Anda di halaman 1dari 19

ISSN : 0126-396X

Vol. 72, No. 2, Tahun. XXXIV, Nopember 2011

Jurnal Penelitian dan Kajian Keagamaan

Pasang Surut Politik Islam

Jurnal Nomor Tahun Halaman Jakarta ISSN


Dialog 072 XXXIV 150 Nop 2011 0126-396X

Terakreditasi C No: 362/AU1/P2MBI/07/2011


Terakreditasi C No:
362/AU1/P2MBI/07/2011
ISSN : 0126-396X
PENGANTAR REDAKSI
Pemimpin Umum:
Prof. Dr. H. Abdul Djamil, MA.

Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab:


DR.H.M. Hamdar Arraiyyah, M.Ag.
PASANG SURUT POLITIK ISLAM

R
Wakil Pemimpin Redaksi:
H. Wahyudi, S.Pd. elasi antara Islam dan politik di
Sekretaris Redaksi: Indonesia memiliki perjalanan
Hj. Astuti Nilawati, S.Pd. sejarah yang cukup panjang,
Mitra Bestari: dan mengalami pasang surut. Politik
1. Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, M.A. iden­
titas yang coba ditampilkan oleh
2. Prof. Dr. H. Komarudin Hidayat, M.A.
3. Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar umat Islam melalui perwakilan tokoh-
4. Prof. Dr. H. Masykuri Abdillah to­
kohnya mengalami kekalahan, di­
antara­nya ketika tujuh kata dalam
Dewan Redaksi:
1. Prof. Dr. H. Abdurrahman Mas’ud, M.A. piagam Jakarta dihapus. Meskipun
2. Dr.H. Imam Tholkhah begitu keper­kasaaan politik Islam pada
3. Drs. H. Muhammad Shohib, M.A.
4. Drs. Choirul Fuad Yusuf, SS, M.A. pemilu pertama menunjukan prestasi
5. H. Chamdi Pamudji, SH, MM. yang cukup baik dengan tercatat sebagai
6. Drs. H. Praptono Zamzam, M.Sc.
partai pemenang kedua (Masyumi)
Redaktur Eksekutif: dan ketiga (NU) setelah PNI. Namun
M. Nasir, S.Th.I
keperkasaan yang ditunjukan umat
Redaktur Pelaksana: Islam pada pe­mi­lu tahun 1955 rontok
1. Abas Jauhari, MSi. pada masa Presiden Soekarno dengan
2. Umu Rahmah
pene­rapan Demokrasi Terpimpinnya.
Administrasi: Apalagi se­te­­lah tokoh-tokoh penting
1. Mulyadi Azwan
2. Dra. Hj. Aini Moerad
3. Willa Widdharari, S.Kom.

Alamat Redaksi: Jurnal Dialog diterbitkan oleh Badan Litbang dan


Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Diklat Kementerian Agama RI, sebagai media informasi
Gedung Kementerian Agama dalam rangka mengembangkan penelitian dan kajian
Jl. M.H. Thamrin No.6 Jakarta Pusat keagamaan di Indonesia. Dialog berisi tulisan ilmiah
Telp (021) 31924509 pes.277/271 fax.(021) 3920380 dan hasil penelitian dan pengembangan terkait
Website: www.Balitbangdiklat.kemenag.go.id dengan masalah keagamaan. Redaksi mengundang
para peneliti agama, intelektual dan akademisi untuk
mengkomunikasikan gagasan secara ilmiah dan
kreatif bagi pengembangan penelitian maupun kajian
keagamaan di Indonesia

ii Dialog Vol. 72, No. 2, Tahun. XXXIV, November 2011


partai Masyumi dipenjarakan oleh sang domestikasi terhadap gerak ideologis
pre­siden, keperkasaan politik umat politik Islam. Sebagai hasil dari
Islam sedikit memudar. kebijakan semacam ini, bukan saja para
Gerakan reformasi pasca berakhir­ pemimpin dan aktifis politik Islam
nya orde baru telah mengubah wajah gagal untuk menjadikan Islam sebagai
perpolitikan Indonesia, demikian pula ideologi dan atau agama negara. Tetapi
perpolitikan umat Islam. Kondisi negara mereka juga se­ ring disebut sebagai
yang cenderung tidak setabil menuntut kelompok yang secara politik “minoris”
berbagai pihak merasa perlu untuk atau “outsi­der”. Lebih dari itu, bahkan
men­ desakkan demokrasi, kebebasan, politik Islam sering dicurigai sebagai
trans­ paransi, akuntanbilitas publik, anti ideologi Negara Pancasila. Gejala
atas persoalan-persoalan bangsa, menurunnya ketegangan hubungan
berkait­­an dengan seluruh tatanan antara Islam dan Negara mulai terlihat
masya­rakat. Tak ayal pertentangan dan pada pertengahan tahun 1980-an.
kon­­flik sosial terus terjadi. Berbagai Hal ini ditandai dengan semakin
kepentingan, baik yang mendasari atas besar­ nya peluang umat Islam dalam
nama bangsa dan kelompok tertentu, mengem­ bangkan wacana politiknya
juga ikut mewarnai. serta munculnya kebijakan-kebijakan
Terbukanya kran kebebasan tersebut berspektrum luas.
dalam berpendapat, berkumpul, dan Munculnya partai-partai Islam di
berserikat menjadi salah satu pendorong Indonesia telah menimbulkan perde-
menguatnya gerakan masyarakat batan tersendiri. Dalam pandangan
sipil. Di satu sisi, gerakan ini menjadi sementara kalangan, fenomena itu
harapan karena mampu mendorong dinilai seba­gai perwujudan dari hadir­
dan men­jadi stabilisator pemerintahan, nya kembali politik Islam, atau ada
na­­
mun di saat yang lain semakin yang mengistilahkan sebagai “repo­
mengancam. Kegetiran masyarakat atas li­
ti­
sasi Islam”. Ketika berhadapan
berbagai persoalan terutama dalam dengan kekuasaan dan negara, politik
hal ekonomi, politik, dan degradasi Islam di Indonesia sering berada pada
moral menjadikan masyarakat mencari posisi dilematis. Dilema yang dihadapi
alternatif baru. menyangkut tarik-menarik antara
Salah satunya adalah munculnya tuntutan untuk aktualisasi diri secara
berbagai pemikiran politik Islam yang deter­minan sebagai kelompok mayoritas
kemudian melahirkan banyak gerakan. dan kenyataan kehidupan politik yang
Konsolidasi di tingkatan negara terus tidak selalu kondusif bagi aktualisasi
dilakukan, namun pada saat yang diri tersebut. Sebagai akibatnya, politik
sama, terdapat konsolidasi internal di Islam seringkali dihadapkan pada
kalang­an umat Islam. Eksistensi Islam beberapa pilihan strategis yang masing-
politik pada masa kemerdekaan dan masing mengandung konsekuensi
sampai pada pasca revolusi pernah dalam dirinya.
dianggap sebagai pesaing yang dapat Jurnal Dialog vol. 72 XXXIV, 2011
mengusik basis kebangsaan negara. ini mencoba menyoroti Pasang Surut
Per­sepsi tersebut membawa implikasi dan Fragmentasi Politik Islam di
terhadap keinginan negara untuk Indonesia. Kajian Jurnal Dialog edisi
berusaha menghalangi dan melakukan ini diawali dengan tulisan M. Firdaus

