 hari dalam periode 3 bulan terakhir, maka dilakukan kunjungan
▪
dan wawancara dengan menggunakan formulir TN-02.
Mengumpulkan data cakupan imunisasi Td2+ pada ibu hamil di tingkat desa, persalinan di fasyankes dan kunjungan neonatal desa
▪
kasus bersumber dari Puskesmas.
Lakukan Rapid Community Assessment dengan mewawancara minimal 7 atau lebih ibu yang melahirkan dalam 2 tahun terakhir
▪
untuk mendapatkan informasi status imunisasi, tempat dan orang yang membantu dalam persalinan, penggunaan alat-alat yang tidak higienis
dalam memotong tali pusat, penggunaan ramuan/bahan yang tidak higienis pada perawatan tali pusat, dan status imunisasi anak.
32
REFERENSI
i.Indonesia, Kementerian Kesehatan RI. 2017. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 12 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Imunisasi. Ditjen
P2P Kemenkes RI: Jakarta.
ii.World Health Organization. 2017. Imunization in Practice : A Practical Guide for Health Staff -- 2004 Update. World Health Organization :
Geneva, Switzerland.
vi.Ditjen P2P, Kementerian Kesehatan. 2017. Petunjuk Teknis Penanggulangan Wabah Polio, Indonesia.
viii.Ditjen P2P, Kementerian Kesehatan. 2022. Pedoman Surveilans Congenital Rubella Syndrome (CRS), Indonesia.
ix.Ditjen P2P, Kementerian Kesehatan. 2019. Pedoman Surveilans dan Penanggulangan Difteri, Indonesia.
x.Ditjen P2P, Kementerian Kesehatan. 2019. Pedoman Surveilans Acute Flaccid Paralysis (AFP), Indonesia.
xi.Ditjen P2P, Kementerian Kesehatan. 2021. Petunjuk Teknis Surveilans Tetanus Neonatorum, Indonesia.
xii.Ditjen P2P, Kementerian Kesehatan. 2021. Petunjuk Teknis Surveilans Pertusis untuk Petugas Surveilans, Indonesia.
xiii.Ditjen P2P, Kementerian Kesehatan. 2023. Pedoman Upaya Mempertahankan Eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal, Indonesia.
Penugasan Mata Pelatihan Inti 1 (MPI1) Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I)
Tujuan
1. Panduan Diskusi
2. Lembar penugasan/Instruksi
3. Alat tulis
4. Laptop
Langkah-langkah:
33
1. Peserta dibagi ke dalam 3 kelompok. Masing-masing kelompok 10 orang
2. Fasilitator menjelaskan langkah-langkah diskusi kelompok tentang Materi Mata Pelatihan Inti 1(3 menit)
4. Fasilitator meminta semua kelompok bergantian menyajikan hasil diskusi kelompoknya dan juga beri kesempatan untuk tanya
Di Desa Simpang Siur ditemukan kasus sebanyak 4 anak dengan gejala demam, nyeri telan dan ada pseudomembran di tenggorokan.
Keempat kasus merupakan teman satu sekolah. Berdasarkan informasi dari sekolah terdapat 1 anak lainnya yang mengeluh dengan gejala
yang sama namun si Anak berdomisili di Desa Maju Mundur. Kedua desa tersebut masuk kedalam wilayah kerja Puskesmas Satelit. Petugas
Surveilans Puskesmas Satelit telah mengambil specimen seluruh kasus serta kontak eratnya.
Penugasan :
1. Berdasarkan gejala tersebut diatas, Penyakit apa yang mungkin diderita oleh anak - anak tersebut ? Sebutkan alasannya
2. Sebagai petugas Imunisasi, langkah - langkah apa yang akan anda lakukan ? Jelaskan
34