Dialog Vol. 72, No. 2, Tahun. XXXIV, November 2011 iii


Khalimi tentang Memahami Politik
Masyarakat Muslim. Dilanjutkan dengan
tulisan Muhammad Himawan Sutanto,
yang menulis tentang Kegagalan Partai
Politik Islam : Kegagalan Agenda Setting?
Sedangkan Miftahussurur meng­
hadirkan tulisannya tentang Pasang
Surut dan Fragmentasi Politik Islam di
Indonesia. Ifa Avianty dan Thobib Al-
Asyhar menghadirkan tulisan tentang
Perubahan Paradigma Peran Politik
Pemuda Islam Indonesia dari Masa Ke
Masa. Edisi ini kian menarik dengan
hadirnya tulisan Herdi Sahrasad
tentang Reformasi Mesir: Berkaca pada
Indonesia? dan Ihsan Ali-Fauzi yang
menghadirkan tulisan tentang “Para­
digma Karbala dan Protes Politik Kaum
Syi`ah. Kajian semakin leng­kap dengan
hadirnya tulisan Abdul Waid tentang
Populisme Akar Ketahanan Politik
Identitas: Refleksi Pasang Surut Politik
Islam dari Era Orde Lama hingga Era Orde
Reformasi.
Pada edisi ini juga dihadirkan
ka­jian Ismatu Ropi tentang Rohis:
Dari Pencarian Identitas ke Ideologisasi
Agama, dan tulisan Nurus Shalihin
Djamra tentang Rasionalisasi Agama
dalam Arena Politik: dari Pilihan Ideologis
ke Pertimbangan Rasional. Kajian ini
diakhiri de­ ngan telaah buku yang
berjudul Negara Islam karangan
Musdah Mulia. Buku ini secara umum
mengurai dan mengulas pemikiran
Haikal tentang negara Islam. Semoga
kajian yang dihadirkan Jurnal Dialog
edisi ini memberikan manfaat bagi
para pembaca, khususnya dalam kajian
politik Islam, khususnya di Indonesia.
Selamat Membaca!

Redaksi

iv Dialog Vol. 72, No. 2, Tahun. XXXIV, November 2011


DAFTAR ISI
TOPIK

Firdaus Khalimi
Memahami Politik Masyarakat Muslim — 1

Muhammad Himawan Sutanto


Kegagalan Partai Politik Islam : Kegagalan Agenda Setting ? — 12
Miftahussurur
Pasang Surut dan Fragmentasi Politik Islam di Indonesia — 26

Ifa Avianty dan Thobib Al-Asyhar


Perubahan Paradigma Peran Politik Pemuda Islam Indonesia dari Masa Ke
Masa — 44

Herdi Sahrasad
Reformasi Mesir : Berkaca pada Indonesia? — 63

Ihsan Ali Fauzi


Paradigma Karbala dan Protes Politik Kaum Syi`ah — 83

Abdul Waid
Populisme Akar Ketahanan Politik Identitas : Refleksi Pasang Surut Politik
Islam dari Era Orde Lama Hingga Era Orde Reformasi — 97

PENELITIAN
Ismatu Ropi
Rohis: Dari Pencarian Identitas ke Ideologisasi Agama — 114

Nurus Shalihin Djamra


Rasionalisasi Agama dalam Arena Politik: Dari Pilihan Ideologis ke
Pertimbangan Rasional — 126

BOOK REVIEW
Meilani Dewi
Mengurai Pemikiran Haikal tentang Negara Islam — 140

Dialog Vol. 72, No. 2, Tahun. XXXIV, November 2011 v


PENELITIAN
RASIONALISASI AGAMA
DALAM ARENA POLITIK:
Dari Pilihan Ideologis ke
Pertimbangan Rasional

Oleh: Nurus Shalihin Djamra1

Abstrak
This article describes the presence of Islamic party in West Sumatera resulting new
dynamics in social and political structure of Minangkabau ethnic. Hence, muslims have
boosted the strong and clean democracy because of their participation in politics particularly
in 2004-2009 legislative election. Surprisingly, Islam is not always correlated with politi­
cal choice. Eventhough the most population in West Sumatera is Islam, but their political
choice is not always Islamic parties. The lose of Islam politics (Islamic Parties) in legislative
election was the fact. This was seemingly because of shifting paradigm of constituent, from
ideological consideration to rational consideration, from identity politics to national politics.

Artikel ini menggambarkan kehadiran partai Islam di Sumatera Barat yang


menghasilkan dinamika dalam struktur sosial dan politik etnik Minangkabau.
Oleh sebab itu, umat Islam di sana mampu mendorong demokrasi yang kuat dan
bersih dalam pemilihan legislatif 2004-2009. Yang mengejutkan adalah, ternyata
Islam tidak selalu berkorelasi dengan pilihan politik. Meskipun mayoritas populasi
di Sumatera Barat adalah Islam, pilihan politik mereka tidak selalu jatuh pada
partai-partai muslim. Kalahnya politik Islam (partai-partai Islam) pada pemilihan
legislatif merupakan buktinya. Hal ini tampaknya diakibatkan oleh pergeseran
paradigma konstituen, dari pertimbangan ideologi ke pertimbangan rasional, dari
politik identitas ke politik kebangsaan.

Kata-kata kunci:
Islam, partisipasi politik, partai Islam, pilihan politik.

1
. Dosen Sosiologi dan Peneliti pada Pusat Kajian Sosial dan Kebijakan Publik (PKSKP) IAIN
Imam Bonjol Padang.

126 Dialog Vol. 72, No. 2, Tahun. XXXIV, November 2011


Di Sumatera Barat, Islam dan kemudian menentukan arah dan tujuan
Minang menjadi agama dan etnik dari sebuah perilaku. Artinya perilaku
mayoritas penduduknya1. Minang bukanlah suatu reaksi spontan atau
sebagai etnis mayoritas dan Islam naluriah manusia semata, tetapi ia
sebagai agama mayoritas, keduanya lahir dari kedalaman kesadaran yang
memiliki hubungan mutual-simetris2. didorong oleh berbagai motif. Dalam
Jika demikian adanya, apakah kekuatan bahasa lain perilaku sebenarnya
Islam di Sumatara Barat memiliki bukan semata-mata bersifat ekspresif,
korelasi dengan pilihan politik umat melainkan lebih bersifat instrumental,
Islam? Pertanyaan ini cukup relevan memiliki intensi dan berhubungan
diajukan mengingat secara teoritik erat dengan sistem nilai; apakah sistem
setiap perilaku sosial apapun namanya nilai itu budaya ataupun agama. Dalam
tidak menempati ruang hampa; konteks ini, agama sebagai sebuah
perilaku selalu saja berkaitan dengan sistem nilai dan norma sejatinya
motivasi dan nilai. Meminjam istilah menjadi kekuatan untuk mempolakan
Freud (Fromm, 2000:47-48) bahwa dan meorientasikan intensi perilaku
kekuatan jiwalah yang menentukan sosial.
perilaku, dimana karakter dari Jika alur logika ini diterima,
kekuatan jiwa tersebut berciri bawah- maka agama terutama Islam sudah
sadar, dan dari kesadaran itulah yang barang tentu memiliki korelasi positif
dengan politik, sebab Islam sebagai
1
. Dari 4,827,973 juta penduduk Sumatera Barat sebuah sistem nilai dan makna telah
sekitar 98.04% beragama Islam, 0.94% Protestan, turut mempolakan, meorientasikan
0.83% Katolik, 0.14 Budha, 0.04% Hindu, dan 0.01% dan membentuk sikap hidup para
lainnya. Sementara dari 4,241,256 populasi pen-
duduk Sumatera Barat tahun 2000 persentase etnis penganutnya. Meminjam istilah Geertz
Minang berkisar 88.35%, Jawa, 4.15%, Mandailing, (Azwar, 1997:30) pengaruh agama
3.01%, Batak, 1.41%, Mentawai, 1.28%, Melayu,
0.51%, Cina 0.35%, Sunda, 0.26%, dan lainnya 0.66%,
terhadap politik dapat dilihat dari
yang tersebar pada sembilan belas (19) kabupaten sifat agama itu sendiri, yakni sebagai
dan kota. Lihat BPS dan Kakanwil Depag Prov. sebuah sistem simbol yang membentuk
Sumbar
2
. Setiap orang Minangkabau sudah pasti dan
kegairahan dan motivasi yang kuat,
otomatis beragama Islam. Artinya tidak ada pilihan besar dan berjangka panjang pada
lain bagi orang Minangkabau selain memilih Islam kehidupan manusia. Dari sisi ini dapat
sebagai agamanya. Sebab berlangsungnya secara
baik proses akulturasi antara Islam dengan Adat dijelaskan bahwa ada hubungan antara
di Minangkabau tidak saja melahirkan formulasi agama dengan politik karena politik itu
baru dunia keminangkabauan orang Minang, akan sendiri pun juga sangat berkaitan dengan
tetapi Islam bagi mereka bukan saja dilihat sebagai
agama, lebih jauh lagi, Islam dimaknai sebagai iden- kegairahan, motivasi dan kepentingan
titas kultural dan sosial yang membedakan mereka manusia. Jika asumsi teoritik ini
dengan orang lain. Sebagai identitas kultural, Islam menemukan pembenarannya, maka
adalah unsur penentu keabsahan keminangkabauan
seseorang, sementara sebagai identitas sosial, Islam dalam realitasnya tentu pilihan politik
menjadi paradigma, atau paling tidak menjadi refer- umat Islam di Sumatera Barat juga
ensi utama ke arah mana kehidupan sosial mestinya
sangat dipengaruhi dan ditentukan
diorientasikan. Secara empiris, studi Muhammad
Sobari memperlihatkan bahwa Islam adalah salah Islam. Benarkah demikian?
satu dari tiga (berdagang dan tradisi merantau)
pembentuk indentitas Minangkabau. Menurut So-
bary, Islam, berdagang, dan tradisi merantau adalah
identitas orang Minangkabu.

Dialog Vol. 72, No. 2, Tahun. XXXIV, November 2011 127


Politik dan Agama: Bukan Dua Islam adalah agama yang mengatur
Sisi Mata Uang seluruh aspek kehidupan manusia tak
terkecuali dengan politik, maka sudah
Relatif tingginya tingkat partisipasi
barang tentu Islam sebagai sebuah
pemilih di Sumatera Barat yang
sistem nilai tidak saja mempengaruhi,
mayoritas pemilihnya umat Islam
bahkan sangat menentukan perilaku
menunjukkan bahwa umat Islam di
politik umat Islam. Meskipun Islam
Sumatera Barat memberi kontribusi
dan partisipasi politik di Sumatera
yang cukup signifikan terhadap
Barat memiliki relasi positif, namun
perkembangan demokrasi3. Ini, selain
tidak serta merta bahwa partisipasi
menggambarkan bahwa umat Islam
politik mereka telah merepresentasikan
menerima demokrasi sebagai sistem
sikap keberagamaan. Karena partisipasi
politik, sekaligus juga membantah
politik dalam bentuk menggunakan hak
argumen bahwa demokrasi akan
pilih seringkali lebih bersifat ekspresif4
mengalami kegagalan dalam dunia
daripada instrumental5. Studi Saiful
muslim disebabkan antara lain
Mujani (2007) memperlihatkan bahwa
demokrasi tidak sejalan dengan Islam,
partisipasi umat Islam di Indonesia
watak budaya dan masyarakat Islam
khususnya dalam memberikan hak
yang tidak ramah terhadap konsep-
suara bukanlah didasarkan atas
konsep liberalisme Barat seperti tuduhan
orientasi agama, melainkan sebagai
Huntington (1997), Elie Kedoure (1992),
sebuah ekspresi dari rasa tanggung
Bernard Lewis (2002) dan lain-lain.
jawab sebagai warga negara6. Dalam
Jika demikian, maka persoalannya
bahasa lain menggunakan hak pilih
adalah apakah diterimanya demokrasi
dalam pemilu lebih merepresentasikan
oleh umat Islam di Sumatera Barat
rasa nasionalisme dan komitmen
atas pemaknaan bahwa antara Islam
kebangsaan mereka sebagai warga
dan politik bukanlah dua kutub
negara daripada merepresentasikan
yang dikotomis; Islam adalah ranah
komitmen keberagamaan.
transendental sementara politik adalah
dunia profan? Atau memang atas
kesadaran bahwa ber-Islam bagi mereka 4
. Memberikan hak suara dalam pemilu meru-
pakan ekspresi diri, misalnya untuk mendefinisikan
bukanlah bagaimana mengislamkan siapa diri mereka, dianggap sebagai warga negara
negeri mereka tapi membumikan pesan demokratis dan mungkin juga untuk menghindari
Islam itu sendiri. sanksi sosial.
5
. Menggunakan hak suaranya dalam pemilu di-
Apabila alur pikir pertama dorong oleh keinginan bahwa mereka memberikan
diterima; Islam dan politik adalah satu hak suaranya untuk memilih wakil rakyat, memi-
bagian yang utuh dengan asumsi bahwa lih pimpinan atau meningkatan kondisi ekonomi,
keamanaan dan lain sebagainya.
6
. Studi Saiful Mujani menunjukkan 42% orang
3
. Tingkat partisipasi pemilih dalam pemilu leg- yang memberikan hak suara dalam pemilu 1999
islatif tahun 2004 dan 2009 menujukkan hal yang didasarkan atas pemenuhan tugas mereka sebagai
positif, dimana persentase antara yang menggunak- warga negara, 20% menggunakan hak pilih karena
an hak pilihnya relatif lebih tinggi bila dibanding- mereka memandang memberikan suaranya dalam
kan dengan tingkat Golput; 75.56% menggunakan pemilu merupakan hak mereka sebagai warga neg-
hak pilih, dan 24.44% yang Golput, sedangkan pada ara, dan 7% mereka menggunakan hak suaranya
pemilu 2009, 70,46% menggunakan hak pilih dan karena orang lain juga melakukannya. Lebih jauh
29,54% Golput Laporan penyelengaraan pemilu lihat Mujani, 2007, Muslim Demokrat: Islam, Budaya
DPR, DPD, DPRD di Provinsi Sumatera Barat tahun Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca
2004 dan 2009 Orde Baru, Gramedia, Jakarta, hal, 280-282.

128 Dialog Vol. 72, No. 2, Tahun. XXXIV, November 2011


Jika demikian, apakah memilih Islam dalam sebuah kontestasi politik
merupakan sebuah kesalehan religius, sangat ditentukan oleh seberapa besar
dimana umat Islam menjadikan segala jumlah konstituen yang beragama
hal yang epistruktur atau apapun Islam: semakin besar konstituen yang
yang dilekatkan secara generatif pada beragama Islam di suatu daerah,
Islam, dipandang sebagai kesalehan? maka semakin besar peluang partai
Sepertinya, memilih bukanlah sebuah yang berbasis Islam memenangkan
kesalehan, melainkan hanyalah kontestasi politik. Benarkah asumsi ini
bagian dari tanggung jawab sebagai mendapatkan “justifikasi” empirik di
warga negara Indonesia. Umat Islam Sumatera Barat?
di Sumatera Barat berkeyakinan Hasil pemilu legislatif 2004 dan
bahwa memberikan hak suara adalah 2009 dapat dijadikan alat ukur betapa
tanggung jawab sebagai warga negara, sebenarnya agama (Islam) tidak selalu
bukan karena merepresentasikan berkorelasi dengan pilihan politik
sikap keberagamaan7. Kendati MUI umatnya8. Apalagi jika asumsi di atas,
ataupun hadirnya Islam politik mung­ diuji dengan data pemilu legislatif 2009,
kin mewarnai konstelasi politik semakin kelihatan tidak berbanding
lokal, tetapi masyarakat memaknai lurusnya antara Islam dengan pilihan
tindakan ataupun pilihan politik politik umatnya. Jika pada pemilu 2004
mereka bukanlah ekspresi dari partai Islam mampu memenangkan
kesalehan beragama. Pada sisi yang 44 kursi (8.00%), maka tidak demikian
bersamaan, jika saja agama (Islam) halnya pada pemilu 2009. Kontestasi
berkorelasi positif dengan partisipasi politik pada pemilu 2009, partai Islam
politik, maka tentu saja partai berbasis mengalami kekalahan telak, dan hanya
(ideologi dan massa) Islam menjadi mampu memperoleh 241 kursi (43.82%)
referensi utama bagi umat Islam dalam dari 610 kursi yang diperebutkan di
menentukan pilihan politik mereka. masing-masing kabupaten/kota dan
Argumen yang dapat diajukan adalah provinsi. Partai Islam bukan saja tidak
bahwa kemenangan suatu partai mampu mempertahankan suaranya

7
. Hal ini dapat dilihat dari jawaban yang diberi-
kan responden terhadap faktor dan alasan mengapa 8
. Di Sumatera Barat mayoritas konstituen ada-
mereka memilih memperlihatkan bahwa pertama, lah etnik Minangkabau (88.35%) dan beragama Is-
45.08% menjawab alasan mereka menggunakan lam (98.04%), namun besarnya jumlah konstituen
hak pilihnya pada pemilu legislatif 2009 adalah beragama Islam tidak berbanding lurus dengan
karena menggunakan hak pilih dilihat sebagai hak pilihan politik mereka, justru partai nasionalis lebih
dan tanggungjawab mereka sebagai warga negara. menjadi pilihan utama bagi umat Islam dibanding
Kedua, 16,67.% memberikan suara pada pemilu se- dengan partai berbasis Islam. Data pemilu legislatif
bagai momentum untuk mengekspresikan eksis- 2004 dan 2009 cukup representatif dijadikan alasan
tensi diri mereka sebagai warga negara yang baik untuk tesis ini. Meskipun pencapaian partai berba-
dan demokratis. Ketiga, 3,79% menggunakan hak sis Islam pada pemilu legislatif 2004 dapat meme-
pilihnya sebagai tujuan menghindari sanksi sosial. nangkan kontestasi politik dengan memperoleh 327
Keempat, 6,06% memberi alasan karena ikut-ikutan. kursi (54.05%) dari 605 kursi yang diperebutkan (550
Kelima, 14,77% memberikan suaranya untuk memi- kursi untuk DPRD Kabupaten/Kota, dan 55 kursi
lih pemimpin, dan menghendaki negara ini berjalan untuk DPRD Provinsi), sementara partai nasionalis
secara baik. Kelima, 7,95% menggunakan hak pilih memperoleh 249 kursi (40.82%). Akan tetapi dengan
merupakan tanggungjawab sebagai seorang muslim selisih 44 kursi (8.00%), kemenangan partai Islam
dan umat beragama. Dari temuan lapangan di atas tidak begitu signifikan jika dibandingkan dengan
terlihat jelas betapa agama tidak memberi pengaruh rasio jumlah pemilih yang mayoritas beragama Is-
terhadap pilihan politik umat Islam. lam (98.04%).

Dialog Vol. 72, No. 2, Tahun. XXXIV, November 2011 129


yang diperoleh pada pemilu 2004, ataupun negatif. Dikatakan positif, jika
justru mereka harus kehilangan 27 Islam dipersepsi sebagai faktor yang
kursi pada pemilu legislatif 2009. mempengaruhi pilihan politik, dan
Data ini mengandaikan ada titik balik; sebaliknya, pengaruh negatif, ketika
sebuah rasionalisasi yang cukup intens Islam sama sekali tidak mendorong
terhadap partai Islam. Hal ini kian pilihan politik terhadap partai
menguat ketika fakta di lapangan Islam. Meskipun bagi etnik Muslim
mem­ perlihatkan kekalahan partai Minangkabau di Sumatera Barat Islam
berbasis Islam antara pemilu legislatif adalah satu dari pilar penting pembentuk
2004 dengan pemilu legislatif 2009. karakter dan identitas kultural, namun
Pada pemilu legislatif 2004, partai tidak niscaya menjadi kekuatan satu-
Islam memperoleh suara yang cukup satunya yang mampu mendorong
signifikan 32 kursi (58.18%), sebaliknya pilihan politik mereka terhadap partai
pada pemilu legislatif 2009, partai Islam Islam. Tidak hanya rasionalitas karena
pun mengalami kekalahan yang juga ikatan primordial, seperti Islam, tetapi
sangat signifikan; partai Islam hanya nalar lain pun turut mempengaruhi
mampu meraih 20 kursi (36.36%) dari pilihan mereka terhadap partai politik.
55 kursi yang diperebut untuk DPRD Transformasi atas pergeseran ini
Propvinsi9. agaknya penting dilihat secara empirik,
dan dipahami dalam bingkai teoritik
mengapa pergeseran ini terjadi. Lalu
Islam dan Pilihan Politik: Antara bagaimana umat Islam melihat relasi
Keyakinan Ideologik dan Pilihan agama dengan politik? Apakah agama
Pragmatik dan politik memiliki relasi positif atau
Menguatnya Islam politik pasca sebaliknya, agama dan politik adalah
reformasi bergulir merupakan konse­ dua hal yang terpisah?
kuensi dari meluasnya skala Islam di Bangkitnya Islam pasca refor­
Indonesia. Ini tidak saja menyebabkan masi di Indonesia bukan sekedar
perubahan dan transformasi kehidupan rasionalisme dan modernisme, tetapi
keberagamaan, tetapi juga telah juga menyangkut demokrasi. Salah
merubah struktur dan corak sosial. satu kebangkitan Islam berkaitan
Kondisi ini sangat terasa di Sumatera dengan demokrasi adalah menguatnya
Barat ketika prosesi demokrasi dilang­ Islam politik yang ditandai dengan
sungkan. Faktanya, Pilpres ataupun bermunculan berbagai partai politik
Pileg menjadi ranah bagi Islam politik berbasis agama dalam kehidupan
bertumbuh dan merebut kepercayaan politik di Indonesia. Persoalannya,
umat Islam. Apakah Islam politik (partai apakah Islam politik berpengaruh
Islam) mampu merebut kepercayaan terhadap pilihan politik masyarakat?
umat Islam terutama bagi etnik Bagi pemilih Muslim di Sumatera
Minangkabau? Pengaruh Islam dengan Barat agama dan politik memiliki
pilihan politik, bukanlah bersifat positif relasi yang positif; agama tidak saja
dimaknai sebagai sistem kepercayaan
dan ritual tertentu seperti shalat, puasa
9
Data ini diolah dari laporan perolehan suara
dan penyelenggaraan pemilu DPR, DPD, DPRD di
dan semacamnya, lebih dari itu agama
Provinsi Sumatera Barat tahun 2004 dan 2009. dipahami sebagai hal yang sosial

130 Dialog Vol. 72, No. 2, Tahun. XXXIV, November 2011


termasuk politik. Sederhananya, politik Keempat, kemestian memilih partai
bukanlah bagian yang terpisah dari Islam dalam pemilu. Ada kerunutan
kehidupan agama. antara keterlibatan agama dengan
Agama memberi landasan nilai dan demokrasi, politik praktis, dan perlunya
etis pada politik, dan sebaliknya agama partai berdasar agama dengan tindakan
menjadi kuat apabila ditopang oleh praktis, yakni memilih partai agama
kekuatan politik. Atas dasar pandangan dalam kontestasi politik13.
inilah agakanya mengapa masyarakat Fakta di atas mengandaikan
melihat agama menjadi niscaya terlibat sebuah realitas, dimana tidak terjadi
dalam arena politik. Relasi agama sekularisasi antara agama dan politik
dengan politik dapat diidentifikasi dalam kehidupan masyarakat. Ini
melalui sejumlah realitas. Pertama, menandaskan sebuah pertanyaan, “jika
keterlibatan agama dalam proses agama dan politik memiliki korelasi
demokrasi. Pemilih Muslim Sumatera positif; apakah hubungan tersebut
Barat berkeyakinan agama menjadi dapat mempengaruhi pilihan politik
penting terlibat dalam memperkuat masyarakat?” Meskipun, hadirnya
demokrasi10. Kedua, keterlibatan agama Islam politik, ternyata tidak otomatis
dalam politik praktis. Mayoritas membuat umat Islam “silau mata”
pemilih menginginkan keterlibatan dan memilih partai Islam tanpa
agama dalam politik praktis11. Ketiga, pertimbangan rasional. Kalahnya partai
perlunya partai berdasarkan agama. Islam dalam kontestasi pemilu legislatif
Pemilih Muslim berpandangan bahwa 2009 adalah bukti bahwa agama kurang
keberadaan partai berbasis agama determinan dalam menentukan pilihan
sangatlah penting dalam mendorong politik. Pertanyaannya adalah mengapa
proses demokratisasi di Indonesia12. hal itu bisa terjadi; lalu bagaimana
sesungguhnya bentuk hubungan agama
10
. Hal ini diperlihatkan 55,68% pemilih yang
dengan politik?
setuju agama terlibat dalam proses demokrasi, dan
22,73% yang tidak setuju. Dari lima kluster pemilih
(petani; buruh; PNS; pedagang; dan elit), maka elit
lebih tinggi tingkat kesetujuannya melibatkan agama agama sangatlah penting, hanya 9,09% yang tidak
dalam proses demokrasi 65,22% setuju, dan 30,43% setuju adanya partai berdasarkan agama. Berbeda
tidak setuju. Diiringi dengan pedagang (60,98% dengan keterlibatan agama dalam demokrasi dan
setuju, 41,46% tidak setuju), petani (52,59% setuju, politik praktis, semua kategori pemilih mengapresia-
dan 20,69% tidak setuju), buruh (50,00% setuju, dan si lebih dalam soal perlunya partai berbasis agama.
22,22% tidak setuju), dan PNS (50,00% setuju, dan Yang paling tinggi tingkat apresiasinya adalah
30,56% tidak setuju). pedagang (85,37% setuju, dan 12,20% tidak setuju),
11
. 45,83% menginginkan keterlibatan agama diikuti elit (82,61% setuju, dan 8,70% tidak setuju),
dalam politik praktis, dan 38,20% yang tidak meng- PNS (69,44% setuju, dan 19,44% tidak setuju), petani
inginkan agama terlibat dalam politik praktis. Buruh (68,10% setuju, dan 4,31% tidak setuju), dan buruh
adalah pemilih yang menghendaki agama terlibat (66,67% setuju, dan 11,11% tidak setuju).
dalam politik praktis dengan kisaran 55,56% setuju, 13
. 62,12% pemilih melihat bahwa pemilu leg-
dan 22,22% tidak sepakat melibatkan agama dalam islatif merupakan sarana untuk memilih partai Is-
politik praktis. Berturut-turut diikuti pedagang lam, dan 28,41% yang menyatakan pemilu legislatif
(51,22% setuju dan 41,46% tidak setuju), elit, (43,48% tidak mesti memilih partai Islam. Pedagang adalah
setuju, dan 30,43% tidak setuju), petani (38,79% setu- pemilih yang paling tinggi tingkat kesetujuannya
ju dan 28,45%). Sementara PNS adalah pemilih yang (65,85% setuju, dan 29,27% tidak setuju), diikuti
tidak menginginkan agama terlibat dalam politik petani (62,93% setuju, dan 25,86% tidak setuju), bu-
praktis (38,89% setuju, dan 50,00% tidak setuju). ruh (61,11% setuju, dan 33,33% tidak setuju), PNS
12
. 73.11% pemilih berpandangan bahwa dalam (47,22% setuju, dan 41,66% tidak setuju), dan elit
proses demokratisasi keberadaan partai berbasis (43,48% setuju, 43,48% tidak setuju).

Dialog Vol. 72, No. 2, Tahun. XXXIV, November 2011 131


Mencermati hubungan antara dapat diidentifikasi dari munculnya
Islam dan politik di Indonesia dapat berbagai politik aliran, di antaranya
dikatakan bukanlah hubungan yang partai politik berideologi agama. Sejak
bersifat afinitas-integratif, melainkan pemilu legislatif 1999 sampai pemilu
hubungan kohesi-dialektik yang saling 2004 politik identitas mendapat respon
menguatkan. Ini adalah corak dari positif, namun pada pemilu 2009
hubungan dua entitas yang berbeda, politik identitas agakanya sudah mulai
sama berbedanya antara Islam dan usang dan berganti baju dengan politik
negara. Meminjam pandangan primordial. Di Sumatera Barat, pemilih
Jalaluddin Rahkmat, Islam di Indonesia, tidak lagi mempertimbangkan ideologi
bukanlah Islam wasathan wahidah, sebuah partai dalam menentukan
bukan Islam yang satu padu. Pikiran pilihan politik mereka. Kuatnya PAN
mereka mungkin saja bersatu, tetapi pada pemilu 1999, dan munculnya PKS
tidak dengan hati mereka14. Meskipun dan PBB sebagai kekuatan pada pemilu
Islam politik hadir dengan simbol- legislatif 2004 dapat diidentifikasi
simbol Islam, tetapi tidak cukup kuat diterimanya politik identitas, tetapi
mempengaruhi pilihan politik (memilih pada pemilu 2009 politik identitas
partai Islam). kurang mendapat tempat di hati
Runtuhnya Orde Baru membawa masyarakat.
wajah baru dalam perpolitikan Menangnya partai Islam pada
bangsa. Sistem politik yang dulunya 2004 dan kalahnya partai Islam pada
tidak memberi ruang kepada publik pemilu legislatif 2009 adalah bukti
menentukan pilihan politiknya kecuali betapa politik aliran mulai tidak laku.
apa yang telah ditentukan negara. Sepertinya politik identitas merubah
Pasca Orde Baru sistem politik pun wajahnya ke politik primordial.
berubah dari politik sentralisme ke Ikatan kekeluargaan, suku dan
politik desentralisme; dari politik daerah kini menjadi pertimbangan
despotik ke politik demokratis. Pe­ penting dalam menentukan pilihan
ru­bahan sistem politik, ternyata politik15. Pergeseran ini tidak muncul
memberi efek pada tingkat lokal. Salah begitu saja tanpa ada kekuatan yang
satunya menguatnya semangat politik menstimulasi bergesernya politik
identitas; agama, suku, daerah dan identitas ke politik primordial. Salah
semacamnya. Kuatnya politik identitas satu fak­ tor yang mendorong adalah
peru­bahan konfigurasi sistem pemilu
“kolektif-partai” (nomor urut) ke
14
. Tidak mengherankan hubungan Islam di
sepanjang sejarah Islam nusantara adalah hubungan sistem “individual-personal” (suara
politik, ideologik hingga pada akhirnya melahirkan terbanyak). Perubahan sistem pemilu
kutub-kutub Islam yang saling berbeda, seperti Is-
lam tradisionalis, Islam modernis, dan Islam funda-
mentalisme. Ini kemudian tidak saja berimplikasi 15
. Pemilih mengakui ikatan primordial menjadi
bagaimana umat Islam memandang Islam sebagai kekuatan dalam menentukan pilihan politik. 66,01%,
agama, tetapi Islam sebagai nalar politik. Hadirnya pemilih memilih caleg karena ada ikatan primordial,
Islam politik misalnya, tidak hanya mengukuhkan dan 18,56% yang memilih caleg tidak berdasarkan
Islam telah menjadi sumber baru bagi perpolitikan ikatan primordial. Gambaran lengakap dapat dilihat
praktis, tetapi juga menjadi medan magnet yang sebagai berikut; PNS (61,11%), Petani, (63,79%), Ped-
bisa menarik partisipan terhadap Islam politik. agang, (63,41%), Buruh (88,89%) dan Elit (60,87%)
Bandingkan Rizal Sukma, Islam in Indonesia Foreign setuju mempertimbangkan ikatan primordial, di
Policy, (New York: Routledge), 2003, hal. 22. luar agama sebagai pertimbangan pilihan politik.

132 Dialog Vol. 72, No. 2, Tahun. XXXIV, November 2011


2009 yang menempatkan kekuatan nilai komoditasnya, tetapi uang kini
personal caleg dengan sendirinya malah menjadi pemberi makna dalam
meng­ geser kekuatan partai sebagai kehidupan sosial. Pandangan Marx kian
episentrum16. Meskipun tidak begitu memudar ketika uang menjadi satu-
signifikan, namun banyak pemilih satu mediasi; instrumen yang paling
yang cenderung memilih caleg, jika “sakti” mewarnai kehidupan sosial.
pun ada yang memilih partai itu lebih Berkenaan dengan ini, bukan hal
disebabkan karena tidak ada caleg yang yang aneh, tetapi ironis agaknya ketika
mereka kenal. uang dijadikan “daya tarik” politik.
Tidak hanya kekuatan primordial Ini melahirkan sebuah fenomena yang
yang tumbuh dalam arena politik pasca ironis di Indonesia, money politic; sebagai
reformasi, uang pun menjadi kekuatan gambaran dari menguatnya peran uang
penggerak politik. Ini adalah resiko dalam menarik dan mempengaruhui
demokrasi liberal, sebuah demokrasi kepercayaan konstituen. Politik
yang bertumpu pada “kebebasan” dalam kondisi ini disimpangkan dari
individual, dan intensitas aktualitasasi makna terbaiknya sebagai prosesi
diri secara berlebihan. Tidak disadari, mengaktivir daya kolektif masyarakat.
kebebasan itu membuka ruang yang Di bawah kekuatan uang, makna politik
begitu besar masuknya “kekuatan mengalami pengkerutan menjadi
uang” sebagai mesin sosial yang meng­ sekadar wahana menggapai kekuasaan
gerakkan politik dan demokrasi. Tidak dan media pelepasan hasrat berkuasa.
saja menjadi mesin yang mampu Memang dalam tataran teoritis,
memproduksi realitas, lebih dari demokrasi lebih kuat dibanding uang,
itu, uang telah menjadi fenomena namun dalam praksisnya, justeru yang
sosial. Meminjam pandangan Frances terjadi malah sebaliknya. Demokrasi
Hutchinson (2002: 211), uang kini tidak tidak berdaya di bawah cengkraman
lagi murni dan konsisten digunakan kekuatan uang, bahkan demokrasi
dalam bentuk primitifnya dan tunduk dalam “permainan” yang
naturalistik, melainkan telah menjadi diciptakan uang; sebut saja, fenomena
kekuatan yang mampu memproduksi transaksional kekuasaan hingga jual
struktur sosial. Meskipun Marx beli suara. Ini menandaskan dengan
(Hutchinson, 2002: 211) berpandangan, tegas bahwa demokrasi tunduk di
uang tidak akan bermakna sosial tanpa bawah daya yang diciptakan uang.
Di Sumatera Barat kelihatannya uang
tidak saja menentukan terpilihnya
16
. Data lapangan menunjukkan pemilih mem-
berikan suaranya bukan lagi kepada partai, melaink- seseorang, lebih dari itu uang juga ikut
an kepada caleg. Hal ini tergambar 46,59% pemilih mempengaruhui pertimbangan pemilih
yang memilih caleg, dan 41,67% yang memilih par- dalam menentukan pilihan mereka17.
tai. Persentase berikut ini dapat menggambarkan
kondisi tersebut; Patani adalah pemilih yang pal-
ing banyak memilih caleg ketimbang partai (60,34%
memilih caleg, dan 25,86% memilih partai). Diiringi 17
. Walaupun kekuatan uang tidak terlalu besar
buruh 61,11 memilih caleg, dan 33,33% memilih par- pengaruhnya (+37,21% dan -27,65%) dalam menen-
tai. Elit, 56,52% memilih caleg, dan 26,09% memilih tukan pilihan politik masyarakat dibanding dengan
partai. Sedangkan PNS lebih memilih partai diband- pengaruh uang dalam menentukan terpilihnya sese-
ing caleg (72,22% memilih partai, dan 13,89% memi- orang (+54,92% dan -26,98%), namun tetap saja uang
lih caleg), diikuti oleh pedagang (70,73% memilih memegang peranan penting dalam mempengaruhui
partai, dan 19,51% memilih caleg.) pilihan politik masyarakat.

Dialog Vol. 72, No. 2, Tahun. XXXIV, November 2011 133


Selain agama, ikatan primordial menunjukkan bahwa umat Islam
dan uang, kapabilitas dan kinerja dalam pemilu legislatif 2009 dalam
adalah kekuatan penggerak demokrasi. menentukan pilihan politik mereka
Sepuluh tahun sudah bangsa ini didasari atas pertimbangan kapabilitas18
belajar berdemokrasi; tiga kali pemilu dan kinerja19. Ini berarti, meskipun umat
legislatif dan dua kali pemilu presiden/ Islam berpandangan bahwa agama
pemilihan kepala daerah. Ternyata mesti terlibat dalam arena politik, dan
masyarakat makin hari, kian dewasa, agama menjadi pertimbangan dalam
cerdas dan rasional dalam berpolitik. menentukan pilihan politik, namun
Salah satu acuan menilai apakah ternyata agama tidak begitu dominan
masyarakat dewasa dalam berpolitik dalam mempengaruhi pilihan politik
dapat dilihat atas pertimbangan atau mereka.
alasan apa ia menentukan pilihan
politik. Ada beberapa bentuk rujukan
yang dijadikan rakyat menentukan Reposisi Agama dalam Ranah
pilihan politik. Pertama, pertimbangan Politik
rasional dan pertimbangan irrasional. Di atas telah dijelaskan bahwa
Pertimbangan rasional berlaku ketika masyarakat memahami agama adalah
pemilih melihat rekam jajak, track record, bagian penting dari politik, sehingga
ataupun kinerja dan program yang agama dijadikan sebagai pertimbangan
ditawarkan. Pertimbangan irrasional dalam menentukan pilihan politik.
merupakan pertimbangan yang hanya Kelihatannya ada yang paradoks; satu
berdasarkan faktor kekerabatan, sisi umat Islam menghendaki agar
agama, kewilayahan atau etnis. Kedua, agama terlibat dalam arena politik, dan
pertimbangan ideologi, dimana keje­ di sisi lain mereka memperlihatkan
lasan ideologi menjadi penentu bagi ketidak-respekan terhadap partai Islam;
pemilih untuk menentukan pilihan lain keyakinan, lain pula pilihan. Apakah
politik mereka. “keterjarakan” ini dapat dikatakan
Dalam konteks ini, Firmanzah sebagai impuls dari Islam yang telah
(2008) mengklasifikasikan pemilih terlalu politis. Sebab menurut Mark
kepada empat tipikal: pemilih rasional, Sedwick (2006) jika Islam masuk ke
pemilih kritis, pemilih skeptis dan wilayah praktis, maka sisi oportunitas
pemilih tradisional. Menurut Firmanzah
pemilih yang mempertimbangkan 18
. 72,35% pemilih menyatakan pilihan politik
alasan ideologi dalam menentukan mereka ditentukan oleh relasi dan kapabilitas caleg
atau partai. Hanya 10.98% yang tidak menyatakan
pilihan adalah pemilih kritis, pemilih pilihan politik mereka dipengaruhui oleh relasi dan
skeptis dan pemilih tradisional. kapabilitas caleg/partai. Hal ini dialami secara mer-
Sedangkan pemilih rasional adalah ata pemilih; Elit (+82,61% dan -4,35%), buruh (+77,78
dan -16,67%) pedagang (+78,05% dan -14,63%) PNS
pe­milih yang menentukan pilihan (+75,00% dan -16,67%), dan petani (+64,66% dan
politiknya atas pertimbangan kinerja -11,21%
19
. 62,12% pemilih mengakui kinerja menjadi
dan program. Mengikuti alur pikir
pertimbangan penting dalam menentukan pilihan
di atas, dapat dikatakan bahwa umat politik mereka, dan 12,12% yang tidak terpengaruh
Islam sangat cerdas dan rasional dengan kinerja caleg atau partai. Elit (+78,26% dan
-8,70%), padagang (65,86% dan – 17,07%) petani
dalam menentukan pilihan politik. (+57,76% dan -10,34%), PNS (+55,56% dan -16,67%),
Mengapa demikian? Temuan lapangan dan buruh (+38,39% dan -11,11%).

134 Dialog Vol. 72, No. 2, Tahun. XXXIV, November 2011


dan pragmatisme lebih diperlihatkan Barat, sungguh inilah yang terjadi.
ketimbang sisi terbaik Islam itu sendiri. Umat Islam mencari kembali partai
Pandangan ini kelihatan menemukan politik yang lebih mampu memberikan
kebenarannya bahwa Islam yang harapan yang konkrit. Mereka tidak
direpsentasikan oleh partai Islam sisi saja menilai, tetapi juga mengevaluasi
oportunis dan pragmatis kekuasaan secara kritis setiap partai politik. Dan
lebih ditonjolkan, sehingga ideologi dan ketika mereka menemukan bahwa
nilai-nilai yang seyogyanya melandasi partai Islam tidak lebih baik ketimbang
sikap dan perilaku partai terabaikan. partai Nasionalis, pada saat itulah
Ada keterjarakan antara “citra” dan partai Islam ditinggalkan. Mengikuti
“tindakan” yang dialami partai Islam. Max Weber (Jones, 2009) bahwa setiap
Artinya partai Islam tidak mampu manusia, jika mereka berorientasi pada
menunjukkan bentuk dan perilaku ideal nilai, dengan menggunakan rasionalitas
sesuai dengan bingkai Islam20. Pada nilai yang berorientasi pada tujuan,
kondisi inilah sesungguhnya proses atau dengan menggunakan rasionalitas
menalar ulang antara agama dengan instrumental, maka pada saat inilah
partai Islam berlangsung. tindakan itu dinilai efektif. Dalam
Keterjarakan antara citra dan hal itu, ketika keputusan umat Islam
tindakan telah mendorong sebuah memilih meninggalkan partai Islam
pandangan “yang lain” atau trans­ dan beralih pada partai Nasionalis,
formasi persepsi yang terkadang menandaskan ada alasan yang lebih
tidak terduga. Meskipun umat Islam rasional yang mendorong mereka untuk
mempersepsi perlu melibatkan agama percaya pada partai Nasionalis.
dalam arena politik, namun manakala Besarnya porsi pertimbangan
mereka dihadapakan pada kenyataan pilihan politik pada kredibilitas;
politik, bahwa caleg/partai Islam kapabilitas dan kinerja ketimbang agama
tidak selalu sejalan dengan citra yang adalah hasil dari proses rasionalisasi
dipertontonkan, maka pada saat itulah mereka terhadap partai Islam. Peralihan
semakin membesarnya keterjarakan dari pertimbangan ideologi (agama)
antara keyakinan agama dengan pilihan ke pertimbangan teknis dan material
politik. Dalam bahasa lain manakala dalam pilihan politik, menandaskan
partai Islam tidak lagi mampu berbuat rasionalisasi yang terjadi adalah bagian
dan bertindak sesuai dengan citra dan dari kesadaran individual dan perlahan
harapan umat Islam, maka pada saat menjadi kesadaran kolektif. Mengutip
itulah akan terjadi reposisi politik; Weber (2006) rasionalisasi menuntut
sebuah upaya meletakkan posisi politik adanya pengaliran emosi kepada
baru bagi partai Islam. Di Sumatera ruang publik, yang dengan sendirinya
mengakibatkan pengurangan intensitas
20
. Data menunjukkan perilaku partai Islam pada penyandaran immaterial dalam
tidak mencerminkan perilaku Islam, dalam artian tindakan. Kekalahan partai Islam
praktek dan sikap partai Islam tidak sesuai dengan
tidak otomatis atau “determinan”
tuntunan nilai, norma dan ajaran Islam. Rata-rata
pemilih menyatakan perilaku partai Islam tidak se- karena pragmatisme pemilih, tetapi
suai dengan ajaran Islam; Pedagang (+58,54% dan juga disebabkan oleh kredibilitas,
-31,71%), elit (+52,17% dan +34,78%), buruh (+50,00%
dan -27,28%), PNS (+47,22% dan -8,33%), dan petani
kapabilitas dan kinerja partai Islam itu
(+37,93% dan-36,21%),. sendiri. Menurunya kredibilitas partai

Dialog Vol. 72, No. 2, Tahun. XXXIV, November 2011 135


Islam menjadi faktor deterministik dari perubahan iklim dan perluasan
bagi kekalahan partai Islam. Buruknya skala politik pasca Indonesia meretas
kapabilitas dan kinerja ditambah reformasi, partai Islam tidak saja
dengan perubahan sistem pemilu kian meramaikan pasar politik, tetapi juga
memperparah posisi partai Islam. Ketiga mendorong umat Islam di Sumatera
faktor inilah yang saling berhubungan Barat bertindak dan memilih lebih
mendorong kekalahan partai Islam. rasional, ketimbang sebelum hadirnya
Kepercayaan dari konstituen bagi partai Islam.
partai politik bagaikan bahan bakar Islam dan umat Islam di
yang menggerakkan lokomotif Sumatera Barat telah berkontribusi
partai. Eksistensi; keberlanjutan; dan besar terhadap demokrasi politik di
kejayaan partai seutuhnya tergantung Indonesia. Besarnya jumlah pemilih
pada tingkat kepercayaan konstituen. muslim di Sumatera Barat berkorelasi
Ironisnya, partai Islam tidak mampu positif dengan perkembangan
menjaga kepercayaan konstituennya demokrasi politik di Indonesia. Akan
karena diperburuk oleh kualitas kinerja tetapi, besarnya jumlah konstituen
membuat partai Islam tidak mampu yang beragama Islam tidak paralel dan
bersaing dengan partai Nasionalis. simetris dengan pilihan politik mereka.
Kini, umat Islam mengevaluasi pilihan Naiknya angka absentia voters (Golput),
politik mereka melalui perasaan dan dan kalahnya partai berbasis Islam
pengamatan yang intens terhadap (PPP, PKS, PBB, PBR, dan PAN) pada
track record partai Islam. Mereka tidak pemilu legislatif 2009 menggambarkan
hanya menilai, tetapi juga merasakan betapa tidak berkorelasinya antara
“seberapa nyaman dan yakin mereka” Islam dengan pilihan politik umat
dengan imej yang ditawarkan partai Islam. Namun demikian, fakta ini tidak
Islam. Kini semuanya terjawab sudah, dapat direduksi bahwa di tengah-
ternyata partai Islam tidak mampu tengah masyarakat Muslim Sumatara
mempertahankan kualitas politik Barat kini tengah berlangsung proses
mereka. Akibatnya, kepercayaan “sekularisasi” antara domain agama
masya­ rakat turun drastis, tidak ayal sebagai hal yang sakral-transedental
jika akhirnya partai Islam kalah dalam dengan ranah politik profan-pragmatik.
pemilu belakangan ini (baca Pemilu Pergeseran pilihan politik dari politik
tahun; 2004 dan 2009). Luruhnya identitas ke politik rasional tidak
kepercayaan ini mengukuhkan tepat dikatakan bahwa masyarakat
bahwa ada degradasi kualitas yang telah terjabak pada kepentingan
ditunjukkan partai Islam di Sumatera pragmatisme-material. Tidak dominan­
Barat. nya agama mempengaruhi pilihan
politik masyarakat pada pemilu 2009
lantaran ada kekuatan lain selain
Islam Politik yang Tergadaikan: agama, yakni kapabilitas, kinerja dan
Sebuah Catatan Penutup ikatan primordial. Peralihan dari
Hadirnya partai Islam di Sumatera pertimbangan agama ke pertimbangan
Barat telah membawa dinamika teknis dan material, selain menandaskan
baru di dalam struktur sosial-politik rasionalisasi yang intens dalam
etnik muslim Minangkabau. Akibat masyarakat, juga mengindikasian

136 Dialog Vol. 72, No. 2, Tahun. XXXIV, November 2011


sebagai sebuah resiprokal atas Islam mampu menunjukkan bentuk dan
Politik. perilaku ideal sesuai dengan bingkai
Menguatnya kekuatan rasionalitas dan paradigma Islam. Dalam konteks
masyarakat dalam membaca dan inilah dapat dimengerti mengapa
memaknai relasi agama dengan politik, terjadi reposisi atau keterjarakan agama
lebih disebabkan Islam politik tidak di ranah politik antara Islam Simbolik
mampu memelihara kepercayaan dengan Islam Substantif; Partai Islam
konstituen. Selain itu Islam politik tak dengan pilihan politik umat Islam. Oleh
kunjung mampu menjadi kekuatan karena Islam dimaknai sebagai fakta
transformatif, dimana Islam yang normatif (normative fact) yakni semangat
seyogyanya dijadikan sebagai models yang menyusun struktur sosial jauh
for reality, namun yang terjadi justeru melampaui simbol karena ia adalah
sebaliknya, Islam dijadikan sebagai hal yang substantif, maka kekuatan
models of reality21. Sebagai eksesnya rasionalitas menjadi keniscayaan dan
masyakarat merekonstruksi pemaknaan pilihan utama bagi pemilih dibanding
baru terhadap Islam politik; Islam dan ikatan ideologis keagamaan. Dengan
keberislaman bagi mereka bukanlah demikian keyakinan agama dan
identik dengan Islam Politik dan Islam kepercayaan politik bukanlah dua sisi
Simbolik sebagaimana Islamnya partai mata uang yang memiliki hubungan
politik, melainkan Islam Substantif yang afinitas-integratif, melainkan hubungan
menekankan bagaimana Islam tidak yang lebih bersifat kohesi-dialektik.
hanya menjadi landasan moral (moral Dalam kerangka inilah kemudian
base) tetapi juga menjadi kekuatan dapat dimafhumi, meskipun umat Islam
sosial (social force) yang mampu menghendaki agama terlibat dalam
menggerakkan perubahan. arena politik, namun keberagamaan
Pada mulanya, masyarakat meyakini seseorang tidak dapat diukur dengan
bahwa partai Islam dengan mengusung sikap atau pilihan politik yang diambil.
Islam sebagai landasan ideologis akan Dan bagi umat Islam pilihan politik
mampu merubah wajah politik dan bukanlah merepresantasikan sikap
demokrasi lebih baik. Sederhananya, keberagamaan mereka22. Karena
umat Islam berpandangan bahwa memang agama dalam konteks ini
Islam harus mampu mewarnai, bukan sebenarnya tidak memiliki korelasi
sebaliknya terwarnai oleh kusut- positif dengan memilih partai atau
masai perwajahan politik Indonesia. caleg tertentu. Atas alasan ini pulalah
Namun faktanya partai Islam tidak kemudian muncul sikap bahwa seorang

21
. Islam sebagai models of reality; sebagai Islam 22
. 47,73% pemilih berkeyakinan bahwa keber-
yang konkrit, Islam yang wujud berbentuk dalam agamaan seseorang tidak ditentukan dari partai
kehidupan sosial, keseharian masyarakat. Sedan- apa yang ia pilih. Hanya 18,18% yang masih ber-
gkan Islam sebagai models for reality adalah nilai- pndangan partai apa yang dipilih mencerminkan
nilai etis, bersifat normatif. Ini seharusnya menjadi tingkat keberagamaan. Dalam konteks ini, baik
landasan dari kehidupan manusia, terutama umat PNS (+50,00% dan -27,78%), pedagang (+48,78%
Islam. Ia tidak saja menjadi standar, tetapi juga men- dan -14,63%), petani (+44,83% dan -16,38%, dan elit
jadi pembentuk kehidupan; keseharian umat Islam. (+43,48% dan -26,09%) berkeyakinan keberagamaan
Lihat dalam Bassam Tibi, Islam between Culture and tidak tercermin dari partai apa yang dipilih. Semen-
Politics, (New York: Palgrave McMillan, 2001), hal. tara buruh berada dalam posisi imbang (+27,78%
28. dan -27,78).

Dialog Vol. 72, No. 2, Tahun. XXXIV, November 2011 137


Muslim tidak mesti memilih partai D A F TA R K E P U S TA K A A N
Islam. Apa yang terjadi akibat ketidak-
mampuan partai Islam menjadikan
agama sebagai representasi dari Abdullah, Taufik. 1987. Islam dan
tindakan politik mereka adalah muncul Masyarakat:Pantulan Sejarah Indonesia.
stereotipe bahwa simbol-simbol agama Jakarta: LP3ES.
yang digunakan tidak lain hanyalah
sebagai “magnitud” atau penarik --------. 2000. Sebuah Diktum Keramat
kepercayaan, bukan didasarkan Dalam Sejarah Intelektual
pada keinginan untuk membela dan Minangkabau (makalah seminar ABS-
membumikan nilai-nilai agama dalam SBK).
politik. Dan dari sisi inilah masyarakat Azwar, Saifuddin. 1997. Sikap Manusia;
melihat Islam hanya dijadikan sebagai Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta:
alat politik untuk berkuasa23. Pustaka Pelajar,
Hutchinson, France., et.al. 2002. The Politics
of Money: Towards Sustainability and
Economic Democracy. London:Pluto
Press.
Jones, Pip. 2009. Pengantar Teori-Teori
Sosial: Dari Fungsionalisme hingga Post-
Modernisme. Jakarta:Yayasan Obor
Indonesia.
Robert W. Hefner. 2000. Civil Islam: Muslims
and Democratization In Indonesia. New
Jersey:Pricenton University Press.
Dobbin, Christine. 2008. Islamic Revivalism
in a Changing Peasant Economy; Central
Sumatera 1784-1847, Terj. Lilian d.
Tedjasudhana. Jakarta: Komunitas
Bambu.
23
. Jika petani (63,33%), pedagang (60,98%), dan Efendi, Bahtiar. 1998. Islam dan
buruh (50,00%) berkeyakinan bahwa penggunaan
simbol-simbol agama oleh partai Islam hanya seka- Negara, Transformasi Pemikiran dan
dar menarik perhatian dan merebut kepercayaan Pemikiran Politik Islam di Indonesia.
umat Islam, jelas ini bukanlah hal yang berlebihan Jakarta:Paramadina.
dan mengada-ada. Anehnya, elit (65,22%) dan PNS
(50,00%) pun meyakini betul bahwa partai Islam Firmanzah. 2008. Marketing Politik: Antara
hanya mengedepankan politik simbolik untuk me-
muluskan kepentingan partai Islam. Limbak dari Pemahaman dan Realitas. Jakarta:
itu, bukanlah hal yang berlebihan jika kemudian Yayasan Obor Indonesia.
pemilih Muslim mempersepsi Islam hanya dijadi-
kan alat politik. Hal ini terlihat jelas, 73,11% pemilih Fromm, Erich. 2004, Akar Kekerasan; Analisis
Muslim di Sumatera Barat; petani (68,10%), buruh Sosio-Psikologis atas Watak Manusia,
(66,67%), pedagang (85,37%), PNS (69,44%), dan elit
(43,48) berkeyakinan bahwa partai Islam secara utuh Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
hanya mempolitisir Islam sebagai alat politik untuk
berkuasa.
Hardiman, F. Budi. 2005. Memahami

138 Dialog Vol. 72, No. 2, Tahun. XXXIV, November 2011


Negativitas: Diskursus tentang Massa,
Teror, dan Trauma. Jakarta: Penerbit
Buku Kompas.
Jhonson, Doyle Paul.1994. Sociological Theory
Classical Founders and Contemporary
Perspectives, diterjemahkan dalam
Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi
Klasik dan Moderen. Jakarta:PT
Gramedia.
Kahin, Audrey. 2005. Dari Pemberontakan
Ke Integrasi: Sumatera Barat dan Politik
Indonesia 1926-1998, Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Latif, Yudi. 2005. Intelegensia Muslim dan
Kuasa: Genealogi Intelegensia Muslim In­
donesia Abad ke-20, (Bandung: Mizan)
---------, 2007, Dialektika Islam; Tafsir
Sosiologis atas Sekulerisasi dan Islamisasi
di Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra.
Mujani, Saiful. 2007. Muslim Demokrat:
Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi
Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru.
Jakarta: Gramedia.
Sedgwick, Mark. 2006. Islam & Muslims: A
Guide to Diverse Experience in a Modern
World. Boston:Intercultural Press.
Sobary, Mohammad. 1996. Kebudayaan
Rakyat: Dimensi Politik dan Agama.
Yogyakarta: Yayasan Banteng.
Sukma,Rizal, 2003, Islam in Indonesia
Foreign Policy, New York: Routledge.
Tibi, Bassam, 2001. Islam between Culture
and Politics, New York: Palgrave
McMillan
Weber, Max. 2006. From Max Weber; Essay in
Sociology. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Laporan Penyelenggaraan Pemilu DPR,
DPD, DPRD di Provinsi Sumatera
Barat tahun 2004 dan 2009 KPU
Provinsi Sumatera Barat

Dialog Vol. 72, No. 2, Tahun. XXXIV, November 2011 139

Anda mungkin juga menyukai